BAB 1
PENDAHULUAN
Fungsi utama sistem respirasi adalah menjamin pertukaran O2 dan CO2. Bila
terjadi kegagalan pernapasan maka oksigen yang sampai ke jaringan akan mengalami
defisiensi akibatnya sel akan terganggu proses metabolismenya.
Gagal nafas adalah suatu sindrom dimana sistem respirasi gagal untuk melakukan
pertukaran gas yaitu oksigenasi dan pengeluaran karbondioksida. primernya dalam
pertukaran gas, yaitu oksigenasi darah arteri dan pembuangan karbondioksida. Ada
beberapa tingkatan dari gagal pernafasan, dan dapat terjadi secara akut atau secara kronik.
Kegagalan pernafasan kronik menyatakan gangguan fungsional jangka panjang yang
menetap selama beberapa hari atau bulan dan mencerminkan adanya proses patologis
yang mengarah kepada kegagalan dan proses komplikasi untuk menstabilkan keadaan.
Gas-gas dalam darah dapat sedikit abnormal atau dalam batas normal pada saat istirahat,
tetapi dalam keadaan di mana kebutuhan meningkat seperti pada sewaktu latihan maka
gas-gas darah dapat jauh dari batas normal. Peningkatan kerja pernafasan mengurangi
cadangan pernafasan dan pengurangan aktivitas fisik adalah dua mekanisme utama untuk
mengatasi insufisiensi pernafasan kronik.
Kegagalan pernafasan akut secara numerik didefinisikan bila PaO2 50 sampai
60 mmHg atau dengan kadar CO2 50 mmHg dalam keadaan istirahat pada ketinggian
permukaan laut. Alasan pemakaian definisi numerik berdasarkan gas-gas darah ini karena
batas antara insufisiensi pernafasan kronik dan kegagalan pernafasan tidak jelas dan tidak
bisa berdasarkan observasi klinis saja. Sebaliknya, harus diingat bahwa definisi
berdasarkan gas-gas darah ini tidak bersifat absolut. Makna dari angka-angka ini
tergantung dari riwayat penyakit terdahulu. Orang yang sebelumnya dalam keadaan sehat
yang kemudian mengalami kelainan gas-gas darah setelah mengalami kecelakaan hampir
tenggelam dapat diperkirakan akan jatuh ke dalam keadaan koma, sedangkan penderita
PPOM dapat melakukan kegiatan fisik dalam batas tertentu seperti dalam keadaaan gas
darah yang sama.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Susunan saraf pusat: obat sedative, opiate, setiap kondisi yang menyebabkan
koma, motor neuron disease.
Sistem
muscular:
myasthenia
gravis,
muscular
dystrophies,
residual
1. Gangguan difusi
2. Ventilation/perfusion mismatch, V/Q mismatch.
3. Right to left shunting of blood
4. Hipoventilasi alveolar
Tiga poin pertama mendominasi gagal napas hipoksemia , dan hipoventilasi
alveolar bertanggung jawab atas gagal napas hiperkapnia.
Lebih mudah mempertimbangkan gagal napas hipoksemia sebagai lung failure,
seperti yang terjadi pada pneumonia, interstisial lung disease and acute cardiac
pulmonary edema, dan gagal napas hiperkapnea sebagai gagal pompa otot pernapasan
dimana hipoventilasi alveolar lebih dominan. Secara jelas, antara gagal pompa otot
pernapasan dan gagal paru dapat terjadi pada pasien, seperti pasien asthma dengan
hiperkapnea sebagai progres dari proses hipoksemia.
(venous admixture). Jika darah vena yang bersaturasi rendah kembali ke paru, dan
tidak mendapatkan oksigen selama perjalanan di pembuluh darah paru, maka darah
yang keluar di arteri akan memiliki kandungan oksigen dan tekanan parsial oksigen
yang sama dengan darah vena sistemik. PO2 darah vena sistemik (PVO2) menentukan
batas bawah PaO2. Bila semua darah vena yang bersaturasi rendah melalui sirkulasi
paru dan mencapai keseimbangan dengan gas di rongga alveolar, maka
PO2 = PAO2. Maka PO2 alveolar (PAO2) menentukan batas atas PO2 arteri. Semua
nilai PO2 berada diantara PVO2 dan PAO2.
Hipoksemia arteri selalu merupakan akibat penurunan PO2 alveolar, atau
peningkatan jumlah darah vena bersaturasi rendah yang bercampur dengan darah
7
kapiler pulmonal (campuran vena). Pada banyak pasien dengan napas hipoksemik,
kedua mekanisme ini berperan.
c. Right-to-left shunt
Hipoksemia terjadi karena salah satu penyebab meningkatnya pencampuran
vena, yang dikenal sebagai pirau kanan ke kiri (right-to-left-shunt). Sebagian darah
vena sistemik tidak melalui alveolus, bercampur dengan darah yang berasal dari paru,
akibatnya adalah percampuran arterial dari darah vena sistemik dan darah kapiler paru
dengan PO2 diantara PAO2 dan PVO2. Pirau kanan ke kiri dapat terjadi karena:
1). Kolaps lengkap atau atelektasis salah satu paru atau lobus sedangkan aliran darah
dipertahankan.
2). Penyakit jantung congenital dengan defek septum.
3). ARDS, dimana dapat terjadi edema paru yang berat, atelektasis lokal, atau kolaps
alveolar sehingga terjadi pirau kanan ke kiri yang berat.
Petanda terjadinya pirau kanan ke kiri ialah: 1). Hipoksemia berat dalam pernapasan
udara ruangan. 2). Hanya sedikit peningkatan PaO2 jika diberikan tambahan oksigen.
3). Dibutuhkan FiO2 > 0,6 untuk mencapai PaO2 yang diinginkan. 4). PaO2 < 550
mmHg saat mendapat O2 100%. Jika PaO2 < 550 mmHg saat bernapas dengan O2
100% maka dikatakan terjadi pirau kanan ke kiri.
e.
mekanisme ini sering tidak dimengerti. Dalam keadaan normal, terdapat waktu yang
lebih dari cukup bagi darah vena yang melintasi kedua paru untuk mendapatkan
keseimbangan gas dengan alveolus. Walaupun jarang, dapat terjadi darah kapiler paru
mengalir terlalu cepat sehingga tidak cukup waktu bagi PO2 kapiler paru untuk
mengalami kesetimbangan dengan PO2 alveolus. Keterbatasan difusi akan
menyebabkan hipoksemia bila PAO2 sangat rendah sehingga difusi oksigen melalui
membrane alveolar-kapiler melambat atau jika waktu transit darah kapiler paru sangat
pendek. Beberapa keadaan dimana keterbatasan difusi untuk transfer oksigen
dianggap sebagai penyebab utama hipoksemia ialah: penyakit vaskuler paru;
pulmonary alveolar proteinosis, keadaan dimana ruang alveolar diisi cairan
mengandung protein dan lipid.
10
11
12
Gagal napas tipe hiperkapnia adalah kegagalan tubuh untuk mengeluarkan CO2,
pada umumnya disebabkan oleh kegagalan ventilasi yang ditandai dengan retensi
CO2 (peningkatan PaCO2 atau hiperkapnea) disertai dengan penurunan pH yang
abnormal. Karena CO2 meningkat dalam ruang alveolus, O2 tersisih di alveolus dan
PaO2 arterial menurun. Maka pada pasien biasanya didapatkan hiperkapnia dan
hipoksemia bersama-sama, kecuali bila udara inspirasi diberi tambahan oksigen. Paru
mungkin normal atau tidak pada pasien dengan gagal napas hiperkapnia, terutama
jika penyakit utama mengenai bagian non parenkim paru sepertti dinding dada, otot
pernapasan, atau batang otak. Kegagalan ventilasi biasanya disebabkan oleh
hipoventilasi karena kelainan ekstrapulmoner. Hiperkapnik yang terjadi karena
kelainan extrapulmoner dapat disebabkan karena penekanan dorongan pernapasan
sentral atau gangguan pada respon ventilasi. Contoh: penyakit yang menyebabkan
kelemahan otot pernapasan, penyakit sistem saraf pusat yang mengganggu
pengendalian ventilasi, kondisi yang mempengaruhi bentuk atau ukuran dinding
dada.
Gagal napas hiperkapnia terutama disebabkan oleh hipoventilasi alveolar.
Kegagalan ventilasi dapat terjadi bila PaCO2 meninggi dan pH kurang dari 7,35.
Kegagalan ventilasi terjadi bila minute ventilation berkurang secara tidak wajar
atau bila tidak dapat meningkat dalam usaha memberikan kompensasi bagi
peningkatan produksi CO2 atau pembentukan rongga tidak berfungsi pada pertukaran
gas (dead space).
penyakit dasar yang menyebabkan gagal napas. Jadi, dispnea, takipnea, hiperpnea,
bradipnea, dan hipopnea dapat berhubungan dengan gagal napas hiperkapnea.
Hiperkapnia
Ansietas
Somnolen
Takikardia
Letargi
Takipneu
Koma
Diaforesis
Sakit kepala
Aritmia
Edema papil
Asteriks
Bingung
Agitasi
Sianosis
Tremor
14
Kejang
Bicara kacau
Asidosis Laktat
Tabel 1. Manifestasi Klinis Hiperkapnia dan Hipoksemia
Dalam mementukan kondisi gagal nafas, indikator penting yang perlu diketahui
antara lain Indikator gagal nafas adalah frekuensi pernafasan , normal 16-20x/mnt. Jika
frekuensi pernafasan > 35 kali/ mnt maka akan menimbulkan kelelahan otot pernafasan
yang pada akhirnya mengantarkan pada gagal nafas, sehingga membutuhkan bantuan
ventilator. Indikator yang kedua adalah Kapasitas Vital menggunakan spirometer, Jika
hasilnya kurang dari 10-20 ml/kg maka hal tersebut merupakan tanda gagal nafas.
Untuk menunjang diagnosis pada kasus gagal nafas dapat dilakukan pemeriksaan
penunjang antara lain dengan pengukuran gas darah pada arteri, pengukuran saturasi
oksigen menggunakan pulse oxymeter, dan pengukuran PaO2 dan PaCO2. Selain itu dapat
dilakukan pemeriksaan hitung darah lengkap untuk mengetahui apakah ada anemia, yang
dapat menyebabkan hipoksia jaringan. Pemeriksaan lain dapat dilakukan untuk
menunjang diagnosis underlying disease (penyakit yang mendasarinya).
15
terhadap transportasi oksigen penting, dan anemia berat harus dikoreksi serta
curah jantung yang adekuat harus diperhatikan.
Jalan napas (airway). Jalan napas sangat penting untuk ventilasi, oksigenasi,
dan pemberian obat-obatan pernapasan, pada semua pasein dengan gangguan
pernapasan, harus dipikirkan dan diperiksa adanya obstruksi jalan napas.
Pertimbangan untuk insersi jalan napas artifisial, seperti EET berdasarkan
manfaat dan risiko jalan napas artifisial dibandingkan jalan napas alami.
Indikasi intubasi dan ventilasi mekanik ialah:
Secara fisiologis: hipoksemia menetap setelah pemberian oksigen, PCO2
> 55 mmHg dengan pH < 7,25, kapasitas vital < 15 mL/kg dengan
penyakit neuromuscular.
Secara klinis: perubahan status mental dengan gangguan proteksi jalan
napas, gangguan respirasi dengan ketidakstabilan hemodinamik, obstruksi
jalan napas atas (pertimbangkan trakeostomi jika obstruksi terletak di atas
trakea), secret yang banyak yang tidak dapat dikeluarkan oleh pasien dan
membutuhkan penyedotan.
Indikasi utama pemasangan ventilator adalah adanya gagal napas atau keadaan
klinis yang mengarah ke gagal napas. Kondisi yang megarah ke gagal napas
adalah termasuk hipoksemia yang refrakter, hiperkapnia akut, atau kombinasi
keduanya. Indikasi lainnya adalah pneumonia berat yang tetap hipoksemia
walaupun sudah diberikan oksigen dengan tekanan tinggi atau eksaserbasi PPOK
dimana PaCO2 nya meningkat mendadak dan menimbulkan asidosis.
Hipoksemia
PaO2 < 60 mmHg atau SatO2 < 90% pada FiO2 > 50%
Adanya
ketidakseimbangan
ventilasi-perfusi
(V/Q)
atau
16
Pada FiO2 yang rendah, tekanan barometric yang rendah, dan adanya
tksin tertentu (kebaakaran, ketinggian tertentu, keracunan CO)
Hiperkapnia
PaCO2 > 55 dengan asidosis atau peningkatan PaCO2 dari kedaan
awal yang disertai asidosis). Hal ini dapat terjadi pada:
Kelelahan.
Diuretika
Bronkodilator
Agonis beta adernegik: terbutalin, albuterol
Antikolinergik: diberikan kombinasi dengan agonis beta adrenegik
Fisioterapi dada
Tipe 2
18
Oksigen: jika ada hipoksemia, pada beberapa pasien diberikan secara hatihati.
Prognosis dari gagal nafas sangat ditentukan oleh faktor penyebab gagal nafas,
penyakit primer, berat dan lamanya gagal nafas, kecepatan penanganan, serta komplikasi
yang terjadi. Hasil akhir pada pasien gagal napas sangat tergantung dari etiologi/penyakit
yang mendasarinya, serta penanganan yang cepat dan adekuat. Jika penyakit tersebut
diterapi dengan benar maka hasilnya akan baik. Jika gagal napas berkembang dengan
perlahan maka dapat timbul hipertensi pulmoner, hal ini akan lebih memperberat keadaan
hipoksemi. Adanya penyakit ginjal dan infeksi paru akan memperburuk prognosis.
Kematian pada kasus gagal napas umumnya disebabkan karena kegagalan multiorgan.
Angka kematian pada gagal napas yang disertai kegagalan kardiovaskular, ginjal, atau
neurologis sebesar 55,4%, 57,4%, dan 48,1%. Sedangkan angka kematian pada gagal
napas dengan kegagalan satu organ sebesar 20,7%
19
DAFTAR PUSTAKA
1. Amin Z, Purwato J. 2014. Gagal Nafas Akut. Dalam : Aru W. Sudoyo (ed.) . Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. 6th ed. Jakarta : Interna Publishing. pp. 4090-7.
2. Bhandary R. Respiratory failure. Critical illness and intensive care; 2015.
3. Brown BC. Respiratory failure. Medicine; 2016
4. Hart N. Respiratory Failure. Elsevier: Medicine 36:5; 2008.p 243-5.
5. Perhimpunan dokter spesialis penyakit dalam Indonesia. Penatalaksanaan di bidang
ilmu penyakit dalam, pannduan praktis klinis. Jakarta: Interna publishing;2016.
20