TINJAUAN PUSTAKA
2. Anatomi
2.1. Anatomi Retina
Retina adalah bagian mata yang sensitif terhadap cahaya yang terletak di segmen
posterior mata. Retina merupakan struktur yang terorganisasi memberikan informasi visual
ditransmisikan melalui nervus optikus ke korteks visual. Retina berkembang dari cawan
optikus eksterna yang mengalami invaginasi mulai dari akhir empat minggu usia janin
(Vaughan & Asburys general ophthalmology, 2007).
Bola mata orang dewasa memiliki diameter sekitar 22 mm - 24,2 mm (diameter dari
depan ke belakang). Bola mata anak ketika lahir berdiameter 16,5 mm kemudian mencapai
pertumbuhannya secara maksimal sampai umur 7-8 tahun. Dari ukuran tersebut, retina
menempati dua pertiga sampai tiga perempat bagian posterior dalam bola mata. Total area
retina 1.100 mm2. Retina melapisi bagian posterior mata, dengan pengecualian bagian nervus
optikus, dan memanjang secara sirkumferensial anterior 360 derajat pada ora serrate. Tebal
retina rata-rata 250 m, paling tebal pada area makula dengan ketebalan 400 m, menipis
pada fovea dengan ukuran 150 m, dan lebih tipis lagi pada ora serrata dengan ketebalan 80
m (Vaughan & Asburrys general ophthalmology, 2007).
Retina mendapatkan vaskularisasi dari arteri oftalmika (cabang pertama dari arteri
karotis interna kanan dan kiri) dan arteri siliaris (berjalan bersama nervus optikus). Arteri
siliaris memberikan vaskularisasi pada lapisan luar dan tengah, termasuk lapisan pleksiform
luar, lapisan fotoreseptor, lapisan inti luar, dan lapisan epitel pigmen.
Retina juga memiliki lapisan neural yang terdiri dari sel bipolar, sel ganglion, sel
horizontal, dan sel amakrin. Sel bipolar tersebar di retina dan bertugas menghubungkan
sel fotoreseptor (postsinaps sel batang dan kerucut) dan sel ganglion. Sel ganglion
memberikan akson yang akan bergabung dengan serabut nervus optikus ke otak. Sel
horizontal terletak pada lapisan pleksiform luar dan berfungsi sebagai interkoneksi sel
bipolar dengan sel bipolar lainnya. Sel amakrin terletak pada lapisan pleksiform dalam
dan berfungsi sebagai penghubung sel bipolar dengan sel ganglion (Dahl, A., 2013).
Selain itu, retina juga memiliki sel glia atau sel pendukung yang terdiri dari sel
Muller, astrosit, dan sel mikroglia. Sel Muller terletak pada lapisan inti dalam dan
memberikan ketebalan ireguler yang memanjang sampai ke lapisan pleksiform luar. Sel
astrosit tertutup rapat pada lapisan serabut saraf retina. Sel mikroglia berasal dari
lapisan mesodermal dan bukan merupakan sel neuroglia (Sherwood, L., 2010).
Retina merupakan lapisan tipis, yang melapisi 2/3 bagian dalam dinding posterior
bola mata. Retina membentang dari saraf optik di bagian posterior hingga ora serrata di
bagian anterior, yang kemudian akan berlanjut menjadi epitel badan siliar. Retina
terbagi dua secara garis besar yaitu lapisan epitel pigmen dan lapisan sensoris. 17-18
Lapisan epitel pigmen retina (Retinal Pigment Epithelium / RPE) adalah selapis sel
epitel kuboid yang tersusun heksagonal. Sel-sel epitel ini mendukung dan
mempertahankan fungsi segmen luar sel fotoreseptor. Sedangkan lapisan sensoris retina
terdiri dari 3 lapisan yaitu lapisan sel fotoreseptor, lapisan glia dan lapisan vaskuler.
Lapisan sel fotoreseptor terbagi menjadi segmen luar, silium, segmen dalam yang
terdiri dari sel ellipsoid dan myoid, serabut luar sel batang; badan sel, dan serabut
dalam sel batang yang akan berakhir pada ujung sinaps. Lapisan glia terdiri atas sel-sel
Muller yang tersusun vertikal. Lapisan vaskuler retina berfungsi sebagai sawar darah
retina, yang berasal dari beberapa cabang arteri retina sentralis. 17-18
Pada penyakit Coats jaringan anatomi yang terlibat terutama adalah jaringan vaskuler
retina dan sawar darah retina. Jaringan vaskuler retina berasal dari arteri retina sentralis,
arteri silioretina dan koriokapilaris. Arteri retina sentralis yang berdiameter 0,3 mm
akan berjalan bersama-sama vena retina sentralis dan beberapa saraf simpatis di dalam
papil saraf optik. Setelah menembus papil saraf optik, arteri retina sentralis akan
bercabang ke superior dan inferior yang selanjutnya akan bercabang lagi ke bagian
nasal dan temporal. Cabang-cabang arteri retina sentralis akan berjalan pada lapisan
serabut saraf retina. Cabang-cabang arteri tersebut akan terus berjalan ke bawah dan
membentuk jaringan-jaringan kapiler atau plexus. Terdapat dua plexus yaitu inner
plexus yang terletak di lapisan sel ganglion dan outer plexus yang terletak di lapisan
inti dalam (gambar 1). Arteri silioretina yang terletak di dekat papil saraf optik
merupakan anastomosis antara koroid dan retina. Koriokapilaris berisi pembuluh darah
kapiler yang membentuk jaringan padat dan terbentang dari diskus optikus sampai
dengan ora serata. 17-18
Kapiler retina terdiri dari sel endotel yang berbentuk sirkumferensial dan saling
dilekatkan oleh jaringan ikat zonulae occludentes. Jaringan ikat antar endotel tersebut
membentuk sawar darah retina dalam (inner blood retinal barrier). Sel endotel akan
diselubungi oleh basal lamina, perisit, makrofag perivaskuler dan mikroglia (gambar 1).
Sedangkan sawar darah retina luar (outer blood retinal barrier) dibentuk oleh sel-sel
RPE yang saling terikat jaringan ikat.
jaringan ikat. 17-18
MG : Mikroglia, P : Perisit
I.
PATOGENESIS
Penyebab pasti penyakit Coats belum diketahui hingga saat ini. Namun diduga
penyebab penyakit Coats adalah sebagai kelainan primer dari vaskuler. Gambaran
histopatologi menunjukkan hilangnya sebagian sel endotel dan perisit yang akan
menyebabkan disorganisasi mural, dilatasi aneurisma dan telangiektasis pada pembuluh darah
retina.9,19 Hal ini akan berakibat pada rusaknya struktur dan fungsi sawar darah retina berupa
gangguan permeabilitas pembuluh darah sehingga terjadi eksudasi masif subretina maupun
intraretina. Eksudasi masif tersebut berupa kristal kolesterol, makrofag yang berisi lemak
(lipid-laden macrophage) dan sedikit eritrosit. 19
Dugaan adanya kelainan endokrin juga pernah diungkapkan sebagai penyebab
penyakit Coats karena adanya persamaan histologik antara endotel membran basalis penyakit
Coats dengan diabetes dan kehamilan yang terkait penyakit vaskuler.
1-2
mengemukakan adanya peran abnormalitas lipid dalam patogenesis penyakit Coats. Black
dkk7 menganalisa mata yang dienukleasi pada penderita penyakit Coats dan mendapatkan
hasil adanya mutasi missense gen NDP di lokasi kromosom Xp11.4. Mutasi gen tersebut akan
mengakibatkan defisiensi protein norrin yang merupakan faktor penting vaskulogenesis
retina.
II.
MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinik penyakit Coats terbagi menjadi dua yaitu onset dini (early onset)
anak usia < 20 tahun dan onset dewasa 20 tahun. Pada anak-anak manifestasi klinisnya
lebih parah dibandingkan dewasa.
1-3,8
asimtomatis, tidak ada leukokoria dan tidak ada penurunan visus.8 Pada umumnya keluhan
penurunan tajam penglihatan pada pasien dewasa terjadi setelah diagnosis ditegakkan. 8
Sedangkan pada anak-anak, keluhan penurunan tajam penglihatan paling sering terjadi selain
strabismus dan lekokoria.4-5 Onset dewasa sering dihubungkan dengan hiperkolesterolemi
namun hal ini tidak terjadi pada pasien anak-anak. 8 Penyakit Coats dilaporkan pernah terjadi
pada wanita vegetarian dimana kadar kolesterol dan terigliseridanya sangat rendah.Ciardella
Deposisi lemak biasanya bersifat masif dan difus pada onset anak-anak (gambar 2)
sedangkan pada pasien dewasa deposisi lemaknya bersifat lokal dan terbatas. 8 Khurana dkk21
melaporkan adanya nodul subfovea pada beberapa kasus penyakit Coats. Nodul tersebut
merupakan nodul fibrotik hasil resolusi eksudat makula setelah terapi telengiektasis retina.
(gambar 3)
4.
subfovea 21
III.
DIAGNOSIS
Diagnosis penyakit Coats ditegakkan melalui anamnesis, manifestasi klinis,
IV.
DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding penyakit Coats berdasarkan gejala klinis yang hampir sama yaitu
memberi gambaran adanya massa intraokuler di bawah ablasio retina dan kemungkinan
adanya hiperkalsifikasi. CT scan juga memberikan gambaran hiperkalsifikasi pada area
intraokuler tumor. MRI menunjukkan hiperintesitas T1 dan hipointensitas T2 pada
retinoblastoma, sedangkan proses eksudatif seperti penyakit Coats gambaran intensitas TI dan
T2 adalah sama. Perbedaan penyakit Coats dengan retinoblastoma secara keseluruhan dapat
diringkas pada tabel 1.
Feature
Coats' Disease
Retinoblastoma
1.5
Male
76
50
Female
24
50
Unilateral
95
60
Bilateral
40
Family history of
0
disease (%)
10
Eye Findings
Anterior chamber
Presence of iris
neovascularization
(%)
17
Cataract
Absent
Absent
Vitreous
Clear
Retinal vessels
Irregular
dilation
telangiectasia
Remain
course
visible
Most
commonly
throughout
inferotemporally,
temporally,
superotemporally
and
Retinal exudation
Present
Absent
Retinal mass
Absent
Present
Retinal gliosis
Present, often
subretinal mass
Retinoschisis
Sometimes present
Subretinal fluid
forming
Absent
Absent
white
Diagnostic Testing
Ultrasonography
Retinal detachment
Retinal detachment
Retinal detachment
Magnetic resonance
Retinal detachment
tomography
retinal
Retinal
detachment
calcified retinal mass
and
Retinal
detachment
with
enhancement of retinal mass
V.
PENATALAKSANAAN
Prinsip penatalaksanaan penyakit Coats adalah mencegah progresifitas penyakit dan
mempertahankan tajam penglihatan dengan terapi agresif terhadap kebocoran kapiler retina
untuk mencegah eksudasi daerah makula. Shields lebih lanjut menguraikan penatalaksanaan
penyakit Coats berdasarkan stadiumnya. Penatalaksaan penyakit Coats terdiri dari observasi,
laser fotokoagulasi, krioterapi dan tindakan bedah.
Observasi dilakukan pada stadium 1 dan 5 karena pada stadium 1 hanya terjadi
kelainan telangiektasia saja dan stadium 5 merupakan stadium akhir penyakit Coats dimana
sudah terjadi kebutaan. Tindakan laser fotokoagulasi dan krioterapi efektif untuk
menghancurkan
telangiektasia
vaskuler
retina.
Shields5
berpendapat
bahwa
laser
fotokoagulasi terbatas hanya dilakukan pada stadium 2 dan 3A, sedangkan krioterapi dapat
dilakukan pada stadium 2A, 2B, 3A dan 3B.
Penatalaksanaan bedah untuk melekatkan kembali lapisan retina pada RPE, dapat
dilakukan dengan drainase cairan subretina, pemasangan sabuk sklera atau scleral buckle,
vitrektomi dan silicon oil. Pada kasus-kasus lanjut dan berat Yoshizumi 14 dkk menyarankan
tindakan vitrektomi disertai drainase cairan subretina dan kolesterol, diatermi intraokuler
dengan laser fotokoagulasi dan injeksi silicon oil untuk melisis telengiektasis vaskuler.
Sedangkan Kranias dan Krebs21 lebih agresif dalam penanganan stadium lanjut penyakit
Coats yaitu dengan melakukan vitrektomi, drainase cairan subretina, membrane peeling dan
retinopeksi pneumatik. Enukleasi dilakukan atas indikasi gejala nyeri akut pada mata baik
oleh karena glaukoma neovaskuler maupun dugaan adanya retinoblastoma. Pada umumnya
enukleasi ini dilakukan pada stadium 4. 4-5
VI.
PROGNOSIS
Prognosis penyakit Coats tergantung pada stadiumnya.
4-5
umumnya baik bila eksudasi tidak terlalu meluas meskipun pada stadium 2B terdapat eksudat
di daerah fovea. Stadium 3 hingga stadium 5 mempunyai prognosis yang buruk karena sudah
terjadi ablasio retina dan komplikasi lain seperti glaukoma sekunder. Budning dkk 16
menyatakan bahwa prognosis visual penderita penyakit Coats tergantung pada luasnya
jaringan retina perifer yang terlibat dan ada tidaknya ablasio retina.
BAB III
KESIMPULAN
Penyakit Coats atau Coats disease adalah suatu penyakit yang ditandai oleh adanya
telangiektasis dan aneurisma pembuluh darah retina disertai dengan eksudat intraretina
maupun subretina pada satu mata. Pada penyakit Coats jaringan anatomi yang terlibat
terutama adalah jaringan vaskuler retina dan sawar darah retina. Penyebab pasti penyakit
Coats belum diketahui hingga saat ini. Namun diduga penyebab penyakit Coats adalah
sebagai kelainan primer dari vaskuler. Gambaran histopatologi menunjukkan hilangnya
sebagian sel endotel dan perisit yang akan menyebabkan disorganisasi mural, dilatasi
aneurisma dan telangiektasis pada pembuluh darah retina. Manifestasi klinik penyakit Coats
terbagi menjadi dua yaitu onset dini (early onset) anak usia < 20 tahun dan onset dewasa 20
tahun. Pada anak-anak manifestasi klinisnya lebih parah dibandingkan dewasa. Diagnosis
penyakit Coats ditegakkan melalui anamnesis, manifestasi klinis, pemeriksaan dengan
slitlamp biomikroskopi, oftalmoskop direk dan indirek. Pemeriksaan penunjang yang dapat
dilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah angiografi fluoresen fundus (FFA),
ultrasonografi (USG) dan sitologi. Diagnosis banding penyakit Coats berdasarkan gejala
klinis yang hampir sama yaitu penurunan tajam penglihatan dan lekokoria adalah
retinoblastoma, persistent hiperplastic primary vitreous (PHPV), retinopathy of prematurity
(ROP), katarak kongenital dan penyakit Norrie. Prinsip penatalaksanaan penyakit Coats
adalah mencegah progresifitas penyakit dan mempertahankan tajam penglihatan dengan
terapi agresif terhadap kebocoran kapiler retina untuk mencegah eksudasi daerah makula.
Prognosis penyakit Coats tergantung pada stadiumnya.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Halter JA. Coats disease. In : Ryan SJ, editor. Retina 3rd ed. St Louis : CV Mosby ;
2001. p. 1441-7
2.
Regillo CD, Brown GC, Flynn HW. Vitreoretinal Disease the Essentials. New York :
Thieme ;1999. p. 196-200
3.
4.
Shields JA, Shields CL, Honavar SG, Demirci H. Clinical variations and
complications of Coats disease in 150 cases : the 2000 Sanford Gifford Memorial
Lecture. Am J Ophthalmol. 2001;131:561-71
5.
Shields JA, Shields CL, Honavar SG, Demirci H, Cater J. Classification and
management of Coats disease : the 2000 Proctor Lecture. Am J Ophthalmol.
2001;131:572-83
6.
Silodor SW, Augsburger JJ, Shields JA, Tasman W. Natural history and management
of advanced Coats disease. Ophthalmic Surg 1988; :89-93
7.
8.
Smithen LM, Brown GC, Brucker AJ, Yannuzi LA, Klais CM, Spaide RF. Coats
disease diagnosed in adulthood. Ophthalmology 2005;112:1072-8
9.
Tarkkanen
A,
Laatikainen
L.
Coats
disease :
clinical,
angiographic,
11.
12.
13.
14.
15.
Char DH. Coats syndrome : long term follow up. Br J Ophthalmol 2000;84:37-9
16.
Budning AS, Heon E, Gallie BL. Visual prognosis of Coats disease. JAAPOS
1998;2 :356-9
17.
18.
Forrester JV, Dick AD, McMenamin P, Lee WR, editors. Anatomy of the eye and
orbit. In : The Eye Basic Sciences and Practice. London : Harcourt Pub Ltd ; 2002. p. 2631, 37-41
19.
20.
21.
Khurana RN, Samuel MA, Murphree AL, Loo RH, Tawansy KA. Subfoveal nodule
in Coats disease. Clin Exp Ophthalmol 2005;33:301-2
22.
Kranias G, Krebs TP. Advanced Coats disease succesfully managed with vitreoretinal surgery. Eye 2002;16:500-1