Anda di halaman 1dari 15

Journal Reading

Posttraumatic Stress Symptoms and Mental Health Services Utilization in


Adolescents with Social Anxiety Disorder and Experiences of Victimization

SHARMADAVE SUBRAMANIAM
NIM. 1102005201
Pembimbing: dr. NI KETUT SRI DINIARI, SpKJ

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2016

Posttraumatic Stress Symptoms and Mental Health Services Utilization in


Adolescents with Social Anxiety Disorder and Experiences of Victimization
Malin Gren-Landell, Nikolas Aho, Elisabeth Carlsson, Annica Jones, Carl Gran Svedin
Abstrak Penemuan dari penelitian terbaru pada orang dewasa menunjukkan kemiripan antara
gangguan kecemasan sosial dengan stres pasca trauma dalam bentuk ingatan yang berulang serta
gambaran yang mengganggu dan meresahkan dari kejadian terdahulu yang dihindari.
Selanjutnya, model pengobatan pada orang dewasa telah sukses dikembangkan dengan
menggunakan pengetahuan transdiagnosis pada gejala stres pasca trauma. Selama ini belum ada
penelitian tentang hal tersebut pada remaja. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
hubungan antara gangguan stres pasca trauma dengan gangguan kecemasan sosial pada remaja di
Swedia. Tujuan kedua adalah untuk mengetahui hubungan antara penggunaan layanan kesehatan
mental dengan kondisi tersebut. Sebanyak 5.960 siswa sekolah menengah menjadi sampel
penelitian dan dilaporkan memiliki gangguan kecemasan sosial, mengalami viktimisasi dalam
hidupnya, gejala stres pasca trauma dan menggunakan layanan kesehatan mental. Remaja yang
memiliki kecemasan sosial memiliki level gejala stres pasca trauma lebih tinggi yang signifikan
daripada remaja yang tidak memiliki gangguan kecemasan sosial. Perbedaan ini telah terlihat,
baik pada subyek yang pernah menjadi korban maupun tidak. Hubungan dengan badan konseling
sekolah merupakan jenis layanan kesehatan mental terbanyak yang digunakan oleh subyek
dengan gangguan kecemasan sosial dan dengan subyek yang memiliki peningkatan gejala stres
pasca trauma. Dalam prediksi dari kontak dengan klinik psikiatri anak dan remaja, Odd Ratio
yang signifikan ditemukan pada kondisi gangguan kecemasan sosial dan peningkatan gejala stres
pasca trauma (OR= 4.88, 95 % CI = 3.53-6.73) tetapi hal ini hanya ditemukan pada gangguan
kecemasan sosial. Direkomendasikan pelaksanaan skrining gejala stres pasca trauma pada remaja
dengan gangguan kecemasan sosial. Layanan badan konseling di sekolah juga berperan penting
dalam mendeteksi dan membantu remaja dengan gangguan kecemasan sosial dan peningkatan
gejala stres pasca trauma. Studi klinis gangguan kecemasan sosial dan gangguan stres pasca
trauma pada remaja dapat membantu memodifikasi model pengobatan pada gangguan
kecemasan sosial.
Kata Kunci Gangguan Kecemasan Sosial. Viktimisasi. Remaja. Stres Pasca Trauma.
Penggunaan Layanan Kesehatan.

Pendahuluan
Gangguan kecemasan sosial adalah gangguan mental yang cukup sering dijumpai pada
remaja. Di antara faktor risiko yang lain, beberapa jenis pengalaman hidup yang buruk
berkontribusi pada serangan dan perawatan gangguan kecemasan sosial. Penelitian secara
retrospektif menunjukkan peningkatan pengasuhan anak yang salah, kekerasan fisik, dan
kekerasan seksual pada orang dewasa dengan gangguan kecemasan sosial dibandingkan orang
dengan kecemasan bukan sosial. Penelitian yang dilaksanakan pada anak-anak dan remaja
menunjukkan bahwa viktimisasi memiliki hubungan dengan gangguan kecemasan menyeluruh.
Studi pada bentuk-bentuk viktimisasi dan gangguan cemas sosial pada remaja masih jarang
dilakukan.
Gangguan stres pasca trauma dianggap sebagai efek dari viktimisasi pada kesehatan
mental. Gangguan kecemasan sosial terjadi seiringan dengan gangguan stres pasca trauma,
seperti yang telah dilaporkan, terutama pada veteran perang. Hubungan antara gangguan
kecemasan sosial dan gangguan stres pasca trauma kurang baik dipelajari pada anak-anak dan
remaja. Namun, Pynoos, et al menekankan model dalam paradigma psikopatologi perkembangan
dimana gangguan kecemasan anak dan reaksi terhadap peristiwa traumatik saling berinteraksi
dalam eksaserbasi gejala stres pasca trauma. Contohnya, perilaku menghindar sebagai contoh
khas gangguan kecemasan sosial. Ada dukungan bahwa gangguan kecemasan, terutama
gangguan kecemasan sosial, sebagai prediktor signifikan dari gejala stres pasca trauma dan
gangguan stres pasca trauma. Copeland melaporkan peningkatan risiko mengalami peristiwa
traumatis pada individu dengan gangguan kecemasan sosial dan gangguan tersebut diprediksi
sebagai gangguan stres pasca trauma tetapi tidak sebaliknya.
Diagnosis gangguan stres pasca trauma membutuhkan paparan peristiwa yang
mengancam kehidupan yang merupakan kriteria A1. Menariknya, ada temuan bahwa individu
dengan fobia sosial menganggap kegiatan sosial lebih meresahkan daripada hal yang
membahayakan jiwa pada gangguan stres pasca trauma kriteria A1. Erwin, et al menemukan
bahwa individu dengan gangguan kecemasan sosial bereaksi dengan gejala stres pasca trauma
seperti rasa mengalami kembali, menghindari dan merasa tertekan dalam kaitannya dengan
kenangan peristiwa stres sosial. Temuan serupa dilaporkan oleh Carleton, et al dimana orang

yang telah mengalami peristiwa sosial negatif melaporkan tingkat kecemasan sosial yang lebih
tinggi dan gejala stres pasca trauma daripada mereka yang hanya melaporkan peristiwa kriteria
A1. Bahkan, bimbingan teoritis untuk memahami dan mengobati gangguan kecemasan sosial
dapat dilakukan dengan mempelajari mekanisme bersama antara gangguan kecemasan sosial dan
gangguan stres pasca trauma. Hal yang serupa dari kedua kondisi ini adalah terjadinya gambaran
emosional mengganggu dan merasa tertekan serta berupaya untuk menghindari. Penelitian pada
gambaran, contohnya, gambaran mental, telah memberi kontribusi pada pengembangan
intervensi yang efektif untuk kedua kondisi pada orang dewasa. Pengubahan gambaran telah
menunjukkan hasil yang menjanjikan terutama dalam kasus kecemasan sosial. Namun, tidak ada
penelitian yang menambahkan komponen ini dalam pengobatan untuk gangguan sosial pada
remaja.
Tidak hanya pengembangan model pengobatan yang menjadi perhatian pada temuan
empiris ini tapi juga karena rendahnya tingkat pemanfaatan kesehatan mental pada gangguan
kecemasan sosial. Tingkat bantuan pencarian dan pemanfaatan kesehatan mental pada anak-anak
dan remaja dengan gangguan stres pasca trauma kurang diketahui dibandingkan pada gangguan
kecemasan sosial. Pada orang dewasa, korelasi yang kuat telah dilaporkan antara tingkat
keparahan gejala stres pasca trauma dan kemungkinan mencari bantuan dari seorang profesional
kesehatan mental. Meskipun ada panduan teoritis kecil pada hambatan dan fasilitator dalam
mencari bantuan pada gangguan kecemasan sosial dan gangguan stres pasca trauma.
Kemungkinan, kondisi gangguan kecemasan dianggap sebagai sifat dan temperamen tidak
berubah yang tidak mendukung orang untuk mencari bantuan. Gejala seperti mengalami kembali
di sisi lain mungkin menakutkan dan menyebabkan hubungan dengan bantuan profesional
sebagai pengalaman meresahkan pada remaja dan berhubungan dengan pencarian bantuan.
Sebaliknya, ketakutan dianggap gila ketika menceritakan tentang gejala-gejala pasca trauma
mungkin dapat menjadi penghalang. Diperlukan studi tentang prediktor untuk mempelajari
pemanfaatan fasilitator kesehatan mental pada gangguan kecemasan sosial dan gangguan stres
pasca trauma.

Tujuan
Menurut Erwin et al, kegiatan sosial dianggap lebih meresahkan daripada peristiwa
gangguan stres pasca trauma kriteria 1A, kami memilih untuk meneliti gejala stres pasca trauma
pada penelitian ini. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi laporan gejala
stres pasca trauma pada remaja dengan gangguan kecemasan sosial. Penelitian ini merupakan
bagian dari survei prevalensi viktimisasi pada remaja Swedia. Kami berharap bahwa remaja yang
melaporkan gangguan kecemasan sosial akan menunjukkan tingkat viktimisasi dan gejala stres
pasca trauma yang lebih tinggi daripada mereka yang tidak melaporkan gangguan kecemasan
sosial. Karena penelitian ini menggunakan desain cross sectional, kami juga mengharapkan
hubungan kebalikan dari gangguan kecemasan sosial pada mereka yang melaporkan peningkatan
gejala stres pasca trauma. Tujuan kedua adalah untuk menggambarkan penggunaan layanan
kesehatan mental pada subyek dengan gangguan kecemasan sosial dan pada mereka dengan
peningkatan gejala stres pasca trauma. Analisis dilakukan secara terpisah untuk pria dan wanita
karena perbedaan jenis kelamin terdapat pada prevalensi gangguan kecemasan sosial dan stres
pasca trauma serta pemanfaatan layanan kesehatan mental untuk gangguan kecemasan.

Metode
Peserta
Untuk mendapatkan sampel yang representatif, pengambilan sampel dilakukan dengan
mengacu pada sebuah divisi dari kota Swedia berdasarkan karakteristik struktural termasuk
ukuran populasi, pola komuter dan struktur ekonomi. Lima persen dari seluruh siswa Swedia di
tahun kedua sekolah menengah adalah tujuan dalam prosedur sampling. Kota dengan ukuran
yang berbeda dipilih untuk mengontrol potensi efek perancu pada kota dengan ukuran: besar
(>200.000 jiwa), menengah (50-200,000 penduduk) dan kota kecil <25.000 penduduk.
Secara total, siswa dari 51 sekolah menengah berpartisipasi. Ada 5.960 (49,6%
perempuan, 50,4% laki-laki) dari 7.849 siswa yang layak yang berpartisipasi, yang berarti tingkat
tanggapan 75,9%. Para peserta berusia 16-20 tahun (rata-rata = 17.3, standar deviasi = 0,64).
Pada 16,8% siswa, kedua orang tua lahir di luar Swedia. Sampel dianggap mewakili populasi
ketika membandingkan data pada etnis dan jenis kelamin dengan statistik nasional. Dan juga,

tingkat ayah pengangguran (4,7%) sama dengan tingkat di Swedia pada waktu survei. Proporsi
remaja yang tinggal di sebuah kota kecil adalah 17,1% (n = 1017), 48% (n = 2.858) dalam kota
berukuran menengah dan 35% (n = 2.085) dalam kota besar.

Prosedur
Partisipasi dalam penelitian ini sukarela dan anonim. Para siswa diberi tahu tentang hal
ini sebelum survei berlangsung dengan surat melalui guru dan melalui keterangan tertulis di
dalam kelas pada saat survei. Siswa yang ingin berpartisipasi diinformasikan untuk berada di
ruangan dan bersiap untuk disurvei dan diberitahukan bahwa mereka bisa membatalkan
keikutsertaan setiap saat. Partisipan yang aktif dianggap telah memberikan persetujuan.
Selanjutnya, siswa diberi petunjuk tentang dimana bisa mendapatkan konseling jika partisipan
merasa tertekan. Protokol penelitian telah disetujui oleh komite etika di Universitas Linkping.
Kuesioner terkomputerisasi (melalui portable PC atau web browser) dan siswa
menyelesaikan ini selama waktu sekolah. Manajer penelitian ini hadir selama survei untuk
menjawab pertanyaan. Semua peserta diminta untuk menanggapi semua pertanyaan dan
pertanyaan tersebut tidak dapat dilewati. Para peserta menerima voucher tiket film setelah
mereka menyelesaikan atau membatalkan survei.

Perhitungan
The Social Phobia Screening Questionnaire for Children (SPSQ-C)
SPSQ-C adalah versi modifikasi dari Social Phobia Screening Questionnaire (SPSQ),
yang telah diadaptasi dan divalidasi untuk digunakan pada anak-anak dan remaja. Sebuah
psikometri evaluasi SPSQ-C menunjukkan reliabilitas test-retest r = 0.60. Bila dibandingkan
dengan wawancara diagnostik terstruktur didapatkan spesifisitas 86% dan sensitivitas 71%. The
SPSQ-C didasarkan pada kriteria diagnostik gangguan kecemasan sosial, juga disebut fobia
sosial dalam DSM-IV. Delapan pertanyaan mencakup delapan situasi sosial berpotensi fobia
seperti, ''berbicara di depan kelas'', ''mengangkat tangan selama pelajaran'' dan ''melihat mata
lawan bicara selama percakapan''. Pada pertanyaan awal, tingkat ketakutan peserta dari masing-

masing delapan situasi berada pada skala mulai dari 1 (Tidak takut) sampai 3 (Ditandai takut).
Poin ini merupakan kriteria A. Lima pertanyaan selanjutnya meliputi kriteria A dari DSM-IV
(takut bahwa orang lain akan melihat bahwa saya gugup), kriteria B (situasi ini seperti merasa
tertekan) dan kriteria D (mencoba untuk menghindari situasi ini) untuk satu atau lebih situasi
fobia. Karena sampel berusia di bawah 18 tahun, C-kriteria menyadari apakah rasa takut
berlebihan atau tidak masuk akal, tidak harus diisi. pertanyaan ketujuh menilai kriteria E dengan
tiga pertanyaan ya/tidak, yaitu, siswa ditanya apakah ketakutan sosial bersifat sedemikian rupa
sehingga sangat mengganggu aktivitasnya di sekolah, selama waktu luang atau ketika berada
bersama rekan-rekan. Pertanyaan kedelapan dan terakhir adalah F-kriteria dengan durasi 6 bulan
(pertanyaan ya/tidak). Dalam penelitian ini, konsistensi internal diukur untuk pertanyaan pertama
meliputi delapan situasi fobia dan alpha = 0.83.
Dalam rangka memenuhi diagnosis gangguan kecemasan sosial berdasarkan tanggapan
pada SPSQ-C, contohnya kasus kemungkinan gangguan kecemasan sosial, responden harus
menilai setidaknya salah satu dari delapan situasi potensi fobia sebagai ''ditandai ketakutan''.
Situasi khusus ini harus konsisten disahkan dalam pertanyaan-pertanyaan diagnostik meliputi
kriteria fobia sosial. Dengan demikian, ukuran kategoris diterapkan. Cut-point yang digunakan
didasarkan pada pemenuhan kriteria DSM-IV gangguan kecemasan sosial atau tidak.
The Juvenile Victimization Questionnaire (JVQ)
JVQ terdiri dari 34 pertanyaan skrining pada kenangan buruk terhadap orang-orang muda
dan meliputi lima kelompok: kejahatan konvensional (misalnya, perampokan, vandalisme,
penyerangan dengan atau tanpa senjata); penganiayaan (misalnya, kekerasan fisik atau psikologis
dengan pengasuh dan penelantaran); viktimisasi rekan atau saudara (misalnya, serangan dari
geng atau dari saudara, penyerangan bias, intimidasi fisik atau emosional); korban seksual
(misalnya, kekerasan oleh orang dewasa yang diketahui atau yang tidak diketahui, kekerasan
seksual non-spesifik, pemerkosaan, berkedip/paparan seksual, pelecehan seksual secara verbal)
dan menyaksikan viktimisasi (misalnya, kekerasan dalam rumah tangga, perampokan keluarga
rumah tangga, pembunuhan anggota keluarga atau teman, paparan pertempuran atau konflik
etnis). Dalam penelitian ini = 0,83 untuk semua poin, kejahatan konvensional: = 0,66, korban
seksual: = 0.64, penganiayaan: = 0,55, viktimisasi oleh rekan/saudara: = 0,52 dan untuk
menyaksikan viktimisasi = 0.51.

JVQ dapat digunakan secara mandiri dari usia 12 tahun, sesuai dengan penelitian ini.
Format penggunaan mandiri telah terbukti memiliki reliabilitas dan validitas konstruk test-retest
yang baik. Para peserta melaporkan viktimisasi selama 1 tahun sebelum, dan viktimisasi pada
tahun-tahun sebelumnya. Dalam analisis data, diciptakan skala seumur hidup yang
menyimpulkan poin-poin dari 1 tahun sebelum dan selama tahun-tahun sebelumnya. Hal ini
dibuat sesuai dengan diagnosis kriteria gangguan kecemasan sosial yang membutuhkan rentang
waktu 6 bulan dan berdasarkan data pada tahun-tahun sebelumnya.
Sebagian dari JVQ dibentuk berdasarkan permasalahan legal dan hukum di Amerika.
Pada penelitian ini, adaptasi dilakukan menyesuaikan dengan versi Swedia, menghapuskan poin
ke 25 (Apakah beberapa tahun terakhir anda berhubungan seksual dengan orang berumur 18
tahun ke atas, baik atas kemauan sendiri maupun tidak?). Hal ini dilakukan karena perbedaan
sistem legal Swedia dan Amerika membuat hal tersebut tidak relevan di kondisi Swedia. Hal ini
berarti, penelitian ini menggunakan 33 poin pertanyaan. Karena permasalahan teknis, terdapat
pengurangan poin pertanyaan 3 dan 5 dalam subskala kejahatan konvensional. Perbandingan
data pada kelompok yang mengalami pengurangan poin dan sampel total tidak menunjukkan
perbedaan yang signifikan berdasarkan prevalensi gangguan kecemasan sosial, gejala stres pasca
trauma atau penggunaan fasilitas kesehatan mental, tetapi terdapat proporsi perempuan yang
lebih tinggi dari laki-laki secara signifikan pada kelompok yang mengalami pengurangan poin.
(X2= 21,79, df = 1, p < 0,001) dibandingkan dengan sampel total.
Responden dinilai berdasarkan pengalaman, dan jumlah dari pengalaman (contoh: 1 kali,
2-5 kali, 6-10 kali, >10 kali, atau tidak sama sekali {0}). Untuk menganalisis data, tiap poin
dibagi ke dalam kelompok bukan viktimisasi dan kelompok viktimisasi. Total angka dari tiap
bagian diperoleh untuk skala dan subskala keseluruhan.
The Trauma Symptom Checklist for Children (TSCC)
TSCC adalah kuesioner yang dilaporkan secara mandiri untuk mengukur trauma yang
berhubungan dengan gejala pada anak dan remaja. Data psikometrik dilaporkan pada populasi
remaja Swedia. Kuesioner tersebut terdiri dari 54 pertanyaan yang dibagi ke dalam enam
subskala yaitu: Cemas, Depresi, Stres Pasca Trauma, Marah, Perhatian Seksual dan disosiasi.
Pada penelitian ini, hanya data dari skala Stres Pasca Trauma yang digunakan. Pertanyaan pada
skala tersebut termasuk mimpi buruk, mengingat hal yang menakutkan, kesulitan menghentikan

ingatan yang merusak tentang hal yang buruk, ide menakutkan atau ingatan yang muncul dan
lain-lain. Setiap pertanyaan dijawab dengan jawaban alternatif : tidak pernah, sekali-sekali,
sering, dan hampir selalu. Reliabilitas internal pada skala stres pasca trama pada penelitian ini
adalah = 0.86.
Variabel demografi sosial
Rentang dari data demografi sosial dikumpulkan tetapi hanya data umur, jenis kelamin,
asal kelahiran (contoh: Swedia atau bukan Swedia) dan data penduduk.
Penggunaan fasilitas mental
Didaftarkan pertanyaan mengenai penggunaan fasilitas mental. Hal ini dijawab dengan
iya atau tidak. Termasuk beberapa pertanyaan ini: Apakah kamu pernah berhubungan
dengan ...psikolog sekolah, badan konseling sekolah, pekerja sosial, psikiatri anak dan remaja,
komunitas hak asasi anak, hal lain yang bukan alternatif di atas. Para responden tidak
ditanyakan mengenai mengapa, kapan dan berapa kali berhubungan dengan layanan tersebut.
Mereka juga ditanyakan apakah mereka pernah menggunakan pengobatan untuk depresi, cemas
atau gangguan tidur maupun masalah hiperaktivitas. Data yang menyatakan pekerja sosial dan
komunitas hak asasi anak tidak termasuk dalam penelitian ini.
Analisis Data
Variabel demografi dibandingkan antara sampel yang memiliki gangguan kecemasan
sosial dan yang tidak menggunakan tabel silang dan statistik Chi-Square. Kelompok umur paling
tua terdiri dari sampel yang berumur 19 tahun dan 20 tahun dan mereka dengan gangguan
kecemasan sosial berjumlah terlalu sedikit untuk penggunaan tabel silang (n=3). Perbedaan
kelompok antara subyek dengan gangguan kecemasan sosial dan yang tidak memiliki gangguan
kecemasan sosial yang dikarenakan viktimisasi dan gejala stres pasca trauma di analisis secara
tes t independen. Rekomendasi nilai cut-off adalah 13 untuk wanita dan 10 untuk pria, dan nilai
ini digunakan untuk mengidentifikasi subyek dengan peningkatan gejala stres pasca trauma.
Penurunan logistik biner digunakan untuk memprediksi penggunaan layanan kesehatan mental
dari variabel independen: hanya gangguan kecemasan sosial, hanya peningkatan gejala stres
pasca trauma, gangguan kecemasan sosial dan peningkatan gejala stres pasca trauma yang

komorbid, mengontrol variabel demografi sosial. Seluruh analisis statistik dilakukan dengan
software SPSS 18.0.
Hasil
Data demografi sosial
Subyek yang melaporkan gangguan kecemasan sosial secara mandiri sebesar 10,2% (n =
605) dari total kelompok (n = 5.960). Perbedaan jenis kelamin secara signifikan terlihat lebih
banyak wanita daripada pria melaporkan gangguan kecemasan sosial. Peningkatan nilai
prevalensi meningkat dengan umur. Prevalensi gangguan kecemasan sosial dibedakan secara
signifikan berdasarkan etnisitas dengan peningkatan nilai pada subyek yang lahir di Swedia.
Peningkatan nilai juga terlihat pada remaja baik pada kelompok kota kecil dan menengah
dibandingkan kelompok kota besar.
Peningkatan gejala stres pasca trauma, contohnya subyek yang di atas nilai cut-off pada
skala stres pasca trauma di TSCC, ditemukan 14,8% (883) dan peningkatan yang signifikan
terlihat pada wanita dibandingkan pria dengan subyek yang tidak lahir di Swedia dibandingkan
dengan subyek yang lahir di Swedia dari subyek yang berumur 19-20 tahun dibandingkan
dengan remaja yang lebih muda.
Gangguan kecemasan sosial dan peningkatan gejala stres pasca trauma
Dalam mempelajari kondisi ini secara terpisah, laporan gangguan kecemasan sosial lebih
banyak (n = 410) daripada yang melaporkan kondisi keduanya (n = 195) dan peningkatan gejala
stres pasca trauma merupakan yang paling banyak dilaporkan (n = 688).
Peningkatan gejala stres pasca trauma sebesar 32,2% (n = 195) pada remaja yang
melaporkan gangguan kecemasan sosial dibandingkan dengan mereka yang tidak melaporkan
gangguan kecemasan sosial (n = 688). Pada kelompok gangguan kecemasan sosial, tidak ada
perbedaan jenis kelamin untuk peningkatan klinis dari gejala stres pasca trauma. Level klinis dari
gejala stres pasca trauma dilaporkan sebesar 32,9% (n = 57) pada pria dan 31,9% (n = 138) pada
wanita dengan gangguan kecemasan sosial.
Relasi kebalikan menunjukkan bahwa 22,1% remaja dengan gangguan kecemasan sosial
memiliki peningkatan gejala stres pasca trauma (14,3% pada pria; 28,5% pada wanita)

Penggunaan layanan kesehatan mental


Layanan kesehatan yang paling sering digunakan adalah badan konseling sekolah yaitu
sebesar 26,7% dari sampel total. Peningkatan tingkat penggunaan yang signifikan pada segala
bentuk layanan terlihat pada mereka yang melaporkan gangguan kecemasan sosial secara
mandiri dibandingkan dengan mereka yang tidak. Contohnya, pada subyek dengan gangguan
kecemasan sosial, sebesar 18,3% (n = 111) pernah berhubungan dengan klinik psikiatri anak dan
remaja dalam hidupnya dibandingkan dengan 9,1% subyek yang tidak memiliki gangguan
kecemasan sosial (X2 = 51,30, df = 1, p < 0,001). Meskipun demikian, ketika membandingkan
kelompok subyek dengan hanya gangguan kecemasan sosial dan tidak mengalami peningkatan
gejala stres pasca trauma, terlihat tingkat penggunaan layanan kesehatan mental yang lebih
rendah pada kelompok dengan hanya memiliki gangguan kecemasan sosial dibandingkan dengan
kelompok yang mengalami peningkatan gejala stres pasca trauma atau pada kedua kondisi
tersebut. Perbedaan jenis kelamin yang signifikan terlihat pada semua layanan kesehatan kecuali
hubungan dengan psikolog sekolah pada grup dengan peningkatan gejala stres pasca trauma
tetapi tidak ada perbedaan yang signifikan untuk segala layanan terlihat pada kelompok pada
dengan kedua kondisi tersebut.
Odd ratio tertinggi dalam hubungan dengan psikiatri anak dan remaja terlihat pada
kelompok gabungan dari gangguan kecemasan sosial dan peningkatan gejala stres pasca trauma
(OR = 4,88; 95% CI = 3,53-6,73; p < 0,001), diikuti dengan kelompok dengan peningkatan
gejala stres pasca trauma dan bukan gangguan kecemasan sosial (OR = 2,50; 95% CI = 2,003,14; p < 0,001). Tetapi, tidak ada prediksi yang signifikan dari kelompok subyek dengan
gangguan kecemasan sosial yang tidak mengalami peningkatan gejala stres pasca trauma (OR =
1,26; 95% CI = 0,91-1,74). Hubungan yang signifikan juga ditemukan pada penggunaan layanan
psikiatri anak dan remaja dan jenis kelamin perempuan (OR = 2,05; 95% CI = 1,70-2,45),
subyek yang lahir di Swedia (OR = 1,68; 95% CI = 1,16-2,42) dan tinggal di kota kecil (OR =
1,33; 95% CI = 1,02-1,73).
Diskusi
Pada beberapa tahun terakhir, hubungan variasi antara gangguan kecemasan sosial
dengan gejala stres pasca trauma telah di teliti pada populasi dewasa. Namun, hingga sekarang
penelitian pada gangguan kecemasan sosial dan hubungannya dengan viktimisasi dan gejala stres

pasca trauma pada remaja sulit ditemukan. Hasil berikut ini merepresentasikan penemuan awal
dan dapat disimpulkan menjadi berikut ini.
Pertama, peningkatan viktimisasi dalam hidup secara signifikan ditemukan pada remaja
dengan fobia sosial dibandingkan dengan yang tidak. Selain itu, pengalaman sosial yang
meresahkan tidak dihitung dalam penelitian ini dan tingkat potensi kejadian trauma tersebut
bahkan mungkin lebih tinggi. Secara teori dan penemuan empiris mengesankan peningkatan
risiko mengalami kejadian trauma dan bereaksi dengan gangguan stres pasca trauma pada
individu dengan fobia seperti gangguan kecemasan sosial.
Kedua, peningkatan level gejala stres pasca trauma yang signifikan ditemukan pada
dewasa dengan fobia sosial dibandingkan dengan yang tidak. Sepertiga laki-laki dengan
gangguan kecemasan sosial dan proporsi wanita yang sama melaporkan level klinis gejala stres
pasca trauma. Sesuai dengan ekspektasi, hubungan kebalikan juga ditemukan pada perbedaan
jenis kelamin. Melihat hubungan terbalik tersebut, jumlah gangguan kecemasan sosial yang lebih
rendah ditemukan di antara laki-laki dan perempuan, yang dalam hal ini dapat dijelaskan dengan
penurunan prevalensi gangguan kecemasan sosial antara laki-laki secara keseluruhan. Analisis
dari hubungan waktu pada gangguan kecemasan sosial didahului gejala stres pasca trauma
ataupun kebalikannya tidak memungkinkan untuk dilakukan dalam penelitian ini. Penemuan ini
mengindikasi penggunaan skrining gangguan kecemasan sosial pada kasus gejala stres pasca
trauma dan sebaliknya.
Dalam penelitian ini, seluruh data dianalisis berdasarkan jenis kelamin. Pada kelompok
gangguan kecemasan sosial ditemukan tingkat viktimisasi yang sama pada kedua jenis kelamin
tetapi ditemukan peningkatan yang signifikan pada gejala stres pasca trauma. Penelitian lain
menunjukkan bahwa perempuan bereaksi dengan gejala yang lebih banyak dalam hubungan
dengan trauma dan perempuan lebih banyak terpapar berbagai bentuk viktimisasi seperti
kekerasan seksual, yang menyebabkan lebih banyak gejala. Kebalikan dari hasil tersebut, pada
penelitian ini tidak ditemukan perbedaan pada jenis kelamin untuk peningkatan gejala stres pasca
trauma dalam kelompok gangguan kecemasan sosial. Dengan demikian, perhatian terhadap
viktimisasi dan gejala stres pasca trauma pada laki-laki tampaknya diperlukan.
Pada keseluruhan sampel, 3,3% dilaporkan mengalami gangguan kecemasan sosial dan
peningkatan gejala stres pasca trauma. Temuan ini menunjukkan bahwa untuk subkelompok
remaja dengan gangguan kecemasan sosial, model pengobatannya mungkin perlu menyertakan

komponen yang membahas gejala stres pasca trauma seperti yang telah berhasil ditunjukkan
pada orang dewasa. Gejala pasca trauma seperti gambaran ingatan mengganggu yang melibatkan
emosi dan sensasi fisik dengan cara yang sama seperti jika dihadapkan pada situasi yang
memunculkan kecemasan. Gambaran memori seperti ini biasanya terjadi pada orang yang
menderita gangguan kecemasan sosial dan gambaran ini sering didasarkan pada pengalaman
sosial sebelumnya bahwa orang tersebut telah mengalami pengalaman negatif dan memprovokasi
kecemasan. Selanjutnya, gambaran ini menjadi lebih negatif dan menyimpang dalam
hubungannya dengan gambaran diri, yang umum pada orang dengan gangguan kecemasan sosial.
Gambaran ini diperbarui dalam mengingat situasi sosial yang tidak menyenangkan. Mengatasi
karakteristik pemersatu dan komponennya sering terlihat dalam pengobatan gangguan stres pasca
trauma sehingga bisa menjadi nilai dalam pengobatan seperti paparan gangguan kecemasan
sosial tidak hanya untuk peristiwa nyata tetapi juga untuk kenangan peristiwa masa lalu. Namun,
metode ini belum dievaluasi secara empiris pada populasi remaja.
Pengembangan dan evaluasi metode pengobatan baru hanya berdasarkan nilai jika
layanan kesehatan mental digunakan oleh mereka yang membutuhkan. Tujuan kedua dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui penggunaan layanan kesehatan mental dalam kasus
gangguan kecemasan sosial dan kasus-kasus gejala stres pasca trauma tingkat klinis. Odd ratio
tertinggi untuk orang yang telah berhubungan dengan klinik psikiatri anak dan remaja selama
hidupnya ditemukan pada mereka yang melaporkan gejala stres pasca trauma dan gangguan
kecemasan sosial. Kondisi gangguan kecemasan sosial tidak secara signifikan memprediksi
hubungan dengan klinik psikiatri anak dan remaja. Kurang dari 1/5 remaja fobia sosial telah
menggunakan layanan psikiatri anak selama hidupnya. Angka ini sesuaian dengan penelitian
sebelumnya. Di antara remaja dengan gangguan kecemasan sosial yang tidak melaporkan
peningkatan gejala stres pasca trauma, hanya 11% yang telah berhubungan dengan klinik
psikiatri anak dan remaja. Dengan demikian, tampaknya remaja dengan gangguan kecemasan
sosial bisa ''mendapatkan sedikit bantuan'' dari gejala stres pasca trauma tingkat klinis bila
menggunakan layanan psikiatri anak.
Namun, dalam semua kelompok penggunaan layanan kesehatan mental yang paling
banyak digunakan adalah melalui badan konseling sekolah. Di Swedia, anak dan remaja bisa
mendapatkan layanan tersebut tanpa bantuan orang tua atau orang dewasa lain sehingga dapat
membuat akses yang lebih mudah daripada psikolog sekolah maupun klinik psikiatri anak dan

remaja. Para remaja lebih memilih untuk mencari bantuan untuk permasalahan kesehatan mental
pada layanan yang telah membangun kepercayaannya. Penilaian dari masalah sebagai sesuatu
yang membutuhkan bantuan dilaporkan sebagai prediktor lain untuk mencari bantuan. Dalam
penelitian dari Colognori, pengungkapan kecemasan sosial pada personil sekolah dikaitkan
dengan akses terhadap pengobatan dan pada interval waktu yang lebih singkat. Dengan
demikian, pencarian bantuan dapat difasilitasi oleh badan konseling sekolah yang memiliki
pengetahuan baik tentang gangguan kecemasan sosial dan gejala stres pasca trauma. Mereka juga
menginformasikan siswa bahwa hal ini adalah kondisi yang dapat dikenali dan dapat diobati.
Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian besar dan representatif yang mempelajari gangguan
kecemasan sosial dan gejala stres pasca trauma pada remaja. Keterbatasan utama adalah
penggunaan desain cross-sectional tidak dapat menyimpulkan hubungan sebab akibat.
Selanjutnya, penyelidikan viktimisasi tidak secara khusus dirancang untuk mengukur peristiwa
sosial meresahkan yang mungkin relevan untuk kondisi gangguan kecemasan sosial. Namun,
JVQ bertujuan untuk mengukur peristiwa interpersonal dan dengan demikian merupakan
instrumen yang valid untuk tujuan penelitian. Keterbatasan lain adalah peserta tidak ditanya
mengenai alasan pemanfaatan kesehatan mental. Alasan lain selain gangguan kecemasan sosial
atau gejala stres pasca trauma, seperti depresi atau gangguan kecemasan lainnya, mungkin telah
berkontribusi dalam penggunaan layanan kesehatan mental tetapi hal tersebut tidak dikontrol
dalam penelitian ini. Umumnya, kondisi komorbiditas merupakan alasan untuk mencari bantuan
dan besar kemungkinan gangguan kecemasan sosial tidak akan dilihat sebagai alasan untuk
penggunaan kesehatan mental. Kebanyakan anak-anak dan remaja tidak merujuk dirinya pada
psikiatri anak dan remaja dan umumnya tidak juga orang tua ataupun guru menyadari kecemasan
sosial sebagai masalah pada anak-anak.
Simpulan
Gejala stres pasca trauma dengan tingkat klinis terlihat pada remaja dengan gangguan
kecemasan sosial dan kondisi komorbiditas ini dikaitkan dengan tingkat pemanfaatan kesehatan
mental yang lebih tinggi dibandingkan kasus gangguan kecemasan sosial tanpa gejala stres pasca
trauma atau peningkatan gejala stres pasca trauma tanpa gangguan kecemasan sosial. Hubungan

antara gangguan kecemasan sosial dengan gejala stres pasca trauma belum dikenal dengan baik
dan perlu dieksplorasi dalam studi yang terkontrol dengan baik pada sampel klinis. Hasil
menunjukkan untuk mengikutsertakan pertanyaan tentang gejala stres pasca trauma dalam
penilaian gangguan kecemasan sosial. Selanjutnya, model pengobatan untuk gangguan
kecemasan sosial pada remaja perlu memperhitungkan terjadinya gejala stres pasca trauma yang
dapat dibantu dengan menyediakan orang yang lebih paham dan dapat mengatasi gejala mereka.
Hasil penelitian juga menyiratkan bahwa jika gangguan stres pasca trauma diindikasikan,
skrining gangguan kecemasan sosial perlu dilakukan.

Anda mungkin juga menyukai