Anda di halaman 1dari 12

Suicidal Behavior and Assisted Suicide in Demensia

Perilaku Bunuh Diri dan Bunuh diri dibantu pada Demensia


Abstrak
Latar Belakang: Perhatian terhadap resiko bunuh diri pada orang dengan demensia
meningkat beberapa tahun terakhir bersamaan dengan ceramah tentang bunuh diri rasional
(rational suicide) dan bunuh diri dibantu (assisted suicide).
Metode: Review sistematis narasi literatur tentang perilaku bunuh diri dan bunuh diri
dibantu (assisted suicide) pada orang-orang dengan demensia.
Hasil: Sebagian besar dari studi telah membahas spectrum ide bunuh diri, usaha bunuh
diri, dan bunuh diri pada demensia memiliki keterbatasan metodologis tetapi keseluruhan resiko
bunuh diri tidak tampak meningkat. Ketika perilaku bunuh diri terjadi, tema umumnya biasanya
diikuti komorbid psikiatri, umumnya depresi; kejadian awal pada demensia mengarah pada
insight dan kapasitas yang terjaga dan resiko yang meningkat pada orang yang lebih muda.
Ceramah-ceramah yang muncul tentang bunuh diri dibantu (assisted suicide) dan bunuh diri
rasional (rational suicide) telah memacu diagnosis pada pasien pre dan early simptomatis dan
menimbulkan beberapa tantangan etis pada klinisi terutama meliputi peran dari wakil pemberi
keputusan.
Kesimpulan: Walaupun demensia tidak membawa resiko padaperilaku bunuh diri, klinisi
masih perlu untuk memikirkan potensi bunuh diri pada individual beresiko terutama pada
individu pada awal demensia.

Introduction:
Demensia sebelumnya belum pernah dikaitkan dengan meningkatnya resiko bunuh diri
dan dieksklusi dari faktor resiko pada bunuh diri dibantu (assisted suicide). Hal ini dikarenakan
pada demensia, pasien kehilangan kapasitas berpikir dan insight terhadap penyakitnya. Beberapa
ceramah belakangan menunjukkan orang dengan demensia dengan akses informasi,
memungkinkan bunuh diri rasional (rational suicide) pada pasien demensia dini serta bunuh diri
dibantu (assisted suicide) pada pasien dengan demensia berat.
Kombinasi antara lingkungan komunitas yang baik serta kepedulian para professional
terhadap demensia, diagnosis dini demensia dan menceritakan diagnosis yang sebenarnya,
memungkinkan pasien mendapatkan insight terhadap penyakitnya dan membuat pasien
kompeten untuk membuat keputusan tentang hidupnya. Walaupun memberi manfaat pada
otonomi pasien, namun dapat memberikan tantangan emosional pada pasien terutama pada
pasien yang telah mendapatkan insight kembali, karena pasien tersebut akan berhadapan dengan
penyakit yang tidak dapat disembuhkan, mengakibatkan hilangnya kompetensi mental, dan
membawa stigma yang signifikan pada komunitasnya. Sebagian besar pasien demensia mungkin

tidak ada pikiran untuk mempercepat kematiannya, namun beberaqpa pasien mempertimbangkan
hal ini.
Review ini membahas perilaku bunuh diri yang terjadi selama demensia termasuk ide
bunuh diri, usaha bunuh diri, bunuh diri dan perilaku tidak langsung yang sifatnya menyakiti diri
sendiri pada pasien di rumah rawat. Juga mempertimbangkan isu etika pada bunuh diri rasional
(rational suicide) serta bunuh diri dibantu (assisted suicide) melalui arahan atau instruksi yang
berisikan tentang euthanasia. Sumber buku dan review sistematis didapatkan dari artikel
berbahasa Inggris dari Medline, Psycinfo dan Embacse dengan keyword suicide, deliberate self
harm, suicide ideation, attempted suicide, assisted suicide, euthanasia demensia, Alzheimers
disease.
Ide Bunuh Diri
Sayangnya sangat sedikit data prevalensi ide bunuh diri pada pasien dengan Mild
Cognitive Impairment (MCI) atau demensia. Beberapa studi melaporkan symptom perilaku dan
psikologis demensia menggunakan instrument standar yang mengikutsertakan item ide bunuh
diri (Seperti Neuropsychiatric Inventory NPI, Cornell Scalle for Depression in Demensia
CSDD), namun hal ini sangat jarang. Selanjutnya studi studi ini sulit dibandingkan karena
berupa self atau observer reports dengan jumlah sampel kecil atau sampel pilihan tertentu,
definisi demensia yang berbeda, timeframe, dan tidak adanya diagnosis stage atau tipe demensia.
Studi komunitas yang melaporkan hubungan antara gangguan kognitif dengan ide-ide
bunuh diri tidak dapat menentukan tipe dari gangguan kognitif yang ada dengan sebagian besar
studi menggunakan instrument screening singkat seperti Mini Mental State Examination
(MMSE), sehingga tidak dapat disimpulkan partisipan memenuhi kriteria MCI atau demensia.
Penelitian pada 539 warga Amerika di rumah rawat, yang berusia 65 tahun ke atas tidak
menemukan hubungan antara ide bunuh diri dan kognisi yang diukur menggunakan MMSE
(Raue et al, 2007). Dua penelitian komunitas dengan partisipan lebih dari 900 orang usia lanjut
melaporkan tingkat keinginan mati yang lebih tinggi pada partisipan Australia (Jorm et al., 1995)
atau pikiran untuk bunuh diri di Swedia (Forsell et al., 1997) pada partisipan dengan gangguan
kognitif, namun ketika faktor depresi telah terkontrol pada kedua studi, gangguan kognitif tidak
lagi menjadi faktor signifikan. Sebagai kontras, studi pada 15.000 partisipan usia lanjut di
pelayanan primer menemukan bahwa gangguan kognitif yang diukur menggunakan Short
Orientation Memory Concentration Test berhubungan dengan ide bunuh diri baik pasif
(memikirkan lebih baik mati) maupun aktif (memikirkan usaha untuk menyakiti diri sendiri)
dalam jangka waktu 2 minggu terakhir, bahkan meskipun ikut mempertimbangkan faktor distress
(Ayalon et al., 2007).
Pada studi orang-orang dengan demensia, tingkat laporan dari observer tentang ide bunuh
diri lebih tinggi daripada laporan dari pengakuan pribadi, namun sedikit studi yang meneliti
laporan ide bunuh diri dari observer dan pribadi dari sampel yang sama. Rubin dan Kinscherf
(1989) meneliti 68 orang dengan demensia sedang pada Alzheimer menemukan hanya satu (2%)
laporan pribadi tentang pikiran bunuh diri, sedangkan pengasuhnya melaporkan ada sepuluh
(15%) memiliki pikiran bunuh diri. Studi berbasis caregiver, termasuk studi multicenter pada

pengembangan Behavior Rating Scale for CERAD melibatkan 303 orang dengan probable
Alzheimer dari sangat ringan hingga berat ditemukan 25% mengekspresikan keinginan untuk
mati (Tariot et al, 1995). Studi pada 505 pasien rumah rawat dengan demensia (n=484) atau
gangguan kognitif berdasarkan Abreviated Mental Test Scale (AMTS) (n=21), menggunakan
laporan dari perawat penderita mendapatkan 1,8% pasien mengekspresikan secara verbal ide
bunuh diri paling tidak setiap minggu dan 9,5% yang kurang dari setiap minggu.
Dua studi memori klinik menyediakan data ide bunuh diri dari laporan pribadi. Pada studi
di Australia pada 221 pasien dengan demensia, 5,4% merasa hidupnya tidak pantas untuk
dijalani, 3% berharap untuk mati atau punya pikiran untuk mati, 0,9% memiliki ide bunuh diri,
dan tidak ada satupun pernah melakukan usaha-usaha bunuh diri dalam jangka waktu seminggu
terakhir. (Drapper et al., 1998). Ide bunuh diri diasosiasikan dengan depresi dan tidak dengan
adanya insight terhadap hilang ingatan. Studi kedua di Amerika yang melibatkan 90 pasien
dengan penyakit Alzheimer menemukan bahwa 10% melaporkan bahwa hidupnya tidak berarti
lagi dan perasaan putus asa lebih menonjol pada pasien yang sadar dirinya memiliki gangguan
kognitif atau dengan depresi dan cemas (Harwood dan Sultzer et al., 2002). Meskipun asosiasi
ide bunuh diri dengan depresi, mengejutkan bahwa sedikit studi pada depresi dengan demensia
melaporkan masalah ini. Satu studi depresi pada demensia ringan-sedang melaporkan pikiran
bunuh diri pada 45% pasien dengan Research Diagnostic Criteria (RDC) depresi mayor (n=31)
dan 12% dengan RDC depresi minor (n=34) dalam jangka waktu seminggu, berdasarkan rating
dari CSDD (Ballard et al., 1996).
Beberapa studi telah memeriksa apakah ide bunuh diri lebih cenderung pada tipe tertentu
demensia dan satu studi memori klinik menemukan hubungan ide bunuh diri dengan penyakit
Alzheimer (Draper et al., 1998) dan yang lainnya pada penyakit campuran Alzheimer/vaskuler
demensia (Rao et al., 1997). Meskipun demikian, ada bukti kuat perilaku bunuh diri pada semua
spectrum menonjol pada penyakit Hunnington. Ide bunuh diri di periksa pada 4.171 individual
dalam Hunnington Study Group Database. Periode puncak ide bunuh diri adalah pada periode
segera sebelum individu menerima diagnosis formal, ketika mereka kemungkinan menderita
Hunington (23,5%) dan 21,6% pada stadium 2 penyakit tersebut saat hilangnya independensi
(Paulsen et al., 2005). Komorbid psikiatri termasuk cemas, depresi, alcohol dan penyalahgunaan
obat adalah faktor prediktif ide bunuh diri pada orang dengan penyakit Hunnington (Wetzel et
al., 2011). Studi pada mutase karier dengan tanpa karier menemukan 20% karier bebas dari ide
bunuh diri dan setidaknya punya ide bunuh diri dalam 2 tahun terakhir dibandingkan non karier.
Klinis DSM IV depresi, mood depresi dan penggunaan antidepresan prediktif terhadap ide bunuh
diri dengan dasar depresisebagai satu satunya prediktor longitudinal dari ide bunuh diri (Huber et
al., 2012).
Kesengajaan Menyakiti Diri (Deliberate Self Harm/DSH) dan Usaha Bunuh Diri
Dengan meningkatnya usia, DSH biasanya berakhir dengan kegagalan (Draper, 2010).
Dua review sistematis yang mengkover studi tentang usaha bunuh diri dan DSH pada usia lanjut
dari tahun 1985 hingga 2004 menemukan bahwa sebagian besar studi melaporkan kurang dari
10% dari pasien memiliki diagnosis primer demensia (Draper, 1996; Chan et al., 2007). Tingkat
demensia yang lebih tinggi terlihat pada studi yang melaporkan kasus psikiatri dengan

komorbiditas (Senbuehler and Goldstein, 1977; Drapper 1994; Schmid et al., 1994; Osvath et al.,
2005). Dimana terdapat detil klinis, sebagian besar percobaan bunuh diri oleh orang dengan
demensia memiliki komorbidas psikiatrik, dimana sebagian besar melibatkan depresi dan atau
psikosis (Batchelor dan Napier, 1953; ONeal et al, 1956; Sendbuehler and Goldstein, 1977;
Draper, 1994; Schmid et al., 1994; Osvath et al., 2005; Tsai et al., 2007).
Dua studi dari decade sebelumnya bersifat ilustratif. Studi di Hungaria pada pasien rawat
inap usia 65 tahun ke atas membandingkan 62 pasien yang dibawa karena percobaan bunuh diri
dengan pasien rawat inap lainnya; dari 22 pasien dengan usaha bunuh diri dan demensia, 50%
memiliki komorbid depresi, 18% kelainan penyesuaian diri, dan 27% tidak memiliki komorbid
psikiatri. Analisis multivariate menunjukkan bahwa depresi, bukan gangguan kognitif yang
memprediksi perilaku bunuh diri (Osvath et al., 2005). Case series dari tujuh orang Taiwan yang
dirawat karena percobaan bunuh diri, melaporkan bahwa delusi adalah penyebab primer pada
setiap kasus dan depresi klinis signifikan hanya terdapat pada tiga kasus, walaupun Hamilton
Depresion Rating Scale mengindikasikan ketiga pasien tersebut memiliki skor depresi ringan
dengan rentang 10 hingga 14 (Tsai et al., 2007).
Walaupun review sistematis memberikan komentar bahwa gangguan kognitif biasanya
ringan (Draper, 1996; Chan et al., 2007), dua studi yang secara objektif menilai kemampuan
kognitif skor MMSE pada rentang ringan hingga sedang (14-24) (Osvath et al., 2005; Tsai et al.,
2007). Ada juga laporan usaha bunuh diri impulsive ditemukan pada pasien dengan gangguan
frontal (Pierce, 1987; Draper, 1994; Rosenberg and Rosse, 2003) tapi tidak ada assessment
secara structural dari fungsi frontal pada pasien yang lebih tua dengan gangguan kognitif.
Beberapa studi mendokumentasikan tipe dari demensia, Schmid et al., (1994) melaporkan
dari 25 pasien demensia, 76% memiliki demensia vaskuler, dan 24% dengan penyakit Alzheimer,
sementara demensia vaskuler, penyakit Alzheimer dan Lewy Body Demensia hanya terdapat
pada sebagian kecil kasus dari Taiwan (Tsai et al., 2007). Analisis retrospektif selama sepuluh
tahun dari Israel melaporkan bahwa 7,4% dari semua pasien usia lanjut didiagnosa dengan
penyakit Alzheimer yang dirawat dengan usaha bunuh diri sebelumnya (Barak dan Aizenberg,
2002). Studi retrospektif lain melaporkan kemungkinan peningkatan resiko percobaan bunuh diri
pada pasien dengan semantic demensia dibandingkan demensia pada Alzheimer (Sabodash et al.,
2013) dengan sebuah case report mengindikasikan perobaan bunuh diri berkaitan dengan
gangguan penilaian masa depan yang berkontribusi pada berkurangnya perasaan sebagai manusia
karena tidak dapat membayangkan apa yang akan dilakukan di masa depan yang sebenarnya
telah dilakukan sebelumnya (Hsiao et al., 2013).
Meskipun demensia telah dilaporkan pada usia lanjut yang berulangkali menyakiti diri
sendiri, tidak ada bukti bahwa demensia atau gangguan kognitif meningkatkan resiko
berulangnya usaha bunuh diri (Pierce, 1996; De Leo et al., 2002; Lebret et al., 2006).
Sebagian besar kualitas dari penelitian pada DSH dan usaha bunuh diripada usia lanjut
umumnya kurang dengan sebagian besar studi sifatnya retrospektif, selektif, dan hanya beberapa
yang bersifat prospektif dan longitudinal (Draper, 2010). Sebagai tambahan beberapa studi
memberikan detil yang kurang lengkap tentang pasien dengan demensia dan walaupun terlihat

umumnya orang dengan demensia memiliki komorbid kelainan psikiatri, detil seperti tipe
demensia, profil kognitif dan stressor psikologis kurang dilengkapi. Walaupun mungkin
gangguan kognitif dapat merusak usaha dalam perencanaan dan eksekusi perilaku bunuh diri
yang letal, hanya ada bukti anekdot yang mendukung hal ini. Hampir semua studi mengambil
sampel dari pelayanan kesehatan mental, dan karena itu tidak representative untuk semua DSH,
karena ada kemungkinan pasien dirawat di rumah rawat dan pusat pelayanan primer tanpa
dilakukan review terhadap kesehatan mentalnya.
Bunuh Diri
Sebuah review sistematis menyimpulkan bahwa sebagian besar resiko bunuh diri pada
orang dengan demensia rendah (Haw et al., 2009). Sebuah meta analisis resiko bunuh diri pada
kelainan mental umum ditemukan bahwa demensia memiliki rasio mortalitas karena bunuh diri
yang rendah (setelah standarisasi), walaupun dalam studi ini terdapat keterbatasan metodologi
karena studi ini hanya melibatkan pasien dengan demensia sedang dan berat, dimana gangguan
kognitive dapat sebagai faktor protektif (Harris dan Barraclough, 1997). Studi otopsi psikologis
dari bunuh diri hanya mengandalkan studi retrospektif dari kontak dekat dari orang yang telah
meninggal (termasuk professional kesehatan, serta catatan medis dan catatan lainnya). Early
demensia yang belum terdiagnosa bisa saja tidak terdeteksi dengan cara demikian. Depresi
adalah faktor resiko terbesar pada usia lanjut dan gejala depresif biasanya adalah gejala awal dari
demensia yang mungkin menghalangi dasar kelainan kognitif yang pada akhirnya
mengakibatkan hanya depresi mayor saja yang terekam/tercatat sebagai diagnosis (Conwell et
al., 2002; Daraper et al., 2010).
Ada tiga studi case register besar tentang bunuh diri pada demensia. Studi longituninal
skala nasional di Denmark menggunakan data register medis rumah sakit dengan diagnose
demensia diasosiasikan dengan meningkatnya resiko bunuh diri terutama pada mereka yang telah
berusia 50 -69 tahun dengan resiko relative 8,5 pada laki-laki dan 10,8 pada perempuan. Pada
mereka dengan usia lebih dari 70 tahun rekiko relative adalah 4,7 pada laki-laki dan 3,4 pada
perempuan (Erlangsten et al., 2010). Resiko relative paling tinggi pada enam bulan diagnosis
pertama (13,5 pada laki-laki dan 13,7 pada perempuan), tapi pada laki-laki resiko tertinggi
terutama pada tiga bulan pertama dimana 26% meninggal. Akan tetapi 39% kematian akibat
bunuh diri lebih dari tiga tahun dari diagnosis. Mengontrol gangguan mood mengurangi namun
tidak menghilangkan peningkatan resiko (Erlangsen et al, 2008). Beberapa keterbatasan studi
termasuk diantaranya kemungkinan delirium yang didiagnosa sebagai demensia, dan
kemungkinan komorbid mental lain selain dari depresi yang tidak diperhitungkan pada 65% yang
didiagnosis pada saat perawatan psikiatri di rumah sakit.
Studi kedua melibatkan data dari Sembilan pusat masional survey terhadap semua kasus
bunuh diri di Inggris (sekitar 45.000) dimana 26,1% telah kontak dengan pelayanan kesehatan
mental pada setahun sebalum kematian (purandare et al., 2009). Dari semua yang pernah kontak
dengan pelayanan kesehatan mental, 118 memiliki demensia dan mereka dibandingkan dengan
kelompok sesuai usia dan gender dengan pasien tanpa demensia (n=492) dengan regresi logistic
kondisional. Komorbid psikiatri terdapat pada 69% pasien dengan demensia, terutama penyakit
depresi (36%), ketergantungan alcohol (14%), dan kelainan skizofrenia/delusional (10%). 44%

memiliki riwayat menyakiti diri sendiri. Hanya 14% yang didiagnosis pada tahun sebelumnya.
22% pasien demensia berusia kurang dari 65 tahun, lebih tinggi daripada distribusi usia yang
diharapkan pada orang orang dengan demensia, dan juga memiliki tingkat komorbid psikiatri
yang lebih tinggi teritama ketergantungan alcohol dan psikosis, dan riwayat rawat inap psikiatri.
Walaupun perbandingan dengan kontrol menunjukkan pasien dengan demensia memiliki
kecenderungan yang lebih rendah untuk tingkat rawat inap psikiatri, gejala psikliatri dan riwayat
menyakiti diri sendiri, hal ini tidak mengejutkan mengingat sampel yang didapat adalah orang
orang yang sebelumnya kontak dengan pusat kesehatan mental (Purandare et al., 2009).
Sebuah studi kohort mengambil sampel nasional dengan sampel mendekati 300.000 pada
Departemen Urusan Veteran pasien di USA dengan usia 60 tahun keatas yang didiagnosa dengan
demensia termasuk 209 (0,09%) yang telah menginggal karena bunuh diri sebelumnya (Seyfried
et al., 2011). 75% dari kematian bunuh diri terjadi selama dua tahun setelah diagnosis.
Menggunakan multivariate logistic regression, riwayat rawat inap psikiatri, diagnosis depresi,
dan peresepan pill antidepresan atau obat anxiolitik diasosiasikan dengan meningkatnya resiko
bunuh diri.
Temuan dari seringnya komorbid psikiatri dengan demensia terutama dengan depresi
menggema pada beberapa studi otopsi psikologis. Studi bunuh diri di San Diego menemukan
komorbid psikiatri pada lima dari tujuh kasus bunuh diri dengan demensia (Carney et al., 1994),
sedangkan Snowdon dan Baume (2002) mengidentifikasi 15 pasien dengan probable demensia
dari catatan hakim dimana 13 diantaranya ditemukan depresi pada waktu kematian dan demensia
diperkirakan sebagai pemberat pada delapan diantaranya.
Ada keterbatasan data mengenai tipe demensia, Erlangsen et al., (2008) menemukan
perempuan bukan laki-laki memiliki resiko yang lebih besar untuk bunuh diri pada penyakit
Alzheimer dibandingkan vaskuler demensia pada studi case register di Denmark. Ada
kemungkinan mekanisme biologis pada resiko bunuh diri yang meningkat pada penyakit
Alzheimer dimana awalnya terjadi perubahan neuropatologis pada system limbik dan hal ini
sudah disugestikan bahwa perubahan mood atau gejala emosional dapat mengawali penurunan
kognitif dan mengakibatkan pasien jadi lebih rentan terhadap perilaku bunuh diri (Rubio et al.,
2001). Dua studi neuropatologis memiliki hasil yang konflik terhadap proses patologis
Alzheimer pada bunuh diri dengan satu studi temuan overrepresentasi dari patologi penyakit
Alzheimer berat dan studi lain menemukan tidak ada perbedaan antara perbandingan dengan
kontrol (Rubio et al.,2001; Pesiah et al., 2007). Belakangan, studi retrospektif menimbulkan
kekhawatiran resiko bunuh diri pada pasien dengan demensia semantic dengan dua kematian
bunuh diri dari case series dari 25 mendemonstrasikan tingkat yang lebih tinggi dibandingkan
111 pasien yang disesuaikan umur pada onset awal demensia pada Alzheimer (Sabodash et al.,
2013).
Prevalensi depresi yang lebih tinggi pada vascular demensia daripada penyakit Alzheimer
memberikan support teorirtis tentang kemungkinan meningkatnya resiko bunuh diri Ballard et
al., 1996) akan tetapi keterbatasan data yang tersedia tidak dapat menunjukkan hal ini. Studi di
Jepang pada 241 pasien demensia vaskuler meaporkan bahwa hanya empat (1,7%) yang

meninggal karena bunuh diri dan semuanya memiliki demensia ringan dan merupakan yang
paling depresi (Ito et al., 2007, disitasi oleh Haw et al., 2009).
Bunuh diri telah lama dikaitkan dengan orang-orang dengan penyakit Hunnington
daripada populasi umumnya dengan satu meta analisis memperkirakan resikonya tiga kali lebih
besar daripada yang diperkirakan (Harris and Barraclough, 1997). Studi di Hungaria yang
memeriksa 396 kematian orang-orang dengan penyakit Hunnington melaporkan 10,1%
dikarenakan bunuh diri (Baliko et al., 2004); dimana di USA 7,3% dari 2.793 kematian pada
register nasional penyakit Hunnington karena bunuh diri (Di Maio et al., 1993). Resiko bunuh
diri dilaporkan meningkat pada awal penyakit Hunnington dimana terdapat gejala minimal
namun bunuh diri juga dapat terjadi pada fase akhir (Farrer 1986; Di Mario et al., 1993; Baliko et
al., 2004). Yang kurang pada penelitan pada penyakit Hunnington adalah informasi tertandar
tentang derajat gangguan kognitif sebelum terjadinya bunuh diri; tidak jelas apakah proporsi
bunuh diri pada penyakit Hunnington terjadi pada orang-orang yang telah memenuhi kriteria
untuk demensia. Situasi serupa juga terjadi pada demensia terkait HIV dimana hanya terdapat
case report terjadinya bunuh diri (Alfonso and Cohen, 1994). Dimana terdapat bukti
meningkatnya resiko bunuh diri pada pasien dengan HIV/AIDS, sayangnya kualitas penelitian
tersebut kurang baik dan tidak jelas level gangguan kognitif yang tarjadi (Komiti et al., 2001).
Ada banyak kesenjangan pada data bunuh diri terutama data tentang tipe demensia dan
keadaan sekitar pada saat bunuh diri dimana tidak ada komorbid psikiatri yang teridentifikasi.
Namun, bukti menunjukkan terlepas dari satu studi (Erlangsten et al., 2008) secara umum resiko
bunuh diri terlihat tidak meningkat. Apakah hal ini akan berubah dengan mulai banyaknya
diagnose dini demensia masih belum dapat diketahui.
Ada tema umum pada seluruh pektrum ide bunuh diri, usaha bunuh diri dan bunuh diri
pada demensia. Pertama, biasanya terdapat komorbid psikiatri, umumnya, namun tidak terbatas
pada depresi. Kedua, perilaku bunuh diri terjadi pada demensia dini, sering dalam jangka waktu
tiga bulan setelah diagnosis dan dapat diasosiasikan pada kesadaran yang masih baik dan insight
akan terjadinya penurunan fungsi kognitif juga kemampuan untuk melakukan aktivitas terencana
(Margo and Finkel, 1990; Jim et al., 2005). Ketiga, tampaknya ada peningkatan resiko pada
orang-orang yang lebih muda dengan demensia, dimana secara parsial dapat merefleksikan
tingkat depresi yang lebih tinggi dan kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan diagnosisnya.
Menyakiti Diri Sendiri dan Perilaku Secara tak Langsung Mencelakai Diri Pada
Perawatan di Rumah Rawat
Pada perawatan di rumah, tingkat BPSD yang lebih tinggi telah didokumentasikan
dengan baik dan cenderung meningkat dengan derajat keparahan demensia (Brodati et al., 2001;
Zuidema et al., 2007). Depresi umum terjadi pada studi 319 rawat rumah dengan demensia
dimana 43% mengalami depresi sesuai CSDD dan keadaan depresi juga diasosiasikan dengan
BPSD lain yang dukur dengan menggunakan NPI, terutama kecemasan, agitabilitas dan
iritabilitas (Prado Jean et al., 2010).
Beberapa BPSD meliputi beberapa tipe perilaku overt menyakiti diri sendiri, seperti
memotong dan pica dimana tujuannya dapat sulit untuk ditentukan karena level kognitifnya.

Perilaku menyakiti diri sendiri dapat bervariasi dari keinginan untuk mati (DSH) sampai bertaruh
dengan kematian, membahayakan diri secara sadar namun non letal, sampai bahaya yang tidak
disengaja. Indirect Self Destructive Behavior (ISDB) telah didefinisikan sebagai aksi atau
kelalaian yang mengakibatkan bahaya pada diri sendiri yang mengakibatkan secara tidak
langsung, dengan berjalannya waktu pada kematian pasien (Conwell et al., 1996) dan telah
sering dideskripsikan pada veteran perang dan usia lanjut yang telah lama menjalani perawatan
rumah (Nelson and Farberow, 1982; Draper et al., 2002). Contoh ISDB yang berkaitan dengan
DSH termasuk panolakan makan, minum maupun minum obat.
Pada studi di Australia yang meilbatkan 505 penghuni dari 11 Nursing Home dengan
diagnosis demensia atau memiliki skor AMTS kurang dari 7, pada Harmful Behavioral Scale
(HBS) staf perawat melaporkan bahwa 45,8% menolak untuk makan dan minum, 31,5%
menolak minum obat, 5,6% memakan benda asing atau meminum substansi racun dan 4%
memotong diri sendiri menggunakan benda-benda tajam; kebanyakan perilaku ini terjadi kurang
dari seminggu terakhir (Drapper et al., 2002, 2003a). Sekitar 25% yang memotong diri sendiri
dilakukan dengan sengaja (Draper et al., 2002). Walaupun tidak ada hubungan yang ditemukan
antara skor total HBS dan ukuran depresi atau ide bunuh diri, sekitar 3,5% dari penghuni yang
menolak untuk makan memiliki klinis depresi (Draper et al., 2003). Studi follow up menunjukan
bahwa faktor passive self harm behavior pada skala HBS seperti menolak untuk makan atau
minum maupun menolak minum obat memprediksi mortalitas dalam satu tahun, bukan resiko
bunuh diri (Draper et al., 2003b). Penghuni yang memiliki skor passive self harm behavior yang
tinggi cenderunng tinggal di tempat yang memiliki design yang cocok untuk orang dengan
demensia seperti memiliki fitur keamanan yang lebih baik. (Low et al., 2004).
Penelitian cross sectinal di Belanda melibatkan 110 pasien Nursing Home dengan
demensia menemukan bahwa 22% memiliki perilaku membahayakan diri sendiri dalam dua
minggu terakhir namun tidak ada pengukuran skala depresi dan perilaku bunuh diri yang tercatat
(de-Jonghe-Rouleau et al., 2005).
Hingga saat ini penelitian masih belum dapat menunjukkan tingkat ide bunuh diri dan
DSH pada pasien Nursing Home dengan demensia, paling tidak sebagian karena kesulitan
memasikan adanya keinginan atau usaha bunuh diri pada demensia sedang dan berat. Satusatunya bukti yang dapat dipercaya tentang tingkat bunuh diri pada demensia Nursing Home
ditemukan bahwa tingkat bunuh diri lebih rendah dibandingkan dengan pasien yang tinggal di
rumahnya sendiri (Seyfried et al., 2011). Sebagian besar perilaku membahayakan diri sendiri
dimasukkan ke dalam BPSD bukan sebagai kemungkinan usaha untuk bunuh diri. Ini mungkin
saja benar tapi beberapa studi juga mempertanyakan hal ini. Kesulitan yang sama juga ada
seperti untuk menentukan BPSD pada populasi meskipun kelihatannya terdapat minoritas dari
penghuni Nursing Home dengan demensia yang memang menolak untuk makan pada konteks
depresi dan ide bunuh diri.
Resiko pada pre Symptomatic dan early Diagnosis Demensia
Pada era dimana semakin banyak diagnosis dini dan pre simptomatis terutama
menggunakan biomarker dan tes genetika, menimbulkan perhatian khusus terhadap potensial

perilaku bunuh diri (Draper et al., 2010). Walaupun perhatian meningkat pada tes prediktif pada
penyakit Hunnington dapat meningkatkan resiko bunuh diri (Farrer, 1986), masih belum jelas
apakah hal ini memang benar terjadi. Assesmen skala internasional terhadap akibat tes prediktif
ditemukan bahwa hanya 2% partisipan yang menerima hasilnya menunjukkan peningkatan
resiko atau mutasi yang menunjukkan perilaku bunuh diri hingga empat tahun setelah dilakukan
tes dengan mayoritas terjadi di tahun pertama (Almqvist et al., 1999). Studi menyoroti
pentingnya memperikan suport positif terutama di tahun pertama pada mereka dengan hasil
positif. Studi Australia melaporkan case series 20 tahun pada 518 pasien dengan resiko yang
mengajukan diri untuk tes prediktif penyakit Hunnington (n=466) dan penyakit neurodegeneratif
lainnya (n=52) menemukan bahwa tidak ada catatan bunuh diri (Wedderburn et al., 2013).
Telah diduga bahwa model yang digunakan untuk tes prediktif penyakit Hunnington
harus diadopsi sebagai model pada tipe lain demensia termasuk situasi dimana diagnosis pre
symptomatic dapat terjadi (Draper et al., 2010). Hal ini melibatkan pre tes konseling untuk
menjelaskan resiko dan menfaat dari tes, jeda waktu antara kunjungan pertama dan penetapan
hasil sebagai individual membutuhkan waktu apakah mereka akan membatalkan dan
penyampaian hasil dilakukan dengan tatap muka (Hayden 2003). Ada beberapa guidelines yang
ada tentang bagaimana menangani penyampaian hasil diagnosis pada demensia (Carpenter and
Dave, 2004; Foy et al., 2007) dan telah direkomendasikan isu terkait bunuh diri juga harus
dimasukkan (Draper et al., 2010).
Bunuh diri dibantu (assisted suicide) dan Bunuh diri rasional (rational suicide)
Bunuh diri dibantu (assisted suicide) atau euthanasia aktif adalah tindakan secara aktif
dan sengaja untuk mengakhiri kehidupan seseorang dengan permintaan yang jelas. Orang
pertama yang meninggal dengan cara ini menggunakan mesin bunuh diri dr Kevorkian pada
1989 adalah seorang perempuan 54 tahun b ernama Janet Adkins yang didiagnosa dengan
Alzheimer awal. Walaupun dr Kevorkian dituntut dengan pembunuhan tuntutan tersebut
dijatuhkan pada tahap awal karena tidak ada hukum waktu itu di Michigan yang melarang bunuh
diri maupun bantuan medis untuk melakukannya. Namun kasus ini telah mendapatkan perhatian
karena alasan etika dan debat mediko-legal.
Mungkin isu yang paling tepat adalah kapasitas orang dengan demensia untuk
memberikan Informed Consent. Pada peraturan yang membolehkan euthanasia, kriteria legal
untuk menjustifikasi beraneka ragam salah satunya kompetensi. Semisal di Belanda euthanasia
legal apabila permintaan pasien secara volunteer, telah dipertimbangkan matang, menetap dan
telah diedukasi dan yang mengajukan euthanasi ini kompeten saat sedang mengajukan request
dalam keadaan yang tersiksa atau putus asa yang tak dapat ditahan lagi (Hertogh, 2005).
Kurangnya konsensus tentang standar yang digunakan untuk menentukan kompetensi pada
seseorang berbeda-beda pada setiap klinisi. Tes yang legal dengan kriteria yang lebih jelas telah
diajukan untuk menentukan kapasitas untuk meminta euthanasia. Kriteria ini diantaranya
termasuk kemampuan untuk mengerti dan menyimpan informasi terhadap kondisi mereka dan
keputusan untuk mengakhiri hidupnya, kemampuan untuk percaya pada informasi pengobatan
yang diberikan termasuk prognosis, pengobatan alternatif, dan informasi terkait metode yang
dipilih untuk mengakhiri hidupnya, kemampuan untuk menimbang dan akhirnya mengambil

keputusan, kemampuan untuk mengkomunikasikan keputusan mereka dan keputusanini harus


bebeas dari pengaruh orang lain (Stewart et al., 2011). Apakah seseorang dengan demensia parah
ataupun sedang dianggap kompeten untuk mengambil keputusan seperti ini masih diperdebatkan
Tidak ada informasi akurat tentang bagaimana orang dengan demensia sedang akan
memepertimbangkan euthanasia meskipun gangguan kognitif termasuk sedang, namun
pengalaman dari Belanda menunjukkan hal ini jarang terjadi (Hertogh, 2009). Kemungkinan
karena orang dengan demensia sedang sebagian besar merasa kualitas hidup mereka cukup baik
dan dapat diterima. Dalam hukum euthanasia di Belanda, putus asa dan penderitaan yang tak
tertahankan dibutuhkan dan peraturan di Belanda menentukan bahwa orang dengan demensia
sedang dapat memenuhi kriteria tersebut (Booij et al., 2013). Hal ini konsisten dengan
pandangan filosofis bahwa adalah rasional untuk orang orang yang mengalami demensia
belum pada tingkat lanjut untuk mengakhiri hidupnya, bahkan meskipun kualitas hidup mereka
baik, dengan pengetahuan bahwa pada akhirnya mereka akan semakin semakin cacat dan
kehilangan kapasitas untuk melakukan bunuh diri senriri (Battin, 1994; Prado, 1998). Hal ini
dapat dilihat sebagai hak untuk menentukan sendiri dan otonomi (Post, 1997).
Davis (2013) beranggapan bahwa perubahan ke arah diagnosis pre simptomatis
Alzheimer memungkinkan bunuh diri rasional (rational suicide) sebagai opsi yang mungkin
untuk mereka yang keadaannya menurun. Dia mensugestikan bahwa alasan seseorang untuk
memikirkan bunuh diri rasional (rational suicide) termasuk untuk membicarakan aset finansial,
mengurangi beban terhadap keluarga, dan memungkinkan orang untuk mengakhiri hidupnya
dengan chapter akhir yang sesuai dengan narasi keseluruhan. Lebih kontroversial lagi Davis
mengajukan bahwa peneliti dan klinisi dibutuhkan untuk memahami opsi untuk memutuskan
mengakhiri hidup dan memberikan informasi tentang biomarker untuk meneliti partisipan dan
pasien sehingga mereka dapat memberikan stretegi untuk keluar jika dibutuhkan (Davis, 2013).
Protocol penelitian dengan mengidentifikasi biomarker pada populasi preklinis dapat
menghalangi sharing informasi dengan partisipan dengan alasan dimana tidak ada pengobatan
yang dapat merubah resiko (Davis, 2013). Davis beralasan bahwa hal ini melanggasr autonomi
pasien yang akan merencanakan kematiannya.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dari pandangan seperti ini. Pertama,
mengabaikan ketidakmampuan sebuah biomarker untuk memprediksi onset dari suatu penyakit,
kualitas kehidupan seseorang, atau kapasitas membuat keputusan seseorang (Draper, 2014). Hal
ini dapat membahayakan karena sekarang ada banyak tes yang ditawarkan pada konsumen ntuk
memprediksi resiko demensia. Tak ada satupun dari tes tersebut spesifik untuk demensia karena
interpretasi hasil yang positif harus berhati-hati. Kedua, secara sudut pandang moral, bunuh diri
tidak dapat dievaluasi hanya dari sudut pandang autonomi sebagai seseorang, namun nilai dalam
keluarga atau lingkungan juga. Klinisi dan peneliti memiliki tanggung jawab yang lebih luas
terhadap akibat yang ditimbulkan dari bunuh diri terhadap keluarga, dan professional kesehatan
lain dan dapat berakibat sangat besar (Sveen and Walby, 2008; Draper et al., 2004). Hal ini
tentunya sangat menantang terutama bagi klinisi yang bekerja di tempat dimana euthanasia
diperbolehkan secara hukum.

Beberapa orang berargumen bahwa orang dengan demensia memiliki tanggung jawab
moral berdasarkan Kantian untuk mengakhiri hidupnya sendiri sehingga mereka tidak menjadi
beban bagi masyarakat (Cooley, 2007), halaupun hal ini telah menjadi sumber perdebatan serius
(Rabbins, 2007; Sharp, 2012), namun perlu diketahui bahwa sekitar 60% warga Inggris Tenggara
setuju dengan adanya bunuh diri yang difasilitasi oleh klinisi pada kasus demensia berat
(Williams et al., 2007).
Penggunaan instruksi/perintah untuk melakukan bunuh diri adalah salah satu pendekatan
yang telah diajukan untuk memungkinkan seseorang, walaupun tidak dengan demensia, untuk
membuat keputusan apakah yang akan terjadi jika suatu saat nanti mereka kehilangan
kompetensi mentalnya. Instruksi dalam hal ini kontroversial karena seseorang dapat saja
kesulitan membayangkan apa yang akan mereka rasakan di masa depan saat mereka sudah
memilki kemampuan kognitif yang berbedadan preferensi serta kebutuhan mereka mungkin saja
perubah dalam keadaan baru tersebut, terutama ketika pandangan seseorang untuk mengakhiri
hidup dapat berubah sejalan berkembangnya suatu penyakit.
Pada kasus ekstrem, telah diajukan bahwa orang dengan pre-demensia dan orang yang
sama dengan demensia dapat dianggap sebagai dua orang yang berbeda, dan instruksi yang
diberikan pada orang dengan pre-demensia sama saja dengan memberikan arahan pada orang
lain (Degrazia, 1999). Hal ini juga menjadi perhatian terutama ketika pengobatan efektif untuk
demensia sedang dikembangkan. Dilemma ini juga disoroti pada kasus seorang ibu warga
Amerika Shelley Fabares yang meninggalkan instruksi bahwa dia ingin untuk mengakhiri
hidupnya sendiri ketika akan berkembangnya penyakit Alzheimer pada dirinya, namun saat
terjadi dirinya lupa bahwa pernah membuat keputusan seperti itu (De Leo, 1996). Studi kualitatif
yang melibatkan orang orang dengan demensia sedang dan perawatnya mendemonstrasikan
kesulitan untuk merencanakan pengakhiran hidup pada populasi ini. Orang dengan demensia
punya kesulitan untuk membayangkan dirinya di masa depan, sedangkan pengasuh
menginginkan kontrol saat masa akhir hidup dan menaikkan isu tentang euthanasia (Dening et
al., 2013). Temuan ini konsisten dengan keprihatinan oleh penganut etis dengan penggunaan
wakil sebagai pengambil keputusan, menimbulkan kemungkinan wakil dapat saja
memproyeksikan value mereka ketika dihadapkan pada keputusan demikian (Degrazia, 1999).
Dan juga ada kemungkinan sebagai wakil atau orang yang merawat, terdapat beban untuk
merawat yang dapat mempengaruhi pengambilan keputusan (Hertogh, 2005).
Ketidakjelasan tentang pemberian instruksi untuk euthanasia mungkin direfleskikan
dengan tingkat penggunaannya yang sangat rendah di Belanda. Survey dari 434 usia lanjut
ditemukan bahwa mereka belum pernah digunakan oleh pasien yang inkompeten dan ada
kesulitan secara praktis untuk menentukan ketidaksanggupan oleh penderitaan dan
memutuskan kapan instruksi diberikan. Faktor penting lainnya adalah ketidakmungkinan
komunikasi dokter-pasien pada pasien dengan demensia lanjut, sehingga kurangnya
kesepahaman antara dokter dan pasien sehingga euthanasia tidak dapat digambarkan secara
moral bahkan dengan adanya instruksi untuk euthanasia.
Banyak yang telah mempertanyakan apakah kegagalan untuk melaksanakan instruksi
euthanasia berarti dibutuhkan adanya guideline secara praktikal (Rurup et al., 2010). Seorang

novalis, Terry Pratchett, yang telah didiagnosa dengan penyakit Alzheimer secara public telah
mengadvokasi assisted suicide untuk dimasukkan dalam panel hukum karena hal ini untuk
kebaikan masyarakatdan orang yang mengajukannya (Pratchett, 2010).
Kesimpulan dan Arahan Untuk Penelitian Selanjutnya
Tidak mengejutkan bahwa beberapa individu dapat menjadi suicidal dalam konteks
membahayakan nyawa seperti pada pasien dengan demensia dan akan lebih mungkin terutama
apabila ada komorbiditas psikiatri lainnya, pada fase awal demensia dan terutama pada populasi
yang lebih muda. Hingga saat ini bunuh diri terlihat sebagai outcome yang jarang terjadi pada
demensia, namun prospek pada pre demensiadan diagnosis dini demensia mungkin merubah ahal
tersebut. Evidence base terhadap perilaku bunuh diri masih terbatas secara kualitas. Penelitian
selanjutnya perlu untuk mengeksplorasikeinginan bunuh diri, ide bunuh diri dan perilaku bunuh
diri dari orang orang yang beresiko demensia atau dengan gejala kognitif sedang pada penelitian
prospektif multicenter longitudinal. Dengan tujuan mengidentifikasi dan menangani mereka yang
berada dalam keadaan stress dan mengurangi resiko bunuh diri juga untuk lebih mengenal
evolusi dalam keinginan untuk mengakhiri hidup yang dapat berupa euthanasia atau bunuh diri
dibantu (assisted suicide) ada juga kebutuhan untuk menentukan keadaan spesifik gangguan
kognitif yang termasuk tipe demensia, yang berhubungan dengan resiko bunuh diri.
Tantangan hidup dengan orang yang menderita demensia dapat berakibat seseorang
memohon dilakukannya euthanasia atau assisted suicide sebelum demensianya menjadi lebih
parah dan harus ada penjelasan public tentang dilemma moral yang disebabkan hal ini ke
masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai