Pemeriksaan Luka Ledakan
Pemeriksaan Luka Ledakan
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Blast injury atau trauma ledakan yang menimpa tubuh manusia bukan
merupakan hal yang baru, namun jarang ditemukan pada rumah sakit sipil. 1
Dalam beberapa dekade terakhir, kasus ledakan bom di masyarakat sipil terus
meningkat. Hal ini terutama disebabkan oleh aksi teroris. 1,2,3 Dari 1969 sampai
1983, di seluruh dunia terdapat 220 pemboman oleh aksi teroris yang
menewaskan 463 orang dan melukai 2894 orang. Dalam dekade berikutnya, di
Amerika Serikat (AS) saja terdapat 11.178 pemboman yang mengakibatkan 256
orang meninggal, 3.215 cedera, dan kerugian jutaan dolar. Peningkatan ini sekitar
400% jika dibandingkan antara 1984 dengan 1994 2. Diperkirakan, terdapat 3000
kasus bom di AS setiap tahunnya.4 Pemboman terbesar di AS adalah pemboman
Gedung Federal di Oklahoma City, pada 19 April 1995. Bom yang diletakkan di
dalam mobil menyebabkan runtuhnya sebagian gedung berlantai sembilan
tersebut. Terdapat 759 orang korban, 167 orang (22%) meninggal, 509 orang
(67%) menderita cedera ringan, dan 83 korban (11%) dirawat di rumah sakit. Pada
korban yang selamat, cedera jaringan lunak berupa laserasi, abrasi, kontusio, dan
puncture wound merupakan jenis cedera terbanyak, diikuti cedera muskuloskeletal
dan cedera kepala. Cedera jaringan lunak paling banyak diderita pada ekstremitas,
kepala dan leher, wajah, serta dada.2
Indonesia mencatat berbagai ledakan bom di luar perang di Timor Timur,
Aceh, maupun kerusuhan yang bersifat suku, agama, ras, dan antar golongan
(SARA) di berbagai daerah. Pada Maret 1990, terjadi ledakan granat di Cakung,
Jakarta Utara, karena pertikaian dua kelompok pekerja. Ledakan yang terjadi di
tempat terbuka tersebut mengakibatkan 9 orang korban: 6 orang meninggal di
tempat, 1 orang meninggal di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM)
setelah 14 jam perawatan, dan 2 orang dirawat. Hasil otopsi terhadap semua
korban yang meninggal ditemukan cedera pada toraks, abdomen, otak, dan
vertebra. Kerusakan organ toraks berupa sobekan paru dan jantung ditemukan
Kepaniteraan Klinik Bagian Kedokteran Forensik dan Medikolegal
Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo Rumah Sakit Bhayangkara, Kendari
pada 4 korban. Perdarahan parenkim paru yang disertai sobekan paru ditemukan
pada 2 korban. Cedera pada abdomen yang ditemukan adalah perforasi usus
multipel, hematoma usus, ruptur hepar, dan limpa. Sedangkan cedera pada otak
berupa sobekan otak, fraktur tulang temporal kominutif, dan kontusio jaringan
otak. Fraktur kominutif korpus vertebra servikal ditemukan pada satu orang. Satu
pasien meninggal setelah perawatan selama 14 jam akibat kontusio otak dan pada
otopsi ditemukan fraktur tulang temporal serta laserasi otak. Pada dua korban
yang
dirawat,
ditemukan
adanya
perdarahan
intraperitoneal,
hematoma
mesenterium dan usus, serta sobekan seromuskular ileum dan nekrosis colon
ascendens. Pada semua hasil otopsi didapatkan pecahan granat baik di otak,
rongga toraks maupun rongga abdomen. Korban kedua yang dirawat baru
menunjukkan tanda-tanda peritonitis setelah 22 jam perawatan. Pada laparotomi,
didapatkan perforasi jejunum, laserasi serosa jejunum, hematoma omentum dan
kurvatura major gaster, serta perforasi gaster dan pecahan granat serta kayu.5
Terdapat tendensi peningkatan ancaman bom dan kejadian ledakan bom di
Indonesia. Pada 1998 terdapat ancaman bom sebanyak 73 kasus, ditemukan 6
bom, dan hanya satu kasus yang benar-benar meledak. Pada 1999 jumlah ancaman
88 kasus dan ledakan terjadi pada 4 kasus. Sedangkan pada 2000, sampai
September tercatat 49 kasus ancaman bom, 8 di antaranya meledak. Dalam bulan
Agustus 2000, terjadi 5 ledakan. Ledakan yang menimbulkan korban adalah
ledakan yang terjadi di depan rumah duta besar Filipina pada 1 Agustus 2000.6
Pemboman rumah duta besar Filipina yang terjadi pada 1 Agustus 2000
menelan korban 22 orang, 1 orang di antaranya meninggal di tempat. Mayoritas
korban (20 orang) menderita cedera jaringan lunak dan muskuloskeletal dengan
RTS (revised trauma score). Satu korban dengan RTS 4,007 (kontusio paru, syok
hemoragik derajat III, cedera kepala berat/CKB, dan luka bakar 33%) meninggal
dunia setelah resusitasi hampir 2 jam. Kecacatan akibat amputasi traumatik jarijari tangan kiri didapatkan pada 1 korban.7
Kasus pemboman terakhir yang menelan korban jiwa terjadi di pelataran
parkir bawah tanah gedung Bursa Efek Jakarta pada 13 September 2000. Ledakan
berkekuatan 5 kg trinitrotoluen (TNT) tersebut mengakibatkan 10 orang
Kepaniteraan Klinik Bagian Kedokteran Forensik dan Medikolegal
Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo Rumah Sakit Bhayangkara, Kendari
meninggal dan 26 lainnya luka-luka. Pada kasus ini, tidak ada satupun korban
yang diotopsi karena keluarga menolak tindakan tersebut.8
Peningkatan kejadian ledakan bom di Indonesia ini memerlukan perhatian
khusus, terutama dari sisi medis dalam menangani korban ledakan yang umumnya
bersifat masal dan dengan cedera multipel. Cedera yang diakibatkan trauma
ledakan bersifat kompleks dan mempunyai patofisiologi tersendiri. Pemahaman
mengenai mekanisme cedera akibat trauma ledakan diperlukan dalam penanganan
pasien-pasien tersebut.1,3
Berdasarkan peningkatan kasus Blast Injury dewasa ini dan pentingnya
penanganan yang tepat pada korban blast injury maka tim penulis akan membahas
mengenai definisi, klasifikasi, patofisologi, gejala klinis, pemeriksaan penunjang
dan penatalaksanaan kasus trauma ledakan dalam referat yang diberi judul Blast
Injury.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari referat yaitu sebagai berkut :
1. Apa yang dimaksud dengan luka ledakan ?
2. Bagaimana mekanisme trauma ledakan?
3. Sebutkan jenis-jenis luka ledakan ?
4. Bagaimana gejala klinis dari luka ledakan?
5. Sebutkan pemeriksaan yang dilakukan terhadap luka ledakan?
6. Bagaimana penatalaksanaan luka ledakan?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi, klasifikasi, patofisiologi, gejala klinis,
pemeriksaan penunjang dan penatalaksanaan kasus Blast Injury sesuai
dengan derajat dan organ yang terkena kasus ledakan
2. Penulisan referat ini bertujuan untuk memenuhi Tugas Ujian Kepanitraan
Klinik Bagian Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran
Universitas HaluoleoRumah Sakit Bhayangkara.
D. Manfaat
Penulisan referat ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan
pemahaman
kepada
mahasiswa/mahasiswi
yang
sedang
menjalani
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Ledakan memiliki kemampuan yang menyebabkan multisistem, cedera
yang mengancam hidup dalam satu atau beberapa korban secara bersamaan. Jenis
kegiatan triase kompleks ini, diagnostik, dan tantangan manajemen untuk
penyedia layanan kesehatan. Ledakan dapat menghasilkan pola cedera klasik dari
tumpul dan penetrasi mekanisme untuk beberapa sistem organ, namun mereka
juga dapat mengakibatkan cedera pola yang unik untuk organ tertentu termasuk
paru-paru dan sistem saraf pusat. Memahami perbedaan-perbedaan penting adalah
penting untuk mengelola situasi ini.
pembebanan eksternal yang sangat pesat dalam tubuh dan organ yang dapat
menyebabkan cedera internal di udara yang mengandung organ eksternal tanpa
tanda-tanda trauma seperti pada telinga bagian dalam, paru paru dan sistem
gastrointestinal.
B. Mekanisme Blast Injury(trauma ledakan)
Bahan peledak dikategorikan sebagai bahan peledak high-order (HE) atau
bahan peledak low-order (LE). HE menghasilkan gelombang kejut supersonik
menentukan over-tekanan. Contoh HE meliputi TNT, C-4, Semtex, nitrogliserin,
dinamit, dan ammonium nitrat bahan bakar minyak (ANFO). LE membuat
ledakan subsonik dan kurangnya HE's gelombang selama-tekanan. Contoh LE
termasuk bom pipa, mesiu, dan bom minyak bumi berbasis paling murni seperti
bom molotov atau pesawat improvisasi sebagai peluru kendali. LE dan HE
menyebabkan cedera pola yang berbeda. Peledak dan pembakar (api) bom lebih
lanjut ditandai berdasarkan sumber mereka. "Diproduksi" berarti standar militer
dikeluarkan, massa yang dihasilkan, dan kualitas senjata-diuji. "Diimprovisasi"
menggambarkan senjata yang diproduksi dalam jumlah kecil, atau penggunaan
perangkat di luar tujuan yang dimaksudkan, seperti pesawat komersial
mengkonversi ke dalam peluru kendali. Diproduksi (militer) senjata ledakan HE
berbasis secara eksklusif. Teroris akan menggunakan apa saja yang tersedia - yang
diperoleh secara ilegal senjata diproduksi atau alat peledak improvisasi (juga
dikenal sebagai "IEDs") yang mungkin terdiri dari HE, LE, atau keduanya.
Diproduksi dan improvisasi bom menyebabkan cedera yang sangat berbeda.
Kecelakaan dari blast injury (luka ledakan) melibatkan korban yang menderita
cedera jaringan lunak. Prinsip mekanisme kecelakaan melibatkan energi kinetik
yang besar dalam waktu singkat berupa :
a. High Order Explosives
Merupakan ledakan yang besar akibat reaksi bahan kimia. Bahan kimia
yang dimaksud adalah nitroglyserin, dinamit, C-4, campuran Amonium Nitrat
& bahan bakar minyak. Untuk detonasi, digunakan bahan kimia yang dirubah
menjadi bentuk gas dengan tekanan & temperature yang tinggi. Contohnya
ledakan yang dihasilkan oleh C-4 yang dapat menghasilkan gelombang yang
luas. Naiknya tekanan atau gelombang ledakan disebut Overpressure.
Gelombang tekanan meningkat dengan segera & cepat. Jumlah kerusakan dari
gelombang tekanan ini tergantung :19
Durasi
Karakteristik
Primary
Bagian
Tubuh
Terkena
Jenis Cedera
tanda-tanda
fisik
cedera kepala)
Secondary Hasil dari terbang Setiap bagian
puing-puing dan tubuh
yang
pecahan bom.
mungkin akan
terpengaruh.
Tertiary
Quaternar Semua
ledakan
y
yang berhubungan
dengan
cedera,
penyakit,
atau
penyakit
bukan
karena
primer,
sekunder,
atau
tersier mekanisme.
Termasuk
eksaserbasi
atau
komplikasi
dari
kondisi yang ada.
dari
Menembus
balistik
(fragmentasi) atau cedera
tumpul
penetrasi
terjadi)
Fraktur
amputasi
mata
dan
(bisa
trauma
Setiap bagian
tubuh
yang
mungkin akan
terpengaruh.
Asma,
PPOK,
atau
masalah
pernapasan
lainnya dari debu, asap,
atau asap beracun
Angina
Hiperglikemia,hipertensi
Crush
D. Gejala klinis
Tabel 2. Gejala Klinis Pada Cedera Ledakan
Sistem
Auditori
Mata, Orbita,
Wajah
Pernafasan
Pencernaan
Peredaran
darah
Cedera SSP
Gegar otak, cedera otak terbuka dan tertutup, stroke, cedera tulang
belakang, emboli udara yang disebabkan cedera
Cedera ginjal
Cedera
ekstremitas
kompartemen, luka bakar, luka, lecet, oklusi arteri akut, emboli udara
yang disebabkan cedera
yang
disertai
atau
tanpa
disertai
tanda-tanda
barotrauma
yang lebih ringan dapat berupa edema dan kontusio usus 1,3,11. Pada kontusio usus,
terjadi perdarahan di bawah peritoneum viseral yang berlanjut ke mesenterium.
Pada kontusio usus ini dapat terjadi perforasi yang dapat muncul 24--48 jam
bahkan 5 hari pasca trauma1,9. Perforasi sekunder ini terjadi karena nekrosis akibat
iskemi pada tempat hematom9,11. Perforasi sekunder ini terjadi mulai dari mukosa
dan menyebar secara sentrifugal ke arah serosa12. Terdapat klasifikasi histologis
cedera primer gastrointestinal (Tabel 2). Pada cedera ringan, kerusakan hanya
meliputi mukosa. Cedera yang ringan dapat mengalami resolusi sempurna dalam
3 sampai 7 minggu pasca trauma31. Semakin berat cedera yang terjadi, semakin
dalam lapisan yang mengalami kerusakan32. Cedera pada lapisan serosa secara
pasti merupakan bukti adanya cedera yang berat. Cedera derajat IV dan V
mempunyai risiko tinggi perforasi sekunder11,15,19. Umumnya, cedera organ padat
abdomen disebabkan oleh cedera sekunder dan tersier dengan overpressure yang
tinggi3,11,13,20
Cedera ledakan primer menyebabkan sistem pendengaran morbiditas yang
signifikan, namun mudah dilupakan. perforasi TM adalah cedera yang paling
umum ke telinga bagian tengah. Tanda-tanda cedera telinga biasanya hadir pada
saat evaluasi awal dan harus dicurigai bagi siapa pun penyajian dengan kehilangan
pendengaran, tinnitus, otalgia, vertigo, perdarahan dari saluran eksternal, pecah
TM, atau otorhea mukopurulen. Semua pasien terkena ledakan harus memiliki
penilaian otologic dan Audiometri.
Gelombang ledakan primer dapat menyebabkan gegar otak atau cedera
otak
ringan
traumatis
(MTBI)
tanpa
pukulan
langsung
ke
kepala.
Subakut (2-48
Jam)
Konstitusional
Localized
Dyspnea
Dyspnea
Semakin
memburuk
Demam
Malaise
Apati
Amnesia
Pleuritic Chest
Pain
Batuk
produktif
Cardiac
Pain
non-
Emesis empedu
Mual
Dorongan
untuk buang air
besar
Tinnitus
Chest
Sakit perut
Hematochezia
Hematemesis
Sakit Telinga
Gangguan
Pendengaran
Vertigo Jangar
Balance
Problems Saldo
Masalah
Sakit mata
Perubahan
Visual
Focal Numbness
Parestesia
Inspeksi
Auskultasi
Menembus trauma
Trauma amputasi
Aktivitas kejang
Kesulitan pernafasan
Hemoptisis
Pharyngeal petechiae
Lidah blansing
Tergantung
pada
macam
bintik-bintik
dari kulit non
Tidak
memadai
ekspansi dinding dada
Lecet
Rales
Wheezes
Nafas
Baru
asimetrik Sounds
Palpation
Emfisema subkutan
Abdominal Tenderness
Spinal deformity
Tenderness
Abdominal rigidity
or
rebound
tenderness
or
Percussion
Dada
Perkusi
simetris
Lain
Status
Mental
Diubah
Focal
Deficit
Demam
Delayed Shock
Neurologic
E. Pemeriksaan Penunjang
Dalam menangani pasien dengan trauma ledakan, pemeriksaan penunjang
yang perlu dilakukan adalah foto toraks untuk melihat tanda-tanda kontusio paru
dan barotrauma. Gambaran khas pada cedera paru primer adalah gambaran
bercak-bercak infiltrat. Kontusio awalnya terjadi pada daerah hilus. Pada keadaan
yang lanjut, terjadi gambaran keputihan pada seluruh lapang paru seperti
gambaran stadium akhir ARDS1,3. Foto toraks juga dapat menunjukkan adanya
udara bebas di bawah diafragma, yang merupakan tanda ruptur organ pada sistem
gastrointestinal. Pemeriksaan penunjang lain yang berguna adalah pemeriksaan
darah perifer lengkap. Ini berguna untuk membantu dalam penentuan jumlah
transfusi yang akan diberikan. Pemeriksaan kimia darah tidak berguna dalam
menentukan ada tidaknya dan derajat beratnya cedera ledakan primer3.
Pemeriksaan cedera primer pada gastrointestinal meliputi pemeriksaan
fisik, CT (Computed Tomography) scan abdomen, dan diagnostic peritoneal
lavage (DPL)3,9. CT scan abdomen, walaupun mempunyai spesifisitas tinggi,
sensitivitasnya rendah, terutama dalam mendeteksi adanya cedera gastrointestinal.
Endoskopi berperan sangat penting dalam mendiagnosis cedera primer tanpa
Kepaniteraan Klinik Bagian Kedokteran Forensik dan Medikolegal
Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo Rumah Sakit Bhayangkara, Kendari
F. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pasien dengan trauma ledakan sebaiknya dilakukan
berdasarkan standar Advance Trauma Life Support (ATLS) dan penanganan
korban masal3. Dalam menilai penatalaksanaan pasien dalam ilustrasi kasus ini,
sebaiknya ditinjau dari penanganan disaster pra-rumah sakit dan di rumah sakit1.
Dari pengalaman-pengalaman sebelumnya, diketahui bahwa penanganan di
lapangan yang tidak terorganisasi mengakibatkan tingginya kematian, sedangkan
penanganan yang terorganisasi dengan baik akan menurunkan mortalitas16,17.
Koordinasi yang baik antara petugas medis dan polisi di lapangan sangat
diperlukan16.
Pada saat pra-rumah sakit, sebaiknya pasien berbaring dengan bertumpu
pada hemitoraks yang sakit. Ini untuk mencegah masuknya perdarahan pada sisi
yang sehat yang dapat mengakibatkan terjadinya bronkospasme dan penurunan
fungsi alveolus19.
Triage di rumah sakit sebaiknya dilakukan oleh ahli bedah yang
berpengalaman dan berdasarkan status fisiologis pasien yang dinilai dengan
menggunakan RTS1,17. Dalam pedoman penanganan umum trauma ledakan, yang
penting dilakukan adalah mempertahankan jalan napas, membantu ventilasi jika
ventilasi spontan tidak mencukupi, dan mempertahankan sirkulasi yang
adekuat3,9,18. Bantuan ventilasi mekanik pada pasien dengan cedera primer paru
berisiko terhadap terjadinya barotrauma dan emboli udara. Oleh karena itu,
tekanan puncak inspirasi dan volume puncak inspirasi perlu diatur3,15.
Penatalaksanaan pasien yang dicurigai dengan emboli udara dimulai
dengan pemberian suplementasi oksigen. Suplementasi oksigen ini bertujuan
untuk memperbaiki difusi gas dan membantu absorpsi udara di arteri. Proses ini
terjadi lebih cepat jika kandungan oksigen lebih tinggi dibanding nitrogen 3,13.
Langkah berikutnya adalah untuk membatasi kerusakan yang ditimbulkan oleh
emboli dengan memposisikan tubuh pasien dengan tepat. Sebaiknya, pasien dalam
posisi left lateral decubitus dengan kepala lebih rendah untuk mencegah terjadinya
gangguan serebrovaskular dan infark miokard3,13,18. Terapi definitif emboli udara
adalah dengan terapi hiperbarik. Tujuan terapi ini adalah untuk mengurangi
Kepaniteraan Klinik Bagian Kedokteran Forensik dan Medikolegal
Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo Rumah Sakit Bhayangkara, Kendari
paru-paru dapat mengakibatkan gangguan pada sistem saraf pusat berupa edema
serebral. Ini terjadi akibat pelepasan leukotrien dan peningkatan produksi lipid
peroksidase yang mengganggu fungsi membran sel otak dan gangguan elektrolit18.
Seharusnya, rongga kranium harus didekompresi segera. Tidak tertanganinya
masalah jalan napas, pernapasan, sirkulasi, dan herniasi unkus mengakibatkan
kematian pada pasien pertama.Setelah kondisi pasien stabil, dilakukan anamnesis
dan pemeriksaan fisik yang menyeluruh. Pada anamnesis yang perlu diperhatikan
adalah jarak dari sumber ledakan, lokasi ledakan, dan penggunaan lapisan
pelindung. Penggunaan lapisan pelindung melindungi manusia dari cedera
sekunder, tapi memperberat cedera primer pada paru-paru karena memperbesar
tekanan yang terjadi3,23. Pada pemeriksaan fisik, perlu diperiksa tanda-tanda
trauma ledakan, antara lain ruptur membran timpani, peteki atau ekimosis
hipofaring, emboli udara arteri retina, atau emfisema subkutis 3. Pemeriksaan
tambahan yang diperlukan berupa foto rontgen toraks juga tidak sempat dilakukan
pada pasien pertama. Ini disebabkan perhatian lebih diutamakan dalam resusitasi.
Jika cairan IV diberikan selama perdarahan dikontrol dengan shock atau
perdarahan yang tidak terkontrol dengan status mental berubah, bolus dengan
seperempat jumlah biasa (kristaloid atau hetastarch) dan mengevaluasi kembali
untuk menghindari memperburuk paru-paru atau cedera otak.
Boluses Ulangi
seperlunya.
Prosedur untuk emboli arteri Dugaan Gas
a)
b)
Esensial:
menggunakan.
b)
Meskipun thoracostomies
Primer:
Mengadministrasikan-aliran
tambahan oksigen tinggi, jika tersedia. Prakarsai PPV hanya jika benarbenar diperlukan.
b)
c)
Primitif:
Esensial:
Seal terbuka
Recommended : Fitur:
b)
a)
Primer. NPO.
atau IM. Evakuasi ditunda untuk perawatan bedah dalam waktu 4 jam. .
Monitor untuk peritonitis dan sepsis.
Hampir semua
cakupan antibiotik adalah lebih baik daripada tidak sama ketika waktu
untuk perawatan definitif adalah berkepanjangan.
Perawatan mediastinitis, Peritonitis, atau Sepsis
a)
Primer:
Pengobatan TM Pecahnya
a)
Primer. Jangan coba pemindahan puing asing. Mencegah air dan bahan
yang tidak steril lainnya dari memasuki saluran telinga. Mengelola rasa
sakit seperti ditunjukkan.
b)
Empiris:
Jika infeksi TM
Alternatif:
d)
e)
Konsultasi Kriteria korban itu idealnya harus dilihat oleh telinga, hidung,
dan tenggorokan (THT) spesialis dalam waktu 3 hari, atau lebih cepat jika
sampah yang signifikan di kanal. Sampai 2 minggu dapat diterima, jika
tidak ada infeksi berkembang.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
cedera
akibat
trauma
ledakan
dilakukan
dengan
memperhatikan ATLS dan penanganan disaster. Perlu mencari gejala dan tandatanda cedera primer.
DAFTAR PUSTAKA
1. Stein MS, Hirshberg A. Medical Consequences of Terrorism-The Conventional
Weapon Threat. Dalam Rodriguez A (ed): Trauma Care in the New Millenium.
Surg Clin North Am, December 1999: 1537-1552.
2. Mallonee S, Sariat S. Physical Injuries and Fatalities resulting From the
Oklahoma City Bombing. JAMA, August 7, 1996; 276; 5: 382-387.
3. Argyros GJ. Management of Primary Blast Injury. Toxicology 1997; 121: 105115.
4. Feliciano DV. Management of Casualties from the Bombing at the Centennial
Olympics. AM J Surg 1998; 176: 538-543.
5. Subijanto HW, Pusponegoro AD, Hertian S. Efek Trauma Ledakan Terhadap
Organ Intra Toraks dan Abdomen, Juli 1990.
6. Sudarsono RP. Bom! Polisi pun Cukup Bikin Sketsa. Kompas 2000 Sept 4;
halaman 17.
7. Trauma Organisation. Revised Trauma Score. Available from URL:
http://www.trauma.org/scores/rts.html.
8. Tim Kompas. Ledakan di BEJ, Sepuluh Tewas, Puluhan Luka-luka. Kompas
2000 Sept 14; halaman 1.
9. Siddall Corinne, Driscol Pm Hodgetts T. Soft Tissue Trauma. Dalam: Driscoll
PA (ed). Trauma Resuscitation the Team Approach. Macmillan, 1993: 260-262.
10. Elsayed NM. Toxicology of Blast Overpressure. Toxicology 1997; 121: 1-15.
11. Mayorga MA. The Pathology of Primary Blast Overpressure Injury.
Toxicology 1997; 121: 17-28.
12. Haywood I, Skinner D, Blast and Gunshot Injuries. Dalam: Skinner D (ed).
ABC of Major Trauma. Cambridge, University Press, 1991: 88-91.
13. Guy RJ, Glover MA, Cripps NPJ. The Pathophysiology of Primary Blast
Injury and Its Implication for Treatment. Part I: The Thorax. J R Nav Med Serv
1998; 84; 2: 79-86.
14. Tantan H, Indra S, Handoko D, Bakri KB. Gonjang-Ganjing C-4 di Siang
Bolong. Gatra 2000 Aug 12; halaman 63-66.
Kepaniteraan Klinik Bagian Kedokteran Forensik dan Medikolegal
Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo Rumah Sakit Bhayangkara, Kendari
15. Mellor SG. The Relationship of Blast Loading to Death and Injury from
Explosion. World J Surg 1992; 16: 893-898.
16. Junkui H, Zhengguo W. Studies on Lung Injuries Caused by Blast
Underpressure. J Trauma 1996; 40; 3: S77-84.
17. Leibovici D, Gofrit ON, Stein MS, Shapira SC. Blast Injuries: Bus Versus
Open-Air Bombings - A Comparative Study of Injuries in Survivors of Open
Air Versus Confined-Space Explosions. J Trauma 1996; 41; 6: 1030-1035.
18. Bowen TE, Bellamy RF. Blast Injuries. Dalam: Bowen TE, Belllamy RF (ed).
Emergency War Surgery, Second United States Revision of the Emergency War
Surgery NATO Handbook. US Department of Defense. Washington DC, United
States Government Printing Office, 1988: 74-82.
19. Nixon R.G. Available at http://www.fire engineering. Blast Injuries. Accessed
on May,21th 2008.
20. Cohn SM. Pulmonary Contusion: Review of the Clinical Entity. J Trauma
1997; 42; 5: 973-979.