Anda di halaman 1dari 18

TINJAUAN PUSTAKA

1. Asma
A. Definisi
Asma adalah peradangan (inflamasi) kronik saluran napas (trakeobronkial) yang
ditandai peningkatan respon saluran napas oleh berbagai stimulus (alergen) yang
menyebabkan obstruksi saluran napas bersifat reversibel spontan maupun dengan
pengobatan.1
B. Faktor resiko
-

Alergen (tepung sari bunga, debu rumah tangga, alergen binatang, alergen kecoa,
jamur)
Iritan (parfum, bau-bauan merangsang, household spray)
Infeksi saluran napas (influenza, pneumonia)
Makanan, aditif (pengawet, penyedap, pewarna makanan), obat-obatan
Sulfur dioksida
Olahraga
Perubahan cuaca
Asap rokok
Polusi udara
Stres emosional.1

C. Diagnosa
o Anamnesa
Pada anamnesa tanyakan:2
-

Apakah ada riwayat:


Batuk yang memburuk di malam hari
Mengi berulang
Kesulitan bernafas berulang
Perasaan sesak berulang
Gejala timbul atau semakin buruk di malam hari sehingga membangunkan
pasien
Gejala muncul pada musim-musim tertentu
Pasien juga memiliki riwayat eksim, alergi serbuk bunga, atau riwayat keluarga
dengan asma atau penyakit atopik
Gejala diawali atau semakin buruk dengan adanya:
1

Hewan berbulu
Zat-zat kimia dalam partikel udara
Perubahaan temperature
Kutu debu
Obat-obatan (Aspirin dan -Blocker)
Olahraga
Serbuk bunga
Infeksi saluran nafas
Merokok
Emosi
- Gejala mereda dengan terapi asma
- Gejala flu pasien butuh lebih dari 10 hari untuk sembuh
o Pemeriksaan fisik
Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan fisik dapat
normal. Kelainan yang paling sering ditemukan pada pemeriksaan fisik adalah
suara wheezing pada auskultasi. Pada keadaan serangan,

kontraksi otot polos

saluran nafas, edema dan hipersekresi dapat menyumbat jalan nafas; maka sebagai
kompensasi penderita bernafas pada volume paru yang lebih besar untuk mengatasi
menutupnya saluran nafas. Hal itu meningkatkan kerja pernafasan dan
menimbulkan tanda klinis berupa sesak nafas, mengi, dan hiperinflasi.1
Pada serangan ringan, mengi terdengar saat ekspirasi paksa. Walupun demikian
mengi dapat tidak terdengar (silent chest) pada serangan yang sangat berat, tetapi
biasanya disertai gejala lain seperti sianosis, gelisah, sukar bicara, takikardi,
hiperinflasi dan penggunaan otot bantu napas.1
o Pemeriksaan faal paru
Pemeriksaan faal paru digunakan untuk menilai:1
-

Obstruksi jalan nafas


Reversibiliti kelainan faal paru
Variability faal paru, sebagai penilaian tidak langsung hiperesponsif jalan nafas
Banyak parameter dan metode untuk menilai faal paru, tetapi yang telah

diterima secara luas (standar) dan mungkin dilakukan adalah pemeriksaan


spirometri dan arus puncak ekspirasi (APE).1
Spirometri
2

Pengukuran volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan kapasitas vital
paksa (KVP) dilakukan dengan maneuver ekspirasi paksa melalui prosedur yang
standar. Pemeriksaan itu sangat bergantung pada kemampuan penderita sehingga
dibutuhkan instruksi operator yang jelas dan kooperasi penderita. Untuk
mendapatkan nilai yang akurat, diambil nilai tertinggi dari 2-3 nilai yang
reproducible dan acceptable. Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio
VEP1/KVP < 75% atau VEP1 < 80% nilai prediksi.1
Manfaat pemeriksaan spirometri dalam diagnosis asma:1
-

Obstruksi jalan nafas diketahui bila nilai rasio VEP1/KVP <75% atau
VEP<80% nilai prediksi. Spirometri adalah metode yang dipilih untuk
mengukur hambatan aliran udara dan menentukan apakah hambatan tersebut
reversibel atau tidak.
Revesibiliti, yaitu perbaikan VEP115% secara spontan, atau setelah inhalasi
bronkodilator (uji bronkodilator), atau setelah pemberian bronkodilator oral 1014 hari, atau setelah pemberian kortikosteroid inhalasi/oral selama 2 minggu.
Menilai derajat berat asma.

Arus puncak ekspirasi (APE)


Nilai APE dapat diperoleh melalui pemeriksaan spirometri atau pemeriksaan
yang lebih sederhana yaitu dengan alat peak expiratory flow meter (PEF meter).
Alat PEF meter relatif mudah digunakan atau dipahami oleh dokter dan pasien
sehingga baik untuk digunakan memantau kondisi penderita asma sehari-hari di
rumah.1
Manfaat APE dalam diagnosis asma:
-

Reversibility, yaitu perbaikan nilai APE 15% setelah inhalasi bronkodilator,


atau bronkodilator oral 10-14 hari, atau terapi kortikosteroid oral 10-14 hari.
Variability, menilai variasi diurnal APE yang dikenal dengan variability APE
harian selama 1-2 minggu. Variability juga dapat digunakan untuk menilai
derajat berat penyakit.1

D. Klasifikasi
Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit dan pola
keterbatasan aliran udara. Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit penting bagi
pengobatan dan perencanaan penatalaksanaan jangka panjang, semakin berat asma
semakin tinggi tingkat pengobatan. Berat penyakit asma diklasifikasikan berdasarkan
gambaran klinis sebelum pengobatan dimulai (tabel 1.1).1
3

Pada umumnya penderita sudah dalam pengobatan, dan pengobatan yang telah
berlangsung seringkali tidak adekuat. Dipahami pengobatan akan mengubah gambaran
klinis bahkan faal paru, oleh karena itu penilaian berat asma pada penderita dalam
pengobatan juga harus mempertimbangkan pengobatan itu sendiri. Tabel 1.2
menunjukkan bagaimana melakukan penilaian berat asma pada penderita yang sudah
dalam pengobatan. Bila pengobatan yang sedang dijalani sesuai dengan gambran klinis
yang ada, maka derajat berat asma naik satu tingkat.1
Tabel 1.1 Klasifikasi derajat berat asma berdasarkan gambaran klinis (Sebelum
Pengobatan)
Derajat Asma
Intermitten

Gejala

Gejala Malam

Bulanan
* Gejala < 1 kali/minggu
* Tanpa gejala di luar
serangan
* Serangan singkat

* 2 kali sebulan

Faal Paru
APE 80%
* VEP1 80% nilai prediksi
APE 80% nilai terbaik
* Variabiliti APE < 20%

Persisten Ringan
Mingguan
* Gejala > 1 kali/minggu
* Serangan dapat
mengganggu aktiviti dan
tidur

* > 2 kali sebulan

APE > 80%


* VEP1 80% nilai prediksi
APE 80% nilai terbaik
* Variabiliti APE 20-30%

Persisten Sedang
Harian
* Gejala setiap hari
* Serangan dapat
mengganggu aktiviti dan
tidur
* Membutuhkan
bronkodilator setiap hari

* > 1 kali/minggu

APE 60-80%
* VEP1 60-80% nilai prediksi
APE 60-80% nilai terbaik
* Variabiliti APE > 30%

Persisten Berat
Kontinyu
* Gejala terus menerus
* Sering kambuh
* Aktiviti fisik terbatas

* Sering

APE 60%
* VEP1 60% nilai prediksi
APE 60% nilai terbaik
* Variabiliti APE > 30%
(Sumber: PDPI, 2003)1

Tabel 1.2 Klasifikasi derajat berat asma pada penderita dalam pengobatan

Tahapan pengobatan yang digunakan saat penilaian


Gejala dan faal paru dalam
Tahap I
Tahap II
Tahap III
pengobatan
Intermitten
Persisten Ringan Persisten Sedang
Tahap I : Intermitten
Intermitten
Persisten Ringan
Persisten Sedang
Gejala < 1 kali/minggu
Serangan singkat
Gejala malam < 2 kali/bulan
Faal paru normal di luar serangan
Tahap II : Persisten Ringan
Persisten Ringan
Persisten Sedang
Persisten Berat
Gejala > 1 kali/minggu, tetapi < 1
kali/hari
Gejala malam > 2 kali/bulan, tetapi < 1
kali/minggu
Faal paru normal di luar serangan
Tahap III : Persisten Sedang
Persisten Sedang
Persisten Berat
Persisten Berat
Gejala setiap hari
Serangan mempengaruhi aktiviti dan
tidur
Gejala malam > 1 kali/minggu
60%<VEP1<80% nilai prediksi
60%<APE<80% nilai terbaik
Tahap IV : Persisten Berat
Persisten Berat
Persisten Berat
Persisten Berat
Gejala terus menerus
Serangan sering
Gejala malam sering
VEP1 60% nilai prediksi atau APE
60% nilai terbaik
(Sumber: PDPI, 2003)1

E. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan asma:1
-

Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma


Mencegah eksaserbasi akut
Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin
Mengupayakan aktiviti normal termasuk exercise
Menghindari efek samping obat
Mencegah terjadi keterbatasan aliran udara (airflow limitation) ireversibel
Mencegah kematian karena asma
Penatalaksaan asma berguna untuk mengontrol penyakit. Asma dikatakan terkontrol
bila:1

Gejala minimal (sebaiknya tidak ada), termasuk gejala malam


Tidak ada keterbatasan aktiviti termasuk exercise
5

Kebutuhan bronkodilator (agonis 2 kerja singkat) minimal (idealnya tidak


diperlukan)
Variasi harian APE < 20%
Nilai APE normal atau mendekati normal
Efek samping obat minimal (tidak ada)
Tidak ada kunjungan ke unit gawat darurat
Program penatalaksanaan asma meliputi 7 komponen:1

Edukasi
Menilai dan monitor berat asma secara berkala
Identifikasi dan mengendalikan factor pencetus
Merencanakan dan memberikan pengobatan jangka panjang
Menetapkan pengobatan pada serangan akut
Kontrol secara teratur
Pola hidup sehat

Ketujuh hal tersebut di atas, juga disampaikan kepada penderita dengan bahasa
yang mudah dan dikenal (dalam edukasi) dengan 7 langkah mengatasi asma, yaitu:1
-

Mengenal seluk beluk asma


Menentukan klasifikasi
Mengenali dan menghindari pencetus
Merencanakan pengobatan jangka panjang
Mengatasi serangan asma dengan tepat
Memeriksakan diri dengan teratur
Menjaga kebugaran dan olahraga

Medikasi Asma
Medikasi asma ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala obstruksi jalan
napas, terdiri atas pengontrol dan pelega.1
o Pengontrol
Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma,
diberikan setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma terkontrol
pada asma persisten. Pengontrol sering disebut pencegah, yang termasuk obat
pengontrol:1
-

Kortikosteroid inhalasi
Kortikosteroid inhalasi adalah penanganan jangka panjang yang paling
efektif untuk mengontrol asma. Efek samping steroid inhalasi adalah efek
samping lokal seperti kandidiasis orofaring, disfonia dan batuk karena iritasi
saluran napas atas. Semua efek samping tersebut dapat dicegah dengan
6

penggunaan spacer, atau mencuci mulut dengan berkumur-kumur dan


membuang keluar setelah inhalasi.
-

Kortikosteroid sistemik
Kortikosteroid sistemik dapat diberikan melalui oral atau parenteral.
Kemungkinan digunakan sebagai pengontrol pada keadaan asma persisten
berat (setiap hari atau selang sehari), tetapi penggunaannya terbatas mengingat
risiko efek sistemik. Efek samping sistemik penggunaan glukokortikosteroid
oral/ parenteral jangka panjang adalah osteoporosis, hipertensi, diabetes,
supresi aksis adrenal pituitari hipotalamus, katarak, glaukoma, obesiti,
penipisan kulit, striae dan kelemahan otot.

Kromolin (sodium kromoglikat dan nedokromil sodium)


Kromolin (sodium kromoglikat dan nedokromil sodium) diberikan secara
inhalasi. Digunakan sebagai pengontrol pada asma persisten ringan.
Dibutuhkan waktu 4-6 minggu pengobatan untuk menetapkan apakah obat ini
bermanfaat atau tidak. Efek samping umumnya minimal seperti batuk atau rasa
tidak enak saat melakukan inhalasi.

Metilsantin
Teofilin adalah bronkodilator yang juga mempunyai efek ekstrapulmoner
seperti inflamasi. Pada dosis yang sangat rendah efek antiinflamasinya minim
pada inflamasi kronik jalan napas dan studi menunjukkan tidak berefek pada
hiperesponsif jalan napas. Teofilin juga digunakan sebagai bronkodilator
tambahan pada serangan asma berat. Teofilin atau aminofilin lepas lambat
dapat digunakan sebagai obat pengontrol, berbagai studi menunjukkan
pemberian jangka lama efektif mengontrol gejala dan memperbaiki faal paru.
Efek samping berpotensi terjadi pada dosis tinggi, hal itu dapat dicegah dengan
pemberian dosis yang tepat dengan monitor ketat. Gejala gastrointestinal
nausea, muntah adalah efek samping yang paling dulu dan sering terjadi.1

Agonis 2 kerja lama


Termasuk di dalam agonis 2 kerja lama inhalasi adalah salmeterol dan
formoterol yang mempunyai waktu kerja lama (>12 jam). Inhalasi agonis 2
kerja lama yang diberikan jangka lama mempunyai efek protektif terhadap
rangsang bronkokonstriktor. Pemberian inhalasi agonis 2 kerja lama,
menghasilkan efek bronkodilatasi lebih baik dibandingkan preparat oral.
Agonis 2 kerja lama inhalasi dapat memberikan efek samping sistemik
(rangsangan kardiovaskular, tremor otot rangka dan hipokalemia) yang lebih
7

sedikit atau jarang daripada pemberian oral. Bentuk oral juga dapat mengontrol
asma, yang beredar Indonesia adalah salbutamol lepas lambat, prokaterol dan
bambuterol. Mekanisme kerja dan perannya dalam tetapi sama saja dengan
bentuk inhalasi agonis 2 kerja lama, hanya efek sampingnya lebih banyak.
Efek samping berupa rangsangan kardiovaskular, ansieti dan tremor otot
rangka.1
-

Leukotriene modifiers
Obat ini merupakan asntiasma yang relatif baru dan pemberiannya melalui
oral. Saat ini yang beredar di Indonesia adalah zafirlukas (antagonis reseptor
leukotriene sisteinil). Efek samping jarang ditemukan. Zileuton dihubungkan
dengan toksik hati, sehingga monitor fungsi hati dianjurkan apabila diberikan
terapi zileuton.1

o Pelega
Prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos, memperbaiki
dan atau menghambat bronkostriksi yang berkaitan dengan gejala akut seperti
mengi, rasa berat di dada dan batuk, tidak memperbaiki inflamasi jalan napas atau
menurunkan hiperesponsif jalan napas. Termasuk pelega:1
-

Agonis 2 kerja singkat


Termasuk golongan ini adalah salbutamol, terbutalin, fenoterol, dan
prokaterol. Pemberian dapat secara inhalasi atau oral, pemberian inhalasi
mempunyai onset yang lebih cepat dan efek samping minimal atau tidak ada.
Efek sampingnya adalah rangsangan kardiovaskular, tremor otot rangka dan
hipokalemia.

Metilsantin
Termasuk dalam bronkodilator walau efek bronkodilatasinya lebih lemah
dibandingkan agonis -2. Aminofillin kerja singkat dapat dipertimbangkan
untuk mengatasi gejala walau disadari onsetnya lebih lama daripada agonis -2
. Teofilin berguna untuk respiratory drive, memperkuat fungsi otot pernapasan
dan mempertahankan respons terhadap agonis -2 di antara pemberian satu
dengan berikutnya. Teofilin berpotensi menimbulkan efek samping
sebagaimana metilsantin, tetapi dapat dicegah dengan dosis yang sesuai dan
dilakukan pemantauan.

Antikolinergik
8

Pemberiannya secara inhalasi. Termasuk dalam golongan ini adalah


ipratropium bromide dan tiotropium bromide. Efek samping berupa rasa kering
di mulut dan rasa pahit.1
-

Adrenalin
Dapat sebagai pilihan pada asma eksaserbasi sedang sampai berat, bila
tidak tersedia agonis 2 atau tidak respons dengan agonis 2 kerja singkat.
Pemberian secara subkutan harus dilakukan hati-hati pada penderita usia lanjut
atau dengan gangguan kardiovaskular. Pemberian intravena dapat diberikan
bila dibutuhkan, tetapi harus dengan pengawasan ketat (bedside monitoring).1

Macam-macam cara pemberian obat inhalasi:1


-

Inhalasi dosis terukur (IDT) / metered-dose inhaler (MDI)


IDT dengan alat bantu (spacer)
Breath-actuated MDI
Dry powder inhaler (DPI)
Turbuhaler
Nebulizer

Pengobatan berdasarkan derajat berat asma


o Asma intermiten
Pengobatan yang lazim adalah agonis 2 kerja singkat hanya jika dibutuhkan,
atau sebelum exercise pada exercise-induced asthma, dengan alternatif kromolin
atau leukotriene modifiers, atau setelah pajanan alergen dengan alternatif kromolin.
Bila terjadi serangan, obat pilihan agonis 2 kerja singkat inhalasi, alternatif agonis
2 kerja singkat oral, kombinasi teofilin kerja singkat dan agonis 2 kerja singkat
oral atau antikolinergik inhalasi. Jika dibutuhkan bronkodilator lebih dari sekali
seminggu selama 3 bulan, maka sebaiknya penderita diperlakukan sebagai asma
persisten ringan.1
o Asma persisten ringan
Penderita asma persisten ringan membutuhkan obat pengontrol setiap hari
untuk mengontrol asmanya dan mencegah agar asmanya tidak bertambah berat,
sehingga terapi utama pada asma persiten ringan adalah antiinflamasi setiap ahri
dengan glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah. Dosis yang dianjurkan 200-400
ug BD/hari atau 100-250 ug FP/hari atau ekivalennya, diberikan sekaligus atau
terbagi 2 kali sehari. Terapi lain adalah bronkodilator (agonis 2 kerja singkat
inhalasi) jika dibutuhkan sebagai pelega, sebaiknya tidak lebih dari 3-4 kali sehari.
Bila penderita membutuhkan pelega/bronkodilator lebih dari 4 kali/sehari,
9

pertimbangkan
berikutnya.1

kemungkinan

beratnya

asma

meningkat

menjadi

tahapan

o Asma persisten sedang


Penderita asma persisten sedang membutuhkan obat pengontrol setiap hari
untuk mencapai asma terkontrol dan mempertahankannya. Idealnya pengontrol
adalah kombinasi inhalasi glukokortikosteroid (400-800 ug BD/hari atau 250-500
ug FP/hari atau ekivalennya) terbagi dalam 2 dosis dan agonis 2 kerja lama 2 kali
sehari. Jika penderita hanya mendapatkan glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah
( 400 ug BD atau ekivalennya) dan belum terkontrol, maka harus ditambahkan
agonis 2 kerja lama inhalasi atau alternatifnya. Jika masih belum terkontrol, dosis
glukokortikosteroid inhalasi dapat dinaikkan. Dianjurkan menggunakan alat bantu
(spacer) pada inhalasi bentuk IDT/MDI atau kombinasi dalam satu kemasan (fix
combination) agar lebih mudah.1
Terapi lain adalah bronkodilator (agonis 2 kerja singkat inhalasi) jika
dibutuhkan, tetapi sebaiknya tidak lebih dari 3-4 kali sehari. Alternatif agonis 2
kerja singkat inhalasi sebagai pelega adalah agonis 2 kerja singkat oral, atau
kombinasi oral teofilin kerja singkat dan agonis 2 kerja singkat. Teofilin kerja
singkat sebaiknya tidak digunakan bila penderita telah menggunakan teofilin lepas
lambat sebagai pengontrol.1
o Asma persisten berat
Terapi utama adalah kombinasi inhalasi glukokortikosteroid dosis tinggi (> 800
ug BD/hari atau ekivalennya) dan agonis 2 kerja lama 2 kali sehari. Kadangkala
kontrol lebih tercapai dengan pemberian glukokortikosteroid inhalasi terbagi 4 kali
sehari daripada 2 kali sehari. Teofilin lepas lambat, agonis 2 kerja lama oral dan
leukotriene modifiers dapat sebagai alternatif agonis 2 kerja lama inhalasi dalam
perannya sebagai kombinasi dengan glukokortikosteroid inhalasi, tetapi juga dapat
sebagai tambahan terapi selain kombinasi terapi yang lazim (glukokortikosteroid
inhalasi dan agonis 2 kerja lama inhalasi). Jika sangat dibutuhkan, maka dapat
diberikan glukokortikosteroid oral dengan dosis seminimal mungkin, dianjurkan
sekaligus single dose pagi hari untuk mengurangi efek samping. Pemberian
budesonide secara nebulisasi pada pengobatan jangka lama untuk mencapai dosis
tinggi glukokortikosteroid inhalasi adalah menghasilkan efek samping sistemik
yang sama dengan pemberian oral, padahal harganya jauh lebih mahal dan
menimbulkan efek samping local seperti sakit tenggorok/mulut. Sehingga tidak
dianjurkan untuk memberikan glukokortikosteroid nebulisasi pada asma di luar
serangan/stabil atau sebagai penatalaksanaan jangka panjang.1
Tabel 1.3 Pengobatan sesuai berat asma
10

Semua tahapan : ditambahkan agonis 2 kerja singkat untuk pelega bila dibutuhkan, tidak
melebihi 3-4 kali sehari
Berat Asma
Medikasi pengontrol
Alternatif/ Pilihan lain
Alternatif lain
harian
Asma
Tidak perlu
----------Intermitten
Asma
Glukokortikosteroid
* Teofilin lepas lambat
-----Persisten
inhalasi (200-400 ug
* Kromolin
Ringan
BD/hari atau ekivalennya) * Leukotriene modifiers
Asma
Kombinasi inhalasi
* Glukokortikosteroid inhalasi * Ditambah agonis
Persisten
glukokortikosteroid (400- (400-800 ug BD/hari atau
2 kerja lama oral
Sedang
800 ug BD/hari atau
ekivalennya) ditambah Teofilin * Ditambah teofilin
ekivalennya) dan agonis
lepas lambat, atau
lepas lambat
2 kerja lama
* Glukokortikosteroid inhalasi
(400-800 ug BD/hari atau
ekivalennya) ditambah agonis
2 kerja lama oral, atau
* Glukokortikosteroid inhalasi
dosis tinggi (>800 ug BD/hari
atau ekivalennya), atau
* Glukokortikosteroid inhalasi
(400-800 ug BD/hari atau
ekivalennya) ditambah
leukotriene modifiers
Asma
Kombinasi inhalasi
Prednisolone/ metilprednisolon
Persisten
glukokortikosteroid (>800 oral selang sehari 10 mg
Berat
ug BD/hari atau
ditambah agonis 2 kerja lama
ekivalennya) dan agonis
oral, ditambah teofilin lepas
2 kerja lama, ditambah
lambat
1 di bawah ini:
- teofilin lepas lambat
- leukotriene modifiers
- glukokortikosteroid oral
Semua tahapan : Bila tercapai asma terkontrol, pertahankan terapi paling tidak 3 bulan,
kemudian turunkan bertahap sampai mencapai terapi seminimal mungkin dengan kondisi
asma tetap terkontrol
(Sumber: PDPI, 2003)

Indikator asma tidak terkontrol:1


-

Asma malam, terbangun malam hari karena gejala-gejala asma


Kunjungan ke gawat darurat, ke dokter karena serangan akut
Kebutuhan obat pelega meningkat (bukan akibat infeksi pernapasan, atau exerciseinduced asthma)

11

Pertimbangkan beberapa hal seperti kekerapan/frekuensi tanda-tanda (indicator)


tersebut di atas, alas an kemungkinan lain, penilaian dokter, maka tetapkan langkah
terapi, apakah perlu ditingkatkan atau tidak.1
Alasan/kemungkinan asma tidak terkontrol:1
-

Teknik inhalasi
Kepatuhan

: Evaluasi teknik inhalasi penderita


: Tanyakan kapan dan berapa banyak penderita menggunakan
obat-obatan
Lingkungan
: Tanyakan penderita, adakah perubahan di sekitar lingkungan
penderita atau lingkungan tidak terkontrol
Kemungkinan penyakit saluran napas yang memperberat seperti sinusitis,
bronchitis, dan lain-lain

Bila semua baik pertimbangkan alternatif diagnosis lain.1


F. Pencegahan
Pencegahan meliputi:1
2.

Pencegahan primer adalah mencegah tersensitisasi dengan bahan yang


menyebabkan asma
Pencegahan sekunder adalah mencegah yang sudah tersensitisasi untuk tidak
berkembang menjadi asma
Pencegahan tersier adalah mencegah agar tidak terjadi serangan atau bermanifestasi
klinis asma pada penderita yang sudah menderita asma.

Asma pada kondisi khusus


Kehamilan
Selama kehamilan berat penyakit asma dapat berubah sehingga penderita memerlukan
pengaturan jenis dan dosis obat asma yang dipakai. Penelitian retrospektif memperlihatkan
bahwa selama kehamilan 1/3 penderita mengalami perburukan penyakit, 1/3 lagi menunjukkan
perbaikan dan 1/3 sisanya tidak mengalami perubahan. Meskipun selama kehamilan
pemberian obat-obat harus berhati-hati, tetapi asma yang tidak terkontrol bisa menimbulkan
masalah pada bayi berupa peningkatan kematian perinatal, pertumbuhan janin terhambat dan
lahir prematur, peningkatan insidensi operasi caesar, berat badan lahir rendah dan
perdarahan postpartum. Prognosis bayi yang lahir dari ibu menderita asma tapi terkontrol
sebanding dengan prognosis bayi yang lahir dari ibu yang tidak menderita asma. Oleh sebab

12

itu mengontrol asma selama kehamilan sangat penting untuk mencegah keadaan yang tidak
diinginkan baik pada ibu maupun janinnya.1
A. Patofisiologi
Hiperventilasi relatif selama kehamilan mulai terlihat pada trimester pertama.
Perubahan ini dikarenakan adanya peningkatan volume tidal sedangkan frekuensi
pernafasan relatif tidak mengalami perubahan selama kehamilan. Peningkatan volume
tidal prinsipnya disebabkan oleh peningkatan produksi progesteron plasenta yang juga
menyebabkan sensasi nafas pendek (dispneu kehamilan) yang biasa terjadi pada
kehamilan. Hiperventilasi kehamilan berhubungan dengan perubahan penting pada gas
darah arteri dengan tekanan karbondioksida arteri istirahat (PCO 2) < 35 mmHg.
Alkalosis respirator kronis ini sebagian dikompensasi oleh peningkatan ekskresi
bikarbonat ginjal. Konsumsi oksigen total dan rasio metabolik basal juga meningkat
sampai 20% dan 15% sesuai dengan peningkatan tekanan oksigen ibu yang juga biasa
terjadi pada kehamilan normal. Nilai normal PO2 bervariasi dari 106-108 mmHg selama
trimester pertama dan sedikit menurun pada trimester ketiga. Oksigenisasi banyak
dipengaruhi oleh posisi tubuh. 25% wanita hamil memiliki tekanan oksigen arteri < 90
mmHg pada posisi berbaring dan ada kecenderungan mengalami peningkatan gradien
oksigen arterial-alveolar pada posisi berbaring dari pada posisi berdiri.3
o Efek asma terhadap kehamilan
Asma khususnya jika berat pada kenyataannya dapat berpengaruh pada
kehamilan. Menurut Clark, dkk (1993) dua penelitian besar epidemiologi
mengatakan bahwa asma berpotensi memberikan efek yang merugikan, diikuti
dengan peningkatan insidensi lahir premature, BBLR, kematian perinatal, dan
preeklamsi, gangguan tekanan darah ini disertai dengan bocornya protein pada
urine ibu dan sangat potensial untuk terjadinya kerusakan ginjal, otak, hepar, dan
mata. Lehrer, dkk (1993) melaporkan bahwa wanita asma memiliki insidensi dua
koma lima kali lipat dari kehamilan menimbulkan hipertensi.4

13

Komplikasi

yang

dapat

mengancam

hidup

yaitu

pneumothorax,

pneumomediastinum, akut cor pulmonale, cardiac aritmia, kelelahan otot dengan


respiratory arrest.4
o Efek kehamilan terhadap asma
Pengaruh kehamilan terhadap perjalanan klinis asma, bervariasi dan tidak dapat
diduga. Dispnea simtomatik yang terjadi selama kehamilan, yang mengenai 60-70%
wanita hamil, bisa memberi kesan memperberat keadaan asma. Wanita yang
memulai kehamilan dengan asma yang berat, tampaknya akan mengalami asma
yang lebih berat selama masa kehamilannya dibandingkan dengan mereka yang
dengan asma yang lebih ringan. Sekitar 60% wanita hamil dengan asma akan
mengalami perjalanan asma yang sama pada kehamilan-kehamilan berikutnya.5
Gluck& Gluck menyimpulkan bahwa peningkatan kadar IgE diperkirakan akan
memperburuk keadaan asma selama kehamilan, sebaliknya penderita dengan kadar
IgE yang menurun akan membaik keadaannya selama kehamilan.6
Eksaserbasi serangan asma tampaknya sering terjadi pada trimester III atau
pada saat persalinan, hal ini menimbulkan pendapat adanya pengaruh perubahan
faktor hormonal, yaitu penurunan progesteron dan peningkatan prostaglandin,
sebagai faktor yang memberikan pengaruh. Pada persalinan dengan seksio sesarea
resiko timbulnya eksaserbasi serangan asma mencapai 18 kali lipat dibandingkan
jika persalinan berlangsung pervaginam.5
B. Penatalaksanaan
Tujuan terapi asma pada pasien hamil adalah memberikan terapi manajemen asma
untuk mempertahankan kualitas hidup dan kesehatan ibu dan juga baik untuk
pematangan janin.7
Pada umumnya semua obat asma dapat dipakai saat kehamilan kecuali komponen
adrenergik, bromfeniramin dan epinefrin. Kortikosteroid inhalasi sangat bermanfaat
untuk mengontrol asma dan mencegah serangan akut terutama saat kehamilan. Bila

14

terjadi serangan, harus segera ditanggulangi secara agresif yaitu pemberian inhalasi
agonis 2, oksigen dan kortikosteroid sistemik.1
Pemilihan obat pada penderita hamil, dianjurkan:1
-

Obat inhalasi
Memakai obat-obat lama yang pernah dipakai pada kehamilan sebelumnya yang
sudah terdokumentasi dan terbukti aman

Pembedahan
Hiperesponsif jalan napas, gangguan aliran udara dan hipersekresi mukosa pada
penderita asma merupakan factor predisposisi timbulnya komplikasi respirasi selama dan
sesudah tindakan bedah. Komplikasi pembedahan pada asma tergantung pada beberapa
faktor yaitu berat penyakit saat pembedahan, jenis pembedahan (bedah toraks dan abdomen
bagian atas mempunyai resiko lebih tinggi) dan jenis anestesi (anestesi umum dan
penggunaan pipa endotrakeal mempunyai resiko lebih tinggi). Faktor-faktor tersebut perlu
dinilai atau dievaluasi termasuk pemeriksaan spirometri. Jika memungkinkan evaluasi
penilaian tersebut dilakukan beberapa hari sebelum operasi, untuk memberikan kesempatan
pengobatan tambahan. Bila didapatkan VEP1 < 80% nilai terbaik atau prediksi, maka
pemberian kortikosteroid akan mengurangi obstruksi jalan napas. Pada penderita yang
mendapat kortikosteroid sistemik dalam 6 bulan terakhir, sebaiknya diberikan kortikosteroid
sistemik selama operasi yaitu hidrokortison iv 100 mg atau ekivalennya setiap 8 jam dan
segera diturunkan dalam 24 jam pembedahan. Harus diperhatikan pemberian kortikosteroid
jangka lama dapat menghambat penyembuhan luka.1
Untuk penderita asma stabil yang akan dibedah dianjurkan pemberian aminofilin infus 4
jam sebelum operasi dan kortikosteroid injeksi 2 jam sebelum pembedahan untuk mencegah
terjadi bronkospasme.1
Asma kerja
Asma adalah kelainan yang berhubungan dengan pekerjaan yang paling sering
ditemukan di negara-negara industri. Definisi asma kerja ialah asma yang disebabkan oleh
pajanan zat di tempat kerja. Pekerja yang mempunyai resiko tinggi terjadi asma kerja adalah
15

mereka yang bekerja di perkebunan, pertanian, pengecatan, pembersihan dan industri


plastik.1
Dikenal 2 jenis asma kerja yaitu asma kerja yang diperantarai mekanisme imunologis
dan yang tidak diperantarai mekanisme imunologis. Asma kerja yang diperantarai
mekanisme imunologis terjadi lebih sering dan mempunyai periode laten beberapa bulan
sampai beberapa tahun sesudah pajanan, mekanisme yang pasti belum diketahui,
kemungkinan melibatkan reaksi alergik yang diperantarai IgE dan juga sel-sel inflamasi.
Asma yang tidak melalui mekanisme imunologis atau asma yang diinduksi oleh iritan tidak
mempunyai periode laten, contohnya reactive airway dysfunction syndrome (RADS). Gejala
yang khas berhubungan dengan obstruksi dan hiperesponsif jalan napas terjadi dalam 24 jam
sesudah pajanan konsentrasi tinggi zat iritan, gas, uap atau bahan kimia pada individu yang
sebelumnya sehat selama paling lama tiga bulan.1
Diagnosis asma kerja sebaiknya dipertimbangkan pada setiap penderita dewasa baru
atau mengalami perburukan. Deteksi asma kerja memerlukan pengamatan sistematik
mengenai pekerjaan penderita dan pajanan zat. Perbaikan gejala ketika keluar dari
lingkungan kerja dan memburuk ketika kembali ke tempat kerja adalah dugaan yang kuat
terdapat hubungan asma dengan lingkungan kerja. Mengingat penanganan asma kerja
seringkali berkaitan dengan pindah lingkungan kerja, maka diagnosisnya harus
mempertimbangkan dampak sosioekonomi dengan selalu melakukan konfirmasi diagnosis
secara objektif, salah satu cara adalah mengukur APE paling kurang 4 kali selama 2 minggu
saat penderita bekerja dan 2 minggu lagi saat ia tidak bekerja. Pengukuran tersebut
dilakukan sendiri oleh penderita, pemeriksaan tambahan berupa uji provokasi bronkus
dengan bahan nonalergen menguatkan hasil bahwa perubahan APE pada perubahan
lingkungan adalah disebabkan asma kerja.1
Bila diagnosis asma kerja telah ditegakkan maka penatalaksanaan yang ideal adalah
menghindari bahan pajanan yang relevan secara total. Asma kerja mungkin tidak reversibel
penuh meskipun setelah bertahun-tahun dihindari dari bahan penyebab utama, terutama bila
gejala sudah berlangsung lama sebelum dijauhkan dari pajanan. Pajanan yang terus berlanjut
dapat memperburuk penyakit dan berpotensi menimbulkan serangan yang fatal,
kemungkinan kecil untuk terjadi remisi dan kelainan fungsi paru menetap. Obat-obat
16

farmakologi pada asma kerja sama dengan obat untuk asma secara umumnya, bersama-sama
dengan menghindari pajanan secara adekuat. Penanganan asma sebaiknya berkonsultasi
dengan spesialis paru atau spesialis kesehatan kerja.1
Atopi dan kebiasaan merokok meningkatkan resiko sensitisasi bahan kerja yang
berpotensi menimbulkan gangguan pernapasan. Pencegahan yang paling efektif adalah
membatasi atau mengurangi pajanan bahan kerja dengan cara mengganti dengan bahan yang
aman bila mungkin, dan melakukan higiene lingkungan kerja yang adekuat.1
Rhinitis, Sinusitis dan Polip Hidung
Asma dan rhinitis sering terdapat bersamaan. Alergen yang umum seperti debu rumah,
bulu binatang, tepung sari, aspirin dan anti inflamasi nonsteroid dapat mempengaruhi hidung
maupun bronkus. Rhinitis sering mendahului timbulnya asma, sebagian besar penderita
asma yaitu 75% asma alergi dan lebih dari 80% nonalergi mempunyai gejala rhinitis alergi
musiman. Asma dan rhinitis adalah kelainan inflamasi saluran napas, tetapi terdapat
perbedaan antara kedua penyakit tersebut dalam hal mekanisme, gambaran klinis dan
pengobatan. Pengobatan rhinitis dapat memperbaiki gejala asma. Obat-obat antiinflamasi
seperti kortikosteroid, kromolin, antileukotrin dan antikolinergik efektif untuk kedua
penyakit, sedangkan agonis lebih efektif untuk rhinitis dan agonis lebih efektif untuk
asma.1
Sinusitis adalah suatu komplikasi dari infeksi saluran napas atas, rhinitis alergi, polip
hidup dan obstruksi hidung lain. Sinusitis akut dan kronik dapat mencetuskan asma.
Pemberian antibiotik dapat mengurangi gejala untuk beberapa waktu. Pemberian antibiotik
minimal 10 hari. Pengobatan juga meliputi pemberian obat dekongestan atau steroid
topikal.1
Polip hidung dihubungkan dengan asma, rhinitis dan sensitif terhadap aspirin. Timbul
terutama pada penderita usia > 40 tahun dan sering pada penderita dengan uji kulit negatif.
Tujuh sampai 15%, penderita asma mempunyai polip hidung, frekuensi tertinggi pada
penderita usia > 50 tahun. Dua puluh sembilan sampai 70% penderita dengan polip hidung
menderita asma. Polip hidung mempunyai respons yang baik pada pemberian steroid
sistemik dan steroid topikal.1
17

Refluks Gastroesofagus
Hubungan antara gejala asma yang meningkat terutama malam hari dengan refluks
gastroesofagus adalah masih diperdebatkan, walaupun kejadian refluks gastroesofagus pada
penderita asma hamper 3 kali lebih banyak dibandingkan pada bukan penderita asma.
Sebagian besar penderita asma dengan gangguan tersebut, mempunyai hernia hiatus, yang
dipikirkan akibat penggunaan metilsantin yang mepunyai sifat merelaksasi cincin bawah
esofagus.1
Diagnosis refluks gastroesofagus dengan melakukan pemeriksaan pH esofagus dan
fungsi paru secara bersamaan. Berikan pengobatan untuk mengatasi gejala refluks dan
anjurkan pola makan jumlah sedikit tetapi sering, hindari makanan (snack) dan minum
diantara makanan utama dan waktu tidur, hindari makanan berlemak, alcohol, teofilin,
agonis 2 oral, beri pengobatan untuk meningkatkan tekanan esofagus bagian bawah seperti
antagonis H2 atau penghambat pompa proton dan bila tidur dengan posisi kepala tinggi.1

18

Anda mungkin juga menyukai