Dan sesungguhnya jika kamu menanyakan kepada mereka: Siapakah yang menurunkan
air dari langit lalu menghidupkan dengan air itu bumi sesudah matinya? Tentu mereka
akan menjawab: Allah, Katakanlah: Segala puji bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka
tidak memahami(nya).
(QS. al-Ankabut [29]: 63)
http://lisfamania.wordpress.com/artikel-2/
http://rumaysho.com/belajar-islam/aqidah/2874-abu-jahal-ternyata-mengakui-allah-sebagai-pencipta-.html
Akan tetapi, jika kita membandingkan ayat-ayat tersebut, akan terlihat sebuah
permasalahan dalam Surat Fushshilat ayat 9, 10, dan 12. Dalam ayat 9 disebutkan: .yang
menciptakan Bumi dalam dua masa; kemudian dalam ayat 10: ..menentukan
padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat masa.; dan ayat 12: maka
dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa..
Jika masa-masa dalam ketiga ayat tersebut dijumlahkan, maka jumlahnya menjadi 8
masa, bukan 6 masa (sittati ayyam) seperti yang disebutkan dalam ayat-ayat lainnya. Apakah
hal ini berarti ada kontradiksi dalam Al-Quran? Tentu tidak akan ada mufassir yang
beranggapan demikian.
Sebagian mufassir kemudian mencoba menafsirkan rangkaian ayat tersebut sebagai
berikut. Mula-mula Bumi diciptakan selama dua masa (surat [41]:9). Setelah itu, diciptakan
pula isinya selama dua masa.
http://supriyanto2koma.wordpress.com/2009/07/07/%E2%80%9Cenam-hari%E2%80%9D-penciptaan-alam-semesta-dalam-al-qur
%E2%80%99an/
Jadi, istilah empat masa dalam surat [41]:10 sebenarnya memasukkan dua masa
penciptaan Bumi dalam ayat sebelumnya. Dilanjutkan dengan penciptaan langit selama dua
masa (surat [41]:12), maka jumlah keseluruhannya ialah enam, bukan delapan masa.
Dalam ketiga ayat tersebut di atas, terdapat tiga istilah yang agak berbeda maknanya,
namun diterjemahkan sama rata sebagai penciptaan. Pertama, khalaqa pada surat [41]:9
yang bermakna menciptakan dari bahan yang belum ada sebelumnya. Kedua, jaala dalam
surat [41]:10, yang bermakna menyusun, mengolah bahan yang telah ada sebelumnya
menjadi ciptaan baru. Istilah ketiga ialah qadla dalam kata faqadlahunna (surat [41]:12).
Istilah ini bermakna menetapkan. Penggunaan istilah qadla (menetapkan) dalam ayat
[41]:12 terkait dengan penciptaan langit: Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua
masa
Jika ditilik dari urutan pembahasan ketiga ayat tersebut, maka penetapan tujuh langit
berada pada bagian paling akhir rangkaian penciptaan. Namun, mengingat alam semesta
senantiasa berproses, maka menetapkan di sini tidak bisa disamakan dengan
menyelesaikan. Yang selesai bukanlah fisik langit atau alam semesta, melainkan hukumhukumnya. Dengan hukum-hukum itulah, alam semesta terus menerus berproses.
Hal lain yang menarik ditinjau adalah kata sittati ayyam dalam Al-Quran selalu diawali
oleh kata fii yang menunjukkan suatu proses yang kontinyu, tanpa ada jeda. Berdasarkan ini
dan uraian mengenai ketiga istilah sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa penciptaan alam
semesta terjadi melalui sejumlah tahapan yang kontinyu: dimulai dengan penciptaan dari
ketiadaan, penciptaan baru dari ciptaan-ciptaan sebelumnya, hingga penetapan hukum-hukum
alam.
http://supriyanto2koma.wordpress.com/2009/07/07/%E2%80%9Cenam-hari%E2%80%9D-penciptaan-alam-semesta-dalam-al-qur
%E2%80%99an
E.
Berbeda dengan Al-Quran, hadits ini menjelaskan bahwa alam semesta tercipta dalam 7
hari.
Menurut hadits tersebut, Allah SWT menciptakan tanah pada hari Sabtu. Lalu,
menciptakan gunung pada hari Ahad dan pepohonan di hari Senin. Kemudian menciptakan
hal-hal negatif pada hari Selasa, cahaya di hari Rabu, dan mengembangbiakkan ciptaannya
pada hari Kamis. Terakhir, Allah menciptakan Adam pada hari Jumat bada Ashar.
Hadits lain menyebutkan bahwa Allah SWT memulai penciptaan Bumi pada hari Ahad,
Senin, Selasa, Rabu, Kamis, dan selesai hari Jumat (6 hari). Asumsi yang digunakan ialah 1
hari dalam hadits ini sama dengan 1000 tahun.
Kita harus ingat bahwa penyebutan angka tidak mesti bermakna eksak. Misalnya saja
angka 7 dalam bahasa Arab menunjukkan jumlah yang banyak, kaki seribu yang berarti
berkaki banyak, dan 1001 malam untuk menggambarkan banyaknya kisah di Negeri Persia.
Dalam tafsir lama maupun modern, belum ada penjelasan rinci tentang sittati ayyam.
Istilah ini diterima secara imani saja, bukan sebagai sebuah isyarat ilmiah. Meskipun
demikian, bukan berarti penafsiran ilmiah tidak diperlukan. Tafsiran ilmiah apapun atas
sittati ayyam dapat diterima asalkan tidak bertentangan dengan tafsiran ayat lain.
http://supriyanto2koma.wordpress.com/2009/07/07/%E2%80%9Cenam-hari%E2%80%9D-penciptaan-alam-semesta-dalam-al-qur
%E2%80%99an