Productivity Managemen History
Productivity Managemen History
Hasilnya, pada periode tahun 1967 sampai 1974, Jepang sukses meningkatkan
produktivitasnya sampai pada angka 99,6%. Sementara, pada periode yang sama
produktivitas Jerman - waktu itu Jerman Barat - hanya mencapai angka 43,3% dan
Amerika Serikat lebih rendah lagi yaitu 29,25% (David R Anderson: 1984).
Sekarang, Jepang dapat dijadikan contoh dan bukti bahwa produktivitas membantu
bangsa itu mencapai posisi yang lebih kompetitif di pasar internasional dan
ketahanan ekonomi yang kuat.
kekacauan semantik ini memberikan dampak ikutan pada pelbagai strategi dan
implementasi tindakan yang mengatasnamakan produktivitas, pada hal yang
dimaksudkan lain sama sekali.
Dengan demikian, tingkat efisiensi produktif total akan tercapai bila terpenuhi
kondisi di mana:
a). untuk berbagai-bagai bauran masukan yang digunakan dalam menghasilkan
tingkat kuantitas dan
kualitas keluaran tertentu, tidak ada kombinasi kuantitas masukan lain yang
lebih kecil, yang dapat
digunakan untuk menghasilkan tingkat keluaran yang sama (technical
efficiency)
b). kombinasi masukan tertentu yang memenuhi kondisi pertama, dipilih
kombinasi masukan yang
biayanya terendah (price efficiency).
Dari pesan itu juga, dapat digali cara-cara bagi terciptanya efisiensi produktif
total. Dalam hal memenuhi kondisi technical efficiency, cara yang dilakukan antara
lain dengan menemukan suatu kombinasi penggunaan masukan yang lebih sedikit
untuk menghasilkan tingkat kuantitas dan kualitas keluaran yang sama.
Misalkan saja sebuah unit usaha pada bulan yang lalu menghasilkan barang
sejumlah 10.000 unit, dengan biaya tenaga kerja dan peralatan masing-masing
sebesar Rp.50.000,00 dan Rp.25.000,00 per bulan. Selanjutnya ada tawaran
investasi untuk peralatan baru yang lebih canggih untuk mengganti mesin yang
ada. Meski biaya perbulannya sebesar Rp.40.000,00, namun akan mengakibatkan
penghematan biaya tenaga kerja sebesar Rp.10.000,00. Bila tawaran investasi
tersebut dievaluasi dengan melihat produktivitas parsial dari sisi tenaga kerja, maka
akan diperoleh informasi yang mengarahkan keputusan pada menerima tawaran
itu. Ini karena dengan menerima tawaran investasi mesin baru yang lebih canggih,
produktivitas tenaga kerja meningkat dari sebelumnya. Sebelum menggunakan
peralatan baru angka produktivitas parsial tenaga kerja sebesar 0,20 unit keluaran
per tenaga kerja-rupiah (10.000/50.000), sedang setelah digunakannya mesin yang
lebih canggih produktivitas tenaga kerja mencapai 0,25 unit keluaran per tenaga
kerja-rupiah (10.000/40.000).
Akan tetapi, bila investasi mesin baru yang ditawarkan seperti dalam ilustrasi
dievaluasi dengan cara yang berbeda, yakni dengan melihat akibatnya terhadap
produktivitas total, maka informasi yang diperoleh dari hasil perhitungan
produktivitas total tenaga kerja dan mesin akan membawa pada keputusan
menolak tawaran itu. Produktivitas total tenaga kerja dan mesin menunjukkan
penurunan dari 0,133 unit keluaran per rupiah masukan (10.000/(50.000+25.000))
menjadi 0,125 unit keluaran per rupiah masukan (10.000/(40.000+40.000)).
Penurunan produktivitas total disebabkan oleh kenaikan produktivitas parsial tenaga
kerja di satu sisi, tidak dapat menutup penurunan produktivitas mesin di sisi lain.
Perlu diketahui bahwa nilai perbaikan produktivitas tidak terletak pada angkaangka rasio produktivitas semata-mata, tetapi perlu ditelusur lebih jauh pada
pengaruhnya terhadap laba atau dengan kata lain dampaknya secara finansial dari
produktivitas.. Karenanya, perlu dilakukan tinjauan finansial untuk mengetahui
keterkaitan perubahan produktivitas terhadap perubahan laba (profit-linked
productivity).
Pada tabel 1, dapat dilihat bahwa bila dibandingkan dengan angka patokan,
yakni angka yang dianggarkan, maka situasi dalam skenario I menunjukkan
produktivitas tenaga kerja lebih tinggi 11%, dan di sisi lain produktivitas bahan
mentah lebih rendah 2%. Sementara skenario II, III dan IV menampilkan kinerja
produktivitas yang lebih tinggi 11% untuk produktivitas tenaga kerja dan 25% untuk
produktivitas bahan dibanding yang dianggarkan.
Untuk dapat melakukan penulusuran lebih jauh tentang apa yang terjadi di
balik angka-angka indek produktivitas pada tabel 1, tidak cukup hanya dengan
melihat pada ukuran-ukuran teknis operasional, tetapi diperlukan juga analisis
yang mengupas angka-angka produktivitas tersebut dari sisi finansial. Pada tabel 2
berikut, ditampilkan hasil perhitungan tinjauan dampak finansial dari kinerja
produktivitas untuk setiap skenario yang ada.
Pada skenario II dan III, keduanya menunjukkan produktivitas tenaga kerja dan
bahan mentah yang lebih tinggi dari angka patokan anggaran. Dibandingkan
dengan angka patokan anggaran, terdapat perbaikan produktivitas tenaga kerja
sebesar 11%, dan produktivitas bahan mentah sebesar 25% untuk skenario II
maupun skenario III. Perbaikan produktivitas kedua komponen masukan tersebut
memberikan dampak finansial yang positif. Terbaca dari adanya selisih positif antara
total biaya yang dianggarkan dengan total biaya aktual. Pada skenario II terdapat
selisih positif sebesar Rp.132,50, dan selisih positif sebesar Rp.65,00 pada skenario
III. Ini berarti bahwa pada tingkat jumlah keluaran dan harga jual per satu satuan
keluaran yang sama dengan yang dipatokkan, akan terjadi kenaikkan keuntungan
untuk skenario II maupun skenario III, yang masing-masing kenaikkannya sebesar
Rp.132,50 dan Rp.65,00.
skenario III, biaya per satu satuan tenaga kerja sebesar Rp.15,00. Angka ini 50%
lebih besar dari patokan, dan 100% lebih besar dari yang diberikan pada skenario II.
Selisih negatif antara total biaya yang dianggarkan dengan yang aktual
sebesar Rp.1.970,00 menunjukkan adanya penurunan keuntungan sebesar angka
tersebut, sehingga bila tingkat harga jual per unit keluaran sebesar Rp.25,00, akan
menyebabkan kerugian sebesar Rp.70,00. Akan tetapi, kerugian tersebut dapat
dihindari karena harga jual per unit keluaran pada skenario IV adalah sebesar
Rp.27,00, atau Rp.2,00 lebih tinggi dari yang dianggarkan. Artinya, bahwa
perubahan biaya komponen masukan dapat ditutup oleh perubahan penghasilan,
atau dengan kata lain ada price recovery. (Hendra Poerwanto G)