Anda di halaman 1dari 47

REFERAT

EPILEPSI

Disusun oleh:
Yaclin Natalia Damayanti (0961050087)

Pembimbing:
dr. Tumpal A Siagian Sp.S

SMF ILMU PENYAKIT SARAF RS TEBET


PERIODE 5 OKTOBER 2015 7 NOVEMBER 2015
FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA

2015
i

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL......................................................................................

DAFTAR ISI..................................................................................................

ii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.................................................................................

1.2 Tujuan...............................................................................................

BAB II TINJAUAN PUSTAKA..................................................................

3.1
3.2
3.3
3.4
3.5
3.6
3.7
3.8

Definisi.............................................................................................
Anatomi dan fisiologi.......................................................................
Etiologi.............................................................................................
Klasifikasi........................................................................................
Patofisiologi.....................................................................................
Manifestasi Klinis............................................................................
Diagnosis..........................................................................................
Tatalaksana.......................................................................................

3
3
4
6
14
17
19
21

BAB V PENUTUP.......................................................................................

43

5.1 Kesimpulan......................................................................................

43

5.2 Saran.................................................................................................

43

DAFTAR KEPUSTAKAAN.........................................................................

44

ii

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Epilepsi merupakan salah satu penyakit saraf kronik kejang berulang
muncul tanpa diprovokasi. Penyebabnya adalah kelainan bangkitan listrik jaringan
saraf yang tidak terkontrol baik sebagian maupun seluruh bagian otak. Keadaan
ini bisa di indikasikan sebagai disfungsi otak. 1 Epilepsi merupakan salah satu
penyebab terbanyak morbiditas di bidang saraf anak, yang menimbulkan berbagai
permasalahan antara lain kesulitan belajar, gangguantumbuh-kembang, dan
menentukan kualitas hidup anak. Insidens epilepsi pada anak dilaporkan dari
berbagai negara dengan variasi yang luas, sekitar 4-6 per 1000 anak, tergantung
pada desain penelitian dan kelompok umur populasi. Di Indonesia terdapat paling
sedikit 700.000-1.400.000 kasus epilepsi dengan pertambahan sebesar 70.000
kasus baru setiap tahun dan diperkirakan 40%-50% terjadi pada anakanak.
Sebagian besar epilepsi bersifat idiopatik, tetapi sering juga disertai gangguan
neurologi seperti retardasi mental, palsi serebral, dan sebagainya yang disebabkan
kelainan pada susunan saraf pusat. Di samping itu, dikenal pula beberapa sindrom
epilepsi pada anak antara lain Sindrom Ohtahara, spasme infantil (Sindrom West),
Sindrom Lenox-Gestaut, benign rolandic epilepsy,dan juvenile myoclonic
epilepsy.2 Insiden epilepsi di negara maju ditemukan sekitar 50/100,000 sementara
di negara berkembang mencapai100/100,000. Pendataan secara global ditemukan
3.5 juta kasus baru per tahun diantaranya 40% adalah anak-anak dan dewasa
sekitar 40% serta 20% lainnya ditemukan pada usia lanjut.3 Gejala dan tanda
klinik bangkitan epilepsi sangat bervariasi dan tergantung pada lokasi neuron
kortikal yang mengalami gangguan. Loncatan elektrik abnormal sebagai pencetus
serangan sangat sering berasal dari neuron-neuron kortikal. Faktor lain yang ikut
berperan dalam terjadinya bangkitan adalah ketidakseimbangan neurotransmiter
eksitasi dan inhibisi, dan gangguan saluran ion di reseptor yang berperan terhadap
kegiatan eksitatorik neurotransmiter.
1

Ikatan eksitatorik dengan reseptor terkait akan membuka pintu untuk


masuknya ion kalsium yang berlebihan kedalam sel sebagai penyebab dari
kematian sel yang berdampak pada kualitas otak dalam hal ini fungsi hipokampus
dan korteks serta mengarah pada gangguan perilaku termasuk bunuh diri.3

1.2 Tujuan
Tulisan ini bertujuan untuk menambah pengetahuan pembaca umumnya
dan penulis khususnya mengenai Epilepsi mulai dari definisi, epidemiologi,
etiologi, patogenesis, diagnosis yang meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan radiologis, serta penatalaksanaan, dan komplikasi yang ditimbulkan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. DEFINISI
Epilepsi didefinisikan sebagai kumpulan gejala dan tanda-tanda klinis
yang muncul disebabkan gangguan fungsi otak secara intermiten, yang terjadi
akibat lepas muatan listrik abnormal atau berlebihan dari neuron-neuron secara
paroksismal. Sedangkan serangan atau bangkitan epilepsi yang dikenal dengan
berbagai macam etiologi. Epileptic seizure adalah manifestasi klinis yang serupa
dan berulang secara paroksismal, yang disebabkan oleh hiperaktivitas listrik
sekelompok sel saraf di otak yang spontan dan bukan disebabkan oleh suatu
penyakit otak akut (unprovoked).
Manifestasi serangan atau bangkitan epilepsi secara klinis dapat dicirikan
sebagai berikut yaitu gejala yang timbulnya mendadak, hilang spontan dan
cenderung untuk berulang. Sedangkan gejala dan tanda-tanda klinis tersebut
sangat bervariasi dapat berupa gangguan tingkat penurunan kesadaran, gangguan
sensorik (subyektif), gangguan motorik atau kejang (obyektif), gangguan otonom
(vegetatif) dan perubahan tingkah laku (psikologis). Semuanya itu tergantung
dari letak fokus epileptogenesis atau sarang epileptogen dan penjalarannya
sehingga dikenal bermacam jenis epilepsi.

2.2 ANATOMI DAN FISIOLOGI


Otak memiliki kurang lebih 15 millar neuron yang membangun subtansia
alba dan substansia grisea. Otak merupakan organ yang sangat komplek dan
sensitif, berfungsi sebagai pengendali dan pengatur seluruh aktivitas : gerakan
motorik, sensasi, berpikir dan emosi. Di samping itu, otak merupakan tempat
kedudukan memori dan juga sebagai pengatur aktivitas involuntar atau otonom.
Sel-sel otak bekerjabersama-sama, berkomunikasi melalui signal-signal listrik.

Kadang-kadang dapat terjadi cetusan listrik yang berlebihan dan tidak teratur dari
sekelompok sel yang menghasilkan serangan atau seizure. Sistem limbik
merupakan bagian otak yang paling sensitif terhadap serangan. Ekspresi aktivitas
otak abnormal dapat berupa gangguan motorik, sensorik, kognitif atau pskis.5
Neokorteks (area korteks yang menutupi permukaan otak ), hipokampus, dan area
fronto-temporal bagian mesial sering kali merupakan letak awal munculnya
serangan epilepsi, Area subkorteks misalnya thalamus, substansia nigra dan
korpus striatum berperan dalam menyebarkan aktivitas serangan dan mencetuskan
serangan epilepsi umum. Pada otak normal, rangsang penghambat dari area
subkorteks mengatur neurotransmiter perangsang antara korteks dan area otak
lainnya serta membatasi meluasnya signal listrik abnormal. Penekanan terhadap
aktivitas inhibisi eksitasi di area tadi pada penderita epilepsi dapat memudahkan
penyebaran aktivitas serangan mengikuti awal serangan parsial atau munculnya
serangan epilepsi umum primer.

2.3. ETIOLOGI
Berdasarkan penyebabnya epilepsy dibagi menjadi dua tipe yaitu epilepsy
primer dan epilepsy sekunder.6
Epilepsy primer adalah epilepsy yang penyebabnya tidak diketahui secara
pasti. Epilepsy primer juga disebut primer yaitu: oleh aktivitas listrik yang
abnormal yang menyebabkan beberapa tipe kejang dengan idiopatik epilepsy.
Beberapa hal yang berhubungan dengan epilepsy

Adanya episode aktivitas listrik yang abnormal didalam otak yang


menyebabkan kejang

Ada beberapa area tertentu pada otak yang dipengaruhi

Jika semua area otak dipengaruhi oleh aktivitas listrik yang abnormal
maka kejang menyeluruh mungkin terjadi. Hal ini berarti bahwa kesadaran
4

mungkin hilang atau berkurang. Seringnya semua tangan dan kaki akan
menjadi kaku kemudian menyentak secara berirama.

Satu tipe kejang mungkin berkembang menjadi kejang tipe lain. Sebagai
contoh, kejang mungkin berawal sebagian meliputi muka atau tangan.
Kemudian aktivitas otot akan menyebar keseluruh tubuh. Pada saat ini,
kejang akan menjadi menyeluruh.

Kejang yang disebabkan oleh demam tinggi pada anak mungkin tidak
dipertimbangkan sebagai epilepsy. Epilepsy sekunder adalah kejang yang
penyebabnya telah diketahui.
Epilepsy sekunder disebut juga sebagai epilepsy simtomatik. Ada

beberapa penyebab yang biasa di temukan pada epilepsy sekunder yaitu:

Tumor

Ketidakseimbangan metabolism seperti hipoglikemi

Trauma kepala

Penggunaan obat-obatan

Kecanduan alkhohol

Stroke termasuk perdarahan

Trauma persalinan

Epilepsi kriptogenik: dianggap simtomatik tetapi penyebabnya belum


diketahui, termasuk disini adalah sindrom West, sindron Lennox-Gastaut dan
epilepsi mioklonik

2.4. KLASIFIKASI
Epilepsi dapat dibagi dalam tiga golongan utama antara lain: 7
1. Epilepsi Grand Mal Epilepsi grand mal ditandai dengan timbulnya
lepas muatan listrik yang berlebihan dari neuron diseluruh area
otak-di korteks, di bagian dalam serebrum, dan bahkan di batang
otak dan talamus. Kejang grand mal berlangsung selama 3 atau 4
menit.
2. Epilepsi Petit Mal Epilepsi ini biasanya ditandai dengan timbulnya
keadaan tidak sadar atau penurunan kesadaran selama 3 sampai 30
detik, di mana selama waktu serangan ini penderita merasakan
beberapa kontraksi otot seperti sentakan (twitch- like),biasanya di
daerah kepala, terutama pengedipan mata.
3. Epilepsi Fokal
Epilepsi fokal dapat melibatkan hampir setiap bagian otak, baik
regoi setempat pada korteks serebri atau struktur-struktur yang
lebih dalam pada serebrum dan batang otak. Epilepsi fokal
disebabkan oleh resi organik setempat atau adanya kelainan
fungsional.
Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) 1981, epilepsi
diklasifikasikan menjadi 2 yakni berdasarkan bangkitan epilepsi dan berdasarkan
sindrom epilepsi. 1,5,8,9
1. Klasifikasi berdasarkan tipe bangkitan epilepsi :
a. Bangkitan Parsial
Bangkitan parsial diklasifikasikan menjadi 3 yakni,
1) Parsial Sederhana (kesadaran tetap baik)
6

Dengan gejala motorik

Dengan gejala somatosensorik atau sensorik khusus

Dengan gejala autonomy

Dengan gejala psikis

Kejang ini sangat berbeda pada setiap orang, tergantung pada


bagian otak dimana kejang ini berawal. Satu hal yang umum terjadi pada
setiap penderita bahwa mereka tetap terjaga dan dapat mengingat apa yang
terjadi. Dokter sering membagi kejang parsial sederhana kedalam
beberapa kategori tergantung pada jenis gejala yang dialami oleh pasien.

Kejang motorik
Kejang ini menyebabkan perubahan pada aktivitas otot. Sebagai
contoh , seseorang mungkin mengalami gerakan abnormal seperti
jari tangan menghentak atau kekakuan pada sebagian tubuh.
Gerakan ini mungkin akan meluas atau tetap pada satu sisi tubuh
(berlawanan dengan area otak yang terganggu) atau meluas pada
kedua sisi. Contoh yang lain adalah kelemahan dimana dapat
berpenagruh pada saat berbicara. Penderita mungkin bisa atau tidak
menyadari gerakan ini

Kejang sensorik
Kejang ini menyebabkan perubahan perasaan. Orang dengan
kejang sensori mungkin mencium atau merasakan sesuatu yang
sebenarnya tidak ada disitu, mendengar bunyi berdetak, bordering
atau suara seseorang ketika suara yang sebenarnya tidak ada, atau
merasakan sensasi seperti ditusuk jarum atau mati rasa (kebas).
Kejang mungki terasa sangat menyakitkan pada beberapa pasien.
Mereka akan merasa seperti berputar. Mereka juga mungkin
7

mengalami ilusi. Untuk singkatnya mereka mungkin percaya


bahwa mobil yang sedang diparkir bergerak pergi atau suara
seseorang seperti teredam ketika seharusnya terdengar jelas.

Kejang autonomic
Kejang ini menyebabkan perubahan pada bagian system saraf yang
secara otomatis mengendalikan fungsi tubuh. Kejang ini biasanya
meliputi perasaan asing atau tidak nyaman pada perut,dada dan
kepala,

perubahan

pada

denyut

jantung

dan

pernafasan,

berkeringat.

Kejang psikis
Kejang ini merubah cara berpikir seseorang, perasaan dan
pengalaman akan sesuatu. Mereka mungkin bermasalah dengan
memori, kata yang terbalik saat berbicara, ketidakmampuan untuk
menemukan kata yang tepat atau bermasalah dalam memahami
percakapan atau tulisan. Mereka mungkin dengan tiba-tiba merasa
takut, depresi atau bahagia dengan alasan yang tidak jelas.
Beberapa pasien mungkin merasa seperti mereka berada diluar
tubuhnya atau merasa dejavu (pernah mengalami sebelumnya).
2) Parsial Kompleks (kesadaran menurun)
a) Awalnya

parsial

sederhana,

kemudian

diikuti

gangguan kesadaran

Kejang parsial sederhana, diikuti gangguan


kesadaran

Dengan automatisme

b) Dengan gangguan kesadaran sejak awal kejang

Dengan gangguan kesadaran saja

Dengan automatisme

3) Parsial yang menjadi umum sekunder


a) Parsial sederhana yang menajdi umum tonik-konik
b) Parsial kompleks menjadi umum tonik-klonik
c) Parsial sederhana menjadi parsial kompleks dan
menjadi umum tonik-konik
b. Bangkitan Umum
1) Absence / lena / petit mal
Bangkitan ini ditandai dengan gangguan kesadaran mendadak
(absence) dalam beberapa detik (sekitar 5-10 detik) dimana
motorik terhenti dan penderita diam tanpa reaksi. Seragan ini
biasanya timbul pada anak- anak yang berusia antara 4 sampai
8 tahun. Pada waktu kesadaran hilang, tonus otot skeletal tidak
hilang sehingga penderita tidak jatuh. Saat serangan mata
penderita akan memandang jauh ke depan atau mata berputar
ke

atas

dan

tangan

melepaskan

benda

yang

sedang

dipegangnya. Pasca serangan, penderita akan sadar kembali


dan biasanya lupa akan peristiwa yang baru dialaminya. Pada
pemeriksaan EEG akan menunjukan gambaran yang khas yakni
spike wave yang berfrekuensi 3 siklus per detik yang bangkit
secara menyeluruh.
2) Klonik
Kejang Klonik dapat berbentuk fokal, unilateral, bilateral
dengan pemulaan fokal dan multifokal yang berpindah-pindah.
Kejang klonik fokal berlangsung 1 3 detik, terlokalisasi ,
9

tidak disertai gangguan kesadaran dan biasanya tidak diikuti


oleh fase tonik. Bentuk kejang ini dapat disebabkan oleh
kontusio cerebri akibat trauma fokal pada bayi besar dan cukup
bulan atau oleh ensepalopati metabolik.
3) Tonik
Berupa pergerakan tonik satu ekstrimitas atau pergerakan tonik
umum dengan ekstensi lengan dan tungkai yang menyerupai
deserebrasi atau ekstensi tungkai dan fleksi lengan bawah
dengan bentuk dekortikasi.
4) Tonik-klonik /Grand mal
Secara tiba-tiba penderita akan jatuh disertai dengan teriakan,
pernafasan terhenti sejenak kemudian diiukti oleh kekauan
tubuh. Setelah itu muncul gerakan kejang tonik-klonik (gerakan
tonik yag disertai dengan relaksaki). Pada saat serangan,
penderita tidak sadar, bisa menggigit lidah atau bibirnya
sendiri, dan bisa sampai mengompol. Pasca serangan, penderita
akan sadar secara perlahan dan merasakan tubuhnya terasa
lemas dan biasanya akan tertidur setelahnya.
5) Mioklonik
Bangkitan mioklonik muncul akibat adanya gerakan involuntar
sekelompok otot skelet yang muncul secara tiba-tiba dan
biasanya hanya berlangsung sejenak. Gambaran klinis yang
terlihat adalah gerakan ekstensi dan fleksi lengan atau keempat
anggota gerak yang berulang dan terjadinya cepat.
6) Atonik
Bangkitan ini jarang terjadi. Biasanya penderita akan
kehilangan kekuatan otot dan terjatuh secara tiba-tiba.
10

2. Klasifikasi Epilepsi berdasarkan Sindroma menurut ILAE 1989. 9


a. Berkaitan dengan letak focus
1) Idiopatik

Benign childhood epilepsy with centrotemporal spikes

Childhood epilepsy with occipital paroxysm

2) Simptomatik

Lobus temporalis

Lobus frontalis

Lobus parietalis

Lobus oksipitalis

b. Epilepsi Umum
1) Idiopatik

Benign

neonatal

familial

convulsions,

benign

convulsions

Benign myoclonic epilepsy in infancy

Childhood absence epilepsy

Juvenile absence epilepsy

Juvenile myoclonic epilepsy (impulsive petit mal)

Epilepsy with grand mal seizures upon awakening

Other generalized idiopathic epilepsies

11

neonatal

2) Epilepsi Umum Kriptogenik atau Simtomatik

Wests syndrome (infantile spasms)

Lennox gastaut syndrome

Epilepsy with myoclonic astatic seizures

Epilepsy with myoclonic absences

3) Simtomatik

Etiologi non spesifik

Early myoclonic encephalopathy

Specific disease states presenting with seizures

Epilepsi pada bayi dan anak dianggap sebagai suatu sindrom. Yang
dimaksud sindrom epilepsi adalah epilepsi yang ditandai dengan adanya
sekumpulan gejala dan klinis yang terjadi bersama-sama meliputi jenis serangan,
etiologi, anatomi, faktor pencetus, umur onset, dan berat penyakit . Dikenal 4
kelompok usia yang masing-masing mempunyai korelasi dengan sindrom epilepsi
dapat dikelompokkan sebagai berikut:5
1. Kelompok neonatus sampai umur 3 bulan Serangan epilepsi pada anak
berumur kurang dari 3 bulan bersifat fragmentaris, yaitu sebagian dari
manifestasi serangan epileptik seperti muscular twitching : mata berkedip
sejenak biasanya asimetris dan mata berbalik keatas sejenak, lengan
berkedut-kedut, badan melengkung / menekuk sejenak. Serangan epilepsi
disebabkan oleh lesi organik struktural dan prognosis jangka panjangnya
buruk. Kejang demam sederhana tidak dijumpai pada kelompok ini.
2. Kelompok umur 3 bulan sampai 4 tahun
12

Pada kelompok ini sering terjadi kejang demam, karena kelompok ini
sangat peka terhadap infeksi dan demam. Kejang demam bukan termasuk
epilepsi, tetapi merupakan faktor risiko utama terjadinya epilepsi. Sindrom
epilepsi yang sering terjadi pada kelompok ini adalah sindrom Spasme
Infantile atau Sindrom West dan sindrom Lennox-Gestaut atau epilepsi
mioklonik.
a. Sindrom Lennox-Gestaut.
1) Sindrom Lennox Gestaut ( SLG ) merupakan salah satu bentuk
epilepsi yang berat, biasanya terjadi pada anak balita dan
manifestasinya berupa beberapa jenis serangan dan keterlambatan
perkembangan serta pertumbuhan.
2) SLG meliputi 3 - 11 % dari penderita epilepsi golongan anakanak, muncul pertama kali pada umur 1 - 14 tahun, rata-rata 3
tahun.
3) Jenis serangan yang terdapat pada satu penderita meliputi serangan
tonik, atonik, mioklonik dan absence tidak khas. Munculnya
serangan dipermudah oleh rasa mengantuk atau bahkan tanpa
rangsanganpun dapat muncul serangan.
4) Beberapa faktor penyebab adalah 25 % bersifat kriptogenik,
simtomatik meliputi 75% pada populasi, cedera kepala yang
berkaitan dengan kehamilan, persalinan, prematuritas dan asfiksia,
infeksi otak, malformasi perkembangan otak dan penyakit
metabolik yang menyangkut otak.
b. Sindrom West.
1) Sindrom ini dikenal pula sebagai spasmus infantile. Usia awitan
berkisar 3 - 12 bulan dengan puncak pada umur 4 - 7 bulan.

13

2) Secara umum serangan epilepsi jenis ini dicirikan oleh serangan


tonik secara mendadak, bilateral dan simetris.
3) Faktor penyebab antara lain 10 - 15 % bersifat kriptogenik dan 85 90 % bersifat simtomatik. Faktor prenatal meliputi infeksi
intrauterin (CMV = citomegalo virus), disgenesis serebral dan
malformasi serebral, penyebab pasca natal antara lain hipoksia
serebral, trauma kepala dan infeksi (meningitis dan ensefalitis).
3. Kelompok umur 4 - 9 tahun Pada kelompok ini mulai timbul manifestasi
klinis dari epilepsi umum primer terutama manifestasi dari epilepsi
kriptogenik atau epilepsi karena fokus epileptogenik heriditer. Jenis
epilepsi pada kelompok ini adalah Petitmal, grand mal dan Benign
epilepsy of childhood with Rolandic spikes (BECRS). Setelah usia 17
tahun anak dengan BECRS dapat bebas serangan tanpa menggunakan
obat.
4. Kelompok umur lebih dari 9 tahun.
a. Kelompok epilepsi heriditer : BERCS, kelompok epilepsi fokal atau
epilepsi umum lesionik.
b. Kelompok epilepsi simtomatik : epilepsi lobus temporalis atau epilepsi
psikomotor. Kecuali BECRS, pasien epilepsi jenis tersebut dapat tetap
dilanda bangkitan epileptik pada kehidupan selanjutnya. Epilepsi jenis
absence dapat muncul pada kelompok ini.

2.5. PATOFISIOLOGI
Secara etiopatologik, bangkitan epilepsi bisa diakibatkan oleh cedera
kepala, stroke, tumor otak, infeksi otak, keracunan, atau juga pertumbuhan
jarigan saraf yang tidak normal (neurodevelopmental problems), pengaruh
genetik yang mengakibatkan mutasi. Mutasi genetik maupun kerusakan sel
14

secara fisik pada cedera maupun stroke ataupun tumor akan mengakibatkan
perubahan dalam mekanisme regulasi fungsi dan struktur neuron yang
mengarah pada gangguan pertumbuhan ataupun plastisitas di sinapsis.
Perubahan (fokus) inilah yang bisa menimbulkan bangkitan listrik di otak.3
Bangkitan epilepsi bisa juga terjadi tanpa ditemukan kerusakan
anatomi (focus) di otak. Disisi lain epilepsi juga akan bisa mengakibatkan
kelainan jaringan otak sehingga bisa menyebabkan disfungsi fisik dan
retardasi mental. Dari sudut pandang biologi molekuler, bangkitan epilepsi
disebabkan oleh ketidakseimbangan sekresi maupun fungsi neurotransmiter
eksitatorik dan inhibitorik di otak. Keadaan ini bisa disebabkan sekresi
neurotransmiter dari presinaptik tidak terkontrol ke sinaptik yang selanjutnya
berperan pada reseptor NMDA atau AMPA di post-sinaptik. Keterlibatan
reseptor NMDA subtipe dari reseptor glutamat (NMDAR) disebut sebut
sebagai patologi terjadinya kejang dan epilepsi. 3
Secara farmakologik, inhibisi terhadap NMDAR ini merupan prinsip
kerja dari obat antiepilepsi. Beberapa penelitian neurogenetik membuktikan
adanya beberapa faktor yang bertanggungjawab atas bangkitan epilepsi antara
lain kelainan pada ligand-gate (sub unit dari reseptor nikotinik) begitu juga
halnya dengan voltage-gate (kanal natrium dan kalium). Hal ini terbukti pada
epilepsi lobus frontalis yang ternyata ada hubungannya dengan terjadinya
mutasi dari resepot nikotinik subunit alfa. 3
Berbicara mengenai kanal ion maka peran natrium, kalium dan
kalsium merupakan ion-ion yang berperan dalam sistem komunikasi neuron
lewat reseptor. Masuk dan keluarnya ion-ion ini menghasilkan bangkitan
listrik yang dibutuhkan dalam komunikasi sesame neuron. Jika terjadi
kerusakan atau kelainan pada kanal ion-ion tersebut maka bangkitan listrik
akan juga terganggu sebagaimana pada penderita epilepsi. Kanal ion ini
berperan dalam kerja reseptor neurotransmiter tertentu. Dalam hal epilepsi
dikenal beberapa neurotransmiter seperti gamma aminobutyric acid (GABA)

15

yang dikenal sebagai inhibitorik, glutamat (eksitatorik), serotonin (yang


sampai sekarang masih tetap dalam penelitian kaitan dengan epilepsi,
asetilkholin yang di hipokampus dikenal sebagai yang bertanggungjawab
terhadap memori dan proses belajar. 3
Berbagai macam penyakit dapat menyebabkan terjadinya perubahan
keseimbangan antara neuron inhibitor dan eksitator, misalnya kelainan
heriditer, kongenital, hipoksia, infeksi, tumor, vaskuler, obat atau toksin.
Kelainan tersebut dapat mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan atau
meningkatnya fungsi neuron eksitasi, sehingga mudah timbul epilepsi bila ada
rangsangan yang memadai. 3
Daerah yang rentan terhadap kerusakan bila ada abnormalitas otak
antara lain di hipokampus. Oleh karena setiap serangan kejang selalu
menyebabkan kenaikan eksitabilitas neuron, maka serangan kejang cenderung
berulang dan selanjutnya menimbulkan kerusakan yang lebih luas. Pada
pemeriksaan jaringan otak penderita epilepsi yang mati selalu didapatkan
kerusakan di daerah hipokampus. Oleh karena itu tidak mengherankan bila
lebih dari 50% epilepsi parsial, fokus asalnya berada di lobus temporalis
dimana terdapat hipokampus dan merupakan tempat asal epilepsi dapatan.5
Pada bayi dan anak-anak, sel neuron masih imatur sehingga mudah
terkena efek traumatik, gangguan metabolik, gangguan sirkulasi, infeksi dan
sebagainya. Efek ini dapat berupa kemusnahan neuron-neuron serta sel-sel
glia atau kerusakan pada neuron atau glia, yang pada gilirannya dapat
membuat neuron glia atau lingkungan neuronal epileptogenik. Kerusakan otak
akibat trauma, infeksi, gangguan metabolisme dan sebagainya, semuanya
dapat mengembangkan epilepsi. Akan tetapi anak tanpa brain damage dapat
juga menjadi epilepsi, dalam hal ini faktor genetik dianggap penyebabnya,
khususnya grand mal dan petit mal serta benigne centrotemporal epilepsy.
Walaupun demikian proses yang mendasari serangan epilepsi idiopatik,
melalui mekanisme yang sama.5

16

2.6. MANIFESTASI KLINIK


Kejang parsial simplek dimulai dengan muatan listrik di bagian otak
tertentu dan muatan ini tetap terbatas di daerah tersebut. Penderita mengalami
sensasi, gerakan atau kelainan psikis yang abnormal, tergantung kepada
daerah otak yang terkena. Jika terjadi di bagian otak yang mengendalikan
gerakan otot lengan kanan, maka lengan kanan akan bergoyang dan
mengalami sentakan; jika terjadi pada lobus temporalis anterior sebelah
dalam, maka penderita akan mencium bau yang sangat menyenangkan atau
sangat tidak menyenangkan. Pada penderita yang mengalami kelainan psikis
bisa mengalami dj vu (merasa pernah mengalami keadaan sekarang di masa
yang lalu). 9
Kejang parsial (psikomotor) kompleks dimulai dengan hilangnya
kontak penderita dengan lingkungan sekitarnya selama 1-2 menit. Penderita
menjadi goyah, menggerakkan lengan dan tungkainya dengan cara yang aneh
dan tanpa tujuan, mengeluarkan suara-suara yang tak berarti, tidak mampu
memahami apa yang orang lain katakan dan menolak bantuan. Kebingungan
berlangsung selama beberapa menit, dan diikuti dengan penyembuhan total.10
Kejang konvulsif (kejang tonik-klonik, grand mal) biasanya dimulai
dengan kelainan muatan listrik pada daerah otak yang terbatas. Muatan listrik
ini segera menyebar ke daerah otak lainnya dan menyebabkan seluruh daerah
mengalami kelainan fungsi.
Epilepsi primer generalisata ditandai dengan muatan listrik abnormal
di daerah otak yang luas, yang sejak awal menyebabkan penyebaran kelainan
fungsi. Pada kedua jenis epilepsi ini terjadi kejang sebagai reaksi tubuh
terhadap muatan yang abnormal. Pada kejang konvulsif, terjadi penurunan
kesadaran sementara, kejang otot yang hebat dan sentakan-sentakan di seluruh
tubuh, kepala berpaling ke satu sisi, gigi dikatupkan kuat-kuat dan hilangnya

17

pengendalian kandung kemih. Sesudahnya penderita bisa mengalami sakit


kepala, linglung sementara dan merasa sangat lelah. Biasanya penderita tidak
dapat mengingat apa yang terjadi selama kejang.10
Kejang petit mal dimulai pada masa kanak-kanak, biasanya sebelum
usia 5 tahun. Tidak terjadi kejang dan gejala dramatis lainnya dari grand mal.
Penderita hanya menatap, kelopak matanya bergetar atau otot wajahnya
berkedut-kedut selama 10-30 detik. Penderita tidak memberikan respon
terhadap sekitarnya tetapi tidak terjatuh, pingsan maupun menyentak-nyentak.
Status epileptikus merupakan kejang yang paling serius, dimana kejang terjadi
terus menerus, tidak berhenti. Kontraksi otot sangat kuat, tidak mampu
bernafas sebagaimana mestinya dan muatan listrik di dalam otaknya menyebar
luas.10 Jika tidak segera ditangani, bisa terjadi kerusakan jantung dan otak
yang menetap dan penderita bisa meninggal.
Gejala kejang berdasarkan sisi otak yang terkena10
Sisi otak yang terkena

Gejala

Lobus frontalis

Kedutan pada otot tertentu

Lobus oksipital

Halusinasi kilatan cahaya

Lobus parietalis

Mati rasa atau kesemutan dibagian tubuh


tertentu

Lobus temporalis

Halusinasi gambaran dan prilaku repetitive


yang kompleks
Misalnya berjalan berputar-putar

Lobus temporalis anterior

Gerakan mengunyah , gerakan bibir mencium

Lobus temporalis anterior sebelah

Halusinasi bau, baik yang menyenakan

dalam

maupun yang tidak menyenangkan

2.7. DIAGNOSIS
18

Untuk dapat mendiagnosis seseorang menderita epilepsi dapat dilakukan melalui


anamnesis dan pemeriksaan klinis dengan hasilpemeriksaan EEG dan radiologis.
Namun demikian, bila secara kebetulan melihat serangan yang sedang
berlangsung maka epilepsi (klinis) sudah dapat ditegakkan.
1. Anamnesis
Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh, karena
pemeriksa hampir tidak pemah menyaksikan serangan yang dialami penderita.
Penjelasan perihal segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama dan sesudah
serangan (meliputi gejala dan lamanya serangan) merupakan informasi yang
sangat berarti dan merupakan kunci diagnosis. Anamnesis juga memunculkan
informasi tentang trauma kepala dengan kehilangan kesadaran, meningitis,
ensefalitis, gangguan metabolik, malformasi vaskuler dan obat-obatan tertentu.
Anamnesi (auto dan aloanamnesis), meliputi:
- Pola / bentuk serangan
- Lama serangan
- Gejala sebelum, selama dan paska serangan
- Frekwensi serangan
- Faktor pencetus
- Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
- Usia saat serangan terjadinya pertama
- Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan
- Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya
- Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga

2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis

19

Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi,


seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital, gangguan
neurologik fokal atau difus. Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-sebab
terjadinya serangan dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai
pegangan. Pada anak-anak pemeriksa harus memperhatikan adanya keterlambatan
perkembangan, organomegali, perbedaan ukuran antara anggota tubuh dapat
menunjukkan awal gangguan pertumbuhan otak unilateral.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Elektro ensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan
pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk rnenegakkan
diagnosis epilepsi. Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan
adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG
menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik. Rekaman
EEG dikatakan abnormal.
1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua
hemisfer otak.
2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat disbanding
seharusnya misal gelombang delta.
3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya
gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan gelombang
lambat yang timbul secara paroksimal. Bentuk epilepsi tertentu mempunyai
gambaran EEG yang khas, misalnya spasme infantile mempunyai gambaran EEG
hipsaritmia, epilepsi petit mal gambaran EEG nya gelombang paku ombak 3
siklus per detik (3 spd), epilepsi mioklonik mempunyai gambaran EEG
gelombang paku / tajam / lambat dan paku majemuk yang timbul secara serentak
(sinkron).
b. Rekaman video EEG

20

Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang penderita yang sedang
mengalami serangan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis dan lokasi sumber
serangan. Rekaman video EEG memperlihatkan hubungan antara fenomena klinis
dan EEG, serta memberi kesempatan untuk mengulang kembali gambaran klinis
yang ada. Prosedur yang mahal ini sangat bermanfaat untuk penderita yang
penyebabnya belum diketahui secara pasti, serta bermanfaat pula untuk kasus
epilepsi refrakter. Penentuan lokasi fokus epilepsi parsial dengan prosedur ini
sangat diperlukan pada persiapan operasi.
c. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging bertujuan untuk melihat
struktur otak dan melengkapi data EEG. Bila dibandingkan dengan CT Scan maka
MRI lebih sensitif dan secara anatomik akan tampak lebih rinci. MRI bermanfaat
untuk membandingkan hipokampus kanan dan kiri
1.7.

TATALAKSANA

Obat-obat anti epilepsi


Obat antiepilepsi (OAE) merupakan terapi utama pada manajemen
epilepsi. Keputusan untuk memulai terapi didasarkan pada pertimbangan
kemungkinan terjadinya serangan epilepsi selanjutnya dan risiko terjadinya efek
buruk akibat terapi obat antiepilepsi. Politerapi seharusnya dihindari sebisa
mungkin. Namun demikian, kurang lebih 30-50% pasien tidak berrespon terhadap
monoterapi.Tujuan pengobatan epilepsi dengan obat antiepilepsi adalah
menghindari terjadinya kekambuhan dengan efek buruk yang minimal (yang
dapat ditoleransi).
Tentang OAE yang akan dipilih, didasarkan atas aspek farmakologiknya,
sudah ada standar tertentu sebagai pedoman umum untuk diterapkan di klinik.
Dalam praktek tidak jarang dijumpai penyimpangan yang telah diperoleh perlu
dikombinasikan

dengan

sebaik-baiknya.

Akhirnya

semuanya

membentuk kearifak kita dalam menghadapi setiap kasus epilepsy.

21

tadi

akan

Di Indonesia telah telah tersedia berbagai jenis OAE dengan berbagai


merk dagang dengan harga yang cukup lebar. Fenitoin dalam bentuk bahan baky
mempunyai harga yang paling murah, kemudian disusul harga fenobarbital. Obatobat jadi dengan merk dagang tertentu pada umumnya cukup mahal.
Bagaimanapun factor harga perlu dipertimbangkan. Program jangka panjang,
dosis obat terbagi, dan kurangnya pengertian tentang program terapi epilepsi
merupakan factor penghambat turunya minum obat. Kepatuhan minum obat
merupakan hal penting untuk serangan.
Harga obat murah dikaitkan dengan obat generik. Obat generik terdapat
masalah

yang

perlu

diperhatikan.

Khususnya

fenitoin,

maka

harus

dipertimbangkan :
a. Resiko terjadinya perubahan konsentrasi obat dalam serum
b. Bila terjadi perubahan konsentrasi obat dalam serum dapat menimbulkan
efek samping dan hilangnya kemanjuran obat.
c. Perbandingan obat generic dengan obat jadi yang memakai merk dagang
tertentu
d. Biaya pemeriksaan laboratorium untuk memantau konsentrasi obat
e. Resiko untuk memperoleh obat yang berbeda sediaannya, antara resep
yang pertama, kedua, dan seterusnya
f. Efek obat generic yang mempengaruhi kepatuhan penderita
g. Motivasi penderita untuk menerima obat generic
Konsekuensi dari pemilihan OAE adalah
a. Paham sepenuhnya tentang aspek farmakologik OAE yang dipilih
b. Mampu member penjelasan kepada penderita ataupun keluarganya tentang
OAE tadi secara sederhana, program yang akan dijalani, dan berbagai
kemungkinan yang dapat timbul sehubungan dengan obat yang akan
diminum. Disamping itu efek OAE terhadap kondisi tertentu perlu
dimengerti,

contoh

pada

anak-anak,

merencanakan hamil.
Prinsip-prinsip terapi obat antiepilepsi :

22

wanita

yang

sedang

atau

1. Menentukan diagnosis yang tepat


Diagnosis yang tepat sangat penting pada epilepsi. Orang yang terdiagnosis
epilepsi mempunyai beberapa konsekuensi. Penderita epilepsi akan meminum
obat dalam jangka waktu yang lama yang berakibat pada kemungkinan adanya
efek yang merugikan akibat obat antiepilepsi. Penderita juga dinilai oleh
masyarakat sebagai penderita epilepsi yang menurut penilaian masyarakat
penyakit tersebut adalah penyakit kutukan. Sangat disayangkan apabila penderita
sinkop yang berulang, diterapi dengan obat antiepilepsi. Oleh karena itu
dibutuhkan pengetahuan yang baik bagi seorang dokter untuk mendiagnosis
epilepsi. Jangan pernah coba-coba dalam terapi epilepsi.
2. Menentukan kapan dimulainya terapi dengan obat antiepilepsi
Salah satu kesulitan yang dihadapi seorang dokter dalam merawat pasien
dengan serangan epilepsi adalah memutuskan kapan memulai pengobatan.
Keputusan ini seharusnya dibuat setelah mendiskusikan dan mengevaluasi
keadaan pasien, menimbang manfaat dan kerugian pengobatan.
Setelah kejang pertama
Langkah pertama untuk memulai pengobatan adalah menilai risiko
terjadinya bangkitan selanjutnya. Jika bangkitan merupakan bangkitan non
epileptik, pengobatan harus ditujukan pada faktor penyebab yang mendasari. Jika
bangkitan hipoglikemik pada anak maka diterapi dengan glukosa, bangkitan
karena putusnya alcohol dapat dikontrol paling baik dengan perubahan perilaku
adiktif dan jika bangkitan karena masalah psikogenik dapat diatasi dengan
konseling yang tepat. Terapi bangkitan epilepsi ditentukan oleh penilaian dua hal,
risiko pengobatan dan manfaat pengobatan. Sebagai contoh, anak penderita
epilepsi benigna dengan spikes di sentrotemporal mungkin tidak membutuhkan
terapi dengan obat karena penelitian-penelitian menunjukkan bahwa setelah
mengalami hanya sedikit serangan nokturnal, mereka jarang mengalami kondisi

23

ini. Jika terdapat lesi struktural, biasanya bangkitan akan berulang (termasuk
tumor otak, displasia kortikal dan malformasi arteriovenosa).
Jika diagnosis sudah ditegakkan, setelah bangkitan pertama jangan ragu-ragu
untuk

memberikan

terapi

untuk

memulai

terapi

farmakologi

dan

mempertimbangkan dilakukannya tindakan bedah.


Namun demikian, pada banyak kasus, penggalian faktor penyebab spesifik
seringkali gagal. Keputusan untuk mulai memberikan pengobatan setelah kejang
pertama, menurut Leppik (2001) dapat dibagi menjadi tiga kategori berdasarkan
risiko terjadinya kejang selanjutnya, yaitu treat, possibly treat dan probably treat.
Tabel 1
A. Treat :
1. Jika didapatkan lesi struktural :
a. Tumor otak seperti meningioma, glioma, neoplastik
b. Malformasi arteriovenosa
c. Infeksi seperti abses dan ensefalitis herpetika
2. Tanpa lesi struktural, namun dengan :
a. Riwayat epilepsi pada saudara (bukan pada orang tua)
b. EEG dengan pola epilepsi yang jelas (epileptiform)
c. Riwayat kejang akut (kejang akibat penyakit tertentu atau kejang demam
pada masa kanak-kanak)
d. Riwayat trauma otak atau stroke, infeksi SSP, trauma kepala berat
e. Todds postical paresis
f. Status epileptikus
24

B. Possibly :
Bangkitan tanpa ada penyebab yang jelas dan tidak ditemukan faktor risiko di atas.
Untuk keadaan seperti ini diperlukan pertimbangan yang matang mengenai
keuntungan dan risiko dari pengobatan obat antiepilepsi. Risiko pengobatan obat
antiepilepsi umumnya rendah, sedangkan akibat dari bangkitan kedua tergantung gaya
hidup pasien.pengobatan mungkin diindikasikan untuk pasien yang akan mengendarai
kendaraan atau pasien yang mempunyai risiko besar atau trauma jika mengalami
bangkitan kedua.
C. Probably not (meskipun terapi jangka pendek mungkin bisa digunakan) :
a. Putusnya alkohol
b. Penyalahgunaan obat
c. Kejang akibat penyakit akut seperti demam tinggi, dehidrasi, hipoglikemik
d. Kejang karena trauma(kejang tunggal dengan segera setelah pukulan di kepala)
e. Sindrom epilepsi benigna spesifik seperti : kejang demam atau epilepsi benigna
dengan spikes sentrotemporal.
f. Kejang karena tidak tidur lama seperti kejang pada pelajar dalam waktu-waktu
ujian
Setelah kejang lebih dua kali atau lebih
Pada umumnya pasien yang mengalami serangan dua kali atau lebih
membutuhkan pengobatan. Kecuali pada serangan-serangan tertentu seperti
kejang akibat putusnya alcohol, penyalahgunaan obat, kejang akibat penyakit akut
seperti demam tinggi, dehidrasi, hipoglikemik, kejang karena trauma (kejang
tunggal dengan segera setelah pukulan di kepala), sindrom epilepsi benigna
spesifik seperti : kejang demam atau epilepsi benigna dengan spikes
sentrotemporal, kejang karena tidak tidur lama seperti kejang pada pelajar dalam
waktu-waktu ujian dan kejang akibat penyebab non epileptik lainnya. Kejang
akibat hal-hal di atas sebaiknya ditangani sesuai kausanya. Pada pasien yang
25

mengalami kejang pertama namun tidak ada faktor risiko satupun yang
ditemukan, maka kemungkinan terjadinya kejang yang kedua 10% pada tahun
pertama dan 24% pada akhir tahun kedua setelah kejang yang pertama. Keputusan
untuk memulai terapi diambil dengan pertimbangan risk and benefit setelah
sebelumnya dokter berdiskusi dengan pasien. Sebagai contoh terapi diindikasikan
untuk pasien yang bekerja sebagai sopir karena jika terjadi kekambuhan sewaktuwaktu maka akan membahayakan pasien bahkan mengancam nyawa pasien.
Pengobatan yang dilakukan pada penderita yang mempunyai sedikit bahkan tidak
mempunyai risiko terjadinya kejang kedua biasanya hanya terapi jangka pendek.
Risiko terjadinya kekambuhan yang paling besar terjadi pada dua tahun pertama.
Seandainya pasien diputuskan untuk diobati, maka penghentian pengobatan
dilakukan setelah tahun kedua dari kejang yang pertama.
3. Memilih obat yang paling sesuai
Pemilihan obat antiepilepsi didasarkan pada dua hal, tipe serangan dan
karakteristik pasien
a) Tipe serangan
Tabel 2 modifikasi brodie et al (2005) dan panayiotopoulos (2005)
Tipe serangan

First-line

Second-line/

Third line/

add on
Asam valproat

add on
Tiagabin

Fenitoin

Levetiracetam

Vigabatrin

Fenobarbital

Zonisamid

Felbamat

Okskarbazepin

Pregabalin

Pirimidon

Parsial simple & Karbamazepine


kompleks dengan
atau

tanpa

general sekunder

Lamotrigin

26

Topiramat

Tonik klonik

Mioklonik

Gabapentin
Asam valproat

Lamotrigin

Topiramat

Karbamazepine

Okskarbazepin

Levetiracetam

Fenitoin

Zonisamid

Fenobarbital
Asam valproat

Topiramat

Pirimidon
Lamotrigin

Levetiracetam

Clobazam

Zonisamid

Clonazepam

Etosuksimid

Fenobarbital
Levetiracetam

Lamotrigin
Asam valproat

Lamotrigin

Zonisamid
Felbamat

Asam valproat

Topiramat
Clonazepam

Fenitoin

Clobazam

Absence (tipikal Asam valproat


dan atipikal)
Atonik

Tonik

Fenobarbital
Epilepsy absence Asam valproat
juvenil
Epilepsy
mioklonik
juvenil

Clonazepam

Etosuksimid
Asam valproat

Clonazepam

Fenobarbital

Etosuksimid

b) karakteristik pasien

27

Dalam pengobatan dengan obat antiepilepsi karakteristik pasien harus


dipertimbangkan secara individu. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah :
efek buruk obat, dosis yang tepat, harga, pola hidup dan usia pasien. Suatu obat
antiepilepsi mungkin efektif pada pasien tertentu namun jika ada kontra indikasi
atau terjadi reaksi yang tidak bisa ditoleransi maka sebaiknya penggantian obat
dilakukan. Sebagai contoh asam valproat pada wanita, khususnya wanita yang
masih dalam usia subur.
4. Optimalisasi terapi dengan dosis individu
Ketika obat sudah dipilih terapi seharusnya dimulai dari dosis yang paling
rendah yang direkomendasikan dan pelan-pelan dinaikkan dosisnya sampai kejang
terkontrol dengan efek samping obat yang minimal (dapat ditoleransi).
Perlu dilakukan evaluasi respon klinik pasien terhadap dosis obat yang diberikan
dengan melihat respon setelah obat mencapai kadar yang optimal dan kemudian
memutuskan apakah selanjutnya dibutuhkan penyesuaian atau tidak. Setelah
evaluasi dilakukan, baru kemudian dipertimbangkan adanya penambahan dosis.
Dosis awal :
Terapi obat antiepilepsi harus diberikan secara bertahap dalam satu bulan
terapi untuk meminimalkan efek samping gastrointestinal dan neurologik yang
biasanya terjadi pada permulaan terapi dengan obat antiepilepsi. Frekuensi efek
samping ini cenderung menurun pada beberapa bulan setelah terapi karena dapat
ditoleransi. Beberapa cara pemberian dosis awal :
Pemberian obat mulai dari dosis subterapetik
Sejumlah obat antiepilepsi memberikan efek samping yang dihubungkan
dengan dosis awal, di antaranya karbamazepin, etosuksimide, felbamate,
lamotrigin, pirimidone, tiagabin, topiramat dan asam valproat. Munculnya ruam
pada penggunaan lamotrigin dihubungkan dengan dosis. Untuk meminimalkan
28

efek samping pada pemberian awal ini, obat-obat tersebut biasanya diberikan
mulai dengan dosis subterapetik dan dinaikkan secara bertahap sampai beberapa
minggu tercapainya range dosis yang dianjurkan. Jika efek buruk tidak dapat
ditoleransi selama proses titrasi ini, dosis harus kembali pada kadar sebelumnya
yang dapat ditoleransi pasien. Setelah simptom menghilang, proses titrasi dimulai
kembali dengan menaikkan dosis yang lebih kecil.
Pemberian obat mulai dari dosis terapetik
Efek buruk terkait dosis awal pemberian pada obat-obat antiepilepsi
seperti gabapentin, fenitoin, dan fenobarbital merupakan masalah yang ringan
sehingga terapi dengan obat tersebut dapat diberikan mulai dengan dosis terapetik
yang direkomendasikan.
Evaluasi ulang
Sebelum berpikir ke arah kegagalan obat antiepilepsi dan penggantian obat
antiepilepsi dengan obat lain, factor-faktor berikut harus dievaluasi kembali :

Diagnosis epilepsi
Klasifikasi tipe serangan atau sindrom epilepsi
Adanya lesi aktif
Dosis yang adekuat dan atau lamanya terapi (missal : apakah dosis
terpaksa diberikan dengan kadar maksimal yang dapat ditoleransi?
apakah pengaturan dosis yang diberikan cukup waktu untuk mencapai

kondisi optimal?)
e. Ketaatan terhadap pengobatan (ketidaktaatan merupakan penyebab
yang paling umum terjadinya kegagalan pengobata dan kambuhnya
bangkitan).

Table 3 dosis obat antiepilepsi untuk dewasa diambil dari Brodie et al (2005)

29

Obat

Dosis
(mg/hari)

awalDosis
paling
(mg/hari)

yangDosis
umummaintenance
(mg/hari)

30

Frekuensi
pemberian
(kali/hari)

Efek samping

Fenitoin

200

Karbamazepin 200

300

600

100-700

400-2000

1-2

2-4

Hirsutisme,
distres

lambung,

kabur,

vertigo,

Lamotrigin

12,5-25

900-1800
200-400

900-2700
100-800

100

400

400-600

penglihatan
hiperglikemia,

sedasi,

penglihatan

2-3

kabur, konstipasi, ruam kulit


Gangguan GI, sedasi, diplopia,

1-2

hiponatremia, ruam kulit


Hepatotoksik, ruam, sindrom
steven-johnson,

Zonisamid

gusi,

anemia makrositik
Depresi sumsum tulang, distress
lambung,

Okskarbazepin150-600

hipertrofi

1-2

nyeri

kepala,

pusing, penglihatan kabur


Somnolen, ataksia, kelelahan,
anoreksia, pusing, batu ginjal,

Ethosuximid 500
Felbamat
Topiramat

1200
25-50

1000
2400
200-400

500-2000
1800-4800
100-100

1-2

leukopenia
Mual, muntah, BB , konstipasi,

diare, gangguan tidur


gg. GI, BB , anoreksia, nyeri

kepala, insomnia, hepatotoksik


Faringitis, insomnia, BB ,
konstipasi, mulut kering, sedasi,
anoreksia

Clobazam
10
Clonazepam 1
Fenobarbital 60
Pirimidon
125
Tiagabin
4-10

20
4
120
500
40

10-40
2-8
60-240
250-1500
20-60

1-2
1-2
1-2
1-2
2-4

Mengantuk, kebingungan, nyeri


kepala, vertigo, sinkop
Sedasi, distress lambung
Mulut kering, pusing, sedasi,
langkah terhuyung, nyeri kepala,
eksaserbasi kejang generalisata

Vigabatrin
Gabapentin

500-1000 3000
300-400 2400

2000-4000
1200-4800

1-2
3

Leukopenia,mulut
penglihatan

kabur,

kering,
mialgia,

penambahan berat, kelelahan


Pregabalin

150

300

150-600
31

2-3

Valproat
500
Levetiracetam 1000

1000
500-3000
2000-3000 1000-4000

2-3
2

Mual, hepatotoksik

5. Penggantian Obat
Penggantian obat antiepilepsi pertama dilakukan jika :
a) Jika serangan terjadi kembali meskipun obat antiepilepsi pertama sudah
diberikan dengan dosis maksimal yang dapat ditoleransi, maka obat
antiepilepsi kedua harus segera dipilih.
b) Jika terjadi reaksi obat pertama baik efek samping, reaksi alergi ataupun
efek merugikan lainnya yang tidak dapat ditoleransi pasien.
Terapi dengan obat yang kedua harus dimulai dengan gambaran sebagai
berikut: pertama, dosis dari obat kedua harus dititrasi sampai pada range dosis
yang direkomendasikan. Obat yang pertama harus diturunkan secara bertahap
selama 1-3 minggu. Setelah obat yang pertama diturunkan, dosis obat kedua
(monoterapi) harus dinaikkan sampai serangan terkontrol atau dengan efek
samping yang minimal. Proses ini harus dilanjutkan sampai monoterapi dengan
dua atau tiga obat primer gagal. Setelah proses tersebut dilakukan baru politerapi
dipertimbangkan.
c) Monoterapi
Monoterapi rupanya sudah menjadi pilihan dalam memulai pengobatan
epilepsi. Berbagai keuntungan diperoleh dengan cara itu, yakni: (1) mudah
dilakukan evaluasi hasil pengobatan, (2) mudah dievaluasi kadar obat dalam
darah, (3) efek samping minimal, (dapat ditoleransi pada 50-80% pasien)
(Pellock, 1995), dan (4) terhindar dari interaksi obat-obat. Dewasa ini terapi obat
pada penderita epilepsi, apapun jenisnya, selalu dimulai dengan obat tunggal.
Pilihan obat ditentukan dengan melihat tipe epilepsi/bangkitan dan obat yang
paling tepat sebagai pilihan pertama. Sekitar 75% kasus yang mendapat obat
tunggal akan mengalami remisi dengan hanya mendapat efek samping minimal.
32

Akan tetapi sisanya akan tetap mengalami bangkitan dan memerlukan kombinasi
obat (Gram, 1995).
Berbagai faktor yang mendorong kemajuan penanganan epilepsi di
antaranya ialah: (1) klasifikasi epilepsi menurut International League Againts
Epilepsy, (2) pemantauan kadar obat antiepilepsi, (3) konsep monoterapi, (4)
ditemukannya OAE baru dengan mekanisme aksi yang jelas, (5) pandangan baru
tentang etiologi epilepsi, (6) lebih jelasnya mekanisme terjadinya bangkitan, dan
(7) dikembangkannya berbagai perangkat untuk menentukan letak lesi. Secara
farmakologis, satu OAE dengan satu mekanisme aksi merupakan unsur yang
penting dalam manajemen epilepsi di kemudain hari.tc "Sekitar 75% kasus yang
mendapat obat tunggal akan mengalami remisi dengan hanya mendapat efek
samping minimal. Akan tetapi sisanya akan tetap mengalami bangkitan dan
memerlukan kombinasi obat (Gram, 1995). Berbagai faktor yang mendorong
kemajuan penanganan epilepsi di antaranya ialah\: (1) klasifikasi epilepsi menurut
International League Againts Epilepsy, (2) pemantauan kadar obat antiepilepsi,
(3) konsep monoterapi, (4) ditemukannya OAE baru dengan mekanisme aksi yang
jelas, (5) pandangan baru tentang etiologi epilepsi, (6) lebih jelasnya mekanisme
terjadinya bangkitan, dan (7) dikembangkannya berbagai perangkat untuk
menentukan letak lesi. Secara farmakologis, satu OAE dengan satu mekanisme
aksi merupakan unsur yang penting dalam manajemen epilepsi di kemudain hari."
Kenaikan inhibisi GABA-ergik merupakan salah satu sasaran penanganan
epilepsi. Satu OAE dengan satu mekanisme akso tunggal serta dengan satu target
mungkin merupakan pilihan utama, daripada satu OAE dengan berbagai target.
Pada suatu kasus epilepsi dengan sebab multifokal, dapat diberikan satu OAE
untuk tiap target (Gram, 1995).tc "Kenaikan inhibisi GABA-ergik merupakan
salah satu sasaran penanganan epilepsi. Satu OAE dengan satu mekanisme akso
tunggal serta dengan satu target mungkin merupakan pilihan utama, daripada satu
OAE dengan berbagai target. Pada suatu kasus epilepsi dengan sebab multifokal,
dapat diberikan satu OAE untuk tiap target (Gram, 1995)."

33

d) Politerapi
Politerapi nampaknya tidak selalu merugikan. Goldsmith & de Biitencourt
(1995) mengatakan bahwa generasi baru OAE yang dapat ditoleransi dengan baik
dan sedikit interaksi, dapat digunakan untuk politerapi. Studi tersebut
menggunakan vigabatrin sebagai terapi tambahan pada 19 kasus epilepsi parsial
refrakter. Pasien-pasien tersebut sebelumnya sudah mendapat terapi rata-rata 1,5
macam obat. Dengan tambahan vigabatrin, 73% pasien mengalami reduksi
frekuensi bangkitannya lebih dari 50%; 52% kasus mengalami reduksi frekuensi
bangkitannya lebih dari 70%. Satu pasien frekuensi bangkitannya bertambah,
sedangkan 2 pasien mengalami bangkitan mioklonik.
Penggunaan politerapi memerlukan pengetahuan yang baik dalam
farmakologi klinik, terutama interaksi obat. Berbagai OAE lama, mempunyai
mode of action yang sama, karena itu interaksinya sering tidak menguntungkan
karena efek sampingnya aditif (Goldsmith & de Biitencourt,1995).
Kombinasi OAE yang lebih spesifik mungkin lebih menguntungkan,
misalnya: valproat dan etosuksimid dalam manajemen bangkitan absence
refrakter. Dibandingkan dengan obat-obat lama, obat-obat baru mempunyai
mekanisme yang berbeda dan lebih selektif. Mungkin akan lebih menguntungkan
apabila dipakai kombinasi spesifik. Selektif terapi kombinasi yang rasional,
memerlukan pertimbangan efek klinis OAE, efek samping, interaksi obat, kadar
terapetik dan kadar toksik serta mekanisme aksi tiap obat. Kombinasi optimal
dicapai dengan menggunakan obat-obat yang:
(1)
(2)
(3)
(4)

mempunyai mekanisme aksi berbeda;


efek samping relatif ringan;
indeks terapi lebar, dan
interaksi obat terbatas atau negatif.
Tujuan tercapai epilepsi antara lain ialah: bangkitan terkendali dengan efek

samping obat relatif rigan atau tidak ada sama sekali (Ferrendelli, 1995).

34

Fong (1995) mengatakan bahwa kombinasi obat hanya dipakai apabila


semua upaya monoterapi telah dicoba. Apabila kombinasi dua macam obat lini
pertama tidak menolong, obat yang mempunyai efek lebih besar dan efek samping
lebih kecil tetap diteruskan, sementara obat yang lain diganti diganti dengan obat
dari kelompok lini kedua. Apabila obat lini kedua tersebut efektif,
dipertimbangkan untuk menarik obat pertama. Sebaliknya, obat lini kedua
tersebut harus dihentikan apabila ternyata tidak juga efektif. Apabila upaya
tersebut di atas gagal, kasus tersebut mungkin tergolong dalam epilepsi refrakter,
kasus epilepsi yang sulit disembuhkan. Berbagai obat antiepilepsi (OAE) dapat
terus dicoba pada kasus itu, atau dipertimbangkan untuk tindakan bedah.
6. Pemantauan terapi
Manajemen umum epilepsi :
a. Mengevaluasi kembali diagnosis sehingga mendapat diagnosis yang tepat
b. Menentukan dan mengobati penyebab
c. Mengobati serangan :
- Menilai perlunya terapi obat :
- Terapi obat tidak diindikasikan untuk kejang akibat penyakit akut
-

yang reversible
Terapi obat tidak perlu untuk epilepsi-epilepsi benigna yang

diketahui dengan pasti ( kejang demam, rolandic epilepsy)


Dari kejang pertama (yang tidak diketahui penyebabnya), nilai
apakah banyak manfaatnya apabila mulai diterapi pada pasien-pasien

dengan risiko tinggi.


Pemberian obat antiepilepsi yang sesuai
Temukan dan hindari factor-faktor presipitat (alcohol, kurang tidur,

stress emosional, demam, kurang makan, menstruasi, dan lain-lain)


Evaluasi dan pertimbangkan untuk tindakan pembedahan dan
implantasi stimulator nervus vagus pada pasien yang sulit diobati

dengan obat antiepilepsi.


d. Mencegah komplikasi akibat serangan epilepsi :
- Hentikan kejang
- Hindari efek buruk obat yang tidak dapat ditoleransi pasien
- Perhatikan adanya komplikasi psikososial dan obati jika ada.
35

7. Ketaatan pasien
Penelitian Hakim (2006) menunjukkan bahwa kepatuhan minum obat
menrupakan faktor prediktor untuk tercapainya remisi pada epilepsi, dimana pada
penderita epilepsi yang patuh minum obat terbukti mengalami remisi 6 bulan, 12
bulan dan 24 bulan terus menerus dibanding dengan mereka yang tidak patuh
minum obat. Kriteria kepatuhan minum obat yang dipakai adalah menurut Ley
(1997) cit Hakim (2006) adalah penderita dikatakan patuh minum obat apabila
memenuhi 4 hal berikut : dosis yang diminum sesuai dengan yang dianjurkan,
durasi waktu minum obat doidiantara dosis sesuai yang dianjurkan, jumlah obat
yang diambil pada suatu waktu sesuai yang ditentukan, dan tidak mengganti
dengan obat lain yang tidak dianjurkan.
Berbagai faktor dapat mempengaruhi kepatuhan pasien dalam menjalani
pengobatan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kepatuhan minum obat
pada penderita epilepsi dipengaruhi oleh dukungan keluarga, dukungan dokter,
pengaruh faktor motivasi, adanya efek samping obat, pengobatan monoterapi ,
pengaruh biaya pengobatan serta adanya pengaruh stigma akibat epilepsi (Kyngas,
2001, Buck et al, 1997; cit Lukman,2006).
Sedangkan penelitian yang dilakukan Hakim (2006) menunjukkan bahwa
faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan minum obat pada penderita epilepsi
adalah dukungan keluarga, dukungan dokter, motivasi yang baik, kontrol teratur
dan tidak ada stigma akibat epilepsi. Dengan demikian, pada pengobatan epilepsi
kita harus memperhatikan faktor-faktor apa saja yang akan berpengaruh terhadap
keberhasilan pengobatan, disamping tentunya faktor obat yang efikasius, dosis
yang tepat dan cara pemberian obat yang tepat juga harus diperhatikan.
Pemakaian OAE pada anak

36

Berdasarkan penilaian neuropsikologik terhadap anak-anak dengan


epilepsi memperlihatkan masalah akademik muncul dari defisiensi kognitif
spesifik dan bukan disfungsi kognitif secara umum. Gangguan kognitif
berhubungan dengan jenis serangan, sindrom epilepsy, factor etiologi, munculnya
serangan pada usia dini, sering mengalami serangan, focus epilepsi, dan OAE.
Anak yang menerima politerapi pada umumnya mengalami gangguan kognitif
yang berat dari anak yang menerima monoterapi.
Defisiensi kognitif pada anak dengan epilepsi cukup bervariasi, missal
gangguan memori,

penurunan kapasitas

untuk memperlihatkan

sesuatu,

penurunan efisiensi dalam proses informasi, gangguan persepsi pendengaran dan


berbahasa.
Pemberian OAE pada anak harus dipertimbangkan scara benar, dengan
menghadapi efek berbeda terhadap fungsi kognitif dan perilaku. Pada anak
pengaruh fenobarbital terhadap fungsi kognitif tidak begitu nyata tetapi dapat
membuat anak menjadi hiperaktif. Sementara itu fenitoin dalam kadar serum yang
tinggi dapat menimbulkan enselopati yang progresif, retardasi mental, dan
penurunan kemampuan membaca. Karbamazepin dan valproat mengakibatkan
gangguan kognitif yang ringan. Pada kadar yang tinggi, valproat dapat
mengganggu fungsi motorik, sementara karbamzepin justru memperbaiki
kecepatan kinerja pada gerakan selektif tertentu. Lagi pula karbamzepin dapat
memperbaiki koordinasi mata-tangan dan keterampilan tangan.
Orang tuan penderita harus benar-benar mengetahui persoalan anaknya.
Maka orang tua harus diberikan pengertian yang cukup dari berbagai masalah
yang bersangkutan dengan epilepsy, agar diperoleh kerjasama yang baik. Dan
dokter harus bersikap terbuka dan siap member informasi bila diperlukan orang
tua penderita.
Pemakainan OAE pada wanita hamil

37

Sebagian penderita mengalami kenaikan frekuensi serangan selama hamil.


Fenomena ini karena berbagai factor dan yang paling mencolok adalah perubahan
konsentrasi OAE dalam serum. Dengan bertambahnya kehamilan maka
konsentrasi OAE makin menurun. Hal ini karena perubahan dalam ikatan protein
plasma.
Untuk memelihara konsentrasi OAE dalam serum dari penderita hamil,
dosis

OAE harus dinaikkan. Untuk fenitoin, dosisnya dinaikkan pada 85%

penderita ; sementara itu kenaikan karbamazepin terjadi pada 70% penderita dan
fenobarbital sebanyak 70% pula. Perubahan disposisi OAE dalam serum biasanya
mulai terjadi pada umur kehamilan 10 minggu. Satu bulan sesudah melahirkan,
konsentrasi dan dosis fenotoin akan kembali ke situasi sebelum terjadi kehamilan.
Dan untuk karbamazepin dan fonobarbital memerlukan waktu yang lama.
Strategi monoterapi ternyata menurunkan insidensi malformasi congenital
pada bayi yang ibunya mengalami epilepsy. Efek teratogenik karbamazepin atau
valproat lebih rendah daripada apabila kedua jenis obat tadi tidak diberikan
bersama-sama. Fenitoin bersama fenobarbital lebih bersifat teratogenik daripada
Fenobarbital saja. Semetara itu efek teratogenik OAE dapat bersifat tidak
langsung, yaitu melalui defisiensi asam folat. Dengan semikian dianjurkan agar
pemberian OAE kepada wanita hamil selalu diberi tambahan asam folat. Status
sosialekonomu yang rendah, umur penderita yang cukup tua untuk hamil, dan
riwayat keluarga positif malformasi neonatus. Malformasi pada janin dapat
diketahui lebih din, umur kehamilan 15-22 minggu, dengan menggunakan
pemeriksaan alfa fetoprotein dan ultrasoografi.
wanita hamil yang epilepsy harus diberi nasehat (teutama sebelum
konsepsi) bahwa insiden malformasi pada bayi, yang ibunya epilepsy dan diobati
dengan OAE, lebih tinggi (2-3 kali lipat) daripada bayi yang ibunya tidak
mengalami epilepsy. Lagi pula, anak-anak yang ibunya epilepsy, diobati atau tidak
dengan OAE, cenderung lebih banyak mengalami anomaly minor daripada anakanak yang ayahnya mengalami epilepsy atau yang tidak mengalami epilepsy.

38

Dari OAE yang termasuk golongan first-line (fenitoin, karbamzepin,


valproat, dan fenobarbital) maka belum diketahui secara pasti obat mana yang
paling bersifat teratogenik. Apabila pemberian OAE tidak dihindari, maka obat
pilihan pertama harus disesuaikan dengan jenis serangan dan diberikan secara
monoterapi dengan dosis efektif yang paling rendah. Diet sebelum konsepsi dan
organogenesis harus dilengkapi dengan asam folat yang cukup. Kemungkinan
adanya malformasidideteksi secara dini (prenatal). Penderita harus diawasi secara
ketat selama masa kehamilan, persalinan, dan masa nifas. Lebih dari 90%
penderita menerima OAE selama kehamilan akan melahirkan anak normal, tanpa
cacat bawaan.
Petunjuk pemberian OAE selama hamil
1. Gunakan obat pilihan pertama yang sesuai dengan jenis serangan dan
sindrom epilepsy
2. Laksanakan prinsip monoterapi dengan dosis dan kadar dalam serum yang
paling rendah dan efektif untuk melindungi terhadap serangan tonik-klonik
3. Hindari penggunaan valproat atau karmazepin apabila ada riwayat
keluarga tentang efek neural-tube
4. Hindari politerapi, khususnya kombinasi dengan valproat, karbamazepin
dan fenobarbital
5. Pantaulah kadar OAE dalam serum secara teratur dan apabila mungkin
periksalah kadar OAE bebas atau tak terkait
6. Teruskanlah pemberian tambahan folat setiap harinya dan pastikan kadar
folat dalam serum dan eritrosit dalam batas normal selama periode
organogenesis pada trimester pertama
7. Apabila kadar valproat, hindari kadar dalam serum yang tinggi. Bagilah
obat tadi 3-4 kali pemberian setiap harinya
8. Pada kasus-kasus yang diberi valproat atau karbamazepin, tawarkanlah
untuk pemeriksaan alfa fetoprotein pada umur kehamilan 16 minggu dan
pemeriksaan ultrasonografi pada kehamilan 18-19 minggu, untuk mencari
defek neural-tubee
Ultrasonografi pada kehamilan 22-24 minggu dapat mendeteksi sumbing
dan kelainan jantung

39

Epilepsi yang sukar diobati


Dalam literature dikenal istilah intractable epilepsy atau refractory epilepsy,
yang berarti bahwa serangan yang ada sulit untuk tak dapat dikendalikan dengan
OAE bahwa dengan dosis yang mendekati dosis toksik. Kasus demikian ini
merupakan 20-30% dari seluruh penderita epilepsy. Apabila menghadapi keadaan
maka ada beberapa hal yang perlu dipertanyakan, antara lain :
a.
b.
c.
d.
e.
f.

Apakah diagnosisnya sudah benar


Apakah penderita patuh minum obat secara teratur
Apakan OAE yang diberikan sudah sesuai dengan jenis serangan yang ada
Apakah ada gangguan absorbs pada saluran pencernaan
Apakah ada interaksi dengan obat yang lain
Apakah ada kelainan struktur otak, misalnya massa, tumor, infark,

kalsifikasi difus, hidrosefalus dan


g. Apakah ada factor presipitasi misalnya kurang tidur, kelelahan, cahaya
berkedip-kedip dan emosi
Beberapa jenis obat (OAE dan bukan OAE) telah dicoba untuk mengatasi
epilepsy yang sukar dikendalikan serangannya. Flunarizin dan nefepin, dua
jenis kalsium antagonist yang berbeda, pernah dicoba sebagai adjuvant untuk
mengatasi serangan epilepsy yang refrakter. Kedua obat tadi menunjukkan
hasil yang lumayan baik, namun demikian ada pula penderita yang tetap
mengalami serangan.

Terapi operatif
Apabila dengan berbagai jenis OAE dan adjuvant tidak memberikan hasil
sama sekali, maka terapi operatif harus diperimbangkan dalam satu dasawarsa
terakhir, tindakan operatif untuk mempercepat untuk mengatasi epilepsy refrakter
makin banyak dikerjakan. Operasi yang paling aman adalah reseksi lobus
temporalis bagian anterior. Lebih kurang 70-80% penderita yang mengalami
operasi terbebas dari serangan, walaupun diantaranya harus minum obat OAE.

40

Pendekatan teknik operasi lainnya adalah reseksi korteksi otak, hemisferektomi,


dan reseksi multilobular pada bayi dan pembedahan korpus kalosum.

Penghentian pengobatan
Keputusan untuk menghentikan pengobatan sama pentingnya dengan
memulai pengobatan. Dipihak lain, penderita atau orang tua nya pada umumnya
menanyakan : berapa lama atau sampai kapan harus minum obat? untuk
memutuskan apakah pengobatan dapat dihentikan atau belum, atau tidak dapat
dihentikan atau menjawab pertanyaan yang diajukan penderita/ orang tuanya tadi
memang tak mudah. Untuk itu perlu memahami diagnosis (termasuk serangannya)
dan prognosis epilepsy.
Jenis serangan dapat pula dipakai untuk memperkirakan tingkat
kekambuhan apabila OAE dihentikan. Tingkat kekambuhan yang paling rendah
adalah jenis serangan absence yang khas. Kemudian berturut-turut makin tinggi
tingkat kekambuhannya adalah klonik atau mioklonik, kejang tonik-klonik primer,
parsial sederhanadan parsial kompleks, serangan yang lebih dari satu jenis, dan
epilepsy Jackson.
Konsep penghentian obat minimal 2 tahun terbebas dari serangan pada
umumnya dapat diterima oleh kalangan praktisi. Penghentian obat dilaksanakan
secara bertahap, disesuaikan dengan keadaan klinis penderita. Dengan demikian
jelas bahwa penghentian OAE memerlukan pertimbangan yang cermat, dan
kepada penderita atau orang tuanya harus diberikan pengertian secukupnya.

41

42

43

BAB III
PENUTUP

3.1.

Kesimpulan

Epilepsi didefinisikan sebagai kumpulan gejala dan tanda-tanda klinis


yang muncul disebabkan gangguan fungsi otak secara intermiten, yang terjadi
akibat lepas muatan listrik abnormal atau berlebihan dari neuron-neuron secara
paroksismal. Manifestasi serangan atau bangkitan epilepsi secara klinis dapat
dicirikan sebagai berikut yaitu gejala yang timbulnya mendadak, hilang spontan
dan cenderung untuk berulang.

3.2.Saran
Mahasiswa yang sedang menjalani kepaniteraaan klinik perlu terus
melatih kemampuan melakukan pemeriksaan fisik khususnya neurologis,
sehingga tanda khas dari suatu kelainan dapat dikenali.

44

DAFTAR KEPUSTAKAAN

1. Guyton AC., Hall JE., Sistem saraf. In : Buku Ajar Fisiologi Kedokteran
(Textbook of Medical Physiology) Edisi 9.Penerbit Buku Kedokteran
EGC.Jakarta. 1996
2. Pinzon R., Dampak Epilepsi Pada Aspek Kehidupan Penyandangnya. SMF Saraf
RSUD Dr. M. Haulussy, Ambon, Indonesia. Cermin Dunia Kedokteran No. 157,
2007.
3. Epilepsi. Available at : http://www.fkui.org/.
4. Epilepsi. Available at : http://www.medicastore.com/
5. Epilepsi. Buku Ajar Neuropsikiatri Fakultas Kedokteran Unhas. 2004
6. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Epilepsi. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta. 1985
7. Behrman RE., Kliegman RM., Jenson HB., Nelson Textbook of Pediatrics. 17 th
edition. Saunders. Philadelphia. 2004.

45

Anda mungkin juga menyukai