Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN
Asma merupakan penyakit respiratorik kronik yang paling sering
ditemukan terutama di negara maju. Global Initiative For Asthma (GINA)
mendefinisikan asma sebagai suatu gangguan inflamasi kronik saluran respiratorik
dengan banyak sel yang berperan khususnya sel mas, eosinofil, dan limfosit T.
Prevalensi total asma di seluruh dunia diperkirakan sekitar 6% pada dewasa dan
10% pada anak. Selain itu prevalensi ini juga bervariasi antar negara (Sekarwana
et al, 2011).
Survey Asthma insight& Reality in Europe (AIRE) mengenai prevalensi
asma di Eropa yang telah dilakukan di 7 negara meliputi 73.880 rumah tangga
yang berjumlah 213.158 orang. Hasil survey menunjukkan bahwa prevalensi
populasi current asthma sebesar 2,7%. Prevalensi asma di Indonesia berdasarkan
penelitian yang dilakukan tahun 2002 pada anak usia 13-14 tahun adalah sekitar
6,7% (IDAI, 2010).
Eksaserbasi atau Serangan asthma merupakan episode perburukan gejalagejala asma secara progresif. Serangan asma bervariasi dari yang ringan sampai
yang berat dan dapat juga mengancam kehidupan. Berbagai faktor yang menjadi
pencetus timbulnya asma atara lain yaitu aktivitas fisik, alergen, infeksi,
perubahan mendadak suhu udara atau pajanan terhadap bahan-bahan iritan seperti
asap rokok. Selain itu terdapat juga beberapa faktor yang mempengaruhi tinggi
rendahnya prevalensi asma di suatu tempat, antara lain umur, gender, ras, sosioekonomi dan faktor lingkungan. Faktor-faktor tersebut mempengaruhi prevalensi
asma, terjadinya serangan asma, berat ringannya serangan, status asma, dan
kematian karena penyakit asma (IDAI, 2010; Sekarwana et al, 2011).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. ASMA BRONKIAL
A.1. Definisi
Global Initiative For Asthma (GINA) mendefinisikan asma sebagai suatu
gangguan inflamasi kronik saluran respiratorik dengan banyak sel yang berperan
khususnya sel mas, eosinofil, dan limfosit T (Lenfance, 2002). Sedangkan definisi
asma menurut Pedoman Nasional Asma Anak yaitu wheezing dan/atau batuk
persisten dengan karakteristik sebagai berikut: timbul secara episodik, cendrung
pada malam hari (nokturnal), musiman, adanya faktor pencetus (seperti aktivitas
fisik), bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan, adanya
riwayat asma atau atopi lain pada pasien/ keluarganya (IDAI, 2010).
A.2. Epidemiologi
Prevalensi total asma di seluruh dunia diperkirakan sekitar 6% pada
dewasa dan 10% pada anak. Selain itu prevalensi ini juga bervariasi antar negara
(Sekarwana et al, 2011). Survey Asthma insight& Reality in Europe (AIRE)
mengenai prevalensi asma di Eropa yang telah dilakukan di 7 negara meliputi
73.880 rumah tangga yang berjumlah 213.158 orang. Hasil survey menunjukkan
bahwa prevalensi populasi current asthma sebesar 2,7%. Prevalensi asma di
Indonesia berdasarkan penelitian yang dilakukan tahun 2002 pada anak usia 1314 tahun adalah sekitar 6,7% (IDAI, 2010).
A.3. Faktor Risiko dan Faktor Pencetus
A.3.1. Faktor Risiko
Berbagai faktor dapat mempengaruhi terjadinya serangan asma, kejadian
asma, berat ringannya penyakit, serta kematian akibat penyakit asma. Beberapa
faktor tersebut sudah disepakati oleh para ahli, sedangkan sebagian lain masih
dalam penelitian. Faktor-faktor tersebut antara lain (Suardi dkk, 2008):

1. Jenis kelamin, menurut laporan dari beberapa penelitian didapatkan bahwa


prevalens asma pada anak laki-laki sampai usia 10 tahun adalah 1,5
sampai 2 kali lipat anak perempuan.
2. Usia, umumnya pada kebanyakan kasus asma persisten gejala asma timbul
pada usia muda, yaitu pada beberapa tahun pertama kehidupan.
3. Riwayat atopi, adanya riwayat atopi berhubungan dengan meningkatnya
risiko asma persisten dan beratnya asma.
4. Lingkungan, adanya alergen di lingkungan hidup anak meningkatkan
risiko penyakit asma, alergen yang sering mencetuskan asma antara lain
adalah serpihan kulit binatang piaraan, tungau debu rumah, jamur, dan
kecoa.
5. Ras, menurut laporan dari amerika serikat, didapatkan bahwa prevalens
asma dan kejadian serangan asma pada ras kulit hitam lebih tinggi
daripada kulit putih.
6. Asap rokok, prevalens asma pada anak yang terpajan asap rokok lebih
tinggi daripada anak yang tidak terpajan asap rokok. Risiko terhadap asap
rokok sudah dimulai sejak janin dalam kandungan, umumnya berlangsung
terus setelah anak dilahirkan, dan menyebakan meningkatnya risiko.
7. Outdoor air pollution,
8. Infeksi respiratorik.
A.3.2 Faktor Pencetus
1. Alergen
Faktor alergi dianggap mempunyai peranan penting pada sebagian besar
anak dengan asma. Disamping itu hiperreaktivitas saluran napas juga
merupakan faktor yang penting. Pada bayi dan anak kecil sering berhubungan
dengan isi dari debu rumah. Dengan bertambahnya umur makin banyak jenis
alergen pencetusnya.
2. Infeksi
Biasanya infeksi virus, terutama pada bayi dan anak kecil. Virus penyebab
biasanya respiratory syncytial virus (RSV) dan virus parainfluenza.

3. Cuaca
Perubahan tekanan udara, suhu udara, angin dan kelembaban dihubungkan
dengan percepatan dan terjadinya serangan asma.
4. Iritan
Hairspray, minyak wangi, asap rokok, cerutu dan pipa, bau tajam dari cat,
SO2, dan polutan udara yang berbahaya lainnya, juga udara dingin dan air
dingin.Iritasi hidung dan batuk dapat menimbulkan refleks bronkokonstriksi.
5. Kegiatan jasmani
Kegiatan jasmani yang berat dapat menimbulkan serangan pada anak dengan
asma. Tertawa dan menangis dapat merupakan pencetus. Pada anak dengan
faal paru di bawah normal sangat rentan terhadap kegiatan jasmani.
6. Infeksi saluran napas bagian atas
Disamping infeksi virus saluran napas bagian atas, sinusitis akut dan kronik
dapat mempermudah terjadinya asma pada anak. Rinitis alergi dapat
memperberat asma melalui mekanisme iritasi atau refleks.
7. Refluks gastroesofagitis
Iritasi trakeobronkial karena isi lambung dapat memberatkan asma pada anak
dan orang dewasa.
8. Psikis
Tidak adanya perhatian dan tidak mau mengakui persoalan yang berhubungan
dengan asma oleh anak sendiri atau keluarganya akan memperlambat atau
menggagalkan usaha-usaha pencegahan. Dan sebaliknya jika terlalu takut
terhadap serangan asma atau hari depan anak juga tidak baik, karena dapat
memperberat serangan asma. Membatasi aktivitas anak, anak sering tidak
masuk sekolah, sering bangun malam, terganggunya irama kehidupan keluarga
karena anak sering mendapat serangan asma, pengeluaran uang untuk biaya
pengobatan dan rasa khawatir, dapat mempengaruhi anak asma dan
keluarganya.

A.4. Patogenesis
Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Berbagai sel inflamasi
berperan, terutama sel mast, eosinofil, limfosit T, makrofag, neutrofil, sel epitel.
Faktor lingkungan dan berbagai faktor lain berperan sebagai penyebab atau
pencetus inflamasi saluran napas pada penderita asma.
Konsep dari patogenesis asma yaitu asma merpakan suatu proses inflamasi
kronik yang khas dimana melibatkan dinding saluran pernapasan, menyebabkan
terbatasnya aliran udara, dan hiperreaktivitas saluran pernapasan. Dalam proses
ini terjadi hal-hal sebagai berikut:
1. Inflamasi akut
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor antara lain
virus, iritan, alergen yang dapat menginduksi respons inflamasi akut.

Reaksi asma tipe cepat dan spasmogenik


Jika ada pencetus terjadi peningkatan tahanan saluran napas yang
cepat dalam 1015 menit. Alergen akan terikat pada IgE yang menempel
pada sel mast dan terjadi degranulasi sel mast tersebut. Degranulasi
tersebut mengeluarkan performed mediator seperti histamin protease dan
newly generated mediator seperti leukotrien, prostaglandin dan platelet
activating factor yang menyebabkan kontraksi otot polos, sekresi mukus
dan vasodilatasi. Reaksi tersebut dapat hilang segera, baik secara spontan
maupun dengan bronkodilator seperti simpatomimetik.

Reaksi fase lambat dan lama


Reaksi ini timbul antara 69 jam setelah provokasi alergen dan
melibatkan pengerahan serta aktivasi eosinofil, sel CD4+, netrofil dan
makrofag. Patogenesis reaksi yang tergantung pada IgE, biasanya
berhubungan dengan pengumpulan netrofil 48 jam setelah rangsangan.
Reaksi lambat ini mungkin juga berhubungan dengan reaktivasi sel mast.
Leukotrien, prostaglandin dan tromboksan mungkin juga mempunyai
peranan pada reaksi lambat karena mediator ini menyebabkan kontraksi
otot polos bronkus yang lama dan edema submukosa.

2. Inflamasi kronik
Asma yang berlanjut yang tidak dobati atau kurang terkontrol
berhubungan dengan inflamasi di dalam dan disekitar bronkus. Berbagai
sel terlibat dan teraktivasi, seperti limfosit T, eosinofil, makrofag, sel mast,
sel epitel, fibroblas dan otot polos bronkus. Pada otopsi ditemukan
infiltrasi bronkus oleh eosinofil dan sel mononuklear. Sering ditemukan
sumbatan bronkus oleh mukus yang lengket dan kental. Sumbatan bronkus
oleh mukus ini bahkan dapat terlihat sampai alveoli. Infiltrasi eosinofil dan
sel-sel mononuklear terjadi akibat factor kemotaktik dari sel mast seperti
ECF-A dan LTB4. Mediator PAF yang dihasilkan oleh sel mast, basofil
dan makrofag yang dapat menyebabkan hipertrofi otot polos dan
kerusakan mukosa bronkus serta menyebabkan bronkokonstriksi yang
lebih kuat.
3

Airway remodeling

Pada asma terdapat saling ketergantungan antara proses inflamasi dan


remodeling. Infiltrasi sel-sel inflamasi terlibat dalam proses remodeling, juga
komponen lainnya seperti matriks ekstraselular, membran retikular basal,
matriks interstitial, fibrogenic growth factor, protease dan inhibitornya,
pembuluh darah, otot polos, kelenjar mukus. Perubahan struktur yang terjadi :
1.

Hipertrofi dan hiperplasia otot polos jalan napas.

2.

Hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus

3.

Penebalan membran retikular basal

4.

Pembuluh darah meningkat

5.

Matriks ekstraselular fungsinya meningkat

6.

Perubahan struktur parenkim

7.

Peningkatan fibrogenic growth factor menjadikan fibrosis


Airway remodeling merupakan fenomena sekunder dari inflamasi atau
merupakan akibat inflamasi yang terus menerus. Konsekuensi klinis
airway remodeling adalah peningkatan gejala dan tanda asma seperti
hiperreaktivitas jalan napas, masalah distenbilitas/regangan jalan napas

dan obstruksi jalan napas. Sehingga pemahaman airway remodeling


bermanfaat dalam manajemen asma terutama pencegahan dan pengobatan
dari proses tersebut.

Gambar 1. Patogenesis Asma Bronkial


A.5. Patofisiologi
A.5.1. Obstruksi Saluran Pernapasan
Inflamasi saluran respiratorik yang ditemukan pada pasien asma diyakini
merupakan hal yang mendasari gangguan fungsi : obstruksi saluran respiratorik
menyebabkan keterbatasan aliran udara yang dapat kembali secara spontan atau
setelah pengobatan. Perubahan fungsional yang dihubungkan dengan gejala khas
pada asma : batuk, sesak, wheezing dan disertai hipereaktivitas saluran
respiratorik terhadap berbagai rangsangan. Batuk sangat mungkin disebabkan oleh
stimulasi saraf sensoris pada saluran respiratorik oleh mediator inflamasi dan
terutama pada anak, batuk berulang bisa jadi merupakan satu-satunya gejala asma
yang ditemukan. Penyempitan saluran respiratorik pada asma dipengaruhi oleh

banyak faktor. Penyebab utama penyempitan saluran respiratorik adalah kontraksi


otot polos bronkus yang diprovokasi oleh pelepasan agonis dari sel-sel inflamasi.
Yang termasuk agonis adalah histamine, triptase, prostaglandin D2 dan leukotrien
C4 dari sel mast; neuropeptida dari saraf aferen setempat, dan asetilkolin dari
saraf eferen postganglionic. Kontraksi otot polos saluran respiratorik diperkuat
oleh penebalan dinding saluran napas akibat edema akut, inflamasi sel-sel
inflamasi dan remodeling, hiperplasia dan hipertrofi kronis otot polos, vaskuler,
dan sel-sel sekretori serta deposisi matriks pada dinding saluran respiratorik.
Selain itu, hambatan saluran respiratorik juga bertambah akibat produksi secret
yang banyak, kental, dan lengket oleh sel goblet dan kelenjar submukosa, protein
plasma yang keluar melalui mikrovaskular bronkus dan debris selular.
A.5.2. Hiperreaktivitas Saluran Pernapasan
Penyempitan

saluran

respiratorik

secara

berlebihan

merupakan

patofisiologis yang secara klinis paling relevan pada penyakit asma. Mekanisme
yang bertanggung jawab terhadap reaktivitas yang berlebihan atau hiperreaktivitas
ini belum diketahui tetapi mungkin berhubungan dengan perubahan otot polos
saluran napas (hiperplasi dan hipertrofi) yang terjadi secara sekunder yang
menyerbabkan perubahan kontraktilitas. Selain itu, inflamasi dinding saluran
respiratorik terutama daerah peribronkial dapat memperberat penyempitan saluran
respiratorik selama kontraksi otot polos.
Hiperreaktivitas

bronkus

secara

klinis

sering

diperiksa

dengan

memberikan stimulus aerosol histamin atau metakolin yang dosisnya dinaikan


secara progresif kemudian dilakukan pengukuran perubahan fungsi paru (PFR
atau FEV1). Provokasi/stimulasi lain seperti latihan fisik, hiperventilasi, udara
kering dan aerosol garam hipertonik, adenosine tidak mempunyai efek langsung
terhadap otot polos (tidak seperti histamin dan metakolin), akan tetapi dapat
merangsang pelepasan mediatordari sel mast, ujung serabut saraf, atau sel-sel lain
pada saluran respiratorik. Dikatakan hipereaktif bila dengan cara histamin
didapatkan penurunan FEV1 20% pada kosentrasi histamine kurang dari 8mg%.

Gambar 2. Patofisiologi Asma bronkial


A.6. Klasifikasi
Pembagian derajat penyakit asma yang dibuat oleh Phelan dkk, (dikutip dari
Konsensus Pediatri Internasional III tahun 1998). Klasifikasi ini membagi derajat
asma menjadi 3 (tiga), yaitu sebagai berikut :
1. Asma episodik jarang ( Asma ringan)
Golongan ini merupakan 7075% dari populasi asma anak. Biasanya
terdapat pada anak umur 36 tahun. Serangan umumnya dicetuskan oleh
infeksi virus saluran napas atas. Banyaknya serangan 34 kali dalam satu
tahun. Lamanya serangan paling lama hanya beberapa hari saja dan jarang
merupakan serangan yang berat. Gejala-gejala yang timbul lebih menonjol
pada malam hari. Mengi dapat berlangsung sekitar 34 hari dan batuknya
dapat berlangsung 1014 hari. Waktu remisinya bermingu-minggu sampai
berbulan-bulan. Manifestasi alergi lainnya misalnya eksim jarang didapatkan.
Tumbuh kembang anak biasanya baik. Di luar serangan tidak ditemukan
kelainan lain.

2. Asma episodik sering (Asma sedang)

Golongan ini merupakan 28% dari populasi asma anak. Pada dua pertiga
golongan ini serangan pertama terjadi pada umur sebelum 3 tahun. Pada
permulaan, serangan berhubungan dengan infeksi saluran pernapasan atas.
Pada umur 56 tahun dapat terjadi serangan tanpa infeksi yang jelas. Biasanya
orang tua menghubungkannya dengan perubahan udara, adanya alergen,
aktivitas fisik dan stress. Banyaknya serangan 34 kali dalam satu tahun dan
tiap kali serangan beberapa hari sampai beberapa minggu. Frekuensi serangan
paling banyak pada umur 813 tahun. Pada golongan lanjut kadang-kadang
sukar dibedakan dengan golongan asma kronik atau persisten. Umumnya
gejala paling buruk terjadi pada malam hari dengan batuk dan mengi yang
dapat mengganggu tidur.
Pemeriksaan fisik di luar serangan tergantung pada frekuensi serangan.
Jika waktu serangan lebih dari 12 minggu, biasanya tidak ditemukan
kelainan fisik. Hay fever dan eksim dapat ditemukan pada golongan ini. Pada
golongan ini jarang ditemukan gangguan pertumbuhan.
3. Asma kronik atau persisten (Asma Berat)
Pada 25% anak serangan pertama terjadi sebelum umur 6 bulan, 75%
sebelum umur 3 tahun. Pada 50% anak terdapat mengi yang lama pada 2 tahun
pertama dan pada 50% sisanya serangan episodik. Pada umur 56 tahun akan
lebih jelas terjadinya obstruksi saluran napas yang persisten dan hampir selalu
terdapat mengi setiap hari. Dari waktu ke waktu terjadi serangan yang berat
dan memerlukan perawatan di rumah sakit. Obstruksi jalan napas mencapai
puncaknya pada umur 814 tahun.
Pada umur dewasa muda 50% dari golongan ini tetap menderita asma
persisten atau sering. Jarang yang betul-betul bebas mengi pada umur dewasa
muda. Pada pemeriksaan fisik dapat terjadi perubahan bentuk toraks seperti
dada burung (pigeon chest), dada tong (barrel chest) dan terdapat sulkus
Harrison. Pada golongan ini dapat terjadi gangguan pertumbuhan, yaitu
bertubuh kecil. Kemampuan aktivitas fisiknya sangat berkurang, sering tidak

10

dapat melakukan kegiatan olahraga dan kegiatan biasa lainnya. Sebagian kecil
ada juga yang mengalami gangguan psikososial.
Selain itu juga pembagian asma menurut GINA adalah sebagai berikut :
Tabel klasifikasi derajat berat asma berdasarkan gambaran klinis
Derajat asma

Gejala

Intermitten

Gejala
malam
2x/bulan

Bulanan

Gejala < 1x/minggu

Faal paru

APE 80%

VEP1 80% nilai

Tanpa gejala diluar

prediksi APE 80%

serangan

nilai terbaik

Serangan singkat

Variabilitas APE <


20%

Persisten

Mingguan

ringan

Gejala > 1x/minggu tetapi

> 2x/bulan

APE > 80%

VEP1

80%

< 1x/hari

nilai prediksi APE

Serangan dpt mengganggu

80% nilai terbaik

aktivitas dan tidur


Persisten

> 1x/minggu

Harian

sedang

Gejala setiap hari

Serangan

Variabilitas APE
20-30%
APE 60-80%
VEP1 60-80% nilai
prediksi APE 60-80%

mengganggu

nilai terbaik

aktivitas dan tidur

Variabilitas APE >

30%
APE 60%

VEp1 60% nilai

membutuhkan

Persisten

bronkodilator setiap hari


Kontinua

berat

Gejala terus menerus

Sering kambuh

prediksi 60% nilai

Aktivitas fisik terbatas

terbaik

Sering

Variabilitas APE >


30%

11

Pada umumnya penderita sudah dalam pengobatan, dan pengobatan yang


telah berlangsung seringkali tidak adekuat. Pengobatan akan mengubah gambaran
klinis bahkan faal paru, oleh karena itu penilaian berat asma pada penderita dalam
pengobatan juga harus mempertimbangkan pengobatan itu sendiri.
Tabel klasifikasi derajat berat asma pada penderita dalam pengobatan
Tahapan pengobatan yang digunakan saat penilaian
Gejala dan faal paru dalam pengobatan

Tahap I : intermitten

Gejala < 1x/minggu

Serangan singkat

Gejala malam < 2x/bulan

Faal paru normal di luar serangan


Tahap II : persisten ringan

Gejala > 1x/minggu, tetapi < 1x/hari, gejala

Tahap I

Tahap 2

Tahap 3

intermiten

persisten

persisten

Intermiten

sedang
Persisten

sedang
Persisten

ringan

sedang

Persisten

Persisten

Persisten

ringan

sedang

berat

Persisten

Persisten

Persisten

sedang

berat

berat

Persisten

Persisten

Persisten

berat

berat

berat

malam > 2x/bulan, tetapi < 1x/minggu

Faal paru normal diluar serangan


Tahap III : persisten sedang

Gejala setiap hari, serangan mempengaruhi


aktivitas dan tidur

Gejala malam > 1x/minggu

60% < VEP1 < 80% nilai prediksi

60% < APE < 80% nilai terbaik


Tahap IV : persisten berat

Gejala terus menerus, serangan sering, gejala


malam sering

VEP1 60% nilai prediksi atau

APE 60% nilai terbaik

12

A.7. Manifestasi Klinis


Gejala asma terdiri dari trias dispnea, batuk dan mengi. Pada bentuk yang
paling khas, asma merupakan penyakit episodik dan keseluruhan tiga gejala
tersebut dapat timbul bersama-sama. Berhentinya episode asma kerapkali ditandai
dengan batuk yang menghasilkan lendir atu mukus yang lengket seperti benang
yang liat.
A.7.1. Pada serangan asma ringan:

Anak tampak sesak saat berjalan.

Pada bayi: menangis keras.

Posisi anak: bisa berbaring.

Dapat berbicara dengan kalimat.

Kesadaran: mungkin irritable.

Tidak ada sianosis (kebiruan pada kulit atau membran mukosa).

Mengi sedang, sering hanya pada akhir ekspirasi.

Biasanya tidak menggunakan otot bantu pernafasan.

Retraksi interkostal dan dangkal.

Frekuensi nafas: cepat (takipnea).

Frekuensi nadi: normal.

Tidak ada pulsus paradoksus (< 10 mmHg)

SaO2 % > 95%.

13

PaO2 normal, biasanya tidak perlu diperiksa.

PaCO2 < 45 mmHg

A.7.2. Pada serangan asma sedang:

Anak tampak sesak saat berbicara.

Pada bayi: menangis pendek dan lemah, sulit menyusu/makan.

Posisi anak: lebih suka duduk.

Dapat berbicara dengan kalimat yang terpenggal/terputus.

Kesadaran: biasanya irritable.

Tidak ada sianosis (kebiruan pada kulit atau membran mukosa).

Mengi nyaring, sepanjang ekspirasi inspirasi.

Biasanya menggunakan otot bantu pernafasan.

Retraksi interkostal dan suprasternal, sifatnya sedang.

Frekuensi nafas: cepat (takipnea).

Frekuensi nadi: cepat (takikardi).

Ada pulsus paradoksus (10-20 mmHg)

SaO2 % sebesar 91-95%.

PaO2 > 60 mmHg.

PaCO2 < 45 mmHg

A.7.3. Pada serangan asma berat tanpa disertai ancaman henti nafas:
14

Anak tampak sesak saat beristirahat.

Pada bayi: tidak mau minum/makan.

Posisi anak: duduk bertopang lengan.

Dapat berbicara dengan kata-kata.

Kesadaran: biasanya irritable.

Terdapat sianosis (kebiruan pada kulit atau membran mukosa).

Mengi sangat nyaring, terdengar tanpa stetoskop sepanjang ekspirasi dan


inspirasi.

Menggunakan otot bantu pernafasan.

Retraksi interkostal dan suprasternal, sifatnya dalam, ditambah nafas


cuping hidung.

Frekuensi nafas: cepat (takipnea).

Frekuensi nadi: cepat (takikardi).

Ada pulsus paradoksus (> 20 mmHg)

SaO2 % sebesar < 90 %.

PaO2 < 60 mmHg.

PaCO2 > 45 mmHg

A.7.4. Pada serangan asma berat disertai ancaman henti nafas:

Kesadaran: kebingungan.

Nyata terdapat sianosis (kebiruan pada kulit atau membran mukosa).

15

Mengi sulit atau tidak terdengar.

Penggunaan otot bantu pernafasan: terdapat gerakan paradoks


torakoabdominal.

Retraksi dangkal/hilang.

Frekuensi nafas: lambat (bradipnea).

Frekuensi nadi: lambat (bradikardi).

Tidak ada pulsus paradoksus; tanda kelelahan otot nafas.

A.8. Diagnosis
Studi epidemiologi menunjukkan bahwa asma tidak terdiagnosis di seluruh
dunia, disebabkan berbagai hal antara lain gambaran klinis yang tidak khas dan
beratnya penyakit yang sangat bervariasi, serta gejala yang bersifat episodik
sehingga penderita tidak merasa perlu berobat ke dokter. Diagnosis asma didasari
oleh gejala yang bersifat episodik, gejala berupa batuk, sesak napas, mengi, rasa
berat di dada dan variabilitas yang berkaitan dengan cuaca. Anamnesis yang baik
cukup untuk menegakkan diagnosis, ditambah dengan pemeriksaan jasmani dan
pengukuran faal paru terutama reversibiltas kelainan faal paru akan lebih
meningkatkan nilai diagnostik
1. Anamnesis

Riwayat penyakit atau gejala :


1. Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan.
2. Gejala berupa batuk berdahak, sesak napas, rasa berat di dada.
3. Gejala timbul/memburuk terutama malam/dini hari.
4. Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu.
5. Responsif terhadap pemberian bronkodilator.

Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit


1. Riwayat keluarga (atopi).
2. Riwayat alergi/atopi.

16

3. Penyakit lain yang memberatkan.


4. Perkembangan penyakit dan pengobatan.
Serangan batuk dan mengi yang berulang lebih nyata pada malam hari atau
bila ada beban fisik sangat karakteristik untuk asma. Walaupun demikian cukup
banyak asma anak dengan batuk kronik berulang, terutama terjadi pada malam
hari ketika hendak tidur, disertai sesak, tetapi tidak jelas mengi dan sering
didiagnosis bronkitis kronik. Pada anak yang demikian, yang sudah dapat
dilakukan uji faal paru (provokasi bronkus) sebagian besar akan terbukti adanya
sifat-sifat asma.
Batuk malam yang menetap dan yang tidak tidak berhasil diobati dengan
obat batuk biasa dan kemudian cepat menghilang setelah mendapat bronkodilator,
sangat mungkin merupakan bentuk asma.
2. Pemeriksaan Fisik
o Pada inspeksi terlihat pernapasan cepat dan sukar, disertai batuk-batuk
paroksismal, kadang-kadang terdengar suara mengi, ekspirasi memanjang,
terlihat retraksi daerah supraklavikular, suprasternal, epigastrium dan sela
iga. Pada asma kronik bentuk toraks emfisematous, bongkok ke depan,
sela iga melebar, diameter anteroposterior toraks bertambah.
o Pada perkusi terdengar hipersonor seluruh toraks, terutama bagian bawah
posterior. Daerah pekak jantung dan hati mengecil.
o Pada auskultasi bunyi napas kasar/mengeras, pada stadium lanjut suara
napas melemah atau hampir tidak terdengar karena aliran udara sangat
lemah. Terdengar juga ronkhi kering dan ronkhi basah serta suara lender
bila sekresi bronkus banyak.
3. Pemeriksaan Penunjang
Berguna untuk menilai asma meliputi diagnosis dan penatalaksanaannya.
Pengukuran faal paru digunakan untuk menilai :
1. Derajat obstruksi bronkus
17

2. Menilai hasil provokasi bronkus


3. Menilai hasil pengobatan dan mengikuti perjalanan penyakit.
Pemeriksaan faal paru yang penting pada asma adalah PEFR, FEV1, PVC,
FEV1/FVC. Sebaiknya tiap anak dengan asma di uji faal parunya pada tiap
kunjungan. peak flow meter adalah yang paling sederhana, sedangkan
dengan spirometer memberikan data yang lebih lengkap. Volume kapasitas
paksa (FVC), aliran puncak ekspirasi (PEFR) dan rasio FEV1/FVC berkurang
> 15% dari nilai normalnya. Perpanjangan waktu ekspirasi paksa biasanya
ditemukan, walaupun PEFR dan FEV1/FVC hanya berkurang sedikit. Inflasi
yang berlebihan biasanya terlihat secara klinis, akan digambarkan dengan
meningginya isi total paru (TLC), isi kapasitas residu fungsional dan isi
residu. Di luar serangan faal paru tersebut umumnya akan normal kecuali pada
asma yang berat. Uji provokasi bronkus dilakukan bila diagnosis masih
diragukan. Tujuannya untuk menunjukkan adanya hiperreaktivitas bronkus.
Uji Provokasi bronkus dapat dilakukan dengan :
1. Histamin
2. Metakolin
3. Beban lari
4. Udara dingin
5. Uap air
6. Alergen
Yang sering dilakukan adalah cara nomor 1, 2 dan 3. Hiperreaktivitas
positif bila PEFR, FEV1 turun > 15% dari nilai sebelum uji provokasi dan
setelah diberi bronkodilator nilai normal akan tercapai lagi. Bila PEFR dan
FEV1 sudah rendah dan setelah diberi bronkodilator naik > 15% yang berarti
hiperreaktivitas bronkus positif dan uji provokasi tidak perlu dilakukan.

Foto rontgen toraks


Tampak corakan paru yang meningkat. Atelektasis juga sering ditemukan.
Hiperinflasi terdapat pada serangan akut dan pada asma kronik. Rontgen foto
sinus paranasalis perlu juga bila asmanya sulit dikontrol.
18

Pemeriksaan darah eosinofil dan uji tuberkulin


Pemeriksaan eosinofil dalam darah, sekret hidung dan dahak dapat
menunjang diagnosis asma. Dalam sputum dapat ditemukan kristal CharcotLeyden dan spiral Curshman. Bila ada infeksi mungkin akan didapatkan
leukositosis polimormonuklear.

Uji kulit alergi dan imunologi


1. Komponen alergi pada asma dapat diidentifikasi melalui pemeriksaan uji
kulit atau pengukuran IgE spesifik serum.
2. Uji kulit adalah cara utama untuk mendignosis status alergi/atopi,
umumnya dilakukan dengan prick test. Alergen yang digunakan adalah
alergen yang banyak didapat di daerahnya. Walaupun uji kulit merupakan
cara yang tepat untuk diagnosis atopi, dapat juga mendapatkan hasil positif
palsu maupun negative palsu. Sehingga konfirmasi terhadap pajanan
alergen yang relevan dan hubungannya dengan gejala klinik harus selalu
dilakukan. Untuk menentukan hal itu, sebenarnya ada pemeriksaan yang
lebih tepat, yaitu uji provokasi bronkus dengan alergen yang bersangkutan.
Reaksi uji kulit alergi dapat ditekan dengan pemberian antihistamin
3. Pemeriksaan IgE spesifik dapat memperkuat diagnosis dan menentukan
penatalaksaannya. Pengukuran IgE spesifik dilakukan pada keadaan uji
kulit

tidak

dapat

dilakukan

(antara

lain

dermatophagoism,

dermatitis/kelainan kulit pada lengan tempat uji kulit dan lain-lain).


Pemeriksaan kadar IgE total tidak mempunyai nilai dalam diagnosis
alergi/atopi.
A.9. Diagnosis Banding
Diagnosis banding asma pada anak :

Pada bayi adanya benda asing di saluran napas dan esophagus atau kelenjar
timus yang menekan trakea.
19

Penyakit paru kronik yang berhubungan dengan bronkiektasis dan fibrosis


kistik.

Kelainan trakea dan bronkus misalnya laringotrakeomalasia dan stenosis


bronkus.

Tuberkulosis kelenjar limfe di daerah trakeobronkial

Bronkitis. Tidak ditemukan eosinofilia, suhu biasanya tinggi dan tidak


herediter. Bila sering berulang dan kronik biasanya disebabkan oleh asma.

Bronkiolitis akut, biasanya mengenai anak di bawah umur 2 tahun dan


terbanyak di bawah umur 6 bulan dan jarang berulang.

Asma kardial. Sangat jarang pada anak. Dispnea paroksismal terutama malam
hari dan biasanya didapatkan tanda-tanda kelainan jantung.
Asma pada bayi dan anak kecil sering didiagnosis sebagai bronkitis asmatika,

wheezy cold, bronkitis dengan mengi, bronkiolitis berulang dan lain-lainnya.


A.10. Tatalaksana
Obat asma dibagi dalam 2 kelompok besar, yaitu obat pereda (Reliever)
yang digunakan untuk serangan atau disebut tatalaksana jangka pendek dan obat
pengendali (Controller) digunakan untuk mengatasi inflamasi respiratorik kronik,
obat ini disebut juga sebagai obat pencegah dan profilaksis, serta sebagai
tatalaksana jangka panjang.
A.10.1. Tatalaksana Serangan Asma (Jangka Pendek)
Global Initiative For Asthma (GINA) membagi tatalaksana serangan asma
menjadi 2 (dua), yaitu tatalaksana di rumah dan di rumah sakit. Pada panduan
pengobatan di rumah, terapi awal berupa inhalasi SABA hingga tiga kali dalam 1
jam. Kemudian pasien atau keluarganya melakukan penilaian respon untuk
penetuan derajat serangan yang kemudian ditindaklanjuti sesuai derajatnya.
Namun untuk kondisi di negara kita, pemberian terapi awal di rumah seperti di
atas cukup riskan dan kemampuan melakukan penilaian respon untuk penentuan
derajat juga masih belum jelas. Dengan alasan demikian maka setelah dilakukan

20

inhalasi satu kali tidak memberikan respon yang baik maka dianjurkan mencari
pertolongan dokter atau dibawa ke rumah sakit.

a. Tatalaksana di Klinik atau Unit Gawat Darurat


Tatalaksana awal terhadap pasien adalah pemberian -Agonis dengan
penambahan garam fisiologis secara nebulisasi. Nebulisasi serupa dapat diulang
dua kali dengan selang 20 menit. Pada pemberian ketiga nebulisasi dapat
ditambahkan obat antikolinergik. Jika menurut penilaan awal pasien datang jelas
dalam serangan berat, maka langsung diberikan -agonis yang dikombinasikan
dengan antikolinergik.
1.

Serangan Asma Ringan

Pada serangan asma ringan, hanya satu kali dilakukan nebulisasi sudah
menunjukkan respon yang baik. Kemudian pasien diobservasi selama 1 jam, jika
respon masih baik pasien dapat dipulangkan. Pasien dibekali obat -agonis
(hirupan/oral) yang diberikan setiap 4-6 jam. Jika pencetusnya adalah infeksi
virus dapat ditambahkan steroid oral yang diberikan jangka pendek yaitu sekitar
3-5 hari. Setelah itu, sekitar 24-48 jam pasien dianjurkan kontrol ke klinik rawat
jalan untuk reevaluasi tatalaksananya.
2. Serangan Asma Sedang
Jika dengan pemberian nebulisasi dua kali, pasien hanya menunjukkan
respon parsial kemungkinan termasuk dalam derajat sedang. Oleh karena itu perlu
dilakukan penilaian derajatulang sesuai dengan pedoman penilaian derajatnya.
Pada serangan asma sedang dilakukan observasi dan ditangani di Ruang Rawat
Sehari (RRS). Kemudian diberikan terapi steroid sistemik (oral) metilprednisolon
dengan dosis 0,5-1 mg/kgBB/hati selama 3-5 hari.
3. Serangan Asma Berat
Disebut serangan asma berat jika dengan nebulisasi dengan B-Agonis dan
antikoinergik tiga kali berturut turut pasien tidak menunjukan respon atau tanda
serta gejala serangan masih ada. Pada pasien dengan serangan berat harus dirawat
di Ruang Rawat Inap. Apabila sejak awal datang sudah dinilai sebagai serangan

21

asma berat maka langsung diberikan nebulisasi

dengan penambahan

antikolinergik., berikan oksigen 2-4 liter/menit sejak awal masuk dan saat
nebulisasi. Kemudian pasang jalur parenteral dan foto toraks. Pada pasien dengan
serangan asma berat dan henti napas, langsung dilakukan foto toraks untuk
mendeteksi komplikasi pneumotoraks dan/atau pneumomediastinum.
b. Tatalaksana di Ruang Rawat Sehari
Pemberian oksigen sejak dari UGD dilanjutkan, setelah d UGD dilakukan
nebulisasi 2 kali dalam 1 jam dengan respon parsial, kemudian di RRS dilanjutkan
dengan nebulisasi -agonis dan anytikolinergik tiap 2 jam serta diberikan steroid
sistemik oral berupa metilprednisolon atau prednisolon. Pemberian steroid
dilanjutkan selama 3-5 hari. Apabila dalam 12 jam klinis tetap baik, maka pasien
tersebut boleh pulang dan dibekali obat seperti pasien serangan asma ringan.
Namun, apabila selama 12 jam responnya tibak baik maka pasien dipindahkan ke
Ruang Rawat Inap dengan tatalaksana serangan asma berat.
c. Tatalaksana di Ruang Rawat Inap
Tatalaksana di ruang rawat inap yatu:
Pemberian oksigen diteruskan
Pemberian cairan intravena dan koreksi asidosis jika ditemukan adanya
dehidrasi dan asidosis.
Pemberian steroid intravena dengan dosis 0,5-2 mg/kgBB/hari secara bolus
tiap 6-8 jam.
Nebulisasi -agonis + antikolinergik dan oksigen, kemudian dilanjutkan tiap
1-2 jam. Jika dalam 4-6 kali pemberian menunjukkan perbaikan klinis maka
dapat diberikan setiap 4-6 jam.
Pemberian aminofilin secara intravena:
1. Aminofilin dosis awal 6-8 mg/kgBB dilarutkan dalam dextrose atau
garam fisiologis sebanyak 20 ml dalam waktu 20-30 menit pada pasien
yang belum pernah mendapatkan aminofilin.
2. Aminofilin diberikan separuh dari dosis awal pada pasien yang telah
mendapatkan terapi aminofilin sebelumnya (<8 jam).
3. Selanjutnya aminofilin dosis rumatan 0,5-1 mg/kgBB/jam

22

4. Apabila terjadi perbaikan klinis, nebulisasi dilanjutkan setiap 6 jam


hingga 24 jam, dan steroid serta aminofilin diganti pemberian peroral.
5. Dapat juga diberikan MgSO4 sebagai terapi alternatif, jika pasien dengan
asma berat yang tidak berespon dengan obat-obat standar yang
digunakan. Dosis yang dianjurkan yaitu 10-20 mg/kgBB/jam secara
intravena (IV) dengan target kadar magnesium 4 mg/dL.
6. Jika dalam 24 jam pasien tetap stabil, pasien dapat dpulangkan dengan
dibekali obat 0-agonis yang diberikan tiap 4-6 jam selama 24-48 jam.
Selain itu, steroid oral dilanjutkan hingga pasien kontrol ke klinik rawat
jalan dalam 24-48 jam untuk reevaluasi tatalaksana.
d. Kriteria Rawat di Ruang Rawat Intensif (ICU)
1.
Tidak ada respon terhadap tatalaksana awal di UGD dan/atau
perburukan asma yang cepat
Adanya tanda-tanda ancaman henti napas atau penurunan

2.

kesadaran
3.
Tidak ada perbaikan dengan tatalaksana baku di ruang rawat inap
A.10.2. Tatalaksana Jangka Panjang
1. Asma Episodik Jarang
Asma episodik jarang cukup diobati dengan obat pereda berupa bronkodilator
golongan SABA atau golongan santin kerja cepat bila ada gejala atau serangan.
Konsensus internasional III dan juga Pedoman Nasional Asma Anak tidak
menganjurkan antiinflamasi sebagai obat pengendali untuk asma ringan. Dalam
alur tatalaksana jangka panjang, jika tatalaksana episodik jarang sudah adekuat
namun responnya tetap tidak baik dalam 4-6 minggu maka tatalaksananya
berpindah ke asma episodik sering.
2. Asma Episodik Sering
Jika penggunaan -agonis hirupan sudah lebih dari 3x perminggu atau
serangan sedang/ berat terjadi >1x/bulan maka diindikasikan pemberian
antiinflamasi berupa steroid hirupan sebagai pengendali. Obat steroid hirupan
yang sudah sering diberikan pada anak adalah budesonid sehingga digunakan
23

sebagai standar pengobatan jangka panjang. Dosis rendah steroid hirupan pada
anak <12 tahun yaitu budesonid 100-200 g/hari (50-100 g/hari flutikason),
sedangkan pada anak >12 tahun yaitu 200-400 g/hari (100-200 g/hari
flutikason). Setelah terapi 6-8 minggu dilakukan evaluasi untuk menilai respon
obat antiinflamasi yang diberikan.
Jika terapi yang diberikan selama 6-8 minggu tidak menunjukkan respon
( masih terdapat gejala asma, gangguan tidur atau aktivitas sehari-hari) maka
dilanjutkan dengan tahap kedua yaitu menaikkan dosis steroid hirupan sampai
dengan 400 g/hari yang termasuk dalam tatalaksana asma persisten. Jika
tatalaksana dalam suatu derajat penyakit asma sudah adekuat namun responnya
tetap tidak baik dalam waktu 6-8 minggu, maka tatalaksananya berpindah ke yang
lebih berat (step up). Sebaliknya, jika samanya terkendali dalam 6-8 minggu maka
derajatnya beralih ke yang lebih ringan (step down) dan bila memungkinkan
penggunaan steroid hirupan dihentikan.
3. Asma Persisten
Tatalaksana pada asma persisten setelah diberikan steroid hirupan dosis
rendah tidak menunjukkan respon yang baik, diperlukan terapi alternatif
pengganti yaitu meningkatkan penggunaan steroid hirupan menjadi dosis medium
atau steroid hirupan dosis rendah ditambah Long acting -2 Agonist (LABA), atau
ditambahkan Theophylin Slow Release (TSR), atau ditambahkan Anti Leukotrine
Reseptor (ALTR). Dosis medium steroid hirupan adalan 200-400 g/hari untuk
anak usia <12 tahun dan 400-600 g/hari budesonid.
Apabila pengobatan 6-8 minggu lapis kedua tetap terdapat gejala asma maka
diberikan alternatif selanjutnya yaitu dapat meningkatkan dosis kortikosteroid
sampai dengan dosis tinggi, atau tetap dosis medium tapi ditambahkan LABA,
TSR, atau ALTR. Dosis tinggi yang dimaksud adalah setara setara dengan >400
g/hari budesonid untuk anak usia <12 tahun dan >600 g/hari budesonid untuk
anak >2 tahun.
Penggunaan LABA pada steroid hirupan telah banyak dibuktikan
keberhasilannya yaitu dapat memperbaiki FEV1, menurunkan gejala asma, dan

24

memperbaiki kualitas hidup. Apabila dosis steroid hirupan sudah mencapai >800
/hari namun tetap tidak menunjukkan respon, maka baru digunakan steroid oral
(sistemik). Dosis awal steroid oral yaitu 1-2 mg/kgBB/hari, dosis kemudian
diturunkan sampai dosis terkecil yang diberikan selang hari pada pagi hari.
A.10.3. Cara Pemberian Obat
Tabel . Anjuran alat inhalasi yang disesuaikan dengan Usia
Umur
<2 tahun

5-8 tahun
>8 tahun

Alat Inhalasi
- Nebulizer
- MDI (Matered Dose Inhaler) dengan Spacer
Aerochamber, Babyhaler
- Nebulizer
- MDI dengan spacer
- DPI (Dry Power Inhaler: diskhaler, Turbuhaler
- Nebulizer
- MDI dengan spacer
- DPI
- MDI tanpa spacer

A.10.4. Peran KIE Pada Orang Tua


Orang tua harus diberi pengertian dalam hal komunikasi, edukasi dan
informasi mengenai asma secara menyeluruh dalam hal perjalanan asma, gejalagejala asma, penanggulangan asma, dan komplikasi asma.

Kurangnya

pengetahuan tentang asma dan tatalaksananya berhubungan dengan peningkatan


morbiditas dan mortalitas penyakit ini.
Dengan demikian pendidikan asma sangat perlu dilakukan pada tenaga
kesehatan disatu pihak agar tidak terjadi underdiagnosed atau undertreatment, dan
pasien dengan keluarganya serta guru sekolah di lain pihak. Media massa juga
dapat

berperan

dalam

menyebarkan

penanggulangannya kepada masyarakat luas.

25

informasi

tentang

asma

dan

A.11. Komplikasi
Bila serangan asma sering terjadi dan telah berlangsung lama, maka akan
terjadi emfisema dan mengakibatkan perubahan bentuk toraks yaitu toraks
membungkuk ke depan dan memanjang. Pada foto rontgen toraks terlihat
diafragma letak rendah, gambaran jantung menyempit, corakan hilus kiri dan
kanan bertambah. Pada asma kronik dan berat dapat terjadi bentuk dada burung
dara dan tampak sulkus Harrison.
Bila sekret banyak dan kental, salah satu bronkus dapat tersumbat
sehingga dapat terjadi atelektasis pada lobus segmen yang sesuai. Bila atelektasis
berlangsung lama dapat berubah menjadi bronkiektasis dan bila ada infeksi terjadi
bronkopneumonia. Serangan asma yang terus menerus dan beberapa hari serta
berat dan tidak dapat diatasi dengan obat-obatan disebut status asmatikus. Bila
tidak dtolong dengan semestinya dapat menyebabkan gagal napas, gagal jantung,
bahkan kematian.
A.12. Prognosis
Informasi mengenai perjalanan klinis asma menyatakan bahwa prognosis
baik ditemukan pada 5080% pasien, khususnya pasien yang penyakitnya ringan
dan timbul pada masa kanak-kanak. Jumlah anak yang masih menderita asma 7
10 tahun setelah diagnosis pertama bervariasi dari 2678% dengan nilai rata-rata
46%, akan tetapi persentase anak yang menderita penyakit yang berat relatif berat
(6 19%). Secara keseluruhan dapat dikatakan 7080% asma anak bila diikuti
sampai dengan umur 21 tahun asmanya sudah menghilang.

A.13. Wheezing Pada Bayi

DIAGNOSIS

GEJALA

26

Asma

Riwayat wheezing berulang, kadang tidak berhubungan


dengan batuk dan pilek
Hiperinflasi dinding dada
Ekspirasi memanjang
Berespons baik terhadap bronkodilator
Episode pertama wheezing pada anak umur < 2 tahun
Hiperinflasi dinding dada
Ekspirasi memanjang
Gejala pada pneumonia juga dapat dijumpai
Respons kurang/tidak ada respons dengan bronkodilator

Bronkiolitis

Wheezing selalu berkaitan dengan batuk dan pilek


Tidak ada riwayat keluarga dengan asma/eksem/hay
Wheezing berkaitan
dengan batuk dan
pilek

fever
Ekspirasi memanjang
Cenderung lebih ringan dibandingkan
denganwheezing akibat asma
Berespons baik terhadap bronkodilator

Wheezing adalah suara pernapasan dengan frekuensi tinggi dan nyaring yang
terdengar di akhir ekspirasi dan disebabkan oleh udara yang melewati jalan napas
yang tersumbat atau mengalami penyempitan. Pada umur 2 tahun pertama atau
umur < 2 tahun, wheezing pada umumnya disebabkan oleh infeksi saluran
respiratorik akut akibat virus seperti bronkiolitis atau karena batuk dan pilek.
Wheezing yang terjadi pada bayi jarang berulang. Setelah umur 2 tahun, hampir
semua wheezing disebabkan oleh asma. Perbedaannya yaitu:

BAB III
KESIMPULAN

27

Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan


banyak sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan
hiperresponsif jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa
mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama pada malam hari
atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang
luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan.
Eksaserbasi atau Serangan asthma merupakan episode perburukan gejalagejala asma secara progresif. Serangan asma bervariasi dari yang ringan sampai
yang berat dan dapat juga mengancam kehidupan. Asma diklasifikasikan menjadi
asma serangan jarang (asma ringan), asma serangan sering (asma sedang), dan
asma persisten (asma berat).
Penegakkan diagnosis asma berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang. Sedangkan penatalaksanaan asma berupa tatalaksana
jangka pendek yang bertujuan untuk mengatasi serangan dan tatalaksana jangka
panjang digunakan sebagai pencegahan dan profilaksis. Selain itu, sangat
diperlukan juga terapi non-medikamentosa berupa komunikasi, edukasi dan
informasi kepada pasien dan keluarga pasien. Informasi mengenai perjalanan
klinis asma menyatakan bahwa prognosis baik ditemukan pada 5080% pasien,
khususnya pasien yang penyakitnya ringan dan timbul pada masa kanak-kanak.

DAFTAR PUSTAKA
Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman Nasional Asma Anak . Balai Penerbit
FUI : Jakarta, 2004.
28

Isselbacher. Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit dalam. Edisi 13. Volume 3.


Editor Edisi bahasa Indonesia : Ahmad H. Asdie. Penerbit Buku Kedokteran
EGC : Jakarta, 2000.
Robbins dkk. Buku Ajar Patologi II. Edisi 4. Alih Bahasa : Staf pengajar
Laboratorium

Patologi

Anatomik

Fakultas

Kedokteran

Universitas

Airlangga. Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta, 1995.


Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Asma : Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksaan di Indonesia. Balai Penerbit FKUI : Jakarta, 2004.
Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Buku Kuliah 3 Ilmu Kesehatan Anak. Cetakan Ke 7. Percetakan Infomedika
: Jakarta, 2002.
Suardi, Adi Utomo dkk. 2008. Buku Ajar Respirologi Anak Edisi Pertama.
Cetakan Pertama : Ikatan Dokter Anak Indonesia. Badan Penerbit IDAI :
Jakarta.

LAMPIRAN
DISKUSI

29

1. Mengapa faktor pencetus asma paling sering alergen dan infeksi? (Astrid
Feliasari)
Jawab:
Konsep dari patogenesis asma merupakan suatu inflamasi yang khas dimana
melibatkan dinding saluran pernapasan, menyebabkan terbatasnya aliran
udara, dan hiperreaktivitas saluran pernapasan. Pencetus serangan asma
paling sering adalah alergen dan infeksi karena menginduksi respon inflamasi
akut.
2. Apakah kontrol digunakan terus menerus atau bisa dihentikan? Jika bisa,
kapan pengobatan kontroler itu bisa dihentikan? (Ria Mayasari)
Jawab:
Obat kontroller tidak digunakan secara terus menerus. Obat tersebut dapat
dihentikan apabila selama 1-2 tahun penggunaan obatkontroller dosis rendah
sudah tidak menunjukkan adanya gejala dan kekambuhan lagi. Selain itu juga
obat kontroller dapat dihentikan apabila asmanya sudah dinyatakan terkontrol
oleh dokter melalui hasil kuesioner test asma yang menunjukkan asma
terkontrol.
3. Pada pasien dengan serangan asma, diterapi awal dengan B-Agonis inhalasi.
Jika tidak tersedia fasilitas alat inhalasi, alternatif apa yang bisa dberikan
untuk mengatasi serangan dan apakah B-agonis inhalasi harus dilarutkan
dengan garam fisiologi (NaCl)? (Satrio Wahyu Sadewo)
Jawab:
Jika tidak ada fasilitas alat inhalasi maka bisa diberikan B-agonis secara
injeksi, dan jika B-agonis tida tersedia maka bisa

digantikan dengan

pemberian adrenalin/ epinefrin. B-agonis tidak harus dilarutkan dengan garam


fisiologis. Penggunaan garam fisiologis hanya sebagai pengencer yang
tujuannya yaitu agar obat tidak lengket pada alat inhalasi dan agar obat masuk
maksimal.
4. Penggunaan steroid apakah perlu di tappering off atau tidak? (Tiodora Wike)
Jawab:

30

Pada penggunaan steroid inhalasi tidak perlu dilakukan tappering off, tapi
pada penggunaan steroid oral sangat perlu dilakukan tappering off yaitu
diturunkan sampai dosis terkecil yang diberikan selang sehari pada pagi hari.
5. Bagaimana edukasi ke orangtua mengenai serangan asma? (Sri Hotnauli
Panjaitan)
Jawab:
Orang tua harus diberi pengertian dalam hal komunikasi, edukasi dan
informasi mengenai asma secara menyeluruh dalam hal perjalanan asma,
gejala-gejala asma, penanggulangan asma, komplikasi asma, dan yang paling
penting tentang faktor pencetus asma, cara mencegah serangan asma dan rajin
kontrol asma ke klinik atau ke rumah sakit karena kurangnya pengetahuan
tentang asma dan tatalaksananya berhubungan dengan peningkatan
morbiditas dan mortalitas penyakit ini.
6. Apa saja diagnosis banding asma dan bagaimana cara menyingkirkan
diagnosis banding yang ada? (Arianti Miranti L.F)
Jawab:
Diagnosis banding Asma yaitu:
b. Pada bayi adanya benda asing di saluran napas dan esophagus atau
kelenjar timus yang menekan trakea.
c. Penyakit paru kronik yang berhubungan dengan bronkiektasis dan
fibrosis kistik.
d. Kelainan trakea dan bronkus misalnya laringotrakeomalasia dan
stenosis bronkus.
e. Tuberkulosis kelenjar limfe di daerah trakeobronkial
f. Bronkitis. Tidak ditemukan eosinofilia, suhu biasanya tinggi dan
tidak herediter. Bila sering berulang dan kronik biasanya
disebabkan oleh asma.
g. Bronkiolitis akut, biasanya mengenai anak di bawah umur 2 tahun
dan terbanyak di bawah umur 6 bulan dan jarang berulang.

31

h. Asma kardial. Sangat jarang pada anak. Dispnea paroksismal


terutama malam hari dan biasanya didapatkan tanda-tanda kelainan
jantung.
7. Bagaimana penggunaan MgSO4 pada asma? Pada derajat apa dan bagaimana
cara pemberiannya? (Rabiul priyantono)
Jawab:
Penggunaan magnesium pada serangan asma yaitu pada serangan asma berat
sebagai terapi alternatif. Pada pasien asma berat diduga terjadi defisiensi
magnesium sehingga diperlukan terapi pengganti. Magnesium berperan
sebagai bronkodilator dalam mengatasi serangan asma. Mekanisme tersebut
diantaranya dengan menurunkan pelepasan asetilkolin pada saraf terminal,
menghambat influxion kalsium pada otot polos saluran napas sehingga tidak
terjadi kontraksi dan menghambat pelepasan histamin dari sel mast.
Penelitian meta-analisis yang dilakukan oleh Cheuk DK, dkk (2005)
menunjukkan bahwa pemberian MgSO4 dapat menurunkan angka perawatan
di Rumah sakit dengan OR 0,29 dan nilai NTT (Number Needed to treat) 4.
Dosis MgsO4 yang dianjurkan 20-50 mg/kgBB/dosis setiap 4 jam atau
melalui pompa intravena 10-20 mg/kgBB/jam dengan target kadar
magnesium 4 mg/dl agar memberikan dampak maksimal. Pemberian MgSO4
dengan aminofilin harus hati-hati karena dapat menyebabkan takikardi,
sehingga apabila terjadi takikardi maka pemberian aminofilin harus
dihentikan.
8. Pada prognosis dikatakan secara keseluruhan 7080% asma anak bila diikuti
sampai dengan umur 21 tahun asmanya sudah menghilang. Bagaimana asma
bisa menghilang? (Edwin Sirait)
Jawab:
Bukan asmanya yang menghilang tapi yang dimaksud disini adalah gejala
asmanya yang menghilang. Gejala-gejala tersebut dapat menghilang apabila
asmanya terkontrol dan menghindari berbagai faktor pencetus asma.

32

9.

Salah satu komplikasi Asma adalah gagal jantung. Bagaimana asma bisa
menyebabkan gagal jantung? (Evitawati)
Pada asma terjadi reaksi hipersensitivitas pada saluran pernapasan sehingga
menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi yang mengakibatkan terjadinya
keadaan dimana tubuh mengalami kekurangan oksigen (hipoksemia). Kondisi
ini akan menyebabkan jantung bekerja ekstra untuk memopakan darah ke
seluruh tubuh agar kebutuhan oksigen terpenuhi diseuruh jaringan. Jika
kondisi ini dibiarkan terus menerus, maka akan menyebabkan jantung tidak
mampu lagi mengkompensasi kondisi ini, sehingga lama kelamaan akan
menyebabkan terjadinya gagal jantung.

10. Penggunaan obat inhalasi apa saja yang paling bagus? (Maria S.S)
Semua obat inhalasi yang digunakan adalah yang paling bagus, namun
disesuaikan lagi dengan usianya. Berikut ini adalah obat nhalasi yang
digunakan sesuai usia, yaitu:
Umur
<2 tahun

5-8 tahun
>8 tahun

Alat Inhalasi
- Nebulizer
- MDI (Matered Dose Inhaler) dengan Spacer
Aerochamber, Babyhaler
- Nebulizer
- MDI dengan spacer
- DPI (Dry Power Inhaler: diskhaler, Turbuhaler
- Nebulizer
- MDI dengan spacer
- DPI
- MDI tanpa spacer

11. Anak dengan penyakit jantung selain B-agonis, obat pengganti apa yang bisa
diberikan? (Regan Januardi)
Pemberian B-agonis yang diberikan adalah secara inhalasi, jadi pemberiannya
aman dan tidak mempengaruhi atau berefek pada gagal jantungnya. Jadi pada
pasien ini tidak perlu obat pengganti dan tetap diberikan B-agonis secara
inhalasi. Dilihat lagi kondisi pasien ini, apabila terlihat sesak karena asma

33

maka dilakukan nebulisasi dan selama nebulisasi dilakukan monitoring secara


ketat.
12. Bagaimana cara mencegah terjadinya serangan Asma? (novia)
Jawab:
Faktor-faktor pencetus serangan asma yaitu elergen, infeksi, cuaca, iritan,
kegiatan jasmani, infeksi saluran napas bagian atas, refluks gastroesofagitis,
dan psiskis. Cara untuk mencegah terjadinya serangan adalah menghindari
berbagai faktor pencetus tersebut dan orangtua rajin kontrol asma ke klinik
atau ke rumah sakit.
13. Mengapa obat-obat standar yang diberikan tidak berespon dengan serangan
asma? (Agus Darmanto)
Penyebab mengapa pada serangan asma berat tidak berespon terhadap obatobatan standar belum diketahui secara pasti. Pada serangan asma berat yang
tidak respon terhadap obat obat standar diduga karena sudah adanya
komplikasi-komplikasi pada pasien serangan berat sehigga ketika sudah
ditemukan adanya komplikasi-komplikasi pada serangan asma berat
sebaiknya kita juga menangani komplikasinya. Selain itu juga pada serangan
asma berat diduga terjadi defisiensi magnesium sehingga diperlukan terapi
pengganti juga untuk mengatasi hipomagnesium.
14. Pada asma dengan infeksi, mengapa diberikan steroid oral jangka pendek?
(Irma Priyuni Ainanda)
Pada patogenesis asma, infeksi merupakan faktor pencetus yang dapat
menginduksi respons inflamasi akut. Pemberian steroid oral pada pasien asma
dengan infeksi bertujuan untuk mengatasi inflamasi akut yang terjadi akibat
dari infeksi tersebut.

34

Anda mungkin juga menyukai