Anda di halaman 1dari 3

Hari itu ada yang berbeda di Daily Routine Coffee.

Arti beda disini


bukan berarti ada menu baru atau tatanan letak kedai yang berubah.
Semenjak pertama kali aku datang dan bermain sambil belajar di kedai
kopi ini, aku belum pernah merasakan banyaknya pengunjung yang
hadir dan membuat sebuah suasana kedai sangat ramai. Biasanya
suasana yang tenang, sahdu, dan tentram inilah yang membuatku
betah untuk duduk berlama-lama sambil menikmati secangkir kopi
aeropress buatanku sendiri. Namun hari ini beda, aku yang terkejut
ketika pertama kali hendak memarkirkan motor melihat kedai ini
penuh dengan pemuda-pemudi berbaju serba hitam dan celana sobek
dilutut serta jaket jeans belel dengan penuh bordiran emblem. Wow,
banyak anak punk, pikirku. Dan benar saja, begitu aku akan
memarkirkan sepeda motorku, seseorang menginstruksikan padaku
untuk segera mematikan mesin sepeda motor karena pemutaran video
doukumenter sedang berlangsung. Dengan respect, akupun segera
mematikan bunyi mesin sepeda motorku dan mendorongnya hingga
sampai pada posisi parkir yang benar.
Rupanya, hari itu sedang berlangsung sebuah acara peluncuran film
documenter yang bertajuk Ini Scene Kami Juga. Film documenter
tersebut adalah sebuah film yang mendokumentasikan tentang
keterlibatan kaum perempuan dalam skena hardcore/punk di
Indonesia. Acara ini diorganisir oleh Woo Kolektif yang memang telah
banyak membuat acara-acara serupa di dunia hardcore dan punk
tersebut. inti dari acara ini sebenarnya adalah ingin mematahkan
stigma negative tentang anak hardcore dan juga punk yang beredar
dimasyarakat, apalagi perempuan. Disisi lain, dalam acara ini,
menceritakan dengan jelas bahwa perempuan juga berhak untuk
mendapatkan porsi yang sama dalam sebuah scene yang lebih banyak
di dominasi oleh kaum adam tersebut.
Dialah Dinda Advena selaku frontline dari daily rats, Hera Mary selaku
film maker, Ika Vantiani yang ternyata adalah pemilik dan pencetus
Penitik Pink (PePi) yaitu sebuah wadah produktif yang menaungi dan
mensupport semua aktifitas produktif yang dihasilkan oleh para anak
punk dan hardcore, serta Tika yang aku lupa untuk menulis profil
tentangnya. mereka semua kemudian berdiskusi dalam sebuah
talkshow langsung dan mengemukakan pendapatnya masing-masing
dengan perannya masing-masing.
Banyak isu yang kemudian digali dan dibicarakan bersama dalam
talkshow tersebut. salah satunya adalah isu seksisme dan juga
pelecehan seksual yang terkadang harus mereka terima saat
menghadiri sebuah acara hardcore dan punk. Seksisme sendiri adalah
sebuah diskriminasi gender yang menilai bahwa kaum perempuan
dianggap rendah pada saat sebuah acara hardcore berlangsung. Dinda
dan Tika, selaku frontline dari sebuah band hardcore pun sering
mengalaminya. Menurut mereka, selalu saja ada yang mengambil
kesempatan untuk bisa meraba-raba apa yang seharusnya tidak diraba

oleh kaum adam. Padahal, menurut Ika, menikmati sebuah acara itu
adalah suatu hak bersama tanpa harus melihat gender. Baik laki-laki
ataupun perempuan memiliki kesamaan hak untuk berkarya. Pesan
utama dari film documenter ini menurut sang pembuatnya, Hera Mary,
tak lain adalah memberikan ruang yang layak dan memberikan sikap
respect antar sesame kaum penikmatnya, serta tanpa adanya
diskriminasi dari segi manapun.
Berbicara mengenai hardcore/punk perempuan rasanya memang tidak
terlepas
dari
tanggapan
negative
masyarakat
luar.
Kaum
hardcore/punk lalaki saja terkadang dipandang sebelah mata, apalagi
kaum perempuan. Untuk itulah para pembicara kemudian berusaha
untuk mengedukasi serta menghilangkan miskonsepsi terhadap kaum
hardcore/punk. Miskonsepsi yang terjadi dimasyarakat umum hanya
pandangan-pandangan negative terhadap mereka. Pengganggu,
pembuat onar, serta tidak memiliki masa depan sudah menjadi cap
yang melekat kuat pada mereka. Namun, itu semua ternyata tidak
benar. Ika, selalu pemilik rumah kolektif PePi menjelaskan bahwa
sekarang ini sudah saatnya untuk meluruskan apa yang telah menjadi
miskonsepsi tersebut. Menurutnya, banyak karya brilliant bermunculan
dari kaum marginal yang selalu mendapat pandangan negative ini.
karya-karya tersebut bahkan sanggup menembus pasar luar negeri
bahkan sangat dipuji dan diapresiasi oleh mereka.
Pesan terakhir yang ingin disampaikan oleh masing-masing
narasumber adalah bahwa kaum perempuan nyatanya mampu
bersaing dengan kaum laki-laki di dunia hardcore/punk Indonesia.
Suksesnya acara gigs khusus perempuan yang pernah dibuat tak lepas
dari peran dan keinginan kuat dari semua hardcore/punk wanita yang
ingin merasakan rasa aman dari gangguan-gangguan mengenai
seksisme dan pelecehan seksual. Dinda menambahkan bahwa
menyimpang dari kultur untuk mendapatkan kenyamanan bukan
berarti harus mendapatkan cibiran negative. Masyarakat harusnya
tidak hanya melihat dari kulit luarnya saja. Pahami dan dalami sebelum
men-judge seseorang yang melenceng dari kehidupan normal.
Acara itupun kemudian diakhiri dengan tepuk tangan meriah dari
semua penontonnya. Meskipun acara ini awalnya dikhususkan untuk
kaum perempuan, namun nyatanya perbandingan jumlah pengunjung
laki-laki lebih mendominasi. Aku yang masih menikmati segelas kopi
papua akhirnya paham, bahwa perempuan ternyata memiliki peranan
yang dahsyat dalam perkembangan music hardcore/punk saat ini.
sudah lama sekali rasanya aku tidak mengikuti perkembangan aliran
music ini. sudah banyak perubahan-perubahan yang telah terjadi
didalamnya. Sudah banyak pula karya-karya besar yang sudah
tercipta. Akupun pada akhirnya terinspirasi oleh para narasumber
tersebut. Pesan yang menjadi pelajaranku adalah lakukan hal apa saja
yang menurut kamu itu benar dan membuat kamu nyaman, jangan

pedulikan tanggapan orang lain, karena mereka hanya melihat kulit


luarnya saja.
Satu persatu pengunjungpun mulai berpergian. Gelas-gelas kopi yang
beredar mulai masuk kembali ke tempatnya dibar. Setelah semua
dibersihakan dan dirapikan, sekarang giliran botol-botol keleng beer
yang berputar. Happy hardcore!!

Anda mungkin juga menyukai