Anda di halaman 1dari 9

Produktivitas

Sebenarnya isu produktivitas telah merebak dan menjadi perhatian kalangan


bisnis sejak era manajemen ilmiah, ketika Frederic W. Taylor, dan kawan-kawannya
seperti Frank dan Lillian Gilbreth melakukan studi tentang metode kerja untuk
meningkatkan efisiensi tenaga kerja. Kemudian tahun 1970-an, produktivitas
kembali menjadi salah satu isu paling penting, baik pada tingkatan mikro organisasi-, maupun pada tingkatan makro - nasional. Jauh-jauh hari sebelum itu,
Jepang termasuk salah satu negara yang beperhatian besar atas soal produktivitas
dan sangat paham mengenai soal itu. Dari satu kata yang disebut produktivitas
tersebut, kemudian Jepang menjabarkannya ke dalam strategi yang holistikintegratif, yakni strategi pembangunan, strategi pendidikan, strategi pembudayaanpemberdayaan masyarakat, dan strategi industri.

Hasilnya, pada periode tahun 1967 sampai 1974, Jepang sukses meningkatkan
produktivitasnya sampai pada angka 99,6%. Sementara, pada periode yang sama
produktivitas Jerman - waktu itu Jerman Barat - hanya mencapai angka 43,3% dan
Amerika Serikat lebih rendah lagi yaitu 29,25% (David R Anderson: 1984).
Sekarang, Jepang dapat dijadikan contoh dan bukti bahwa produktivitas membantu
bangsa itu mencapai posisi yang lebih kompetitif di pasar internasional dan
ketahanan ekonomi yang kuat.

Pendapat James R. Evans dalam bukunya Applied Production and Operation


Management. Beliau mengatakan bahwa produktivitas yang rendah dapat
memberikan konsekuensi-konsekuensi seperti meningkatnya kesulitan dalam
menjual produk baik domestik, maupun di pasar internasional, menyulitkan dalam
pencapaian tujuan-tujuan kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan sosial. Selain
itu, produktivitas yang rendah dapat juga berakibat pada tingginya harga jual, dan
meningkatnya kebutuhan akan sumber-sumber masukan, yang selanjutnya akan
mendorong inflasi. Sebaliknya, produktivitas yang tinggi dapat berdampak pada
penurunan biaya operasi sehingga mendukung daya saing, peningkatan keluaran
industri dan keuntungan sehingga menciptakan lebih banyak pekerjaan, serta
perbaikan kepuasan dan semangat kerja.

Produktivitas sering dianggap sama dengan efektivitas, prestasi, hasil, atau


kerja keras. Paham yang salah semacam itu akan mengakibatkan kekacauan
semantik, di mana orang memakai kata yang sama - produktivitas - untuk
pengertian yang berbeda-beda. Yang menjadi kekhawatiran adalah bahwa

kekacauan semantik ini memberikan dampak ikutan pada pelbagai strategi dan
implementasi tindakan yang mengatasnamakan produktivitas, pada hal yang
dimaksudkan lain sama sekali.

Produktivitas bukanlah berarti sama dengan jumlah keluaran ataupun hasil.


Produktivitas juga bukan berarti proses produksi/operasi atau kerja keras ataupun
sibuk. Produktivitas adalah sebuah konsep yang menggambarkan kaitan antara
keluaran atau hasil yang dicapai dengan sumber atau masukan yang digunakan
untuk mencapai hasil (J Sadiman : 1983) . Dengan kata lain, produktivitas
menggambarkan kaitan antara tingkat efektivitas yang dicapai dengan tingkat
efisiensi penggunaan sumber daya (J. G. Belcher Jr. : 1984).

Dalam pengertian produktivitas yang dinyatakan oleh J Sadiman, maupun oleh


J. G. Belcher terkandung makna bahwa ada lebih dari satu kemungkinan kombinasi
atau bauran masukan yang dapat digunakan untuk menghasilkan tingkat keluaran
tertentu.

Dengan demikian, tingkat efisiensi produktif total akan tercapai bila terpenuhi
kondisi di mana:
a). untuk berbagai-bagai bauran masukan yang digunakan dalam menghasilkan
tingkat kuantitas dan
kualitas keluaran tertentu, tidak ada kombinasi kuantitas masukan lain yang
lebih kecil, yang dapat
digunakan untuk menghasilkan tingkat keluaran yang sama (technical
efficiency)
b). kombinasi masukan tertentu yang memenuhi kondisi pertama, dipilih
kombinasi masukan yang
biayanya terendah (price efficiency).

Dari pesan itu juga, dapat digali cara-cara bagi terciptanya efisiensi produktif
total. Dalam hal memenuhi kondisi technical efficiency, cara yang dilakukan antara
lain dengan menemukan suatu kombinasi penggunaan masukan yang lebih sedikit
untuk menghasilkan tingkat kuantitas dan kualitas keluaran yang sama.

Sementara, untuk mendapatkan kondisi price efficiency, dapat dilakukan


dengan cara menemukan alternatif pengganti masukan yang harganya mahal
dengan masukan yang harganya relatif lebih murah.

Cara Menghitung Produktivitas

Secara umum, produktivitas dapat diukur dengan menghitung rasio keluaran


terhadap masukan. Bentuk umum bahasa matematiknya untuk menghitung
produktivitas adalah sebagai berikut:

Bentuk matematik yang sederhana tersebut ternyata tidak dapat melepaskan


ukuran-ukuran produktivitas dari persoalan-persoalan yang memang inheren
dengan kesederhanaan yang dimiliki. Beberapa persoalan yang perlu diperhatikan
antara lain adalah:
a. bahwa ukuran-ukuran produktivitas merupakan angka-angka statistik
matematik. Sebagaimana halnya
statistik matematik, angka-angka produktivitas sangat mudah untuk
dimanipulasi dan disalahgunakan
sehingga melahirkan informasi yang terdistorsi dan memihak pada
kepentingan-kepentingan tertentu.
b. bahwa persamaan matematik di atas akan memberikan angka-angka ukuran
produktivitas yang bisa
jadi sangat berbeda, bergantung pada bagaimana ukuran keluaran-masukan
dinyatakan. Apakah
satuan keluaran-masukan akan dinyatakan dalam satuan kuantitas fisik yang
nantinya akan
memberikan ukuran produktivitas operasional, ataukah dalam satuan unit
moneter yang memberikan
ukuran produktivitas finansial ?

c. Persoalan ketiga yang berkaitan dengan pengukuran produktivitas adalah


cakupan masukan yang
diperhitungkan dalam menentukan angka produktivitas. Apakah masukan yang
digunakan dihitung
secara parsial sehingga angka produktivitas yang dihasilkan adalah
produktivitas parsial setiap jenis
masukan ? Ataukah keseluruhan masukan yang digunakan, seperti tenaga
kerja, modal, bahan baku,
energi, dan kemampuan manajemen, secara bersama-sama diperhitungkan
sehingga menghasilkan
angka produktivitas total ?

Sebagai ilustrasi, dimisalkan seorang pekerja pabrik sepatu kulit


berpenghasilan sebesar Rp.15.000,00 per hari. Dalam seharinya, dia mampu
membuat sepatu sebanyak 15 unit. Kalau ukuran komponen masukan dinyatakan
dalam satuan kuantitas tenaga kerja, maka angka produktivitas tenaga kerja adalah
sebesar 15 unit per orang-hari (15 unit/1orang-hari = 15). Namun, bila ukuran
komponen masukan dinyatakan dalam satuan unit moneter, maka hasil perhitungan
angka produktivitas tenaga kerja sebesar 0,001 per rupiah per hari (15/15.000).

Kemudian perusahaan merekrut pekerja baru yang memiliki ketrampilan lebih


rendah dengan penghasilan Rp.10.000,00 per hari. Secara bersama-sama, setiap
harinya mereka mampu menghasilkan 28 unit sepatu. Bila digunakan ukuran
kuantitas fisik untuk mengukur komponen masukan, maka angka produktivitas
menjadi 14 unit per orang-hari. Ini berarti bahwa produktivitas tenaga kerja setelah
ada penambahan tenaga kerja baru menunjukkan penurunan sebesar 6,7% (1/15 =
0,067 x 100%) dibanding sebelum ada tambahan tenaga kerja baru. Akan tetapi,
bila ukuran masukannya adalah unit moneter, maka produktivitas tenaga kerja
berada pada angka 0,00112 per rupiah-hari atau mengalami kenaikan sebesar 12%
(0,00012/0,001= 0,12 x 100%) dari sebelumnya. Hasil perhitungan yang terakhir ini
ternyata memberikan informasi yang berlawanan arah dengan hasil perhitungan
yang menggunakan cara pertama.

Perbedaan hasil ukuran produktivitas tenaga kerja pada contoh di atas


disebabkan oleh penggunaan satuan ukuran masukan yang berbeda. Yang pertama,
satuan masukan dinyatakan dalam kuantitas fisik jumlah tenaga kerja. Bentuk

matematik produktivitas akan menghitung angka rata-rata keluaran dari setiap


tenaga kerja. Ini berarti perhitungan tersebut secara implisit mengasumsikan bahwa
semua pekerja berada pada posisi yang sama. Pada hal tidak demikian. Dua pekerja
tersebut dalam contoh memiliki upah berbeda. Perbedaan upah di sini menunjukkan
perbedaan tingkat ketrampilan yang dimiliki. Menghadapi keadaan semacam ini,
kiranya menjadi lebih baik bila masukan tenaga kerja dinilai secara relatif dalam
satuan unit moneter.

Pengukuran produktivitas secara parsial memungkinkan manajemen untuk


memusatkan perhatian pada komponen masukan tertentu. Lebih jauh, ukuranukuran operasional parsial memberikan kemudahan untuk akses kinerja
produktivitas karyawan operasional, misalnya pekerja. Kinerja pekerja dapat
dikaitkan dengan misalnya, unit yang dihasilkan per jam, atau unit yang dihasilkan
per kg bahan. Dari ukuran-ukuran operasional parsial yang semacam itu, dapat
diperoleh umpan balik tentang kinerja karyawan operasional sehubungan dengan
penggunaan komponen masukan tertentu yang menjadi tanggung jawabnya.

Di sisi lain, ukuran-ukuran produktivitas parsial, bila digunakan secara terpisah


dan terdapat memberikan informasi yang menyesatkan. Dalam kasus dimana
terjadi penurunan produktivitas salah satu komponen masukan, ada kemungkinan
menyebabkan peningkatan produktivitas pada komponen masukan yang lain.
Demikian pula sebaliknya. Jadi ada semacam tradeoff yang bisa jadi dikehendaki
karena secara keseluruhan terjadi kenaikan produktivitas. Ini tidak akan nampak
bila digunakan ukuran parsial dan isolatif. Untuk memberikan gambaran yang lebih
konkrit berikut ini diberikan sebuah ilustrasi.

Misalkan saja sebuah unit usaha pada bulan yang lalu menghasilkan barang
sejumlah 10.000 unit, dengan biaya tenaga kerja dan peralatan masing-masing
sebesar Rp.50.000,00 dan Rp.25.000,00 per bulan. Selanjutnya ada tawaran
investasi untuk peralatan baru yang lebih canggih untuk mengganti mesin yang
ada. Meski biaya perbulannya sebesar Rp.40.000,00, namun akan mengakibatkan
penghematan biaya tenaga kerja sebesar Rp.10.000,00. Bila tawaran investasi
tersebut dievaluasi dengan melihat produktivitas parsial dari sisi tenaga kerja, maka
akan diperoleh informasi yang mengarahkan keputusan pada menerima tawaran
itu. Ini karena dengan menerima tawaran investasi mesin baru yang lebih canggih,
produktivitas tenaga kerja meningkat dari sebelumnya. Sebelum menggunakan
peralatan baru angka produktivitas parsial tenaga kerja sebesar 0,20 unit keluaran
per tenaga kerja-rupiah (10.000/50.000), sedang setelah digunakannya mesin yang
lebih canggih produktivitas tenaga kerja mencapai 0,25 unit keluaran per tenaga
kerja-rupiah (10.000/40.000).

Akan tetapi, bila investasi mesin baru yang ditawarkan seperti dalam ilustrasi
dievaluasi dengan cara yang berbeda, yakni dengan melihat akibatnya terhadap
produktivitas total, maka informasi yang diperoleh dari hasil perhitungan
produktivitas total tenaga kerja dan mesin akan membawa pada keputusan
menolak tawaran itu. Produktivitas total tenaga kerja dan mesin menunjukkan
penurunan dari 0,133 unit keluaran per rupiah masukan (10.000/(50.000+25.000))
menjadi 0,125 unit keluaran per rupiah masukan (10.000/(40.000+40.000)).
Penurunan produktivitas total disebabkan oleh kenaikan produktivitas parsial tenaga
kerja di satu sisi, tidak dapat menutup penurunan produktivitas mesin di sisi lain.

Dengan demikian, dalam kasus-kasus yang memiliki kemungkinan adanya


tradeoff produktivitas parsial inter komponen masukan, dianjurkan untuk
menggunakan ukuran produktivitas total. Namun demikian, penggunaan ukuran
produktivitas parsial maupun total secara bersamaan, akan memberikan informasi
yang jauh lebih lengkap bagi manajemen untuk analisis dan pengambilan
keputusan, karena manajemen memperoleh gambaran lengkap mengenai dampak
dari keputusannya terhadap keseluruhan produktivitas, sekaligus dampaknya
secara spesifik terhadap produktivitas parsial dari setiap komponen masukan.

Ukuran produktivitas memberi manajer operasi suatu petunjuk tentang


bagaimana meningkatkan produktivitas, yakni meningkatkan numerator dari ukuran
produktivitas, atau menurunkan denominator, atau keduanya.
Berikut ini beberapa cara yang dapat digunakan oleh manajer operasi untuk
meningkatkan produktivitas, yakni:
1). Meningkatkan efisiensi dengan menurunkan total biaya operasi, meningkatkan
penghematan jam
tenaga kerja dan jam mesin, serta mengurangi pemborosan.
2). Meningkatkan efektivitas dengan pengambilan keputusan dan komunikasi
yang lebih baik.
3). Mencapai performance yang lebih tinggi dengan meningkatkan kualitas,
mengurangi kecelakaan kerja
dan waktu yang terbuang, dan meminimisasi kerusakan peralatan.
4). Membangun kesehatan situasi, kondisi organisasi yang lebih baik dengan
memperbaiki moral pekerja,

kondisi lingkungan kerja, kepuasan dan kerja sama.

Dampak Finansial Produktivitas

Perlu diketahui bahwa nilai perbaikan produktivitas tidak terletak pada angkaangka rasio produktivitas semata-mata, tetapi perlu ditelusur lebih jauh pada
pengaruhnya terhadap laba atau dengan kata lain dampaknya secara finansial dari
produktivitas.. Karenanya, perlu dilakukan tinjauan finansial untuk mengetahui
keterkaitan perubahan produktivitas terhadap perubahan laba (profit-linked
productivity).

Analisis profit-linked productivity dilakukan dengan mengikuti aturan yang


dikenal dengan nama Profit-Linkage Rule, yang berbunyi sebagai berikut :
"For the current period, calculate the cost of the inputs that would have been used
in the absence of any productivity change and compare this cost with the cost of
the inputs actually used. The difference in costs is the amount by which profits
changed because of productivity change" (Don R. Hansen : 1992).

Atas dasar aturan profit-linkage tersebut di atas, dicoba untuk memberikan


tinjauan finansial terhadap simulasi skenario kinerja produktivitas seperti yang
tersaji pada tabel 1. Lebih jauh, simulasi yang penulis buat dimaksudkan untuk
melihat apakah perbaikan atau peningkatan produktivitas selalu dapat diartikan
positif.

Pada tabel 1, dapat dilihat bahwa bila dibandingkan dengan angka patokan,
yakni angka yang dianggarkan, maka situasi dalam skenario I menunjukkan
produktivitas tenaga kerja lebih tinggi 11%, dan di sisi lain produktivitas bahan
mentah lebih rendah 2%. Sementara skenario II, III dan IV menampilkan kinerja
produktivitas yang lebih tinggi 11% untuk produktivitas tenaga kerja dan 25% untuk
produktivitas bahan dibanding yang dianggarkan.

Untuk dapat melakukan penulusuran lebih jauh tentang apa yang terjadi di
balik angka-angka indek produktivitas pada tabel 1, tidak cukup hanya dengan
melihat pada ukuran-ukuran teknis operasional, tetapi diperlukan juga analisis
yang mengupas angka-angka produktivitas tersebut dari sisi finansial. Pada tabel 2
berikut, ditampilkan hasil perhitungan tinjauan dampak finansial dari kinerja
produktivitas untuk setiap skenario yang ada.

Berdasarkan hasil perhitungan pada tabel 2, terlihat bahwa kinerja


produktivitas pada skenario I tidak memberikan pengaruh pada laba yang
ditunjukkan dengan selisih antara biaya dianggarkan dengan aktual yang bernilai
nol rupiah. Artinya, total biaya dianggarkan sama dengan total biaya aktual
sekalipun terjadi perbaikan produktivitas tenaga kerja. Ini terjadi karena adanya
tradeoff antara perbaikan produktivitas tenaga kerja (11%) dengan penurunan
produktivitas bahan mentah (2%) pada tingkat harga dan tingkat biaya per satu
satuan keluaran-masukan yang sama dengan tingkat yang dianggarkan. Tradeoff
ini tidak akan terlihat bila analisis dilakukan hanya pada komponen masukan
tertentu secara parsial dan terisolir dari komponen masukan yang lain.

Pada skenario II dan III, keduanya menunjukkan produktivitas tenaga kerja dan
bahan mentah yang lebih tinggi dari angka patokan anggaran. Dibandingkan
dengan angka patokan anggaran, terdapat perbaikan produktivitas tenaga kerja
sebesar 11%, dan produktivitas bahan mentah sebesar 25% untuk skenario II
maupun skenario III. Perbaikan produktivitas kedua komponen masukan tersebut
memberikan dampak finansial yang positif. Terbaca dari adanya selisih positif antara
total biaya yang dianggarkan dengan total biaya aktual. Pada skenario II terdapat
selisih positif sebesar Rp.132,50, dan selisih positif sebesar Rp.65,00 pada skenario
III. Ini berarti bahwa pada tingkat jumlah keluaran dan harga jual per satu satuan
keluaran yang sama dengan yang dipatokkan, akan terjadi kenaikkan keuntungan
untuk skenario II maupun skenario III, yang masing-masing kenaikkannya sebesar
Rp.132,50 dan Rp.65,00.

Detail dari skenario II dan III memperlihatkan bahwa terdapat perbedaan


tingkat biaya per satu satuan tenaga kerja di antara kedua skenario tersebut. Pada

skenario III, biaya per satu satuan tenaga kerja sebesar Rp.15,00. Angka ini 50%
lebih besar dari patokan, dan 100% lebih besar dari yang diberikan pada skenario II.

Perbaikan produktivitas tenaga kerja maupun bahan mentah pada skenario


yang terakhir, yaitu skenario IV, tidak mampu memberikan dampak finansial yang
menggembirakan, dengan catatan tingkat harga jual aktual per satu satuan
keluaran sama dengan harga jual yang dijadikan patokan.

Selisih negatif antara total biaya yang dianggarkan dengan yang aktual
sebesar Rp.1.970,00 menunjukkan adanya penurunan keuntungan sebesar angka
tersebut, sehingga bila tingkat harga jual per unit keluaran sebesar Rp.25,00, akan
menyebabkan kerugian sebesar Rp.70,00. Akan tetapi, kerugian tersebut dapat
dihindari karena harga jual per unit keluaran pada skenario IV adalah sebesar
Rp.27,00, atau Rp.2,00 lebih tinggi dari yang dianggarkan. Artinya, bahwa
perubahan biaya komponen masukan dapat ditutup oleh perubahan penghasilan,
atau dengan kata lain ada price recovery. (Hendra Poerwanto G)

Anda mungkin juga menyukai