Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN KASUS

EPILEPSI

Pembimbing :
dr. Irfan Taufik, Sp.S
Disusun Oleh :
Rizgah M Jawas
2012 730 091
KEPANITERAAN KLINIK RSIJ PONDOK KOPI
ILMU BAGIAN SARAF
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2016

BAB I
LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien
Nama
Jenis kelamin
Umur
Pekerjaan
Alamat
Status
Agama

: An. A F
: Perempuan
: 15 tahun
:: Buaran
: Belum Menikah
: Islam

B. Autoanamnesis dan Alloanamnesis


Keluhan Utama : Kejang berulang beberapa jam yang lalu SMRS.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD dengan keluhan kejang berulang sebanyak 3x (12.00 , 13.30 ,
dan 14.45 WIB), kejang tanpa didahului demam dan tanpa diketahui penyebabnya, lamanya
kejang kurang lebih 30 menit, pada saat kejang mata melihat ke atas dan tangan seperti kaku,
setelah pasien tidak kejang pasien seperti orang bingung.
Pasien memiliki riwayat kejang satu kali tanpa ada demam terlebih dahulu pada usia 6 tahun,
dan 2 kali pada usia 8 tahun. Riwayat trauma disangkal. Pasien juga mengeluh lemas dan
tidak nafsu makan, keluhan pusing, mual, muntah disangkal. BAK dan BAB tidak ada
keluhan.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat kejang berulang tanpa demam pada usia 6 tahun dan 8 tahun
Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat keluhan yang sama dengan pasien disangkal
Riwayat hipertensi disangkal
Riwayat DM disangkal
Riwayat Pengobatan
Pasien tidak sedang mengkonsumsi obat untuk mengurangi keluhan yang dirasakan dan
tidak ada konsumsi obat rutin lainnya
Riwayat Psikososial
Pasien dapat bersekolah seperti biasa, sedang berada di kelas 8 SMP, dapat mengikuti
pelajaran seperti teman sekelasnya
STATUS GENERALIS
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum
: Tampak sakit ringan
Kesadaran
: Composmentis
Tanda Vital
TD
: 110/70 mmHg
2

N
: 80 kali/menit
RR
: 18 kali/menit
S
: 36,5 0C
Status Generalis
Kepala
: normochepal
Mata
: konjungtiva anemis (+/+), ikterik (-/-), edema palpebra (-/-)
Hidung
: normonasi, deviasi septum (-), sekret (-)
Mulut
: mukosa bibir kering (-), sianosis (-), lidah tremor (-)
Telinga: normotia, sekret (-)
Leher
: KGB tidak membesar
Thorax
Jantung
: BJ I-II murni reguler, murmur (-), gallop (-)
Paru
: vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

Abdomen
Inspeksi
: bentuk datar
Perkusi
: timpani
Palpasi
: supel, nyeri tekan (-), organomegali (-), nyeri epigastrium (+)
Auskultasi
: BU (+) normal
Ekstremitas
Atas : akral hangat, RCT < 2 detik, edema (-/-), sianosis (-/-)
Bawah : akral hangat, RCT < 2 detik, edema (-/-), sianosis (-/-)

STATUS NEUROLOGIK
Keadaan umum
Kesadaran
GCS
Rangsang Meningeal
Kaku Kuduk
Laseque sign
Kernig sign
Brudzinki I/II
Patrick
Kontrapatrick

: tampak sakit ringan


: compos mentis
: E4 V5 M6 = 15
: : tidak terbatas
: tidak terbatas
: -/: -/: -/-

Saraf Kranial
N.I (Olfaktorius)
Daya Pembau : belum dapat dilakukan

N.II (Optikus )
Visus
Lapang Pandang
Funduskopi
Papil edema
Arteri:vena

N.III (Okulomotorius)

Kanan
normal
normal
tidak dilakukan
tidak dilakukan
tidak dilakukan
Kanan

Kiri
normal
normal

Kiri
3

Ptosis
Gerakan Bola Mata
Atas
Bawah
Medial
Pupil
Refleks cahaya langsung
Refleks cahaya tidak langsung
Akomodasi

:
:
:
:
:
:
:
:

baik
/
baik
/
baik
/
bulat, isokor, ODS 3 mm
+
/
+
/
baik

baik
baik
baik

N.IV (Trokhlearis)
Gerakan mata ke medial bawah :

Kanan
baik

Kiri
baik

N.V (Trigeminus)
Menggigit
Membuka Mulut
Sensibilitas
5.1.(oftalmikus)
5.2.(maksilaris)
5.3 (mandibularis)

Kanan
:
:

+
+
baik

Kiri
normal
normal

:
:
:

+
+
+

+
+
+

N.VI (ABDUSENS)
Gerakan mata ke lateral

Kanan
baik

Kiri
baik

N.VII (FASIALIS)
Kerutan kulit dahi
Menutup mata kuat
Mengangkat alis
Menyeringai
Meniup
Daya Kecap Lidah 2/3 depan

:
:
:
:
:
:

Kanan
+
+
normal
normal
normal
tidak dilakukan

N.VIII (Vestibulochoclearis)
Tes Bisik
Tes Rinne
Tes Weber
:
Tes Schwabach

KANAN
:
:
:

KIRI

tidak dilakukan
tidak dilakukan
tidak dilakukan
tidak dilakukan

N. IX (Glosofaringeus) Dan N. X (Vagus)


Arkus faring
: gerakan simetris
Daya kecap lidah 1/3 belakang : tidak dilakukan
Uvula
: letak ditengah
Menelan
: Normal
Refleks muntah
: tidak dilakukan

N. XI (Aksesorius)
Memalingkan Kepala

Kiri
+
+
normal
normal
normal

Kanan
baik

Kiri
baik
4

Mengangkat Bahu

N.XII (Hipoglosus)
Sikap lidah
Atropi otot lidah
Tremor lidah
Fasikulasi lidah

: Ditengah
: (-)
: (-)
: (-)

Motorik
Kekuatan Otot

5
5
: normal
: tidak ada

Tonus otot
Atrofi

Sensorik
Nyeri : Ektremitas Atas
Ekstremitas Bawah
Raba : Ektremitas Atas
Ekstremitas Bawah
Suhu : tidak dilakukan
Fungsi Vegetatif
Miksi
: baik
Defekasi
: baik
Fungsi luhur
MMSE
: tidak dilakukan
Reflek Fisiologis
Reflek bisep
: +/+
Reflek trisep
: +/+
Reflek brachioradialis : +/+
Reflek achilles
: +/+

baik

baik

5
5

Kanan
: normal
: normal
: normal
: normal

Kiri
normal
normal
normal
normal

Refleks Patologis
Babinski
Chaddock

: -/: -/-

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Darah

Hasil

Rujukan

Hemoglobin

9,1 g/dL

11,7-15,5 g/dL

Hematokrit

30%

35-47 %

Jumlah Trombosit

2503/l

154-386 103/l

Jumlah Leukosit

7,80 103/l

4,50-13,00 103/l

Eritrosit

4.74 106/l

3,80-5,20 106/l

MCV / VER

63 Fl

80-100 fL

MCH / HER

19 pg

26-34 pg

MCHC / KHER

30 g/dL

32-36 g/dL

RESUME
Pasien anak perempuan, 15 tahun datang ke IGD dengan keluhan kejang berulang
sebanyak 3x (12.00 , 13.30 , dan 14.45 WIB), kejang tanpa didahului demam,
lamanya kejang kurang lebih 30 menit, pada saat kejang mata melihat keatas dan
tangan mengepal seperti kaku, setelah pasien kejang pasien seperti orang bingung.
Pasien memiliki riwayat kejang berulang tanpa ada demam pada usia 6 tahun dan 8
tahun. Malaise (+), anoreksia(+). Pemeriksaan fisik konjungtiva anemis. Pemeriksaan
laboratorium Hb 9,1 g/dL
DIAGNOSIS
Diagnosa Klinis
Diagnosis Topis
Diagnosa Etiologi
Diagnosa Patologi

: Kejang
Anemia
: Cortex serebri
: Idiopatik
: Epilepsi

RENCANA PEMERIKSAAN PENUNJANG


EEG (Elektroensefalografi)
PENATALAKSANAAN
Carbamazepine 2x1
Clobazam 5mg 2x1/2
Phenitoin 3x100mg
Sangobion 2x1
Asam folat 2x1
PROGNOSIS
Quo ad vitam
Quo ad functionam
Quo ad sanationam

: dubia ad bonam
: dubia ad bonam
: dubia ad malam

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Epilepsi merupakan gangguan paroksismal dimana cetusan neuron korteks serebri
mengakibatkan serangan penurunan kesadaran, perubahan fungsi motoric atau sensorik,
perilaku atau emosional yang intermitten dan stereotipik.
Menurut pedorsi 2014, Epilepsi adalah suatu penyakit otak yang ditandai dengan kondisi /
gejala berikut:
Minimal terdapat 2 bangkitan tanpa provokasi atau 2 bangkitan refleks dengan

jarak waktu antar bangkitan pertama dan kedua lebih dari 24 jam.
Satu bangkitan tanpa provokasi atau 1 bangkitan refleks dengan kemungkinan
terjadinya bangkitan berulang dalam 10 tahun ke depan sama dengan (minimal
60%) bila terdapat 2 bangkitan tanpa provokasi / bangkitan refleks (misalkan
bangkitan pertama yang terjadi 1 bulan setelah kejadian stroke, bangkitan
pertama pada anak yang disertai lesi struktural dan epileptiform dischargers)
Sudah ditegakkan diagnosis sindrom epilepsi
Status epileptikus merupakan kejang yang terjadi > 30 menit atau kejang berulang
tanpa disertai pemulihan kesadaran diantara dua serangan kejang.
B. Epidemologi
Diduga terdapat sekitar 50 juta orang dengan epilepsi didunia(WHO, 2012). Populasi
epilepsi aktif (penderita dengan bangkitan tidak terkontrol atau yang memerlukan
pengobatan) diperkirakan antara 4 hingga 10 /.1000 penduduk /tahun, dinegara
berkembang diperkirakan 6 hingga 10/1000 penduduk. Prevalensi dinegara sedang
berkembang ditemukan lebih tinggi dari pada negara maju. Dilaporkan prevaqlensi
dinegara maju berkisar antara 4-7 /1000 orang dan 5-74/1000 orang dinegara sedang
berkembang. Daerah pedalaman memiliki angka prevalensi lebih tinggi dibendingkan
daerah perkotaan yaitu 15,4/1000 (4,8-49,6) dipedalaman dan 10,3 (2,8-37,7) diperkotaan.
Pada negara maju, prevalensi median epilepsi yang aktif (bangkitan dalam 5 tahun
terakhir) adalah 4,9/1000 (2,3-10,3), sedanglkan pada negara berkembang dipedalaman
12,7 /1000(3,5-45,5) dan diperkotaan 5,9 (3,4-10,2).2 dinegara Asia, prevalensi epilkepsi
aktif tertinggi dilap[orkan divietnam 10,7/1000 orang, dan terendah ditaiwan 2,8/1000
orang.3,4 Prevalensi epilepsi pada usia lanjut (>65 tahun) dinegara maju diperkirakan
7

sekitar >0,9%, lebih dari decade 1 dan 2 kehidupan. Pada usia >75 tahun prevalensi
meningkat 1,5%. Sebaliknya prevalensi epilepsi dinegara berkembang lebih tinggi pada
usia decade 1-2 dibandingkan pada usia lanjut. Kemungkinan penyebabnya adalah insiden
yang rendah dan usia harapan hidup rata-rata dinegara maju lebih tinggi. Prevalensi
epilepsi berdasarkan jenis kelamin dinegara-negara asia, dilaporkan laki-laki sedikit lebih
tinggi daripada wanita.3 Kelompok studi epilepsi perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia (Pokdi Epilepsi PERDOSSI) mengadakan penelitian pada 18 rumah sakit di 15
kota pada tahun 2013 selama 6 bulan. Didapatan 2288 pasien terdiri atas 487 kasus baru
dan 1801 kasus lama. Rerata usia kasus baru adalah 25,06 16,9 tahun, sedangkan rerata
usia pada kasus lama adalah 29,2 16,5 tahun. Sebanyak 77,9% pasien berobat pertama
kali ke dokter spesialis saraf, 6,8% berobat ke dokter umum, sedangkan sisanya berobat ke
dukun dan tidak berobat. Angka mortalitas akibat epilepsi di negara berkembang
dilaporkan lebih tinggi dibandingkan negara maju. Di Laos dilaporkan case fatality rate
mencapai 90,0 per 1000 orang pertahun . Angka mortalitas epilepsi pada anak di Jepang
dilaporkan 45 per 1000 orang pertahun. Di Taiwan 9 per 1000 orang pertahun , dimana
orang dengan epilepsi memiliki resiko kematian 3 kali lebih tinggi dibandingkan populasi
normal.
C. Etiologi
Etiologi epilepsi dapat dibagi ke dalam tiga kategori, sebagai berikut:
1. Idiopatik: tidak terdapat les structural di otak atau deficit neurologis. Diperkirakan
mempunyai predisposisi genetic dan umumnya berhubungan dengan usia.
2. Kriptogenik: dianggap simtomatis tetapi penyebabnya belum diketahui. Termasuk di
sini adalah sindrom West, sindrom Lennox-Gastaut, dan epilepsi mioklonik. Gambaran
klinis sesuai dengan ensefalopati difus.
3. Simtomatis: bangkitan epilepsi disebabkan oleh kelainan/lesi structural pada otak,
misalnya; cedera kepala, infeksi SSP, kelainan congenital, lesi desak ruang, gangguan
peredaran darah otak, toksik (alkohol,obat), metabolic, kelainan neurodegeneratif.
D. Patofisiologi
Serangan epilepsi terjadi apabila proses eksitasi di dalam otak lebih dominan dari pada
proses inhibisi. Perubahan-perubahan di dalam eksitasi aferen, disinhibisi, pergeseran
konsentrasi ion ekstraseluler, voltage-gated ion channel opening, dan menguatnya
sinkronisasi neuron sangat penting artinya dalam hal inisiasi dan perambatan aktivitas
serangan epileptik. Aktivitas neuron diatur oleh konsentrasi ion di dalam ruang

ekstraseluler dan intraseluler, dan oleh gerakan keluar-masuk ion-ion menerobos membran
neuron.
Lima buah elemen fisiologi sel dari neuronneuron tertentu pada korteks serebri penting
dalam mendatangkan kecurigaan terhadap adanya epilepsi:
1. Kemampuan neuron kortikal untuk bekerja pada frekuensi tinggi dalam merespon
depolarisasi diperpanjang akan menyebabkan eksitasi sinaps dan inaktivasi konduksi
2.

Ca2+ secara perlahan.


Adanya koneksi eksitatorik rekuren (recurrent excitatory connection), yang
memungkinkan adanya umpan balik positif yang membangkitkan dan menyebarkan

3.

aktivitas kejang.
Kepadatan komponen dan keutuhan dari pandangan umum terhadap sel-sel piramidal
pada daerah tertentu di korteks, termasuk pada hippocampus, yang bias dikatakan
sebagai tempat paling rawan untuk terkena aktivitas kejang. Hal ini menghasilkan
daerah-daerah potensial luas, yang kemudian memicu aktifitas penyebaran

4.

nonsinaptik dan aktifitas elektrik.


Bentuk siap dari frekuensi terjadinya potensiasi (termasuk juga merekrut respon

5.

NMDA) menjadi ciri khas dari jaras sinaptik di korteks.


Efek berlawanan yang jelas (contohnya depresi) dari sinaps inhibitor rekuren
dihasilkan dari frekuensi tinggi peristiwa aktifasi.

Serangan epilepsi akan muncul apabila sekelompok kecil neuron abnormal mengalami
depolarisasi yang berkepanjangan berkenaan dengan cetusan potensial aksi secara tepat
dan berulang-ulang. Secara klinis serangan epilepsi akan tampak apabila cetusan listrik
dari sejumlah besar neuron abnormal muncul secara bersamasama, membentuk suatu
badai aktivitas listrik di dalam otak. Badai listrik tadi menimbulkan bermacam-macam
serangan epilepsi yang berbeda (lebih dari 20 macam), bergantung pada daerah dan fungsi
otak yang terkena dan terlibat. Dengan demikian dapat dimengerti apabila epilepsi tampil
dengan manifestasi yang sangat bervariasi.
Sebagai penyebab dasar terjadinya epilepsi terdiri dari 3 katagori yaitu :
1. Non Spesifik Predispossing Factor ( NPF ) yang membedakan seseorang peka
tidaknya terhadap serangan epilepsi dibanding orang lain. Setiap orang sebetulnya
2.

dapat dimunculkan bangkitan epilepsi hanya dengan dosis rangsangan berbeda-beda.


Specific Epileptogenic Disturbances (SED). Kelainan epileptogenik ini dapat
diwariskan maupun didapat dan inilah yang bertanggung jawab atas timbulnya

epileptiform activity di otak. Timbulnya bangkitan epilepsi merupakan kerja sama


3.

SED dan NPF.


Presipitating Factor (PF). Merupakan faktor pencetus terjadinya bangkitan epilepsi
pada penderita epilepsi yang kronis. Penderita dengan nilai ambang yang rendah, PF
dapat membangkitkan reactive seizure dimana SED tidak ada.

Ketiga hal di atas memegang peranan penting terjadinya epilepsi sebagai hal dasar.
Hipotesis secara seluler dan molekuler yang banyak dianut sekarang adalah Membran
neuron dalam keadaan normal mudah dilalui oleh ion kalium dan ion klorida, tetapi sangat
sulit dilalui oleh ion natrium dan ion kalsium. Dengan demikian konsentrasi yang tinggi
ion kalium dalam sel ( intraseluler ), dan konsentrasi ion natrium dan kalsium ekstraseluler
tinggi. Sesuai dengan teori dari Dean (Sodium pump), sel hidup mendorong ion natrium
keluar sel, bila natrium ini memasuki sel, keadaan ini sama halnya dengan ion kalsium.
Bangkitan epilepsi karena transmisi impuls yang berlebihan di dalam otak yang tidak
mengikuti pola yang normal, sehingga terjadi sinkronisasi dari impuls.Sinkronisasi ini
dapat terjadi pada sekelompok atau seluruh neuron di otak secara serentak, secara teori
sinkronisasi ini dapat terjadi.
Fungsi jaringan neuron penghambat ( neurotransmitter GABA dan Glisin ) kurang

optimal hingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan.


Keadaan dimana fungsi jaringan neuron eksitatorik ( Glutamat dan Aspartat )
berlebihan hingga terjadi pelepasan impuls epileptik berlebihan juga.

Fungsi neuron penghambat bisa kurang optimal antara lain bila konsentrasi GABA
(gamma aminobutyric acid ) tidak normal. Pada otak manusia yang menderita epilepsi
ternyata kandungan GABA rendah.

Hambatan oleh GABA dalam bentuk inhibisi

potensial postsinaptik ( IPSPs = inhibitory post synaptic potentials) adalah lewat reseptor
GABA. Suatu hipotesis mengatakan bahwa aktifitas epileptic disebabkan oleh hilang atau
kurangnya inhibisi oleh GABA, zat yang merupakan neurotransmitter inhibitorik utama
pada otak. Ternyata pada GABA ini sama sekali tidak sesederhana seperti yang disangka
semula. Riset membuktikan bahwa perubahan pada salah satu komponennya bias
menghasilkan inhibisi tak lengkap yang akan menambah rangsangan. Sinkronisasi dapat
terjadi pada sekelompok kecil neuron saja, sekelompok besar atau seluruh neuron otak
secara serentak. Lokasi yang berbeda dari kelompok neuron ini menimbulkan manifestasi
yang berbeda dari serangan epileptik. Secara teoritis ada 2 penyebabnya yaitu fungsi
neuron penghambat kurang optimal ( GABA ) sehingga terjadi pelepasan impuls epileptik
secara berlebihan, sementara itu fungsi jaringan neuron eksitatorik ( Glutamat )
10

berlebihan. Berbagai macam penyakit dapat menyebabkan terjadinya perubahan


keseimbangan antara neuron inhibitor dan eksitator, misalnya kelainan heriditer,
kongenital, hipoksia, infeksi, tumor, vaskuler, obat atau toksin. Kelainan tersebut dapat
mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi neuron eksitasi,
sehingga mudah timbul epilepsi bila ada rangsangan yang memadai. Daerah yang rentan
terhadap kerusakan bila ada abnormalitas otak antara lain di hipokampus. Oleh karena
setiap serangan kejang selalu menyebabkan kenaikan eksitabilitas neuron, maka serangan
kejang cenderung berulang dan selanjutnya menimbulkan kerusakan yang lebih luas. Pada
pemeriksaan jaringan otak penderita epilepsi yang mati selalu didapatkan kerusakan di
daerah hipokampus. Oleh karena itu tidak mengherankan bila lebih dari 50% epilepsi
parsial, fokus asalnya berada di lobus temporalis dimana terdapat hipokampus dan
merupakan tempat asal epilepsi dapatan. Pada bayi dan anak-anak, sel neuron masih
imatur sehingga mudah terkena efek traumatik, gangguan metabolik, gangguan sirkulasi,
infeksi dan sebagainya. Efek ini dapat berupa kemusnahan neuron-neuron serta sel-sel glia
atau kerusakan pada neuron atau glia, yang pada gilirannya dapat membuat neuron glia
atau lingkungan neuronal epileptogenik. Kerusakan otak akibat trauma, infeksi, gangguan
metabolisme dan sebagainya, semuanya dapat mengembangkan epilepsi. Akan tetapi anak
tanpa brain damage dapat juga menjadi epilepsi, dalam hal ini faktor genetik dianggap
penyebabnya, khususnya grand mal dan petit mal serta benigne centrotemporal
epilepsy.Walaupun demikian proses yang mendasari serangan epilepsi idiopatik, melalui
mekanisme yang sama.

Silbernagl

S. Color Atlas of Pathophysiology.

New

York: Thieme. 2000


Klasifikasi
Klasifikasi yang ditetapkan oleh

E.

International
Epilepsi

League

Against

(ILAE) terdiri atas dua jenis

klasifikasi, yaitu klasifikasi untuk jenis bangkitan epilepsi dan klasifikasi untuk sindrom
epilepsi.
Klasifikasi menurut ILAE 1981 untuk tipe bangkitan epilepsy :
11

1. Bangkitan parsial/fokal
1.1 Bangkitan parsial sederhana
1.1.1. Dengan gejala motorik
1.1.2. Dengan gejala somatosensorik
1.1.3. Dengan gejala otonom
1.1.4. Dengan gejala psikis
1.2 Bangkitan parsial kompleks
1.2.1. Bangkitan parsial sederhana yang diikuti dengan gangguan kesadaran
1.2.2. Bangkitan yang disertai gangguan kesadaran sejak awal bangkitan
1.3 Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder
1.3.1. Parsial sederhana yang menjadi umum
1.3.2 Parsial kompleks menjadi umum
1.3.3.Parsial sederhana menjadi parsial kompleks, lalu menjadi umum
2. Bangkitan umum
2.1 Lena (absence)
2.1.1 Tipikal lena
2.1.2 Atipikal lena
2.2 Mioklonik
2.3 Klonik
2.4 Tonik
2.5 Tonik-klonik
2.6 Atonik/astatik
3. Bangkitan tak tergolongkan
Klasifikasi ILAE 1989 untuk epilepsi dan sindrom epilepsi
1. Fokal/partial (localized related)
1.1 Idiopatik (berhubungan dengan usia awitan)
1.1.1 Epilepsi benigna dengan gelombang paku di daerah sentrotemporal
(childhood epilepsi with centrotemporal spikesI)
1.1.2 Epilepsi benigna dengan gelombang paroksismal pada daerah oksipital.
1.1.3 Epilepsi prmer saat membaca (primary reading epilepsi)
1.2 Simtomatis
1.2.1 Epilepsi parsial kontinua yang kronis progresif pada anak-anak
(Kojenikows Syndrome)
1.2.2 Sindrom dengan bangkitan yang dipresipitasi oleh suatu rangsangan
(kurang tidur, alkohol, obat-obatan, hiperventilasi, refleks epilepsi,
stimulasi fungsi kortikal tinggi, membaca)
1.2.3 Epilepsi lobus temporal
1.2.4 Epilepsi lobus frontal
1.2.5 Epilepsi lobus parietal
1.2.6 Epilepsi oksipital
1.3 Kriptogenik
2. Epilepsi umum
2.1 Idiopatik (sindrom epilepsi berurutan sesuai dengan usia awitan)
2.1.1 Kejang neonates familial benigna
2.1.2 Kejang neonates benigna
2.1.3 Kejang epilepsi mioklonik pada bayi
2.1.4 Epilepsi lena pada anak
2.1.5 Epilepsi lena pada remaja
2.1.6 Epilepsi mioklonik pada remaja
12

2.1.7 Epilepsi dengan bangkitan umum tonik-klonik pada saat terjaga


2.1.8 Epilepsi umum idiopatik lain yang tidak termasuk salah satu di atas
2.1.9 Epilepsi tonik klonik yang dipresipitasi dengan aktivasi yang spesifik
2.2 Kriptogenik atau simtomatis (berurutan sesuai dengan peningkatan usia)
2.2.1 Sindrom West (spasme infantile dan spasme salam)
2.2.2 Sindrom Lennox-Gastaut
2.2.3 Epilepsi mioklonik astatik
2.2.4 Epilepsi mioklonik lena
2.3 Simtomatis
2.3.1 Etiologi nonspesifik
Ensefalopati mioklonik dini
Ensefalopati pada infantile dini dengan dengan burst suppression
Epilepsi simtomatis umum lainnya yang tidak termasuk di atas
2.3.2 Sindrom spesifik
2.3.3 Bangkitan epilepsi sebagai komplikasi penyakit lain.
3. Epilepsi dan sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau umum
3.1 Bangkitan umum dan fokal
3.1.1 Bangkitan neonatal
3.1.2 Epilepsi mioklonik berat pada bayi
3.1.3 Epilepsi dengan gelombang paku kontinu selama tidur dalam
3.1.4 Epilepsi afasia yang didapat (Sindrom Landau-Kleffner)
3.1.5 Epilepsi yang tidak termasuk klasifikasi di atas
3.2 Tanpa gambaran tegas fokal atau umum
4. Sindrom khusus
4.1 Bangkitan yang berkaitan dengan situasi tertentu
4.1.1 Kejang demam
4.1.2 Bangkitan kejang/status epileptikus yang timbul hanya sekali isolated
4.1.3 Bangkitan yang hanya terjadi bila terdapat kejadian metabolic akut, atau
toksis, alkohol, obat-obatan, eklamsia, hiperglikemi nonketotik.
4.1.4 Bangkitan berkaitan dengan pencetus spesfik (epilepsi refrektorik)
F. Diagnosis
Diagnosis epilepsi ditegakkan terutama dari anamnesis, yang didukung dengan
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Dalam praktik klinis, langkah-langkah
dalam penegakkan diagnosis adalah sebagai berikut:
1. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara auto dan allo-anamnesis dari orang tua atau saksi mata
mengenai hal-hal terkait dibawah ini:
a. Gejala dan tanda sebelum, salam, dan pascabangkitan:
1) Sebelum bangkitan/ gajala prodomal
Kondisi fisik dan psikis yang mengindikasikan akan terjadinya bangkitan,
misalnya perubahan prilaku, perasaan lapar, berkeringat, hipotermi,
mengantuk, menjadi sensitive, dan lain-lain.
2)

Selama bangkitan/ iktal:


13

Apakah terdapat aura, gejala yang dirasakan pada awal bangkitan?


Bagaimana pola/ bentuk bangkitan, mulai dari deviasi mata, gerakan
kepala, gerakan tubuh , vokalisasi, aumatisasi, gerakan pada salah satu atau
kedua lengan dan tungkai, bangkitan tonik/klonik, inkontinensia, lidah
tergigit, pucat, berkeringat, dan lain-lain. ( Akan lebih baik bila keluarga
dapat diminta menirukan gerakan bangkitan atau merekam video saat
bangkitan)
Apakah terdapat lebih dari satu pola bangkitan?
Apakah terdapat perubahan pola dari bangkitan sebelumnya
Aktivitas penyandang saat terjadi bangkitan, misalnya saat tidur, saat
terjaga, bermain video game, berkemih, dan lainlain.
3) Pasca bangkitan/ post- iktal:
Bingung, langsung sadar, nyeri kepala, tidur, gaduh gelisah, Todds paresis.
b. Faktor pencetus: kelelahan, kurang tidur, hormonal, stress psikologis, alkohol.
c. Usia awitan, durasi bangkitan, frekuensi bangkitan, interval terpanjang antara
bangkitan, kesadaran antara bangkitan.
d. Terapi epilepsi sebelumnya dan respon terhadap OAE sebelumnya
Jenis obat antiepilepsi
Dosis OAE
Jadwal minumOAE
Kepatuhan minum OAE
Kadar OAE dalam plasma
Kombinasi terapi OAE
e. Penyakit yang diderita sekarang, riwayat penyakit neurologis psikiatrik maupun

2.

sistemik yang mungkin menjadi penyebab maupun komorbiditas.


f. Riwayat epilepsi dan penyakit lain dalam keluarga
g. Riwayat saat berada dalam kandungan, kelahiran, dan tumbuh kembang
h. Riwayat bangkitan neonatal/ kejang demam
i. Riwayat trauma kepala, stroke, infeksi susunan saraf pusat (SSP), dll.
Pemeriksaan fisik umum dan neurologis
a. Pemeriksaan fisik umum
Untuk mencari tanda-tanda gangguan yang berkaitan dengan epilepsi, misalnya:
- Trauma kepala
- Tanda-tanda infeksi
- Kelainan congenital
- Kecanduan alcohol atau napza
- Kelainan pada kulit (neurofakomatosis)
- Tanda-tanda keganasan.
b. Pemeriksaan neurologis
Untuk mencari tanda-tanda defisit neurologis fokal atau difus yang dapat
berhubungan dengan epilepsi. Jika dilakukan dalam beberapa menit setelah
bangkitan, maka akan tampak pascabangkitan terutama tanda fokal yang tidak
jarang dapat menjadi petunjuk lokalisasi, seperti:
- Paresis Todd
14

- Gangguan kesadaran pascaiktal


- Afasia pascaiktal
3.

Pemeriksaan penunjang
a) Pemeriksaan elektro-ensefalografi (EEG)
Rekaman EEG merupakan pemeriksaan yang paling berguna pada dugaan suatu
bangkitan untuk:
o Membantu menunjang diagnosis
o Membantu penentuan jenis bangkitan maupun sintrom epilepsi.
o Membatu menentukanmenentukan prognosis
o Membantu penentuan perlu/ tidaknya pemberian OAE.
b) Pemeriksaan pencitraan otak
Berguna untuk mendeteksi lesi epileptogenik diotak. MRI beresolusi tinggi
( minimal 1,5 Tesla) dapat mendiagnosis secara non-invasif berbagai macam lesi
patologik misalnya mesial temporal sclerosis, glioma, ganglioma, malformasi
kavernosus, DNET (dysembryoplastic neuroepithelial tumor ), tuberous
sclerosiss. Fuctional brain imaging seperti Positron Emission Tomography (PET),
Singel Photon Emission Computed Tomography (SPECT) dan Magnetic
Resonance Spectroscopy (MRS) bermanfaat dalam memberikan informasi
tambahan mengenai dampak perubahan metabolik dan perubahan aliran darah
regional di otak berkaitan dengan bangkitan.
Indikasi pemeriksaan neuroimaging( CT scan kepala atau MRI kepala) pada
kasus kejang adalah bila muncul kejang unprovoked pertama kali pada usia
dewasa. Tujuan pemeriksaan neuroimaging pada kondisi ini adalah untuk mencari
adanya lesi structural penyebab kejang. CT scan kepala lebih ditujukan untuk
kasus kegawatdaruratan, karena teknik pemeriksaannya lebih cepat. Di lain pihak
MRI kepala diutamakan untuk kasus elektif. Bila ditinjau dari segi sensitivitas
dalam menentukan lesi kasus elektif. Bila ditinjau dari segi sensitivitas dalam
menentukan lesi structural, maka MRI lebih sensitive dibandingkan CT scan
kepala.
c) Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan hematologis
Pemeriksaan ini mencakup hemoglobin, leukosit dan hitung jenis, hematokrit,
trombosit,

apusan

darah

tepi,

elektrolit

(natrium,

kalium,

kalsium,

magnesium), kadar gula darah sewaktu, fungsi hati (SGOT/SGPT), ureum,


kreatinin dan albumin.
- Awal pengobatan sebagai salah satu acuan dalam menyingkirkan diagnosis
banding dan pemilihan OAE
15

- Dua bulan setelah pemberian OAE untuk mendeteksi samping OAE


- Rutin diulang setiap tahun sekali untuk memonitor samping OAE, atau bila
timbul gejala klinis akibat efek samping OAE.
Pemeriksaan kadar OAE
Pemeriksaan ini idealnya untuk melihat kadar OAE dalam plasma saat
bangkitan belum terkontrol, meskipun sudah mencapai dosis terapi maksimal
atau untuk memonitorkepatuhan pasien.
d) Pemeriksaan penunjang lainnya
Dilakukan sesuai dengan indikasi misalnya:
o Punksi lumbal
G. Penatalaksanaan
Staus epileptikus merupakan kondisi kegawatdaruratan yang memerlukan pengobatan
yang tepat untuk meminimalkan kerusakan neurologic permanen maupun kematian.
Definisi dari status epileptikus yaitu serangan lebih dari 30 menit, akan tetapi untuk
penanganannya dilakukan bila sudah lebih dari 5-10 menit.
Setelah diagnosa ditetapkan maka tindakan terapeutik diselenggarakan. Semua orang yang
menderita epilepsi, baik yang idiopatik maupun yang non-idiopatik, namun proses
patologik yang mendasarinya tidak bersifat progresif aktif seperti tumor serebri, harus
mendapat terapi medisinal. Obat pilihan utama untuk pemberantasan serangan epileptik
jenis apapun, selain petit mal, adalah luminal atau phenytoin. Untuk menentukan dosis
luminal harus diketahui umur penderita, jenis epilepsinya, frekuensi serangan dan bila
sudah diobati dokter lain. Dosis obat yang sedang digunakan. Untuk anak-anak dosis
luminal ialah 3-5 mg/kg/BB/hari, sedangkan orang dewasa tidak memerlukan dosis
sebanyak itu. Orang dewasa memerlukan 60 sampai 120 mg/hari. Dosis phenytoin
(Dilatin, Parke Davis) untuk anak-anak ialah 5 mg/kg/BB/hari dan untuk orang dewasa 515 mg/kg/BB/hari. Efek phenytoin 5 mg/kg/BB/hari (kira-kira 300 mg sehari) baru terlihat
dalam lima hari. Maka bila efek langsung hendak dicapai dosis 15 mg/kg/BB/hari (kirakira 800 mg/hari) harus dipergunakan.
Efek antikonvulsan dapat dinilai pada follow up. Penderita dengan frekuensi serangan
umum 3 kali seminggu jauh lebih mudah diobati dibanding dengan penderita yang
mempunyai frekuensi 3 kali setahun. Pada kunjungan follow up dapat dilaporkan hasil
yang baik, yang buruk atau yang tidak dapat dinilai baik atau buruk oleh karena frekuensi
serangan sebelum dan sewaktu menjalani terapi baru masih kira-kira sama. Bila
frekuensinya berkurang secara banding, dosis yang sedang dipergunakan perlu dinaikan
sedikit. Bila frekuensinya tetap, tetapi serangan epileptik dinilai oleh orangtua penderita
atau penderita epileptik Jackson motorik/sensorik/march sebagai enteng atau jauh lebih
16

ringan, maka dosis yang digunakan dapat dilanjutkan atau ditambah sedikit. Jika hasilnya
buruk, dosis harus dinaikan atau ditambah dengan antikonvulsan lain.
Terapi pengobatan epilepsi
OAE mulai diberikan bila :
Diagnosis epilepsi telah dipastikan (confirmed).
Setelah pasien dan atau keluarganya menerima penjelasan tentang tujuan pengobatan.
Pasien dan atau keluarganya telah diberitahu tentang kemungkinan efek samping

OAE yang akan timbul.


Tepari dimulai dengan monoterapi.
Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikan bertahap sampai dosis efektif
tercapai atau timbul efek samping, kadar obat dalam plasma ditentukan bila bangkitan

tidak terkontrol dengan dosis efektif.


Bila dengan penggunaan dosis maksimum obat pertama tidak dapat mengontrol
bangkitan, maka perlu ditambahkan OAE kedua. Bila OAE telah mencaoai kadar

terapi, maka OAE pertama diturunkan bertahap (tapering off), perlahan lahan.
Penambahan obat ketiga baru dilakukan setelah terbukti bangkitan tidak dapat diatasi
dengan penggunaan dosis maksimal kedua OAE pertama.

Pasien dengan bangkitan tunggal direkomendasikan untuk diberi terapi bila :


Dijumpai fokus epilepsi yang jelas pada EEG
Pada pemeriksaan CT-Scan atau MRI otak dijumpai lesi yang berkorelasi dengan

bangkitan, misalnya neoplasma otak, AVM, abses otak ensefalitis herpes


Pada pemeriksaan neurologik dijumpai kelainan yang mengarah pada adanya

kerusakan otak
Terdapat riwayat epilepsi pada saudara sekandung (bukan orang tua)
Riwayat bangkitan simtomatik
Riwayat trauma kepala terutama yang disertai penurunan kesadara., stroke, infeksi

SSP
Bangkitan pertama berupa status epileptikus

JENIS OBAT ANTI-EPILEPSI


Pemilihan OAE didasarkan atas jenis bangkitan epilepsi, efek samping OAE
Tabel 1. Pemilihan OAE didasarkan atas jenis bangkitan

JENIS

OAE LINI

OAE LINI

AOE LAIN YANG DAPAT

BANGKITAN

PERTAMA

KEDUA

DIPERTIMBANGKAN

OAE

YANG

SEBAIKNYA
DIHINDARI

17

BANGKITAN
UMUM TONIK
KLONIK
BANGKITAN

Sodium Valproat
Lamotrigine
Topiramate
Carbamazepine

Clobazam
Levetiracetam
Oxarbazepine

Clonazepam
Phenobarbital
Phenytoin
Acetazolamide

Sodium Valproat
Lamotrigine

Clobazam
Topiramate

Carbamazepine
Gabapentin
Oxarbazepine

Sodium Valproat
Topiramate

Clobazam
Levetiracetam
Lamotrigine
Piracetam
Topiramate

Carbamazepine
Gabapentin
Oxarbazepine

Sodium Valproat
Lamotrigine

Clobazam
Levetiracetam
Topiramate
Clobazam
Gabapentin
Levetiracetam
Phenytoin
Tiagabine

LENA

BANGKITAN
MIOKLONIK

BANGKITAN
TONIK
BANGKITAN
FOKAL
DENGAN/
TANPA UMUM

Sodium Valproat
Lamotrigine
Topiramate
Carbamazepine
Oxarbazepine

Phenobarbital
Phenytoin

Carbamazepine
Oxarbazepine

Phenobarbital
Acetazolamide
Clonazepam

SEKUNDER

Mekanisme Kerja OAE


OBAT

MEKANISME KERJA

Karbamazepin

Blok sodium channel konduktan pada neuron, bekerja


juga pada reseptor NMDA, asetilkolin

Fenitoin

Blok sodium channel dan inhibisi aksi konduktan,


kalsium dan klorida

Fenobarbital

Meningkatkan aktivitas reseptor GABA, menurunkan


konduktan natrium, kalium, kalsium

Valproate

Diduga aktivitas GABA glutaminergik, menurunkan


ambang konduktan kalsium

Gabapentin

Modulasi kalsium channel

Lamotrigin

Blok konduktan natrium

Topiramat

Blok sodium channel, meningkatkan influx GABA

18

Tabel 2. Pemilihan OAE didasarkan atas jenis sindrom epilepsi


AOE LAIN YANG
JENIS

OAE LINI

OAE LINI

DAPAT

BANGKITAN

PERTAMA

KEDUA

DIPERTIMBANGKAN

EPILEPSI LENA

Sodium

PADA ANAK

Valproat
Lamotrigine

KECIL (CAE)
BANGKITAN

Sodium

LENA PADA

Valproat
Lamotrigine

ANAK (JAE)
EPILEPSI

Sodium

MIOKLONIK

Valproat
Lamotrigine

PADA ANAK

OAE YANG
SEBAIKNYA
DIHINDARI

Levetiracetam
Topiramate

Carbamazepine
Oxarbazepine
Phenytoin

Levetiracetam
Topiramate

Carbamazepine
Oxarbazepine
Phenytoin

Levetiracetam

Acetazolamide

Levetiracetam

Phenobarbital
Phenytoin
Acetazolamide
Clobazam
Clonazepam
Oxarbazepine

Clobazam
Gabapentin
Levetiracetam
Phenytoin

Acetazolamide
Clonazepam
Phenobarbital

Carbamazepine
Oxarbazepine
Phenytoin

(JME)
Sodium
EPILEPSI
UMUM TONIK
KLONIK

EPILEPSI
FOKAL
KRIPTOGENIK/
SIMTOMATIK

Valproat
Lamotrigine
Carbamazepine
Topiramate
Topiramate
Carbamazepine
Oxarbazepine
Sodium
Valproat
Lamotrigine
Steroid

SPASMUS
INFANTIL

Clobazam
Clonazepam
Topiramate
Sodium

Carbamazepine
Oxarbazepine

Valproat
EPILEPSI
BENIGNA DGN

Carbamazepine
Oxarbazepine
Sodium

Levetiracetam
Topiramate

GELOMBANG
19

PAKU DI
DAERAH

Valproat
Lamotrigine

SENTROTEMPORAL
EPILEPSI
BENIGNA DGN
GELOMBANG
PAROKSISMAL

Carbamazepine
Oxarbazepine
Sodium

Levetiracetam
Topiramate

Valproat
Lamotrigine

DI DAERAH
OKSIPITAL
EPILEPSI
BERAT PADA

Clobazam
Clonazepam
Topiramate
Sodium

BAYI (SMEI)

Valproat

GELOMBANG

Sodium

PAKU YANG

Valproat
Lamotrigine
Clobazam
Clonazepam

MIOKLONIK

KONTINU
PADA

Levetiracetam

Phenobarbital

Carbamazepine
Lamotrigine
Oxarbazepine

Levetiracetam
Topiramate

Carbamazepine
Oxarbazepine

Levetiracetam
Clobazam
Clonazepam

Carbamazepine
Oxarbazepine

Levetiracetam
Topiramate

Carbamazepine
Oxarbazepine

Levetiracetam
Topiramate

Carbamazepine
Oxarbazepine

STADIUM
TIDUR DALAM
SINDROM
LENNOXGASTAUT

Sodium
Valproat
Lamotrigine
Clobazam
Clonazepam

SINDROM

Sodium

LANDAU-

Valproat
Lamotrigine
Steroid

KLEFFNER
EPILEPSI
MIKLONIKASTATIK

Sodium
Valproat
Clobazam
Clonazepam
Topiramate

Steroid : Prednisolon atau ACTH


20

Tabel 3. Dosis obat anti-epilepsi untuk orang dewasa

OBAT

DOSIS

DOSIS

JUMLAH

AWAL

RUMATAN
(mg/hari)

DOSIS
PERHARI

400 600

2 3x
(untuk yg

(mg/hari)
Carbamazep
ine

400 600

WAKTU

WAKTU

PARUH

TERCEPATNYA

PLASMA
(jam)

STEADY STATE
(hari)

15-35

2-7

CR 2x)

Phenytoin
Valproic
acid

200 300
500 1000

200 400

1 2x

10 80

3 15

500 2500

2 3x
(untuk yg

12 18

24

CR 2x)

Phenobarbit
al

50 100

50 200

50 170

1 or 2

20 60

2 10

10 -30

2 3x
(untuk yg

10 30

26

Clonazepam
Clobazam

10

CR 2x)
Oxarbazepi
ne
Levetiraceta
m

600 900

600 3000

2 3x

8 15

1000 2000

1000 3000

2x

68

100

100 400

2x

20 30

25

900 1800

900 3600

2 3x

57

50 100

20 200

1 2x

15 35

26

Topiramate
Gabapentin
Lamotrigine

CR : controlled release
Tabel 4. Efek samping obat anti-epilepsi klasik
OBAT

EFEK SAMPING
TERKAIT DOSIS

IDIOSINKRASI
21

Ruam morbiliform,
Carbamazepine

Diplopia, dizziness nyeri kepala,

agranulositosis, anemia

mual, mengantuk, netropienia,

aplastik, efek hipototoksik,

hiponatremia

syndrome stevens-johnson,
efek teragenik
Jerawat, coarse facies,

Phenytoin

Nistagmus, ataksia, mual,

hirsutism, lupus like

muntah, hipertrofi gusi, depresi,

syndrome, ruam, sindrom

mengantuk, paradoxical

Stevens-johnson, dupuytrens

increase in seizure, anemia

contracture, efek

megaloblastik

hepatotoksik, efek
teratogenik

Tremor, berat badan bertambah,


Valproic acid

depresia, mual, muntah,


kebotakan, teratogenik

Kelelahan, restlegless, depresi,


insomnia (pada anak),
Phenobarbital

distractability (pada anak),


hiperkinesia (pada anak),
irritabilty (pada anak)

Pankreatitis akuk, efek


hepatotoksik,
trombositopenia,
ensephalopati, udem perifer
Ruam makulopapular,
eksfoliasi, nekrosis
epidermal toksik, efek
hepatotoksik, arthritic
changes, dupuytrens
contracture, efek teratogenik

Kelelahan, sedasi, mengantuk,


Clonazepam

dizziness, agresi (pada anak),

Ruam, trombositopenia

hiperkinesia (pada anak)


Tabel 5. Efek samping obat anti-epilepsi baru

OBAT

EFEK SAMPING UTAMA

EFEK

SAMPING

YANG

LEBIH

SERIUS

NAMUN

JARANG
22

Somnolen,
muncul
Levetiracetam

astenia,

ataksia,

sering

penurunan

ringan jumlah sel darah merah,


kadar

hemoglobin

dan

hematokrit
Somnolen, kelelahan, ataksia,
Gabapentin

dizziness,

gangguan

saluran

cerna
Ruam,
Lamotrigine

dizziness,

tremor,

ataksia, diplopia, nyeri kepala,


gangguan saluran cerna

Clobazam

Sedasi,

Stevens-

Johnson

dizziness,irritability,

depresi, dysinhibition
Dizziness,

Oxcarbazepine

Sindrom

diplopia,

ataksia,

nyeri kepala, kelemahan, ruam,


hiponatremia
Gangguan

Topiramate

kognitif,

tremor,

dizzines, ataksia, nyeri kepala,


kelelahan, gangguan saluran
cerna, batu ginjal

PENGHENTIAN OAE
Dalam hal penghentian OAE maka ada dua hal penting yang perlu diperhatikan, yaitu
syarat umum untuk menghentikan OAE dan kemungkinan kambuhnya bangkitan setelah
OAE dihentikan.
Syarat umum untuk menghentikan pemberian OAE adalah sebagai berikut:
Penghentian OAE dapat didiskusikan dengan pasien atau keluarganya setelah bebas

dari bangkitan selama minimal 2 tahun


Gambaran EEG "normal"
Harus dilakukan secara bertahap, pada umumnya 25% dari dosis semula, setiap bulan

dalam jangka waktu 3-6 bulan.


Penghentian dimulai dari satu OAE yang bukan utama.
Kekambuhan setelah penghentian OAE akan lebih besar kemungkinannya pada keadaaan
sebagai berikut:
Semakin tua usia kemungkinan timbulnya kekambuhan makin tinggi
23

Epilepsi simtomatik
Gambaran EEG yang abnormal
Semakin lama adanya bangkitan sebelum dapat dikendalikan
Tergantung bentuk sindrom epilepsi yang diderita; sangat jarang pada sindrom
epilepsi benigna dengan gelombang tajam pada daerah sentro-temporal, 5-25 % pada
epilepsi lena masa anak kecil, 25-75% epilepsi parsial kriptogenik simtomatik, 85-

95% pada epilepsi mioklonik pada anak


Penggunaan lebih dari satu OAE
Masih mendapatkan satu atau lebih bangkitan setelah memulai terapi
Mendapat terapi 10 tahun atau lebih

Kemungkinan untuk kambuh lebih kecil pada pasien yang telah bebas dari bangkitan
selama 3-5 tahun, atau lebih dari 5 tahun. Bila bangkitan timbul kembali maka gunakan
dosis efektif terakhir (sebelum pengurangan dosis OAE), kemudian di evaluasi kembali

24

Anda mungkin juga menyukai