Referat Epilepsi
Referat Epilepsi
EPILEPSI
Disusun oleh:
Yaclin Natalia Damayanti (0961050087)
Pembimbing:
dr. Tumpal A Siagian Sp.S
2015
i
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL......................................................................................
DAFTAR ISI..................................................................................................
ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.................................................................................
1.2 Tujuan...............................................................................................
3.1
3.2
3.3
3.4
3.5
3.6
3.7
3.8
Definisi.............................................................................................
Anatomi dan fisiologi.......................................................................
Etiologi.............................................................................................
Klasifikasi........................................................................................
Patofisiologi.....................................................................................
Manifestasi Klinis............................................................................
Diagnosis..........................................................................................
Tatalaksana.......................................................................................
3
3
4
6
14
17
19
21
BAB V PENUTUP.......................................................................................
43
5.1 Kesimpulan......................................................................................
43
5.2 Saran.................................................................................................
43
DAFTAR KEPUSTAKAAN.........................................................................
44
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.2 Tujuan
Tulisan ini bertujuan untuk menambah pengetahuan pembaca umumnya
dan penulis khususnya mengenai Epilepsi mulai dari definisi, epidemiologi,
etiologi, patogenesis, diagnosis yang meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan radiologis, serta penatalaksanaan, dan komplikasi yang ditimbulkan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. DEFINISI
Epilepsi didefinisikan sebagai kumpulan gejala dan tanda-tanda klinis
yang muncul disebabkan gangguan fungsi otak secara intermiten, yang terjadi
akibat lepas muatan listrik abnormal atau berlebihan dari neuron-neuron secara
paroksismal. Sedangkan serangan atau bangkitan epilepsi yang dikenal dengan
berbagai macam etiologi. Epileptic seizure adalah manifestasi klinis yang serupa
dan berulang secara paroksismal, yang disebabkan oleh hiperaktivitas listrik
sekelompok sel saraf di otak yang spontan dan bukan disebabkan oleh suatu
penyakit otak akut (unprovoked).
Manifestasi serangan atau bangkitan epilepsi secara klinis dapat dicirikan
sebagai berikut yaitu gejala yang timbulnya mendadak, hilang spontan dan
cenderung untuk berulang. Sedangkan gejala dan tanda-tanda klinis tersebut
sangat bervariasi dapat berupa gangguan tingkat penurunan kesadaran, gangguan
sensorik (subyektif), gangguan motorik atau kejang (obyektif), gangguan otonom
(vegetatif) dan perubahan tingkah laku (psikologis). Semuanya itu tergantung
dari letak fokus epileptogenesis atau sarang epileptogen dan penjalarannya
sehingga dikenal bermacam jenis epilepsi.
Kadang-kadang dapat terjadi cetusan listrik yang berlebihan dan tidak teratur dari
sekelompok sel yang menghasilkan serangan atau seizure. Sistem limbik
merupakan bagian otak yang paling sensitif terhadap serangan. Ekspresi aktivitas
otak abnormal dapat berupa gangguan motorik, sensorik, kognitif atau pskis.5
Neokorteks (area korteks yang menutupi permukaan otak ), hipokampus, dan area
fronto-temporal bagian mesial sering kali merupakan letak awal munculnya
serangan epilepsi, Area subkorteks misalnya thalamus, substansia nigra dan
korpus striatum berperan dalam menyebarkan aktivitas serangan dan mencetuskan
serangan epilepsi umum. Pada otak normal, rangsang penghambat dari area
subkorteks mengatur neurotransmiter perangsang antara korteks dan area otak
lainnya serta membatasi meluasnya signal listrik abnormal. Penekanan terhadap
aktivitas inhibisi eksitasi di area tadi pada penderita epilepsi dapat memudahkan
penyebaran aktivitas serangan mengikuti awal serangan parsial atau munculnya
serangan epilepsi umum primer.
2.3. ETIOLOGI
Berdasarkan penyebabnya epilepsy dibagi menjadi dua tipe yaitu epilepsy
primer dan epilepsy sekunder.6
Epilepsy primer adalah epilepsy yang penyebabnya tidak diketahui secara
pasti. Epilepsy primer juga disebut primer yaitu: oleh aktivitas listrik yang
abnormal yang menyebabkan beberapa tipe kejang dengan idiopatik epilepsy.
Beberapa hal yang berhubungan dengan epilepsy
Jika semua area otak dipengaruhi oleh aktivitas listrik yang abnormal
maka kejang menyeluruh mungkin terjadi. Hal ini berarti bahwa kesadaran
4
mungkin hilang atau berkurang. Seringnya semua tangan dan kaki akan
menjadi kaku kemudian menyentak secara berirama.
Satu tipe kejang mungkin berkembang menjadi kejang tipe lain. Sebagai
contoh, kejang mungkin berawal sebagian meliputi muka atau tangan.
Kemudian aktivitas otot akan menyebar keseluruh tubuh. Pada saat ini,
kejang akan menjadi menyeluruh.
Kejang yang disebabkan oleh demam tinggi pada anak mungkin tidak
dipertimbangkan sebagai epilepsy. Epilepsy sekunder adalah kejang yang
penyebabnya telah diketahui.
Epilepsy sekunder disebut juga sebagai epilepsy simtomatik. Ada
Tumor
Trauma kepala
Penggunaan obat-obatan
Kecanduan alkhohol
Trauma persalinan
2.4. KLASIFIKASI
Epilepsi dapat dibagi dalam tiga golongan utama antara lain: 7
1. Epilepsi Grand Mal Epilepsi grand mal ditandai dengan timbulnya
lepas muatan listrik yang berlebihan dari neuron diseluruh area
otak-di korteks, di bagian dalam serebrum, dan bahkan di batang
otak dan talamus. Kejang grand mal berlangsung selama 3 atau 4
menit.
2. Epilepsi Petit Mal Epilepsi ini biasanya ditandai dengan timbulnya
keadaan tidak sadar atau penurunan kesadaran selama 3 sampai 30
detik, di mana selama waktu serangan ini penderita merasakan
beberapa kontraksi otot seperti sentakan (twitch- like),biasanya di
daerah kepala, terutama pengedipan mata.
3. Epilepsi Fokal
Epilepsi fokal dapat melibatkan hampir setiap bagian otak, baik
regoi setempat pada korteks serebri atau struktur-struktur yang
lebih dalam pada serebrum dan batang otak. Epilepsi fokal
disebabkan oleh resi organik setempat atau adanya kelainan
fungsional.
Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) 1981, epilepsi
diklasifikasikan menjadi 2 yakni berdasarkan bangkitan epilepsi dan berdasarkan
sindrom epilepsi. 1,5,8,9
1. Klasifikasi berdasarkan tipe bangkitan epilepsi :
a. Bangkitan Parsial
Bangkitan parsial diklasifikasikan menjadi 3 yakni,
1) Parsial Sederhana (kesadaran tetap baik)
6
Kejang motorik
Kejang ini menyebabkan perubahan pada aktivitas otot. Sebagai
contoh , seseorang mungkin mengalami gerakan abnormal seperti
jari tangan menghentak atau kekakuan pada sebagian tubuh.
Gerakan ini mungkin akan meluas atau tetap pada satu sisi tubuh
(berlawanan dengan area otak yang terganggu) atau meluas pada
kedua sisi. Contoh yang lain adalah kelemahan dimana dapat
berpenagruh pada saat berbicara. Penderita mungkin bisa atau tidak
menyadari gerakan ini
Kejang sensorik
Kejang ini menyebabkan perubahan perasaan. Orang dengan
kejang sensori mungkin mencium atau merasakan sesuatu yang
sebenarnya tidak ada disitu, mendengar bunyi berdetak, bordering
atau suara seseorang ketika suara yang sebenarnya tidak ada, atau
merasakan sensasi seperti ditusuk jarum atau mati rasa (kebas).
Kejang mungki terasa sangat menyakitkan pada beberapa pasien.
Mereka akan merasa seperti berputar. Mereka juga mungkin
7
Kejang autonomic
Kejang ini menyebabkan perubahan pada bagian system saraf yang
secara otomatis mengendalikan fungsi tubuh. Kejang ini biasanya
meliputi perasaan asing atau tidak nyaman pada perut,dada dan
kepala,
perubahan
pada
denyut
jantung
dan
pernafasan,
berkeringat.
Kejang psikis
Kejang ini merubah cara berpikir seseorang, perasaan dan
pengalaman akan sesuatu. Mereka mungkin bermasalah dengan
memori, kata yang terbalik saat berbicara, ketidakmampuan untuk
menemukan kata yang tepat atau bermasalah dalam memahami
percakapan atau tulisan. Mereka mungkin dengan tiba-tiba merasa
takut, depresi atau bahagia dengan alasan yang tidak jelas.
Beberapa pasien mungkin merasa seperti mereka berada diluar
tubuhnya atau merasa dejavu (pernah mengalami sebelumnya).
2) Parsial Kompleks (kesadaran menurun)
a) Awalnya
parsial
sederhana,
kemudian
diikuti
gangguan kesadaran
Dengan automatisme
Dengan automatisme
atas
dan
tangan
melepaskan
benda
yang
sedang
2) Simptomatik
Lobus temporalis
Lobus frontalis
Lobus parietalis
Lobus oksipitalis
b. Epilepsi Umum
1) Idiopatik
Benign
neonatal
familial
convulsions,
benign
convulsions
11
neonatal
3) Simtomatik
Epilepsi pada bayi dan anak dianggap sebagai suatu sindrom. Yang
dimaksud sindrom epilepsi adalah epilepsi yang ditandai dengan adanya
sekumpulan gejala dan klinis yang terjadi bersama-sama meliputi jenis serangan,
etiologi, anatomi, faktor pencetus, umur onset, dan berat penyakit . Dikenal 4
kelompok usia yang masing-masing mempunyai korelasi dengan sindrom epilepsi
dapat dikelompokkan sebagai berikut:5
1. Kelompok neonatus sampai umur 3 bulan Serangan epilepsi pada anak
berumur kurang dari 3 bulan bersifat fragmentaris, yaitu sebagian dari
manifestasi serangan epileptik seperti muscular twitching : mata berkedip
sejenak biasanya asimetris dan mata berbalik keatas sejenak, lengan
berkedut-kedut, badan melengkung / menekuk sejenak. Serangan epilepsi
disebabkan oleh lesi organik struktural dan prognosis jangka panjangnya
buruk. Kejang demam sederhana tidak dijumpai pada kelompok ini.
2. Kelompok umur 3 bulan sampai 4 tahun
12
Pada kelompok ini sering terjadi kejang demam, karena kelompok ini
sangat peka terhadap infeksi dan demam. Kejang demam bukan termasuk
epilepsi, tetapi merupakan faktor risiko utama terjadinya epilepsi. Sindrom
epilepsi yang sering terjadi pada kelompok ini adalah sindrom Spasme
Infantile atau Sindrom West dan sindrom Lennox-Gestaut atau epilepsi
mioklonik.
a. Sindrom Lennox-Gestaut.
1) Sindrom Lennox Gestaut ( SLG ) merupakan salah satu bentuk
epilepsi yang berat, biasanya terjadi pada anak balita dan
manifestasinya berupa beberapa jenis serangan dan keterlambatan
perkembangan serta pertumbuhan.
2) SLG meliputi 3 - 11 % dari penderita epilepsi golongan anakanak, muncul pertama kali pada umur 1 - 14 tahun, rata-rata 3
tahun.
3) Jenis serangan yang terdapat pada satu penderita meliputi serangan
tonik, atonik, mioklonik dan absence tidak khas. Munculnya
serangan dipermudah oleh rasa mengantuk atau bahkan tanpa
rangsanganpun dapat muncul serangan.
4) Beberapa faktor penyebab adalah 25 % bersifat kriptogenik,
simtomatik meliputi 75% pada populasi, cedera kepala yang
berkaitan dengan kehamilan, persalinan, prematuritas dan asfiksia,
infeksi otak, malformasi perkembangan otak dan penyakit
metabolik yang menyangkut otak.
b. Sindrom West.
1) Sindrom ini dikenal pula sebagai spasmus infantile. Usia awitan
berkisar 3 - 12 bulan dengan puncak pada umur 4 - 7 bulan.
13
2.5. PATOFISIOLOGI
Secara etiopatologik, bangkitan epilepsi bisa diakibatkan oleh cedera
kepala, stroke, tumor otak, infeksi otak, keracunan, atau juga pertumbuhan
jarigan saraf yang tidak normal (neurodevelopmental problems), pengaruh
genetik yang mengakibatkan mutasi. Mutasi genetik maupun kerusakan sel
14
secara fisik pada cedera maupun stroke ataupun tumor akan mengakibatkan
perubahan dalam mekanisme regulasi fungsi dan struktur neuron yang
mengarah pada gangguan pertumbuhan ataupun plastisitas di sinapsis.
Perubahan (fokus) inilah yang bisa menimbulkan bangkitan listrik di otak.3
Bangkitan epilepsi bisa juga terjadi tanpa ditemukan kerusakan
anatomi (focus) di otak. Disisi lain epilepsi juga akan bisa mengakibatkan
kelainan jaringan otak sehingga bisa menyebabkan disfungsi fisik dan
retardasi mental. Dari sudut pandang biologi molekuler, bangkitan epilepsi
disebabkan oleh ketidakseimbangan sekresi maupun fungsi neurotransmiter
eksitatorik dan inhibitorik di otak. Keadaan ini bisa disebabkan sekresi
neurotransmiter dari presinaptik tidak terkontrol ke sinaptik yang selanjutnya
berperan pada reseptor NMDA atau AMPA di post-sinaptik. Keterlibatan
reseptor NMDA subtipe dari reseptor glutamat (NMDAR) disebut sebut
sebagai patologi terjadinya kejang dan epilepsi. 3
Secara farmakologik, inhibisi terhadap NMDAR ini merupan prinsip
kerja dari obat antiepilepsi. Beberapa penelitian neurogenetik membuktikan
adanya beberapa faktor yang bertanggungjawab atas bangkitan epilepsi antara
lain kelainan pada ligand-gate (sub unit dari reseptor nikotinik) begitu juga
halnya dengan voltage-gate (kanal natrium dan kalium). Hal ini terbukti pada
epilepsi lobus frontalis yang ternyata ada hubungannya dengan terjadinya
mutasi dari resepot nikotinik subunit alfa. 3
Berbicara mengenai kanal ion maka peran natrium, kalium dan
kalsium merupakan ion-ion yang berperan dalam sistem komunikasi neuron
lewat reseptor. Masuk dan keluarnya ion-ion ini menghasilkan bangkitan
listrik yang dibutuhkan dalam komunikasi sesame neuron. Jika terjadi
kerusakan atau kelainan pada kanal ion-ion tersebut maka bangkitan listrik
akan juga terganggu sebagaimana pada penderita epilepsi. Kanal ion ini
berperan dalam kerja reseptor neurotransmiter tertentu. Dalam hal epilepsi
dikenal beberapa neurotransmiter seperti gamma aminobutyric acid (GABA)
15
16
17
Gejala
Lobus frontalis
Lobus oksipital
Lobus parietalis
Lobus temporalis
dalam
2.7. DIAGNOSIS
18
19
20
Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang penderita yang sedang
mengalami serangan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis dan lokasi sumber
serangan. Rekaman video EEG memperlihatkan hubungan antara fenomena klinis
dan EEG, serta memberi kesempatan untuk mengulang kembali gambaran klinis
yang ada. Prosedur yang mahal ini sangat bermanfaat untuk penderita yang
penyebabnya belum diketahui secara pasti, serta bermanfaat pula untuk kasus
epilepsi refrakter. Penentuan lokasi fokus epilepsi parsial dengan prosedur ini
sangat diperlukan pada persiapan operasi.
c. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging bertujuan untuk melihat
struktur otak dan melengkapi data EEG. Bila dibandingkan dengan CT Scan maka
MRI lebih sensitif dan secara anatomik akan tampak lebih rinci. MRI bermanfaat
untuk membandingkan hipokampus kanan dan kiri
1.7.
TATALAKSANA
dengan
sebaik-baiknya.
Akhirnya
semuanya
21
tadi
akan
yang
perlu
diperhatikan.
Khususnya
fenitoin,
maka
harus
dipertimbangkan :
a. Resiko terjadinya perubahan konsentrasi obat dalam serum
b. Bila terjadi perubahan konsentrasi obat dalam serum dapat menimbulkan
efek samping dan hilangnya kemanjuran obat.
c. Perbandingan obat generic dengan obat jadi yang memakai merk dagang
tertentu
d. Biaya pemeriksaan laboratorium untuk memantau konsentrasi obat
e. Resiko untuk memperoleh obat yang berbeda sediaannya, antara resep
yang pertama, kedua, dan seterusnya
f. Efek obat generic yang mempengaruhi kepatuhan penderita
g. Motivasi penderita untuk menerima obat generic
Konsekuensi dari pemilihan OAE adalah
a. Paham sepenuhnya tentang aspek farmakologik OAE yang dipilih
b. Mampu member penjelasan kepada penderita ataupun keluarganya tentang
OAE tadi secara sederhana, program yang akan dijalani, dan berbagai
kemungkinan yang dapat timbul sehubungan dengan obat yang akan
diminum. Disamping itu efek OAE terhadap kondisi tertentu perlu
dimengerti,
contoh
pada
anak-anak,
merencanakan hamil.
Prinsip-prinsip terapi obat antiepilepsi :
22
wanita
yang
sedang
atau
23
ini. Jika terdapat lesi struktural, biasanya bangkitan akan berulang (termasuk
tumor otak, displasia kortikal dan malformasi arteriovenosa).
Jika diagnosis sudah ditegakkan, setelah bangkitan pertama jangan ragu-ragu
untuk
memberikan
terapi
untuk
memulai
terapi
farmakologi
dan
B. Possibly :
Bangkitan tanpa ada penyebab yang jelas dan tidak ditemukan faktor risiko di atas.
Untuk keadaan seperti ini diperlukan pertimbangan yang matang mengenai
keuntungan dan risiko dari pengobatan obat antiepilepsi. Risiko pengobatan obat
antiepilepsi umumnya rendah, sedangkan akibat dari bangkitan kedua tergantung gaya
hidup pasien.pengobatan mungkin diindikasikan untuk pasien yang akan mengendarai
kendaraan atau pasien yang mempunyai risiko besar atau trauma jika mengalami
bangkitan kedua.
C. Probably not (meskipun terapi jangka pendek mungkin bisa digunakan) :
a. Putusnya alkohol
b. Penyalahgunaan obat
c. Kejang akibat penyakit akut seperti demam tinggi, dehidrasi, hipoglikemik
d. Kejang karena trauma(kejang tunggal dengan segera setelah pukulan di kepala)
e. Sindrom epilepsi benigna spesifik seperti : kejang demam atau epilepsi benigna
dengan spikes sentrotemporal.
f. Kejang karena tidak tidur lama seperti kejang pada pelajar dalam waktu-waktu
ujian
Setelah kejang lebih dua kali atau lebih
Pada umumnya pasien yang mengalami serangan dua kali atau lebih
membutuhkan pengobatan. Kecuali pada serangan-serangan tertentu seperti
kejang akibat putusnya alcohol, penyalahgunaan obat, kejang akibat penyakit akut
seperti demam tinggi, dehidrasi, hipoglikemik, kejang karena trauma (kejang
tunggal dengan segera setelah pukulan di kepala), sindrom epilepsi benigna
spesifik seperti : kejang demam atau epilepsi benigna dengan spikes
sentrotemporal, kejang karena tidak tidur lama seperti kejang pada pelajar dalam
waktu-waktu ujian dan kejang akibat penyebab non epileptik lainnya. Kejang
akibat hal-hal di atas sebaiknya ditangani sesuai kausanya. Pada pasien yang
25
mengalami kejang pertama namun tidak ada faktor risiko satupun yang
ditemukan, maka kemungkinan terjadinya kejang yang kedua 10% pada tahun
pertama dan 24% pada akhir tahun kedua setelah kejang yang pertama. Keputusan
untuk memulai terapi diambil dengan pertimbangan risk and benefit setelah
sebelumnya dokter berdiskusi dengan pasien. Sebagai contoh terapi diindikasikan
untuk pasien yang bekerja sebagai sopir karena jika terjadi kekambuhan sewaktuwaktu maka akan membahayakan pasien bahkan mengancam nyawa pasien.
Pengobatan yang dilakukan pada penderita yang mempunyai sedikit bahkan tidak
mempunyai risiko terjadinya kejang kedua biasanya hanya terapi jangka pendek.
Risiko terjadinya kekambuhan yang paling besar terjadi pada dua tahun pertama.
Seandainya pasien diputuskan untuk diobati, maka penghentian pengobatan
dilakukan setelah tahun kedua dari kejang yang pertama.
3. Memilih obat yang paling sesuai
Pemilihan obat antiepilepsi didasarkan pada dua hal, tipe serangan dan
karakteristik pasien
a) Tipe serangan
Tabel 2 modifikasi brodie et al (2005) dan panayiotopoulos (2005)
Tipe serangan
First-line
Second-line/
Third line/
add on
Asam valproat
add on
Tiagabin
Fenitoin
Levetiracetam
Vigabatrin
Fenobarbital
Zonisamid
Felbamat
Okskarbazepin
Pregabalin
Pirimidon
tanpa
general sekunder
Lamotrigin
26
Topiramat
Tonik klonik
Mioklonik
Gabapentin
Asam valproat
Lamotrigin
Topiramat
Karbamazepine
Okskarbazepin
Levetiracetam
Fenitoin
Zonisamid
Fenobarbital
Asam valproat
Topiramat
Pirimidon
Lamotrigin
Levetiracetam
Clobazam
Zonisamid
Clonazepam
Etosuksimid
Fenobarbital
Levetiracetam
Lamotrigin
Asam valproat
Lamotrigin
Zonisamid
Felbamat
Asam valproat
Topiramat
Clonazepam
Fenitoin
Clobazam
Tonik
Fenobarbital
Epilepsy absence Asam valproat
juvenil
Epilepsy
mioklonik
juvenil
Clonazepam
Etosuksimid
Asam valproat
Clonazepam
Fenobarbital
Etosuksimid
b) karakteristik pasien
27
efek samping pada pemberian awal ini, obat-obat tersebut biasanya diberikan
mulai dengan dosis subterapetik dan dinaikkan secara bertahap sampai beberapa
minggu tercapainya range dosis yang dianjurkan. Jika efek buruk tidak dapat
ditoleransi selama proses titrasi ini, dosis harus kembali pada kadar sebelumnya
yang dapat ditoleransi pasien. Setelah simptom menghilang, proses titrasi dimulai
kembali dengan menaikkan dosis yang lebih kecil.
Pemberian obat mulai dari dosis terapetik
Efek buruk terkait dosis awal pemberian pada obat-obat antiepilepsi
seperti gabapentin, fenitoin, dan fenobarbital merupakan masalah yang ringan
sehingga terapi dengan obat tersebut dapat diberikan mulai dengan dosis terapetik
yang direkomendasikan.
Evaluasi ulang
Sebelum berpikir ke arah kegagalan obat antiepilepsi dan penggantian obat
antiepilepsi dengan obat lain, factor-faktor berikut harus dievaluasi kembali :
Diagnosis epilepsi
Klasifikasi tipe serangan atau sindrom epilepsi
Adanya lesi aktif
Dosis yang adekuat dan atau lamanya terapi (missal : apakah dosis
terpaksa diberikan dengan kadar maksimal yang dapat ditoleransi?
apakah pengaturan dosis yang diberikan cukup waktu untuk mencapai
kondisi optimal?)
e. Ketaatan terhadap pengobatan (ketidaktaatan merupakan penyebab
yang paling umum terjadinya kegagalan pengobata dan kambuhnya
bangkitan).
Table 3 dosis obat antiepilepsi untuk dewasa diambil dari Brodie et al (2005)
29
Obat
Dosis
(mg/hari)
awalDosis
paling
(mg/hari)
yangDosis
umummaintenance
(mg/hari)
30
Frekuensi
pemberian
(kali/hari)
Efek samping
Fenitoin
200
Karbamazepin 200
300
600
100-700
400-2000
1-2
2-4
Hirsutisme,
distres
lambung,
kabur,
vertigo,
Lamotrigin
12,5-25
900-1800
200-400
900-2700
100-800
100
400
400-600
penglihatan
hiperglikemia,
sedasi,
penglihatan
2-3
1-2
Zonisamid
gusi,
anemia makrositik
Depresi sumsum tulang, distress
lambung,
Okskarbazepin150-600
hipertrofi
1-2
nyeri
kepala,
Ethosuximid 500
Felbamat
Topiramat
1200
25-50
1000
2400
200-400
500-2000
1800-4800
100-100
1-2
leukopenia
Mual, muntah, BB , konstipasi,
Clobazam
10
Clonazepam 1
Fenobarbital 60
Pirimidon
125
Tiagabin
4-10
20
4
120
500
40
10-40
2-8
60-240
250-1500
20-60
1-2
1-2
1-2
1-2
2-4
Vigabatrin
Gabapentin
500-1000 3000
300-400 2400
2000-4000
1200-4800
1-2
3
Leukopenia,mulut
penglihatan
kabur,
kering,
mialgia,
150
300
150-600
31
2-3
Valproat
500
Levetiracetam 1000
1000
500-3000
2000-3000 1000-4000
2-3
2
Mual, hepatotoksik
5. Penggantian Obat
Penggantian obat antiepilepsi pertama dilakukan jika :
a) Jika serangan terjadi kembali meskipun obat antiepilepsi pertama sudah
diberikan dengan dosis maksimal yang dapat ditoleransi, maka obat
antiepilepsi kedua harus segera dipilih.
b) Jika terjadi reaksi obat pertama baik efek samping, reaksi alergi ataupun
efek merugikan lainnya yang tidak dapat ditoleransi pasien.
Terapi dengan obat yang kedua harus dimulai dengan gambaran sebagai
berikut: pertama, dosis dari obat kedua harus dititrasi sampai pada range dosis
yang direkomendasikan. Obat yang pertama harus diturunkan secara bertahap
selama 1-3 minggu. Setelah obat yang pertama diturunkan, dosis obat kedua
(monoterapi) harus dinaikkan sampai serangan terkontrol atau dengan efek
samping yang minimal. Proses ini harus dilanjutkan sampai monoterapi dengan
dua atau tiga obat primer gagal. Setelah proses tersebut dilakukan baru politerapi
dipertimbangkan.
c) Monoterapi
Monoterapi rupanya sudah menjadi pilihan dalam memulai pengobatan
epilepsi. Berbagai keuntungan diperoleh dengan cara itu, yakni: (1) mudah
dilakukan evaluasi hasil pengobatan, (2) mudah dievaluasi kadar obat dalam
darah, (3) efek samping minimal, (dapat ditoleransi pada 50-80% pasien)
(Pellock, 1995), dan (4) terhindar dari interaksi obat-obat. Dewasa ini terapi obat
pada penderita epilepsi, apapun jenisnya, selalu dimulai dengan obat tunggal.
Pilihan obat ditentukan dengan melihat tipe epilepsi/bangkitan dan obat yang
paling tepat sebagai pilihan pertama. Sekitar 75% kasus yang mendapat obat
tunggal akan mengalami remisi dengan hanya mendapat efek samping minimal.
32
Akan tetapi sisanya akan tetap mengalami bangkitan dan memerlukan kombinasi
obat (Gram, 1995).
Berbagai faktor yang mendorong kemajuan penanganan epilepsi di
antaranya ialah: (1) klasifikasi epilepsi menurut International League Againts
Epilepsy, (2) pemantauan kadar obat antiepilepsi, (3) konsep monoterapi, (4)
ditemukannya OAE baru dengan mekanisme aksi yang jelas, (5) pandangan baru
tentang etiologi epilepsi, (6) lebih jelasnya mekanisme terjadinya bangkitan, dan
(7) dikembangkannya berbagai perangkat untuk menentukan letak lesi. Secara
farmakologis, satu OAE dengan satu mekanisme aksi merupakan unsur yang
penting dalam manajemen epilepsi di kemudain hari.tc "Sekitar 75% kasus yang
mendapat obat tunggal akan mengalami remisi dengan hanya mendapat efek
samping minimal. Akan tetapi sisanya akan tetap mengalami bangkitan dan
memerlukan kombinasi obat (Gram, 1995). Berbagai faktor yang mendorong
kemajuan penanganan epilepsi di antaranya ialah\: (1) klasifikasi epilepsi menurut
International League Againts Epilepsy, (2) pemantauan kadar obat antiepilepsi,
(3) konsep monoterapi, (4) ditemukannya OAE baru dengan mekanisme aksi yang
jelas, (5) pandangan baru tentang etiologi epilepsi, (6) lebih jelasnya mekanisme
terjadinya bangkitan, dan (7) dikembangkannya berbagai perangkat untuk
menentukan letak lesi. Secara farmakologis, satu OAE dengan satu mekanisme
aksi merupakan unsur yang penting dalam manajemen epilepsi di kemudain hari."
Kenaikan inhibisi GABA-ergik merupakan salah satu sasaran penanganan
epilepsi. Satu OAE dengan satu mekanisme akso tunggal serta dengan satu target
mungkin merupakan pilihan utama, daripada satu OAE dengan berbagai target.
Pada suatu kasus epilepsi dengan sebab multifokal, dapat diberikan satu OAE
untuk tiap target (Gram, 1995).tc "Kenaikan inhibisi GABA-ergik merupakan
salah satu sasaran penanganan epilepsi. Satu OAE dengan satu mekanisme akso
tunggal serta dengan satu target mungkin merupakan pilihan utama, daripada satu
OAE dengan berbagai target. Pada suatu kasus epilepsi dengan sebab multifokal,
dapat diberikan satu OAE untuk tiap target (Gram, 1995)."
33
d) Politerapi
Politerapi nampaknya tidak selalu merugikan. Goldsmith & de Biitencourt
(1995) mengatakan bahwa generasi baru OAE yang dapat ditoleransi dengan baik
dan sedikit interaksi, dapat digunakan untuk politerapi. Studi tersebut
menggunakan vigabatrin sebagai terapi tambahan pada 19 kasus epilepsi parsial
refrakter. Pasien-pasien tersebut sebelumnya sudah mendapat terapi rata-rata 1,5
macam obat. Dengan tambahan vigabatrin, 73% pasien mengalami reduksi
frekuensi bangkitannya lebih dari 50%; 52% kasus mengalami reduksi frekuensi
bangkitannya lebih dari 70%. Satu pasien frekuensi bangkitannya bertambah,
sedangkan 2 pasien mengalami bangkitan mioklonik.
Penggunaan politerapi memerlukan pengetahuan yang baik dalam
farmakologi klinik, terutama interaksi obat. Berbagai OAE lama, mempunyai
mode of action yang sama, karena itu interaksinya sering tidak menguntungkan
karena efek sampingnya aditif (Goldsmith & de Biitencourt,1995).
Kombinasi OAE yang lebih spesifik mungkin lebih menguntungkan,
misalnya: valproat dan etosuksimid dalam manajemen bangkitan absence
refrakter. Dibandingkan dengan obat-obat lama, obat-obat baru mempunyai
mekanisme yang berbeda dan lebih selektif. Mungkin akan lebih menguntungkan
apabila dipakai kombinasi spesifik. Selektif terapi kombinasi yang rasional,
memerlukan pertimbangan efek klinis OAE, efek samping, interaksi obat, kadar
terapetik dan kadar toksik serta mekanisme aksi tiap obat. Kombinasi optimal
dicapai dengan menggunakan obat-obat yang:
(1)
(2)
(3)
(4)
samping obat relatif rigan atau tidak ada sama sekali (Ferrendelli, 1995).
34
yang reversible
Terapi obat tidak perlu untuk epilepsi-epilepsi benigna yang
7. Ketaatan pasien
Penelitian Hakim (2006) menunjukkan bahwa kepatuhan minum obat
menrupakan faktor prediktor untuk tercapainya remisi pada epilepsi, dimana pada
penderita epilepsi yang patuh minum obat terbukti mengalami remisi 6 bulan, 12
bulan dan 24 bulan terus menerus dibanding dengan mereka yang tidak patuh
minum obat. Kriteria kepatuhan minum obat yang dipakai adalah menurut Ley
(1997) cit Hakim (2006) adalah penderita dikatakan patuh minum obat apabila
memenuhi 4 hal berikut : dosis yang diminum sesuai dengan yang dianjurkan,
durasi waktu minum obat doidiantara dosis sesuai yang dianjurkan, jumlah obat
yang diambil pada suatu waktu sesuai yang ditentukan, dan tidak mengganti
dengan obat lain yang tidak dianjurkan.
Berbagai faktor dapat mempengaruhi kepatuhan pasien dalam menjalani
pengobatan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kepatuhan minum obat
pada penderita epilepsi dipengaruhi oleh dukungan keluarga, dukungan dokter,
pengaruh faktor motivasi, adanya efek samping obat, pengobatan monoterapi ,
pengaruh biaya pengobatan serta adanya pengaruh stigma akibat epilepsi (Kyngas,
2001, Buck et al, 1997; cit Lukman,2006).
Sedangkan penelitian yang dilakukan Hakim (2006) menunjukkan bahwa
faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan minum obat pada penderita epilepsi
adalah dukungan keluarga, dukungan dokter, motivasi yang baik, kontrol teratur
dan tidak ada stigma akibat epilepsi. Dengan demikian, pada pengobatan epilepsi
kita harus memperhatikan faktor-faktor apa saja yang akan berpengaruh terhadap
keberhasilan pengobatan, disamping tentunya faktor obat yang efikasius, dosis
yang tepat dan cara pemberian obat yang tepat juga harus diperhatikan.
Pemakaian OAE pada anak
36
penurunan kapasitas
untuk memperlihatkan
sesuatu,
37
penderita ; sementara itu kenaikan karbamazepin terjadi pada 70% penderita dan
fenobarbital sebanyak 70% pula. Perubahan disposisi OAE dalam serum biasanya
mulai terjadi pada umur kehamilan 10 minggu. Satu bulan sesudah melahirkan,
konsentrasi dan dosis fenotoin akan kembali ke situasi sebelum terjadi kehamilan.
Dan untuk karbamazepin dan fonobarbital memerlukan waktu yang lama.
Strategi monoterapi ternyata menurunkan insidensi malformasi congenital
pada bayi yang ibunya mengalami epilepsy. Efek teratogenik karbamazepin atau
valproat lebih rendah daripada apabila kedua jenis obat tadi tidak diberikan
bersama-sama. Fenitoin bersama fenobarbital lebih bersifat teratogenik daripada
Fenobarbital saja. Semetara itu efek teratogenik OAE dapat bersifat tidak
langsung, yaitu melalui defisiensi asam folat. Dengan semikian dianjurkan agar
pemberian OAE kepada wanita hamil selalu diberi tambahan asam folat. Status
sosialekonomu yang rendah, umur penderita yang cukup tua untuk hamil, dan
riwayat keluarga positif malformasi neonatus. Malformasi pada janin dapat
diketahui lebih din, umur kehamilan 15-22 minggu, dengan menggunakan
pemeriksaan alfa fetoprotein dan ultrasoografi.
wanita hamil yang epilepsy harus diberi nasehat (teutama sebelum
konsepsi) bahwa insiden malformasi pada bayi, yang ibunya epilepsy dan diobati
dengan OAE, lebih tinggi (2-3 kali lipat) daripada bayi yang ibunya tidak
mengalami epilepsy. Lagi pula, anak-anak yang ibunya epilepsy, diobati atau tidak
dengan OAE, cenderung lebih banyak mengalami anomaly minor daripada anakanak yang ayahnya mengalami epilepsy atau yang tidak mengalami epilepsy.
38
39
Terapi operatif
Apabila dengan berbagai jenis OAE dan adjuvant tidak memberikan hasil
sama sekali, maka terapi operatif harus diperimbangkan dalam satu dasawarsa
terakhir, tindakan operatif untuk mempercepat untuk mengatasi epilepsy refrakter
makin banyak dikerjakan. Operasi yang paling aman adalah reseksi lobus
temporalis bagian anterior. Lebih kurang 70-80% penderita yang mengalami
operasi terbebas dari serangan, walaupun diantaranya harus minum obat OAE.
40
Penghentian pengobatan
Keputusan untuk menghentikan pengobatan sama pentingnya dengan
memulai pengobatan. Dipihak lain, penderita atau orang tua nya pada umumnya
menanyakan : berapa lama atau sampai kapan harus minum obat? untuk
memutuskan apakah pengobatan dapat dihentikan atau belum, atau tidak dapat
dihentikan atau menjawab pertanyaan yang diajukan penderita/ orang tuanya tadi
memang tak mudah. Untuk itu perlu memahami diagnosis (termasuk serangannya)
dan prognosis epilepsy.
Jenis serangan dapat pula dipakai untuk memperkirakan tingkat
kekambuhan apabila OAE dihentikan. Tingkat kekambuhan yang paling rendah
adalah jenis serangan absence yang khas. Kemudian berturut-turut makin tinggi
tingkat kekambuhannya adalah klonik atau mioklonik, kejang tonik-klonik primer,
parsial sederhanadan parsial kompleks, serangan yang lebih dari satu jenis, dan
epilepsy Jackson.
Konsep penghentian obat minimal 2 tahun terbebas dari serangan pada
umumnya dapat diterima oleh kalangan praktisi. Penghentian obat dilaksanakan
secara bertahap, disesuaikan dengan keadaan klinis penderita. Dengan demikian
jelas bahwa penghentian OAE memerlukan pertimbangan yang cermat, dan
kepada penderita atau orang tuanya harus diberikan pengertian secukupnya.
41
42
43
BAB III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
3.2.Saran
Mahasiswa yang sedang menjalani kepaniteraaan klinik perlu terus
melatih kemampuan melakukan pemeriksaan fisik khususnya neurologis,
sehingga tanda khas dari suatu kelainan dapat dikenali.
44
DAFTAR KEPUSTAKAAN
1. Guyton AC., Hall JE., Sistem saraf. In : Buku Ajar Fisiologi Kedokteran
(Textbook of Medical Physiology) Edisi 9.Penerbit Buku Kedokteran
EGC.Jakarta. 1996
2. Pinzon R., Dampak Epilepsi Pada Aspek Kehidupan Penyandangnya. SMF Saraf
RSUD Dr. M. Haulussy, Ambon, Indonesia. Cermin Dunia Kedokteran No. 157,
2007.
3. Epilepsi. Available at : http://www.fkui.org/.
4. Epilepsi. Available at : http://www.medicastore.com/
5. Epilepsi. Buku Ajar Neuropsikiatri Fakultas Kedokteran Unhas. 2004
6. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Epilepsi. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta. 1985
7. Behrman RE., Kliegman RM., Jenson HB., Nelson Textbook of Pediatrics. 17 th
edition. Saunders. Philadelphia. 2004.
45