Anda di halaman 1dari 110
BAB2 LANDASAN TEORI 2.1, Pemasaran Jasa 2.1.1. Definisi Pemasaran Pemasaran berhubungan dengan mengidentifikasi dan memenuhi kebutuhan manusia dan masyarakat (Kotler dan Keller, 2007). Definisi pemasaran telah berkembang pesat sekali dari dulu sampai sekarang yang dirumuskan sebagai berikut (Kertajaya, 2002): a, Pemasaran adalah menghubungkan penjual dengan pembeli potensial. b. Pemasaran adalah menjual barang, dan barang tersebut tidak kembali ke orang yang menjualnya, ¢. Pemasaran adalah memberikan sebuah standar kehidupan. 2.1.2. Definisi Jasa Jasa adalah setiap Kegiatan atau manfaat yang dapat diberikan oleh suatu pihak kepada pihak lainnya yang pada dasamya tidak berwujud dan tidak pula berakibat pemilikan sesuatu. Produksinya dapat atau tidak dapat dipertalikan dengan suatu produk fisik (Kotler dan Keller, 2007). Jasa merupakan aktivitas, manfaat atau kepuasan yang ditawarkan untuk dijual, Contohnya bengkel reparasi, Kursus, Iembaga pendidikan, jasa telekomunikasi, transportasi, dan lain-lain (Tjiptono, 2005). 12 Jasa adalah setiap tindakan atau kinerja yang dapat ditawarkan satu pihak kepada pihak lain, yang pada dasarnya tidak berwujud dan tidak mengakibatkan kepemilikan sesuatu (Kotler & Keller, 2007). Services are those separately identifiable, essentially intangible activities that provide want-satisfaction, and that are not necessarily tied to the sale of a product or another service. To produce a service may or may not require the use of tangible goods. However, when such use is required, there is no transfer of the title (permanent ownership) to these tangible goods. Artinya Jasa adalah sesuatu yang dapat diidentifikasi secara terpisah tidak berwujud, ditawarkan untuk menemui kebutuhan. Jasa dapat dihasilkan dengan menggunakan benda-benda berwujud atan tidak (Stanton, 1981). “Broad definition is one that defines services “include all economic activities whose output is not a physical product or construction, is generally consumed at the time it is produced, and provides added value in form (such as convenience,amusement, timeliness, comfort, or health) that are essentially intangible concerns of its first purchaser”. Axtinya jasa adalah suatu kegiatan ekonomi yang outputnya bukan produk dikonsumsi bersamaan dengan waktu produksi dan memberikan nilai tambah (seperti kenikmatan, hiburan, santai, sehat) bersifat tidak berwujud (Valarie A. Zeithaml dan Mary Jo Bitner, 2000), Lovelock, Patterson & Walker (2004) mengemukakan perspektif “service” sebagai sebuah sistem. Dalam perspektif ini, setiap bisnis jasa dipandang sebagai sebuah sistem yang terdiri atas dua komponen utama: (1) operasi jasa (service operations), di mana masukan (input) diproses dan elemen-elemen produk jasa diciptakan; dan (2) 13 penyampaian jasa (service delivery), di mana elemen-elemen produk jasa tersebut dirakit, dirampungkan dan disampaikan kepada pelanggan. ‘Tjiptono & Chandra (2007) mendaftar beberapa beberapa definisi berbeda untuk istilah “service” (jasa). Definisi-definisi tersebut meliputi: a. Sistem yang menyediakan sesuatu yang dibutuhkan public, diorganisasikan oleh pemerintah atau perusahaan swasta, contohnya jasa ambulans, bus, dan telepon. b. Organisasi atau perusahaan yang menyediakan sesuatu kepada publik atau melakukan sesuatu bagi pemerintah, contohnya prison service, civil service, diplomatic service, fire service, health service, secret service, security service dan social service. c. Bisnis yang pekerjaannya berupa melakukan sesuatu bagi pelanggan tetapi tidak menghasilkan barang. Pekerjaan-pekerjaan seperti itu meliputi jasa financial, perbankan, dan asuransi. Keanekaragaman makna dalam hal pemakaian istilah service juga dijumpai dalam literatur manajemen. Kendati demikian, secara garis besar secara garis besar konsep “service” mangacu pada tiga lingkup definisi utama: industri, output atau penawaran, dan proses (Johns, 1999). Dalam konteks industri, istilah jasa digunakan untuk menggambarkan berbagai sub-sektor dalam kategorisasi aktivitas ekonomi, seperti transportasi, finansial, perdagangan ritel, personal services, keschatan, pendidikan, dan layanan publik. 2.1.2.1. Karakteristik Jasa Berbagai riset dan literatur manajemen dan pemasaran jasa mengungkap bahwa jasa memiliki 4 karakteristik unik yang membedakannya dari barang dan berdampak 4 pada strategi mengelola dan memasarkannya. Keempat karakteristik utama tersebut dinamakan paradigma HIP: Intangibility, Heterogenity, Inseparability, dan Inperishability (Lovelock dan Gummesson, 2004). a. Tak Berwujud (Intangibility) Jasa berbeda dengan barang. Bila barang merupakan suatu objek, alat, material, atau benda; maka jasa justru merupakan perbuatan, tindakan, pengalaman, proses, kinerja (performance), atau usaha (Berry, 1980). Bila barang dapat dimiliki, maka jasa hanya dapat dikonsumsi tetapi tidak dapat dimiliki (non-ownership). ‘Walaupun sebagian besar jasa dapat berkaitan dan didukung dengan produk fisik (Contohnya, sepeda motor, bus, kapal, dan pesawat dalam jasa transportasi), esensi dari apa yang dibeli pelanggan adalah kinerja yang diberikan oleh pihak tertentu kepada pihak lainnya. Jasa bersifat intangible, artinya jasa tidak dapat dilihat, dirasa, dicium, didengar, atau diraba sebelulm dibeli atau dikonsumsi. Konsep intangible ini sendiri memiliki dua pengertian (Berry, 1980): 1. Sesuatu yang tidak dapat disentuh dan tidak dapat dirasakan; dan 2. Sesuatu yang tidak mudah didefinisikan, dirumuskan atau dipahami secara rohaniah, Intangibility dapat pula dibedakan menjadi 3 dimensi (Laroche, Bergeron dan Gautaland, 2001): 1. Physical intangibility (tingkat materialitas produk atau jasa tertentu); 2. Mental intangibility (tingkat kesulitan dalam mendefinisikan, memformulasikan atau memeahami produk atau jasa tertentu secara jelas dan akurat); dan 15 3. Generality (seberapa general dan atau spesifik seorang konsumen mempersiapkan produk, seperti aksesibilitas versus inaccessibility pada panca indera, abstractness versus concreiness, dan generality versus specificity). b. Keanekarupaan (Heterogenity/Variability/Inconsistency) Jasa bersifat sangat variabel karena merupakan non-standarized output, artinya ferdapat banyak variasi bentuk, kualitas, dan jenis, tergantung pada saiapa, kapan, dan di mana jasa tersebut diproduksi. Sebagai contoh, dua orang yang datang ke salon yang sama dan meminta model rambut yang sama tidak akan mendapatkan hasil yang 100% identik (kecuali kalau keduanya minta rambuitnya dibuat pelontos). Pengalaman berlibur ke sebuah objek wisata tertentu (contohnya, Sydney Oprah House dan Pantai Kuta) akan bervariasi antar kesempatan berbeda. Hal semacam ini terjadi Karena jasa melibatkan unsur manusia dalam proses produksi dan konsumsinya, Berbeda dengan mesin, orang biasanya tidak bisa diprediksi dan cenderung tidak konsisten dalam hal sikap dan perilakunya. c. Tidak Dapat Dipisahkan (Inseparability) Jasa tidak dapata dipisahkan dari pemberi jasa itu, baik pemberi jasa itu adalah orang maupun mesin. Jasa tidak dapat dijejerkan pada rak-rak penjualan dan dibeli oleh konsumen kapan saja dibutuhkan. Jasa memerlukan kehadiran pemberi jasa. Pembedahan memerlukan Kehadiran dokter bedah berikut peralatannya; pembuktian atas ketepatan catatan-catatan sebuah perusahaan menuntut kehadiran suatu auditor. Barang biasanya diproduksi terlebih dahulu, kemudian dijual, baru dikonsumsi, Sedangkan jasa umumnya dijual terlebih dahulu baru kemudian diproduksi dan dikonsumsi pada waktu dan tempat yang sama. Praktik dokter gigi 16 merupakan salah satu contohnya, Dokter gigi tidak dapat memproduksi jasanya tanpa kehadiran pasien, Selain harir secara fisik dan mental, pasien bersangkutan juga berperan sebagai co-producer dalam proses operasi jasa, dengan jalan menjawab pertanyaan-pertanyaan dokter dan menjelaskan gejala sakit atau kebutuhan spesifiknya. Interaksi antara penyedia jasa dan pelanggan merupakan ciri khusus dalam pemasaran jasa. Keduanya mempengaruhi hasil (outcome) dari jasa bersangkutan. Dalam hubungan antara penyedia jasa dan pelanggan ini, efektivitas individu yang menyampaikan jasa (contact-personnel) merupakan unsur kritis, 4. Tidak Dapat Tahan Lama (Perishability) Perishability berarti jasa merupakan komoditas yang tidak tahan lama, tidak dapat disimpan untuk pemakaian ulang di waktu datang, dijual kembali, atau dikembalikan (Edgett dan Parkinson, 1993, Zeithaml dan Bitner, 2003), Kursi pesawat yang kosong, kamar hotel yang tidak dihuni, atau jam tertentu tanpa pasien ditempat praktik dokter umum akan berlalu atau hilang begitu saja karena tidak bisa disimpan. 2.1.2.2, Klasifikasi Jasa a. Klasifikasi Berdasarkan Tingkat Interaksi/Kontak Penyedia Jasa dikaitkan dengan Tingkat Intensitas Karyawan. Apabila dikaitkan dengan tingkat intensitas karyawan, klasifikasi berdasarkan tingkat interaksi/kontak penyedia jasa dan pelanggan ini dapat diperinci menjadi 4 tipe Fitzsimmons & Fitzsimmons, 1994): 1. Service factory 2. Service shop 3. Mass service 4. Professional service Pada Gambar 2.1, jasa dikategorikan berdasarkan dua dimensi yang secara signifikan mempengaruhi karakteristik proses penyampaian jasa, Dimensi vertikalnya adalah tingkat intensitas tenaga kerja, yang didefinisikan sebagai rasio antara biaya tenaga kerja dengan biaya modal, Sedangkan dimensi horizontal mengukur tingkat interaksi dan customization pelanggan. Customization adalah variabel pemasaran yang menggambarkan kemampuan pelanggan untuk mempengaruhi secara personal sifat jasa yang disampaikan. Interaksi yang minim antara pelanggan dan penyedia jasa terjadi manakala jasa yang ditawarkan cenderung lebih terstandarisasi ketimbang tercustomized. Sebagai contoh, jaringan restaurant siap saji seperti Mc Donald’s dan KFC yang menunya sudah baku akan membutuhkan tingkat interaksi yang relatif rendah antara pelanggan dan staff layanan pelanggan, Sebaliknya, seorang dokter dan pasiennya perlu berinteraksi secara intensif dalam tahap diagnosis dan penyembuhan agar dapat mencapai hasil yang memuaskan, Keempat kuadran pada Gambar 2.1 diberi nama’ sesuai dengan karakteristiknya berdasarkan dua dimensi relevan, Service factories menyediakan jasa yang terstandarisasi dengan investasi modal tinggi, seperti halnya line-flow manufacturing plants pada industri manufaktur. Service shops memungkinkan lebih banyak serveice customization, tetapi investasi modalnya tinggi, sehingga mirip dengan job shop pada proses manufaktur. Para pelanggan mass services akan menerima jasa yang relatif sama (undifferentiated) dalam lingkungan jasa yang 18 intensif tenaga kerja, sedangkan dalam profesionnal services, para pelanggan akan mendapatian perhatian secara personal. Service Factory ‘Service Shop > Penerbangan > Rumah sakit > Reparasi mobil Renda > Jasa reparasilainnya > Resort dan Rekreasi > Penjualan eceran > Penjualan grosir > Sekolah Tingkat Intensitas Tenaga Kerja Tinga > Perbankan ritel Rendah Tingat ‘Tingkat Interaksi dan Customization Gambar 2.1 Klasifikasi Jasa Berdasarkan Tingkat Intensitas Tenaga Kerja dan ‘Tingkat Interaksi & Customization ‘Sumber: Fitzsimmons & Fitzsimmons (1994) b. Klasifikasi Jasa berdasarkan Sudut Pandang Konsumen Jasa dapat pula diklasifikasikan berdasarkan sudut pandang konsumen menjadi dua kategori utama (Fitzsimmons & Sullivan, 1982): 1, For consumer (facilitating services), yaitn jasa yang dimanfaatkan sebagai sarana atau media untuk mencapai tujuan tertentu. Kategori ini meliputi: transportasi (pesawat terbang, kapal, bus, truk, kereta api, taksi, andong, dan sepeda motor); komunikasi (TV, radio, telepon, facsimile, dan Internet); finansial (asuransi, pegadaian, pasar modal, anjak piutang, dan bank); akomodasi (seperti hotel dan restoran); dan rekreasi (bioskop dan taman wisata). 2. To consumer (human services), yaitu jasa yang ditujukan kepada konsumen, Kategori ini terbagi atas dua kelompok. Pertama, people processing, baik yang bersifat voluntary (misalnya pusat ketenagakerjaan dan fasilitas sinar 19 X/Rontgen), maupun involuntary (seperti Klinik diagnosis dan pengadilan anak- anak nakal). Kedua, people changing meliputi yang bersifat voluntary (contohnya perguruan tinggi dan tempat ibadah) dan involuntary (seperti rumah sakit dan penjara). ¢. Klasifikasi Berdasarkan Penerima Jasa dan Sifat Tindakan Jasa Lovelock, Patterson & Walker (2004) mengelompokkan proses jasa berdasarkan dua dimensi utama: penerima jasa dan sifat tindakan jasa. Gambar 2.2 menunjukkan empat tipe jasa berdasarkan kriteria tersebut: 1. People-Processing Services Dalam tipe ini, tangible actions ditnjukan pada tubuh manusia, contohnya jasa transportasi, tukang pijat, salon kecantikan, dan operasi bedah. Pelanggan harus hadir secara fisik, karena pelanggan menjadi bagian dari proses produksi yang berlangsung secara simultan dengan proses konsumsi. Dalam konteks ini, pelanggan harus mendatangi tempat jasa disediakan atau sebaliknya penyedia jasa harus mendatangi lokasi pelanggan. 2. Possession-Processing Services Tipe ini berkenaan dengan melakukan sesuatu atas produk fisik untuk meningkatkan nilainya bagi pelanggan. Contohnya, reparasi kendaraan bermotor, mengantarkan kiriman paket, merawat dan membersihkan kantor, dan seterusnya. Dalam hal ini, objek kepemilikan yang membutuhkan pemrosesan jasa harus ada, sementara pelanggan tidak harus hadir secara fisik dalam proses penyampaian jasa. 20 3. Mental-Stimulus Processing Services Tipe ini beruipa intangible actions yang ditujukan pada benak atau pikiran orang, misalnya jasa siaran televisi, event olahragra, pentas musik, teater, dan jasa pendidikan, Dalam kasus ini, pelanggan harus hadir secara mental, namun bisa berlokasi di fasilitas jasa spesifik maupun di lokasi jarak jauh yang terhubung dengan jaringan telekomunikasi. 4. Information Processing Services Tipe ini berupa intangible actions yang ditujukan pada intangible assets dan terdiri afas pengumpulan, interpretasi, dan pengiriman data untukmenciptakan nilai tambah, contohnya perbankan, jasa konsultasi, akuntansi, dan pendidikan, Keterlibatan pelanggan dalam produksi jasa semacam ini bisa ditekan hingga minimum, misalnya dengan menggunakan _teknologi telekomunikasi, Jasa ditujukan pada ‘tubuh manusta: > Perawatan kesehatan > Transportasi penumpang > Salon kecantikan, > Fitness centres > Resaturant & bar > Fisioterapi > Jasa Pemakaman Jasa ditujukan pada pikiran manusia: > Periklanan & Public Relations Sifat Tindakan Jasa Integibte actions 21 Jasa ditujukan pada barang dan benda fisik lalnnya: > Transportasi/Angkutan Barang > Perbaikan dan Perawatan Peralatan Industri > Pergudangan & Penyimpanan > Binatu > Distribusi Ritel > Landscaping & Lawn-mowing Jasa ditujukan pada ‘aset tak berwujud: > Perbankan > Jasa Bantuan Hukum_ > Akuntansi > Jasa Riset >Asuranst > Pemrosesan & Transmisi data > Pemrograman Komputer Penerima Jasa Gambar 2.2 Klasifikasi Jasa Berdasarkan Penerima Jasa dan Sifat Tindakan Jasa ‘Sumber: Lovelock, Patterson & Walker (2004) d. Klasifikasi Berdasarkan Sifat Relasi Dengan Pelanggan Gronroos (2000), menggunakan sifat relasi dengan pelanggan sebagai dasar pengelompokkan jasa ke dalam dua jenis: 1. Continously rendered services Continously rendered services bercirikan aliran interaksi terus-menerus antara pelanggan dan penyedia jasa, contohnya jasa perbankan, jasa keamanan, konsultan bisnis, dan sejenisnya. . Discrete transaction services Discrete transaction services biasanya hanya mencakup interaksi yang sangat terbatas dan cenderung berlangsung singkat, seperti jasa salon kecantikan, restoran, dan hotel. Kendati demikian, tipologi-tipologi yang ada tidaklah 22 ‘mutually exclusive, karena banyak di antaranya yang saling berkaitan dan bahkan overlap. Faktor terpenting yang perlu dipahami adalah jasa sangata bervariasi, tergantung kriteria dan konteks Klasifikasi yang digunakan. 2.1.3, Sifat-Sifat Khusus dari Pemasaran Jasa Industri jasa sangat beraneka ragam bentuknya, Sektor pemerintah memberikan Jjasa-jasa berupa pengadilan, penyediaan lapangan kerja, penempatan tenaga kerja, rumah sakit, Jembaga-lebaga Ixedit, angkatan bersenjata, kepolisian, pemadam kebakaran, kantor pos, badan pembuat undang-undang, sekolah-sekolah dan masih banyak lagi. Sektor sosial swasta menyediakan jasa-jasa seperti museum (di indonesia, ‘umumnya museum dikelola oleh pihak pemerintah), yayasan amal, yayasan yatim piatu, gereja, masjid, sekolah-sekolah (mulai dari taman kanak-kanak babkan kelompok bermain sampai dengan perguruan tinggi), rumah sakit, dan alin-lain, Sebagian (cukup besar) dari sektor bisnis menawarkan jasa-jasa penerbangan, bank, hotel, asuransi, Konsultansi, banutan hukum, pengobatan, hiburan, real estate, periklanan, penelitian, usaha eceran, usaha grosiran, dan lain-lain. 2.1.3.1. Menyesuaikan Dengan Selera Konsumen Gojala Buyer's market dimana pembeli berkuasa memperlihatkan suasana pasaran jasa pada saat ini, Pengusaha penerbangan Garuda, Mandala, Pelita Air Services berlomba meningkatkan servis terhadap penumpang, layanan cepat, diberi koran, rokok, coklat, makan, serta pelayanan lainnya di atas pesawatnya, Dan masih banyak lagi cara yang harus dipikirkan oleh masing-masing pengusaha jasa dalam rangka memperbaiki 23 servisnya terhadap konsumen, dan terutama mereka harus memperhatikan apa selera konsumen masa kini. Kualitas Jasa yang ditawarkan tidak dapat dipisahkan dari mutu yang menyediakan jasa, menurut istilah Richard Chase (1978) disebut “High Contact” (Kontak tinggi), Pada usaha jasa yang memakai banyak tenaga orang, harus diberikan perhatian khusus ferhadap mutu penampilan orang tersebut. 2.1.3.2, Keberhasilan Pemasaran Jasa Dipengaruhi Oleh Jumlah Pendapatan Penduduk Kenyataannya makin maju sebuah negara, makin banyak permintaan akan jasa. Hal ini sehnbungan dengan hierarki kebutuhan manusia mula-mula hanya mambutuhkan terpenuhinya kebutuhan fisik, seperti makanan, minuman, pakaian, kemudian menginjak kepada kebutuhan yang lebih abstrak, yaitu kebutuban akan jasa, Emest Engle juga mengemukakan bahwa makin tinggi penghasilan sseseorang, maka makin banyak persentase yang dibelanjakan untuk keperluan rekreasi dalam arti meningkat permintaan akan jasa. 2.1.3.3. Pada Pemasaran Jasa Tidak Ada Pelaksanaan Fungsi Penyimpanan Jasa diproduksi bersamaan dengan waktu konsumsi, jadsi tidak adsa jasa yang tidak dapat disimpan. Jika tempat duduk dalam bus yang berangkat dari Bandung ke Jakarta tidak terisi, maka berarti suatu kerugian bagi pengusaha bus. Tempat duduk yang lowong tersebut tidak dapat dijual besok karena besok ada lagi kegiatan pemasaran baru. 4 2.1.3.4, Mutu Jasa Dipengaruhi Oleh Benda Berwujud (Perlengkapannya) Jasa sifatnya tidak berwujud, karena itu konsumen akan memperhatikan benda berwajud yang memberi layanan sebagai patokan terhadap kualitas jasa yang ditawarkan. 2.1.3.5. Saluran Distribusi Dalam Marketing Jasa Tidak Begitu Penting Mengenai saluran distribusi dalam marketing jasa tidak merupakan hal yang penting karena pada umumnya dalam marketing jasa perantara tidak digunakan. Tetapi ada tipe jasa tertentu dimana agen-agen, perantara-perantara dapat digunakan; misalnya dalam perdagangan saham obligasi, anglatan dan sebagainya melalui biro penyaluran. 2.1.3.6. Beberapa Problema Pemasaran Dan Harga Jasa Kebutuhan terhadap pelayanan dokter-dokter spesialis sangat terasa di daerah Kota daripada di pedesaan. Di kampung orang cukup mengandalkan tenaga mantri Kesehatan atau dukun, Makin maju rakyat desa makin meningkat kebutuhannya akan pelayanan kesehatan, mereka mulai membutuhkan tenaga dokter umum dan spesialis. Faktor tingkat pendidikan masyarakat juga mempunyai peranan penting. Misalnya bank menawarkan jasa seperti tabungan masyarakat, tapi masyarakat sendiri belum mengerti apa manfaatnya menabung, baik buat dirinya sendiri maupun manfaat untuk kepentingan pembangunan, 25 2.2. Kualitas Jasa Pendidikan 2.2.1. Definisi Kualitas The American Society of Quality Control mendefinisikan kualitas (quality) sebagai totalitas fitur dan karakteristik produk atau jasa yang mempengaruhi kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan yang dinyatakan atau disiratkan, Ini benar- benar merupakan definisi kualitas yang berpusat pada pelanggan, Definisi ini mengesankan bahwa satu perusaliaan telah memberikan kualitas apabila produk dan jasanya telah memenuhi atau melebihi keinginan, persyaratan, dan harapan pelanggan (Kotler & Armstrong, 1999), Mutu/Kualitas dapat didefinisikan sebagai sesuatu yang memuaskan dan melampaui keinginan dan kebutuhan pelanggan (Sallis, 2006). Kata ‘kualitas’ mengandung banyak definisi dan makna, Orang yang berbeda akan mengartikannya secara berlainan, Beberapa contoh definisi yang kerapkali dijumpai antara lain (Tjiptono, 2005): a. Kesesuaian dengan persyaratan/tuntutan, b. Kecocokan untuk pemakaian, ©. Perbaikan/penyempumaan berkelanjutan, d. Bebas dari kerusakan/cacat, Pemenuhan kebutuban pelanggan semenjak awal dan setiap saat, ¢. Melakukan segala sesuatu secara benar semenjak awal, £. Sesuatu yang bisa membahagiakan pelanggan. Kualitas merupakan topik yang hangat di dunia bisnis dan akademik. Namun demikian, istilah tersebut memerlukan tanggapan secara hati-hati dan perlu mendapat penafsiran secara cermat. Faktor utama yang menentukan kinerja suatu perusahaan 26 adalah kualitas barang dan jasa yang dihasilkan. Produk dan jasa yang berkualitas adalah produk dan jasa yang sesuai dengan apa yang diinginkan konsumennya. Oleh karena itu, onganisasi/perusahaan pera mengenal konsumen atau pelanggannya dan mengetabui kebutuhan dan keinginannya (Ariani, 2003). ‘Ada banyak sekali definisi dan pengertian kualitas, yang sebenamya definisi atau pengertian yang satu hampir sama dengan definisi atau pengertian yang lain, Berikut beberapa pengertian kualitas menurut beberapa ahli yang banyak dikenal antara lain: a. Kualitas adalah kesesuaian dengan tujuan atau manfaatnya (Juran, 1962). b. Kualitas adalah kesesuaian dengan kebutuhan yang meliputi availability, delivery, reliability, maintainability, dan cost effectiveness (Crosby, 1979). ¢. Kualitas harus bertujuan memenuhi kebutuhan pelanggan sekarang dan di masa mendatang (Deming, 1982). d. Kualitas merupakan keseluruhan karakteristik produk dan jasa yang meliputi marketing, engineering, manufacture, dan maintenance, di mana produk dan jasa tersebut dalam pemakaiannya akan sesuai dengan kebutuhan dan harapan pelanggan Feigenbaum, 1991). e. Kualitas ditentukan oleh pelanggan; pelanggan menginginkan produk dan jasa yang sesuai dengan kebutuhan dan harapannya pada suatu tingkat harga tertentu yang menunjukkan nilai produk tersebut (Scherkenbach, 1991). f. Kualitas adalah sesuatu yang berbeda untuk orang yang berbeda dan tergantung pada waktu dan tempat, atau dikatakan sesuai dengan tujuan (Elliot, 1993). g. Kualitas adalah suatu kondisi dinamis yang berkaitan dengan produk, pelayanan, orang, proses, dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi apa yang diharapkan (Goetch & Davis, 1995). 27 h. Kualitas adalah keseluruhan ciri dan karakteristik produk atau jasa yang kemampuannya dapat memuaskan kebutuhan, baik yang dinyatakan secara tegas maupun tersamar. Istilah kebutuhan diartikan sebagai spesifikasi yang tercantum dalam kontrak maupun criteria-kriteria yang harus didefinisikan terlebih dahulu @erbendabaraan istilah ISO 8402 dan dari Standar Nasional Indonesia (SNI 19- 8402-1991)), Kualitas memerlukan suatu proses perbaikan yang terus-menerus (continous improvement process) yang dapat diukur, baik secara individual, organisasi, korporasi, dan tujuan kinerja nasional, Konsep kualitas harus menyeluruh, baik produk maupun prosesnya. Kualitas produk meliputi kualitas bahan baku danbarang jadi, sedangkan kualitas proses meliputi kualitas segala sesuatu yang berhubungan dengan proses produksi perusahaan manufaktur dan proses penyediaan jasa atau pelayanan bagi perusahaan jasa. Kualitas harus dibangun sejak awal, dari penerimaan input hingga perusahaan menghasilkan output bagi pelanggannya. Setiap tahapan dalam proses produksi maupun proses penyediaan jasa atau pelayanan juga harus berorientasi pada kualitas tersebut. Hal ini disebabkan setiap tahapan proses mempunyai pelanggan, Hal ini berarti pelanggan suatu proses adalah proses selanjutnya, dan pemasok suatu proses adalah proses sebelumnya (Ariani, 2003). 2.2.2. Perspektif Kualitas Menurut Garvin (1988), perspektif kualitas bisa diklasifikasikan dalam lima kelompok: transcendental approach, product-based approach, user-based approach, mamufacturing-based approach, dan value-based approach. Kelima macam perspektif 28 inilah yang bisa menjelaskan mengapa kualitas diinterpretasikan secara berbeda oleh masing-masing individu dalam konteks yang berlainan. 2.2.2.1. Transcendental Approach Dalam ancangan ini, kualitas dipandang sebagai innate excellence, yaitu sesuatu yang bisa dirasakan atau diketahui, namun sukar didefinisikan, dirumuskan atau dioperasionalisasiakan. Perspektif ini menegaskan bahwa orang hanya bisa belajar memahami kualitas melalui pengalaman yang didapatkan dari eksposur berulang kali (repeated exposure). Sudut pandang ini biasanya diterapkan dalam dunia seni, misalnya seni musik, seni drama, seni tari dan seni rupa. Orang awam kadangkala sulit memahami kualitas sebuah lukisan, puisi, lagu atau film yang dipuji oleh para kritikus dan pengamat seni. Demikian pula halnya, tidak sedikit pemirsa acara “Indonesian Idol” atau “American Idol” yang kebingungan memabami criteria penilaian para juri terhadap penampilan setiap kontestan. Dalam konteks organisasi pemasaran, perspektif ini sulit digunakan sebagai dasar manajemen kualitas untuk fungsi _perencanaan, produksi/operasi, dan pelayanan. Kendati demikian, organisasi pemasaran bisa memanfaatkan sejumlah kriteria transcendental dalam komunikasi pemasarannya, misalnya pesan-pesan ikla seperti “tempat berbelanja yang menyenangkan” (pusat perbelanjaan), “elegan” (mobil), “kecantikan alami” (kosmetik), “kepribadian yang menawan” (kursus kepribadian), “kelembutan dan kehalusan kulit” (sabun mandi dan body lotion), dan seterusnya. 29 2.2.2.2, Product-based Approach ‘Ancangan ini mengasumsikan bahwa kualitas merupakan karakteristik atau atribut objektif yang dapat dikuantitatifkan dan dapat diukur. Perbedaan dalam kualitas mencerminkan perbedaan dalam jumlah beberapa unsur atau atribut yang dimiliki produk, Contoh atribut spesifik untuk sebuah sepeda motor misalnya harga, konsumsi BBM, kecepatan, ketersediaan fitur spesifik (contohnya rem cakram, knalpot racing, dan lain-lain), ketersediaan pilihan warna sepeda motor, dan seterusnya, Karena perspektif ini sangat objektif, maka kelemahannya adalah tidak bisa menjelaskan perbedaan dalam selera, kebutuhan, dan preferensi individual (atau bahkan segmen pasar tertentu). 2.2.2.3. Used-based Approach Ancangan ini didasdarkan pada pemikiran bahwa kualitas tergantung pada orang yang menilainya (eyes of the beholder), schingga produk yang paling memuaskan preferensi seseorang (maximum satisfaction) merupakan, produk yang berkualitas paling tinggi. Perspektif yang bersifat subyektif dan demand-oriented ini juga menyatakan bahwa setiap pelanggan memiliki kebutuhan dan Keinginan masing-masing yang berbeda satu sama lain, sehingga kualitas bagi seseorang adalah sama dengan kepuasan maksimum yang dirasakannya, Produk yang dinilai berkualitas baik oelh individu tertentu belum tentu dinilai sama oleh orang lain, 2.2.2.4, Manufacturing-based Approach Perspektif ini bersifat supply-based dan lebih berfokus pada praktik-praktik perekayasaan dan pemanufakturan, serta mendefinisikan kualitas sebagai kesesuaian atau kecocokan dengan persyaratan (conformance to requirements). Dalam konteks 30 bisnis jasa, kualitas berdasarkan perspektif ini cenderung bersifat operations-driven. Ancangan semacam ini menekankan penyesuaian spesifikasi produksi dan operasi yang disusun secara internal, yang sering dipicu oleh keinginan untuk meningkatkan produktivitas dan menekan biaya. Jadi, yang menentukan kualitas adalah standar-standar yang ditetapkan perusahaan, bukan konsumen yang membeli dan menggunakan produk/jasa 2.2.2.5. Value-based Approach Ancangan ini memandang kualitas dari aspek nilai (value) dan harga (price). Dengan mempertimbangkan trade-off antara kinerja dan harga, kualitas didefinisikan sebagai affordable excellence. Kualitas dalam perspektif ini bersifat relatif, schingga produk yang memiliki kualites paling tinggi belum tentu produk yang peling bernilai. Akan tetapi, yang paling bernilai adalah barang atau jasa yang paling tepat dibeli (best- buy). 2.2.3, Kualitas Pada Industri Jasa Banyak sekali perbedaan antara industri manufaktur dengan industri jasa yang menurut Gaspersz (1997), karakteristik unik dari suatu industri jasa/pelayanan yang sekaligus membedakannya dari barang antara lain: a, Pelayanan merupakan ouéput tak berbentuk (intangible output). b, Pelayanan merupakan output variabel, tidak standar. ©. Pelayanan tidak dapat disimpan dalam persediaan, tetapi dapat dikonsumsi dalam produksi. d. Terdapat hubungan langsung yang erat dengan pelanggan melalui proses pelayanan. 31 ¢. Pelanggan sekaligus merupakan input nbagi proses pelayanan yang diterimanya. £ Keterampilan personil “diserahkan” atau “diberikan” secara langsung kepada pelanggan. g. Pelayanan tidak dapat diproduksi secara massal. h. Membutuhkan pertimbangan pribadi yang tinggi dari individu yang memberikan pelayanan, i, Perusdhaan jasa pada umumnya bersifat padat karya. j. Fasilitas pelayanan berada dekat lokasi pelanggan. k, Pengukuran efektivitas pelayanan bersifat subyeltif, 1. Pengendalian kualitas terutama dibatasi pada pengendalian proses. m. Option penetapan harga lebih rumit. Pengukuran Kualitas untuk produk fisik tidak sama dengan industri jasa, Walaupun demikian, ada beberapa dimensi yang digunakan dalam mengukur kualitas suatu industri jasa, Menurut Garvin (1996), dimensi kualitas pada industri jasa antara lain sebagai berikut. a. Communication, yaitu komunikasi atan hubungan antara penerima jasa dengan pemberi jasa. b. Credibility, yaitu kepercayaan pihak penerima jasa terhadap pemberi jasa. ¢. Security, yaitu keamanan terhadap jasa yang ditawarkan. 4. Knowing the customer, yaity pengertian dari pihak pemberi jasa pada penerima jas atau pemahaman pemberi jasa tethadap kebutuhan dan harapan pemakai jasa. e. Tangibles, yaitu bahwa dalam memberikan pelayanan kepada pelanggan harus dapat diukur atau dibuat standarnya. 32 f, Reliability, yaita konsistensi Kerja pemberi jasa dan kemampuan pemberi jasaa dalam memenubi janji para penerima jasa. g. Responsiveness, yaitu tanggapan pemberi jasa terhadap kebutuhan dan harapan penerima jasa, h. Competence, yaitu kemampuan atau keterampilan pemberi jasa yang dibutubkan setiap orang dalam perusahaan untuk memberikan jasanya kepada penerima jasa. i. Access, yaitu kemudahan pemberi jasa untuk dihubungi oleh pihak atau pelanggan atau penerima jasa, j. Courtesy, yaitn kesopanan, respek, perhatian, dan kesamaan dalam hubungan personil. 2.2.4, Jasa Pendidikan Dewasa ini jasa pendidikan memegang peranan vital dalam mengembangkan dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia, akan tetapi minat dan perhatian pada aspek kualitas jasa pendidikan bisa dikatakan baru berkembang dalam satu dekade terakhir. keberhasilan jasa pendidikan ditentukan dalam memberikan pelayanan yang berkualitas kepada para pengguna jasa pendidikan tersebut (siswa atau mahasiswa/peserta didik). Jasa pendidikan merupakan jasa yang bersifat kompleks kkarena bersifat padat karya dan padat modal. Artinya dibutuhkan banyak tenaga kerja yang memiliki skill khusus dalam bidang pendidikan dan padat modal karena membutuhkan inftastroktur (peralatan) yang lengkap dan harganya cukup mahal 33 2.2.5, Kualitas Pendidikan Karakter Karakter adalah motivasi batiniah untuk melakukan yang benar, berapa pun harga yang harus dibayar. Setiap orang di muka bumi ini memiliki kesempatan yang setara untuk membangun karaktemya dengan mengembangkan kualitas-Kualitas seperti kejujuran, kesabaran, dan kesetiaan. Bila kita mengambil keputusan sehari-hari berdasarkan kualitas-Kualitas ini, Anda akan memperoleh manfaat yang praktis dan sekaligus kekal (International Association of Character Cities, 2006). 2.2.8.1. Kualitas Karakter Inisiatif a. Definisi Kualitas Karakter Inisiatif Inisiatif adalah mengenali dan melakukan apa yang perlu dilakukan tanpa harus disuruh melakukannya (Character Training Institute, 2006). Kata inisiatif berasal dari bahasa Perancis initier, yang berarti “memperkenalkan”, dan bahasa latin initiare, yang berarti “memulai”. Kedua kata ini akar katanya dari kata bahasa Latin inire, yang berarti “pergi”. Inisiatif selalu mencakup memulai sesuatu seperti perjalanan, tugas, bertemu orang beru untuk pertama kali, Namua, inisiatif juga mencakup melihat segala sesuatu sampai pada akhimya, Memulai sesuatu tanpa menyelesaikannya bukanlah inisiatif. Meskipun inisiatif sering meliputi ide yang baru, kegagalan mewujudkan ide itu sama saja tidak berarti. Banyak orang memiliki ide dan niat yang baik, namun orang yang berinisiatif akan melakukannya dan mengubahnya dari gagasan menjadi tindakan (Character Training Institute, 2006). 34 b. Konsep Karakter Inisiatif Inisiatif yang sesungguhnya mengandung empat bagian. Inisiatif: 1. Mengenali suatu kebutuhan 2. Memikul tanggung jawab untuk melakukan sesnatu selmbungan dengan kebutuhan itu 3. Menetapkan suatu penyelesaian 4. Melakukan penyelesaian itu sampai akhir Sayangnya inisiatif menjadi rusak bila salah satu dari keempat aspek ini gagal. Beberapa orang mengenali adanya kebutuhan, namun tidak mau memikul tanggung jawab untuk memenuhinya. Ada yang mau memikul tanggung jawab, namun tidak tahu harus memulai dari mana. Yanglain punya jalan keluar yang luar biasa, namun tidak melakukannya sampai selesai. Inisiatif melihat perscalan sejak awal hingga akhir. 5 Indikator i wil’saya akan” Karakter Inisiatif (Character Training Institute, 2006): 1, Melakukan apa yang benar tanpa harus disuruh terlebih dahulu 2. Tidak menunda sampai besok apa yang dapat saya kerjakan hari ini 3. Menunjang keberhasilan seluruh tim 4, Menjadi bagian dari penyelesaian masalah, bukannya bagian dari masalah 5. Mengupayakan cara-cara untuk menolong orang lain 35 2.2.5.2, Kualitas Karakter Tanggung Jawab a. Definisi Kualitas Karakter Tanggung Jawab ‘Tanggung Jawab adalah memahami dan melakukan apa yang sepatutnya saya lakukan (Character Training Institute, 2006). Kata bahasa Inggris responsible (bertanggung jawab) berasal dari dua akar kata bahasa Latin: responsum, yang berarti “‘suatu jawaban, balasan”; dan spondere, yang berarti “berjanji”. Jadi, konsep di balik pertanggungjawaban adalah memberikan tanggapan seperti yang telah dijanjikan. Pribadi yang bertanggung jawab memperoleh kepercayaan dan dipercayakan memikul fanggung jawab yang lebih besar, sewaktu mereka menepati janji. Reputasi sebagai orang yang bertanggung jawab ini sama pentingnya dengan sukses finansial bagi seorang pengusaha, atau prestasi akademis bagi seorang siswa atau guru (Character Training Institute, 2006). b. Konsep Karakter Tanggung Jawab Tanggung jawab tidak terbatas pada kata-kata tertentu yang dipakai untuk menyampaikan suatu tugas. Konsepnya melampaui kata-kata yang kita ueapkan, namun juga mencakup harapan yang terkandung di dalamnya. Misalnya, bila disuruh mengecat, orang yang bertanggung jawab juga memahami harapan terkait yang tidak diucapkan, seperti menyiapkan kain lap, memasang papan “cat basah”, merapikan garis batas pengecatan, merapikan kembali ruangan sesudah selesai, dan hal-hal apa saja yang berkaitan dengan tugas itu, Karena tanggung jawab menuntut pengetahuan akan banyak harapan yang tidak terucapkan, guru yang efektif menyadari bahwa tanggung jawab mengajar juga 36 ‘menuntut baik motivasi untuk menepati janji maupan pengetahwan untuk memehami apa yang dijanjikan seseorang sewaktu ia berkata “Aku akan mengecat kamar”. Menginginkan tanggung jawab tanpa mengetahui bagaimana menjadi bertanggung jawab tentulah tidak bermanfaat, sama seperti orang yang tahu apa yang mesti dia Jakukan, namun menolak melakukannya. 5 Indikator i will/saya akan” Karakter Tanggung Jawab (Character Training Institute, 2006): 1. Menepati janji saya 2. Tidak berdalih 3. Melakcukan semua pekerjaan saya sebaik-baiknya 4, Membereskan persoalan sewaktu saya berbuat salah 5. Memahami tugas saya dan melakukannya 2.2.8.3. Kualitas Karakter Pengendalian Diri (Penguasaan Diri) a. Definisi Kualitas Karakter Pengendalian Diri Pengendalian Diri adalah menolak keinginan saya sendiri dan melakukan apa yang benar (Character Training Institute, 2006). Kata bahasa Inggris self “diti” berasal dari akar kata bahasa Anglo-Sakson seolf. Diri ini mengacu pada segala sesuatu yang merupakan bagian dari keberadaan dan identitas seseorang. Diri meliputi tubuh fisik, tindakan, pikiran, gagasan, kehendak dan keputusan kita. Kata contro! “‘penguasaan” berasal dari frasa Latin contra rotua berarti “berlawanan arah”, Ini menunjukkan kemampuan dan kekuatan untuk melawan aliran peristiwa, Mengendalikan berarti bergerak berlawanan dengan arah yang sewajarnya. Misalnya, pengendalian seorang pelaut atas kapalnya diukur 37 dari kemampuannya mengarabkan kapalnya melawan angina, Dalam pengertian yang sesunggubnya, penguasaan diri adalah kemampuan untuk berkata “Tidak” dan kepada keinginan-keinginan yang sesuka hati (Character Training Institute, 2006). Konsep Karakter Pengendalian Diri ‘Mengendalikan pikiran, tindakan, sikap dan perasaan adalah dasar pengendalian diri. Orang harus menjaga keseimbangan yang sehat antara pikiran (gagasan), kehendak (keputusan) dan emosi (perasaan), Ujian pengendalian diri yang sesungguhnya tidak bersifat ekstemal, melainkan internal, Sewaktu berada dalam tekanan, penguasaan diri menolak untuk frustasi. Saat reputasi kita dipertanyakan, penguasaan menolak untuk menjadi pahit dan marah. Sewaktu disakiti, penguasaan diri segera “mendinginkan” suasana dan menolak untuk membalas dendam. Dalam setiap kesempatan, penguasaan diri menyadari bahwa ada cara yang lebih baik untuk menangani suatu situasi daripada hanya mengandalkan pikiran atau emosi. Penguasaan diri memungkinkan orang untuk menolak cara-cara yang tidak efekctif dalam menghadapi keadaan dan untuk memilih tindakan yang lebih positif. 5 Indikator i will”saya akan” Karakter Pengendalian Diri (Character Training Institute, 2006): 1. Tidak bertindak sesuka hati 2, Tidak menyamakan keinginan dengan hak 3. Menetapkan batasan bagi diri saya sendiri 4. Melihat kemarahan sebagai tanda adanya sesuatu yang tidak beres 5. Menjauhi hal-hal yang tidak benar 38 2.2.5.4, Kualitas Karakter Penuh Perhatian a. Definisi Kualitas Karakter Penuh Perhatian Penuh Perhatian adalah menunjukkan penghargaan pada seseorang dengan jalan memberikan perhatian penuh pada apa yang dikatakannya (Character Training Institute, 2006). Kata memperhatikan (bahasa Inggris: attentive) berasal dari babasa Latin ad tendo, yang artinya “merentangkan”. Seperti seekor kuda yang mengarahkan daun telinganya atau seekor burung yang mencondongkan kepalanya untuk mendengarkan sesuatu, Seorang anak mengarahkan perhatiannya dengan menghadapkan wajahnya pada pembicara. Sikap penuh perhatian merupakan usaha yang dilakukan secara sadar dan melibatkan seluruh organ tubuh, untuk dapat memperhatikan secara sempuma (Character Training Institute, 2006). b. Konsep Karakter Penuh Perhatian Sikap penuh perhatian serupa dengan serupa dengan kesiagaan, konsentrasi, dan bertindak bijaksana. Namun ada baiknya kita pelajari perbedaan antara ketiganya serta bagaimana ketiganya saling menyeimbangkan, 1. Kesiagaan adalah senantiasa waspada terhadap keadaan sekeliling. Jika seorang pejalan kaki memberi perhatian penuh pada tanda penyeberangan saat menyeberang, namun tidak waspada terhadap Jalu lintas yang lewat, ia akan memperoleh bencana. 2. Konsentrasi adalah menggunakan semua panca indra untuk memperoleh sebanyak mungkin informasi, Jika dengan satu indra saja seseorang tidak dapat memperoleh cukup informasi, ia akan bersikap penuh perhatian dengan menggunakan sebanyak mungkin indranya. 39 3. Bertindak bijaksana adalah menghindari kata-kata, tindakan serta sikap yang dapat menimbulkan akibat yang tidak diinginkan. Hal ini sangat penting untuk mengenali orang-orang yang perlu diperhatikan maupun yang tidak seharusnya diberi perhatian. Sikap penuh perhatian menyatakan konsentrasi melalui panca indra kita (pengelihatan, penciuman, pengecapan, sentuhan, dan pendengaran) dan merupakan “kunci” untuk mengumpulkan informasi. Hal ini juga berhubungan dengan keseriusan pikiran saat menganalisis informasi yang diterima melalui indra-indra tersebut. Mendengarkan permintaan guru, pengarahan dari atasan, melakukan dalam pekerjaan, sekolah, maupun kehidupan sehari-hari, semua melibatkan sikap penuh perhatian, Sikap penuh perhatian juga berarti menanggapi ucapan-ucapan orang lain dengan cara menunjukkan penghargaan terhadap pribadinya. Hal ini meliputi bertanya dan bersikap benar-benar tertarik. Sikap penuh perhatian adalah dasar untuk menunjukkan kepekaan kepada orang lain 5 Indikator will?’saya akan” Karakter Penuh Perhatian (Character Training Institute, 2006): 1. Menatap orang yang sedang berbicara pada saya 2. Bertanya jika saya tidak mengerti 3, Duduk maupun berdiri dengan tegak 4. Tidak berusaha meneari perhatian bagi diri saya sendiri 5. Tidak memalingkan mata, telinga, tangan, kaki, dan mulut saya jika sedang memperhatikan seseorang 2.2.5.5. Kualitas Karakter Kejujuran a. Definisi Kualitas Karakter Kejujuran Kejujuran adalah memperoleh kepercayaan dengan melaporkan fakta yang benar (Character Training Institute, 2006). Kejujuran (truthfulness) diambil dari kata Inggris kuno, “treowe” sehingga lahir kata “true” (benar), “trust” (percaya), “truce” (setuju/sepakat) dan “throth” (adil). Kata “truthfulness” (kejujuran) itu sendiri diambil dari kata “treowth” yang berarti jelas (firm), pasti (solid) atau teguh (steadfast). Jujur adalah prinsip universal dalam kehidupan yang tidak akan pemah berubah (Character Training Institute, 2006). b. Konsep Karakter Kejujuran Fakta-fakta yang ada dapat berubah, tetapi kebenaran tidak pernah berubah. Contohnya, anak kadal berwarna hijau, tetapi ketika kadal bertumbuh menjadi bunglon, kulitnya dapat berubah menjadi coklat (juga merupakan kebenaran). Fakta mengenai sifat seekor bunglon adalah kulitnya dapat berubab-ubah sesuai dengan lingkungan yang ia tempati. Prinsip mengenai sift asti bunglon merupakan kebenaran. Penjelmaan dari sifat asli tersebut merupakan fakta kebenaran, Seorang pemimpin, harus selalu mengatakan kejujuran. Karena kejujuran lebih dari sekedar kata-kata, maka sangat gampang menipu seseorang dengan tidak berkata apa-apa, tanpa nada suara, ekspresi maupun bahasa tubuh. Keinginan untuk selalu mengatakan kebenaran adalah satu-satunya dasar untuk berdiri teguh dalam kehidupan ini, Mengubah standar-standar kejujuran dengan trend-trend yang berlaku akan mengakibatkan ketidakstabilan dalam kehidupan kita, 41 5 Indikator i will’’saya akan” Karakter Kejujuran (Character Training Institute, 2006): 1. Mengatakan yang sebenarnya 2, Mendorong orang lain untuk mengatakan yang sebenarnya 3. Tidak berlaku curang atau menipu 4. Mengakui setiap kesalahan yang saya lakukan 5. Tidak berusaha membuat hal yang salah menjadi benar 2.2.5.6. Kualitas Karakter Ketaatan a, Definisi Kualitas Karakter Ketaatan Ketaatan adalah dengan segera dan senang hati melaksanakan perintah dari orang lain yang bertanggung jawab atas kita (Character Training Institute, 2006). Ketaatan (bahasa Inggris : Obidience) berasal dari bahasa Latin ob dan audio yang berarti “Mendengar”. Ketaatan sangat bertentangan dengan “Kekerasan hati” dimana seseorang menolak untuk mendengar atau menurati perintab/arahan yang diterimanya. Seseorang yang keras hati hanya mau mendengar dan melakukan apa kata hatinya tanpa mau mendengar perintab/arahan atasannya (Character Training Institute, 2006). b. Konsep Karakter Ketaatan Atasan kita adalah orang yang bertanggung jawab atas diri kita, Seperti orang tua bertanggung jawab atas anak-anaknya, guru atas murid-muridnya, direktur atas karyawannya, pemerintah atas warga negaranya atau pelatih atas timnya, Ketaatan kepada atasan membawa perlindungan dengan berada di bawah kekuasaan dan wewenang orang tersebut. 42 Ketidaktaatan biasanya tercermin dari sikap “Saya tidak harus mengikuti perintah itu” atau “Bagaimana bisa dia memerintahkan hal seperti itu?” atau “Kenapa sdya harus melakukan perintah itu?” Ketaatan yang sejati adalah kerelaan mengorbankan kesenangan pribadi kita untuk memenuhi perintah yang diberikan kepada kita, Ketaatan bukan hanya ditunjukkan dengan mengerjakan serangkaian tugas sulit, Mengerjakan tugas dengan keluban merupakan cerminan ketidaktaatan, meskipun keluhan tersebut tidak diutarakan atau ditunjukkan dengan suka hati sewaktu mengerjakan tugas. 5 Indikator i will/’saya akan” Karakter Ketaatan (Character Training Institute, 2006): 1 2 Mematuhi perintah atasan dengan segera ‘Melakukannya dengan senang hati . Melaksanakan dan menyelesaikan perintah tersebut . Tidak mengeluh . Melakukan lebih dari yang diharapkan 2.2.5.7. Kualitas Karakter Disiplin a, Definisi Kualitas Karakter Disiplin Disiplin adalah memperkenalkan remaja kepada peraturan dan konsekuensi (Kosasih, 2008), Bedanya peraturan yang diterapkan kepada remaja dengan peraturan kepada anak-anak adalah cara memperkenalkannya. Remaja harus mendapat pengertian yang logis pada setiap perafuran yang dikenakan kepadanya 43 agar ia bersedia mematuhinya dan mendapatkan manfaat dari disiplin yang dipatuhinya. . Proses Disiplin Proses disiplin adalah dengan menetapkan peraturan, membuat batasan- batasan, petunjuk cara melakukan dengan benar (kaitkan dengan waktu), smenentukan kriteris keberhasilan atau kegagalan, ciptakan konsekuensi- konsekuensi, pemberian ‘hadiah’, penyelesaian masalah (Kosasih, 2008). 1. Peraturan dan Tujuan Peraturan yang harus dipatuhi harus dimengerti dengan benar dan disosialisasikan dengan jelas sampai anak mengerti tujuan dari peraturan tersebut. Anak perlu mendapat penjelasan yang logis mengapa harus dilakukan, bagaimana melakukannya, kapan melakukannya, di mana ia harus melakukannya, dan kepada siapa ia harus mempertanggungjawabkan hasilnya. 2, Batasan Pelaksanaan Beri batasan pada peraturan yang dibuat dengan petunjuk konkrit apa yang boleh dan apa yang tidak boleh. Batasan ini dapat ditambah dan dikurangi sejalan dengan kemampuan remaja untuk menunjukkan tanggung jawab atas tindakannya. 3, Cara Melakukan Petunjuk praktis bagaimana menaati peraturan dengan melakukan melakukan agar berhasil mengikuti peraturan dan berhasil mencapai tujuannya. 4, Kriteria Keberhasilan Kriteria keberhasilan harus diberikan unk menjadi panduan mengukur apakah anak sudah menaati peraturan. 44 5, Konsekuensi-konsekuensi Akibat atau hasil perbuatan yang akan meteka terima bila mereka melakukan sesuai dengan peraturan atau tidak sesuai dengan peraturan, Pemberlakuan Konsekuensi ditandasi kesabaran, iman, kasih, dan tega (empowered by faith not by fear or anger’, 6. Hadiah (Virtues Within) “Hadiah’ yang berupa pengakuan positif ini bukan berupa pujian pada prestasi atau penampilan yang baik tetapi merupakan keberadaan diri anak yang tampil pada kualitas dirinya. Hadiah ini membantu remaja mengenali identitas diri yang positif. 7, Evaluasi dan Pemecahan Masalah Pemecahan masalah dihasilkan lewat diskusi, adakan kesepakatan yang sesuai dengan peraturan, Beri kesempatan dengan batas waktu. Konsckuensi yang diberlakukann harus jelas dan ‘erbatas Iuas lingkupnya ‘dan waktu pemberlakuannya, 2.2.5.8. Kualitas Karakter Tahu Berterima Kasih a. Definisi Kualitas Karakter Tahu Berterima Kasih Tahu Berterima Kasih adalah Menyatakan kepada orang lain melalui perkataan dan tindakan betapa berjasanya mereka bagi hidup saya (Character Training Institute, 2006). Sikap berterimakasih (bahasa Inggris: Gratefulness) berasal dari bahasa Latin gratus, yang artinya bebas; siap; sigap; bersedia; tidak menunda, Seseorang yang berterima kasih memiliki perasaan berhutang budi terhadap orang-orang yang telah 45 berjasa bagi kehidupannya, Seseorang yang berterima kasih mempunyai kebebasan, siap, sigap, bersedia, dan tidak menunda-nunda untuk secara terbuka menunjukkan penghargaan kepada mereka yang layak menerimanya (Character Training Institute, 2006). . _Konsep Karakter Tahu Berterima Kasih Berterima kasih tidak bergantung pada keadaan seseorang, namun merupakan keputusan hati, Seseorang yang berterima kasih memandang jauh ke depan melampaui kondisinya dan memmusatkan diri pada pelajaran apa yang dapat diperoleh dalam tiap situasi, Bagian dari sikap berterima kasih adalah menyadari bahwa segala sesuata yang dimiliki seseorang merupakan sumbangan dari orang lain, Lebih lanjut, sikap ini senantiasa berupaya menghormati mereka yang bertanggung jawab atas keberhasilan orang itu, Sikap ini bukanlah usaha “membayar kembali” kepada orang Jain atas apa yang telah mereka lakukan, namun untuk menunjukkan penghargaan. Banyak orang merasa berterima kasih atas segala yang mereka terima, namun tidak pernah menyatakan penghargaan mereka. Sebaliknya, orang yang sunggub-sungguh berterima kasih menyadari sumbangsih orang lain dan melakukan tindakan nyata dengan memunjukkan penghargaannya. Berterima kasih bukanlah suatu kondisi berpikir yang pasif, namun suatu ekspresi aktif. Kita semua memperoleh sumbangan waktu, tenaga, dan sumber daya yang tak terhitung banyaknya dari orang lain, Orang tua, guru, teman, tetangga, masyarakat, dan banyak lagi, semuanya merupakan bagian penting bagi perkembangan diri tiap individu, 46 5 Indikator i will”saya akan” Karakter Tahu Berterima Kasih (Character Training Institute, 2006): 1. Menunjukkan pada orang tua dan guru bahwa saya menghargai mereka 2. Menuliskan pesan-pesan “Terima Kasih” 3. Menjaga barang-barang saya dengan baik 4, Merasa puas dengan apa yang saya miliki 5. Menghitung kebaikan-kebaikan yang saya terima 2.2.5.9. Kualitas Karakter Peduli a, Definisi Kualitas Karakter Peduli Peduli adalah melakukan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan yang mendalam (International Association of Character Cities, 2006). b. Konsep Karakter Kepedulian 1. Menyadari kebutuhan satu sama lain akan kasih dan perhatian, serta merencanakan sarana dan kegiatan untuk memenuhi kebutuhan itu 2. Mengenali kebutuhan satu sama lain akan penghormatan serta mendengarkan ide-ide mereka dengan pikiran terbuka 3. Berusaha memahami pergumulan orang lain menurut sudut pandang dan -pengalaman orang itu sendiri 4. Bersedia menghentikan aktivitas yang dapat mengecewakan atau menyakiti satu sama lain c. Manfaat Kepedulian 1. Kesan yang baik 47 Orang yang dengan tekun mengusahakan kesejahteraan orang lain akan ‘menerima pengakvan dan kesan yang baik dari mereka yang mengamati tindakan-tindakannya yang tidak egois 2. Persahabatan Keterlibatan di dalam kehidupan satu sama Jain akan memperdalam taraf keintiman dan persahabatan di antara kedua pihak 5 Indikator i wili?’saya akan” Karakter Peduli (International Association of Character Cities, 2006): 1, Berhenti agar bisa menolong 2, Mendengarkan saat orang lain ingin berbicara 3. Memberikan kemampuan yang saya miliki untuk menolong mereka yang memerlukan 4. Mencari pemecahan yang berdampak langgeng 5. Menghibur orang lain tanpa mempertimbangkan ras, jenis kelamin, agama, umur, atau kebangsaannya 2.2.5.10. Kualitas Karakter Kerajinan a, Definisi Kualitas Karakter Kerajinan Kerajinan adalah menggunakan waktu dan tenaga untuk menyelesaikan tugas yang dipereayakan dengan segenap hati (International Association of Character Cities, 2006). b. Konsep Karakter Kerajinan 1. Menginvestasikan waktu dan tenaga untuk menetapkan visi dan tajuan 48 2. Menolong menyusun rencana dan menetapkan prioritas bagi tugas mingguan yang perlu diselesaikan 3. Menyusun jadwal harian agar waktun dapat digunakan sebijak mungkin 4, Berupaya sebaik mungkin menolong anggota keluarga menyelesaikan tanggung jawab mereka sama seperti ketika kita menyelesaikan tanggung jawab kita sendiri Manfaat Kerajinan 1. Arab Orang yang tekun momiliki visi bagi kehidupan mereka; mereka menggunakan setiap momen dan kesempatan yang tersedia untuk mencapai ‘ujuannya, Tidak seperti pemalas yang terus-menerus bingung mau melakukan apa, orang yang tekun sanggup melihat jalan yang hendak ditempuhnya secara jelas tanpa kebingungan 2. Kenaikan Jabatan Orang yang tekun dalam mempraktikkan kecakapan dan talentanya tidak akan kekurangan kesempatan dan posisi yang diharapkan 5 Indikator i will/’saya akan” Kerajinan (International Association of Character Cities, 2006): 1. Menyelesaikan proyek saya 2, Melakukan pekerjaan dengan benar 3. Mematuhi petunjuk 4, Memusatkan perhatian pada pekerjaan saya 5. Tidak bermalas-malasan 49 2.2.5.1. Kualitas Karakter Hormat a. Definisi Kualitas Karakter Hormat Hormat adalah menghargai para pemimpin karena otoritas lebih tinggi yang mereka miliki (International Association of Character Cities, 2006). b, Konsep Karakter Hormat 1. Berbicara secara positif tentang orang tua, majikan, pejabat pemerintah, dan petugas penegak hukum 2. Menunjukkan hormat kepada otoritas dengan berdiri tegak, menatap mata, menyebutkan gelar mereka dengan semestinya, dan berperilaku santun 3. Anak-anak menghargai orang tua dengan menelepon bila tidak bisa pulang pada waktunya, meminta izin, menatap mata, serta tidak berbicara sekenanya atau berdiri seenaknya . Manfaat Karakter Hormat 1. Hormat Sikap penghormatan pada otoritas akan menarik perhatiannya, Ia akan menaruh minat pada kehidupan si bawahan yang penuh hormat ini serta dengan sukacita memberikan penghormatan, dan juga tanggung jawab tambahan pada gilirannya 2. Pujian Orang Jain akan memperhatikan perilaku santun yang akan ditunjukkan seseorang; orang yang memiliki kedudukan lebih tinggi akan memuji orang ini di depan orang lain. 5 Indikator i will?saya akan” Karakter Hormat (International Association of Character Cities, 2006): 50 1. Bersikap penuh pethatian kepada para pemimpinku 2. Menunjukkan kesetiaan pada otoritas yang berada di atasku 3. Hanya menyatakan hal yang benar 4, Taat dengan penuh sukacita 5. Member tempat pada mereka yang lebih tua atau berkedudukan terhormat 2.3. Kepuasan Pelanggan 2.3.1. Definisi Kepuasan Pelanggan Kotler dan Keller (2007) mendefinisikan kepuasan sebagai perasaan suka atau kecewa seseorang sebagai hasil dari perbandingan antara persepsi atas kinerja produk dengan harapanya. Definisi ini mengandung pengertian bahwa kepuasan merupakan fongsi kinerja yang dipersepsikan dengan harapan. Banyak perusahaan memfokuskan pada kepuasaan tinggi Karena para konsumen yang kepuasannya hanya terbatas mudah untuk berubah pikiran apabila mendapat tawaran yang lebih baik. Bagi konsumen yang mempunyai kepuasan tinggi lebih sukar untuk mengubah pikirannya. Dengan kepuasan yang tinggi akan menciptakan kelekatan emosional terhadap merek tertentu bukan hanya kesukaan/ preferensi rasional. Kata kepuasan (satisfaction) berasal dari bahasa latin “satis” (cukup baik, memadai) dan ‘facio” (melakukan atau membuat). Kepuasan bisa diartikan sebagai “upaya pemenuhan sesuatu” atau “membuat sesuatu memadai”, Oxford Advanced Learner's Dictionary (2000) mendeskripsikan kepuasan sebagai “the good feeling that you have when you achieved something or when something that you wanted to happen does happen”; “the act of fulfilling a need or desire”. dan “an acceptable why of dealing with a complaint, a debt, an injury, etc”. Sekilas definisi-definisi ini kelihatan sangat 51 sederhana, namun begitu dikaitkan dengan konteks manajemen dan perilaku konsumen, istilah ini menjadi begitu kompleks. Bahkan, Oliver (1997) dalam bukunya berjudul Satisfaction: A Behavioral Perspective on the Consumer” menyatakan bahwa semua orang paham apa itu kepuasan, tetapi begitu diminta mendefinisikannya, kelihatannya tak seorangpun tabu. Dalam kajian literatur kepuasan pelanggan yang dilakukan Giese dan Cote (2000), mereka mengidentifikasi 20 definisi yang diacu dalam riset kepuasan pelanggan selama periode waktu 30 tahun. Meskipun definisi-definisi tersebut bervariasi (bahkan beberapa diantaranya saling tidak konsisten satu sama lain), kedua pakar dari Washington State University ini menemukan kesamaan dalam hal tiga komponen utama: a. Kepuasan pelanggan merupakan respons (emosional atau kognitif); b. Respons tersebut menyangkut fokus tertentu (ekspektasi, produk, pengalaman konsumsi, dan seterusnya); c. Respons terjadi pada waktu tertentu (setelah konsumsi, setelah pemilihan produk atau jasa, berdasarkan pengalaman akumulatif, dan lain-lain). Secara singkat, kepuasan pelanggan terdiri atas tiga komponen: respons menyangkut fokus tertentu yang ditentukan pada waktu tertentu. Berdasdarkan kajian literatur, data wawancara kelompok, dan wawancara personal, Giese dan Cote (2000) mengajukan rerangka definisional untuk menyusun definisi kepuasan pelanggan yang sifatnya spesifik untuk konteks tertentu. Rerangka tersebtu bukanlah definisi generik untuk istilah kepuasan. Menurut mereka, definisi kepuasan tidak bisa lepas dari chameleon effects, artinya interpretasi terhadap sebuah definisi sangat bervariasi antar individu dan antar situasi, Di dalam rerangka definisional, yang diajukan, mereka mengidentifikasi domain konsptual kepuasan, 52. menjabarkan komponen-komponen spesifik yang diperlukan dalam merumuskan definisi Keupasan, dan menguraikan proses menyusun definisi yang spesifik kontekstual dan dapat dibandingkan antar studi atau riset. Berdasarkan kerangka definisional tersebut, Kepuasan pelanggan adalah: a. Rangkuman berbagai intensitas respons afektif. Tipe respons afektif dan tingkat intensitas yang mungkin dialami pelanggan harus didefinisikan secara eksplisit oleh peneliti, tergantung pada konteks penelitiannya. b. Dalam waktu penentuan spesifik dan durasi terbatas. Peneliti harus menentukan waktu penentuan yang paling relevan dengan masalah penelitiannya dan mengidentifikasi kemungkinan durasi respons tersebut. c. Yang ditujukan bagi aspek penting dalam pemerolehan dan atau konsumsi produk. Peneliti harus mengidentifikasi fokus riset berdasarkan pertanayaan riset atau masalah manajerial yang dihadapi. Fokus ini bisa luas maupun sempit cakupannya dalam hal isu atau aktivitas pemerolehan atau konsumsi produk. Rerangka definisional yang dikemukakan Giese dan Cote (2000) ini sangat bermanfaat sebagai pedoman atau panduan bagi para peneliti yang ingin melakukan studi kepuasan pelanggan. Selama ini riset kepuasan pelanggan banyak dikritik dalam hal minimnya standarisasi definisi dan metodologi (Patterson dan Wilson, 1992), dan ambiguitas serta ketidakjelasan konsep (Teas dan Palan, 1997). 53 23.1.1, Definisi Ekspektasi Pelanggan Ekspektasi pelanggan didefinisikan secara berbeda-beda oleh sejumlah peneliti. Ekspektasi Pre-Pembelian | L Diskonfirmasi xspektast >, Kepuasan Persepsi Kinerja t Pumabeli Gambar 2.3 Model Diskonfirmasi Ekspektasi ‘Sumber: Teas & Palan (1997) Dalam rangka model diskonfirmasi ekspektasi (lihat Gambar 2.3), Teas & Palan (1997) mengidentifikasi setidaknya 7 macam konsep ekspektasi: predictive (Oliver, 1980); ideal (Tse & Wilton, 1988); equitable (Tse & Wilton; 1988); deserved (Leichty & Churchill, 1979; Miller, 1977); experience-based norms (Woodruff, Cadotte & Jenkins, 1983); desired (Bolfing & Woodruff, 1988), dan minimum tolerable expectations (Miller, 1977). Santos & Boote (2003) babkan memaparkan 9 tipe ekspektasi pelanggan yang disusun dalam hierarki ekspektasi (lihat Gambar 2.4). Kendati demikian, konsep ekspektasi yang tampaknya masih mendominasi aplikasi model diskonfirmasi ekspektasi adalah predictive expectations. Berdasarkan model ini, ekspektasi berfungsi sebagai standar perbandingan. Kinerja produk atau jasa pada berbagai atribut atau dimensi relevan dibandingkan dengan ekspektasi. Perbandingan terscbut akan menghasilkan reaksi konsumen tethadap produkjjasa dalam bentuk keupasan atau persepsi kualitas, Sebagai gambaran, beberapa macam definisi ekspektasi konsumen yang banyak dijumpai dalam literatur metiputi: a. "Probabilitas yang ditentukan pelanggan untuk terjadinya event positif dan negatif bila konsumen menunjulkkan perilaku tertentu” (Oliver, 1981). 54 . "Ekspektasi seorang tidak hanya mencakup probabilitas terjadinya hasil (outcome) tertentu, namun juga evaluasi terhadap hasil bersangkutan” (Oliver, 1980). . "Keyakinan konsumen bahwa sebuah produk memiliki atribut-atribut tertentu yang diinginkan” (Erevelles & Leavitt, 1992). |. "Ekspektasi mencakup antisipasi terhadap seberapa baik sebuah produk bakal berkinerja pada sejumlah atribut-atribut penting” (Swan & Trawick, 1981). . "Ekspektasi merupakan prediksi terhadap sifat/karakteristik dan tingkat kinerja yang bakal diterima pengguna produk” (Woodruff, Cadotte & Jenkins, 1983). .. “Keyakinan atau prediksi terhadap kemungkinan atribut atau kinerja produk” (Olshavsky & Spreng, 1989). . "Keyakinan konsumen terhadap tingkat atribut yang dimiliki sebuah produk” (LaTour & Peat, 1977). "Apa yang diyakini pembeli individual akan didapatkannya menyangkut kinerja alternatif penyedia jasa berdasarkan pemrosesannya terhadap sumber-sumber informasi yang tersedia” (Andreson & Chambers, 1985). *Kalkulasi probabilitas indifferen yang dilakukan konsumen yang menghasilkan gambaran mengenai apa yang akan terjadi” (Liechty & Churchill, 1979). Ekspektasi ideal adalah tingkat atribut sempurna atau utilitas maksimum” (Teas, 1993). 55 - t Suma eae ote Desired (want) ene ot Predicted (wil) Deserved Minimum tolerable Negative Sim ple (adequate) Disconfimnation | Simple Intolerable Worst imaginable Gambar 2.4 Hierarki Ekspektasi Pelanggan Sumber: Santos & Boote (2003) 2.3.1.2. Definisi Perceived Actual Performance Dalam literatur kepuasan pelanggan dan kualitas jasa, perceived performance didefinisikan secara relatif seragam sebagai keyakinan mengenai jasa yang dialami (Geliefs about experienced service). Spreng, MacKenzie & Olshavsky (1996), misainya, mendefinisikannya sebagai "keyakinan menyangkut atribut produk, tingkat atribut, atau hasil”. Oliver (1997) merumuskannya sebagai "persepsi terhadap jumlah atribut produk atau jasa dari hasil yang diterima”. Kendati demikian, pengukuran perceived performance masih menjadi topik kontroversial. Sejumlah pakar berargumen babwa ukuran perceived performance rancu atau tumpang tindih dengan konstruk lainnya, sementara pakar lainnya berpendapat bahwa justru ukuran ini yang harus menjadi folcus 56 para peneliti dan manajer. Dalam berbagai model kepuasan pelanggan, perceived performance kadangkala ditempatkan sebagai anteseden diskonfirmasi, kadangkala sebagai anteseden langsung untuk kepuasan (lihat lagi Gambar 2.3). ‘Menurut Spreng (1999), konsep perceived performance bisa dipilah menjadi dua macam. Pertama, perceptual performance, yakni “the evaluationless cognitive registering of the product attributes, level of attributes, or outcomes; these are beliefs, which are the subjective probabilities that the aspect in question is associate with the product”, Definisi ini mirip dengan definisi oliver (1997) dan Spreng, MacKenzie & Olshavsky (1996). Kedua, evaluative performance, yaitu “an evaluative judgement of product attributes or the product outcomes that is made by assessing the ability of the product to meet one’s needs or desires”. Hasil pengujian terhadap kedua ukuran perceived performance ini menunjukkan bahwa evaluative performance merupakan ukuran altematif untuk kepuasan atribut (Spreng, 1999). Secara umum, Spreng (1999) merekomendasikan agar evaluative performance hanya digunakan sebagai ukuran kepuasan pada level atribut sedangkan perceptual performance digunakan berbarengan dengan standar pembanding tertentu, seperti kinerja ideal atau kinerja yang diinginkan konsumen, 2.3.2, Model Kepuasan Pelanggan Menurut Schnaars (1991), pada dasamya tujuan sebuah bisnis adalah menciptakan para pelanggan yang puas. Sejalan dengan itu, berbagai upaya telah dilakukan untuk menyusun rerangka teoretikal guna menjelasakan determinan, proses pembentukan, dan konsekuensi kepuasan pelanggan (Yi, 1990). Secara garis besar, riset- 37 riset kepuasan pelanggan didasarkan pada tiga teori utama: contrast theory, assimilation theory, dan assimilation-contrast theory (Chiou, 1999). Contrast theory berasumsi bahwa konsumen akan membandingkan kinerja produk aktual dengan ekspektasi pra-pembelian, Apabila kinerja aktual lebih besar atau sama dengan ekspektasi, maka pelanggan akan puas. Sebaliknya, jika kinerja aktual lebih rendah dibandingkan ekspektasi, maka konsumen akan tidak puas. Assimilation theory menyatakan bahwa evaluasi purna beli merupakan fungsi positif dari ekspektasi konsumen pra-pembelian. Karena proses diskonfirmasi secara psikologis tidak enak dilakukan, konsumen cenderung secara perseptual mendistorsi perbedaan antara ekspektasi dan kinerjanya ke arah ekspektasi awal. Dengan kata lain, penyimpangan dari ekspektasinya cenderung akan diterima oleh konsumen bersangkutan. Assimilation-contrast theory berpegangan bahwa terjadinya efek asimilasi (assimilation effect) atau efek kontras (contrast effect) merupakan fungsi dari tingkat Kesenjangan antara kinerja yang diharapkan dan kinerja akatual. Apabila Kesenjangannya besar, konsumen akan memperbesar gap tersebut, sehingga produk dipersiapkan jauh lebih bagus/buruk dibandingkan kenyataannya (sebagaimana halnya contrast theory). Namun, jika kesenjangannya tidak terlampau besar, assimilation theory yang berlaku. Dengan kata lain, jika rentang deviasi yang bisa diterima (acceptable deviations) dilewati, maka kesenjangan antara ekspektasi dan kinerja akan menjadi signifikan dan disitulah efek kontras berlaku. Di antara berbagai macam variasi teori yang ada, sejauh ini paradigma diskonfirmasi merupakan model yang paling banyak digunakan dan dijadikan acuan (Churchill & Surprenant, 1982; LaTour & Peat, 1977; Oliver, 1980; Spreng, MacKenzie 58 & Olshavsky, 1996; Tse & Wilton, 1988), Paradigma ini menegasikan bahwa kepuasan/ketidakpuasan purnabeli ditentukan oleh evaluasi konsumen terhadap perbedaan antara ekspektasi awal (atau standar pembanding lainnya) dan persepsi terhadap kinerja produk aktual setelah pemakaian produk. Secara skematis, paradigma diskonfirmasi bisa diilustrasikan dalam Gambar 2.5. }> Pengalamen |> Rekomendas! gethok tular > Komunikasi pemasaran > Pengetahuan atas mereicmerek pesaing. Perceived 4 a =e ) Proses Perbandingan Diskonfirmas! Diskonfirmasi Negatif Positif More Satisfaction Ketidakpuasan Delight Gambar 2.5 Paradigma Diskonfirmasi ‘Sumber: Patterson (1993) Dalam kaitannya dengan paradigma diskonfirmasi, sejauh ini masih terdapat perdebatan mengenai karakteristik kepuasan: apakah kepuasan merupakan hasil dari simple confirmation (perceived performance sama dengan ekspektasi) ataukah hasil dari diskonfirmasi positif (perceived performance lebih besar daripada ekspektasi)? Sewaktu 59 Oliver (1977) pertama kali mendefinisikan paradigma diskonfirmasi, ia menyatakan bahwa konsumen akan puas bila persepsinya sesuai dengan ekspektasi (konfirmasi tercapai). Hunt (1991) dan Patterson (1993) sepakat dengan perspektif ini. Pendapat lain dikemukakan Erevelles & Leavitt (1992), Santos & Bote (2003) mengidentifikasi empat tipe keadaan afektif purnabeli (lihat Gambar 2.6): a. Delight b. Kepuasan (Indiferen Positif) . Acceptance (Indiferen Negatif) d. Ketidakpuasan Ekspeektasl/ Cognition Situasi Afoktf Persamaan Performance AP> EP Diskonfirmasi Positif Delight AP>EP _Diskonfirmasi Positif Kepuasan = A Delight/acceptonce/ AP=EP Simple Confirmation —_epuasan/ketidakpuason AP 2,33, p < 0,1). Strategi word of mouth terbukti sangat bermanfaat karena teridentifikasi sebagai faktor yang kuat dalam pembelian industri jasa (industri keuangan, perhotelan, dan pariwisata). 89 Tabel 2.3 Hasil Analisis Model Persamaan Struktural Dependent Variable Independent Variable | Indikator Nint Membeli R ® Pengetahuan Pelanggan 3 80 68 Kualitas Pelayanan 3 TT 63 Kepuasan Pelanggan 2 8 60 Kepercayaan 2 80 74 Word of Mouth 2 98 84 ‘Sumber: Hasan (2010) Temuan lain dalam segmen geografis, face to face WoM (63%), telepon (17%). Ini menunjukkan bahwa perbincangan atau kecakapan lisan secara face to face mengenai produk atkan merek perusahaan memainkan peran yang sangat penting dalam WoM. Kecuali itu, sebuah survey yang didanai oleh Priceline.com, dilakukan oleh Opinion Research Corporation International of Princeton, New Jersey, menemukan bahwa pelanggan yang puas akan memberi tahu pengalaman-pengalaman mereka kepada orang Jain 6 orang (1996), 11 orang (1999), dan 12 orang lain (2000) ketika mereka puas terhadap produk dan layanan perusahaan. Statistik menunjukkan bahwa orang yang terlibat dalam WoM 3,5 milliar setiap hari dan 2,5 milliar di antaranya adalah percakapan face to face, lainnya 630 juta percakapan melatui telepon online. Tingkat signifikansi semakin tinggi ketika seorang konsumen berbicara positif tentang suatu merek, marketer memperoleh dampak yang sangat kuat jauh melampaui dampak iklan televisi yang boros itu, dan peningkatan kredibilitas melalui rekomendasi WoM. Kecuali itu, pengaruh signifikan WoM marketing dalam (Hasan, 2010): a, Peningkatan pendapatan dan pangsa pasar. b. Puruanan sensitivitas harga. 90 c. Peningkatan loyalitas pelanggan. d. Peningkatan profitabilitas, e. Peningkatan harga saham, nilai pemegang saham, dan nilai penjualan, £. Peningkatan kemampuan untuk memobilisasi organisasi dan memfokuskan kegiatan, 8. Peningkatan kemampuan untuk memperluas kategori produk dan layanan baru, h, Meningkatkan kemampuan untuk menarik dan mempertahankan pegawai yang berkualitas tinggi. Hasil riset lain menunjukkan bahwa efek iklan secara lisan sangat luar biasa di pasar masa kini, misalnya saja: a, 95% konsumen kehilangan kepercayaan pada periklanan konvensional (Mckinsey & Co.). b. Lebih dari 90% pelanggan menyebutkan bahwa WoM sebagai sumber gagasan yang terbaik tentang produk dan jasa (Mckinsey & Co.). ©. 78% konsumen lebih percaya kepada teman ketika mereka ingin melakukan pembelian (Nielsen), d. 80% pelanggan percaya bahwa WoM sebagai sumber informasi yang lebih baik dari yang lain (Forrester). e. 47% responden mencari gagasan lebih percaya pada jejaring sosial (social networking). £. 45% responden mencari tempat penjualan dan potongan harga produk dari jejaring sosial. 8, 22% responden menyatakan akan membaca tinjauan ulang produk melalui blog. Walaupun efek yang dihasilkan WoM sangat signifikan terhadap tingkat penjualan, tetapi masih banyak para eksekutif perusahaan yang belum memberi a1 pertimbangan penuh pada penggunaan WoM sebagai salah satu strategi marketing mereka. 2.8.3. Filosofi Word of Mouth Marketing Word of mouth marketing adalah sebuah percakapan yang di desain secara online maupun offline memiliki multiple effect, non-hierarchi, horizontal dan mutasional (Hasan, 2010). Struktur dialog dan percakapan yang baik bersumber dari advokasi merek aktual dan orang-orang (rekomender) bersedia pergi dari satu tempat ke tempat lain (offline) untuk berbagi pendapat, pengalaman, atau antusiasme mereka tentang suatu produk. Alasan yang begitu kuat dalam WoM adalah percakapan timbal balik, yang tidak dapat ditemukan dengan ratusan pesan lain dalam folder Konvensional perusahaan, Filosofi dasar word of mouth marketing ini adalah (Hasan, 2010): a. Keberlanjutan suara pelanggan, bukan suara perusahaan/owner/marketer, b. Alami, asli, proses jujur bukan buatan dan juga manipulasi. c. Konsumen mencari sumber informasi bukan perusahaan/owner/marketer. 4. Konsumen berbicara tentang produk, layanan, atau merek dan mereka telah memiliki pengalaman, 2.54, Teknik Word of Mouth Marketing Sejumlah teknik word of mouth marketing yang diarabkan untuk mendorong orang berbicara satu sama lain tentang produk atau jasa adalah sebagai berikut (Hasan, 2010): 92 . Buzz Marketing: Menggunakan high profile berita untuk mendapatkan orang untuk berbicara tentang merek. . Viral Marketing: Menciptakan masukan pesan informatif yang dirancang untuk dapat diteruskan dalam model eksponensial, melalui e-mail misalaya, . Community Marketing: Pembentukan atau mendukung ceruk komunitas yang mungkin untuk berbagi kepentingan tentang merek (seperti kelompok pengguna, kipas klub, dan forum diskusi); providing alat, konten, dan informasi untuk dukungan kommunitas tersebut. Grassroots Marketing: Pengorganisasian dan memotivasi relawan untuk engage pribadi atau jangkauan lokal. . Evangelist Marketing: Merekrut pendukung baru, advokasi, atau relawan yang didorong untuk mengambil peran leadership dalam menyebarkan pesan secara aktif. Influencer Marketing: Mengidentifikasi masyarakat dan pendapat kunci leaders yang cenderung berbicara tentang produk dan memiliki kemampuan untuk influence pendapat orang lain. . Street Marketing: Menjangkau dan berinteraksi dengan konsumen secara langsung — tatap muka di suatu tempat secara berkala, . Stealth - Undercover Marketing: Gerakan marketing di bawah ambang sadar, misalnya menggunakan seorang aktor untuk menyebarkan pesan positif dari satu brand kepada publik. i. Cause Marketing: Pendukung begitu ~ menyebabkan keuangan untuk mendapatkan rasa hormat dan support dari orang-orang yang merasa sangat tahu tentang penyebabnya. 93 J Produet Seeding: Meletakkan yang benar produk ke tangan kanan di waktu yang ‘epat, menyediakan informasi atau sampel untuk individu berpengaruh, K. Conversation Creation: Menarik atau menyenangkan iklan, email, manangkap frase, hiburan, atau promosi dirancang untuk memulai aktivitas mutut, 1. Brand Blogging: Menciptakan blog dan berpartisipasi dalam Blogging, dalam semangat terbuka, trans — orang tua kormunikasi; berbagi informasi nila, m. Referral Programs: Membuat alat yang memungkinkan pelanggan puas melihat teman-teman mereka. 2.6. Minat Penggunaan Jasa Ulang (Repurchasing) Keputusan pembelian dipengarubi oleh banyak faktor yang berbeda untuk setiap individu. Faktor tersebut adalah kebudayaan, Kelas sosial, kelompok referensi kecil, Keluarga, pengalaman, kepribadian, sikap, kepercayaan dan konsep dit, Keinginan ‘untuk membeli timbul setelah konsumen merasa tertarik dan ingin membeli produk yang dilihatya (Howard & Shay, 1998). Proses membeli (buying process) akan melalui lima tahapan, yaitu: a. Pemenuhan kebutuhan (need), b. Pemilihan kebutuhan (recognition), ©. Proses mencari barang (search), 4. Proses evaluasi (evaluation), dan ©. Pengambilan keputusan (decision) Menurut Cobb-Walgren, Ruble, dan Donthn (1995) niat beli merupakan suatu Pemyataan mental dari Konsumen yang merefleksikan rencana pembelian suatu produk dengan merek-merek tertentu, Jadi pada dasarnya seseorang jika berkeinginan untuk 4 membeli biasanya dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti dorongan dan pertimbangan- pertimbangan tertentu (Dodds, Monroe, dan Grewal, 1991). Dodds, Monroe, dan Grewal (1991) mengemukakan bahwa iat beli didefinisikan sebagai kemungkinan seorang konsumen untuk berminat membeli suatu produk tertentu yang dilihatnya, Menurat Dodds, Monroe, dan Grewal (1991), jika seseorang menginginkan produk dan merasa tertarik untuk memiliki produk tersebut maka mereka berusaha untuk membeli produk tersebut, selain itu faktor yang lainnya adalah rekomendasi dari pihak lain sangatlah penting karena dapat mempengaruhi seseorang untuk terjadinya proses pembelian. Minat membeli merupakan dorongan Konsumen untuk melakukan pembelian atau dorongan yang dimiliki oleh seseorang untuk melakukan pembelian ulang. Niat beli yang terdapat pada diri seseorang untuk melakukan suatu perilaku dipengaruhi oleh sikap maupun variabel lainnya, Beberapa hal yang perlu diperhatikan ada variabe! niat ini adalah: a. Niat dianggap sebagai penangkap atau perantara faktor-faktor motivasional yang ‘mempunyai dampak pada suatu perilaku. b. Niat menunjulckan seberapa kuat seseorang berani mencoba. c. Niat juga menunjukkan seberapa banyak upaya yang direncanakan seseorang untuk dilakukan. d, Niat adalah yang paling dekat berhubungan dengan perilaku selanjutaya. Pelanggan yang berkomitmen memiliki keterkaitan emosional terhadap merek atau perusahaan yang ditujunya. Pada umumnya pelanggan mengekspresikan komitmen mereka dengan kepercayaan dan kesukaan terhadap merek tersebut serta kepercayaan terhadap perusahaannya, Konsumen yang berkomitmen tidak ingin meneari informasi tambahan pada saat membuat keputusan pembelian. Mereka juga tidak mudah untuk 95 berpindah ke merek pesaing. Meskipun mereka membeli merek pesaing, tetapi setelah penawaran promosi berakhir, seperti diskon, mereka akan kembali ke merek semula, Perpindahan sementara tersebut hanya bersifat memanfaatkan keuntungan yang ditawarkan oleh merek lain. Minat beli lang merupakan dorongan konsumen untuk melakukan pembelian atau dorongan yang dimiliki seseorang untuk melakukan pembelian ulang. Minat beli ulang merupakan bagian dari perilaku pembelian dimana didalam konteks minat beli ulang tersebut terdapat konsep loyalitas (Soderlund dan Vilgon, 1999). Selain itu, pelanggan yang memiliki komitmen pada umumnya lebih mudah menerima perluasan lini produk baru yang ditawarkan oleh perusahaan tersebut. Kesesuaian antara performa dari produk atau jasa yang ditawarkan akan memberikan Kepuasan bagi konsumen dan menghasilkan minat konsumen untuk menggunakannya Kembali di waktu yang akan datang. Konsumen yang merasa puas dan menjadi pelanggan yang berkomitmen juga dapat menjadi sumber rekomendasi positif (positive word of mouth) bagi konsumen lainnya terhadap merek tersebut (Hawkins, Best, dan Coney, 1998; Athanassopoulos, Gounaris, dan Stathakopoulos, 2000). Sehingga pelanggan yang berkomitmen sangat berperan dalam pengembangan suatu merek. Proses evaluasi konsumen sangat menentukan tingkat motivasi pembelian ulang terhadap suatu merek, Motivasi tersebut akan menimbulkan keinginan pembelian ulang untuk memenuhi setiap kebutuhannya atau meningkatkan jumlah pembeliannya, dan menghasilkan komitmen untuk menggunakan kembali merek tersebut dimana keinginan itu berkaitan dengan psikologi konsumen (Hawkins, Best, dan Coney, 1998). roses evaluasi konsumen sangat menentukan tingkat motivasi pembelian ulang terhadap suatu merek. Motivasi tersebut akan menimbulkan keinginan pembelian ulang oT b, Kualitas lebih menekankan aspek kepuasan pelanggan dan pendapatan, Fokus utamanya adalah customer utility. ¢. Profitabilitas merupakan hasil dari hubungan antara penghasilan (income), biaya, dan modal yang digunakan. Perspektif tradisional sering hanya berfokus pada pencapaian produktivitas dan profitabilitas dengan mengabaikan aspek Kualitas. Hal ini bisa mengancam survivabilitas jangka panjang perusahaan. Dalam konteks kompetisi global di era pasar bebas ini, setiap perusahaan harus bersaing dengan para pesaing lokal dan global. Peningkatan intensitas kompetisi menuntut setiap perusahaan untuk selalu memperhatikan dinamika Kebutuhan, keinginan dan preferensi pelanggan serta berusaha memenuhinya dengan cara-cara yang lebih efektif dan efisien dibandingkan para pesaingnya, Perhatian setiap perusahaan tidak lagi hanya terbatas pada produk (barang atau jasa yang dihasilkan) senata, tetapi juga pada aspek proses, sumber daya manusia, dan lingkungan, Dengan demikian, hanya perusahaan yang benar-benar berkualitas yang dapat memenangkan persaingan dalam pasar global. Mutu/Kualitas dalam persepsi diukur dari kepuasan pelanggan atau pengguna, meningkatnya minat, harapan dan kepuasan pelanggan (Sallis, 2006). Tjiptono dan Chandra (2007) menyatakan bahwa kualitas berkaitan erat dengan kepuasan pelanggan. Kualitas memberikan dorongan khusus bagi para pelaggan untuk menjalin ikatan relasi saling menguntungkan dalam jangka panjang dengan perusahaan. Ikatan emosional semacam ini memungkinkan perusahaan untuk memahami dengan seksama harapan dan kebutuban spesifik pelanggan. Pada gilirannya, perusahaan dapat meningkatkan kepuasan pelanggan, di mana perusahaan 98 memaksimumkan pengalaman pelanggan yang menyenangkan dan meminimumkan atau meniadakan pengalaman pelanggan yang kurang menyenangkan. 2.72. Hubungan Kualitas Jasa/Produk dengan Kepuasan Pelanggan dengan Ekspektasi Pelanggan sebagai Standar Perbandingan Kita dapat mengatakan bahwa penjual telah menghasilkan mutu bila produk atau pelayanan penjual tersebut memenuhi atau melebihi harapan pelanggan (Kotler dan Keller, 2007). Dalam konteks kualitas produk (barang dan jasa) dan kepuasan pelanggan, telah dicapai Konsensus bahwa harapan pelanggan (customer expectation) memainkan peran penting sebagai standar perbandingan dalam mengevaluasi kualitas maupaun Kepuasan, Menurut Olson & Dover (dikutip dalam Zeithaml, et al, 1993), harapan/ekspetasi pelanggan merupakan keyakinan pelanggan sebelum mencoba atau membeli suatu produk, yang dijadikan standar atau acuan dalam menilai kinerja produk bersangkutan. Kendati demikian, Konseptualisasi dan operasionalisasi harapan pelanggan masih menjadi isu kontroversial, terutama menyangkut karakteristik standar ekspektasi spesifik, jumlah standar yang digunakan, dan sumber ekspektasi, Setiap Konsumen mungkin saja memiliki beberapa ekspektasi pra-konsumsi yang berbeda. Slain itu, konsumen yang berbeda bisa pula menerapkan tipe ekspektasi yang berbeda untuk situasi yang berbeda. Berdasarkan kajian mendalam terhadap literatur kualitas jasa dan kepuasan pelanggan, Santos & Boote (2003) mengidentifikasi 56 definisi ekspektasi pelanggan. Mereka mengklasifikasikan definisi-definisi tersebut ke dalam 9 kelompok yang disusun 99 dalam sebuah hierarki ekspektasi, dari yang tertinggi hingga terrendah (lihat lagi Gambar 2.4). 2.7.2.1. Ideal Expectation Yaitu tingkat kinerja optimum atau terbaik yang diharapkan dapat diterima konsumen. Menurut Miller (1977), ideal expectation mencerminkan "wished for” level of performance. Standar ideal identik dengan excellence, yakni standar sempurna yang membentuk ekspektasi terbesar konsumen (Buttle, 1998). 2.1.2.2. Normative (should) Expectation (Persuasion-Based Standard) Yaitu tingkat kinerja yang dirasakan konsumen seharusnya mereka dapatkan dari produk yang dikonsumsi (Parsuraman, et al., 1985). Ekspektasi normatif lebih rendah dibandingkan ekspektasi ideal, karena biasanya ekspektasi normative dibentuk oleh pemasok atau penyedia jasa. Tipe ekspektasi semacam ini ditumbuhkan melalui sumber- sumber yang bisa dikendalikan pemasar (contohnya, iklan, brosur, pamflet, poster, dan personal selling), karenanya sering pula disebut persuasion-based standard atau marketer supplied standard (Spreng, MacKenzie & Olshavsky, 1996). 2.7.2.3. Desired Expectation Yaitu tingkat kinerja yang diinginkan pelanggan dapat diberikan produk atau jasa tertentu (Swan & Trawick, 1980). Dengan kata lain, desired expectation mencerminkan tingkat kinerja yang diinginkan atau diharapkan diterima pelanggan. Santos & Boote (2003) menyatakan bahwa desired performance merupakan perpaduan antara apa yang diyakini pelanggan dapat (can be) dan scharusnya (should be) diterima. 100 2.7.2.4. Predicted (will) Expectation (Experience-Based Norms) Yaitu tingkat kinerja yang diantisipasi atau diperkirakan konsumen akan diterimanya, berdasarkan semua informasi yang diketahuinya. Tipe ekspektasi ini juga bisa didefinisikan sebagai tingkat kinerja yang bakal atau mungkin terjadi pada interaksi berikutnya antara pelanggan dan perusahaan (Oliver, 1981; Zeithaml, et al, 1993). Standar ini terbentuk berdasdarkan pengalaman masa lalu dalam mengkonsumsi kategori produk atau jasa tertentu dan persepsi konsumen terhadap kinerja produk tipikal. Woodruff, Cadotte & Jenkins (1983) menggunakan istilah experience-based norms untuk tipe ekspektasi ini dengan dasar pemikiran bahwa standar ini merefleksikan aspek ideal dan realistik ekspektasi. 2.1.2.5. Deserved (won) Expectation (Equitable Expectation) Yaitu evaluasi subyektif konsumen tethadap investasi produknya (Miller, 1977). Tipe ekspektasi ini berkenaan dengan apa yang setidaknya harus terjadi pada service encounter berikutaya, yakni pelayanan yang sudah selayaknya didapatkan pelanggan Goulding, et al,. 1993). Deserved expectation berkaitan erat dengan equity theory, yaitu teori yang menyatakan bahwa setiap individu akan menganalisis rasio input dan basil (outcome) yang diperolehnya dibandingkan dengan rasio input dan hasil mitra pertukarannya, Input bisa berupa informasi, usaha, dana, dan waktu yang dicurahkan untuk merealisasikan pertukaran, sedangkan hasil mencakup manfeat dan kewajiban (liabilities) yang didapatkan dari pertukaran, misalnya penghematan waktu, kinerja produk atau jasa dan kompensasi tertentu yang diterima. 101 2.7.2.6. Adequate Expectation Tingkat ekspektasi batas bawah (lower level) dalam ambang batas kinerja produk atau jasa yang bisa diterima pelanggan (Zeithaml, et al., 1993). 2.7.2.7. Minimum Tolerable Expectation Yaitu tingkat kinerja terrendah yang bisa diterima atau ditolerir konsumen (Miller, 1977). Menurut Santos & Boote (2003), minimum tolerable expectation mirip dengan adequate expectation. 2.7.2.8. Intolerable Expectation Yakni serangkaian ekspektasi menyangkut tingkat kinerja yang tidak bakal ditolerir atau diterima pelanggan (Buttle, 1998). Standar ini bisa terbentuk sebagai hasil komunikasi gethok tular atau pengalaman pribadi yang tidak memuaskan, dimana konsumen berharap bahwa memori buruk tersebut tidak akan pernah terulang lagi. 2.7.2.9. Worst Imaginable Expectation Yaitu skenario terburuk mengenai kinerja produk yang diketahui dan atau terbentuk melalui kontak dengan media, seperti TV, radio, koran, atau intemet. Melalui eksposur media (misalnya liputan berita dan surat pembaca), konsumen mungkin saja mengetabui pengalaman-pengalaman buruk orang lain berkenaan dengan kinerja produk, jasa, atau perusahaan spesifik. Konsumen dan atau keluarga dan koleganya mungkin belum pernah mengalami langsung pengalaman buruk seperti ini, namun mereka tahu bahwa kasus-kasus buruk semacam itu memang ada dan bisa saja terjadi pada mereka. Intolerable expectation dan worst imaginable expectation berada di luar zone of 102 tolerance. Menurut Zeithaml, et al. (1993), zone of tolerance mencerminkan sejauh mana Konsumen menyadari dan bersedia menerima heterogenitas kinerja produk, Apabila kinerja jaksa masuk dalam zone of tolerance maka konsumen akan memandangnya sebagai kinerja yang memuaskan. 2.8, Hubungan Kualitas Jasa/Produk dengan Citra Merek (Brand Image) Perusahaan 2.8.1. Total Perceived Quality Model Salah satu model kualitas jasa yang pertama kali dikembangkan adalah Total Perceived Quality Model (Gronroos, 1984, 1990, 2000). Berdasarkan model ini, kualitas suatu jasa yang dipersepsikan pelanggan terdiri atas dua dimensi utama (lihat Gambar 2.10). Dimensi pertama, ‘echnical quality (outcome dimension) berkaitan dengan kualitas output jasa yang dipersepsikan pelanggan, Komponen ini dapat dijabarkan lagi menjadi tiga tipe (Zeithaml, Parasuraman, Berry, 1990): a. Search quality, yaita Komponen kualitas yang dapat diinspeksi atau dievaluasi pelanggan sebelum dibeli dan digunakan, misalnya harga dan usia kendaraan bermotor (lewat STNK dan BPKB); b. Experience quality, yaitu komponen kualitas yang hanya bisa dievaluasi pelanggan setelah dibeli dan atau dikonsumsi, contohnya ketepatan waktn, kecepatan layanan, kelezatan masakan, dan kerapian hasil cukur rambut; dan ©. Credence quality, yaita komponen kualitas yang sukar dievaluasi pelanggan sekalipun jasa telah dikonsumsi, misalnya kualitas operasi bedah syaraf. 103 tra i = Kualtas yang Ta ‘ Percoted Guoty yang Diherapkan Dialer Komurikasi Pemeseran > Penjualan Citra > Citra > Komunikasi Word of Mouth > Public Relations > Kebuluhan dan Nisi-rilei Pelanggan Kualitas Teknis Hast: Kuaitas Fungsional ‘APA Proses: BAGAIMANA Gambar 2.10 Total Perceived Quality Model ‘Sumber: Gronroos (2000) Dimensi kedua, functional quality (process related dimension) berkaitan dengan kualitas cara penyampaian jasa atau menyangkut proses transfer kualitas teknis, output atau hasil akhir jasa dari penyedia jasa kepada pelanggan. Contohnya meliputi aksesibilitas mesin ATM sebuah bank, restoran siap saji atau Konsultan bisnis; penampilan dan perilaku pramusaji, teller bank, pemandu wisata, resepsionis hotel, atau pramugari; serta cara para karyawan jasa melakukan tugas mereka serta tutur kata mereka. Selain itu, functional quality juga dipengaruhi kehadiran pelanggan lain yang pada waktu bersamaan mengkonsumsi jasa yang sama atau serupa. Selain itu, penyedia jasa sulit berlindung di balik nama merek atau distributor. ‘Dalam kebanyakan kasus, pelanggan bisa melihat dan mengetahui perusahaan, sumber daya, dan caranya beroperasi. Oleh sebeb itu citra korporasi dan atau lokal (corporate andlor local image) sangat penting dalam sebagian besar jasa. Faktor ini bisa mempengaruhi persepsi terhadap kualitas secara signifikan melalui berbagai cara. Jika penyedia jasa memiliki citra positif di dalam benak pelanggan, kesalahan minor yang 104 terjadi sangat mungkin dimaafkan, Apabila kesalahan kerapkali terjadi, citra positif tersebut bakal rusak. Sebaliknya jika citra organisasi negatif, maka dampak dari setiap kesalahan kerapkali jauh lebih besar ketimbang bila citranya positif, Dalam kaitannya dengan persepsi terhadap kualitas, citra dapat dipandang sebagai filter yang digunakan untuk mengevaluasi kualitas keseluruhan (Tjiptono & Chandra, 2007). Gambar 2.10 menunjukkan keterkaitan antara pengalaman kualitas dengan aktivitas pemasaran teradisional yang menghasilkan perceived service quality (Total Perceived quality), Persepsi kualitas positif diperoleh apabila kualitas yang dialami (experienced quality) sesuai dengan atau memenuhi harapan pelanggan (expected quality), Bila harapan pelanggan tidak realistis, maka persepsi kualitas total (total perceived quality) akan rendab, babkan sekalipun kualitas yang dialami secara objektif benar-benar baik. Kualitas yang diharapkan dipengaruhi sejumlah faktor, di antaranya Komunikasi pemasaran, komunikasi gthok twlar (word of mouth), citra (image) Korporasi/lokal, harga, serta kebutuhan dan nilai pelanggan. Komunikasi pemasaran meliputi periklanan, direct mail, Websites, komunikasi Internet, kampanye penjualan, dan promosi penjualan, yang secara langsung berada dalam kendali perusahaan. Sementara itu faktor gethok tular (komunikasi word of mouth), citra, dan public relations hanya dapat dikendalikan secara tidak langsung oleh perusahaan, Dampak cekstemal bisa pula berpengaruh terhadap faktor-faktor ini, namun pada dasarnya ketiga faktor ini merupakan fungsi dari kinerja masa lalu perusahaan, yang didukung dengan faktor lain seperti iklan. Di samping itu, kebutuhan pelanggan dan nilai-nilai yang ‘menentukan pilihan pelanggan juga mempengaruhi harapannya (Tjiptono & Chandra, 2007). 105 Apabila program kualitas yang ditopang dengan aspek kualitas teknis dan kualitas fungsional diterapkan, bisa saja Total Perceived Quality tetap rendah atau babkan mala menurun kalau pada saat bersamaan perusahaan meluncurkan kampanye iklan yang menjanjikan Kinerja secara berlebihan (over-promise). Tingkat persepsi kualitas total tidak hanya ditentukan oleh tingkat kualitas teknis dan fungsional, namunjustru tergantung pada gap antra expected quality dan experienced quality. Implikasinya, setiap program Kualitas harus melibatkan setiap staf yang menangani operasi jasa, pemasaran ekstemal dan komunikasi pasar. 2.8.2. Gummeson 49 Model of Offering Quality Pada hakikatnya, model Gummesson dikembangkan dengan mengkombinasikan Total Perceived Quality Model dan karakteristik kualitas pada sektor manufaktur. Model ini mengasumsikan bahwa jasa/layanan dan barang fisik merupakan bagian integral dari jasa yang ditawarkan, Oleh sebeb itu, model ini mengintegrasikan elemen barang dan jasa, seria dimaksudkan untuk membantu pengembangan dan pengelolaan kualitas, terlepas dari tipe penawaran intinya (barang fisik atau jasa). Model Gummesson mencakup tiga variabel utama (lihat Gambar 2.11): a, Ekspektasi b. Pengalaman ©. Citra (perusahaan dan merek) 106 Citra Perusahaan dan Citra Merek Ekspektasi Pengalaman Kualitas Desain PERSEPS! PELANGGAN Kualitas Relasional TERHADAP KUALITAS: > Jangka pendek Kualitas Produksi > Jangka panjang it i dan Penyimpanan Kualitas Teknis Gambar 2.11 Gummeson 4Q Model of Offering Quality ‘Sumber: Gummeson (1993) Menurut model ini, persepsi pelanggan terhadap kualitas total mempengaruhi citra perusahaan dan citra merek dalam benak pelanggan, ‘Sementara itu, model ini juga mengidentifikasi empat konsep kualitas: a. Kualitas desain b. Kualitas produksi dan penyampaian produk c. Kualitas relasional d. Kualitas teknis Dua konsep kualitas pertama merupakan sumber kualitas, sedangkan dua konsep ‘kualitas berikutnya mencerminkan hasil dari produksi dan penyampaian barang, serta proses jasa. Kualitas desain mengacu pada seberapa baik proses pengembangan dan perancangan kombinasi antara elemen jasa dan barang pada paket produk, Kesalahan Kualitas desain bisa menyebabkan kinerja yang buruk dan pengalaman negatif pelanggan. Kualitas produksi dan penyampaian produk menunjukkan seberapa bagus 107 paket produk dan elemen-elemennya diproduksi dan disampaikan kepada pelangan, dibandingkan dengan desainnya. Apabila ada masalah dalam produksi elemen barang atau dalam proses jasa, atau jika penyampaian barang tidak memenuhi harapan, maka akan timbul masalah kualitas. Kualitas relasional berkenaan dengan persepsi pelanggan terhadap kualitas selama proses jasa. Kualitas relasional berkaitan erat dengan dimensi kualitas fungsional pada Total Perceived Quality Model. Dalam konteks jasa, kualitas relasional bisa diwujudkan melalui karyawan jasa yang empatik, penuh perhatian, dan customer- oriented, serta _mampu mendemonstrasikan kompetensi dan keterampilan dalam melayani pelanggan. Dalam konteks manufaktur, kualitas relasional bisa diciptakan melalui customization produk fisik. Sementara itn, kualitas teknis mangacu ada manfaat Jangka pendek dan manfaat jangka panjang paket jasa. Secara garis besar, model Gummesson merinci dimensi-dimensi penting Kualitas, Model ini menekankan bahwa masalah kualitas bisa dilacak hinga ke pabrik atau back office (kualitas produksi) dan bahkan ke departemen riset dan pengembangan (kualitas desain). Selain itu, model ini juga mencakup karakteristik spesifik elemen jasa dalam penawaran produk (kualitas penyampaian dan relasional) serta hasil jangka panjangnya, di amna aspek ini tidak tercakup secara eksplisit dalam Total perceived Quality Model, 2.9, Hubungan Kualitas Jasa dengan Komunikasi Word of Mouth Kualitas layanan adalah suatu yang mutlak agar sebuah usaha Words of Mouth berjalan dengan baik. Produsen dapat melakukan usaha Words of Mouth yang baik dengan ‘menciptakan pengalaman yang baik bagi pelanggan dalam hal pelayanan (Goodman, 2005). 108 Selain ity, Babin, et al (2005) dalam studinya mengenai restoran di Korea, juga menyebutkan bahwa kualitas layanan berpengaruh positif bagi kinerja Words of Mouth. 2.10, Hubungan Kualitas Jasa dengan Minat Guna Jasa Ulang (Repurchasing) Salah satu cara untuk meningkatkan daya saing adalah dengan peningkatan kualitas layanan karena dengan kualitas layanan yang baik maka kepuasan pelanggan akan tercapai. Tercapainya kepuasan pelanggan akan mempengaruhi perilaku konsumen untuk membeli barang atau jasa yang ditawarkan perusahaan. Hal ini berarti niat pembelian ulang konsumen dipengaruhi oleh kualitas layanan dan kepuasan pelanggan, sedangkan kualitas layanan harus dimulai dari kebutuhan pelanggan dan berakhir pada persepsi pelanggan. Persepsi pelanggan terhadap kualitas layanan merupakan penilaian yang menyeluruh atas keunggulan suatu jasa (Sari, 2009). Pendapat yang agak berbeda dikemukakan oleh Iacobucci (1998) dan Eagly & Chaiken (1993) yang mengemukakan mengenai kualitas jasa yang melihatnya lebih dekat kepada sikap karena menyangkut penilaian menyeluruh atas pelayanan yang diterima oleh pelanggan. Penilaian ini berdasarkan pada berbagai penelitian yang dilakcukan, terutama hubungannya dengan kecenderungan berperilaku (behavior intention) seperti re purchace intention, switching intention, advokasi dan price Sensitivity, 2.11. Hubungan Kepuasan Pelanggan dengan Minat Menggunakan Jasa Ulang Kepuasan dan ketidakpuasan terhadap produk akan memengatuhi perilaku konsumen selanjutnya, Jika puas, ia akan menunjukkan kemungkinan yang lebih tinggi untuk kembali membeli produk tersebut (Kotler & Keller, 2007). Contohnya, data 109 pilihan merek mobil menunjukkan korelasi yang tinggi antara perasaan sangat puas dan merek terakhir yang dibeli serta niat membeli kembali merek tersebut. Sebuah survey menunjukkan bahwa 75 persen pembeli Toyota sangat puas dan sekitar 75 persen pembeli berniat membeli Toyota lagi; 35 persen pembeli Chevrolet sangat puas dan sekitar 35 persen pembeli berniat membeli Chevrolet lagi. Stauss & Neuhaus (1997) mempertanyakan asumsi mayoritas operasionalisasi dan pengukuran kepuasan pelanggan yang beranggapan bahwa para pelanggan yang mengungkapkan tingkat kepuasan yang sama bakal memiliki pengalaman yang secara kualitatif identik dan mempunyai minat berperilaku yang sama (misalnya, loyalitas pembelian ulang). Mereka berargumen bahwa kepuasan atau ketidalpuasan memiliki dimensi kualitatif. Maksudnya, dimungkinkan saja bahwa sebuah jalaban yang diberikan pelanggan pada indeks kepuasan tertentu (contohnya, “sangat puas” pada skala 7-point Likert) berkaitan dengan berbagai komponen emosi, kognitif, dan minat berperilaku. Woodside (1989) dkk, kepuasan langganan serta keseluruhan dengan pelayanan merupakan suatu fungsi dari kualitas pelayanan seluruhnya dan kescluruhan kepuasan pelayanan dipengaruhi secara terpisah baik olch kualitas pelayanan juga oleh kepuasan hidup. Dengan kepuasan pelanggan atas pelayanan secara keseluruhan, yang merupakan fungsi dari kualitas pelayanan akan membuat pelanggan benar-benar merasa puas dan pelanggan yang puas akan memunculkan keinginan untuk terus menjalin hubungan kemitraan (minat untuk membeli ulang). Keinginan tersebut akan muncul apabila terjadi persamaan persepsi antara pelanggan dengan pihak manajemen tentang berbagai faktor yang mempengaruhi kepuasan, 110 Kepuasan pelanggan penting bagi para pemasar karena merupakan determinan dari pembelian ulang (Bearden dan Teel, 1983 dalam Woodside, Frey, dan Daly, 1989). Terdapat ‘hnbungan positif secara langsung antara kepuasan pelanggan dengan minat beli ulang yang didukung oleh hasil-hasil penolitian terhadap berbagai kategori produk dan jasa (Anderson dan Sullivan, 1993; Oliver, 1980; Swan dan Trawick, 1981), Dengan adanya kepuasan dari pelanggan, maka pelanggan akan memiliki minat untuk menggunakan kembali jasa dari Provider yang sama (Cronin dan Taylor, 1992). Hasil-hasil penelitian tersebut mengemukakan bahwa kepuasan pelanggan secara keseluruhan pada layanan jasa berasosiasi kuat terhadap perilaku konsumen untuk menggunakan kembali jasa dari penyedia yang sama, Berdasarkan model kepuasan kualitatif yang mereka kembangkan, Stauss & Neuhaus (1997) membdedakan tiga tipe kepuasan dan dua tipe ketidakpuasan berdasarkan kombinasi antara emosi-emosi spesifik terhadap penyedia jasa, ekspektasi menyangkut kapabililtas kinerja masa depan pemasok jasa, dan minat berperilaku untuk memilih lagi penyedia jasa bersangkutan. Tipe-tipe kepuasan dan ketidakpuasan tersebut adalah demanding satisfaction, stable satisfaction, resigned satisfaction, stable dissatisfaction, dan demanding dissatisfaction (lihat Tabel 2.4). a, Demanding Customer Satisfaction Tipe ini merupakan tipe kepuasan yang aktif. Relasi dengan penyedia jasa diwamai emosi positif, terutama optimisme dan kepercayaan, Berdasarkan Pengalaman positif di masa lalu, pelanggan dengan tipe keupasan ini berharap bahwa penyedia jasa bakal mampu memuaskan ekspektasi mereka yang semakin meningkat di masa depan. Selain itu, mereka bersedia meneruskan relasi yang memuaskan dengan penyedia jasa. Kendati demikian, loyalitas akan tergantung pada kemampuan i penyedia jasa dalam meningkatkan kinerjanya seiring dengan meningkatnya tuntutan pelanggan. . Stable Customer Satisfaction Pelanggan dalam tipe ini memiliki tingkat aspirasi pasif dan perilaku yang demanding. Emosi positifaya terhadap penyedia jasa bercirikan steadiness dan trust dalamrelasi yang terbina saat ini. Mereka menginginkan segala sesuatunya tetap sama, Berdasarkan pengalaman-pengalaman positif yang telah terbentuk hingga saat ini, mereka bersedia melanjutkan relasi dengan penyedia jasa. . Resigned Customer Satisfaction Pelanggan dalam tipe ini juga merasa puas. Namun, kepuasannya bukan disebabkan oleh pemenuhan ekspektasi, namun lebih didasarkan pada kesan bahwa tidak realistis untuk berharap lebih. Perilaku konsumen tipe ini cenderung pasif. ‘Mereka tidak bersedia melakukan berbagai upaya dalam rangka menuntut perbaikan situasi. |. Stable Customer Dissatisfaction Pelanggan dalam tipe ini tidak puas terhadap kinerja penyedia jasa, namun mereka cenderung tidak melakukan apa-apa. Relasi mereka dengan penyedia jasa diwarnai emosi negatif dan asumsi bahwa ekspektasi mereka tidak bakal terpenuhi di masa datang, Mereka juga tidak melihat adanya peluang untuk perubahan atau perbaikan. ,.. Demanding Customer Dissatisfaction Tipe ini bercirikan tingkat aspirasi aktif dan perilaku demanding. Pada tingkat emosi, ketidakpuasannya menimbulkan protes dan oposisi. Hal ini menyiratkan bahwa mereka akan aktif dalam menuntut perbaikan. Pada saat 112 bersamaan, mereka juga merasa tidak perlu tetap loyal pada penyedia jasa. Berdasarkan pengalaman negatifaya, mereka tidak akan memilih penyedia jasa yang sama lagi di kemudian hari. ‘Tabel 2.4 Tipe-Tipe Kepuasan dan Ketidakpuasan Pelanggan ‘Komponen Minat Berperilaku No. | Tipe Kepuasan dan (Minat Untuk Ketidakpuasan Emosi Ekspektasi Memilih Penyedia Jasa Yang Sama Lagi?) 1 | Demanding Optimisme/ +» harus bisa Ya, karena hingga saat satisfaction confidence mengikuti ini mereka mampu perkembangan —_ | memenuhi ekspektasi kebutuhan saya di | saya yang terus masa depan. meningkat. 2 | Stable satisfaction | Steadiness/ ~~ Segala sesuatu | Ya, karena hingga saat trust harus sama ini semuanya seperti apa memenuhi harapan adanya. saya. 3 _| Resigned Indifference! | .... saya tidak bisa | Ya, karena penyedia satisfaction ‘Resignation berharap lebih. _| jasa lain tidak lebih baik. 4 | Stable ‘Dissapoiniment! | ... saya berharap | Tidak, tetapi saya tidak dissatisfaction Indecision lebih tapi apa bisa menyebutkan yang harus saya _| alasan spesifik. Jakukan? 3 | Demanding Protest “perl banyak | Tidak, karena meskipua dissatisfaction opposition perbaikan. saya telah melakukan berbagai upaya, mereka tidak menanggapi kebutuhan saya. Sumber: Stauss & Neuhaus (1997) ‘Menurut Solomon (2003), konsumen yang puas tethadap barang dan jasa yang dikonsumsinya akan mempunyai kecenderungan untuk membeli ulang dari produsen yang sama. 13 Model-model perceived service quality pada umumnya bersifat statis, meskipun faktor citra (image) memberikan nuansa model dinamis pada model tersebut. Kebanyakan model dan instrumen kualitas jasa lainnya juga cenderung statis, Karena jasa merupakan proses dan secara inheren berorientasi pada relasi, maka konsekuensi logisnya adalah bahwa persepsi pelanggan terhadap jasa berkembang dan berubah sepanjang waktu seiring dengan berlanjutnya relasi antara pelanggan dan penyedia jasa. Bahkan sekalipun hanya ada satu service encounter tunggal, interaksi atau encounter tersebut merupakan proses yang terdiri atas serangkaian moments of truth dan persepsi kualitas berkembang secara dinamis selama proses interaksi tersebut berlangsung, Implikasinya, terjadi pergeseran fokus dari transaksi tanggal ke dalam ancangan manajemen jasa yang pada gilirannya memicu berkembangnya upaya menyusun model dinamis yang bisa menjelaskan persepsi pelanggan tethadap kualitas jasa. Sebagai hasilnya, mulai banyak riset difokuskan pada konseptualisasi dan pengukuran kualitas relasi (relationship quality), yatiu dinamika pembentukan kualitas jangka panjang dalam relasi pelanggan berkelanjutan (Gronroos, 2000). Kepuasan tehadap service encounter (episode) spesifik akan mempengaruhi perilaku masa datang pelanggan bersangkutan, Perilakunya akan tergantung pada perasaannya dalam hal loyalitas dan komitmen pada perusahaan (Liljander & Strandvik, 1995). 2.12, Hubungan Kepuasan Pelanggan dengan Komunikasi Word of Mouth Pelanggan yang puas cenderung menceritakan hal-hal yang baik tentang merek tersebut kepada orang lain (komunikasi word of mouth). Para pemasar 4 mengatakan “Iklan kami yang terbaik adalah pelanggan yang puas” (Kotler & Keller, 2007). Menurut Tjiptono & Chandra (2007), keempat keadaan afektif (delight, kepuasan, acceptance, dan ketidakpuasan) berpengaruh terhadap tindakan afektif, yaitu perilaku komplain dan complimenting behavior (lihat Gambar 2.12). Apabila sebuah produk atau jasa berkinerja lebih besar daripada desired expectation dan pelanggan bersangkutan merasa delighted, maka complimenting behavior (misalnya, rekomendasi gethok tular positif/Word of Mouth) mungkin terjadi. Jika produk atau jasa berkinerja di antara predicted expectation dan desired expectation, dan pelanggan merasa puas, complimenting behavior juga mungkin terjadi. Seiring dengan peningkatan diskonfirmasi positif, semakin besar pula intensitas complimenting behavior. Kogris) ————me>- Keadaan Asiif Funabel —=> Tindakan Atif Peak (Kepuosariatdatpuasan) Kerpiin dan Comper) comptment | | ftenotes omatinen Biagee > | ' | term | Neapian ‘komplain. Gambar 2.12 Model Konseptual Ekspektasi, Keadaan Afektif, Purnabeli dan Perilaku Afektif Sumber : Santos & Bote (2003) 115 Konsumen yang merasa puas dan menjadi pelanggan yang berkomitmen juga dapat menjadi sumber rekomendasi positif (positive word of mouth) bagi Konsumen Jainnya terhadap merek tersebut (Hawkins, Best, dan Coney, 1998; Athanassopoulos, Gounaris, dan Stathakopoulos, 2000). Sebaliknya, perilaku komplain (misalnya, komunikasi gethok tular negatif, berhenti menjadi produk, mengeluh ke perusahaan, dan komplain ke pihak ketiga) mungkin terjadi manakala perceived performance sebuah barang atau jasa berada di antara minimum folerable expectation dan worst imaginable expectation. Perilaku komplain juga mungkin terjadi jika perceived performance berada di antara tingkat adequate expectation dan minimum tolerable expectation. Seiring dengan meningkatnya diskonfirmasi negatif, semakin besar pula intensitas komplain. Kennedy & Soemanagara (2009) menyatakan bahwa terdapat 4 tahap penting dalam promosi atau kampanye brand (brand recognition, brand preference, brand insistence, & lovely brand/brand satisfy), dimana pada tahap tertinggi brand yang adalah lovely brand atau brand satisfy, konsumen benar-benar merasa puas tethadap pengalaman yang dialami berulang-ulang dari penggunaan satu atau beberapa produk dalam brand yang sama. Kebulatan tekad yang mereka peroleh pada tahap brand insistence (tahap ketika konsumen mangambil kepuasan bulat untuk mengkonsumsi suatu produk untuk ke sekian kalinya, dimana konsumen lebih mengenal kelebihan produk ini daripada produk-produk lainnya, dan merasa aman untuk mengonsumsinya) membuat mereka yakin bahwa mereka akan selalu terpuaskan oleh produk-produk itu. Produk yang telah menempatkan dirinya pada lovely brand memperoleh keuntungan yang sangat besar, karena mereka menciptakan "jutaan sales”. Pada tahap ini konsumen akan memeberikan solusi masalah yang dihadapi oleh rekan mereka dan memberikan

Anda mungkin juga menyukai