SERSAN
: Ya, Pak.
MARJOSO
SERSAN
MARJOSO
SERSAN
MARJOSO
: (cepat) Adalah kawanku? ...... Anak dari seorang guru yang kau
hormati? Begitu?
SERSAN
: Maaf, Pak.
MARJOSO
: (mengeluh) Mereka pikir, apa aku ini? Mereka pikir dalam hal ini aku
masih sempat memikirkan dia, anak dari seorang guru yang aku
hormati. Kalau aku mintakan dia diperlukan dengan baik, itu adalah
haknya sebagai tawanan.
pg. 1
SERSAN
MARJOSO
SERSAN
MARJOSO
(NARATOR)
MARJOSO
AHMAD
MARJOSO
AHMAD
MARJOSO
AHMAD
: Baiklah, apa yang akan kau perbuat atas diriku, perbuatlah! Kini aku
tawananmu.
MARJOSO
AHMAD
MARJOSO
: (merasakan itu sebagai sindiran yang tajam) Itu perkara nanti. Tapi
aku ingin mendengarkan dari mulutmu sendiri tentang semuanya ini
dulu.
AHMAD
MARJOSO
AHMAD
: (tersenyum dingin) Tidakkah kau tahu, bahwa antara anak dan orang
tuanya senantiasa terjalin ikatan yang tak terputuskan?
pg. 2
MARJOSO
AHMAD
MARJOSO
AHMAD
: Tidak.
MARJOSO
AHMAD
MARJOSO
AHMAD
MARJOSO
AHMAD
MARJOSO
AHMAD
: Di tengah-tengah bulak.
MARJOSO
AHMAD
MARJOSO
AHMAD
MARJOSO
AHMAD
MARJOSO
AHMAD
MARJOSO
AHMAD
MARJOSO
AHMAD
MARJOSO
AHMAD
MARJOSO
AHMAD
: Hilang!
MARJOSO
AHMAD
: (tersadar, akan masuk perangkap) Maksudku ... akan ... aku tidak
begitu takut.
MARJOSO
: Mengapa?
AHMAD
MARJOSO
: Karena apa?
AHMAD
MARJOSO
AHMAD
MARJOSO
AHMAD
MARJOSO
AHMAD
MARJOSO
AHMAD
MARJOSO
AHMAD
MARJOSO
yang mewarisi tradisi turun-temurun. Mulai dari buyutmu, kakekkakekmu sampai ke ayahmu. Pesantren tempat ayahmu menempa
pemuda-pemuda yang bertanggung jawab akan hari depan agama
dan tanah airnya, bangsanya. Ahmad ..... engkau tidak menyesali
semua itu? (terdiam sebentar-sebentar menarik nafas). Oh, Ahmad,
tidakkah engkau takut akan siksa Tuhanmu? Bagaimana kelak
dosamu akana membakar dirimu?
AHMAD
MARJOSO
: (ke depan) Oooooooo, jiwa yang tak lebih berharga dari pada jiwa
seekor anjing. Berapa banyaknya air mata yang harus dicucurkan
para ibu untuk mengenang murid-murid ayahmu yang hangus
terbakar bersama pesantren yang dicintainya, Ahmad.
AHMAD
MARJOSO
AHMAD
MARJOSO
AHMAD
MARJOSO
AHMAD
AHMAD
MARJOSO
HAJI JAMIL
MARJOSO
HAJI JAMIL
MARJOSO
: Bukan begitu, bapak. Ahmad sudah terang bersalah. Dan dia harus
menerima hukumannya. Namun, pada saat-saat terakhir, karena
bapak adalah ayahnya, saya juga perlu mendatangkan bapak
kemari.
HAJI JAMIL
MARJOSO
: Harap diingat, Pak. Malam ini adalah malam terakhir bagi Ahmad.
Tentulah bapak sependapat dengan saya, bahwa saat-saat yang
paling penting dalam kehidupan manusia adalah saat manusia
menghadapi mautnya. Saat-saat itu memerlukan persiapan dan
bimbingan. Pada saat-saat terakhir, saya ingin dia mati sebagai putra
bapak, sebagai murid Pak Kyai. Saya ingin dia mati bukan sebagai
anjing.
HAJI JAMIL
MARJOSO
: Pak Kyai!
HAJI JAMIL
: Aku telah besarkan anak itu. Aku turunkan ilmuku, karena dialah
yang kuharapkan segala-galanya. Tetapi, mengapa dia tidak
mengerti perjuangan bangsanya sendiri? Aku sungguh tidak
mengerti. Balasan apa yang harus kuterima ini, Marjoso?
pg. 6
MARJOSO
: Pak Kyai tidak boleh menyesali diri hanya lantaran dia. Beratus-ratus
murid bapak, bahkan beribu-ribu yang senantiasa menyebut-nyebut
nama Kyai dengan hormat dan khidmat. Beribu murid yang akan
mewarisi cita-cita bapak, dan meneruskan cita-cita itu. Marilah kita
tidak bicarakan hal itu. Kini kita membicarakan seorang putra, yang
walau betapa sesat pun, dia masih seorang putra.
HAJI JAMIL
MARJOSO
HAJI JAMIL
: (tersentak agak gusar) Takdir semata? Apa yang kau ketahui tentang
takdir, Marjoso? Tuhan memberikan kebaikan-kebaikan kepada kita,
Tuhan memberikan kekuatan-kekuatan kepada kita. Tuhan
memberikan kekuatan-kekuatan untuk melawan keburukankeburukan pada kita. Tuhan memberikan alat-alat yang kita perlukan
untuk memenuhi panggilannya sebagai makhluk semulianya
makhluk. Tuhan tidak menakdirkan Ahmad sebagaia musuh
bangsanya. Dia sendiri yang berbuat begitu. Dia sendiri yang
menentukan harus mati sebagai dia. Tuhan memberinya akal,
mengapa tidak dipergunakan akalnya untuk menginsyafinya, bahwa
perbuatan yang sehina-hinanya di permukaan bumi ini adalah
mengkhianati bangsanya sendiri.
MARJOSO
HAJI JAMIL
MARJOSO
HAJI JAMIL
MARJOSO
HAJI JAMIL
MARJOSO
HAJI JAMIL
MARJOSO
HAJI JAMIL
MARJOSO
: Namun, dialah putra yang pernah Pak Kyai harapkan, dialah putra
yang pernah Pak Kyai bisikkan dalam telinganya kalimat azan tatkala
ia lahir. Masih ada beberapa saat lagi di mana bapak mungkin bisa
mengharapkan sesuatu darinya, penyesalan umpamanya, atau
taubat nasukha.
HAJI JAMIL
MARJOSO
: Tidak inginkah Pak Kyai agar Ahmad mati dengan menyebut nama
Allah?
HAJI JAMIL
: Tidak!
MARJOSO
HAJI JAMIL
: (setengah mengharap) Oh, Marjoso ............. Aku telah berharapharap dan harapanku dihancurkan, dimusnahkannya ..................
MARJOSO
HAJI JAMIL
: (cepat menyahut) Tak perlu, Marjoso, tak perlu aku lihat mukanya
lagi.
MARJOSO
SERSAN
: Siap, Pak!
HAJI JAMIL
MARJOSO
HAJI JAMIL
MARJOSO
: Pak Kyai!
pg. 8
HAJI JAMIL
MARJOSO
: Tawakallah Kyai!
HAJI JAMIL
MARJOSO
SERSAN
MARJOSO
HAJI JAMIL
MARJOSO
HAJI JAMIL
KURIR
MARJOSO
ZULAECHA
HAJI JAMIL
ZULAECHA
HAJI JAMIL
ZULAECHA
MARJOSO
HAJI JAMIL
: Tidak!
ZULAECHA
HAJI JAMIL
ZULAECHA
HAJI JAMIL
ZULAECHA
pg. 9
HAJI JAMIL
MARJOSO
ZULAECHA
HAJI JAMIL
: Cukup! Pulang kau! Aku rela dia dibunuh. Aku rela dia dilenyapkan.
Karena dengan lenyapnya dia, lenyap pula satu di antara beratusratus penghalang untuk kemenangan republik.
MARJOSO
ZULAECHA
HAJI JAMIL
: Zulaecha!
ZULAECHA
HAJI JAMIL
ZULAECHA
HAJI JAMIL
ZULAECHA
HAJI JAMIL
ZULAECHA
HAJI JAMIL
: Aku doakan agar ia diterima taubatnya oleh Allah SWT. Aku tidak
punya hak untuk melindungi orang yang telah banyak dosa.
ZULAECHA
HAJI JAMIL
ZULAECHA
anaknya
sendiri
yang
durhaka
pg. 10
HAJI JAMIL
ZULAECHA
HAJI JAMIL
ZULAECHA
HAJI JAMIL
: Kita hidup bersama amal kita, anakku. Kita hidup bersama budi kita.
Beramallah, berbudiluhurlah, berbuatbaiklah. Dan engkau tidak akan
kehabisan saudara. Kau akan merasakan bahwa sesungguhnya
kemanusiaan adalah satu keluarga. Kemanusiaan adalah satu
darah, satu urat, satu cita-cita.
ZULAECHA
HAJI JAMIL
ZULAECHA
: (mengeluh) Oh, ayah, setiap kita pernah bersalah, mengapa tak ada
ampun bagi dia?
HAJI JAMIL
ZULAECHA
HAJI JAMIL
ZULAECHA
HAJI JAMIL
bertahan, bersatu, dan bila diserang wajib kita balas serangan itu,
oleh karena Islam tidak rela dijajah siapapun.
ZULAECHA
: (terdiam sejurus) Ayah, masih ingatkah ayah tatkala ibu tewas, tubuh
itu hancur oleh peluru.
HAJI JAMIL
ZULAECHA
HAJI JAMIL
ZULAECHA
HAJI JAMIL
ZULAECHA
HAJI JAMIL
ZULAECHA
: Ya. Peluru dari murid yang paling ayah kasihi, lebih dari mengasihi
anaknya sendiri.
HAJI JAMIL
: Tapi itu adalah hak Marjoso untuk berbuat begitu, apa artinya satu
jiwa bagi beribu-ribu jiwa yang dalam tanggungannya.
ZULAECHA
: Namun dia adalah penyebab kematian ibu. Orang itu masih ayah
lindungi juga, ayah beri tempat persembunyian di pesantren.
Dapatkah abang disalahkan, kalau sejak saat itu dia mendendam?
Karena dendam itulah dia menunjukkan tempat persembunyian
Marjoso, tapi pesantren itu terbakar semuanya. Belandalah yang
membakarnya, bukan Ahmad. Dapatkah Bang Ahmad disalahkan?
Karena dendam sudah menutupi seluruh kesadarannya. Sadarlah,
ayah!
HAJI JAMIL
ZULAECHA
tapi malang, Bang Ahmad tertangkap, dan kini dia harus mati
sebelum tuntutannya terpenuhi. Salahkah dia kalau begitu mencintai
ibunya? (menyerang terus) Ayah, mintalah kebebasan baginya.
Marjoso adalah murid ayah. Pergunakan pengaruh ayah untuk
kebebasan anakmu Ahmad. Dia tidak bersalah, satu-satunya
kesalahan dia adalah terlalu cinta kepada ibunya.
HAJI JAMIL
ZULAECHA
HAJI JAMIL
ZULAECHA
HAJI JAMIL
ZULAECHA
HAJI JAMIL
ZULAECHA
HAJI JAMIL
ZULAECHA
HAJI JAMIL
MARJOSO
pg. 13
ZULAECHA
HAJI JAMIL
ZULAECHA
HAJI JAMIL
MARJOSO
: (penuh perasaan) Apalah artinya korban satu atau dua jiwa yang kita
cintai untuk perjuangan suci ini?
HAJI JAMIL
ZULAECHA
MARJOSO
: (memandang jauh ke depan) Zulaecha, perlukah aku banggabanggakan korban-korban untuk tanah air ini? Perlukah aku katakan
bahwa tak lebih dari satu bulan yang lalu aku juga mengalami
kesedihan yang dalam, kedua orang tuaku dua-duanya ditangkap
Belanda, dan meninggal dalam penjara.
HAJI JAMIL
MARJOSO
HAJI JAMIL
MARJOSO
HAJI JAMIL
pg. 14
ZULAECHA
MARJOSO
: Kini tiba saatnya Pak Kyai, tibalah saatnya bertemu dengan Ahmad.
HAJI JAMIL
MARJOSO
SERSAN
MARJOSO
SERSAN
MARJOSO
SERSAN
HAJI JAMIL
AHMAD
HAJI JAMIL
: Tanganmu berlumur darah, dan darah itu adalah darah kawankawanmu sendiri, Ahmad.
AHMAD
MARJOSO
AHMAD
: (bangkit memukul meja) Kau tak berhak memakai alasan itu untuk
mempersuci dirimu!
AHMAD
HAJI JAMIL
: Ahmad!
AHMAD
HAJI JAMIL
MARJOSO
AHMAD
: (tegas) Aku!
HAJI JAMIL
MARJOSO
: Tapi kau tak berhasil menjebak aku, namun kedua orang tuaku
ditangkap dan mereka tak ada lagi kini. Mereka mangkat akibat
siksaan-siksaan yang keji.
AHMAD
MARJOSO
HAJI JAMIL
MARJOSO
: Kalau aku harus mati lantaran pelurunya, pak kyai, aku harus ikhlas
mati untuk meyakinkan dia dan orang-orang seperti dia, bahwa
dalam perjuangan ini tidak harus diperhitungkan untung rugi
perseorangan. Aku ikhlas mati untuk meyakinkan semua orang,
bahwa sebab yang akan menggagalkan revolusi ini ialah, manakala
pg. 16
MARJOSO
: Korban telah cukup banyak, kyai. Seorang demi seorang kawankawan gugur lantaran soal dendam-mendendam ini. Aku merasa ikut
bersalah juga kyai (keterangan ini meliputi ketiga orang itu) (Ahmad
tampak tak dapat menguasai dirinya, Marjoso mengangkat pistolnya,
Haji Jamil memalingkan muka, sedih, dan putus asa dalam
kecemasan) angkat pistolmu agar kau mati dengan tidak membawa
dendam ke dalam kubur. Aku akan menghitung sampai tiga kali,
maka tembaklah aku dan aku akan menembakmu. (ahmad tidak
menjawab, ia mengangkat pistolnya tapi jelas tangannya mulai
gemetar. Marjoso menatapinya dengan tenang. Jarak mereka kirakira empat langkah dipisahkan oleh meja, haji jamil berdiri di tengahtengahnya)
HAJI JAMIL
AHMAD
HAJI JAMIL
AHMAD
HAJI JAMIL
AHMAD
HAJI JAMIL
AHMAD
MARJOSO
AHMAD
HAJI JAMIL
SELESAI
pg. 18