Anda di halaman 1dari 17

BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN

MARET 2013

UNIVERSITAS HASANUDDIN

VARISELA

OLEH :
Hj. Harfana Alwi
C11109328

PEMBIMBING :
dr. Putu Marcelina

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2013

VARISELA
I.Pendahuluan
Penyakit cacar air (varisela) mungkin sudah tidak asing lagi dan
merupakan penyakit yang mendunia. Varisela merupakan penyakit menular
yang dapat menyerang siapa saja, terutama mereka yang belum mendapatkan
imunisasi. Di Indonesia, tidak banyak data yang mencatat kasus varisela atau
cacar air secara nasional. Data yang tercatat merupakan data epidemi cacar air
pada daerah tertentu saja. Data Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas
menyebutkan, selama periode Januari hingga November 2007, sedikitnya 691
warga terkena penyakit cacar air atau varisela.(1)
Varisela merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh virus
Varicella-Zoster yang hingga kini masih tetap menjadi epidemi di dunia dan di
Indonesia. Walaupun infeksi Varisela zoster tergolong ke dalam infeksi ringan,
namun dalam kondisi defisiensi imun penyakit dapat menjadi berat dan tidak
menutup kemungkinan berujung kepada kematian.(1)
Varicella-Zooster Virus (VZV) merupakan famili human (alpha) herpes
virus. Virus terdiri atas genome DNA double stranded, tertutup inti yang
mengandung protein dan dibungkus oleh glikoprotein.(2)
Virus Varicella-Zoster dapat menyebabkan infeksi primer, laten, dan
rekuren. Infeksi primer bermanifestasi sebagai varisela (chickenpox);
reaktivasi dari infeksi laten menyebabkan herpes zoster (shingles). Penyakit
ini sangat menular dengan karakteristik lesi-lesi vesikel kemerahan. Reaktivasi
laten dari virus varisela zoster umumnya terjadi pada dekade ke enam dengan
munculnya shingles yang berkarakteristik sebagai lesi vesikular terbatas pada
dermatom tertentu dan disertai rasa sakit yang hebat.(1)
II.Defenisi
Penyakit cacar air adalah penyakit infeksi virus yang disebabkan oleh
virus

Varicella-Zoster

yang

dapat

bermanifestasi

menjadi

varisela

(chickenpox) dan reaktivasi latennya menimbulkan herpes zoster (shingles).(1)


Varisela biasanya merupakan penyakit terbatas yang berlangsung 4
hingga 5 hari dan ditandai dengan demam, malaise, dan ruam vesikular
generalisata biasanya terdiri dari 250-500 lesi. Bayi, remaja, dewasa, dan
2

orang-orang yang immunocompromised berada pada risiko tinggi untuk


komplikasi.(3)
III.Etiologi
Chickenpox dan shingles disebabkan oleh Varicella-Zooster Virus
(VZV) dari famili virus herpes, sangat mirip dengan Herpes Simplex Virus.
Virus ini mempunyai amplop, berbentuk ikosahedral, dan memiliki DNA
berantai ganda yang mengkode lebih dari 70 macam protein.(1)
Varisela zoster virus (VZV) adalah Human Herpes Virus neurotropik
yang menyebabkan kurang empat juta kasus cacar setiap tahunnya. Setelah
cacar, VZV menjadi laten pada saraf kranial, dorsal akar dan ganglia sistem
saraf otonom sepanjang neuraxis.(4)
Varicella-Zoster Virus (VZV) atau virus herpes, terdiri dari genom DNA
berantai ganda dikelilingi oleh protein dan terkandung dalam suatu selubung
dari ikosahedral dan lipid pada membran luar. Genom VZV memiliki 69 gen
yang berbeda yang mengkode protein membentuk virus dan masuk ke dalam
sel inang. Replikasi virus DNA dan sintesis virion baru menyebar ke sel yang
tidak terinfeksi berdekatan.(5)
VZV, seperti human herpes virus lainnya, merupakan ancaman bagi
penerima transplantasi sel hematopoietik (HCT). Selama infeksi primer, yang
menyebabkan varisela, VZV menetapkan latensi dalam sel-sel ganglia akar
dorsal sensorik. Di antara pasien dewasa HCT, sebagian besar infeksi VZV
menandakan pengaktifan kembali virus laten. Herpes zoster klasik, dengan
ruam vesikuler dermatomal adalah gejala klinis yang paling umum disebabkan
oleh reaktivasi VZV, namun beberapa penerima HCT memiliki eksantema
vesikular umum yang menyerupai varisela, sindrom nyeri neuropatik, atau
keterlibatan organ yang tidak terkait dengan ruam apapun.(5)

IV.Epidemiologi
Tidak terdapat perbedaan jenis kelamin maupun ras. Penyakit ini sangat
menular dengan attack rate 90% terhadap orang yang rentan. Insidensinya
berkisar antara 65-86% dengan masa penularan 24-48 jam sebelum lesi kulit

muncul serta 3-7 hari setelah lesi muncul. Sekitar 50% kasus terjadi pada
anak-anak usia 5-9 tahun, banyak pula ditemukan pada usia 1-4 tahun dan 1014 tahun, 11.000 kasus diperlukan perawatan di rumah sakit dan 100
meninggal setiap tahunnya.(1)
Varisela Perinatal dengan kematian dapat terjadi apabila ibu hamil
terjangkit varisela pada 5 hari sebelum melahirkan atau 48 jam setelah
melahirkan. Kematian berkaitan dengan rendahnya sistem imununitas pada
neonatus. Varisela Kongenital ditandai dengan hipoplasia ekstremitas, lesi
kulit, dan mikrosefali. Secara keseluruhan, insiden dari herpes zoster adalah
215 per 100.000 orang per tahun. Sekitar 75% kasus terjadi pada umur di atas
45 tahun, insidens akan meningkat pada penderita dengan sistem imun rendah.
(1)

Epidemiologi cacar tampaknya berubah. Dijelaskan bahwa telah terjadi


pergeseran dalam distribusi usia kasus selama 20 tahun terakhir. Hal ini
tercermin dari peningkatan konsultasi untuk cacar air dalam praktek umum
dan lebih banyak kematian di Inggris dan Wales. Berdasarkan data penerimaan
rumah sakit untuk cacar air pada orang dewasa muda, ada bukti yang mirip
tren di Amerika Serikat. Perubahan epidemiologi memiliki konsekuensi
penting bagi masa depan seperti kematian dan risiko infeksi pada petugas
kesehatan dan ibu hamil.(6)
Cacar air umumnya dianggap sebagai penyakit ringan di negara-negara
dimana sebagian besar kasus terjadi pada anak-anak. Pada anak-anak
imunokompeten, komplikasi jarang terjadi dengan kurang dari 2 kematian per
100.000 kasus pada anak-anak usia 1-14 tahun. Sebaliknya, pada orang
dewasa, cacar air lebih sering dikaitkan dengan komplikasi dan kematian.
Penjelasan klinis Varisela pneumonia terjadi pada 1 dalam 400 kasus dan
sangat parah pada perokok. Varisela ensefalitis adalah komplikasi lebih serius,
dengan mortalitas 10% dan jangka panjang hingga 15% dari korban.(6)
Varisela terdapat di seluruh dunia dan tidak ada perbedaan ras maupun
jenis kelamin. Varisela terutama mengenai anak-anak berusia di bawah 20
tahun terutama 3 higga 6 tahun dan hanya sekitar 2% terjadi pada orang
dewasa. Di Amerika, varisela sering terjadi pada anak-anak di bawah usia 10

tahun dan 5% kasus terjadi pada usia lebih dari 15 tahun dan di Jepang,
umumnya terjadi pada anak-anak di bawah usia 6 tahun sebanyak 81,4%.(2)
V.Patogenesis
VZV merupakan virus yang menular selama 1-2 hari sebelum lesi kulit
muncul, dapat ditularkan melalui jalur respirasi, dan menimbulkan lesi pada
orofaring, lesi inilah yang memfasilitasi penyebaran virus melalui jalur traktus
respiratorius. Pada fase ini, penularan terjadi melalui droplet kepada membran
mukosa orang sehat misalnya konjungtiva. Masa inkubasi berlangsung sekitar
14 hari, dimana virus akan menyebar ke kelenjar limfe, kemudian menuju ke
hati dan sel-sel mononuklear. VZV yang ada dalam sel mononuklear mulai
menghilang 24 jam sebelum terjadinya ruam kulit; pada penderita
immunocrompomised, virus menghilang lebih lambat yaitu 24-72 jam setelah
timbulnya ruam kulit.(2)
Virus-virus ini bermigrasi dan bereplikasi dari kapiler menuju ke
jaringan kulit dan menyebabkan lesi makulopapular, vesikuler, dan krusta.
Infeksi ini menyebabkan timbulnya fusi dari sel epitel membentuk sel
multinukleus yang ditandai dengan adanya inklusi eosinofilik intranuklear.
Perkembangan vesikel berhubungan dengan peristiwa ballooning, yakni
degenerasi sel epitelial akan menyebabkan timbulnya ruangan yang berisi oleh
cairan. Penyebaran lesi di kulit diketahui disebabkan oleh adanya protein
ORF47 kinase yang berguna pada proses replikasi virus. VZV dapat
menyebabkan terjadinya infeksi diseminata yang biasanya berhubungan
dengan rendahnya sistem imun dari penderita.(1)
Pada sebagian besar penderita yang terinfeksi, replikasi virus tersebut
dapat mengalahkan mekanisme pertahanan tubuh yang belum matang
sehingga akan berlanjut dengan siklus replikasi virus kedua yang terjadi di
hepar dan limpa, yang mengakibatkan terjadinya viremia sekunder. Pada fase
ini, partikel virus akan menyebar ke seluruh tubuh dan mencapai epidermis
pada hari ke 14 hingga16, yang mengakibatkan timbulnya lesi di kulit yang
khas. Seorang anak yang menderita varisela akan menularkan kepada orang
lain 2 hari sebelum hingga 5 hari setelah timbulnya lesi di kulit.(2)

Pada herpes zoster, patogenesisnya belum seluruhnya diketahui. Selama


terjadinya varisela, VZV berpindah tempat dari lesi kulit dan permukaan
mukosa ke ujung saraf sensoris dan ditransportasikan secara centripetal
melalui serabut syaraf sensoris ke ganglion sensoris. Pada ganglion tersebut
terjadi infeksi laten (dorman), dimana virus tersebut tidak lagi menular dan
tidak bermultiplikasi, tetapi tetap mempunyai kemampuan untuk berubah
menjadi infeksius apabila terjadi reaktivasi virus.(2)
VI.Manifestasi Klinis
Dimulai dengan gejala prodromal seperti demam, malaise, sakit kepala,
dan nyeri abdomen, yang berlangsung 24 hingga 48 jam sebelum lesi kulit
muncul. Gejala sistemik seperti demam, lelah, dan anoreksia dapat timbul
bersamaan dengan lesi kulit. Gejala pada saluran pernafasan dan muntah
jarang sekali terjadi. Lesi kulit awal mengenai kulit kepala, muka, badan,
biasanya sangat gatal, berupa makula kemerahan, kemudian berubah menjadi
lesi vesikel kecil dan berisi cairan di dalamnya, seperti tampilan tetesan air
mata. Penyembuhannya ditandai dengan terbentuknya sel epitel kulit baru
yang muncul dari dasar lesi. Hipopigmentasi dapat terjadi akibat
penyembuhan lesi. Parut atau bekas luka jarang terjadi akibat infeksi varisela.
(1)

Gambar 1. Dikutip dari kepustakaan 7

Lesi pada varisela, diawali pada daerah wajah dan scalp, kemudian
meluas ke dada (penyebaran secara sentripetal) dan kemudian dapat meluas ke
ekstremitas. Lesi juga dapat dijumpai pada mukosa mulut dan genital. Lesi
pada varisela biasanya sangat gatal dan mempunyai gambaran yang khas yaitu
terdapatnya semua stadium lesi secara bersamaan.(2)
Pada awalnya timbul makula kecil yang eritematosa padadaerah wajah
dan dada, dan kemudian berubah cepat dalam waktu 12-14 jam menjadi papul
dan kemudian berkembang menjadi vesikel yang mengandung cairan yang
jernih dengan dasar eritematosa.(2)

Gambar 2. Dikutip
dari kepustakaan
7

Gambar 3.
Dikutip dari
kepustakaan 7

Vesikel yang terbentuk


dengan
eritematosa
gambaran

dasar

yang

mempunyai
klasik

yaitu

letaknya superfisial dan mempunyai dinding yang tipis sehingga terlihat


seperti kumpulan tetesan air di atas kulit (tear drop), berdiameter 2-3 mm,

berbentuk elips, dengan aksis panjangnya sejajar dengan lipatan kulit atau
tampak vesikel seperti titik-titik embun di atas daun bunga mawar (dew drop
on a rose petal). Cairan vesikel cepat menjadi keruh disebabkan masunya sel
radang sehingga pada hari ke-2 akan berubah menjadi pustula. Lasi kemudian
akan mengering yang diawali pada bagian tengah sehingga terbentuk
umblikasi (delle) dan akhirnya akan menjadi krusta dalam waktu 1-3 minggu.
Pada fase penyembuhan varisela jarang terbentuk parut (scar), apabila tidak
disertai dengan infeksi sekunder bakterial.(2)
Herpes zoster pada anak-anak jarang didahului gejala prodromal. Gejala
yang dapat dijumpai yaitu nyeri radikuler, parestesia, malase, nyeri kepala dan
demam, biasanya terjadi 1-3 minggu sebelum timbul ruam di kulit. Lesi kulit
yang khas dari herpes zoster yaitu lokalisasinya biasanya unilateral dan jarang
melewati garis tengah tubuh. Lokasi yang sering dijumpai yaitu pada
dermatom T3 hingga L2 dan nervus V dan VII. Lesi awal berupa makula dan
papula yang eritematosa, kemudian dalam waktu 12-24 jam akan berkembang
menjadi vesikel dan akan berlanjut menjadi pustula pada hari 3-4 dan akhirnya
pada hari ke-7 akan terbentuk krusta dan dapat sembuh tanpa parut, kecuali
terjadi infeksi sekunder bakterial.(2)
VII.Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium sangat penting untuk mendiagnosis pasien
yang dicurigai menderita varisela atau herpes zoster serta untuk menentukan
terapi antivirus yang sesuai. Leukopenia terjadi pada 72 jam pertama, diikuti
oleh limfositosis. Pemeriksaan fungsi hati (75%) juga mengalami kenaikan.
Pasien dengan gangguan neurologi akibat varisela biasanya mengalami
limfositik pleositosis dan peningkatan protein pada cairan serebrospinal serta
glukosa yang umumnya dalam batas normal.(1)
1. Tes Tzank
- Preparat diambil dari discraping dasar vesikel yang masih baru,
kemudian diwarnai dengan pewarnaan yaitu hematoxylin-eosin,
Giemsas, Wrights, toluidine blue ataupun Papanicolaous. Dengan
menggunakan mikroskop cahaya akan dijumpai multinucleated giant
cells.

Pemeriksaan ini sensitivitasnya sekitar 84%


Tes ini tidak dapat membedakan antara virus varisela zoster dengan
virus herpes simpleks.(2)

Gambar 4.
Dikutip dari
kepustakaan 7

2. Teknik PCR
Metode virologi dengan mendeteksi DNA virus ataupun protein
virus digunakan sebagai salah satu metode diagnosis infeksi VZV.
Spesimen sebaiknya disimpan di dalam es atau pendingin dengan suhu
-70C apabila penyimpanan dilakukan untuk waktu yang lebih lama.(1)
3. Teknik Serologi
Salah satu metode serologik yang digunakan untuk mendiagnosis
infeksi VZV didasarkan pada pemeriksaan serum akut dan konvalesens
yaitu IgM dan IgG. Pemeriksaan VZV IgM memiliki sensitivitas dan
spesifisitas yang rendah. Reaktivasi VZV memacu IgM yang terkadang
sulit dibedakan dengan kehadiran IgM pada infeksi primer. Salah satu
kepentingan pemeriksaan antibodi IgG adalah untuk mengetahui status
imun seseorang, dimana riwayat penyakit variselanya tidak jelas.
Pemeriksaan IgG mempunyai kepentingan klinis, guna mengetahui
antibodi pasif atau pernah mendapat vaksin aktif terhadap varisela.(1)
Keberadaan IgG pada dasarnya merupakan petanda dari infeksi laten
terkecuali pasien telah menerima antibodi pasif dari imunoglobulin. Teknik
lain adalah dengan menggunakan fluorescent-antibody membran eantigen
assay, pemeriksaan ini dapat mendeteksi antibodi yang terikat pada sel
yang terinfeksi oleh VZV. Tes ini sangat sensitif dan spesifik, hampir
serupa dengan pemeriksaan enzyme immunoassay atau imunoblotting.

Pemeriksaan serologik lain yang mendukung adalah lateks aglutinasi,


untuk mengetahui status imunitas terhadap VZV.(1)
VIII.Pengobatan
Penyakit varisela dan herpes zoster pada anak imunokompeten
biasanya tidak diperlukan pengobatan yang spesifik dan pengobatan yang
diberikan bersifat simtomatis, yaitu:(2)
- Jika lesi masih berbentuk vesikel, dapat diberikan bedak agar tidak
-

mudah pecah.
Jika vesikel sudah pecah atau sudah berbentuk krusta, dapat diberikan

salep antibiotik untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder.


Dapat diberikan antipiretik dan analgetik, tetapi tidak boleh golongan

salisilat (aspirin) untuk menghindari terjadinya sindroma Reye.


Kuku jari tangan harus dipotong untuk mencegah terjadinya infeksi

sekunder akibat garukan.


Pemberian obat antivirus dapat mengurangi lama sakit, keparahan dan
waktu penyembuhan akan lebih singkat. Pemberian obat antivirus
sebaiknya dalam jangka waktu kurang dari 48-72 jam setelah erupsi di
kulit muncul. Golongan obat antivirus yang dapat diberikan yaitu
asiklovir, valasiklovir dan famasiklovir. Dosis anti virus (oral) untuk
pengobatan varisela dan herpes zoster yang dapat diberikan adalah:
Neonatus: Asiklovir 500 mg/m2IV setiap 8 jam selama 10 hari
Anak (2-12 tahun) : Asiklovir 4x20 mg/kg BB/ hari/oral selama 5 hari
Pubertas dan deasa:
- Asiklovir 5x800 mg/hari/oral selama 7 hari
- Valasiklovir 3x1 gr/hari/oral selama 7 hari
- Famasiklovir 3x500 mg/hari/oral selama 7 hari.(2)
Pemberian asetaminofen untuk mengurangi perasaan tidak nyaman

akibat demam; antipruritus seperti difenhidramin 1,25 mg/kg setiap 6 jam


atau hidroksin 0,5 mg/kg setiap 6 jam. Topikal dan antibiotik sistemik
dapat diberikan untuk mengatasi superinfeksi bakteri. Terapi antivirus
menurunkan mortalitas karena progresif pneumonia dapat dicegah, dan
mengubah prognosis infeksi varisela pada anak yang beresiko tinggi.
Terapi asiklovir pada anak imunodefisiensi harus dimulai pada 24 hingga
72 jam sesudah muncul ruam kulit. Oleh karena rendahnya absorbsi oral,
obat diberikan intravena dengan tiap pemberian dosis 500 mg/m2 dalam 8

10

jam. Terapi dilanjutkan untuk 7 hari atau sampai tidak ada lesi baru yang
muncul dalam 48 jam.(1)
IX.Komplikasi
1. Varisela
Komplikasi yang paling sering ditemukan akibat infeksi varisela
adalah infeksi bakteri S. aureus atau Streptococcus pyogenes (grup A beta
hemolitik streptococcus). Antibiotik sebenarnya dapat dipakai untuk
mengurangi resiko kematian, namun pada keadaan sepsis kurang berguna.
Infeksi sekunder akibat bakteri biasanya ditandai dengan munculnya bula
atau selulitis, limfadenitis regional dan abses subkutan dapat muncul. S.
pyogenes umumnya menyebabkan varisela gangrenosa yang bersifat
invasif. Manifestasi lain yang adalah pneumonia, arthritis, dan
osteomyelitis. Sindroma Reye, yang merupakan ensefalopati non inflamasi
dengan degenerasi lemak pada hati dapat merupakan komplikasi yang
menyulitkan. Anak yang menderita varisela tidak boleh diberikan aspirin,
karena dapat meningkatkan resiko terjadinya sindroma Reye.(1)
Komplikasi neurologis seperti meningoensefalitis dan ataxia
cerebral merupakan gejala utama yang biasa terjadi. Komplikasi pada
susunan saraf pusat biasanya terjadi pada anak dibawah 5 tahun dan lebih
dari usia 20 tahun. Varisela ensefalitis biasanya dapat hilang dengan
sendirinya dalam waktu 24 hingga 72 jam. Begitu pula dengan ataksia
serebelum, biasanya hilang dalam beberapa waktu. Gejala seperti
perdarahan,

petekie,

purpura,

epistaksis,

hematuria,

perdarahan

gastrointestinal, dan DIC disebabkan karena komplikasi yang berupa


trombositopenia, terjadi 1 sampai 2 minggu setelah infeksi varisela.(1)
Dapat juga terjadinya artritis virus yang disebabkan karena adanya
virus varisela di dalam sendi. Infeksi sendi biasanya sembuh dalam 3
hingga 5 hari. Komplikasi lain yang mungkin pula terjadi, namun jarang
sekali ditemukan adalah miokarditis, perikarditis, pankreatitis, dan orkitis.
(1)

2. Herpes Zoster

11

Komplikasi umum dari herpes zoster adalah NPH (Neuralgia Pasca


Herpetik). Dari beberapa data didapatkan keterangan bahwa 9% kasus dari
herpes zoster berkaitan dengan PHN selama 4 minggu hingga mencapai 10
tahun. Nyeri menetap dirasakan oleh 22% pasien yang mendapatkan
sindroma ini. Resiko dari NPH sebenarnya berhubungan dengan
peningkatan usia dan kondisi imunodefisiensi dari pasien. Resiko PHN
berkepanjangan meningkat 40 hingga 50% pada usia lebih dari 60 tahun.(1)
Herpes zoster juga dapat menyerang sistem saraf pusat dan
menyebabkan ensefalitis, namun hal ini sangat jarang terjadi kira-kira
hanya 0,2-0,5% dari keseluruhan pasien. Penjalaran dari kulit hingga
menyebabkan ensefalitis terjadi dalam waktu 9 hari hingga 6 minggu.
Gejala-gejala yang dapat muncul, antara lain: terganggunya fungsi sensori,
sakit kepala, fotophobia, meningismus, dan terlihat elektroensefalogram
yang abnormal. Paresis saraf kranial dan perifer dapat terjadi akibat
komplikasi herpes zoster pada susunan saraf pusat. Biasanya ensefalitis
akibat varisela hanya terjadi sekitar 16 hari.(1)
Ensefalitis akibat herpes zoster jarang menyebabkan kematian,
kebanyakan pasien sembuh tanpa ada suatu kecacatan tertentu. Ensefalitis
juga biasanya berhubungan dengan akut vaskulitis. Gejala lain yang
biasanya terjadi adalah angitis serebral, yang merupakan suatu sindrom
yang terdiri dari vaskulitis, trombosis, dan mikroinfark yang terkait dengan
herpes zoster oftalmikus dan reaktivasi saraf kranial pada individu berusia
lanjut.(1)
X.Pencegahan
Pada anak imunokompeten yang telah menderita varisela tidak
diperlukan tindakan pencegahan, tetapi tindakan pencegahan ditujukan pada
kelompok yang berisiko tinggi untuk menderita varisela yang fatal seperti
neonatus, pubertas ataupun orang dewasa, dengan tujuan mencegah ataupun
mengurangi gejala varisela. Tindakan pencegahan yang dapat diberikan, yaitu:
(2)

1. Imunisasi Pasif

12

Pada tahun 1962, Ross meringkas literatur terbatas pada kasus-kasus


varisela yang parah dan kemudian melakukan studi klasik tentang
penggunaan gamma globulin untuk memodifikasi penyakit. Sebuah
kemajuan yang signifikan dalam memberikan peningkatan pasokan
gamma globulin potensi tinggi dihasilkan dari penggunaan selektif bank
darah yang banyak ditunjukkan oleh fiksasi komplemen memiliki tingkat
signifikan antibodi varisela.(7)
Imunisasi
pasif
menggunakan

VZIG

(Varicella-Zoster

Immumoglobin) (Lubis, 2008). Varisela zoster immunoglobulin (VZIG)


adalah antibodi IgG terhadap VZV dengan dosis pemberian satu vial untuk
10 kg berat badan secara intramuskular (IM). VZIG profilaksis
diindikasikan untuk individu beresiko tinggi, termasuk anak-anak
imunodefisiensi, wanita hamil yang pernah mempunyai kontak langsung
dengan penderita varisela, neonatal yang terpapar oleh ibu yang terinfeksi
varisela, setidaknya diberikan dalam waktu tidak lebih dari 96 jam.
Antibodi yang diberikan setelah timbulnya gejala tidak dapat mengurangi
keparahan yang terjadi.(1)
Pemberiannya dalam waktu 3 hari (kurang dari 96 jam) setelah
terpajan VZV, pada anak-anak imunokompeten terbukti mencegah varisela
sedangkan pada anak-anak imunokompromais pemberian VZIG dapat
meringankan gejala varisela. VZIG dapat diberikan pada anak-anak yang
berusia kurang dari 15 tahun yang berlum pernah menderita varisela atau
herpes zoster, pada usia pubertas lebh dari 15 tahun yang belum pernah
menderita varisela atau herpes zoster dan tidak mempunyai antibodi
terhadap VZV, pada bayi yang baru lahir, dimana ibunya menderita
varisela dalam kurun waktu 5 hari sebelum atau 48 jam setelah
melahirkan, pada bayi premature dan bayi usia 14 hari yang ibunya
belum pernah menderita varisela atau herpes zoster, pada anak-anak yang
menderita leukimia atau lymphoma yang belum pernah menderita varisela.
(2)

2. Imunisasi Aktif

13

Pada tahun 1974, Takahashi dkk melaporkan bahwa vaksin virus


hidup dikembangkan oleh mereka telah mencegah penyebaran varisela di
sebuah rumah sakit. Virus strain Oka, telah diperoleh dari kasus varisela
pada anak laki-laki 3 tahun. Atenuasi dari strain diikuti 11 bagian struktur
pembangun dari manusia sel paru-paru embrio pada 34C dan 12 bagian
dalam embrio marmot sel pada 37C. Dalam retrospeksi, ada hal yang
menarik bahwa meskipun upaya tak terhitung tidak sama dilemahkan
ketegangan telah dikembangkan. Dengan demikian, strain Oka tetap
penting menjadi unsur vaksin saat ini. Takahashi vaksin yang diproduksi
oleh Institut Biken digunakan secara luas di Jepang dan negara-negara
timur jauh lainnya.(7)
Pada tahun 1984, Varilrix, sebuah produk Smith Kline Beecham,
pertama kali berlisensi di Eropa dan sekarang berlisensi di sekitar 40
negara. Pada 1980-an Pasteur Merieux serum dan Vaccins SA memulai
penelitian dari vaksin di Perancis. Varivax, diproduksi oleh Merck and
Company, telah dilisensi di Amerika Serikat pada tahun 1995 diikuti 14
tahun penelitian kolaboratif yang luas yang diselenggarakan oleh Dr Anne
Gershon. Dengan demikian, vaksin sekarang tersdia secara universal.(7)
Vaksin VZV menggunakan vaksin varisela virus (Oka strain) dan
kekebalan yang didapat dapat bertahan hingga 10 tahun. Vaksin ini
digunakan di Amerika sejak tahun 1995 dengan daya proteksi melawan
varisela berkisar 71-100%. Vaksin efektif jika diberikan pada umur 1
tahun dan direkomendasikan diberikan pada usia 12-18 bulan. Anak yang
berusia 13 tahun yang tidak menderita varisela direkomendasikan
diberikan dosis tunggal dan anak lebih tua diberikan dalam 2 dosis dengan
jarak 4 hingga 8 minggu dan diberikan secara subkutan. Efek samping
yang ditimbulkan dapat berupa demam ataupun raksi lokal seperti ruam
makulopapular atau vesikel, terjadi pada 3-5% anak-anak dan timbul 1021 hari setelah pemberian pada lokasi penyuntikan. Jenis vaksin varisela
lainnya yaitu Varivax. Dimana tidak boleh diberikan pada wanita hamil
oleh karena dapat menyebabkan terjadinya kongenital varisela.(2)

14

Karena kejadian varisela adalah tertinggi di antara anak usia 1-6


tahun, menerapkan persyaratan vaksinasi untuk perawatan anak dan masuk
sekolah memiliki dampak besar pada pengurangan kejadian penyakit.
Komite Praktek Imunisasi (ACIP) merekomendasikan agar semua negara
mengharuskan anak memasuki fasilitas perawatan anak dan sekolah dasar
baik telah menerima vaksin varisela atau memiliki bukti lain dari
kekebalan terhadap varisela. Bukti lainnya kekebalan harus terdiri dari
diagnosis dokter varisela, sejarah dapat diandalkan penyakit, atau bukti
serologis imunitas. Untuk mencegah anak-anak lebih tua rentan dari
memasuki dewasa tanpa kekebalan terhadap varisela, negara juga harus
mempertimbangkan implementasi penting kebijakan yang memerlukan
bukti vaksinasi varisela atau bukti lain kekebalan untuk anak-anak masuk
sekolah menengah.(3)
Data dari Amerika Serikat dan Jepang yang diperolah dari rumah
tangga, rumah sakit, dan masyarakat pengaturan menunjukkan bahwa
vaksin varisela efektif dalam mencegah penyakit atau memodifikasi
varisela keparahan jika digunakan dalam waktu 3 hari, dan mungkin
sampai 5 hari, paparan. ACIP sekarang merekomendasikan vaksin untuk
digunakan pada orang yang rentan setelah terpapar ke varisela. Jika
paparan varisela tidak menyebabkan infeksi pasca pajanan vaksinasi harus
mendorong perlindungan terhadap paparan berikutnya. Jika hasil
pemaparan infeksi, tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa pemberian
vaksin varisela selama tahap presimptomatik atau prodromal penyakit
meningkatkan risiko untuk vaksin terkait efek samping.(3)
Meskipun pasca pajanan penggunaan vaksin varisela telah
teraplikasi esensial dalam pengaturan rumah sakit, vaksinasi secara rutin
direkomendasikan untuk semua rentan kesehatan pekerja dan merupakan
metode yang disukai untuk mencegah varisela dalam lingkungan
perawatan kesehatan. Wabah varisela di beberapa tempat (misalnya,
fasilitas penitipan anak, sekolah, lembaga) bisa bertahan 3-6 bulan.
Varisela Vaksin telah berhasil digunakan oleh departemen kesehatan dan
oleh militer untuk pencegahan dan pengendalian wabah3.
15

DAFTAR PUSTAKA

16

1. Kurniawan, M., N. Dessy & M. Tatang, 2009. Varisela zoster pada anak.
Medicinus, 3(1), hal. 23-31.
2. Lubis, RD., 2008. Varisela dan Herpes Zoster. Makalah. Departemen Ilmu
Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara, Medan.
3. Centers for Disease Control and Prevention (CDC), 1999. Prevention of
Varisela: updated recommendations of the Advisory Committee on
Immunization Practices (ACIP). MMWR U.S. Department of Health &
Human Services, 48(6), p. 1-5.
4. Gilden, L. Williams & Cohrs, 2002. Clinical features of Varisela Zoster Virus
infection of the nervous system. Review Article ANCR, 2(2), p. 7-10.
5. Arvin, AM., 2000. Varisela-zoster virus: Pathogenesis, immunity, and clinical
management in hematopoietic cell transplant recipients. Biology of Blood and
Marrow Transplantation, 6(1), p. 219-230.
6. Fairley, CK. & E. Miller, 1996. Varisela-Zoster Virus Epidemiology-A
Changing Scene?. The Journal of Infectious Diseases, 174(3), p. 314-319.
7. Fitzpatrick TB,

Wolff K, Allen R. Color atlas & Synopsis of Clinical

Dermatology , 6th edition. New York: McGraw-Hill Inc, 2009.p. 833-49

17

Anda mungkin juga menyukai

  • Daftar Isi
    Daftar Isi
    Dokumen3 halaman
    Daftar Isi
    Rahmad Hidayat Tullah
    Belum ada peringkat
  • Kartu Status Peserta KB
    Kartu Status Peserta KB
    Dokumen2 halaman
    Kartu Status Peserta KB
    Andidalawati Dalawati
    Belum ada peringkat
  • Chapter II
    Chapter II
    Dokumen21 halaman
    Chapter II
    Alfania Novita Putri
    Belum ada peringkat
  • Daftar Pustaka
    Daftar Pustaka
    Dokumen3 halaman
    Daftar Pustaka
    Rahmad Hidayat Tullah
    Belum ada peringkat
  • Pemeriksaan Fisik Abdomen
    Pemeriksaan Fisik Abdomen
    Dokumen81 halaman
    Pemeriksaan Fisik Abdomen
    Rahmad Hidayat Tullah
    100% (1)
  • Pemeriksaan Papanicolaou Test
    Pemeriksaan Papanicolaou Test
    Dokumen19 halaman
    Pemeriksaan Papanicolaou Test
    Rahmad Hidayat Tullah
    Belum ada peringkat
  • Anamnesis Obstetri & Ginekologi
    Anamnesis Obstetri & Ginekologi
    Dokumen30 halaman
    Anamnesis Obstetri & Ginekologi
    indahmutiarayoulpi
    Belum ada peringkat
  • Daftar Riwayat Hidup
    Daftar Riwayat Hidup
    Dokumen2 halaman
    Daftar Riwayat Hidup
    Rahmad Hidayat Tullah
    Belum ada peringkat
  • Status Pasien
    Status Pasien
    Dokumen9 halaman
    Status Pasien
    Rahmad Hidayat Tullah
    Belum ada peringkat
  • Kata Pengantar
    Kata Pengantar
    Dokumen1 halaman
    Kata Pengantar
    roni
    Belum ada peringkat
  • 8 Berita Acara Pembacaan Kasus
    8 Berita Acara Pembacaan Kasus
    Dokumen1 halaman
    8 Berita Acara Pembacaan Kasus
    Kesuma Wardani
    Belum ada peringkat
  • 2 Halaman Pengesahan
    2 Halaman Pengesahan
    Dokumen1 halaman
    2 Halaman Pengesahan
    Kesuma Wardani
    Belum ada peringkat
  • Daftar Isi
    Daftar Isi
    Dokumen2 halaman
    Daftar Isi
    Rivandi Maulana
    Belum ada peringkat
  • Partograf
    Partograf
    Dokumen32 halaman
    Partograf
    Rahmad Hidayat Tullah
    Belum ada peringkat
  • Pemeriksaan Fisik Abdomen
    Pemeriksaan Fisik Abdomen
    Dokumen81 halaman
    Pemeriksaan Fisik Abdomen
    Rahmad Hidayat Tullah
    100% (1)
  • DHF
    DHF
    Dokumen44 halaman
    DHF
    Rahmad Hidayat Tullah
    Belum ada peringkat
  • DEMO DBD
    DEMO DBD
    Dokumen26 halaman
    DEMO DBD
    Mahasih Ariani
    Belum ada peringkat
  • Laporan Kesmas
    Laporan Kesmas
    Dokumen30 halaman
    Laporan Kesmas
    Rahmad Hidayat Tullah
    Belum ada peringkat
  • Referat DBD
    Referat DBD
    Dokumen36 halaman
    Referat DBD
    fendia
    Belum ada peringkat
  • Bab V
    Bab V
    Dokumen1 halaman
    Bab V
    Rahmad Hidayat Tullah
    Belum ada peringkat
  • Daftar Pustaka
    Daftar Pustaka
    Dokumen1 halaman
    Daftar Pustaka
    Kesuma Wardani
    Belum ada peringkat
  • BAB III Saarah
    BAB III Saarah
    Dokumen14 halaman
    BAB III Saarah
    Rahmad Hidayat Tullah
    Belum ada peringkat
  • Bab Iv
    Bab Iv
    Dokumen2 halaman
    Bab Iv
    Rahmad Hidayat Tullah
    Belum ada peringkat
  • Bab Iii
    Bab Iii
    Dokumen12 halaman
    Bab Iii
    Kesuma Wardani
    Belum ada peringkat
  • Bab 4
    Bab 4
    Dokumen2 halaman
    Bab 4
    Rahmad Hidayat Tullah
    Belum ada peringkat
  • Laporan Kasus DBD Nanna
    Laporan Kasus DBD Nanna
    Dokumen37 halaman
    Laporan Kasus DBD Nanna
    Andi Nurjannah Kaddiraja
    Belum ada peringkat
  • Bab Ii
    Bab Ii
    Dokumen8 halaman
    Bab Ii
    Rahmad Hidayat Tullah
    Belum ada peringkat
  • Bab Ii DHF
    Bab Ii DHF
    Dokumen9 halaman
    Bab Ii DHF
    Rahmad Hidayat Tullah
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen2 halaman
    Bab I
    Kesuma Wardani
    Belum ada peringkat