Anda di halaman 1dari 4

Mengupas Teori Edward Lee Thorndike

27MEI
1.
Edward Lee Thorndike
Thorndike adalah seorang psikolog Amerika yang hidup antara tahun 1874 sampai 1949. Ia
kuliah di Wesleyan University, Hadvard dan di Columbia. Ia melakukan seluruh karir
profesionalnya di Teacher College, Columbia, kecuali satu tahun di Western Reserve, yakni
tahun 1809-1810.[1]
Thorndike juga sebagai perintis psikologi hewan eksperimental. Bukannya mengandalkan
kisah-kisah orang mengenai kecerdasan hewan tertentu, namun ia membawa hewan-hewan
itu ke dalam laboratorium, menghadapkan mereka pada berbagai problem yang telah
distandardisasi, dan melakukan observasi yang teliti mengenai cara mereka memecahkan
masalah.[2]
Pandangan Thorndike mengenai pembelajaran bahwa pembelajaran adalah pembentukan
hubungan stimulus-respon melalui langkah-langkah penguatan menjadi pandangan yang
dominan dalam teori pembelajaran Amerika.[3]
2. Teori Konektionisme
Thorndike adalah orang yang mengemukakan teori konektionisme. Dari penelitiannya dia
menyimpulkan bahwarespons lepas dari kurungan itu lambat laun diasosiakan dengan
situasi stimulus dalam belajar coba-coba, trial and error. Respons benar lambat laun
tertanam atau diperkuat melalui percobaan yang berulang-ulang. Respons yang tidak benar
diperlemah atau tercabut. Gejala ini disebut sub-stitusi respons. Teori itu juga dikenal
dengan nama kondisioning instrumental, karena pemilihan suatu respons itu merupakan alat
atau instrumental bagi memperoleh ganjaran.[4]
Sebagai contoh percobaan Thorndike dengan seekor kucing yang dibuat lapar dimasukkan ke
dalam kandang. Pada kandang itu dibuat lubang pintu yang tertutup yang dapat terbuka jika
suatu pasak di pintu itu tersentuh. Di luar kandang diletakkan sepiring makanan (daging).
Bagaimana reaksi kucing tersebut? Mula-mula kucing itu bergerak ke sana ke mari
mencoba-coba hendak ke luar melalui berbagai jeruji kandang itu. Lama kelamaan pada suatu
ketika secara kebetulan tersentuhlah pasak lubang pintu oleh salah satu kakinya. Pintu
kandang terbuka, dan kucing itupun keluarlah menuju makanan.
Setelah diadakan percobaan berkali-kali, akhirnya kucing itu tidak perlu lagi kian kemari
mencoba-coba, tetapi langsung menyentuh pasak pintu dan terus keluar mendapatkan
makanan. Jadi, proses belajar menurut Thorndike melalui proses:

trial and error (mencoba-coba dan mengalami kegagalan), dan


law of effect; bahwa segala tingkah laku yang berakibatkan suatu keadaan yang
memuaskan (cocok dengan tuntutan situasi) akan diingat dan dipelajari dengan sebaikbaiknya.

Sedangkan segala tingkah laku yang berakibat tidak menyenangkan akan dihilangkan atau
dilupakannya. Tingkah laku ini terjadi secara otomatis. Otomatisme dalam belajar itu dapat
dilatih dengan syarat-syarat tertentu, pada binatang juga pada manusia.[5]
3. Implementasi dalam Pendidikan
Bagi Thorndike mengajar bukan mengharap murid tahu apa yang diajarkan, tetapi mengajar
adalah tahu apa yang akan diajarkan, respons apa yang diharapkan, apa tujuan pendidikan,
kapan harus memberi hadiah. Untuk itu Thorndike memberikan aturan yang sebaiknya
dilakukan guru sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
4.

Memperhatikan situasi murid


Menentukan respons yang diharapkan dari situasi tersebut
Sengaja menciptakan hubungan antara respons murid dan stimulus-nya
Perhatikan jangan sampai ada situasi lain yang dapat mengganggu
hubungan stimulus-respons
Bila akan menciptakan hubungan baru, jangan membuat yang sejenis
Ciptakan hubungan yang menghasilkan perbuatan nyata
Upayakan suasana belajar yang memungkinkan anak menerapkan dalam kehidupan
sehari-hari.[6]
Implikasi terhadap Pandangan mengenai Belajar bagi Manusia

Thorndike berkeyakinan bahwa prinsip proses belajar binatang pada dasarnya sama dengan
yang berlaku pada manusia, walaupun hubungan antara situasi dan perbuatan pada binatang
tanpa diperantarai pengertian. Binatang melakukan respons-respons langsung dari apa yang
diamati dan terjadi secara mekanis.
Selanjutnya, kita dapat mencatat bahwa prinsip-prinsip yang berlaku pada hewan maupun
manusia akan sama yakni berdasarkan pada hukum-hukum belajar, yang terdiri atas tiga
hukum primer dan lima hukum subsider.[7]
1.
Tiga macam Hukum Primer
2.
Law of readiness
Pertama, jika ada kecenderungan bertindak dan orang melakukannya, maka ia akan merasa
puas. Akibatnya, ia tak akan melakukan tindakan lain.
Kedua, jika ada kecenderungan bertindak, tetapi ia tidak melakukannya, maka timbullah rasa
ketidakpuasan. Akibatnya, ia akan melakukan tindakan lain untuk mengurangi atau
meniadakan ketidakpuasannya.
Ketiga, jika tidak ada kecenderungan bertindak padahal ia melakukannya, maka timbullah
ketidakpuasan. Akibatnya, ia akan melakukan tindakan lain untuk mengurangi atau
meniadakan ketidakpuasannya.
1.
Law of exercise
Adalah koneksi antara kondisi (yang merupakan perangsang) dengan tindakan akan menjadi
lebih kuat karena latihan-latihan, tetapi akan melemah bila koneksi antara keduanya tidak

dilanjutkan atau dihentikan. Prinsip menunjukkan bahwa prinsip utama dalam belajar adalah
ulangan. Makin sering diulangi, materi pelajaran akan semakin dikuasai.
1.
Law of effect
Hukum ini menunjuk pada makin kuat atau makin lemahnya koneksi sebagai hasil perbuatan.
Suatu perbuatan yang disertai akibat menyenangkan cenderung dipertahankan dan lain kali
akan diulangi. Sebaliknya, suatu perbuatan yang diikuti akibat tidak menyenangkan
cenderung dihentikan dan tidak akan diulangi.
2. Lima macam Hukum Subsider
2. Law of multiple response (Hukum multirespons atau variasi reaksi)
Seseorang dibiarkan membuat reaksi atau respons dan memilih yang paling baik dan
mempunyai nilai intrinsik atau hadiah sosial.
1.
Law of attitude (Hukum sikap, disposisi, prapenyesuaian diri)
Orang yang belajar (learner) mendapatkan fakta secara pribadi dari hasil respons, sikap atau
set yang tidak hanya dipikirkan dan dikerjakannya, tetapi juga yang dienggani, tidak disukai
atau ditolak.
1.
Law of partial activity (Hukum aktivitas parasial suatu situasi)
Untuk menentukan respons variasinya terhadap situasi eksternal, pelajar mengharapkan
adanya efek. Usaha tersebut mendapatkan respons dari keseluruhan situasi yang membantu
proses berpikir analisis.
1.
Law of response by analogy (Hukum respons terhadap analogi)
Seseorang mengadakan respons terhadap suatu situasi baru dengan analogi yang sungguhsungguh diilustrasikan situasi tersebut.
1.
Law of associative shifting (Hukum perubahan situasi)
Fakta sama, yang merupakan respons hasil perlawanan suatu insting atau kebiasaan,
menghitung asimilasi maupun asosiasi yang berubah.[8]
5. Kelemahan Teori Belajar yang digunakan Thorndike.
1.
Belajar menurut teori konektionisme ini bersifat mekanistis
Apabila ada stimulus dengan sendirinya atau secara mekanis timbul respons. Kelemahannya
adalah anak didik banyak yang hafal bahan pelajaran, tetapi mereka kurang mengerti cara
pemakaiannya. Tidak jarang anak didik hafal sejumlah rumus matematika, rumus-rumus
fisika, tapi mereka kurang dapat menerapkannya. Ilmu pegetahuan yang seserang punyai
lebih dekat dengan istilah penumpukan ilmu yang bersifat kaku.
1.
Pelajar bersifat teacher centered (terpusat pada guru)
Guru yang aktif dalam membelajarkan anak didik. Guru pemberi stimulus. Guru yang melatih
dan menentukan apa yang harus dikerjakan oleh anak didik.
1.
Anak didik pasif
Anak didik kurang terdorong untuk berpikir dan juga ia tidak ikut menentukan bahan
pelajaran sesuai dengan kebutuhannya. Anak didik lebih mengharapkan stimulus dari guru.
Bila tidak ada stimulus, anak didik tidak kreatif san aktif untuk belajar mandiri.
1.
Teori ini lebih mengutamakan materi

Materi cenderung dijelaskan sebanyak-banyaknya ke dalam otak anak didik (cara-cara


pendidikan tradisional) dengan harapan anak didik banyak mempunyai pengetahuan. Pola
belajar seperti ini cenderung menjadi intelektualistik.[9]
[1] Mulyati, Psikologi Belajar, Cet.1 (Yogyakarta; CV Andi Offset, 2005), hlm.37.
[2] Winfred F. Hill, Theories of Learning, Cet.2 (Bandung; Nusa Media, 2009), hlm.54.
[3] Ibid., hlm.56-57.
[4] Syaiful Bahri Djamarah, Psikologi Belajar, Cet.3 (Jakarta; Rineka Cipta, 2011), hlm.24.
[5] M. Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, Cet.5 (Bandung; Remaja Rosdakarya Offset,
1990), hlm.98-99.
[6] Lilik Sriyanti, Psikologi Belajar (Salatiga; CV Orbittrust Corp, 2011), hlm. 39-40.
[7] Mulyati, Psikologi Belajar, Cet.1 (Yogyakarta; CV Andi Offset, 2005), hlm. 39.
[8] Mulyati, Psikologi Belajar,. hlm. 40-42.
[9] Syaiful Bahri Djamarah, Psikologi Belajar, Cet.3 (Jakarta; Rineka Cipta, 2011), hlm.2526.
Kelebihan dan Kekurangan Teori Thorndike

Kelebihan Teori Thorndike


Kelebihan dari teori ini cenderung mengarahkan anak untuk berfikir linier. Pandangan teori
ini bahwa belajar merupakan proses pembentukan atau shapping yaitu membawa anak
menuju atau mencapai target tertentu.

Kekurangan Teori Thorndike


Teori ini sering kali tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak
variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan dan atau belajar yang tidak dapat
diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan respon. Teori ini tidak mampu menjelaskan
alasan-alasan yang mengacaukan hubungan antara stimulus dan respon ini dan tidak dapat
menjawab hal-hal yang menyebabkan terjadinya penyimpangan antara stimulus yang
diberikan dengan responnya

Anda mungkin juga menyukai