Anda di halaman 1dari 45

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ERGONOMI
2.1.1 Definisi Ergonomi
Dalam International Ergonomics Association dijelaskan bahwa ergonomi
berasal dari kata ergon yang berarti kerja dan nomos yang berarti hukum atau
aturan, dimana kedua kata tersebut berasal dari bahasa Yunani dan dapat
didefinisikan sebagai studi tentang aspek-aspek manusia dalam lingkungan
kerjanya yang ditinjau secara anatomi, fisiologi, psikologi, engineering,
manajemen, dan desain atau perancangan. Selanjutnya untuk lebih memahami
pengertian mengenai ergonomi, maka penulis akan menjabarkan berbagai macam
definisi ergonomi dari beberapa literatur, antara lain:

Seorang pakar keselamatan dan kesehatan kerja Indonesia Sumamur


(1989) menyatakan bahwa ergonomi adalah ilmu yang penerapannya
berusaha untuk menyerasikan pekerjaan dan lingkungan terhadap orang
atau yang setinggi-tingginya melalui pemanfaatan faktor manusia
seoptimal-optimalnya, hal ini meliputi penyerasiaan pekerjaan terhadap
tenaga kerja secara timbal balik untuk efisiensi dan kenyamanan kerja.

Ergonomi adalah aplikasi informasi ilmiah mengenai manusia terhadap


desain objek, sistem, lingkungan untuk penggunaan manusia (Pheasant,
1991).

Ergonomi adalah cara memandang dunia, berpikir tentang manusia dan


bagaimana interaksinya dengan seluruh aspek dalam lingkungan,
peralatan, dan situasi kerjanya (Oborne, 1995)

Ergonomi adalah ilmu yang mempelajari interaksi antara manusia dan


objek yang mereka gunakan serta lingkungan kerjanya (Pulat, 1997).

Tinjauan faktor..., Ita Kurniawati, FKM UI, 2009

UnivUernsivitearssitIans
doInndeosnieasia

Ergonomi adalah ilmu yang mempelajari interaksi antara manusia dan


mesin serta faktor-faktor yang mempengaruhi interaksi tersebut (Bridger,
2003)

Ergonomi adalah ilmu, seni, dan penerapan teknologi untuk menyerasikan


atau menyeimbangkan antara segala fasilitas yang digunakan baik dalam
beraktivitas maupun istirahat dengan kemampuan dan keterbatasan
manusia baik fisik maupun mental sehingga kualitas hidup secara
keseluruhan menjadi lebih baik (Tarwaka, 2004)

Ergonomi adalah suatu istilah yang berlaku untuk dasar studi dan desain
hubungan antara manusia dan mesin untuk mencegah penyakit dan cidera
serta meningkatkan prestasi atau performa kerja (ACGIH, 2007).

ILO mendefinisikan ergonomi sebagai penerapan ilmu biologi manusia


sejalan dengan ilmu rekayasa untuk mencapai penyesuaian yang saling
menguntungkan antara pekerja dengan pekerjaannya secara optimal
dengan tujuan agar bermanfaat demi efisiensi dan kesejahteraan
Berdasarkan berbagai definisi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa

ilmu ergonomi merupakan suatu bidang keilmuan tentang cara menyerasikan


antara manusia dengan pekerjaan dan lingkungan pekerjaannya agar terciptanya
kenyamanan, keselamatan, dan pencegahan terhadap timbulnya cidera ataupun
gangguan kesehatan dengan tujuan meningkatkan produktivitas kerja dan kualitas
hidup manusia yang lebih baik.

2.1.2 Ruang Lingkup dan Tujuan Ergonomi


Ergonomi merupakan suatu bidang ilmu yang multidisiplin. Ilmu ini terdiri
dari perpaduan ilmu psikologi, anatomi dan kedokteran, fisiologi dan psikologi
faal, serta fisika dan teknik. Ilmu faal dan anatomi memberikan gambaran
mengenai struktur tubuh, kemampuan terhadap nilai beban yang bisa diangkat dan
ketahanan terhadap tekanan fisik, serta batasan fisik dan dimensi tubuh, dan lainlain. Ilmu fisiologi faal memberikan gambaran mengenai fungsi sistem otak dan
saraf berkaitan dengan tingkah laku, sedangkan ilmu psikologi

Tinjauan faktor..., Ita Kurniawati, FKM UI, 2009

mempelajari

UnivUernsivitearssitIans
doInnedsoinaesi

konsep dasar mengenai bagaimana mengambil sikap, mengingat, memahami,


belajar dan mengendalikan proses motorik. Sedangkan ilmu fisika dan teknik
memberikan gambaran mengenai desain dan lingkungan kerja (Oborne,1995).
Fokus ergonomi ialah pada biomekanik, kinesiologi, fisiologi kerja, dan
antropometri. Biomekanik adalah mekanisme sistem biologi, khususnya pada
tubuh manusia. Pendekatan biomekanik pada desain tempat kerja yang utama
mempertimbangkan kemampuan pekerja, tuntutan tugas, dan peralatan yang
terintegrasi. Kinesiologi merupakan ilmu yang mempelajari pergerakan manusia
dalam fungsi anatomi. Prinsip kinesiologi harus digunakan pada desain tempat
kerja

untuk

mencegah

pergerakan

yang

tidak

sesuai.

Fisiologi

kerja

menggambarkan reaksi fisiologi pekerja terhadap tuntutan pekerjaannya dan


memeliharanya pada batasan yang aman. Antropometri berfokus pada dimensi
tempat kerja, peralatan, dan material. Data antropometri terdiri dari dimensi
tubuh, jangkauan pergerakan lengan/tangan dan kaki, dan kemampuan kekuatan
otot (Pulat, 1992).
Peranan ergonomi dalam meningkatkan faktor keselamatan dan kesehatan
kerja, antara lain: desain suatu sistem kerja untuk mengurangi rasa nyeri dan ngilu
pada sistem kerangka dan otot manusia, desain stasiun kerja untuk alat peraga
visual. Hal tersebut untuk mengurangi ketidaknyamanan visual dan postur kerja,
desain suatu perkakas kerja untuk mengurangi kelelahan kerja, desain suatu
peletakan instrumen dan sistem pengendalian agar didapat optimasi dalam proses
transfer informasi dengan dihasilkannya suatu respon yang cepat dengan
meminimalkan risiko kesalahan, serta agar didapatkan optimasi, efisiensi kerja,
dan hilangnya risiko kesehatan akibat metode kerja yang kurang tepat (Nurmianto,
2004). Ergonomi berusaha untuk menjamin bahwa pekerjaan dan setiap tugastugas dari pekerjaan tersebut didesain agar sesuai dengan kemampuan atau
kapasitas dari pekerjanya (ACGIH, 2007).
Secara umum tujuan dari penerapan ilmu ergonomi adalah:
1. meningkatkan kesejahteraan fisik dan mental melalui upaya pencegahan
cidera dan penyakit akibat kerja, menurunkan beban kerja fisik dan mental,
mengupayakan promosi dan kepuasan kerja

Tinjauan faktor..., Ita Kurniawati, FKM UI, 2009

UnivUernsivitearssitIans
doInndeosnieasia

2. meningkatkan kesejahteraan sosial melalui peningkatan kualitas kontak sosial,


mengelola dan mengkoordinir kerja secara tepat guna dan meningkatkan
jaminan sosial baik selama kurun waktu usia produktif maupun setelah tidak
produktif
3. menciptakan keseimbangan rasional antara berbagai aspek, yaitu aspek teknis,
ekonomis, antropologis, dan budaya dari setiap sistem kerja yang dilakukan
sehingga tercipta kualitas kerja dan kualitas hidup yang tinggi (Tarwaka,
2004).
Berdasarkan penjabaran di atas dari berbagai sumber, maka dapat
disimpulkan bahwa ruang lingkup dari ergonomi berfokus pada perancangan
tugas, peralatan, area kerja, dan sistem kerja yang disesuaikan dengan kapasitas
pekerja (mempertimbangkan keterbatasan fisik pekerja) yang bertujuan untuk
menciptakan efisiensi serta kenyamanan dalam bekerja dan mencegah dari
kecelakaan ataupun penyakit akibat kerja.

2.1.3 Prinsip Ergonomi


Ergonomi berfokus kepada desain dari suatu sistem dimana manusia
bekerja. Semua sistem kerja tersebut terdiri atas komponen manusia, komponen
mesin, dan lingkungan yang saling berinteraksi antara satu dengan yang lainnya.
Fungsi dasar dari ergonomi adalah memenuhi kebutuhan manusia akan desain
kerja yang memberikan keselamatan dan efisiensi kerja bagi manusia yang
bekerja di dalamnya. Terdapat enam kategori interaksi antara manusia, mesin dan
lingkungan,

dan

Human>Environment,

interaksi

tersebut,

yaitu:

Human>Machine,

Machine>Human,
Machine>Environment,

Environment>Human,

Environment>Machine (Bridger, 2003). Interaksi dasar dalam sistem kerja


tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2.1 Interaksi Dasar dan Evaluasinya dalam Sistem Kerja


Interaksi

Evaluasi

Manusia > Mesin : Tindakan pengendalian dasar

Anatomi : postur tubuh, pergerakan,

yang dilakukan manusia dalam menggunakan mesin.

besaran kekuatan, durasi dan frekuensi

Aplikasinya berupa penggunaan kekuatan yang besar,

pergerakan, kelelahan otot.

penanganan material, perawatan, dan lain sebagainya.

Fisiologi

oksokan

work
dan

rate

(konsumsi

detak

jantung),

kebugaran, dan kelelahan fisiologi


Psikososial : Persyaratan kemampuan,
beban mental, proses informasi yang
pararel/berkelanjutan.
Manusia > Lingkungan : Efek dari manusia

Fisik:

terhadap

lingkungan kerja. Implikasinya berupa

lingkungan.

karbondioksida,

Manusia

kebisingan,

mengeluarkan

panas,

dan

lain

Pengukuran

obyektif

dari

pemenuhan standar yang berlaku

sebagainya.
Mesin > Manusia : Umpan balik dan display

Anatomi: Desain dari kendali dan alat

informasi. Mesin dapat memberikan efek tekanan

Fisik:

terhadap manusia berupa getaran, percepatan, dan

getaran, reaksi kekuatan dari tenaga

lain sebagainya. Permukaan mesin yang panas atau

mesin, kebisingan dan temperature

dingin dapat mengancam kesehatan manusia.

permukaan lingkungan kerja.

Pengukuran

Fisiologi:

obyektif

Aplikasi

dari

dari

prinsip

pengelompokan desain dari faceplates,


panel dan display grafik
Mesin > Lingkungan: Mesin dapat mengubah

Umumnya

ditangani

oleh

teknisi

lingkungan kerja dengan mengeluarkan kebisingan,

lapangan dan industrial hygienist.

panas, dan buangan gas


Lingkungan > Manusia: Lingkungan juga dapat

FisikFisiologi

mempengaruhi

pencahayaan dan temperatur.

berinteraksi

kemampuan

dengan

manusia

mesin

atau

sistem

dalam

kebisingan,

kerja

( dikarenakan oleh asapa, kebnisingan, panas, dan


lain sebagainya)
Lingkungan
mempengaruhi

>

Mesin:
fungsi

Lingkungan

dari

mesin

dapat
dengan

menimbulkan pemanasan atau pembekuan komponen

Ditangani

oleh

personil

perawatan,

lapangan,
fasilitator

manajemen dan lain sebagainya.

mesin.

( > causal direction )

teknisi

Sumber : Bridger, 2003

Dalam upaya menciptakan suatu kondisi kerja yang aman dan nyaman,
maka diperlukan interaksi yang baik dari ketiga komponen yang telah disebutkan
di atas, yaitu manusia, mesin, dan lingkungan kerja. Dalam ergonomi, manusia
merupakan komponen yang paling utama yang harus diperhatikan dengan segala
keterbatasan yang dimilikinya, karena manusia dalam hal ini yang menjadi
operator dari pekerjaannya. Ini berarti hal yang diperbaiki adalah mengenai
workstation yang akan menyesuaikan pekerjanya. Sebagai contoh, desain
pembuatan kursi kerja berkisar antara 43-50 cm (Oborne, 1995). Kursi kerja yang
didesain dengan menambahkan sandaran punggung (backrest) dilakukan dengan
tujuan agar memberikan kesempatan relaksasi pada otot punggung secara berkala
(Kroemer dan Grandjean, 1997). Contoh lainnya adalah mengenai desain meja
kerja. Menurut Kroemer dan Grandjean (1997), tinggi meja yang disarankan
untuk pekerjaan berat adalah sekitar 75-90 cm dari lantai (untuk pria) dan 70-85
cm dari lantai (untuk wanita), untuk pekerjaan ringan berkisar antara 90-95 cm
dari lantai (untuk pria) dan 85-90 cm dari lantai (untuk wanita), serta pekerjaan
yang membutuhkan ketelitian berkisar 100-110 cm dari lantai (untuk pria) dan 95105 cm dari lantai (untuk wanita).

2.1.4 Konsep Keseimbangan Ergonomi


Ergonomi merupakan suatu ilmu, seni, dan teknologi yang berupaya untuk
menyerasikan alat, cara, dan lingkungan kerja terhadap kemampuan, kebolehan,
dan segala keterbatasan manusia, sehingga manusia dapat berkarya secara optimal
tanpa pengaruh buruk dari pekerjaannya. Dari sudut pandang ergonomi, antara
tuntutan tugas dengan kapasitas kerja harus selalu dalam garis keseimbangan
sehingga dicapai performa kerja yang tinggi. Dengan kata lain, tuntutan tugas
pekerjaan tidak boleh terlalu rendah (underload) dan juga tidak boleh terlalu
berlebihan (overload) karena keduanya akan menyebabkan stress (Tarwaka,
2004). Menurut Manuaba (2000), konsep keseimbangan antara kapasitas kerja
dengan tuntutan tugas tersebut dapat diilustrasikan seperti pada gambar berikut.

Material

Task/Work

Characteristics

Place
Characteris
t

TASK
DEMANDS

Organizational Environment
Characteristics

al
Characterist
ics

Personal

Physiologic

Capacity

al Capacity

WORK
CAPACITY

Psycological

Biomechan

Capacity

i cal
Capacity

PERFORMANC
E
Quality
Stress
Fatigue
Accident
Discomfort
Diseases
Injury
Productivity

Gambar 2.1 Konsep Keseimbangan Ergonomi


Sumber: Manuaba, 2000

Keterangan:

Kemampuan Kerja

Kemampuan seseorang sangat ditentukan oleh:


1. Personal Capacity (karakteristik pribadi), meliputi faktor usia,
jenis kelamin, antropometri, pendidikan, pengalaman, status sosial,
agama dan kepercayaan, status kesehatan, kesegaran tubuh, dan
sebagainya.
2. Physiological

Capacity

(kemampuan

fisiologis),

meliputi

kemampuan dan daya tahan kardiovaskuler, syaraf otot, panca


indera, dan sebagainya.

3. Psycological Capacity (kemampuan psikologis) berhubungan


dengan kemampuan mental, waktu reaksi, kemampuan adaptasi,
stabilitas emosi, dan sebagainya.
4. Biomechanical Capacity (kemampuan biomekanik) berkaitan
dengan kemampuan dan daya tahan sendi dan persendian, tendon,
dan jalinan tulang.

Tuntutan tugas
Tuntutan tugas pekerjaan atau aktivitas tergantung pada:
1. Task dan Material Characteristics (karakteristik tugas dan
material) ditentukan oleh karakteristik peralatan dan mesin, tipe
kecepatan, irama kerja, dan sebagainya.
2. Organization

Characteristics

(karakteristik

organisasi)

berhubungan dengan jam kerja dan jam istirahat, kerja malam dan
bergilir, cuti dan libur, manajemen, dan sebagainya.
3. Environmental Characteristics (karakteristik lingkungan) berkaitan
dengan manusia teman setugas, suhu dan kelembaban, bising dan
getaran, penerangan, sosio-budaya, tabu, norma, adat dan
kebiasaan, bahan-bahan pencemar, dan sebagainya.

Performa
Performa atau tampilan seseorang sangat tergantung kepada rasio dari
besarnya tuntutan tugas dengan besarnya kemampuan yang bersangkutan.
Dengan demikian:
1. Bila rasio tuntutan tugas lebih besar daripada kemampuan
seseorang atau kapasitas kerjanya, maka akan terjadi penampilan
akhir berupa ketidaknyamanan, overstress, kelelahan, kecelakaan,
cidera, rasa sakit, penyakit, dan tidak produktif.
2. Sebaliknya, bila tuntutan tugas lebih rendah daripada kemampuan
seseorang atau kapasitas kerjanya, maka akan terjadi penampilan
akhir berupa understress, kebosanan, kejemuan, kelesuan, sakit,
dan tidak produktif
3. Agar

penampilan

menjadi

optimal

maka

perlu

adanya

keseimbangan dinamis antara tuntutan tugas dengan kemampuan

Tinjauan faktor..., Ita Kurniawati, FKM UI,

2009

UnivUernsivitearssitIansd
oInndeosniaesia

yang dimiliki sehingga tercapai kondisi dan lingkungan yang sehat,


aman, nyaman, dan produktif.

Dapat disimpulkan bahwa konsep keseimbangan dalam ergonomi


menggambarkan antara tuntutan tugas dengan kapasitas kerja berada pada satu
jalur yang harus ada kesesuaian diantara keduanya dengan tujuan menghasilkan
performa kerja yang tinggi.

2.2 ANATOMI SISTEM MUSKULOSKELETAL


Dalam rangka memenuhi tujuan desain atau perancangan produk baru
pekerjaan serta peralatan yang sesuai dengan kebutuhan manusia, maka
diperlukan pengetahuan tentang karakteristik otot dan kerangka manusia terutama
dimensi dan kapasitasnya.
2.2.1 Sistem Rangka
Sistem rangka berfungsi untuk menggambarkan dasar bentuk tubuh,
penentuan tinggi seseorang, perlindungan organ tubuh yang lunak, sebagi tempat
melekatnya otot, mengganti sel-sel yang telah rusak, memberikan sistem
sambungan untuk gerak pengendali, dan menyerap reaksi dari gaya serta beban
kejut (Nurmianto, 2004). Sistem rangka terdiri dari rangka atau tulang-tulang
ekstremitas atas, tulang-tulang ekstremitas bawah, dan lengkung kaki. Tulangtulang ekstremitas atas terdiri dari: skapula dan klavikula yang membentuk gelang
bahu, humerus, radius dan ulnar yang membentuk lengan bawah, 8 tulang karpal,
5 tulang metakarpal, serta 14 falanges. Tulang-tulang ekstremitas bawah terdiri
dari: tulang pinggul yang membentuk sebagian dari panggul (pelvis), femur,
patella, tibia dan fibula yang membentuk tungkai bawah, 7 tulang tarsalia, 5
tulang metatarsal, serta 14 falanges. Lengkung kaki terdiri dari: lengkung medial
yang sangat elastis, lengkung lateral yang kuat dan terbatas gerakannya, serta
terdapat sejumlah lengkung transversal (Watson, 1997).
Panjang tulang untuk menentukan tinggi badan seseorang, sedangkan
batas jangkauan dapat menentukan ruang gerak atau aktivitas. Selain dari itu,
dimensi ruang yang terbentuk tersebut penting untuk penempatan pengendali dan
desain stasiun kerja. Sifat masing-masing sambungan tulang pada pergerakan

sangat kompleks. Contoh sambungan tulang yang sederhana ada pada siku dan
lutut. Siku dan lutut merupakan sambungan yang membatasi gerakan fleksi.
Tangan manusia mempunyai fleksibilitas yang tinggi dalam gerakannya. Akan
tetapi jika ada gerakan berulang (repetitive), maka harus mempertimbangkan hal
yang lebih penting, misalnya seperti efisiensi penggunaan otot dan konsumsi
energinya (Nurmianto, 2004).
2.2.2 Sistem Otot
Sistem otot (muskular) terdiri dari sejumlah besar otot yang bertanggung
jawab atas gerakan tubuh (Watson, 1997). Otot terbentuk atas fiber yang
berukuran panjang dari 10 hingga 400 mm dan berdiameter 0,01 hingga 0,1 mm.
Pengujian mikroskopis menunjukkan bahwa fiber terdiri dari myofibril yang
tersusun atas sel-sel filament dari molekul myosin yang saling tumpang tindih
dengan filament dari molekul aktin. Serabut otot bervariasi antara satu otot
dengan yang lainnya. Beberapa diantaranya mempunyai gerakan yang lebih cepat
dari yang lainnya dan hal ini terjadi pada otot yang dipakai untuk
mempertahankan kontraksi badan, seperti otot pembentuk postur tubuh
(Nurmianto, 2004).
Dalam Watson (1997) dijelaskan bahwa otot utama tubuh terdiri atas: otot
kepala, otot leher, otot tubuh, otot anggota gerak atas, dan otot anggota gerak
bawah. Untuk mengetahui jenis-jenis otot yang telah disebutkan di atas lebih
lanjut, maka dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 2.2 Klasifikasi dan Jenis Otot


Klasifikasi Otot

Jenis otot

Otot kepala

Otot-otot ekspresi dan otot-otot mastikasi

Otot leher

Otot sternokleidomastoideus dan otot trapezius

Otot tubuh

Otot yang menggerakkan bahu, otot pernapasan,


otot yang membentuk dinding abdomen, otot
yang

menggerakkan

panggul,

otot

yang

menggerakkan tulang belakang, otot dasar


panggul
Otot anggota gerak atas

Otot lengan, otot lengan bawah, dan otot tangan

Otot anggota gerak bawah

Otot paha, otot betis, dan otot kaki

Tinjauan faktor..., Ita Kurniawati, FKM UI, 2009

UnivUernsivitearssitIans
doInndeosnieasia

2.2.2.1 Aktivitas Otot


Otot hanya mempunyai kemampuan kontraksi dan relaksasi. Dalam
pergerakan yang pelan dan terkendali, baik otot penggerak utama maupun yang
antagonis berada pada posisi tegang selama dalam pergerakannya. Sebaliknya
dalam pergerakan yang cepat, otot antagonis secara otomatis akan relaks. Sebagai
contoh, otot trisep dalam keadaan antagonis relatif terhadap otot bisep selama
dalam gerakan fleksi oleh siku pada saat tangan mengangkat beban.
Selain itu, ada beberapa otot lain yang juga berpartisipasi dalam
pergerakan otot. Misalnya, otot bisep dibantu oleh brachialis selama gerakan
fleksi pada siku. Ada juga jenis otot lain yang disebut sebagai fiksator yang
berfungsi sebagai pemberi kesetimbangan pada saat adanya suatu gerakan, dan
sinergis yang berfungsi untuk mengontrol sambungan-sambungan sehingga
memungkinkan suatu gerakan berjalan secara efisien (Nurmianto, 2004).
2.2.2.2 Sumber Energi Otot
Sumber energi otot adalah berasal dari pemecahan senyawa fosfat kaya
energi dari kondisi energi tinggi ke energi rendah, dimana dalam waktu yang sama
akan menghasilkan muatan elektrostatis dan menyebabkan gerakan relatif dari
molekul aktin dan myosin. Hal tersebut ditunjukkan pada proses berikut:
ATP ADP + energi
ATP = Adenosin Tri
Phosphat ADP = Adenosin
Di Phosphat
Untuk melanjutkan proses ini, ATP harus disintesa ulang dengan bahan
baker yang berasal dari sumber lain. Dua proses berikut akan memberikan
penjelasan secara lebih rinci, yaitu:
a. Anaerobik
Anaerobik yaitu proses perubahan ATP menjadi ADP dan energi tanpa
bantuan oksigen. Glikogen yang terdapat dalam otot terpecah menjadi energi dan
membentuk asam laktat. Dalam proses ini, asam laktat akan memberikan indikasi
adanya kelelahan otot secara lokal, karena kurangnya jumlah oksigen yang
disebabkan oleh kurangnya jumlah suplai darah yang dipompa dari jantung,
misalnya jika ada gerakan yang bersifat tiba-tiba. Penyebab lainnya adalah karena
pencegahan kebutuhan aliran darah yang mengandung oksigen dengan adanya
Tinjauan faktor..., Ita Kurniawati, FKM UI,

2009

UnivUernsivitearssitIansd
oInndeosniaesia

beban otot statis ataupun karena aliran darah yang tidak cukup mensuplai oksigen
dan glikogen, akan melepaskan asam laktat.

b. Aerobik
Aerobik yaitu proses perubahan ATP menjadi ADP dan energi dengan
bantuan oksigen yang cukup. Asam laktat yang dihasilkan oleh kontraksi otot
dioksidasi dengan cepat menjadi karbondioksida dan H 2O dalam kondisi aerobic,
sehingga beban pekerjaan yang tidak terlalu melelahkan akan dapat berlangsung
cukup lama. Selain itu, aliran darah yang cukup akan mensuplai lemak,
karbohidrat, dan oksigen ke dalam otot. Akibat dari kondisi kerja yang terlalu
lama akan menyebabkan kadar glikogen dalam darah akan menurun drastis di
bawah normal dan kebalikannya kadar asam laktat akan meningkat. Apabila sudah
demikian, maka cara terbaik adalah menghentikan pekerjaan, kemudian istirahat
dan makan makanan yang bergizi untuk membentuk kadar gula dalam darah.

Hal tersebut di atas merupakan proses kontraksi otot yang telah


disederhanakan analisa pembangkit energinya, serta sekaligus menandakan
pentingnya aliran darah untuk otot. Oleh karena itu, para ahli ergonomi hendaklah
memperhatikan hal-hal seperti berikut untuk sedapat mungkin dihindari:
a. beban otot statis
b. oklusi (penyumbatan aliran darah) karena tekanan, misalnya tekanan segi
kursi pada lipat lutut
c. bekerja dengan lengan berada di atas yang menyebabkan siku aliran darah
bekerja berlawanan dengan arah gravitasi (Nurmianto, 2004).

2.2.2.3 Pembebanan Otot Secara Statis


Beban otot statis terjadi ketika otot dalam keadaan tegang tanpa
menghasilkan gerakan tangan atau kaki sekalipun. Pergerakan ritmik yang
dinamis adalah proses pemompaan aliran darah oleh organ tubuh manusia. Beban
otot statis terjadi ketika postur tubuh berada dalam kondisi yang tidak natural,
peralatan maupun material ditahan pada kondisi yang berlawanan dengan arah
gravitasi (Nurmianto, 2004).

Tinjauan faktor..., Ita Kurniawati, FKM UI, 2009

UnivUernsivitearssitIans
doInndeosnieasia

2.2.3 Jaringan Penghubung


Jaringan-jaringan penghubung yang terpenting pada sistem kerangka otot
adalah ligamen, tendon, dan fasciae. Jaringan ini terdiri dari kolagen dan serabut
elastis dalam beberapa proporsi. Tendon berfungsi sebagai penghubung antara
otot dan tulang terdiri dari sekelompok serabut kolagen yang letaknya parallel
dengan panjang tendon. Ligamen berfungsi sebagai penghubung antara tulang
dengan tulang untuk stabilitas sambungan. Ligamen tersusun atas serabut yang
letaknya tidak parallel. Oleh karena itu, tendon dan ligamen bersifat inelastis dan
berfungsi pula untuk menahan deformasi. Adanya tegangan yang konstan akan
dapat memperpanjang ligamen dan menjadikannya kurang efektif dalam
menstabilkan sambungan. Sedangkan jaringan fasciae berfungsi sebagai
pengumpul dan pemisah otot, yang terdiri dari sebagian besar serabut elastis dan
mudah sekali terdeformasi (Nurmianto, 2004).

2.3 MANUAL HANDLING


Berdasarkan U.S. Department of Labor, handling didefinisikan sebagai
tindakan meraih, memegang, menggenggam, memutar atau pekerjaan lainnya
yang menggunakan tangan, dan National Institute of Occupational Safety and
Health medefinisikannya sebagai suatu aktivitas dengan menggunakan pergerakan
tangan pekerja untuk mengangkat, mengisi, mengosongkan, meletakkan atau
membawa (NIOSH, 2007). Sedangkan menurut OSHA, manual handling meliputi
semua pekerjaan memindahkan material dengan tangan dengan cara mengangkat,
menurunkan, membawa, mendorong, menarik, menggeser ataupun menyusun
material (OSHA, 1997) . Manual handling tidak hanya berarti mengangkat atau
membawa sesuatu saja, namun manual handling meliputi mendorong, menggapai,
memegang, dan tindakan ringan yang berulang (OH&S, 2003).
Jadi dapat disimpulkan manual handling adalah

seluruh

rangkaian

aktivitas pekerjaan yang masih mempergunakan tenaga manusia namun bukan


hanya aktivitas mengangkat, menurunkan, membawa, menarik, mendorong,
menggeser sesuatu saja, tetapi juga seluruh aktivitas ringan yang dilakukan secara
berulang. Kegiatan manual handling berisiko menimbulkan cidera

dan

kecelakaan. Cidera akibat material manual handling dapat terjadi karena

Tinjauan faktor..., Ita Kurniawati, FKM UI, 2009

UnivUernsivitearssitIans
doInnedsoinaesi

memegang objek, atau postur tubuh saat memindahkan barang yang kurang baik.
Cidera dapat terjadi seketika maupun secara berangsur-angsur selama beberapa
tahun. Cidera yang dihasilkan dari aktivitas pada pekerjaan yang dilakukan ini
berkaitan dengan gangguan pada sistem muskuloskeletal. Untuk selanjutnya,
maka akan dijelaskan mengenai gangguan muskuloskeletal serta faktor risikonya.

2.4 MUSCULOSKELETAL DISORDERS


2.4.1 Definisi MSDs
Gangguan muskuloskeletal atau biasa yang disebut dengan MSDs adalah
serangkaian sakit pada otot, tendon dan saraf. Aktivitas dengan tingkat
pengulangan yang tinggi dapat menyebabkan kelelahan pada otot, merusak
jaringan hingga kesakitan dan ketidaknyamanan. Ini bisa terjadi walaupun tingkat
gaya yang dikeluarkan ringan dan postur kerja memuaskan (OHSCO, 2007).
Menurut NIOSH (1997), gangguan muskuloskeletal adalah sekumpulan kondisi
patologis yang mempengaruhi fungsi normal dari jaringan halus sistem
muskuloskeletal yang mencakup syaraf, tendon, otot, dan struktur penunjang
seperti discus intervertebral.
Definisi lain dijelaskan oleh ACGIH, musculoskeletal

disorders

maksudnya adalah adanya suatu gangguan kronis pada otot, tendon, dan syaraf
yang disebabkan oleh penggunaan tenaga secara berulang (repetitive), gerakan
secara cepat, beban yang tinggi, tekanan, postur janggal, vibrasi, dan rendahnya
temperatur (ACGIH, 2007).
Berdasarkan berbagai definisi dari lembaga-lembaga tersebut, maka dapat
disimpulkan bahwa gangguan musculoskeletal merupakan suatu gangguan yang
menyerang otot, tendon, dan syaraf manusia yang disebabkan oleh aktivitas yang
dilakukan secara repetitif dengan postur janggal.
2.4.2 Jenis-jenis MSDs
Postur janggal merupakan faktor risiko pada kejadian MSDs karena pada
postur janggal, otot, tulang, dan sendi bekerja berlebihan memberikan tekanan
atau gaya untuk mempertahankan keseimbangan posisi tubuh tertentu. Postur
janggal akan meningkatkan risiko kejadian MSDs bila terjadi kombinasi dengan
faktor risiko ergonomi lain, seperti durasi, frekuensi, intensitas, repetitif, dan

Tinjauan faktor..., Ita Kurniawati, FKM UI, 2009

UnivUernsivitearssitIansd
oInndeosniaesia

adanya intervensi stressor dari lingkungan. Berikut ini adalah beberapa jenis
MSDs yang dapat diakibatkan oleh postur janggal, yaitu:
1. Low Back Pain, yaitu rasa sakit akut dan kronis dari tulang belakang pada
daerah lumbosacral, pantat dan kaki bagian atas yang biasanya terjadi karena
penipisan intervertebral disk atau berkurangnya cairan pada disk. Biasanya
terjadi pada pekerja yang suka mengangkat (Bridger, 2003)
2. Carpal Tunnel Syndrome, yaitu tendon pada carpal tunnel membengkak
karena penggunaan yang cepat dan berulang pada jari dan tangan.
menyebabkan nyeri, rasa terbakar, dan kemampuan menggenggam menurun.
Biasanya terjadi pada typist (Humantech, 1989,1995)
3. Bursitis, yaitu rongga yang berisi cairan pelumas sendi membengkak dan
inflamasi sehingga menyebabkan nyeri dan keterbatasan gerak (Bridger, 2003)
4. Epicondylitis, yaitu inflamasi pada otot dan jaringan penghubung yang berada
di sekitar siku karena adanya rotasi dan putaran yang terlalu sering. Biasanya
sering terjadi pada petenis (Bridger, 2003)
5. Sprain dan strains, terjadi saat ligamen atau otot terlalu tertekan karena
adanya postur yang memberi beban terhadap tubuh (Bridger, 2003)
6. Ganglion Cyst, yaitu benjolan di bawah kulit yang disebabkan karena
akumulasi cairan pada lapisan tendon. Ini biasanya ditemukan pada tangan dan
pergelangan tangan (Humantech, 1989, 1995)
7. Tendinitis, yaitu inflamasi pada tendon biasanya terjadi pada tangan dan
pergelangan tangan karena pekerjaan menggunakan postur yang tidak biasa
secara terus-menerus (Bridger, 2003)
8. Tenosynovitis, terjadi karena adanya inflamasi tendon dan pelapisnya dengan
pembengkakan pada pergelangan tangan aktifitas yang berlebihan pada tendon
yang disebabkan oleh beban dan pergerakan yang berulang (Pulat, 1997).
9. Trigger Finger, yaitu keadaan kaku dan gemetar pada jari karena gerakan
berulang dan penggunaan yang berlebihan dari jari, ibu jari atau pergelangan
tangan yang terus-menerus (Bridger, 2003)

Tinjauan faktor..., Ita Kurniawati, FKM UI, 2009

UnivUernsivitearssitIans
doInndeosnieasia

2.4.3 Faktor risiko MSDs


Dalam suatu pekerjaan ada faktor-faktor yang dapat mempengaruhi risiko
terjadinya suatu cidera ataupun penyakit akibat kerja, yang biasa disebut dengan
musculoskeletal disorders, repetitive strain injury, cumulative trauma disorders
dan penyakit-penyakit lainnya. Amstrong et al.(1993) menjabarkan beberapa
faktor risiko ergonomi, yaitu faktor fisik pekerjaan, faktor organisasi kerja, dan
faktor psikososial. Sedangkan Bridger (2003) mengkategorikan kedalam empat
kelompok

faktor-faktor

risiko

utama

terhadap

terjadinya

gangguan

muskuloskeletal, yaitu beban, postur, frekuensi, dan durasi pekerjaan (Bridger,


2003).
a. Postur kerja
Salah satu aspek yang dipertimbangkan dalam ergonomi adalah postur
kerja/working posture. Menurut Occupational Health and Safety Council of
Ontario dalam Resource Manual for the MSD Prevention Guideline for Ontario
(2006) disebutkan bahwa postur kerja adalah berbagai posisi dari anggota tubuh
pekerja selama melakukan aktivitas pekerjaan. Pembagian postur kerja dalam
ergonomi didasarkan atas posisi tubuh dan pergerakan. Berdasarkan posisi tubuh,
postur kerja dalam ergonomi terdiri dari:
1. Postur Netral (Neutral Posture), yaitu postur dimana seluruh bagian tubuh
berada pada posisi yang sewajarnya/seharusnya dan kontraksi otot tidak
berlebihan sehingga bagian organ tubuh, saraf jaringan lunak dan tulang tidak
mengalami pergeseran, penekanan, ataupun kontraksi yang berlebih.
2. Postur Janggal (Awkward Posture), yaitu postur dimana posisi tubuh (tungkai,
sendi dan punggung) secara signifikan menyimpang dari posisi netral pada
saat melakukan suatu aktivitas yang disebabkan oleh keterbatasan tubuh
manusia untuk melawan beban dalam jangka waktu lama. Postur janggal akan
menyebabkan stress mekanik pada otot, ligamen, dan persendian sehingga
menyebabkan rasa sakit pada otot rangka. Selain itu, postur janggal
membutuhkan energi yang lebih besar pada beberapa bagian otot, sehingga
meningkatkan kerja jantung dan paru-paru untuk menghasilkan energi.
Semakin lama bekerja dengan postur janggal, maka semakin banyak energi
yang dibutuhkan untuk memepertahankan kondisi tersebut, sehingga dampak

Tinjauan faktor..., Ita Kurniawati, FKM UI, 2009

UnivUernsivitearssitIans
doInndeosniaesia

kerusakan otot rangka yang ditimbulkan semakin kuat (Bridger, 1995).


Beberapa bentuk postur janggal antara lain:

Postur janggal pada Tulang Belakang


a.

Membungkuk (bent forward), yaitu punggung dan dada lebih


0

condong ke depan membentuk > 20 terhadap garis vertikal.


b.

Berputar (twisted), yaitu posisi tubuh yang berputar ke kanan dan


kiri dimana garis vertikal menjadi sumbu tanpa memperhitungkan
berapa derajat besarnya rotasi yang dilakukan.

c.

Miring (bent sideway), yaitu setiap deviasi bidang median tubuh


dari garis vertikal tanpa memperhitungkan besarnya sudut yang
dibentuk. Terjadi fleksi pada bagian tubuh, biasanya ke depan atau
ke samping.

Membungkuk

Memutar(Twisting)

Miring (Bending)

Gambar 2.2 Postur Janggal Tulang Belakang


Sumber: Humantech, 1989, 1995

Selain itu, terdapat postur janggal pada tulang punggung saat


mengangkat seperti pada gambar berikut ini.

Gambar 2.3 Postur Mengangkat


Sumber: Bridger, 2003
Tinjauan faktor..., Ita Kurniawati, FKM UI, 2009

UnivUernsivitearssitIans
doInndeosnieasia

Postur janggal pada tangan dan pergelangan tangan (kiri dan kanan)
Faktor risiko pada tangan dan pergelangan tangan adalah melakukan
pekerjaan dengan posisi memegang benda dengan cara mencubit (pinch
grip), tekanan pada jari terhadap objek (finger press), menggenggam
dengan kuat (power grip), posisi pergelangan tangan yang fleksi dan
0

ekstensi dengan sudut >45 , serta posisi pergelangan tangan yang deviasi
selama lebih dari10 detik, dan frekuensi > 30/menit (Humantech,
1989,1995).

Gambar 2.4 Postur Janggal Tangan dan Pergelangan Tangan


Sumber: Humantech, 1989, 1995

Postur janggal pada bahu (kiri dan kanan)


Postur bahu yang merupakan faktor risiko adalah melakukan pekerjaan
o

lengan atas membentuk sudut >45 ke arah samping atau ke arah depan
terhadap badan selama lebih dari 10 detik dengan frekuensi lebih dari atau
sama dengan 2 kali per menit dan beban > 4.5kg (Humantech, 1989,
1995).

Lengan ke samping depan

Lengan di belakang badan

Gambar 2.5 Postur Janggal Bahu


Sumber: Humantech, 1989, 1995

Postur janggal pada lengan bawah (kiri dan kanan)


Postur lengan bawah yang menjadi faktor risiko adalah posisi siku
sebesar 135 dan jika menggunakan gerakan penuh dalam bekerja
(Humantech, 1989, 1995).

Gambar 2.6 Postur Janggal Lengan Bawah


Sumber: Humantech, 1989, 1995

Postur janggal pada leher


Postur leher yang menjadi faktor risiko adalah melakukan pekerjaan
(membengkokkan leher > 20 terhadap vertikal), menekukkan kepala atau
menoleh ke samping kiri atau kanan, serta menengadah (Humantech,
1989, 1995).

Menunduk

Menoleh

Menekukkan

Menengadah

Gambar 2.7 Postur Janggal Leher


Sumber: Humantech, 1989, 1995

Postur janggal pada kaki


a. Jongkok (squatting), yaitu posisi tubuh dimana perut menempel
pada paha dimana terjadi fleksi maksimal pada daerah lutut,
pangkal paha, dan tulang lumbal.
b. Berlutut (kneeling), yaitu posisi tubuh dimana sendi lutut menekuk,
permukaan lutut menyentuh lantai dan berat tubuh bertumpu pada
lutut dan jari-jari kaki.
c. Berdiri pada Satu Kaki (stand on one leg), yaitu posisi tubuh
dimana tubuh bertumpu pada satu kaki.

Gambar 2.8 Postur Janggal Kaki


Sumber: Humantech, 1989, 1995

Sedangkan berdasarkan pergerakan, postur kerja dalam ergonomi terdiri dari:


1. Postur statis, yaitu postur yang terjadi dimana sebagian besar tubuh tidak aktif
atau hanya sedikit sekali terjadi pergerakan. Postur statis dalam jangka waktu
lama sehingga otot berkontraksi secara terus-menerus dan dapat menyebabkan
tekanan/stres pada bagian tubuh (Bridger, 2003). Pergerakan otot statis
menyebabkan aliran darah ke otot berkurang dan glikogen otot diubah menjadi
asam laktat yang mengakibatkan rasa lelah (Humantech, 1995). Berikut ini
contoh postur statis, yaitu:
a. Berdiri, yaitu kepala, punggung dan kaki tegak lurus atau sejajar dengan
sumbu vertikal.
b. Duduk, yaitu pantat menyentuh suatu permukaan dan terjadi fleksi pada
0

lutut 90 . Posisi duduk memerlukan lebih sedikit energi daripada berdiri,


karena hal itu dapat mengurangi banyaknya beban otot statis pada kaki
(Nurmianto, 2004). Pada posisi duduk, jaringan lunak pada tulang
punggung

antara

anterior

dan

posterior

tertekan

sehingga

menyebabkan
Tinjauan faktor..., Ita Kurniawati, FKM UI, 2009

UnivUernsivitearssitIansd
oInndeosniaesia

kesakitan (Bridger, 1995). Selain itu,

Tinjauan faktor..., Ita Kurniawati, FKM UI, 2009

sikap duduk yang tegang lenih

UnivUernsivitearssitIansd
oInndeosniaesia

banyak memerlukan aktivitas otot atau urat saraf belakang (Nurmianto,


2004).
c. Berbaring, yaitu kepala, punggung dan kaki sejajar dengan sumbu
horizontal.
2. Postur dinamis, yaitu postur yang terjadi dimana sebagian besar anggota tubuh
bergerak. Jenisnya adalah:
a. Carrying, yaitu aktivitas mengangkat beban sambil berjalan
b. Pulling, yaitu tarikan pada benda agar benda bergerak
c. Pushing, yaitu memindahkan benda dengan memberikan gaya agar benda
berpindah.

b. Frekuensi
Postur yang salah dengan frekuensi pekerjaan yang sering dapat
mengakibatkan tubuh kekurangan suplai darah, asam laktat yang terakumulasi,
inflamasi, tekanan pada otot, dan trauma mekanis. Frekuensi terjadinya postur
janggal terkait dengan terjadinya repetitive motion dalam melakukan pekerjaan.
Keluhan otot terjadi karena otot menerima tekanan akibat beban kerja terusmenerus tanpa melakukan relaksasi (Bridger, 2003). Secara umum, semakin
banyak pengulangan gerakan dalam suatu aktivitas kerja, maka akan
mengakibatkan keluhan otot semakin besar. Pekerjaan yang dilakukan secara
repetitif dalam jangka waktu lama maka akan meningkatkan risiko MSDs apalagi
bila ditambah dengan gaya/beban dan postur janggal (OHSCO, 2007).

c. Durasi
Durasi adalah jumlah waktu terpajan faktor risiko. Durasi dapat dilihat
sebagai menit-menit dari jam kerja/hari pekerja terpajan risiko. Durasi juga dapat
dilihat sebagai pajanan/tahun faktor risiko atau karakteristik pekerjaan
berdasarkan faktor risikonya. Secara umum, semakin besar pajanan durasi pada
faktor risiko, semakin besar pula tingkat risikonya. Durasi diklasifikasikan
sebagai berikut :

Tinjauan faktor..., Ita Kurniawati, FKM UI, 2009

UnivUernsivitearssitIans
doInndeosnieasia

Durasi singkat : < 1 jam/hari


Durasi sedang : 1-2 jam/hari
Durasi lama : > 2 jam
Pada posisi kerja statis yang membutuhkan 50% dari kekuatan maksimum
tidak dapat bertahan lebih dari satu menit, jika kekuatan digunakan kurang dari 20
% kekuatan maksimum maka kontraksi akan berlangsung terus untuk beberapa
waktu. Sedangkan untuk durasi aktivitas dinamis selama 4 menit atau kurang
seseorang dapat bekerja dengan intensitas sama dengan kapasitas aerobik sebelum
beristirahat (Kroemer & Grandjean, 1997) .

d. Force atau beban


Force merupakan usaha yang dibutuhkan untuk melakukan gerakan.
Pekerjaan yang menuntut penggunaan tenaga besar, maka akan memberikan
beban pada otot, tendon, ligamen, dan sendi. Objek merupakan salah satu faktor
yang mempengaruhi terjadinya gangguan otot rangka. Menurut ILO, beban
maksimum yang diperbolehkan untuk diangkat oleh seseorang adalah 23-25 kg.
Bentuk dan ukuran objek juga ikut mempengaruhi hal tersebut. Ukuran objek
harus cukup kecil agar dapat diletakkan sedekat mungkin dari tubuh. Lebar objek
yang besar yang dapat membebani otot pundak/bahu adalah lebih dari 300-400
mm, panjang lebih dari 350 mm dengan ketinggian lebih dari 450 mm. Sumamur
(1989) menjabarkan cara menangani beban yang baik, yaitu:
1.

Pegangan harus tepat. Memegang diusahakan dengan tangan penuh dan


memegang dengan hanya beberapa jari dapat menyebabkan ketegangan
statis lokal pada jari dan pergelangan tangan.

2.

Lengan harus berada di dekat tubuh dengan posisi lurus. Fleksi pada lengan
untuk mengangkat dan membawa menyebabkan ketegangan otot statis
pada lengan yang melelahkan.

3.

Punggung harus diluruskan. Posisi deviasi punggung membebani tulang


belakang. Untuk menghindari punggung membungkuk, mula-mula lutut
harus bengkok (fleksi) sehingga tubuh tetap berada pada posisi dengan
punggung lurus.

4.

Posisi leher tegak sehingga seluruh tulang belakang diluruskan.

5.

Posisi kaki dibuat sedemikian rupa agar mampu mengimbangi momentum


yang terjadi dalam posisi mengangkat dan menurunkan. Kedua kaki
ditempatkan untuk membantu mendorong tubuh.

6.

Beban diusahakan menekan pada otot tungkai yang kuat dan sebanyak
mungkin otot tulang belakang yang lebih lemah dibebaskan dari
pembebanan.

7.

Beban yang ditangani diusahakan berada sedekat mungkin terhadap garis


vertikal atau pusat gravitasi tubuh. Posisi tubuh yang menahan beban
cenderung mengikuti beban sedangkan posisi tubuh yang menjauhi pusat
gravitasi tubuh lebih berisiko MSDs.

Sedangkan bentuk objek yang baik harus memiliki pegangan, tidak ada
sudut tajam dan tidak dingin atau panas saat diangkat. Mengangkat objek tidak
boleh hanya dengan mengandalkan kekuatan jari, karena kemampuan otot jari
terbatas sehingga dapat cidera pada jari (Kumar, 1996). Semakin berat objek yang
ditangani, tenaga yang dibutuhkan akan meningkat. Dapat disimpulkan, semakin
besar gaya yang dikeluarkan untuk menangani suatu objek, maka semakin tinggi
risiko terkait gangguan otot rangka apabila hal tersebut dilakukan dengan postur
yang salah dan berat objek melampaui batas maksimum yang diperbolehkan.
Pajanan terkait MSDs tersebut tidak hanya disebabkan oleh salah satu
faktor saja, melaikan adanya keterkaitan atau gabungan dari berbagai faktor risiko
ergonomi yang ada serta faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhinya.
Gangguan terhadap muskuloskeletal tersebut akan timbul semakin cepat apabila
suatu aktivitas kerja yang dilakukan dengan postur yang tidak tepat dengan beban
yang berat dan dilakukan secara repetitif dalam jangka waktu yang cukup lama.

2.4.4 Keluhan Muskuloskeletal


Aktivitas manual material handling (MMH) ataupun postur kerja yang
tidak tepat dapat menimbulkan kerugian bahkan kecelakaan pada karyawan.
Akibat yang ditimbulkan dari aktivitas MMH ataupun postur yang tidak benar
salah satunya adalah keluhan muskuloskeletal. Keluhan musculoskeletal adalah
keluhan pada bagian-bagian otot skeletal yang dirasakan oleh seseorang mulai

Tinjauan faktor..., Ita Kurniawati, FKM UI,

2009

UnivUernsivitearssitIansd
oInndeosniaesia

dari keluhan yang sangat ringan sampai sangat sakit. Apabila otot menerima
beban statis secara berulang dalam jangka waktu yang lama akan dapat
menyebabkan keluhan berupa kerusakan pada sendi, ligamen, dan tendon.
Keluhan inilah yang biasanya disebut sebagai muskuloskeletal disordes (MSDs)
atau cidera pada sistem muskuloskeletal (Grandjean, 1993). Secara garis besar
keluhan otot dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
1. Keluhan sementara (reversible), yaitu keluhan otot yang terjadi pada saat
otot menerima beban statis, tetapi keluhan tersebut akan segera hilang
apabila pembebanan dihentikan
2. Keluhan menetap (persistent), yaitu keluhan otot yang bersifat menetap
meskipun pembebanan kerja telah dihentikan, namun rasa sakit pada otot
masih terus berlanjut (Tarwaka, 2004).

Terdapat berbagai cara dalam melakukan evaluasi ergonomi untuk


mengetahui tingkat keluhan muskuloskeletal, salah satunya adalah melalui Nordic
Body Map (NBM). Corlett (1992) memaparkan bahwa melalui NBM maka dapat
diketahui bagian-bagian otot yang mengalami keluhan dengan tingkat keluhan
mulai dari rasa tidak nyaman (agak sakit) hingga sangat sakit. Dengan melihat dan
menganalisis peta tubuh (NBM), maka dapat diestimasi jenis dan tingkat keluhan
muskuloskeletal yang dirasakan oleh pekerja. Cara ini sangat sederhana, namun
memiliki keterbatasan, yaitu mengandung tingkat subjektivitas yang tinggi
(Tarwaka, 2004).

2.4.5 Tindakan Pengendalian Terhadap Keluhan MSDs


Berdasarkan

rekomendasi

dari

Occupational

Safety

and

Health

Administration (OSHA), tindakan ergonomik untuk mencegah adanya sumber


penyakit adalah melalui dua cara, yaitu rekayasa teknik melalui desain stasiun dan
alat kerja dan rekayasa manajemen melalui criteria dan organisasi kerja
(Grandjean, 1993). Berikut merupakan penjabaran dari dua cara tindakan
pengendalian yang telah disebutkan sebelumnya, antara lain:

Tinjauan faktor..., Ita Kurniawati, FKM UI, 2009

UnivUernsivitearssitIans
doInndeosnieasia

1. Rekayasa teknik
Rekayasa teknik pada umumnya dilakukan melalui pemilihan beberapa
alternatif sebagai berikut:

Eliminasi, yaitu menghilangkan sumber bahaya yang ada. Hal ini jarang
bisa dilakukan mengingat kondisi dan tuntutan pekerjaan yang
mengharuskan untuk menggunakan peralatan yang ada.

Substitusi, yaitu mengganti alat/bahan lama dengan yang baru yang aman,
menyempurnakan proses produksi dan menyempurnakan prosedur
penggunaan peralatan.

Partisi, yaitu melakukan pemisahan antara sumber bahaya dengan pekerja,


sebagai contoh memisahkan ruang mesin yang bergetar dengan ruang kerja
lainnya, pemasangan alat peredam getaran, dan sebagainya.

Ventilasi, yaitu menambah ventilasi untuk mengurangi risiko sakit,


misalnya akibat suhu udara yang terlalu panas.

2. Rekayasa manajemen
Rekayasa manajemen dapat dilakukan melalui tindakan-tindakan sebagai
berikut:

Pendidikan dan pelatihan


Melalui pendidikan dan pelatihan, pekerja menjadi lebih memahami
lingkungan dan alat kerja, sehingga diharapkan dapat melakukan
penyesuaian dalam melakukan upaya-upaya pencegahan terhadap risiko
sakit akibat kerja

Pengaturan waktu kerja dan istirahat yang seimbang


Pengaturan waktu kerja dan istirahat yang seimbang maksudnya adalah
disesuaikan dengan kondisi lingkungan kerja dan karakteristik pekerjaan,
sehingga dapat mencegah paparan yang berlebihan terhadap sumber
bahaya

Pengawasan yang intensif


Melalui pengawasan yang intensif dapat dilakukan pencegahan secara
lebih dini terhadap kemungkinan terjadinya risiko sakit akibat kerja
(Tarwaka, 2004).

ACGIH mengakui bahwa gangguan musculoskeletal merupakan masalah


kesehatan kerja yang penting yang dapat dikelola dengan memberlakukan
program ergonomi untuk kesehatan dan keselamatan kerja. Kejadian MSDs dapat
dikendalikan dengan program ergonomi yang terbaik yang elemen-elemennya
mencakup:

Rekognisi sumber masalah

Evaluasi pekerjaan yang diduga mungkin sebagai faktor risiko

Identifikasi dan evaluasi faktor-faktor yang menjadi penyebab

Melibatkan pekerja sebagai peserta yang memberi tahu secara aktif

Menyediakan perlindungan kesehatan yang tepat untuk pekerja yang


mengalami MSDs
Pengendalian program yang umum yang harus diimplementasikan ketika

risiko MSDs dikenali, meliputi:

Pendidikan bagi pekerja, supervisor, engineers, dan manajer

Melaporkan sejak awal gejala yang dialami oleh pekerja

Evaluasi dan pengawasan secara terus menerus data medis, kesehatan, dan
cidera
Pengendalian secara khusus pada pekerjaan yang langsung berhubungan

dengan MSDs mencakup engineering controls dan administrative controls seperti


yang akan dijelaskan berikut ini.
1. Diantara pengendalian-pengendalian engineering untuk mengeliminasi atau
mengurangi faktor-faktor risiko pada pekerjaan, berikut ini yang dapat
dipertimbangkan:

Menggunakan metode kerja, seperti analisis gerakan untuk mengeliminasi


pengerahan tenaga dan gerakan yang tidak seharusnya.

Menggunakan bantuan mesin untuk mengeliminasi atau mengurangi


pengerahan tenaga dalam menggunakan alat dan objek kerja

Menyeleksi

atau

mendesain

peralatan

untuk

mengurangi

beban,

menghemat waktu, dan memperbaiki postur

Menyediakan tempat kerja yang dapat disesuaikan dengan penggunaannya


untuk mengurangi jangkauan dan memperbaiki postur

Mengimplementasikan program pemeliharaan dan pengendalian kualitas


untuk mengurangi pergerakan dan beban yang tidak seharusnya,
khususnya yang berhubungan dengan pekerjaan yang tidak memiliki nilai
tambah

2.Pengendalian administratif untuk mengurangi risiko karena pengurangan waktu


pajanan, contohnya adalah:

Mengimplementasikan standar kerja yang memberi izin pekerja untuk


berhenti sejenak atau melakukan peregangan otot seperlunya, paling tidak
hal tersebut dilakukansatu kali dalam satu jam

Merealokasikan penempatan kerja, seperti memberlakukan rotasi pekerja,


sehingga pekerja tidak menghabiskan seluruh shift kerjanya dengan
melakukan atau mengerjakan tuntutan tugas atau pekerjaan yang tinggi
(ACGIH, 2007).

2.5 METODE PENILAIAN ERGONOMI


2.5.1 Ergonomic Assesment Survey (EASY)
Ergonomic Assesment Survey (EASY) adalah suatu metode yang
mengidentifikasi dan merangking kegiatan atau operasi dengan tingkatan
(frekuensi dan prioritas) dari faktor-faktor ergonomi. Hal ini merupakan simpulan
dari kesatuan alat penilaian risiko yaitu BRIEF Survey untuk pekerjaan dengan
data cidera / gangguan kesehatan dan feedback pekerja dengan memproses strategi
prioritas risiko. Metode EASY merupakan bagian pusat dari proses ergonomi.
EASY menyediakan metode untuk mengidentifikasi masalah yang merupakan
tujuan, sesuatu yang dapat dipercaya dan pendukung identifikasi prioritas. EASY
mengembangkan suatu pernyataan untuk fasilitas pada suatu kegiatan dengan
menentukan tingkat risiko tiap bagian tubuh. Rangking dari EASY akan
mengidentifikasi nilai total yang berkisar antara 1-7. Berdasarkan persetujuan
dengan sumber data sehingga pendekatan masalah lebih sistematis dan dengan
cara pendekatan yang logis (Humantech, 1989, 1995).

2.5.2 Baseline Risk Identification of Ergonomics Factors (BRIEF)


Baseline Risk Identification of Ergonomics Factors (BRIEF) adalah alat
penyaring awal menggunakan struktur dan bentuk sistem tingkatan untuk
mengidentifikasi penerimaan tiap tugas dalam suatu pekerjaan. BRIEF digunakan
untuk menentukan sembilan bagian tubuh yang dapat berisiko terhadap terjadinya
gangguan muskuloskeletal. Bagian tubuh yang dianalisa meliputi: tangan dan
pergelangan tangan kiri, siku kiri, bahu kiri, leher, punggung, tangan dan
pergelangan tangan kanan, siku kanan, bahu kanan, dan kaki. Penilaian pekerjaan
menggambarkan tinjauan ulang ergonomi secara mendalam dari ketiga penetapan
data ( sederhana, mudah dipahami, dan dapat dipercaya) dan juga yang paling
memberikan beban paling berat (Humantech, 1989, 1995)
Survei ini mengidentifikasi risiko-risiko yang berhubungan dengan postur,
tenaga, durasi, dan frekuensi ketika mengamati kesembilan bagian tubuh tersebut.
Penilaian risiko digunakan untuk menentukan tinggi, sedang, atau rendahnya
risiko untuk setiap bagian tubuh. Kelebihan BRIEF Survey, antara lain :
1. Dapat mengkaji hampir seluruh bagian tubuh (9 bagian tubuh).
2. Dapat menentukan risiko terhadap terjadinya CTD (Cumulative
Trauma Disorders).
3. Dapat menentukan bagian tubuh mana yang memiliki beban paling
berat.
4. Dapat mengidentifikasi awal peneyebab MSDs
5. Telah memenuhi persyaratan sebagai sebuah sistem analisa bahaya
MSDs yang diakui OSHA
6. Tidak membutuhkan seorang ahli ergonomi untuk melakukan penilaian
pekerjaan menggunakan BRIEF Survey
Kekurangan BRIEF Survey, antara lain :
1. Tidak dapat mengetahui total skor secara menyeluruh dari suatu
pekerjaan, karena skor yang dihitung berdasarkan bagian tubuh
yang dinilai
2. Banyak faktor yang harus dikaji
3. Membutuhkan waktu pengamatan yang lebih lama
4. tidak dapat digunakan untuk manual handling.

2.5.3 Quick Exposure Checklist (QEC)


Quick Exposure Checklist (QEC) secara cepat menilai pajanan risiko dari
Work-related Musculoskeletal Disorders (WMSDs). Metode ini dikembangkan
oleh Li dan Buckle (1999). QEC memiliki tingkat sensitivitas dan kegunaan yang
tinggi serta dapat diterima secara luas realibilitasnya. QEC dapat diaplikasikan
untuk jenis pekerjaan yang lebih luas. Dengan waktu pelatihan yang singkat,
penilaian dapat dilengkapi secara cepat untuk setiap tugas atau pekerjaan. QEC
memberikan evaluasi pada desain peralatan dan tempat kerja. QEC membantu
untuk mencegah berbagai macam WMSDs. Tujuan dari penggunaan QEC adalah :
1. Mengukur perubahan postur terhadap faktor risiko muskuloskeletal
sebelum dan sesudah intervensi ergonomi
2. Melibatkan kedua pihak yakni observer dan pekerja dalam
melaksanakan penilaian risiko dan mengidentifikasi kemungkinan
perubahan.
3. Mendorong peningkatan kualitas tempat kerja
4. Meningkatkan kepedulian dan kesadaran pada manjer, teknisi,
designers,

praktisi

K3,

dan

pekerja

mengenai

faktor

risiko

Musculoskeletal Disorders (MSDs) di tempat kerja.


5. Membandingkan pajanan antar karyawan dalam satu pekerjaan
ataupun antar karyawan pekerjaan berbeda.
Dalam penggunaannya QEC memiliki empat tahapan kerja yang meliputi :
1. Pengukuran oleh peneliti (Observers assessment)
Peneliti (observer) memiliki form isian tersendiri yang dapat diisi
melalui pengamatan kerja di lapangan. Sebagai alat bantu, dapat
menggunakan stopwatch guna menghitung durasi dan frekuensi kerja.
2. Pengukuran oleh pekerja (Workers assessment)
Seperti halnya peneliti (observer), pekerja pun memiliki form isian
sendiri, yang berisi pertanyaan seputar pekerjaan yang dilakukan.
3. Mengkalkulasi skor pajanan
Proses kalkulasi dapat dilakukan melalui dua cara, yakni manual
(dengan menjumlahkan skor pada lembar isian), ataupun dengan
program komputer

4. Consideration of action
QEC secara cepat dapat mengidentifikasikan tingkat pajanan dari
punggung, bahu/lengan tangan, pergelangan tangan dan leher. Hasil
dari metode ini juga merekomendasikan intervensi ergonomi yang
efektif untuk mengurangi tingkat pajanan
Metode QEC ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan dari
metode ini, antara lain adalah:
1. mencakup beberapa faktor risiko fisik terbesar terkait WMSDs
2. mempertimbangkan kebutuhan pengguna dan dapat digunakan oleh
peneliti yang belum berpengalaman
3. mempertimbangkan kombinasi dan interaksi berbagai macam faktor
risiko di tempat kerja
4. menyediakan tingkat sensitivitas dan kegunaan yang baik
5. realibilitas dapat diterima secara luas
6. mudah dipelajari dan cepat digunakan
Disamping berbagai keuntungan tersebut, metode ini juga memiliki
beberapa kekurangan, antara lain :
1. metode hanya berfokus pada faktor fisik di tempat kerja
2. hipotesis

skor

pajanan

yang

disarankan

pada

action

level

membutuhkan validasi
3. pelatihan dan praktek tambahan diperlukan oleh penggunan yang
belum berpengalaman untuk pengembangan reliabilitas pengukuran
(Stanton, dkk, 2005).

2.5.4 Rapid Upper Limb Assessment (RULA)


Rapid Upper Limb Assessment (RULA) adalah suatu metode penilaian
postur utuk menentukan risiko gangguan kesehatan yang disebabkan oleh tubuh
bagian atas. RULA merupakan metode analisis cepat dan sistematik dari risiko
postur terhadap pekerja. Analisis dapat dilakukan sebelum dan sesudah dilakukan
intervensi

untuk

menggambarkan

pengendalian yang telah dilaksanakan.

atau

memperlihatkan

efektivitas

dari

Tingkat risiko dihitung dalam skor 1 yang berarti memiliki tingkat risiko
rendah hingga skor 7 yang berarti memiliki tingkat risiko tinggi. Skor tersebut
disatukan ke dalam empat kategori action level yang mengindikasikan jangka
waktu yang tepat untuk dilakukannya tindakan pengendalian yang disarankan.
RULA biasanya digunakan pada pekerjaan di depan komputer, manufaktur atau
retail dimana pekerja duduk atau berdiri tanpa adanya pergerakan. Tujuan dari
RULA adalah sebagai berikut:
1. Mengukur risiko muskuloskeletal, biasanya sebagai bagian dari sebuah
investigasi ergonomi
2. Membandingkan beban muskuloskeletal yang terjadi dan memodifikasi desain
tempat kerja
3. Mengevaluasi hasil, seperti produktivitas atau kesesuaian peralatan
4. Mendidik pekerja terhadap risiko muskuloskeletal yang ada di berbagai postur
kerja yang berbeda
Prosedur menggunakan RULA terbagi ke dalam tiga langkah, yaitu:
1. Memilih postur yang akan dinilai
2. Postur dinilai dengan menggunakan lembar penilaian, diagram bagian tubuh,
dan tabel
3. Nilai diubah ke dalam kategori action level dari angka 1hingga 4 (Stanton,
dkk, 2005).
Seperti metode penilaian ergonomi yang lain, RULA juga memiliki
kelebihan. Kelebihan RULA adalah sebagai berikut:
1. Panduan cepat dan mudah untuk mendeterminasi keberadaan WMSDs
2. Efektif untuk menilai postur bagian atas
3. Sudah mencakup postur, tekanan, dan frekuensi
4. Dapat mengidentifikasi pada bagian tubuh mana yang berisiko paling besar
pada suatu pekerjaan
5. Score pada RULA dilengkapi dengan action level yang menggambarkan
prioritas tindakan.

Selain kelebihan yang telah disebutkan tersebut, RULA juga memiliki


kekurangan, antara lain:
1. Tidak menilai postur secara keseluruhan
2. Hanya efektif pada sedentary task
3. Beban (force) dan waktu (frekuensi & durasi) tidak dijelaskan secara spesifik
pada setiap bagian tubuh
4. Waktu untuk intervensi tidak dijelaskan secara jelas.

2.5.5 The Ovako Working Posture Analysis System (OWAS)


The Ovako Working Posture Analysis System (OWAS) merupakan suatu
metode yang digunakan dalam mengevaluasi postur tubuh pekerja selama bekerja,
dengan menganalisa berdasarkan klasifikasi sederhana dan sistematik dari postur
saat bekerja yang dikombinasikan dengan observasi dari kegiatan pekerjaan.
OWAS mengizinkan pengguna OWAS untuk mengestimasi berdasarkan beratnya
objek yang diangkat ataupun kekuatan yang digunakan saat bekerja. Dalam
perhitungannya, metode ini juga mengikutsertakan waktu observasi dan kaitannya
dengan kegiatan pekerjaan yang memungkinkan menghubungkan setiap postur
yang dilakukan dengan kegiatan pekerjaan yang mempengaruhinya (ILO, 1998).

Tabel 2.3 Kelebihan dan Kekurangan Metode OWAS

Kelebihan
Mudah digunakan

Hasil observasi bisa dibandingkan

durasi

dengan

kombinasi

benchmarks

untuk

menentukan prioritas intervensi

untuk

perbandingan

Tidak

waktu
ada

kerja

perbedaan

dari

postur

klasifikasi

antara lengan kiri dan kanan

Angka pada tiap bagian tubuh bias


digunakan

Kekurangan
Tidak adanya informasi mengenai

Tidak memperhitungkan mengenai

sebelum dan sesudah intervensi untuk

posisi siku, pergelangan tangan atau

mengevaluasi keefektifitasannya

tangan

Angka pada tiap bagian tubuh bias


digunakan untuk studi epidemiologi

2.5.6 Rapid Entire Body Assessment (REBA)


Rapid Entire Body Assessment (REBA) adalah cara penilaian tingkat
risiko dari repetitive motion dengan melihat pergerakan/ postur yang dilakukan
oleh pekerja. Pengukuran dilakukan menggunakan task analysis (tahapan kegiatan
kerja dari awal hingga akhir).
Sistem penilaian REBA digunakan untuk menghitung tingkat risiko yang
dapat terjadi sehubungan dengan pekerjaan yang dapat menyebabkan MSDs
dengan menampilkan serangkaian tabel-tabel untuk melakukan penilaian
berdasarkan postur-postur yang terjadi beberapa bagian tubuh dan melihat beban
atau tenaga yang dikeluarkan serta aktivitasnya. Perubahan nilai-nilai disediakan
untuk setiap bagian tubuh untuk memodifikasi nilai dasar jika terjadi perubahan
atau penambahan faktor risiko dari setiap pergerakan postur yang dilakukan.
Cara perhitungan adalah dengan memberi nilai pada setiap postur yang
terjadi, yang terdiri dari tiga group, yakni : pertama pada bagian leher, punggung,
dan kaki ; kedua pada bagian lengan atas, lengan bawah, dan pergelangan tangan ;
ketiga merupakan penggabungan antara bagian pertama dan bagian kedua. Bagian
pertama dijumlahkan dengan berat sedangkan bagian kedua dijumlahkan dengan
coupling, dan ketiga dijumlahkan dengan aktivitas yang dilakukan. Setelah
didapatkan hasilnya maka dapat ditentukan rekomendasi untuk tindakan
pengendalian, berdasarkan atas tingkat risiko yang terjadi (Stanton, dkk, 2005).

Tabel 2.4 REBA Action Levels


Skor REBA

Tingkat Risiko

Action Level

Tindakan

Diabaikan

Tidak perlu

2-3

Rendah

Mungkin perlu

4-7

Sedang

Perlu

8-10

Tinggi

Perlu segera

11-15

Sangat tinggi

Sekarang juga

Sumber: Stanton, dkk, 2005

Alasan penulis menggunakan metode REBA di dalam penelitian ini


dikarenakan metode ini menilai risiko pada seluruh bagian tubuh dan juga menilai
postur dinamis dan juga statis. Validitas dan reliabilitas metode REBA juga telah
Tinjauan faktor..., Ita Kurniawati, FKM UI, 2009

UnivUernsivitearssitIans
doInndeosniaesia

diuji, sehingga penelitian dapat diterima secara ilmiah. Selain itu, metode ini juga
tidak membutuhkan waktu yang lama dalam penelitiannya dan mudah untuk
digunakan. Metode ini tentu saja bukanlah metode yang paling baik digunakan,
namun mungkin lebih sesuai untuk penelitian ini. Berikut merupakan kelebihan
dan kekurangan dari metode ini.

Tabel 2.5 Kelebihan dan Kekurangan Metode REBA


Kelebihan

Kekurangan

Menilai risiko pada hampir semua bagian


tubuh

seperti

dada,

leher,

kaki,

pergelangan tangan, anggota gerak atas

Kerangka waktu untuk intervensi tidak


diberitahukan dengan jelas.

dan bawah

Belum menilai faktor risiko ergonomi


dari lingkungan.

Memisahkan penilaian untuk pergelangan

dan tidak ada analisis terhadap faktor

tangan, anggota gerak atas dan bawah


menjadi sisi kanan dan kiri

risiko ergonomi secara lengkap.

Menilai faktor risiko ergonomi

Hanya menganalisis faktor risiko postur,

Tidak ada analisis terhadap faktor risiko


individu dan organisasi.

lain,

seperti postur janggal, durasi, frekuensi,

Faktor risiko fisik lainnya tidak di ukur.

coupling, dan force.

Tidak

Dapat digunakan untuk menilai postur


statis, postur dinamis, postur tidak stabil

ada

pengukuran

durasi

dan

frekuensi tiap bagian tubuh secara lebih


spesifik.

yang selalu cepat.


Dapat menilai hampir semua aktivitas
tubuh.
Dapat digunakan untuk menilai lebih dari
satu spesifik task.
Sensitif

terhadap

risiko

MSDs pada

berbagai task.

Skor final REBA menunjukkan action


level dengan indikasi dari urgensi postur
yang dinilai.

Tinjauan faktor..., Ita Kurniawati, FKM UI, 2009

UnivUernsivitearssitIans
doInndeosnieasia

BAB 3
KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN DEFINISI
OPERASIONAL

3.1 Kerangka Teori


Secara garis besar menurut Bridger (2003), faktor-faktor risiko yang
terdapat pada pekerjaan terkait dengan risiko terjadinya MSDs, yaitu: postur,
frekuensi, durasi, dan beban.

Bagan 3.1 Faktor risiko MSDs

Postur
Frekuensi

Faktor
risiko
MSDs

Durasi

Beban

Tinjauan faktor..., Ita Kurniawati, FKM UI, 2009

42

UnivUernsivitearssitIans
doInndeosnieasia

43

3.2 Kerangka Konsep


Metode yang digunakan di dalam penelitian ini adalah REBA (Rapid
Entire Body Assesment). Dalam metode ini, terdapat beberapa faktor risiko
pekerjaan yang menjadi penelitian, yaitu: postur, beban, coupling, durasi, dan
frekuensi. Selain itu, digunakan Nordic Body Map dalam penelitian untuk melihat
gambaran tingkat keluhan terkait MSDs. Semua variabel-variabel tersebut
dituangkan dalam kerangka konsep sebagai berikut:
Bagan 3.2 Kerangka Konsep
Faktor Risiko
Pekerjaan Inspeksi
kain,
pembungkusan, dan
pengepakan
(mengangkat kain)
Postur Janggal
(leher, tulang
belakang,
kaki, lengan
atas, lengan
bawah,
pergelangan
tangan)
Gaya/beban
Coupling
Aktivitas
(Frekuensi

Tinjauan faktor..., Ita Kurniawati, FKM UI, 2009

Tingkat Risiko
Ergonomi
dengan Metode
REBA

Keluhan
MSDs dengan
Nordic Body
Map

UnivUernsivitearssitIans
doInndeosnieasia

3.3 Definisi Operasional


Berdasarkan kerangka konsep yang telah dibuat, maka definisi operasional dari setiap variabel adalah sebagai berikut:

Tabel 3.1 Definisi Operasional


Variabel
Tingkat risiko
ergonomi

Postur (leher,
batang
tubuh/tulang
Unive
Indonesia belakang,
kaki, lengan
atas kiri dan
kanan, lengan
bawah kiri
dan kanan,
pergelangan
tangan kiri
dan kanan)

Definisi Operasional
Hasil akhir dari proses penilaian
terhadap postur tubuh penggunaan
otot
dan
penggunaan
kekuatan/muatan
yang
telah
dilakukan responden mulai dari
sangat rendah, rendah, sedang,
tinggi, dan sangat tinggi.
Sikap atau posisi bagian tubuh (leher,
batang tubuh/tulang belakang, kaki,
lengan atas kiri dan kanan, lengan
bawah kiri dan kanan, serta
pergelangan tangan kiri dan kanan)
pekerja saat melakukan pekerjaan
pada masing-masing proses kerja
yang terdiri dari inspeksi kain,
pembungkusan,
pengepakan
(mengangkat kain).

Alat Ukur
REBA

Skala
Ordinal

REBA
Checklist,
Handycam,
Busur
derajat

Nominal

Skor 1
Skor 2-3
Skor 4-7
Skor 8-10
Skor 11-15

Hasil Ukur
: Sangat rendah
: Rendah
: Sedang
: Tinggi
: Sangat tinggi

Penilaian Posisi Leher:

Penilaian Posisi Tulang Belakang:

44

Tinjauan faktor..., Ita Kurniawati, FKM UI, 2009

Universitas Indonesia

Penilaian Posisi Kaki:

Penilaian Postur Lengan atas:

Penilaian Postur Lengan Bawah:

Penilaian Postur Pergelangan Tangan

Force/beban

Coupling

Gaya yang dibutuhkan untuk


aktivitas manual handling atau massa
beban yang diangkat.

Posisi genggaman tangan terhadap

REBA
checklis
t

Interval

Penilaian Gaya/Beban:
1. + 0, untuk beban 0-5 kg
2. + 1, untu beban 6-10 kg
3. +2 untuk beban > 10 kg

objek yang disentuh, diangkat atau


dipindahkan.

REBA
checklist

Tinjauan faktor..., Ita Kurniawati, FKM UI, 2009

Ordinal

Penilaian Coupling:
1. Good = +0
2. Fair = + 1

Universitas Indonesia

Unive
Indonesia

45

3. Poor = +2
4. Unacceptable = +3

Aktivitas
(durasi dan
frekuensi)

Lama anggota tubuh melakukan


pekerjaan dan pengulangan yang
terjadi

REBA
checklis
t timer

Nominal

Penilaian Aktivitas:
+1 jika postur janggal dilakukan lebih dari 1
menit
+1 jika postur janggal dilakukan > 4 kali per
menit

+1 jika perubahan signifikan dari postur


janggal sati ke postur janggal lainnya
dilakukan dalam rentan waktu yang
berdekatan
Keluhan MSDs

Keluhan yang berhubungan dengan


MSDs berupa rasa sakit atau nyeri,
kesemutan, kramp, panas, bengkak
mati rasa, pegal-pegal, dan bagian

Kuesioner
Nordic Body
Map (NBM)

Nominal

Ya
Tidak

tubuh yang terkena dampak

Tinjauan faktor..., Ita Kurniawati, FKM UI, 2009

Universitas Indonesia

Unive
Indonesia

46

Anda mungkin juga menyukai