Anda di halaman 1dari 10

HUKUM PERDATA INTERNASIONAL

(Pertemuan Ke-5)

PENGGANTIAN HUKUM DAN PILIHAN HUKUM


Pilihan hukum mengakibatkan penggantian hukum.
Akibat pilihan hukum tidak sama, ada hukum publiknya dan hukum
privatnya berubah, misalnya:
a. Perkawinan campuran
b. Peleburan
c. Persamaan hak
Penundukan sukarela kepada Hukum Perdata Barat.
Hukum publiknya tidak berubah hanya hukum perdatanya yang berubah,
malahan adapula hukum perdatanya yang juga tidak berubah.
a. Penundukan sukarela seluruhnya
b. Penundukan sebagian: hukum harta kekayaan dan hukum waris
testamenter
c. Penundukan untuk perbuatan tertentu dari Hukum Barat: hukum
perjanjian dalam hukum harta kekayaan
d. Penundukan anggapan kepada Hukum Perdata Barat: wesel dan cek
e. Pilihan hukum dalam HAG (dalam arti luas) adalah kemauan sendiri
dari yang bersangkutan berlaku hukum perdata lain dari pada hukum
perdata yang semestinya berlaku untuk dirinya.
f. Pilihan hukum dalam HPI (dalam arti sempit ) adalah dalam perjanjian
para pihak dapat memilih hukum sendiri dalam hal isi dan peraturan
perjanjian mereka (Party Autonomie)
g. Penggantian hukum dan pilihan hukum:
1. Persamaan hak
2. Peleburan
3 & 4. Percampuran dengan suku bangsa asli dan persatuan dengan
masyarakat hukum setempat
5. Penggantian hukum karena perkawinan campuran
6. Peralihan agama
7. Pengakuan dan pengesahan anak
8. Penundukan sukarela kepada Hukum Perdata Barat

PERSAMAAN HAK
Hal ini terjadi bila orang bukan Eropa ingin termasuk golongan Eropa
dan memakai hukum perdata eropa.
Ada 2 macam persamaan hak yaitu:
1. Persamaan hak menurut UU formil
2. Persamaan hak menurut keputusan hakim informil
PERSAMAAN HAK MENURUT UU FORMIL (Pasal 163 IS ayat 5)
1. Permohonan kepada Gubernur Jenderal
2. Bila diizinkan permohonannya maka namanya akan dimuat dalam
Lembaran Negara = Orang Eropa Lembaran Negara
3. Memakai Hukum Perdata Barat
4. Syarat: - penyesuaian sempurna dengan masyarakat hukum eropa
- menganut agama kristen (subyektif)
- memakai nama keluarga
PERSAMAAN HAK MENURUT KEPUTUSAN HAKIM INFORMIL
Persamaan hak menurut keputusan Hakim Informal merupakan
kenyataan dalam pengadilan yaitu bila orang bukan Eropa menurut
hukum oleh hakim dianggap sebagai orang Eropa karena faktor-faktor
sosial seperti nama eropa, pekerjaan eropa, menikah dengan orang eropa,
dalam masyarakat tidak disangsikan sebagai orang Eropa, roman muka
Eropa, agama, cara hidup dll.
Contoh yurusprudensi:
1. Hooggerechtshof menetapkan Amudz (van de Zet) adalah orang Eropa
karena nama Eropa, pekerjaannya sebagai Kommies Pegawai Negeri,
dalam masyarakat Ia tidak disangsikan lagi sebagai orang Eropa dan Ia
menikah dengan wanita Eropa, walaupun Amudz adalah anaknya
Bapak Sait (BP)
2. Hooggerechtshof 1860 menetapkan R.A. De Fretes sebagai orang
Eropa karena kedudukannya dalam masyarakat dan roman mukanya
seperti orang Eropa
3. Orang Eropa di luar Lembaran Negara
4. Persamaan hak ini lebih kuat daripada persamaan hak menurut UU.

PELEBURAN/OPLOSSING (ASIMILASI)
Hal ini terjadi bila orang bukan Bumi Putera ingin termasuk golongan
Bumi Putera dan memakai Hukum Adat (Pasal 163 IS ayat 3)
Kleintjes:
Peleburan adalah problem menurut kenyataaan yang tergantung
pada pendapat subyektif pejabat yang bersangkutan.
Soepomo:
Peleburan adalah suatu kenyataan yang nyata dan harus
dianggap ada apabila seorang Eropa atau Timur Asing memeluk agama
islam, hidup dalam mayarakat Bumi Putera dan meniru kebiasaankebiasaan orang Bumi Putera.
Peleburan adalah soal yang sulit apalagi sering di salahgunakan,
motivasinya tidak terlalu murni.
Misalnya :
Memperoleh hak atas tanah atau menjadi kepala desa terlebur
Menghadapi pengadilan BP (Landraad) belum terlebur
Harus hati-hati dalam praktek
PERCAMPURAN DENGAN SUKU BANGSA ASLI DAN PERSATUAN
DENGAN MASYARAKAT HUKUM SETEMPAT
Hal ini terjadi bila seorang Bumi Putera dari satu lingkungan Hukum
Adat pindah ke lingkungan Hukum Adat lain atau seorang dari
lingkungan Hukum Adat yang satu melakukan hubungan hukum
dengan orang dari lingkungan Hukum Adat yang lain.
Gautama:
Persoalan percampuran dan persatuan termasuk HAT, karena dari satu
lingkungan hukum adat pindah ke lingkungan hukum adat lain.
Animus Manendi yaitu kehendak dari yang bersangkutan untuk terus
menerus bertempat tinggal di suatu tempat.
Peralihan sosial

Contoh yurisprudensi:
Raden Moehammad asal Banjar yang seumur hidupnya tinggal di
Minangkabau dan membuat surat wasiat menurut hukum Islam. Hal ini
jelas bertentangan dengan Hukum Adat Minangkabau, sehingga timbul
persoalan yaitu Raden Moehammad tersebut orang Banjar atau orang
Minangkabau.
Raden Moehammad menikah dengan wanita Minangkabau tapi
Landraad Padang mengatakan bahwa Ia seorang Banjar karena
seorang Minangkabau mempunyai gelar dan suku. Ia tidak mempunyai
tanah dengan rumah adat dan dikuburkan di perkuburan orang asing
dan tidak ada upacara yang mengatakan bahwa Ia masuk ke suku
Minangkabau. Jadi walaupun istrinya seorang Minangkabau dan Ia
menikah dengan secara adat Minangkabau. Namun menurut Landraad
hal tersebut belum cukup. Jadi Ia masih tetap sebagai orang Banjar
dan belum ada percampuran/persatuan.
Namun Raad van Justitie Padang menganggap bahwa Raden
Moehammad adalah seorang Minangkabau. Ia adalah anak dari
seorang wanita Bengkulu, namun seumur hidupnya Ia tinggal terus di
Padang. Ia belum pernah ke Banjarmasin tempat asalnya. Ia menikah
dengan wanita Minangkabau menurut tata cara Minangkabau dan
menjadi Kepala desa. Jadi menurut Raad van Justitie, karena hal-hal
tersebut maka Ia tersangkut dalam suku Chaniago.
Kesimpulan:
Dari putusan tersebut ternyata peralihan sosial tergantung dari
pendapat subyektif hakim terhadap faktor-faktor apa yang
dipentingkan.
PERCAMPURAN:
1. Dengan rakyat asli (otochtoon)
2. Wilayahnya lebih luas
3. Hubungan antar orang tidak mendalam
4. Pasti terjadi
PERSATUAN:
1. Dengan masyarakat hukum setempat

2. Wilayahnya lebih sempit


3. Hubungannya mendalam
4. Belum tentu terjadi karena harus ada peralihan sosial seperti menikah,
mendapat gelar, menjadi kepala desa

HUWELIJK ORDONANNANTIE CHRISTEN INDONESIERS


(HOCI)
Khusus untuk orang kristen.
Daerah HOCI: Jawa, Madura, Minahasa, Amboina, Saparua dan Banda.
Orang bertempat tinggal lama atau tidak lama tidak begitu memegang
peranan.
Harus ada Animus Manendi.
Pemerintah Hindia Belanda (dalam penjelasan HOCI):
1. seorang di daerah HOCI atau bukan daerah HOCI sudah cukup untuk
menentukan HOCI berlaku atau tidak.
2. Bila orang sudah menikmati peraturan HOCI meskipun ia kemudian
pindah ke daerah bukan HOCI maka HOCI tetap berlaku.
3. Menikmati HOCI artinya mendapat perlindungan dari HOCI untuk
istri dan anak-anak (Pasal 74 HOCI)

PENGGANTIAN HUKUM PADA PERKAWINAN


CAMPURAN
GHR (Gemengde Huwelyken Regeling) S. 1898 No. 158
Pasal 2 GHR: dalam perkawinan campuran istri mengikuti hukum dari
suami, mengikuti status dari suami baik hukum publik maupun hukum
perdata.
Dalam hukum publik istri masuk golongan suami dan dalam hukum
privat memakai hukum perdata barat.
Pasal ini penting karena menggambarkan adanya PERSAMAAN
PENGHARGAAN dari semua stelsel hukum di Indonesia.

Contoh: wanita Bumi Putera menikah dengan pria Eropa maka dipakai
Hukum Perdata Barat sama besarnya dengan wanita Eropa menikah
dengan pria bumi Putera maka dipakai Hukum Adat.
Pasal 75 HOCI: bila laki-laki Bumi Putera bukan kristen ingin menikah
dengan wanita Bumi Putera kristen, mereka dapat memakai peraturan
HOCI untuk perkawinan mereka
Pasal 75 HOCI bertentangan dengan Pasal 2 GHR
Masyarakat adat Matrilineal bertentangan dengan Pasal 2 GHR
Pasal 73 HOCI: bila ada suami-istri, kedua duanya islam kemudian
salah satu pindah ke agama kristen maka atas persetujuan keduaduanya dapat minta kepada pengadilan negeri supaya selanjutnya
perkawinan mereka diatur oleh HOCI
S. Gautama tentang Pasal 75 HOCI supaya ada pasal yang sebaliknya
agar dapat keadilan yaitu bila laki-laki Kristen ingin menikah dengan
wanita Islam supaya di perkenankan memilih hukum Islam untuk
perkawinannya

PERALIHAN AGAMA
Peralihan agama hanya penting untuk golongan Bumi Putera dan Timur
Asing Bukan Tionghoa. Untuk golongan Eropa dan Timur Asing
Tionghoa, agama tidak memegang peranan dalam hukum mereka.
Peralihan agama harus dibedakan:
1. Peralihan agama menurut agama/religius
a. Islam: mengucapkan syahadat, murtad
b. Khatolik: baptisan
c. tergantung keyakinan seseorang
2. Peralihan agama menurut hukum/yuridische overgan
a. Harus dilihat ada peralihan sosial atau tidak.
b. Apakah orang bersangkutan oleh masyarakat agama barunya
dianggap sebagai sesamanya.
Akibat peralihan agama terhadap perkawinan harus dibedakan:
1. Perkawinan campuran monogami

Bila suami beralih ke agama kristen maka istri berdasarkan Pasal 2


GHR mengikuti status suami, sehingga HOCI berlaku.
Bila istri yang beralih agama bisa dipergunakan Pasal 73 HOCI minta
kepada Pengadilan supaya untuk selanjutnya memakai HOCI dalam
perkawinan mereka.

2. Perakwinan intern monogami


Dalam hal ini ada 3 kemungkinan dapat berlaku:
a. Hukum lama
b. Hukum baru
c. Masing-masing mempunyai hukum sendiri
Hukum baru tidak dapat berlaku karena perbuatan sepihak tidak
menghapuskan perjanjian dua belah pihak. Masing-masing memakai
hukumnya sendiri menyebabkan dalam keluarga terdapat 2 macam
hukum, jadi masih tetap berlaku hukum lama sampai pihak lain juga
beralih agama sehingga berlaku HOCI.
3. Perkawinan campuran poligami
Bila suami beralih ke agama Kristen maka istri-istrinya
mengikuti status suami, beralih agama juga tetapi karena HOCI asas
perkawinannya adalah monogami maka tetap berlaku hukum lama.
4. Perkawinan intern poligami
Bila suami dan istri-istrinya semua beralih ke agama Kristen
karena asas perkawinan HOCI adalah monogami maka tetap berlaku
hukum lama. Jadi dalam perkawinan poligami tetap berlaku hukum
lama sampai tinggal seorang suami dan seorang istri, baru berlaku
hukum baru (HOCI)

Pasal 72 HOCI mengatakan bila dalam perkawinan suami istri,


kedua-duanya beragma Islam, kemudian salah satu beralih agama
Kristen maka bila tidak digunakan Pasal 72 maka tetap berlaku
hukum lama.

Pasal 73 HOCI mengatakan bila dalam perkawinan salah satu


beralih agama Kristen atas persetujuan kedua belah pihak bisa
minta kepada pengadilan supaya untuk selanjutnya perkawinan
mereka distur oleh HOCI.
Pasal 74 HOCI mengatakan suami istri yang pernah ada di bawah
HOCI mendapat perlindungan HOCI terhadap (terhadap anak dan
istrinya) untuk selamanya HOCI berlaku.

Usulan S. Gautama:
1. Supaya bila suami istri kemudian keduanya beralih ke agama Islam
agar berlaku Hukum Islam (bukan sekali HOCI tetap HOCI)
2. Pasal 75 HOCI, supaya ada juga yang mengatur bila pemuda Kristen
menikah dengan wanita Islam maka dapat dipakai Hukum Islam.

PENGAKUAN DAN PENGESAHAN ANAK ANTAR


GOLONGAN
Dalam hal ini pilihan hukum dilakukan oleh ayah dan yang berubah
statusnya adalah anak.
Mengenai anak diluar kawin yang tidak sah.
Bila ayah mengakui berlaku Pasal 284 BW maka hubungan hukum
antara anak Eropa dengan ibu Bumi Putera putus. Hubungan yang
putus ini dapat diperbaiki bila ada perkawinan antara ayah Eropa dan
ibu Bumi Putera yang dengan perkawinan tersebut mengakui anaknya.
Bila ayah tidak mengakui maka anak mengikuti status ibu Bumi Putera.
Pengakuan harus ada persetujuan dari ibu BP, tanpa persetujuan ibu
BP, ayah Eropa tidak dapat mengakui anaknya.
Jika Ibu BP tidak mau hubungan hukum dengan anaknya terputus
maka jangan menyetujui pengakuan anak.
Pasal 284 BW bertentangan dengan alam manusiawi.
Pasal 275 BW: pengesahan tanpa perkawinan
Menurut Pasal 275 BW bahwa syarat-syarat pengesahan anak antar
golongan dapat diberikan walaupun ibu Bumi Putera sudah meninggal,
atau ada keberatan sangat dari pemerintah Hindia Belanda, sehingga

tidak dapat dilakukan perkawinan antara ayah Eropa dan Ibu Bumi
Putera.
Ada pertentangan antara Pasal 284 BW dengan Pasal 2 BW yaitu untuk
pengesahan harus ada pengakuan lebih dulu, karena hubungan hukum
antara anak Eropa dan ibu Bumi Putera putus, maka pengakuan hanya
dapat dilakukan bila ada perkawinan.

Anda mungkin juga menyukai