REFERAT
FAKULTAS KEDOKTERAN
MARET 2013
UNIVERSITAS HASANUDDIN
VARISELA
OLEH :
Hj. Harfana Alwi
C11109328
PEMBIMBING :
dr. Putu Marcelina
VARISELA
I.Pendahuluan
Penyakit cacar air (varisela) mungkin sudah tidak asing lagi dan
merupakan penyakit yang mendunia. Varisela merupakan penyakit menular
yang dapat menyerang siapa saja, terutama mereka yang belum mendapatkan
imunisasi. Di Indonesia, tidak banyak data yang mencatat kasus varisela atau
cacar air secara nasional. Data yang tercatat merupakan data epidemi cacar air
pada daerah tertentu saja. Data Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas
menyebutkan, selama periode Januari hingga November 2007, sedikitnya 691
warga terkena penyakit cacar air atau varisela.(1)
Varisela merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh virus
Varicella-Zoster yang hingga kini masih tetap menjadi epidemi di dunia dan di
Indonesia. Walaupun infeksi Varisela zoster tergolong ke dalam infeksi ringan,
namun dalam kondisi defisiensi imun penyakit dapat menjadi berat dan tidak
menutup kemungkinan berujung kepada kematian.(1)
Varicella-Zooster Virus (VZV) merupakan famili human (alpha) herpes
virus. Virus terdiri atas genome DNA double stranded, tertutup inti yang
mengandung protein dan dibungkus oleh glikoprotein.(2)
Virus Varicella-Zoster dapat menyebabkan infeksi primer, laten, dan
rekuren. Infeksi primer bermanifestasi sebagai varisela (chickenpox);
reaktivasi dari infeksi laten menyebabkan herpes zoster (shingles). Penyakit
ini sangat menular dengan karakteristik lesi-lesi vesikel kemerahan. Reaktivasi
laten dari virus varisela zoster umumnya terjadi pada dekade ke enam dengan
munculnya shingles yang berkarakteristik sebagai lesi vesikular terbatas pada
dermatom tertentu dan disertai rasa sakit yang hebat.(1)
II.Defenisi
Penyakit cacar air adalah penyakit infeksi virus yang disebabkan oleh
virus
Varicella-Zoster
yang
dapat
bermanifestasi
menjadi
varisela
IV.Epidemiologi
Tidak terdapat perbedaan jenis kelamin maupun ras. Penyakit ini sangat
menular dengan attack rate 90% terhadap orang yang rentan. Insidensinya
berkisar antara 65-86% dengan masa penularan 24-48 jam sebelum lesi kulit
muncul serta 3-7 hari setelah lesi muncul. Sekitar 50% kasus terjadi pada
anak-anak usia 5-9 tahun, banyak pula ditemukan pada usia 1-4 tahun dan 1014 tahun, 11.000 kasus diperlukan perawatan di rumah sakit dan 100
meninggal setiap tahunnya.(1)
Varisela Perinatal dengan kematian dapat terjadi apabila ibu hamil
terjangkit varisela pada 5 hari sebelum melahirkan atau 48 jam setelah
melahirkan. Kematian berkaitan dengan rendahnya sistem imununitas pada
neonatus. Varisela Kongenital ditandai dengan hipoplasia ekstremitas, lesi
kulit, dan mikrosefali. Secara keseluruhan, insiden dari herpes zoster adalah
215 per 100.000 orang per tahun. Sekitar 75% kasus terjadi pada umur di atas
45 tahun, insidens akan meningkat pada penderita dengan sistem imun rendah.
(1)
tahun dan 5% kasus terjadi pada usia lebih dari 15 tahun dan di Jepang,
umumnya terjadi pada anak-anak di bawah usia 6 tahun sebanyak 81,4%.(2)
V.Patogenesis
VZV merupakan virus yang menular selama 1-2 hari sebelum lesi kulit
muncul, dapat ditularkan melalui jalur respirasi, dan menimbulkan lesi pada
orofaring, lesi inilah yang memfasilitasi penyebaran virus melalui jalur traktus
respiratorius. Pada fase ini, penularan terjadi melalui droplet kepada membran
mukosa orang sehat misalnya konjungtiva. Masa inkubasi berlangsung sekitar
14 hari, dimana virus akan menyebar ke kelenjar limfe, kemudian menuju ke
hati dan sel-sel mononuklear. VZV yang ada dalam sel mononuklear mulai
menghilang 24 jam sebelum terjadinya ruam kulit; pada penderita
immunocrompomised, virus menghilang lebih lambat yaitu 24-72 jam setelah
timbulnya ruam kulit.(2)
Virus-virus ini bermigrasi dan bereplikasi dari kapiler menuju ke
jaringan kulit dan menyebabkan lesi makulopapular, vesikuler, dan krusta.
Infeksi ini menyebabkan timbulnya fusi dari sel epitel membentuk sel
multinukleus yang ditandai dengan adanya inklusi eosinofilik intranuklear.
Perkembangan vesikel berhubungan dengan peristiwa ballooning, yakni
degenerasi sel epitelial akan menyebabkan timbulnya ruangan yang berisi oleh
cairan. Penyebaran lesi di kulit diketahui disebabkan oleh adanya protein
ORF47 kinase yang berguna pada proses replikasi virus. VZV dapat
menyebabkan terjadinya infeksi diseminata yang biasanya berhubungan
dengan rendahnya sistem imun dari penderita.(1)
Pada sebagian besar penderita yang terinfeksi, replikasi virus tersebut
dapat mengalahkan mekanisme pertahanan tubuh yang belum matang
sehingga akan berlanjut dengan siklus replikasi virus kedua yang terjadi di
hepar dan limpa, yang mengakibatkan terjadinya viremia sekunder. Pada fase
ini, partikel virus akan menyebar ke seluruh tubuh dan mencapai epidermis
pada hari ke 14 hingga16, yang mengakibatkan timbulnya lesi di kulit yang
khas. Seorang anak yang menderita varisela akan menularkan kepada orang
lain 2 hari sebelum hingga 5 hari setelah timbulnya lesi di kulit.(2)
Lesi pada varisela, diawali pada daerah wajah dan scalp, kemudian
meluas ke dada (penyebaran secara sentripetal) dan kemudian dapat meluas ke
ekstremitas. Lesi juga dapat dijumpai pada mukosa mulut dan genital. Lesi
pada varisela biasanya sangat gatal dan mempunyai gambaran yang khas yaitu
terdapatnya semua stadium lesi secara bersamaan.(2)
Pada awalnya timbul makula kecil yang eritematosa padadaerah wajah
dan dada, dan kemudian berubah cepat dalam waktu 12-14 jam menjadi papul
dan kemudian berkembang menjadi vesikel yang mengandung cairan yang
jernih dengan dasar eritematosa.(2)
Gambar 2. Dikutip
dari kepustakaan
7
Gambar 3.
Dikutip dari
kepustakaan 7
dasar
yang
mempunyai
klasik
yaitu
berbentuk elips, dengan aksis panjangnya sejajar dengan lipatan kulit atau
tampak vesikel seperti titik-titik embun di atas daun bunga mawar (dew drop
on a rose petal). Cairan vesikel cepat menjadi keruh disebabkan masunya sel
radang sehingga pada hari ke-2 akan berubah menjadi pustula. Lasi kemudian
akan mengering yang diawali pada bagian tengah sehingga terbentuk
umblikasi (delle) dan akhirnya akan menjadi krusta dalam waktu 1-3 minggu.
Pada fase penyembuhan varisela jarang terbentuk parut (scar), apabila tidak
disertai dengan infeksi sekunder bakterial.(2)
Herpes zoster pada anak-anak jarang didahului gejala prodromal. Gejala
yang dapat dijumpai yaitu nyeri radikuler, parestesia, malase, nyeri kepala dan
demam, biasanya terjadi 1-3 minggu sebelum timbul ruam di kulit. Lesi kulit
yang khas dari herpes zoster yaitu lokalisasinya biasanya unilateral dan jarang
melewati garis tengah tubuh. Lokasi yang sering dijumpai yaitu pada
dermatom T3 hingga L2 dan nervus V dan VII. Lesi awal berupa makula dan
papula yang eritematosa, kemudian dalam waktu 12-24 jam akan berkembang
menjadi vesikel dan akan berlanjut menjadi pustula pada hari 3-4 dan akhirnya
pada hari ke-7 akan terbentuk krusta dan dapat sembuh tanpa parut, kecuali
terjadi infeksi sekunder bakterial.(2)
VII.Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium sangat penting untuk mendiagnosis pasien
yang dicurigai menderita varisela atau herpes zoster serta untuk menentukan
terapi antivirus yang sesuai. Leukopenia terjadi pada 72 jam pertama, diikuti
oleh limfositosis. Pemeriksaan fungsi hati (75%) juga mengalami kenaikan.
Pasien dengan gangguan neurologi akibat varisela biasanya mengalami
limfositik pleositosis dan peningkatan protein pada cairan serebrospinal serta
glukosa yang umumnya dalam batas normal.(1)
1. Tes Tzank
- Preparat diambil dari discraping dasar vesikel yang masih baru,
kemudian diwarnai dengan pewarnaan yaitu hematoxylin-eosin,
Giemsas, Wrights, toluidine blue ataupun Papanicolaous. Dengan
menggunakan mikroskop cahaya akan dijumpai multinucleated giant
cells.
Gambar 4.
Dikutip dari
kepustakaan 7
2. Teknik PCR
Metode virologi dengan mendeteksi DNA virus ataupun protein
virus digunakan sebagai salah satu metode diagnosis infeksi VZV.
Spesimen sebaiknya disimpan di dalam es atau pendingin dengan suhu
-70C apabila penyimpanan dilakukan untuk waktu yang lebih lama.(1)
3. Teknik Serologi
Salah satu metode serologik yang digunakan untuk mendiagnosis
infeksi VZV didasarkan pada pemeriksaan serum akut dan konvalesens
yaitu IgM dan IgG. Pemeriksaan VZV IgM memiliki sensitivitas dan
spesifisitas yang rendah. Reaktivasi VZV memacu IgM yang terkadang
sulit dibedakan dengan kehadiran IgM pada infeksi primer. Salah satu
kepentingan pemeriksaan antibodi IgG adalah untuk mengetahui status
imun seseorang, dimana riwayat penyakit variselanya tidak jelas.
Pemeriksaan IgG mempunyai kepentingan klinis, guna mengetahui
antibodi pasif atau pernah mendapat vaksin aktif terhadap varisela.(1)
Keberadaan IgG pada dasarnya merupakan petanda dari infeksi laten
terkecuali pasien telah menerima antibodi pasif dari imunoglobulin. Teknik
lain adalah dengan menggunakan fluorescent-antibody membran eantigen
assay, pemeriksaan ini dapat mendeteksi antibodi yang terikat pada sel
yang terinfeksi oleh VZV. Tes ini sangat sensitif dan spesifik, hampir
serupa dengan pemeriksaan enzyme immunoassay atau imunoblotting.
mudah pecah.
Jika vesikel sudah pecah atau sudah berbentuk krusta, dapat diberikan
10
jam. Terapi dilanjutkan untuk 7 hari atau sampai tidak ada lesi baru yang
muncul dalam 48 jam.(1)
IX.Komplikasi
1. Varisela
Komplikasi yang paling sering ditemukan akibat infeksi varisela
adalah infeksi bakteri S. aureus atau Streptococcus pyogenes (grup A beta
hemolitik streptococcus). Antibiotik sebenarnya dapat dipakai untuk
mengurangi resiko kematian, namun pada keadaan sepsis kurang berguna.
Infeksi sekunder akibat bakteri biasanya ditandai dengan munculnya bula
atau selulitis, limfadenitis regional dan abses subkutan dapat muncul. S.
pyogenes umumnya menyebabkan varisela gangrenosa yang bersifat
invasif. Manifestasi lain yang adalah pneumonia, arthritis, dan
osteomyelitis. Sindroma Reye, yang merupakan ensefalopati non inflamasi
dengan degenerasi lemak pada hati dapat merupakan komplikasi yang
menyulitkan. Anak yang menderita varisela tidak boleh diberikan aspirin,
karena dapat meningkatkan resiko terjadinya sindroma Reye.(1)
Komplikasi neurologis seperti meningoensefalitis dan ataxia
cerebral merupakan gejala utama yang biasa terjadi. Komplikasi pada
susunan saraf pusat biasanya terjadi pada anak dibawah 5 tahun dan lebih
dari usia 20 tahun. Varisela ensefalitis biasanya dapat hilang dengan
sendirinya dalam waktu 24 hingga 72 jam. Begitu pula dengan ataksia
serebelum, biasanya hilang dalam beberapa waktu. Gejala seperti
perdarahan,
petekie,
purpura,
epistaksis,
hematuria,
perdarahan
2. Herpes Zoster
11
1. Imunisasi Pasif
12
VZIG
(Varicella-Zoster
2. Imunisasi Aktif
13
14
DAFTAR PUSTAKA
16
1. Kurniawan, M., N. Dessy & M. Tatang, 2009. Varisela zoster pada anak.
Medicinus, 3(1), hal. 23-31.
2. Lubis, RD., 2008. Varisela dan Herpes Zoster. Makalah. Departemen Ilmu
Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara, Medan.
3. Centers for Disease Control and Prevention (CDC), 1999. Prevention of
Varisela: updated recommendations of the Advisory Committee on
Immunization Practices (ACIP). MMWR U.S. Department of Health &
Human Services, 48(6), p. 1-5.
4. Gilden, L. Williams & Cohrs, 2002. Clinical features of Varisela Zoster Virus
infection of the nervous system. Review Article ANCR, 2(2), p. 7-10.
5. Arvin, AM., 2000. Varisela-zoster virus: Pathogenesis, immunity, and clinical
management in hematopoietic cell transplant recipients. Biology of Blood and
Marrow Transplantation, 6(1), p. 219-230.
6. Fairley, CK. & E. Miller, 1996. Varisela-Zoster Virus Epidemiology-A
Changing Scene?. The Journal of Infectious Diseases, 174(3), p. 314-319.
7. Fitzpatrick TB,
17