Anda di halaman 1dari 14

Sumber : https://businessenvironment.wordpress.

com/2006/10/04/strategiinvestasi-untuk-menarik-investor/

STRATEGI INVESTASI UNTUK MENARIK INVESTOR


Oktober 4, 2006 Blog Strategi Bisnis Aditiawan Chandra
to comments

Tinggalkan komentar Go

A. Latar Belakang

Selama hampir lebih dari dua dasawarsa proses pembangunan di tanah air
tercinta Indonesia, kita menyaksikan dan mengalami pertumbuhan perekonomian
yang secara bertahap meningkat dengan pesatnya. Bahkan beberapa tahun
sebelum krisis terjadi, mesin pertumbuhan ekonomi telah terpacu melebihi daya
dukung kapasitasnya dengan segala akibat yang harus kita tanggung: seperti
melonjaknya hutang luar negeri; misalokasi sumber daya nasional kepada
pengembangan sektor manufaktur yang sangat tergantung pada komponen bahan
baku impor; suburnya kolusi-korupsi-dan nepotisme; dan yang tidak kalah
pentingnya adalah ketimpangan pembangunan antar wilayah (propinsi) di
Indonesia.

Ketimpangan pembangunan daerah di negeri kita ini dapat disimak dengan


data-data faktual berikut ini: Propinsi-propinsi di Jawa yang meliputi sekitar 7 persen
areal produktif di Indonesia menyumbangkan sekitar lebih dari 60 persen total
Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia tahun 1997. Sebelum krisis perekonomian
menerpa sendi-sendi penghidupan masyarakat kita, DKI Jakarta memiliki kontribusi
terbesar dalam pendapatan daerahnya (17,5%), di ikuti oleh Jawa Barat (17,4%)
dan Sumatera Utara. Kemudian empat propinsi di luar Jawa yang memiliki sumber
daya alam (SDA) terkaya ternyata hanya menyumbangkan sebagian kecil PDB
Indonesia. Dalam hal ini Kalimanatan Timur menyumbangkan 5 persen, Riau 4,5
persen, Sumatera Selatan 3,3 persen dan Aceh 3 persen. Pada saat ini diperkirakan
gambaran disparitas ini akan semakin memburuk.

Ketimpangan pembangunan daerah ini tidak dapat dibiarkan dan dianggap


sebagai sesuatu yang given, mengingat rawannya masalah ketidak puasan
masyarakat belakangan ini terhadap pola pembangunan nasional bertahap versi
Rostow yang telah diadopsi oleh para teknokrat orde baru selama lebih dari 30
tahun. Tuntutan desentralisasi dan hak otonomi untuk mengatur dan merencanakan
pembangunan daerah merupakan sesuatu keputusan politik yang rasional, sehingga
perlu diantisipasi persiapannya secara matang.

Makalah ini dipersiapkan untuk memenuhi term of reference yang


dipersiapkan oleh Panitia Semiloka Pemberdayaan BUMD menghadapi otonomi
daerah. Secara lebih terfokus, makalah ini merupakan sumbangan pemikiran dari
penulis dalam upaya bagi Daerah Daerah Otonom menyusun strategi
pembangunan daerahnya untuk dapat menarik investor. Pemikiran tersebut
diajukan dengan berbagai asumsi dasar tentang desentralisasi, yang
diinterpretasikan dari butir-butir pasal UU No.22 Tahun 1999 dan UU No 25 tahun
1999 serta pengetahuan penulis dalam bidang pembangunan ekonomi daerah dan
pengembangan iklim investasi.

B. Asumsi Dasar Landasan Desentralisasi Pembangunan Pasca UU No.25/1999

Upaya pembangunan dan strategi pembangunan daerah yang cenderung


sentralistik merupakan salah satu faktor dominan yang memperkuat ketimpangan
pembangunan ekonomi di Indonesia. Paradigma dan model pembangunan
perekonomian daerah yang diakomodasikan kepada keperluan sistem perencanaan
pembangunan perekonomian nasional, dengan berbagai modelling perekonomian
makro yang sifatnya komprehensif, menyebabkan teralokasinya dana dan
sumberdaya pembangunan kepada sektor-sektor favorit yang sayangnya bias
terkonsentrasi di daerah-daerah pembangunan di Jawa dan beberapa kantong
daerah perkotaan di Sumatera.

Sentralisasi berbagai keputusan pemerintah dan lembaga


publik/departemen pada tingkat pusat telah pula memperbesar inefisiensi, antara
lain dengan semakin banyaknya proyek-proyek pembangunan di daerah yang tidak
sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan daerah. Kita menyaksikan pula bagaimana
hampir sebagian besar daerah Propinsi di luar Jawa tidak berdaya dalam
melaksanakan program-program pembangunannya secara swakelola mengingat
keterbatasan kewenangan yang diberikan oleh Pemerintah Pusat dalam menggali
dan menggunakan dana pembangunan daerah.

Permasalahan ketimpangan dan segala bentuk ketidakadilan pembangunan


kemudian semakin muncul ke permukaaan , khususnya dengan tumbangnya era
pembagunan orde baru. Aspirasi daerah untuk mengatur rumahtangga sendiri
secara lebih mandiri muncul tak terelakkan, antara lain dengan keinginan beberapa
daerah untuk mendapatkan hak otonomi penuh dari Pemerintah Pusat dalam
menjalankan roda pemerintahan daerahnya. Tidak heran pula jika kita melihat
kenyataan masyarakat Aceh yang menginginkan kemerdekaannya mengingat
kontribusi SDAnya yang begitu tinggi terhadap penerimaan minyak bumi sementara
pendapatan per kapitanya jauh di bawah kinerja rata-rata nasional.

Syukur Allhamdullilah para wakil rakyat dalam orde pasca orde baru dapat
menghayati dan mengerti tuntutan-tuntutan tersebut dengan mengeluarkan
ketetapan Undang-Undang No22 Tahun 1999 tentang (otonomi) Pemerintahan
Daerah dan Undang-Undang No25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

Kedua Undang-Undang tersebut mengatur ketentuan pelaksanaan otonomi kepada


pemerintahan di daerah, khususnya daerah kabupaten dan daerah kota, yang lebih
luas dibandingkan dengan Undang-Undang No.5 Tahun 1974. Apabila sebelumnya
pemahaman desentralisasi adalah terbatas pada azas dekonsentrasi dan azas
delegasi atau pelimpahan wewenang dalam pengambilan keputusan dan
administrasi pelaksanaan fungsi-fungsi kepemerintahan kepada institusi semi
otonom di daerah, maka setelah dikeluarkannya UU No 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah dan UU No25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Daerah azas devolusi merupakan bentuk
desentralisasi yang lebih luas yang ingin dicapai oleh para wakil rakyat dan
pemerintah. Dalam hal ini Pemerintah Pusat melimpahkan wewenangnya dalam
pengambilan keputusan, pembiayaan dan manajemen kepada Daerah Otonom.

Perkembangan arah pembangunan yang lebih terdesentralisasi dan otonom


ini perlu disambut dengan berbagai perubahan cara pandang dan harapan
terlaksananya pembangunan daerah yang lebih berkeadilan dan merata. Melihat
dan mempelajari butir-butir pasal yang ada pada kedua Undang-Undang dan
berbagai implikasi pelaksanaan Undang-Undang tersebut, penulis merasa perlu
mengajukan beberapa asumsi dasar tentang filosofi dan landasan desentralisasi
pembangunan daerah yang seyogyanya diperhatikan oleh para perumus dan
pelaksana kebijakan pembangunan nasional dan daerah di masa yang akan datang
berikut ini:

1. Penekanan pada good governance. Pelaksanaan otonomi daerah pada era


globalisasi menuntut proses pengelolaan pemerintahan melalui keterlibatan
stakeholders yang lebih luas dalam bidang ekonomi, sosial dan politik dan
pendayagunaan sumber-sumber alam, anggaran dan sumberdaya manusia menurut
kepentingan semua pihak dalam cara yang sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan,
kejujuran, persamaan, efisiensi, tranparansi dan akuntabilitas.

2. Region vs People. Otonomi daerah dan desentralisasi pembangunan daerah pada


era pasca UU No.22 1999 harus lebih menekankan pada prioritas kepentingan
kelompok mayarakat di daerah dan tidak kepada kepentingan daerah atau wilayah
yang menjadi obyek rekayasa perencanaan pembangunan.

3. Participatory democracy. Berbeda dengan cara-cara dan proses pengambilan


keputusan yang selama ini dilakukan sepihak dan bersifat sentralistik, maka dalam
era otonomi sekarang ini proses pembangunan daerah harus menjunjung tinggi
partisipasi kelompok masyarakat dalam pembangunan, antara lain dalam
menetapkan prioritas tujuan-tujuan pembangunan daerah.

4. Kesejajaran Hubungan Organisasi. Sebelum dikeluarkannya UU No.22/1999 dalam


melaksanakan azas dekonsentrasi Daerah Propinsi seringkali dalam prakteknya
membawahi Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. Untuk masa mendatang wilayah
administratif dibatasi hanya pada satu daerah, yakni Propinsi. Hubungan kerja
antara Pusat/Departemen/Propinsi dan Daerah Otonom (Kabupaten/Kota)
merupakan mitra kerja hierarki organisasi yang sejajar dan bukan bersifat hirarkis.

5. Ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Walaupun otonomi


merupakan pengakuan kemandirian mengatur rumahtangga daerah, desentralisasi
hubungan pusat-daerah tetap harus terlaksana dalam ikatan kepentingan NKRI.

6. Pengawasan. Kontrol pemerintah pusat tetap diperlukan untuk menjaga dan


memelihara integrasi nasional sebagai kepentingan politik bersama; sementara
DPRD melakukan fungsi pengawasan yang lebih luas dan aspiratif pada tingkat
daerah.

7. Hak dan kewajiban yang seimbang. Otonomi daerah disamping merupakan


pemberian kewenangan daerah untuk mengelola SDA dan memperoleh tambahan
pendapatan, proses desentralisasi ini harus juga dibarengi dengan pelimpahan
tanggung jawab pada pengadaan infrastruktur daerah yang efisien berikut upaya
pemberian jasa pelayanan publik yang lebih baik.

8. Minimal Social Overhead Capital(SOC). Berbeda dengan konsep minimal


requirement yang diajukan oleh Rostow maka desentralisasi pembangunan daerah
sebagai implikasi penerapan otonomi versi UU No25/1999 perlu didahului dengan
peningkatan kompetensi kelembagaan dan sumberdaya manusia yang mampu
melaksanakan operasionalisasi otonomi daerah dan desentralisasi pembangunan
yang terdapat di dalamnya.

9. Sinergi Hubungan Antar Daerah. Proses otonomi pembangunan daerah akan


mendorong masing-masing daerah untuk mengejar ketertinggalan dalam
pembangunannya secara serempak. Namun demikian perlu diupayakan bahwa
dalam merumuskan kebijaksanaan-kebijaksanaan daerah maka jangan sampai
keputusan yang dipilih untuk dilaksanakan di masing-masing daaerah dapat
merugikan kepentingan daerah-daerah lainnya di sekelilingnya. Bahkan sangat
disarankan untuk mencari solusi-solusi yang dapat menghasilkan sinergi bersama.

10. Vicious Circle of Disparity. Dalam sejarah pembangunan daerah di berbagai


negara di dunia, proses otonomi dan desentralisasi pembangunan daerah tidak
secara sekaligus dapat menghilangkan disparitas pembangunan antar daerah
dalam tempo yang relatif singkat. Proses menuju convergency pendapatan per
kapita antar daerah harus dilalui dengan proses pembelajaran yang unik dan
panjang di masing-masing negara di dunia. Sebagai contoh, Amerika Serikat yang
menganut konsep negara federal memerlukan lebih dari 130 tahun sejak tahun
1840 agar disparitas pendapatan perkapita antar negara bagiannya mengalami
kovergensi mendekati pendapatan nasional perkapitanya.

Butir-butir pemikiran tentang asumsi atau landasan filosofis desentralisasi


pembangunan ini sangat diperlukan dalam memformulasikan rencana dan
kebijaksanaan pembangunan daerah secara efektif dan memenuhi kebutuhan
masyarakat daerah. Kita tidak menginginkan pemberlakuan UU No 22/1999 dan UU
24/1999 hanya sekedar merupakan retorika politik untuk memenuhi tuntutan
reformasi.

C. Strategi Investasi Untuk Menarik Minat Investor

Dalam UU No.22 Tahun 1999 sangat jelas tergambarkan kewenangan daerah


untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi manajemen kepemerintahan secara lebih
luas seperti tersirat pada Pasal 7. Dalam hal ini kewenangan daerah mencakup
seluruh (fungsi) bidang pemerintahan, dengan pengecualian kewenangan dalam
bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal,
agama serta kewenangan dalam bidang lain. Batas-batas kewenangan ini sangat
penting untuk dilaksanakan di lapangan khususnya sampai sejauh mana Daerah
Otonom dapat melakukan sistem perencanaan pembangunan daerahnya, yang
akan menjadi acuan dalam merumuskan strategi pengembangan investasi.

Memperhatikan asumsi dasar filosofi desentralisasi yang dikemukakan di atas


(azas good governance, people orientation dan participatory democracy), maka
sudah saatnya sistem perencanaan daerah dilengkapi dengan Master Plan
Pengembangan Daerah yang berwawasan strategik. Pola lama yang melihat dan
memperlakukan kebijaksanaan pembangunan daerah sebagai bagian integral dari
sistem perencanaan ekonomi nasional dengan bias sektoralnya perlu secara
berangsur ditinggalkan, dan kemudian digantikan dengan kemandirian Daerah
Otonom untuk merencanakan pengembangan daerahnya.

Master plan pengembangan daerah akan semakin mengambil peran dalam


proses manajemen pengelolaan pembangunan Daerah Otonom, dan pada tahap
awal perlu dibangun dan dimiliki oleh Daerah Propinsi. Master Plan Pengembangan
Daerah ini akan merupakan acuan untuk arah kegiatan pembangunan wilayah dari
sekelompok Daerah Kabupaten dan Daerah Kota (azas sinergi hubungan antar
daerah). Disatu pihak rencana ini merupakan peralatan sinkronisasi dalam
penyusunan pengembangan rencana sektor Departemen pada tingkat propinsi,
tetapi dilain pihak merupakan peralatan sinkronisasi skenario perekonomian pada
skala makro(azas NKRI).

Dalam master plan ini secara minimal perlu disusun suatu swot analysis
yang dihadapi oleh Daerah Propinsi, berikut identifikasi kendala-kendala yang
dihadapi masing-masing Daerah Otonom didalamnya. Atas dasar analisa tersebut
selanjutnya dijabarkan visi dan tujuan pembangunan daerah dalam jangka panjang,
yang dalam proses perumusannya akan melibatkan seluruh Daerah Kabupaten dan
Daerah Kota berikut para wakil rakyat (DPRD ) di propinsi tersebut (azas
participatory democracy).

Atas dasar analisis swot berikut penetapan visi dan misi ini selanjutnya dapat
dirumuskan berbagai strategi pengembangan daerah yang meliputi strategi
investasi dan promosi, strategi pembangunan infrastruktur dan social overhead
capital; strategi penggunaaan, pemanfaatan dan pengembangan lahan; strategi
mobilisasi dana dan anggaran; dan strategi perumusan kebijaksanaan daerah. Pada
tingkatan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, berbagai jenis rencana tindakan
(Action Plan) yang merupakan wujud pelaksanaan strategi dan kebijaksanaan
pembangunan yang telah ditetapkan dapat dirumuskan secara detail menurut
kebutuhan dan kemampuan masing-masing Daerah Otonom.

Rencana tindakan yang disarankan disini secara bertahap dipersiapkan oleh


Daerah Kota atau Daerah Kabupaten dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah.
Cakupan rencana tindakan tersebut berupa rencana kota, rencana teknis atau
rencana detail dalam melaksanakan kewenangan yang tersirat pada Pasal 11 ayat 2
UU 22 Tahun 1999, meliputi kegiatan merencanakan kegiatan pekerjaan umum,
kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan
perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi dan
tenaga kerja.

Selanjutnya waktu merumuskan strategi pengembangan daerah akan sampai


pada pertanyaan berikut: Strategi investasi yang bagaimana yang dapat kita
jalankan sehingga akan menarik minat investor untuk berinvestasi di daerah?

Menjawab pertanyaan ini akan sangat tergantung pada kondisi yang dihadapi
oleh masing-masing daerah serta kebutuhan pengembangan investasi dan
infrastruktur yang akan dijalankan selama suatu periode perencanaan.

Namun demikian, dengan mengacu pada berbagai pendekatan dan model


teoritis dalam pengembangan daerah, strategi pengembangan investasi di daerah
dapat dipilih dari beberapa bentuk strategi investasi berikut ini:

Strategi pengembangan leading/key industry


Strategi growth center melalui kawasan industri terpadu
Strategi pengembangan ancillary industry

Strategi pengembangan kota


Strategi pengembangan kehidupan lokal(neighborhood)
Strategi pengembangan fasilitas umum skala besar
Strategi pengembangan agropolitan dan pertanian terpadu
Strategi pengembangan perlindungan lingkungan alam

Pada saat ini masih banyak lagi bentuk-bentuk strategi investasi


pengembangan daerah yang sedang direncanakan dan dikembangkan oleh
berbagai institusi pemerintahan daerah di Asia dan kawasan negara maju lainnya,
khususnya yang dikaitkan dengan bentuk topologi, kondisi, kemajuan teknologi dan
ketersediaan sumber-sumber pendanaan di masing-masing daerah. Untuk tujuan
pembahasan makalah ini kita mengkonsentrasikan hanya pada beberapa jenis
strategi di atas. Baiklah kita uraikan secara singkat bentuk-bentuk strategi investasi
yang paling banyak dipakai di dunia.

(1) Strategi Pengembangan Leading/ Key Industry

Strategi pengembangan industri andalan merupakan strategi pembangunan


daerah yang paling favorit untuk dilaksanakan. Industri andalan yang akan
dikembangkan biasanya merupakan kegiatan usaha atau industri di daerah yang
memiliki keunggulan daya saing dibandingkan dengan kegiatan sejenis di daerah
pesaing lainnya.

Menurut Perroux, sebagai pioneer arsitek konsep polarized development


dalam pengembangan daerah, leading industry memiliki keterkaitan yang erat
dengan sektor kegiatan ekonomi lainnya di daerah; sehingga dapat mendorong pola
pembangunan yang terpolarisasi di dalam wilayah suatu daerah. Industri andalan
ini biasanya berbentuk industri yang berorientasikan ekspor, seperti LNG untuk
Aceh, minyak bumi dan kelapa sawit untuk Riau, pariwisata dan perhotelan untuk
Bali, tekstil untuk Jawa Barat dan perbankan/lembaga keuangan untuk DKI Jakarta.

Industri andalan yang dikembangkan di daerah diharapkan akan mendorong


proses pertumbuhan ekonomi daerah, sehingga pada akhirnya akan meningkatkan
sumber pendapatan di daerah tersebut baik dalam bentuk pendapatan perusahaan

dan rumah tangga maupun pendapatan dari pajak daerah. Salah satu metode untuk
menyeleksi industri andalan yang memiliki daya saing adalah dengan revealed
comparative advantage(RCA). Menurut analisis yang dilakukan oleh Brodjonegoro
(1999), Daerah Aceh memiliki dua industri andalan masing-masing industri yang
menghasilkan produk minyak bumi dan pupuk, dengan RCA index di atas satu.
Sayangnya ada kendala keterbatasan cadangan minyak dan besarnya komponen
impor bahan baku pupuk yang jika akan dikembangkan lebih lanjut menjadi
terbatas sustainabilitynya. Demikian proses analisis seperti ini dapat dilanjutkan
untuk Daerah Propinsi lainnya..

Keunggulan daya saing industri andalan dapat dipertahankan sepanjang


industri tersebut dapat mendorong terbentuknya berbagai penghematan eksternal
(external economies), antara lain dengan mengembangkan lebih lanjut industri hilir
dan industri-industri penunjang. Agar proses ini dapat terlaksana Pemerintah
Daerah dapat memberikan berbagai kemudahan dan sistem insentif investasi yang
merangsang agar industri andalan ini dapat berkembang.. Pemberian sistem
insentif tersebut perlu dikaitkan dengan kemampuan industri ini melakukan
kegiatan R&D dan inovasi agar proses multiplier terhadap perekonomian daerah
dapat terus dipelihara dalam jangka panjang..

Industri kunci yang telah mature perlu segera dicarikan penggantinya,


mengingat kemunduran dalam perkembangan penjualannya dapat mempengaruhi
kinerja keuangan daerah. Sebaiknya suatu daerah tidak mengandalkan hanya pada
satu industri kunci, seperti halnya Sumbar dengan PT Semen Padangnya dan Irian
Barat dengan PT Freeport Indonesianya. Tetapi sebaliknya pilihan industri kunci ini
jangan terlalu banyak mengingat kemampuan daya serap yang terbatas dari
perekonomian lokal dalam mensupply tenaga kerja trampil dan dalam penyediaan
sarana/prasarana.

Kelemahan utama dari strategi pembangunan leading industry ini adalah


ancaman terhadap kemungkinan terpolarisasinya pembangunan daerah hanya pada
wilayah core yang terbatas. Hal ini sudah terbukti dengan kehadiran PT Caltex di
Dumai, PT Freeport Indonesia di wilayah Irian Jaya dan mega proyek lainnya di
pelosok daerah Indonesia.

2. Strategy Growth Center

Strategi growth center pernah populer dikalangan arsitek pembangunan kota


pada tahun 1960 dan 1970. Strategi ini antara lain menekankan pentingnya
program penyediaan fasilitas kota atau infrastruktur untuk suatu kawasan industri
pada lokasi atau tempat strategik (ports, transit site, intersection dekat dengan
lokasi growth center).

Para perintis model strategi pembangunan daerah ini antara lain adalah
Hirschman (1958), Lyod Rodwin (1963), dan Friedmann (l966). Doktrin growth
center ini kemudian berkembang pesat , sebagaimana dibahas oleh Niles M Hansen
(1967,1968) dan DF Darwent (1969). Keterkaitan growth center dan perekonomian
daerah pernah banyak terjadi di banyak kawasan sebagaimana dilaporkan oleh
Brian Berry (1969) dan Gordon Cameron (1970); walaupun sebenarnya banyak juga
kasus-kasus kegagalan seperti terjadi di Malaysia, Amerika Latin, dan bahkan di
Indonesia seperti di kawasan industri Makassar, Cirebon dan Semarang.

Strategi growth center telah banyak berhasil di Indonesia antara lain dengan
dibangunnya kawasan Pulau Batam (BIDA, 2000) dan kawasan industri di
Pulogadung-Jakarta. Keberhasilan pengembangan Pulau Batam adalah karena
lokasinya yang strategis dekat dengan tranfer-points perdagangan antar negara di
Singapura, dan memanfaatkan pengembangan ancillary industries yang memiliki
keterkaitan dengan leading industry elektronika di negara tetangga. Banyaknya
obyek wisata baru yang dikembangkan turut pula mendorong keberhasilan tersebut,
disamping tentunya hasil kerja keras dari para pimpinan puncak manajemen
pengelola kawasan Batam. Sedangkan untuk kawasan industri Pulogadung pada
saat ini sedang menghadapi permasalahan struktural karena meningkatnya
external diseconomies dan urbanization diseconomies dari kota Jakarta,
khususnya di sekitar lokasi kawasan tersebut.

Pada saat ini konsep pengembangan ekonomi daerah melalui pendekatan


growth center telah berkembang dengan sangat pesat dan diujicobakan di berbagai
tempat strategis di dunia. Kawasan Silicon Valley telah dikembangkan sedemikian
rupa dan dihubungkan dengan pemanfaatan aglomerasi dalam industri terkait
dalam industri komputer, chips, dan elektronik (Scott, 1990). Hal yang serupa
banyak dilakukan di negara maju kawasan industri otomotif di Jepang; North
Carolina Research Triangle Park yang memanfaatkan kedekatan terhadap lokasi tiga
universitas besar masing masing University of North Carolina at Chapel Hill, North
Carolina State University dan Duke University menjadi lokasi favorit untuk riset di
bidang kedokteran, obat-obatan dan penyakit kanker; British Science Park di Inggris
walaupun manfaatnya masih sedang dikaji ulang (Gower, 1995); proyek high-tech
corridor dari PM Mahatir di Kuala Lumpur dan yang paling akhir rencana

pengembangan lokasi ex-lapangan terbang Kemayoran sebagai cyber-city


merupakan contoh-contoh pengembangan strategi investasi growth center abad ke
21.

3. Strategi Pengembangan Ancillary Industry

Jika industri yang berorientasikan ekspor atau suatu leading industry dan
dapat pula kawasan industri atau pelabuhan/airport menjadi cukup berkembang
sehingga dapat menciptakan pasar untuk produk-produk lanjutan , baik ke hulu
maupun ke hilir, dan atau kegiatan tersebut telah cukup untuk menghasilkan
external localization economies untuk industri-industri yang terkait, maka strategy
pengembangan ancillary industry sudah dapat dicoba untuk dilaksanakan
(Moriarty ,1980).

Ancillary industry tertarik untuk datang ke suatu daerah karena penghematan


ongkos angkut, seperti halnya dalam kasus dimana baik leading dan ancillary
industry menggunakan bahan baku atau produk intermediate yang sama dalam
proses produksi mereka. Hal ini banyak kita jumpai pada industri kertas semen,
bahan baku cat, karoseri kendaraan, percetakan dan sebagainya. Alasan lainnya
adalah karena labor pool, yaitu industri ancillary berlokasi dekat dengan leading
industry karena dapat dengan mudah menggunakan tanaga kerja dengan
ketrampilan dan pengetahuan yang sama dengan upah yang relatif rendah.

Selanjutnya kehadiran ancillary industry ini dapat menciptakan external


localization economies di wilayah tersebut, antara lain perusahaan-perusahaan
yang memberikan jasa pemeliharaan, pelayanan bisnis, jasa profesi dan
pengiriman/pengangkutan dan komunikasi. Seluruh kegiatan ini dapat mendorong
tumbuh berkembangnya kegiatan ekspor dan perekonomian di daerah, sekaligus
menambah kapasitas penerimaan pendapatan daerah.

Contoh terbaik dalam sukses strategi investasi ini dijumpai dalam


pengembangan industri semiconductor di kompleks produksi Silicon-Valley, Los
Angeles (Scott, 1987). Beberapa pengamatan atas keberhasilan strategi ini dapat
disimpulkan sebagai berikut: (a) produksi semiconductor di areal tersebut telah
mendorong menjamurnya kelahiran para pemasok bahan baku maupun para
subkontraktor di sekitar kompleks produksi sehingga dapat menciptakan
agglomeration economies, (b) kompleks ini juga merupakan daya tarik untuk

datangnya industri pengguna peralatan semiconductor, seperti pengusaha


manufaktur komputer dan televisi. Kepesatan pengembangan kompleks produksi ini
sayangnya tidak diantisipasi oleh Pemerintah Daerah dalam hal penyediaan labor
dan perumahan serta cara-cara menanggulangi kerusakan lingkungan hidup,
sehingga pada saat ini terjadi ancaman naiknya agglomeration diseconomies.

Kemajuan pesat aplikasi strategi ini banyak dijumpai di beberapa tempat


sekitar lapangan terbang yang menghubungkan akses kota-kota di dunia dengan
mudah, cepat dan murah. Kasarda (1999) baru-baru ini mengamati kecenderungan
perusahaan-perusahaan klas dunia yang bersaing menurut waktu (time-based
competition) banyak memindahkan lokasi usahanya disekitar lokasi tempat
lapangan terbang Dulles airport, Dallas-Fort International airport, Memphis
International airport, Chicagos OHare airport dan lapangan-lapangan terbang
internasional lainnya. Lokasi airport disamping memberikan akses pasar dunia juga
pada saat yang sama dapat diperoleh penghematan agglomeration karena
kehadiran jasa profesional dalam bidang konsultan, iklan, hukum, pengolahan data,
akuntansi dan auditing, dan jasa public relations.

D. Kepastian Hukum dan Kebijakan Insentif

Salah satu faktor yang terpenting dalam upaya menarik investor ke daerah
adalah adanya jaminan kepastian hukum dalam menjalankan usaha. Pengalaman
selama masa orde Baru, Pemerintah kurang berhasil dalam memberikan jaminan
bahwa peraturan yang telah ditetapkan dalam kegiatan investasi dan usaha akan
tetap dipegang walaupun sistem pemerintahan berubah. Jaminan ini sangat diminta
oleh para investor maupun calon investor dalam kegiatan investasi yang jangka
waktu pengembalian modal yang ditanamnya cukup lama. Hal ini dapat kita jumpai
dalam kegiatan investasi di bidang eksplorasi minyak bumi dan hasil tambang,
industri berat, perkebunan, kawasan industri, apartemen dan gedung bertingkat,
serta kegiatan-kegiatan high-tech industries.

Cukup menarik untuk diamati kecenderungan lembaga internasional seperti


IMF yang baru-baru ini mengkhawatirkan perubahan-perubahan yang akan terjadi
dalam iklim berinvestasi, khususnya dengan adanya otonomi dan kegiatan
desentralisasi pembangunan. Kekhawatiran itu tentunya tidak beralasan mengingat
dengan adanya UU No.22 Tahun 1999 , khususnya pasal-pasal dalam bidang
pengawasan (pasal 114) dan bidang peraturan daerah (pasal 70), telah membatasi
kemungkinan ruang gerak yang semena-mena yang akan dilakukan oleh

manajemen pemerintahan daerah. Dengan adanya sistem perencanaan dan sistem


prosedur yang transparan, baku dan disetujui oleh DPRD maka diharapkan calon
investor dapat lebih mendapatkan kepastian dalam berusaha.

Melihat pada kepentingan perusahaan asing di masa datang dalam


melakukan kegiatan investasi di daerah, Pemerintah Pusat dan DPR-Pusat harus
segera mengeluarkan ketentuan perundang-undangan tentang penanaman modal,
pertanahan dan pemanfaatan lahan melalui zoning, sistem perencanaan dan
perizinan yang keseluruhannya dengan ketentuan-ketentuan dalam UU No 22 Tahun
1999 dan UU No 25 tahun 1999 dalam rangka otonomi daerah. Produk-produk
hukum tersebut hendaknya juga memberikan kepastian pada para investor bahwa
modal yang ditanamkannnya dalam bentuk investasi langsung tidak akan
dinasionalisasikan oleh Pemerintahan Daerah, termasuk bahwa mereka masih
bebas sewaktu-waktu untuk melakukan tindakan exit dari industri dan
mentransfer laba usaha ke luar negeri.

Alangkah baiknya jika undang-undang tersebut memberikan juga hak kepada


para investor asing untuk mengajukan keberatan-keberatan kepada Pemerintah
Pusat atas produk hukum di daerah yang merugikan. Akhirnya, segala Peraturan
Daerah yang akan dikeluarkan tidak boleh bertolak belakang dengan produk hukum
yang telah ditetapkan kepada mereka sebelum dikeluarkannya kedua Undangundang tentang otonomi dan desentralisasi.

Proses desentralisasi pembangunan akan membawa konsekuensi pada


kemungkinan masing-masing daerah untuk berlomba-lomba memberikan sistem
perangsang maupun insentif investasi yang terbaik. Hal ini masih dapat ditolerir
mengingat kondisi dan lingkungan berusaha yang berbeda-beda untuk setiap
daerahnya. Satu hal yang perlu diperhatikan adalah implikasi kebijaksanaan insentif
investasi di daerah pada skala nasional secara zero sum, seperti halnya
pemberian tax holiday oleh masing-masing daerah. Untuk mengatasinya,
ketentuan-ketentuan kebijakan insentif investasi yang dapat merugikan
kepentingan perekonomian secara nasional tidak diberikan kewenangannya kepada
daerah.

Akhir kata, sistem pemberian insentif investasi di daerah hendaknya dikaitkan


dengan visi dan tujuan yang tercantum dalam master plan perekonomian daerah;
mempertimbangkan berbagai motive yang mendorong perusahaan asing untuk

berusaha dan dampak kebijaksanaan bagi para pelaku bisnis dan calon investor di
sektor ekonomi lainnya..

Anda mungkin juga menyukai