Anda di halaman 1dari 32

REFERAT

ILMU KESEHATAN ANAK


INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT (ISPA)

Disusun Oleh:
Anindita Pramadyasiwi, S. Ked
NIM. 072011101007
Dosen Pembimbing :
dr. H. A. Nuri, Sp. A
dr. Gebyar Tri Baskoro, Sp. A
dr. Ramzi Syamlan, Sp. A
Disusun untuk melaksanakan tugas Kepaniteraan Klinik
SMF Ilmu Kesehatan Anak di RSD dr. Soebandi Jember
SMF ILMU KESEHATAN ANAK RSD dr. SOEBANDI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER
2011

Pendahuluan
ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) adalah penyakit yang terbanyak
diderita oleh anak- anak, baik di negara berkembang maupun di negara maju dan
sudah mampu; dan banyak dari mereka perlu masuk rumah sakit karena
penyakitnya cukup gawat. Penyakit-penyakit saluran pernapasan pada masa bayi
dan anak-anak dapat pula memberi kecacatan sampai pada masa dewasa, di mana
ditemukan adanya hubungan dengan terjadinya Chronic Obstructive Pulmonary
Disease.1,2
ISPA masih merupakan masalah kesehatan yang penting karena
menyebabkan kematian bayi dan balita yang cukup tinggi yaitu kira-kira 1 dari 4
kematian yang terjadi. Setiap anak diperkirakan mengalami 3-6 episode ISPA
setiap tahunnya. 40% -60% dari kunjungan di Puskesmas adalah oleh penyakit
ISPA. Dari seluruh kematian yang disebabkan oleh ISPA mencakup 20% - 30%.
Kematian yang terbesar umumnya adalah karena pneumonia dan pada bayi
berumur kurang dari 2 bulan.1
Hingga saat ini angka mortalitas ISPA yang berat masih sangat tinggi.
Kematian seringkali disebabkan karena penderita datang untuk berobat dalam
keadaan berat dan sering disertai penyulit-penyulit dan kurang gizi. Data
morbiditas penyakit pneumonia di Indonesia per tahun berkisar antara 10 -20 %
dari populasi balita. Hal ini didukung oleh data penelitian di lapangan (Kecamatan
Kediri, NTB adalah 17,8 % ; Kabupaten Indramayu adalah 9,8 %). Diperkirakan
bahwa separuh dari penderita pneumonia didapat pada kelompok umur 0-6
bulan.1,2
Definisi
ISPA merupakan singkatan dari Infeksi Saluran Pernapasan Akut. Istilah
ini diadaptasi dari istilah Acute Respiratory Infections (ARI). Yang dimaksud ISPA
adalah mulai dari infeksi saluran pernafasan atas dan adneksanya hingga parenkim
paru. Pengertian akut adalah infeksi yang berlangsung hingga 14 hari.2
Istilah ISPA meliputi tiga unsur yakni infeksi, saluran pernafasan dan akut,
dengan pengertian sebagai berikut:
1. Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh
manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit.
2. Saluran pernafasan adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli beserta
2

organ adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura. ISPA
secara anatomis mencakup saluran pernafasan bagian atas, saluran pernafasan
bagian bawah (termasuk jaringan paru-paru) dan organ adneksa saluran
pernafasan. Dengan batasan ini, jaringan paru termasuk dalam saluran
pernafasan (respiratory tract).
3. Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14
hari diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa
penyakit yang dapat digolongkan dalam ISPA proses ini dapat berlangsung
lebih dari 14 hari.
ISPA diklasifikasikan berdasarkan letak yaitu infeksi saluran pernafasan
atas akut (di atas laring) dan infeksi saluran pernafasan bawah akut (laring ke
bawah). ISPA atas terdiri dari rinitis, faringitis, tonsilitis, rinosinusitis dan otitis
media; dan ISPA bawah terdiri dari epiglotitis, croup (laringotrakeobronkitis),
bronkitis, bronkiolitis dan pneumonia. Sebagian besar ISPA biasanya terbatas
pada ISPA atas saja, tapi sekitar 5%-nya melibatkan laring dan respiratori bawah
berikutnya, sehingga berpotensi menjadi serius.2
Program Pemberantasan Penyakit (P2) ISPA membagi penyakit ISPA
dalam 2 golongan yaitu pneumonia dan yang bukan pneumonia. Pneumonia
dibagi atas derajat beratnya penyakit yaitu pneumonia berat (ditandai secara klinis
oleh adanya tarikan dinding dada ke dalam/chest indrawing). dan pneumonia tidak
berat (ditandai secara klinis oleh adanya napas cepat). Penyakit batuk pilek
seperti rinitis, faringitis, tonsilitis dan penyakit jalan napas bagian atas lainnya
digolongkan sebagai bukan pneumonia. Etiologi dari sebagian besar penyakit
jalan napas bagian atas ini ialah virus dan tidak dibutuhkan terapi antibiotik.
Faringitis oleh kuman Streptococcus jarang ditemukan pada balita. Bila
ditemukan harus diobati dengan antibiotik penisilin, semua radang telinga akut
harus mendapat antibiotik.1,2
Epidemiologi
ISPA paling sering terjadi pada anak. Kasus ISPA merupakan 50% dari
seluruh penyakit pada anak berusia dibawah 5 tahun, dan 30% pada anak berusia
5-12 tahun.3 Walaupun sebagian besar terbatas pada saluran pernafasan atas, tetapi
sekitar 5% juga melibatkan saliran nafas bawah, terutama pneumonia. Anak
3

berusia 1-6 tahun dapat mengalami episode ISPA sebanyak 7-9 kali per tahun,
tetapi biasanya tingan. Puncak insidens biasanya terjadi pada usia 2-3 tahun.1,2
Insidens ISPA/pneumonia di negara berkembang adalah 2-10 kali lebih
banyak daripada negara maju. Perbedaan tersebut berhubungan dengan etiologi
dan faktor resiko. Di negara maju, ISPA didominasi oleh virus, sedangkan
dinegara berkembang oleh bakteri seperti S. pneumonia dan H. influenza. Di
Negara berkembang, ISPA dapat menyebabkan 10-20% kematian dan
bertanggung jawab terhadap 1/3-1/2 kematian pada balita. Pada bayi, angka
kematiannya dapat mencapai 45 per 1000 kelahiran hidup.2
Di Indonesia, ISPA merupakan salah satu penyebab utama kunjungan
pasien ke sarana kesehatan, yaitu 40-60% dari seluruh kunjungan ke puskesmas
dan 15-30% dari seluruh kunjungan rawat jalan dan rawat inap RS. Jumlah
episode ISPA di Indonesia diperkirakan 3-6 kali per tahun, tetapi berbeda antar
daerah. Pada tahun 2002, ISPA menempati peringkat pertama dari 10 penyakit
terbanyak di rumah sakit umum di Indonesia, dengan angka kejadian pneumonia
diperkirakan 10-20% per tahun, dan terdapat kecenderungan bergesernya
prevalens tertinggi ke kelompok usia yang lebih muda.1,2
Mortalitas ISPA yang pasti sampai saat ini belum diketahui. Kematian
terbanyak akibat bronkopneumonia dan bronkiolitis. Pada negara berkembang
diperkirakan 20-25% kematian anak balita diakibatkan ISPA. Mortalitas ISPA di
Amerika Utara 0,5% per 1000 anak di bawah usia 1 tahun, dan 3-8 per 1000 anak
usia 1-5 tahun; sedangkan laporan dari berbagai negara berkembang berkisar 1044 per 1000 anak di bawah 1 tahun dan 3-8 per 1000 pada anak berusia antara 1-5
tahun.Dari data ini diperkirakan angka kematian akibat ISPA perseribu penduduk
100-200 kali lebih tinggi di negara berkembang daripada negara maju.1,2
A. Infeksi Saluran Pernafasan Atas Akut
a) Rinitis (Common Cold, Coryza, Cold, Selesma)

Definisi
Rinitis adalah infeksi saluran nafas atas ringan dengan gejala utama
hidung buntu, adanya sekret hidung, bersin, nyeri tenggorok dan batuk.
Infeksi ini terjadi secara akut, dapat sembuh spontan, dan merupakan

penyakit yang paling sering diderita manusia.2


Etiologi
Beberapa virus telah teridentifikasi sebagai penyebab rinitis Rhinovirus,
RSV, virus Influenza, virus Parainfluenza dan Adenovirus merupakan
penyebab tebanyak pada anak usia prasekolah. Meskipun jarang, rinitis
dapat juga disebabkan oleh Enterovirus (Echovirus dan Coxsakievirus) dan
Coronavirus. Coronavirus ditemukan pada 7-18% orang dewasa dengan
infeksi saluran pernapasan atas ringan. Human metapneumovirus, virus
yang relatif baru ditemukan, selain diketahui menyebabkan pneumonia dan
bronkiolitis, dapat juga menyebabkan infeksi saluran pernapasan atas
ringan. 2
Tabel 1. Etiologi Rinitis Berdasarkan Kekerapannya2

Kategori
Penyebab rinitis terbanyak

Dapat menyebabkan rinitis

Jarang menyebabkan rinitis

Mikroorganisme
Rhinovirus
Virus Parainfluenza
RSV
Coronavirus
Adenovirus
Enterovirus
Virus Influenza
Virus Parainfluenza
Reovirus
Mycoplasma pneumonia
Coccidiodes immitis
Histoplasma capsulatum
Bordatella pertusis
Chlamydia psitacci
Coxiella Burnetti

Patofisiologi
Penularan rinitis dapat terjadi melalui inhalasi aerosol yang mengandung
partikel kecil, deposisi droplet pada mukosa hidung atau konjungtiva, atau
melalui kontak tangan dengan sekret yang mengandung virus.2
Infeksi dimulai dengan deposit virus di mukosa hidung anterior atau di
mata. Dari mata, virus menuju hidung melalui duktus lakrimalis, lalu
berpindah ke nasofaring posterior akibat gerakan mukosilier. Di daerah

adenoid, virus memasuki epitel dengan cara berikatan dengan reseptor


spesifik di epitel. Setelah berada di dalam sel epitel, virus bereplikasi
dengan cepat. Replikasi virus Influenza terjadi di epitel trakeobronkial,
sedangkan Rhinovirus terutama di epitel nasofaring.2
Infeksi virus pada mukosa hidung menyebabkan vasodilatasi dan
peningkatan permeabilitas kapiler sehingga timbul gejala klinis hidung
tersumbat dan secret hidung. Stimulasi kolinergik menyebabkan
peningkatan sekresi kelenjar mukosa dan bersin. Gejala ini timbul
bersamaan dengan influks sel-sel polimorfonuklear (PMN) ke dalam

mukosa dan sel epitel hidung.2,4


Manifestasi klinis
Gejala timbul setelah masa inkubasi yang sangat bervariasi antar virus,
seperti infeksi Rhinovirus terjadi 10-12 jam setelah inokulasi intranasal
dan infeksi virus Influenza masa inkubasi adalah 1-7 hari. Secara umum,
keparahan gejala meningkat secara cepat, mencapai puncak dalam 2-3
hari, dan setelah itu membaik. Rata-rata lama rinitis adalah 7-14 hari.
Adanya sekret hidung dan demam sering ditemukan pada 3 hari pertama.
Sekret hidung yang semula encer dan jernih akan berubah menjadi lebih
kental dan purulen. Sekret yang purulen berhubungan dengan peningkatan
jumlah sel PMN. Sekret berwarna putih atau kuning berhubungan dengan
adanya sel PMN, sedangkan sekret berwarna kehijauan disebabkan oleh
aktivitas enzim sel PMN.2,4
Gejala lain meliputi nyeri tenggorok, batuk, rewel, gangguan tidur dan
penurunan nafsu makan. Pemeriksaan fisis tidak menunjukkan tanda yang
khas, tetapi dapat dijumpai edema dan eritema mukosa hidung serta
limfadenopati servikalis anterior.2

Diagnosis2
Ditegakkan berdasarkan
1) Anamnesis
Berdasarkan gejala klinis dan perjalanan penyakit. Perlu ditanyakan
karakteristik rinorea, unilateral atau bilateral, riwayat alergi serta
kebiasaan merokok pada orang tua.
2) Pemeriksaan Fisik

Tidak menunjukkan gambaran khas. Beberapa gambaran klinis yang


perlu dicari adalah keterlibatan otitis media, nyeri pada wajah atau
sinus, pembesaran kelenjar servikal, tanda gangguan pernapasan
(takipnea, sesak, wheezing, ronki, retraksi), juga tanda atopic.

Komplikasi2,4
Otitis media
Rinosinusitis
Infeksi saluran pernapasan bawah
Eksaserbasi asma
Penatalaksanaan

Non medikamentosa2
o
Bila gejala klinis tidak terlalu berat, dianjurkan tidak menggunakan
medikamentosa/obat-obatan
Usaha untuk mengatasi hidung tersumbat:
1)
Anak yang lebih besar: elevasi kepala saat tidur
2)
Bayi dan anak: terapi suportif yang adekuat
Medikamentosa2
o
Demam: asetaminofen atau ibuprofen (> 6 bulan)
o
Mengurangi sekret hidung: tetes hidung salin (bayi) atau semprot
o

hidung salin (anak yang lebih besar)


Dekongestan topikal tidak dianjurkan pada anak yang lebih kecil
karena penggunaan berlebih menyebabkan rebound phenomenon
dan memperlama gejala yang dirasakan

Pencegahan
Cara terbaik adalah mencuci tangan, khususnya setelah kontak dengan
sekret pasien. Pemberian imunisasi influenza setahun sekali dapat
mencegah infeksi influenza dan komplikasinya.2,4

b) Faringitis Akut

Definisi
Faringitis merupakan peradangan akut membran mukosa faring dan
struktur lain di sekitarnya, termasuk tonsillitis (tonsilofaringitis) yang
berlangsung hingga 14 hari. Oleh karena itu, pengertian faringitis secara

luas mencakup tonsilitis, nasofaringitis, dan tonsilofaringitis.2,4


Etiologi
Berbagai bakteri dan virus dapat menjadi etiologi faringitis, baik sebagai
7

manifestasi tunggal maupun sebagai bagian dari penyakit lain.


Virus merupakan etiologi terbanyak faringitis akut terutama pada anak 3
tahun (prasekolah). Virus yang dapat menyebabkan faringitis adalah
Adenovirus, Rhinovirus, virus Parainfluenza, Epstein Barr Virus (disertai
gejala infeksi mononucleosis seperti splenomegali dan limfadenopati
generalisata), serta infeksi sistemik seperti infeksi virus campak,
Cytomegalovirus (CMV), dan virus Rubella.2
Streptokokus-hemolitikus grup A adalah bakteri penyebab terbanyak
mencakup sekitar 15-30% dari penyebab faringitis/tonsilofaringitis akut
pada anak. Mikroorganisme yang dapat menyebabkan faringitis dapat
dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Mikroorganisme Penyebab Faringitis Akut2

Mikroorganisme
Bakteri
Streptokokus, group A
Streptokokus, group C dan G
Campuran bakteri anaerob
Neisseria gonorrhoeae
Corynebacterium diphtheria
Arcanobacterium haemolyticum
Yersinia enterocolitica
Yersinia pestis
Francisella tularensis
Virus
Virus Rhino
Virus Corona
Virus Adeno
Virus Herpes simplex 1 dan 2
Virus Parainfluenza
Virus Coxsackie A
Virus Epstein-Barr
Virus Sitomegalo
Human immunodeficiency virus
Virus Influenza A dan B
Mikoplasma
Mycoplasma pneumonia
Klamidia
Chlamydia psittaci
C. pneumonia

Kelainan yang ditimbulkan


Faringitis, tonsilitis, demam scarlet
Faringitis, tonsilitis, scarlatiniform
Vincents angina
Faringitis, tonsilitis
Difteri
Faringitis, scarlatiniform
Faringitis, enterokolitis
Plague
Tularemia (oropharyngeal form)
Common cold/rinitis
Common cold
Pharyngoconjunctival fever, IRA
Faringitis, gingivostomatitis
Cold, croup
Herpangina, hand-foot-and-mouth disease
Infeksi mononucleosis
Mononucleosis virus sitomegalo
Infeksi HIV primer
Influenza
Pneumonia, bronkitis, faringitis(?)
IRA, pneumonia
Pneumonia, faringitis(?)

Patogenesis
Bakteri maupun virus dapat secara langsung menginvasi mukosa faring
yang kemudian menyebabkan respon peradangan lokal. Rhinovirus
menyebabkan iritasi mukosa faring sekunder akibat sekresi nasal.
Sebagian besar peradangan melibatkan nasofaring, uvula, dan palatum
mole. Perjalanan penyakitnya ialah terjadi inokulasi dari agen infeksius di
faring yang menyebabkan peradangan lokal sehingga menyebabkan
eritema faring, tonsil, atau keduanya. Infeksi Streptokokus ditandai dengan
invasi lokal serta pelepasan toksin ekstraselular dan protease. Transmisi
dari virus yang khusus dan SBHGA terutama terjadi akibat kontak tangan
dengan sekret hidung dibandingkan kontak oral. Gejala akan tampak
setelah masa inkubasi yang pendek, yaitu 24-72 jam.2

Manifestasi klinis2
1) Faringitis Streptokokus
Gejala yang khas berupa nyeri tenggorokan dengan awitan mendadak,
disfagia dan demam. Selain itu, juga didapatkan demam yang dapat
mencapai 40oC, beberapa jam kemudian terdapat nyeri tenggorok.
Dapat dijumpai gejala dan tanda seperti faring hiperemis, tonsil
bengkak dengan eksudasi, kelenjar getah bening leher anterior bengkak
dan nyeri, uvula bengkak dan merah, ekskoriasi hidung disertai lesi
impetigo sekunder, ruam skarlatina dan petekie palatum mole. Akan
tetapi, penemuan tersebut bukan merupakan tanda pasti faringitis
streptokokus.
2) Bukan faringitis streptokokus
Gejala dan tanda kemungkinan besar bukan faringitis streptokokus
yaitu usia di bawah 3 tahun, awitan bertahap, kelainan melibatkan
beberapa mukosa (konjungtivis, diare, batuk, pilek, suara serak), mengi
dan ronki di paru, dan eksantem ulseratif.
3) Faringitis difteri
Tanda khas yaitu membran asimetris, mudah berdarah, dan berwarna
kelabu pada faring. Membran dapat meluas dari batas anterior tonsil
hingga ke palatum mole dan/atau ke uvula.
4) Faringitis akibat virus

Gejala seperti rinorea, suara serak, batuk, konjungtivitis, dan diare


biasanya disebabkan oleh virus. Dapat juga ditemukan ulkus di
palatum mole dan dinding faring serta eksudat di palatum dan tonsil,
tetapi sulit dibedakan dengan eksudat pada faringitis streptokokus.

Diagnosis2,4
Ditegakkan berdasarkan
1) Anamnesis
2) Pemeriksaan Fisik
3) Pemeriksaan Penunjang
Baku emas: pemeriksaan kultur dari apusan tenggorok.

Penatalaksanaan
MC ISSAC SCORE
a) Kriteria (1 angka untuk tanda klinis yang ditemukan)

Kriteria original

1. Temperatur > 38 C
2. Tidak batuk
3. Adenopati servikal anterior yang lunak
4. Pembesaran tonsil atau eksudat
Modifikasi
1. Umur 3-14 tahun
: +1 poin
2. Umur 15-44 tahun : 0 poin
3. Umur > 45 tahun : -1 poin
b) Interpretasi (Clinic and ER probability) Didasarkan kriteria original :

Skor 0

: Kemungkinan streptokokus 2-3%

Skor 1

: Kemungkinan streptokokus 4-6%

Skor 2
Skor 3
Skor 4

: Kemungkinan streptokokus 10-12%


: Kemungkinan streptokokus 27-28%
: Kemungkinan streptokokus 38-63%

c) Approach: Clinical Suspicion based on Strep Score


Skor 4 (atau Skor 2 if patient unreliable) : terapi dengan antibiotik

Skor 2 sampai 3: lakukan rapid antigen tes

tes antigen positif : terapi dengan antibiotik


tes antigen negatif : kultur

Skor 0 sampai 1: terapi simtomatik faringitis.

10

Jika diduga faringitis streptokokus berikan :


Oral
: Penicillin V 250 mg 2 kali atau 3 kali selama 10 hari
Intramuscular : Benzatin penicillin : <27kg: 600.000 unit x 1 dosis;
>27kg: 1.200.000 unit x 1 dosis
Untuk pasien alergi penicillin :
-

Eritromisin estolate 20-40 mg/kgBB/hari 2-4 kali (max 1 g/hari)

selama 10 hari.
Eritromicin ethylsuccinate 40mg/kgBB/ hari 2-4 kali (max I g/hari)
selama 10 hari.

Untuk pasien yang alergi penicillin dan eritromisin :


- Clindamycin : 20-30 mg/kgBB/hari 3 kali selama 10 hari.
Faringitis streptokokus yang rekuren dengan terapi antibiotik bisa
disebabkan oleh terapi antibiotik yang tidak tepat (contoh: kotrimoksasol),
dosis yang inadekuat atau lama terapi, dan organisme yang memproduksi
beta-laktamase.11

c) Sinusitis

Definisi
Sinusitis merupakan radang sinus (paranasal) pada bayi dan anak.
Diperkirakan 5-10% infeksi respiratorik atas yang disebabkan oleh virus

dapat menimbulkan sinusitis akut pada anak. 2,5


Etiologi2
Patogen akut dan subakut
o Streptococcus pneumonia, 20-30 %
o Haemophilus influenza, 15-20 %
o Moraxella catharalis, 15-20 %
o Streptococcus pyogenes (beta hemolitik) 5 %
Patogen kronis
Streptococcus a-haemolyticus, Staphylococcus aureus, staphylococcus
koagulase-negatif, Haemophilus influenza, Moaxella catharallis,

bakteri anaerob dan Pseudomonas


Manifestasi klinis
Sinusitis harus dicurigai jika "selesma" agaknya lebih parah daripada
biasanya (demam > 39 C, edema peri orbita, nyeri di wajah) atau jika

11

selesma berjalan lambat selama lebih 10 hari. Batuk malam hari sering
menyertai infeksi virus pernafasan atas, tetapi batuk siang hari lebih
berkesan sinusitis. Nyeri kepala, nyeri wajah, pelembekan dan oedem
tidak lazim.5,9
Keluhan yang sering ditemukan adalah batuk kronik berulang, pilek
dengan cairan hidung yang berwarna kuning-hijau. Gejala infeksi
respiratorik tidak sembuh sampai lebih dari 7 hari. Nyeri kepala dan nyeri
di daerah muka yang menjalar ke graham atas (geligi). Kadang
pendengaran menurun dan penciuman serta sensorik wajah berkurang.
Demam ditemukan pada kurang dari 30% kasus. Nafas atau mulut berbau
dapat dijumpai.

Pemeriksaan penunjang
Pencitraan2,4,5

Foto rontgen
Waters (occipitomental) untuk melihat sinus frontalis dan

ethmoidalis
Caldwell (postero anterior) untuk melihat sinus frontalis dan

ethmoidalis
Lateral untuk melihat sinus sphenoid dan adenoid

Kriteria adanya sinusitis (maksilaris) jika:

Ditemukan air fluid level


Gambaran opaque
Penebalan mukosa > 50%
Computed Tomography
Indikasi:
Persiapan operasi karena dengan pengobatan antibiotik gagal
Memastikan diagnose yang sudah ditegakkan dengan foto rontgen
normal tapi gejala masih ada
Evaluasi kemungkinan adanya penyebaran infeksi orbita
Magnetic resonance imaging
Digunakan jika ada keganasan, infeksi jamur atau penyebaran
intracranial

12

Pengobatan
Terapi antibiotik pilihan pertama ampisilin atau amoksilin 2-3 minggu,
jika alergi golongan penisilin maka pilihan pertama trimetroprinsulfametoksasol

Gambar 1. Alur Pemilihan Antibiotik untuk Sinusitis Akut pada Anak2

Supportif :
a. Pembersihan secret
b. Pengurangan edema dan inflamasi

13

c. Perbaikan fungsi mukosilier


d) Otitis Media

Definisi
Otitis media merupakan suatu inflamasi telinga tengah yang berhubungan
dengan efusi dan penumpukan cairan di telinga tengah. Otorrhea
merupakan discharge telinga yang dapat berasal dari membran timpani.
Otitis media terjadi karena gangguan aerasi telinga tengah yang biasanya

disebabkan karena fungsi tuba eustakius terganggu.2,7


Etiologi
Kuman yang sering menyebabkan otitis media diantaranya Streptococcus
pneumonia, Haemophilus influenza (sering ditemukan pada anak < 5

tahun) dan Moraxella catarrhalis.2,7


Manifestasi klinis
Gejala klasik antara lain berupa nyeri, demam, malaise, dan kadangkadang nyeri kepala di samping nyeri telinga; khususnya pada anak dapat
terjadi anoreksia dan kadang-kadang mual dan muntah. Demam dapat
tinggi namun dapat pula tidak ditemukan pada pada 30% kasus. Seluruh
atau sebagian membrana tympani secara khas menjadi merah dan
menonjol, dan pembuluh-pembuluh darah di atas membrana tympani dan
tangkai maleolus berdilatasi dan menjadi menonjol. Paling baik
didiagnosis dengan menggunakan otoskop pneumatik. Jika otoskop tidak
tersedia, sebaiknya diduga suatu otitis media akut jika terdapat discharge
yang keluar dari telinga selama kurang dari 2 minggu, atau terdapat nyeri

telinga yang mendadak, persisten.2,7


Diagnosis
Pemeriksaan membran timpani didapatkan gerakan membran timpani yang
berkurang, cembung, kemerahan dan keruh, dapat juga dijumpai secret

yang purulen.2
Penatalaksanaan2

Amoksilin oral 40 mg/Kgbb/hari, 3 kali sehari selama 10 hari


Jika alergi penisilin dapat diberikan kombinasi eritromisin 50
mg/Kgbb/hari

bersama

sulfonamid

100

mg/Kgbb/hari

atau

14

sulfiksoksazol 150 mg/Kgbb/hari 4 kali sehari.


Terapi suportif : analgetik, antipiretik, dekongestan.
Pasien dengan nyeri telinga berat dilakukan miringotomi

B. Infeksi Saluran Pernafasan Bawah Akut


a) Epiglotitis
Definisi
Epiglotitis merupakan infeksi yang terjadi di epiglotis dan struktur
supraglotis, yang berakibat obstruksi jalan nafas akut dan menyebabkan
kematian jika tidak diobati.2

Etiologi
Epiglotitis hampir selalu disebabkan oleh Haemophilus influenza tipe B.
penyebab lain adalah S. aureus, S. pneumonia, C. albicans, virus dan

trauma.2,6
Menyerang terbanyak pada kelompok usia 3-7 tahun.6
Manifestasi klinis
Ditandai dengan perjalanan demam yang tinggi mendadak dan berat, nyeri
tenggorok, sesak nafas, diikuti dengan gejala obstruksi saluran nafas yang
progresif (dalam beberapa jam dapat memburuk menjadi obstruksi
pernafasan total dan dapat menyebabkan kematian).2,6
Pada anak yang lebih besar, gejala prodromal berlangsung lebih lama
daripada anak kecil. Biasanya didahului nyeri tenggorokan dan disfagia,
pasien lebih menyukai posisi duduk, badan membungkuk ke depan dengan
mulut terbuka dan leher ekstensi (sniffing position).2,6
Pada anak kecil, keadaan umum awalnya baik, kemudian terbangun di
malam hari dengan demam tinggi, afonia, lidah terjulur disertai gawat
nafas (respiratory disstres) sedang hingga berat dan stridor inspirasi.
Gawat nafas dapat terjadi pada menit-menit atau jam-jam pertama
dimulainya penyakit.2,6

Tabel 3. Perbandingan Gambaran Klinis Epiglotitis dan Sindrom Croup2

Karakteristik
Usia
Awitan

Epiglotitis
Semua usia
Mendadak

Croup
6 bulan-6 tahun
Perlahan

15

Lokasi
Suhu tubuh
Disfagia
Dispnea
Drooling
Batuk
Gambaran radiologis

Supraglotis
Demam tinggi
Berat
Ada
Ada
Jarang
Positive thumb sign

Subglotis
Demam tidak terlalu tinggi
Ringan atau tidak ada
Ada
Ada
Khas
Positive steeple sign

Diagnosis
Diagnosis epiglotitis ditegakkan atas dasar ditemukannya epiglotis yang
besar, bengkak dan berwarna merah ceri, dengan pemeriksaan langsung
ataupun laringoskopi. Pada laringoskopi terlihat radang epiglottis yang
berat dan kadang-kadang disertai peradangan di daerah sekelilingnya,
termasuk atenoid dan lipatan ariepiglotis, plika vokalis, dan daerah
subglotis. Pada pemeriksaan radiologis didapatkan gambaran thumb sign
karena pembengkakan epiglotis.2

Gambar 2. Gambaran Thumb Sign pada Foto Leher Lateral8

Pada pemeriksaan darah menunjukkan leukosit meningkat, pada hitung


jenis tampak pergeseran ke kiri. Bila fasilitas tersedia, dari pemeriksaan
hapusan tenggorok dan biakan darah dapat ditemukan Haemophilus

influenza tipe B.6


Penatalaksanaan2

Intubasi atau trakeostomi


Dilakukan pada pasien epiglotitis tanpa memandang derajat gawat
napas yang terlihat. Lama intubasi adalah 2-3 hari, yaitu hingga

16

tampak perbaikan inflamasi.


Antibiotik
Antibiotik secara intravena berupa sefalosporin generasi ketiga seperti
sefotaxim (selama 7-10 hari dan anak bebas demam 2 hari) atau
seftriakson (dosis tunggal dapat diberikan selama 5 hari).

b) CROUP (Laringotrakeobronkitis Akut)


Definisi2,6
Croup adalah terminologi umum yang mencakup suatu grup penyakit
heterogen yang mengenai laring, infra/subglotis, trakea dan bronkus.
Karakteristik sindrom croup adalah batuk yang menggonggong, suara
serak, stridor inspirasi, dengan atau tanpa adanya obstruksi jalan napas.
Secara umum croup dikelompokan dalam 2 kelompok, yaitu :

Viral croup: ditandai oleh gejala prodromal infeksi respiratori; gejala


obstruksi saluran respiratori berlangsung 3-5 hari, disebut juga

Laringotrakeobronkitis
Spasmodic croup = Spasmodic cough, terdapat faktor atopik, tanpa
gejala prodromal; anak tiba-tiba mengalami gejala obstruksi saluran
respiratori, biasanya pada waktu malam menjelang tidur; serangan

terjadi sebentar, kemudian normal kembali.


Berdasarkan derajat kegawatan, croup dibagi menjadi empat kategori:
a. Ringan; ditandai dengan adanya batuk keras menggonggong yang
kadang-kadang muncul, stridor yang tidak terdengar ketika pasien
beristirahat/tidak beraktivitas dan retraksi ringan dinding dada
b. Sedang; ditandai dengan batuk menggonggong yang sering timbul,
stridor mudah didengar ketika pasien beristirahat/tidak beraktivitas,
retraksi dinding dada sedikit terlihat, tetapi tidak ada gawat nafas
(respiratory distress)
c. Berat; ditandai dengan batuk menggonggong yang sering timbul,
stridor inspirasi terdengar jelas ketika pasien beristirahat, dan kadangkadang disertai dengan stridor ekspirasi, retraksi dinding dada, dan
gawat nafas
d. Gagal nafas mengancam; batuk kadang-kadang tidak jelas, terdengar
stridor (kadang-kadang sangat jelas ketika pasien beristirahat),
gangguan kesadaran, dan letargi
17

Etiologi2,6
Virus penyebab tersering (sekitar 60% kasus) adalah Human Parainfluenza virus type 1 (HPIV-1), HPIV-2, 3, dan 4, virus Influenza A dan B,

Adenovirus, Respiratory Syncytial Virus (RSV) dan virus campak.


Patogenesis2
Infeksi virus dimulai dari nasofaring dan menyebar ke epithelium trakea
dan laring. Peradangan difus, eritema, dan edema yang terjadi pada
dinding trakea menyebabkan terganggunya mobilitas pita suara serta area
subglotis mengalami iritasi. Hal ini menyebabkan suara menjadi serak.
Aliran udara yang melewati saluran respiratori-atas mengalami turbulensi
sehingga menimbulkan stridor, diikuti dengan retraksi dinding dada
(selama inspirasi). Pergerakan dinding dada dan abdomen yang tidak
teratur menyebabkan pasien kelelahan serta mengalami hipoksia dan
hiperkapnea. Pada keadaan ini dapat terjadi gagal napas atau bahkan henti

napas.
Manifestasi klinis2,6
Manifestasi klinis didahului dengan demam yang tidak begitu tinggi
selama 12-72 jam, hidung berair, nyeri telan dan batuk ringan. Kondisi ini
akan berkembang menjadi batuk nyaring, suara menjadi parau dan kasar.
Gejala sistemik yang menyertai seperti demam dan malaise. Bila keadaan
berat dapat terjadi sesak nafas, stridor inspiratorik yang berat, retraksi dan
anak tampak gelisah, dan gejala akan bertambah berat pada malam hari.
Gejala puncak terjadi pada 24 jam pertana hingga 48 jam. Biasanya
perbaikan akan tampak dalam waktu satu minggu.
Tabel 4. Perbandingan antara Viral Croup dengan Spasmodik Croup2

Karakteristik
Usia
Gejala prodromal
Stridor
Batuk
Demam
Lama sakit
Riwayat keluarga
Predisposisi asma

Viral croup
6 bulan 6 tahun
Ada
Ada
Sepanjang waktu
Ada (tinggi)
2-7 hari
Tidak ada
Tidak ada

Spasmodik croup
6 bulan 6 tahun
Tidak jelas
Ada
Terutama malam hari
Bisa tidak, tidak tinggi
2-4 jam
Ada
Ada

18

Diagnosis2
Ditegakkan berdasarkan
1) Anamnesis: gejala klinis yang timbul
2) Pemeriksaan fisik: ditemukan suara serak, hidung berair, peradangan
faring, dan frekuensi nafas yang sedikit meningkat.
3) Pemeriksaan penunjang
Peningkatan leukosit > 20.000/mm3 yang didominasi oleh PMN
kemungkinan telah terjadi superinfeksi, misalnya epiglotitis
Pemeriksaan radiologis leher posisi PA: ditemukan gambaran udara
steple sign (seperti menara) yang menunjukkan adanya penyempitan
kolumna subglotis (pada 50% kasus)
Pemeriksaan CT-Scan: penyebab obstruksi terlihat jelas

Gambar 3. Gambaran Steple sign pada Foto Leher PA8

Penatalaksanaan2
Tatalaksana utama bagi pasien croup adalah mengatasi obstruksi jalan
nafas.
Kriteria rawat inap: (bila dijumpai salah satu dari gejala berikut)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Anak berusia di bawah 6 bulan


Terdengar stridor progresif
Stridor terdengar ketika sedang istirahat
Terdapat gejala gawat nafas
Hipoksemia
Gelisah
Sianosis

19

8. Gangguan kesadaran
9. Demam tinggi
10. Anak tampak toksik
11. Tidak ada respon terhadap terapi

Gambar 4. Algoritma Penatalaksanaan pada Sindrom Croup2

a) Terapi inhalasi
Terapi uap digunakan untuk mengatasi obstruksi jalan napas.
20

Pemakaian uap dingin lebih baik daripada uap panas krena akan
melembabkan

saluran

respiratori,

meringankan

inflamasi,

mengencerkan lendir pada saluran respiratori, sekaligus memberikan


efek nyaman dan menenangkan bagi anak.
Nebulasi Epinefrin
Sebaiknya diberikan kepada anak dengan sindrom croup sedang-berat
yang disertai stridor saat istirahat dan membutuhkan intubasi, serta
pada anak dengan retraksi dan stridor yang tidak mengalami perbaikan
setelah diberikan terapi uap dingin.
b) Kortikosteroid
Digunakan untuk mengurangi edema pada mukosa laring melalui
mekanisme antiradang.
c) Intubasi endotrakeal
Dilakukan pada pasien sindrom croup yang berat, tidak responsive
terhadap terapi lain. Indikasi: adanya hiperkarbia dan ancaman gagal
napas.
d) Kombinasi oksigen helium
Efek klinis pemberian kombinasi oksigen-helium hampir sama dengan
pemberian nebulisasi epinefrin. Helium membantu mengurangi
obstruksi jalan napas dengan meningkatkan aliran gas dan mengurangi
kerja otot respiratori. Bila dikombinasikan dengan oksigen, maka
oksigenasi darah akan meningkat.
e) Antibiotik
Tidak diperlukan kecuali pada pasien dengan laringotrakeobronkitis
atau laringotrakeopneumonitis yang disertai infeksi bakteri. Terapi
awal dapat menggunakan sefalosporin generasi ke-2 atau ke-3.
c) Bronkitis akut
Definisi
Bronkitis akut adalah proses inflamasi yang mengenai trakea, bronkus
utama dan menengah yang bermanifestasi sebagai batuk, serta biasanya
akan membaik tanpa terapi dalam 2 minggu.2,6

Etiologi
Bronkitis akut pada umumnya disebabkan oleh virus, antara lain

21

Rhinovirus, RSV, virus Influenza, virus Parainfluenza, Adenovirus, Virus


Rubeola dan Paramyxovirus. Sedangkan bronkitis akut karena bakteri
biasanya

dikaitkan

dengan

Staphylococcus

aureus,

Streptococcus

pneumonia dan Haemophilus influenza.2,6


Manifestasi klinis
Batuk muncul 3-4 hari setelah rinitis, pada mulanya keras dan kering,
kemudian menjadi batuk yang ringan dan produktif. Batuk dapat disertai
muntah-muntah. Gejala akan menghilang dalam 10-14 hari, bila menetap

perlu dicurigai adanya proses kronis atau infeksi bakteri sekunder.2,6


Diagnosis
Batuk muncul 3-4 hari setelah rinitis, pada mulanya keras dan kering,
kemudian menjadi batuk yang ringan dan produktif. Pada pemeriksaan
aukultasi dada pada stadium awal tidak khas, seiring perkembangan dan
progresivitas batuk, dapat timbul ronki maupun wheezing. Hasil
pemeriksaan radiologis didapatkan gambaran normal atau peningkatan
corakan bronkial. Pada pemeriksaan laboratorium, leukosit dapat normak

atau meningkat.2,6
Penatalaksanaan2,6
o Istirahat yang cukup, kelembapan udara yang cukup, masukan cairan
yang adekuat
o Asetaminofen
o Antibiotik (bila dicurigai infeksi bakteri) dengan pilihan: ampisilin,
cloxasilin, kloramfenikol, eritromisin.

d) Bronkiolitis
Definisi
Bronkiolitis adalah penyakit ISPA-bawah yang ditandai dengan adanya
inflamasi pada bronkiolus. Umumnya disebabkan oleh virus. Secara klinis
ditandai dengan episode pertama wheezing pada bayi yang didahului

dengan gejala ISPA.2,6


Etiologi
Sekitar 95% secara serologis terbukti disebabkan oleh invasi RSV.
Penyebab lainnya seperti Adenovirus, virus Influenza, virus Parainfluenza,

Rhinovirus dan mikoplasma.2,6


Patogenesis
Mikroorganisme masuk melalui droplet akan mengadakan kolonisasi dan
22

replikasi di mukosa bronkioli terutama pada terminal bronkiolus sehingga


akan terjadi kerusakan/nekrosis sel-sel bersilia pada bronkioli. Respon
imun tubuh yang terjadi ditandai dengan proliferasi limfosit, sel plasma
dan makrofag. Akibat dari proses tersebut akan terjadi edema sub mukosa,
kongesti serta penumpukan debris dan mukus (plugging), sehingga akan
terjadi penyempitan lumen bronkioli. Penyempitan ini mempunyai
distribusi tersebar dengan derajat yang bervariasi (total/sebagian).
Gambaran yang terjadi adalah atelektasis yang tersebar dan distensi yang
berlebihan (hyperaerated) sehingga dapat terjadi gangguan pertukaran gas
serius, gangguan ventilasi/perfusi dengan akibat akan terjadi hipoksemia
(PaO2 turun) dan hiperkapnea (Pa CO2 meningkat). Kondisi yang berat

dapat terjadi gagal nafas.6


Diagnosis2,6
Anamnesis
Anak usia di bawah 2 tahun dengan didahului infeksi saluran nafas akut
bagian atas dengan gejala batuk, pilek, biasanya tanpa demam atau hanya
subfebris. Sesak nafas makin hebat dengan nafas dangkal dan cepat.
Pemeriksaan fisis
Dapat dijumpai demam, dispnue dengan expiratory effort dan retraksi.
Nafas cepat dangkal disertai dengan nafas cuping hidung, sianosis sekitar
hidung dan mulut, gelisah. Terdengar ekspirium memanjang atau mengi
(wheezing). Pada auskultasi paru dapat terdengar ronki basah halus
nyaring pada akhir atau awal inspirasi. Suara perkusi paru hipersonor. Jika
obstruksi hebat suara nafas nyaris tidak terdengar, napas cepat dangkal,
wheezing berkurang bahkan hilang.
Untuk menilai kegawatan penderita dapat dipakai skor Respiratory
Distress Assessment Instrument (RDAI), yang menilai distres napas
berdasarkan 2 variabel respirasi yaitu wheezing dan retraksi. Bila skor
lebih dari 15 dimasukkan kategori berat, bila skor kurang 3 dimasukkan
dalam kategori ringan.
Tabel 5. Respiratory Distress Assesment Instrument (RDAI)6,9

23

0
Wheezing
- Ekspirasi
- Inspirasi
- Lokasi

Retraksi
- Supraklavikular
- Interkostal
- Subkostal
TOTAL

SKOR
1

4
Semua

(-)
(-)
(-)

Akhir
Sebagian
2 dari 4
lapangan
paru

Semua
3 dari 4
lapangan
paru

(-)
(-)
(-)

Ringan
Ringan
Ringan

Sedang
Sedang
Sedang

Berat
Berat
Berat

SKOR
MAKSIMAL
4
2
2

3
3
3
17

Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan darah tepi tidak khas. Pada pemeriksaan foto dada AP dan
lateral dapat terlihat gambaran hiperinflasi paru (emfisema) dengan
diameter anteroposterior membesar pada foto lateral serta dapat terlihat
bercak konsolidasi yang tersebar. Analisis gas darah dapat menunjukan
hiperkarbia sebagai tanda air trapping, asidosis respiratorik atau
metabolik. Bila tersedia, pemeriksaan deteksi cepat dengan antigen RSV
dapat dikerjakan.

Diagnosis Banding6
1. Asma bronkial
2. Aspirasi benda asing
3. Bronkopneumonia
4. Gagal jantung
5. Miokarditis
6. Fibrosis Kistik

Penatalaksanaan6,9
a) Pemberian oksigenasi; dapat diberikan oksigen nasal atau masker,
monitor dengan pulse oxymetry. Bila ada tanda gagal nafas diberikan
bantuan ventilasi mekanik.
b) Pemberian cairan dan kalori yang cukup (bila perlu dapat dengan
cairan parenteral). Jumlah cairan sesuai berat badan, kenaikan suhu
dan status hidrasi.

24

c) Koreksi terhadap kelainan asam basa dan elektrolit yang mungkin


timbul.
d) Antibiotik dapat diberikan pada keadan umum yang kurang baik,
curiga infeksi sekunder (pneumonia) atau pada penyakit yang berat.
e) Kortikosteroid : deksametason 0,5 mg/kgBB dilanjutkan dengan 0,5
mg/kgBB/hari dibagi 3-4 dosis.
f) Dapat diberikan nebulasi agonis (salbutamol 0,1mg/kgBB/dosis, 4-6
x/hari) diencerkan dengan salin normal untuk memperbaiki kebersihan
mukosilier.

25

ALOGARITMA TATALAKSANA BRONKIOLITIS


Penyebab: RSV, parainfluenza, influenza, adenovirus, mycoplasma.
Usia: < 2 tahun.
Gejala: Panas, pilek, batuk disusul sesak nafas, wheezing ekspiratoir, sianosis (Bayi
kecil: apnea)
Foto rontgen: Hiperinflasi, penebalan peribronkial, atelektasis, infiltrat
Periksa: Kesadaran, pernapasan, wheezing, warna kulit, status hidrasi, Skor RDAI

Ringan: RDAI <3


Makan/Minum normal
Dehidrasi (-)
Retraksi (-)

Sedang: RDAI 3 - 15
Retraksi (+), Takipnea
(+), Wheezing (+)
Sianosis (-)
Resiko tinggi (+)

Berat: RDAI >15


Sianosis(+), Sesak hebat
Dehidrasi (+)
Hipoksia (+), Apnea (+),
Makan/minum (-)

Rawat Jalan :
Rumah Sakit:
ICU/UPI:
Hidrasi oral, nutrisi,
Oksigenasi, hidrasi, Nutrisi
Cek: Foto dada, Gas darah,
Suportif
Albuterol: 0,1 mg/Kg/dosis
EKG, Elektrolit.
Pastikan:
dalam 3 cc normal saline
Oksigenasi, bila perlu:
pengetahuan orang
secara nebulasi, bisa diulangi
ventilasi mekanik, Nebulasi
tua (+), transportasi
tiap 4-6 jam,
Albuterol,
ke RS memadai
Antibiotika: disesuaikan
Steroid: deksametason 0,1Suportif
0,2 mg/Kg/dosis IV,
Diagnosa Banding Bronkiolitis:
Antibiotik spectrum luas,
Infeksi: Pertusis, Bronkopneumonia
Suportif
Non-infeksi: Asma, Gastroesophageal reflux, Corpus Alienum saluran napas,
Trakeoesofageal
fistula, Cystic Fibrosis
Bronkiolitis dengan resiko tinggi:
Lahir premature, usia < 3 bulan, Penyakit Jantung Bawaan, Penyakit Pru Kronis, Riwayat asma/alergi
pada keluarga
Gambar 5. Algoritma Tatalaksana Bronkiolitis6

e) Pneumonia

Definisi
Pneumonia adalah infeksi akut yang mengenai parenkim paru yang
meliputi parenkim dan jaringan interstisial. Yang ditandai dengan batuk,
sesak nafas, demam ronki basah, dengan gambaran infiltrat pada foto

rontgen thoraks.2,10
Etiologi
Virus merupakan penyebab tersering pneumonia, terutama RSV, virus
influenza, adenovirus dan virus parainfluenza. Secara umum bakteri yang
berperan penting dalam pneumonia adalah Streptococcus pneumoniae,
Haemophilus influenza, Staphylococcus aureus, Streptococcus group B,
serta kuman atipik klamidia dan mikoplasma.2,10
Pada neonatus, Streptococcus group B dan Listeriae monocytogenes
merupakan penyebab terbanyak. Virus adalah penyebab terbanyak pada
usia prasekolah dan berkurang dengan bertambahnya usia. Selain itu
Streptococcus pneumoniae merupakan penyebab utama pada pneumonia
bakterial.

Mycoplasma

pneumoniae

dan

Chlamydia

pneumoniae

merupakan penyebab yang sering didapatkan pada anak > 5 tahun.2,10

Manifestasi klinis
Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak tergantung pada berat
ringannya infeksi, tetapi secara umum sebagai berikut:2
(1) Gejala infeksi umum: demam, sakit kepala, gelisah, malaise,
penurunan nafsu makan, keluhan gastrointestinal seperti mual, muntah,
atau diare, kadang-kadang ditemukan gejala infeksi ekstrapulmoner
(2) Gejala gangguan respiratori: batuk, sesak napas, retraksi dada,
takipnea, napas cuping hidung, air hunger, merintih, sianosis

Diagnosis
Anamnesis
Gejala yang timbul biasanya mendadak tetapi dapat didahului dengan
infeksi saluran nafas akut bagian atas. Gejalanya antara lain batuk, demam
tinggi terus menerus, sesak, kebiruan disekitar mulut, menggigil (pada

anak), kejang (pada bayi) dan nyeri dada. Biasanya anak lebih suka
berbaring pada sisi yang sakit. Pada bayi muda sering menunjukkan gejala
non spesifik seperti hipotermi, penurunanan kesadaran, kejang atau
kembung sehingga sulit dibedakan dengan meningitis, sepsis atau ileus.6
Pemeriksaan fisis
Tanda yang mungkin ada adalah suhu 390 C, dispnea: inspiratory
effort ditandai dengan takipnea, retraksi (chest indrawing), nafas cuping
hidung dan sianosis. Gerakan dinding toraks dapat berkurang pada daerah
yang terkena, perkusi normal atau redup. Pada pemeriksaan auskultasi
paru dapat terdengar suara nafas utama melemah atau mengeras, suara
nafas tambahan berupa ronki basah halus di lapangan paru yang terkena.6
Pemeriksaan penunjang6
-

Pada pemeriksaan darah tepi dapat terjadi leukositosis dengan hitung

jenis bergeser ke kiri.


Bila fasilitas memungkinkan pemeriksaan

analisis

gas

darah

menunjukkan keadaan hipoksemia (karena ventilation perfusion


mismatch). Kadar PaCO2 dapat rendah, normal atau meningkat
tergantung kelainannya. Dapat terjadi asidosis respiratorik, asidosis
-

metabolik, dan gagal nafas.


Pemeriksaan kultur darah jarang memberikan hasil yang positif tetapi
dapat membantu pada kasus yang tidak menunjukkan respon terhadap

penanganan awal.
Pada foto dada terlihat infiltrat alveolar yang dapat ditemukan di
seluruh lapangan paru. Luasnya kelainan pada gambaran radiologis
biasanya sebanding dengan derajat klinis penyakitnya, kecuali pada
infeksi mikoplasma yang gambaran radiologisnya lebih berat daripada
keadaan klinisnya. Gambaran lain yang dapat dijumpai:
o Konsolidasi pada satu lobus atau lebih pada pneumonia lobaris
o Penebalan pleura pada pleuritis
o Komplikasi pneumonia seperti atelektasis, efusi pleura, pneumomediastinum, pneumotoraks, abses, pneumatokel

Pedoman diagnosis WHO


Gejala klinis sederhana (anak segera dirujuk ke pelayanan kesehatan)
meliputi:2

1. Napas cepat: menghitung frekuensi napas selama satu menit penuh


ketika dalam keadaan tenang
2. Sesak napas: melihat adanya tarikan dada bagian bawah ke dalam
ketika menarik napas (retraksi epigastrium)
3. Tanda bahaya
< 2 bulan
: malas minum, kejang, kesadaran menurun, stridor,
2 bulan-5 tahun

mengi, dan demam atau badan terasa dingin


: tidak dapat minum, kejang, kesadaran menurun,
stridor, gizi buruk

Tabel 6. Klasifikasi Pneumonia berdasarkan Pedoman WHO2,12

Gejala Klinis
Bayi berusia di bawah 2 bulan
Pneumonia
Napas cepat (> 60x/menit)
atau Sesak nafas

Tatalaksana
Harus dirawat
Diberikan antibiotik

Bukan pneumonia

Tidak ada napas cepat atau Tidak perlu dirawat


Diberikan pengobatan simptomatis
sesak nafas
Bayi dan anak berusia 2 bulan-5 tahun
Pneumonia berat
Ada sesak nafas
Harus dirawat
Diberikan antibiotik
Pneumonia

Tidak ada sesak nafas


Tidak perlu dirawat
Ada napas cepat:
Diberikan antibiotik oral
> 50x/menit (2 bulan-1 tahun)
> 40x/menit (1-5 tahun)

Bukan pneumonia

Tidak ada napas cepat atau Tidak perlu dirawat


Diberikan pengobatan simptomatis
sesak nafas

Penatalaksanaan
a) Pneumonia rawat jalan2,12
Antibiotik lini pertama secara oral: Kotrimoksasol (4 mg TMP-20 mg
sulfametoksazol/kgBB/kali) 2 kali sehari selama 3 hari atau
Amoksisilin (25 mg/kgBB/kali) 2 kali sehari selama 3 hari. Untuk
pasien HIV, diberikan selama 5 hari.
b) Pneumonia rawat inap2,12
Terapi Antibiotik

a) Beri ampisilin/amoksisilin (25-50 mg/kgBB/kali IV atau IM setiap


6 jam), yang harus dipantau dalam 24 jam selama 72 jam pertama.
Bila anak memberi respons yang baik maka diberikan selama 5
hari. Selanjutnya terapi dilanjutkan di rumah atau di rumah sakit
dengan amoksisilin oral (15 mg/kgBB/kali tiga kali sehari) untuk 5
hari berikutnya.
b) Bila keadaan klinis memburuk sebelum 48 jam, atau terdapat
keadaan yang berat (tidak dapat menyusu atau minum/makan, atau
memuntahkan semuanya, kejang, letargis atau tidak sadar, sianosis,
distres pernapasan berat) maka ditambahkan kloramfenikol (25
mg/kgBB/kali IM atau IV setiap 8 jam).
c) Bila pasien datang dalam keadaan klinis berat, segera berikan
oksigen dan pengobatan kombinasi ampilisin-kloramfenikol atau
ampisilin-gentamisin.
d) Sebagai alternatif, beri seftriakson (80-100 mg/kgBB IM atau IV
sekali sehari).
e) Bila anak tidak membaik dalam 48 jam, maka bila memungkinkan
buat foto dada.
f) Apabila diduga pneumonia stafilokokal (dijelaskan di bawah untuk
pneumonia stafilokokal), ganti antibiotik dengan gentamisin (7.5
mg/kgBB IM sekali sehari) dan kloksasilin (50 mg/kgBB IM atau
IV setiap 6 jam) atau klindamisin (15 mg/kgBB/hari 3 kali
pemberian). Bila keadaan anak membaik, lanjutkan kloksasilin
(atau dikloksasilin) secara oral 4 kali sehari sampai secara
keseluruhan mencapai 3 minggu, atau klindamisin secara oral
selama 2 minggu
Terapi Oksigen
a) Beri oksigen pada semua anak dengan pneumonia berat
b) Bila tersedia pulse oximetry, gunakan sebagai panduan untuk terapi
oksigen (berikan pada anak dengan saturasi oksigen < 90%, bila
tersedia oksigen yang cukup). Lakukan periode uji coba tanpa
oksigen setiap harinya pada anak yang stabil. Hentikan pemberian

oksigen bila saturasi tetap stabil > 90%. Pemberian oksigen setelah
saat ini tidak berguna.
c) Gunakan nasal prongs, kateter nasal, atau kateter nasofaringeal.

Penggunaan

nasal

prongs

adalah

metode

terbaik

untuk

menghantarkan oksigen pada bayi muda. Masker wajah atau


masker kepala tidak direkomendasikan. Oksigen harus tersedia
secara terus-menerus setiap waktu. Lanjutkan pemberian oksigen
sampai tanda hipoksia (seperti tarikan dinding dada bagian bawah
ke dalam yang berat atau napas > 70/menit) tidak ditemukan lagi.
d)

DAFTAR PUSTAKA
1. Rasmaliah.

2004.

Infeksi

Saluran

Pernafasan

Akut

(ISPA)

dan

Penanggulangannya. Medan: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas


Sumatera Utara.
2. Rahajoe, Nastiti N, dkk. 2010. Buku Ajar Respirologi Anak Edisi Pertama.
Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia.
3. Depkes RI, 2002. Pedoman Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan
Akut untuk Penanggulangan Pneumonia Balita. Jakarta.
4. Nelson, dkk. 2006. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15 Vol. 2. Jakarta: EGC.
5. Pusponegoro, Hardiono D, dkk. 2004. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak
Edisi I. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia.
6. Setiawati, Landia, dkk. 2008. Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag/SMF Ilmu
Kesehatan Anak Edisi III. Surabaya: RSUD dr. Soetomo Surabaya.
7. Soepardi, Efiaty dan Iskandar, Nurbaiti. 2001. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala Leher. Jakarta: FKUI.
8. Singer, Stacey dan R, Leshinsky. Tanpa tahun. Epiglottitis and Croup. [Serial
online]. http://www.docstoc.com/docs/76390613/Epiglottitis-and-Croup (diakses
tanggal 08 September 2011)
9. Setiawati, Asih, dan Makmuri. 2005. Kuliah: Tata Laksana Bronkiolitis.
Surabaya: FK Unair RSU dr. Soetomo Surabaya.
10. Asih, Setiawati, dan Makmuri. 2006. Kuliah: Pneumonia. Surabaya: FK Unair
RSU dr. Soetomo Surabaya.
11. Anonim, 2005. Pharmaceutical

Care Untuk

Penyakit

Infeksi

Saluran

Pernapasan. Jakarta: Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Depkes RI.


12. WHO, 2008. Buku Saku Pedoman Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit
Rujukan Tingkat Pertama di Kabupaten/Kota. Jakarta: Depkes RI.

Anda mungkin juga menyukai