Anda di halaman 1dari 15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2. Anatomi
2.1. Anatomi Retina
Retina adalah bagian mata yang sensitif terhadap cahaya yang terletak di segmen
posterior mata. Retina merupakan struktur yang terorganisasi memberikan informasi visual
ditransmisikan melalui nervus optikus ke korteks visual. Retina berkembang dari cawan
optikus eksterna yang mengalami invaginasi mulai dari akhir empat minggu usia janin
(Vaughan & Asburys general ophthalmology, 2007).
Bola mata orang dewasa memiliki diameter sekitar 22 mm - 24,2 mm (diameter dari
depan ke belakang). Bola mata anak ketika lahir berdiameter 16,5 mm kemudian mencapai
pertumbuhannya secara maksimal sampai umur 7-8 tahun. Dari ukuran tersebut, retina
menempati dua pertiga sampai tiga perempat bagian posterior dalam bola mata. Total area
retina 1.100 mm2. Retina melapisi bagian posterior mata, dengan pengecualian bagian nervus
optikus, dan memanjang secara sirkumferensial anterior 360 derajat pada ora serrate. Tebal
retina rata-rata 250 m, paling tebal pada area makula dengan ketebalan 400 m, menipis
pada fovea dengan ukuran 150 m, dan lebih tipis lagi pada ora serrata dengan ketebalan 80
m (Vaughan & Asburrys general ophthalmology, 2007).
Retina mendapatkan vaskularisasi dari arteri oftalmika (cabang pertama dari arteri
karotis interna kanan dan kiri) dan arteri siliaris (berjalan bersama nervus optikus). Arteri
siliaris memberikan vaskularisasi pada lapisan luar dan tengah, termasuk lapisan pleksiform
luar, lapisan fotoreseptor, lapisan inti luar, dan lapisan epitel pigmen.

Gambar 2.1. Anatomi Retina


Sumber: Netter, F., 2006

2.2. Histologi Retina


Permukaan luar retina berhubungan dengan koroid, sedangkan permukaan dalamnya
berhubungan dengan badan vitreous. Retina memiliki 10 lapisan, yang terdiri dari (dari
luar ke dalam): ( Mescher, A.L., 2010)
1. epitel pigmen
2. batang dan kerucut
3. membran limitans eksterna
4. lapisan inti luar
5. lapisan pleksiform luar
6. lapisan inti dalam
7. lapisan pleksiform dalam
8. lapisan sel ganglion

9. lapisan serat saraf


10. membran limitans interna

Gambar 2.2. Histologi Lapisan Retina


Sumber: ( Mescher, A.L., 2010)
2.3. Fisiologi Retina
Retina adalah bagian mata yang paling kompleks dan paling sensitif terhadap cahaya.
Retina memiliki lapisan fotoreseptor berisi sel batang dan kerucut yang memiliki peran
dalam menangkap stimulus cahaya lalu mentransmisikan impuls melalui nervus optikus
ke korteks visual bagian oksipital (Vaughan & Asburrys general ophthalmology, 2007).
Fotoreseptor tersusun rapi pada bagian terluar avaskuler retina dan banyak terjadi
perubahan biokimia untuk proses melihat. Komposisi sel kerucut lebih banyak pada
bagian makula (fovea) dan sedikit pada bagian perifer, sedangkan sel batang
densitasnya tinggi pada bagian perifer dan sedikit pada bagian makula (fovea). Sel
kerucut berfungsi untuk melihat warna dan saat siang hari sehingga fovea bertanggung
jawab pada penglihatan warna dan cahaya banyak. Sel batang, mengandung pigmen
fotosensitif rhodopsin, berfungsi untuk melihat warna hitam-putih dan saat malam hari
sehingga bagian perifer bertanggung jawab untuk penglihatan gelap pada malam hari
(Dahl, A., 2013).

Retina juga memiliki lapisan neural yang terdiri dari sel bipolar, sel ganglion, sel
horizontal, dan sel amakrin. Sel bipolar tersebar di retina dan bertugas menghubungkan
sel fotoreseptor (postsinaps sel batang dan kerucut) dan sel ganglion. Sel ganglion
memberikan akson yang akan bergabung dengan serabut nervus optikus ke otak. Sel
horizontal terletak pada lapisan pleksiform luar dan berfungsi sebagai interkoneksi sel
bipolar dengan sel bipolar lainnya. Sel amakrin terletak pada lapisan pleksiform dalam
dan berfungsi sebagai penghubung sel bipolar dengan sel ganglion (Dahl, A., 2013).
Selain itu, retina juga memiliki sel glia atau sel pendukung yang terdiri dari sel
Muller, astrosit, dan sel mikroglia. Sel Muller terletak pada lapisan inti dalam dan
memberikan ketebalan ireguler yang memanjang sampai ke lapisan pleksiform luar. Sel
astrosit tertutup rapat pada lapisan serabut saraf retina. Sel mikroglia berasal dari
lapisan mesodermal dan bukan merupakan sel neuroglia (Sherwood, L., 2010).
Retina merupakan lapisan tipis, yang melapisi 2/3 bagian dalam dinding posterior
bola mata. Retina membentang dari saraf optik di bagian posterior hingga ora serrata di
bagian anterior, yang kemudian akan berlanjut menjadi epitel badan siliar. Retina
terbagi dua secara garis besar yaitu lapisan epitel pigmen dan lapisan sensoris. 17-18
Lapisan epitel pigmen retina (Retinal Pigment Epithelium / RPE) adalah selapis sel
epitel kuboid yang tersusun heksagonal. Sel-sel epitel ini mendukung dan
mempertahankan fungsi segmen luar sel fotoreseptor. Sedangkan lapisan sensoris retina
terdiri dari 3 lapisan yaitu lapisan sel fotoreseptor, lapisan glia dan lapisan vaskuler.
Lapisan sel fotoreseptor terbagi menjadi segmen luar, silium, segmen dalam yang
terdiri dari sel ellipsoid dan myoid, serabut luar sel batang; badan sel, dan serabut
dalam sel batang yang akan berakhir pada ujung sinaps. Lapisan glia terdiri atas sel-sel
Muller yang tersusun vertikal. Lapisan vaskuler retina berfungsi sebagai sawar darah
retina, yang berasal dari beberapa cabang arteri retina sentralis. 17-18
Pada penyakit Coats jaringan anatomi yang terlibat terutama adalah jaringan vaskuler
retina dan sawar darah retina. Jaringan vaskuler retina berasal dari arteri retina sentralis,
arteri silioretina dan koriokapilaris. Arteri retina sentralis yang berdiameter 0,3 mm
akan berjalan bersama-sama vena retina sentralis dan beberapa saraf simpatis di dalam
papil saraf optik. Setelah menembus papil saraf optik, arteri retina sentralis akan
bercabang ke superior dan inferior yang selanjutnya akan bercabang lagi ke bagian
nasal dan temporal. Cabang-cabang arteri retina sentralis akan berjalan pada lapisan

serabut saraf retina. Cabang-cabang arteri tersebut akan terus berjalan ke bawah dan
membentuk jaringan-jaringan kapiler atau plexus. Terdapat dua plexus yaitu inner
plexus yang terletak di lapisan sel ganglion dan outer plexus yang terletak di lapisan
inti dalam (gambar 1). Arteri silioretina yang terletak di dekat papil saraf optik
merupakan anastomosis antara koroid dan retina. Koriokapilaris berisi pembuluh darah
kapiler yang membentuk jaringan padat dan terbentang dari diskus optikus sampai
dengan ora serata. 17-18
Kapiler retina terdiri dari sel endotel yang berbentuk sirkumferensial dan saling
dilekatkan oleh jaringan ikat zonulae occludentes. Jaringan ikat antar endotel tersebut
membentuk sawar darah retina dalam (inner blood retinal barrier). Sel endotel akan
diselubungi oleh basal lamina, perisit, makrofag perivaskuler dan mikroglia (gambar 1).
Sedangkan sawar darah retina luar (outer blood retinal barrier) dibentuk oleh sel-sel
RPE yang saling terikat jaringan ikat.
jaringan ikat. 17-18

Gambar 1. Penampang vaskularisasi retina 18


EC : Endothelial Cell, PVM : Perivascular Macrophage,

MG : Mikroglia, P : Perisit

I.

PATOGENESIS
Penyebab pasti penyakit Coats belum diketahui hingga saat ini. Namun diduga

penyebab penyakit Coats adalah sebagai kelainan primer dari vaskuler. Gambaran
histopatologi menunjukkan hilangnya sebagian sel endotel dan perisit yang akan
menyebabkan disorganisasi mural, dilatasi aneurisma dan telangiektasis pada pembuluh darah
retina.9,19 Hal ini akan berakibat pada rusaknya struktur dan fungsi sawar darah retina berupa
gangguan permeabilitas pembuluh darah sehingga terjadi eksudasi masif subretina maupun
intraretina. Eksudasi masif tersebut berupa kristal kolesterol, makrofag yang berisi lemak
(lipid-laden macrophage) dan sedikit eritrosit. 19
Dugaan adanya kelainan endokrin juga pernah diungkapkan sebagai penyebab
penyakit Coats karena adanya persamaan histologik antara endotel membran basalis penyakit
Coats dengan diabetes dan kehamilan yang terkait penyakit vaskuler.

1-2

Duke dan Woods

mengemukakan adanya peran abnormalitas lipid dalam patogenesis penyakit Coats. Black
dkk7 menganalisa mata yang dienukleasi pada penderita penyakit Coats dan mendapatkan
hasil adanya mutasi missense gen NDP di lokasi kromosom Xp11.4. Mutasi gen tersebut akan
mengakibatkan defisiensi protein norrin yang merupakan faktor penting vaskulogenesis
retina.

II.

MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinik penyakit Coats terbagi menjadi dua yaitu onset dini (early onset)

anak usia < 20 tahun dan onset dewasa 20 tahun. Pada anak-anak manifestasi klinisnya
lebih parah dibandingkan dewasa.

1-3,8

Keluhan pada pasien dewasa biasanya bersifat

asimtomatis, tidak ada leukokoria dan tidak ada penurunan visus.8 Pada umumnya keluhan
penurunan tajam penglihatan pada pasien dewasa terjadi setelah diagnosis ditegakkan. 8
Sedangkan pada anak-anak, keluhan penurunan tajam penglihatan paling sering terjadi selain
strabismus dan lekokoria.4-5 Onset dewasa sering dihubungkan dengan hiperkolesterolemi
namun hal ini tidak terjadi pada pasien anak-anak. 8 Penyakit Coats dilaporkan pernah terjadi
pada wanita vegetarian dimana kadar kolesterol dan terigliseridanya sangat rendah.Ciardella

Pemeriksaan klinis menunjukkan 90 % segmen anterior yang normal, namun dapat


pula terjadi udem kornea, bentukan lemak di dalam bilik mata depan, neovaskularisasi iris
dan pendangkalan sudut bilik mata depan. 1-6 Segmen posterior menggambarkan adanya
telengiektasis retina berupa dilatasi kapiler, kapiler yang berkelok-kelok dan bergerombol
membentuk filigreelike appearance disertai dengan aneurisma.8 Adanya abnormalitas
vaskuler retina tersebut menyebabkan eksudasi berwarna kekuningan karena terdiri dari
kristal kolesterol, makrofag yang berisi lemak (lipid-laden macrophage) dan sedikit eritrosit.
4-5

Deposisi lemak biasanya bersifat masif dan difus pada onset anak-anak (gambar 2)

sedangkan pada pasien dewasa deposisi lemaknya bersifat lokal dan terbatas. 8 Khurana dkk21
melaporkan adanya nodul subfovea pada beberapa kasus penyakit Coats. Nodul tersebut
merupakan nodul fibrotik hasil resolusi eksudat makula setelah terapi telengiektasis retina.
(gambar 3)

Gambar 2. Telengiektasis dan eksudat masif

4.

Gambar 3. Nodul fibrotik

subfovea 21

Shields5 mengklasifikasikan gambaran klinis penyakit Coats menjadi lima stadium


agar dapat menentukan terapi dan prognosisnya. Stadium pertama hanya berupa
telangiektasia retina yaitu gambaran anomali kapiler retina. Stadium kedua menunjukkan
telangiektasia retina dan eksudasi. Eksudasi ini dibedakan lagi berdasarkan lokasinya yaitu
eksudasi ekstrafoveal (stadium 2A) dan eksudasi foveal (stadium 2B). Stadium ketiga terdiri
dari stadium 3A yaitu gambaran ablasio retina eksudatif subtotal dimana stadium 3A dibagi
lagi menjadi daerah ekstrafovea dan daerah fovea, sedangkan pada stadium 3B terjadi
ablasio retina eksudatif total. Stadium keempat menunjukkan adanya ablasio retina total
disertai dengan komplikasi glaukoma sekunder. Stadium kelima merupakan stadium akhir
penyakit Coats yaitu berupa kebutaan (No Light Perception/NLP) biasanya disertai dengan
ptisis bulbi.

III.

DIAGNOSIS
Diagnosis penyakit Coats ditegakkan melalui anamnesis, manifestasi klinis,

pemeriksaan dengan slitlamp biomikroskopi, oftalmoskop direk dan indirek. Pemeriksaan


penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah angiografi fluoresen
fundus (FFA), ultrasonografi (USG) dan sitologi. 1-6
Gambaran FFA pada pasien dewasa dan anak-anak menunjukkan gambaran yang
sama yaitu pelebaran pembuluh darah berupa dilatasi aneurisma sakular (light-bulb
appearance), telangiektasis dan kebocoran pada daerah tersebut (gambar 4). Selain itu, FFA
juga dapat berfungsi menentukan lokasi kebocoran vaskuler sehingga berguna dalam terapi
fotokoagulasi maupun krioterapi. Ultrasonografi (USG) memberi gambaran adanya ablasio
retina eksudatif disertai dengan spike di daerah intraretina maupun subretina karena adanya
eksudat (gambar 5). Pemeriksaan sitologi dari cairan subretina menunjukkan adanya kristal
kolesterol, makrofag berisi lemak dan pigmen serta sedikit eritrosit.

Gambar 4. Gambaran fluoresin angiografi 9

IV.

Gambar 5. Gambaran USG 4

DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding penyakit Coats berdasarkan gejala klinis yang hampir sama yaitu

penurunan tajam penglihatan dan lekokoria adalah retinoblastoma, persistent hiperplastic


primary vitreous (PHPV), retinopathy of prematurity (ROP), katarak kongenital dan penyakit
Norrie. Sedangkan diagnosis banding lain berdasarkan gambaran fundus yaitu oklusi
pembuluh vena retina, diabetik retinopati, penyakit Eales, idiopathic juxtafoveal
telangiectasia. 1-6,10
Anamnesis penyakit Coats tidak didapatkan adanya riwayat penyakit seperti ini pada
keluarga, sedangkan pada retinoblastoma terdapat riwayat penyakit keluarga. Pemeriksaan
segmen anterior pada umumnya memberikan gambaran yang normal pada penyakit Coats dan
retinoblastoma namun beberapa kasus penyakit Coats menunjukkan gambaran kolesterolosis
segmen anterior. Sedangkan retinoblastoma tipe endofitik dapat menunjukkan adanya
pseudohipopion.
Manifestasi klinis segmen posterior merupakan gambaran yang penting dalam
membedakan kedua penyakit tersebut. Pada retinoblastoma terdapat bentukan sel-sel
inflamasi berwarna putih dan berkelompok membentuk snowballs, sedangkan vitreus jernih
pada penyakit Coats. Eksudasi retina berwarna kekuningan yang kadang disertai dengan
kristal kolesterol terdapat pada penyakit Coats.
Pemeriksaan penunjang seperti USG, CT scan dan MRI sangat membantu dalam
membedakan penyakit Coats dengan retinoblastoma. Pada retinoblastoma, USG akan

memberi gambaran adanya massa intraokuler di bawah ablasio retina dan kemungkinan
adanya hiperkalsifikasi. CT scan juga memberikan gambaran hiperkalsifikasi pada area
intraokuler tumor. MRI menunjukkan hiperintesitas T1 dan hipointensitas T2 pada
retinoblastoma, sedangkan proses eksudatif seperti penyakit Coats gambaran intensitas TI dan
T2 adalah sama. Perbedaan penyakit Coats dengan retinoblastoma secara keseluruhan dapat
diringkas pada tabel 1.

Feature

Coats' Disease

Retinoblastoma

Mean age at onset


5
(y)

1.5

Male

76

50

Female

24

50

Unilateral

95

60

Bilateral

40

Family history of
0
disease (%)

10

Eye Findings
Anterior chamber

Rare cholesterol crystals

Rare white cells with hypopyon

Presence of iris
neovascularization
(%)

17

Cataract

Absent

Absent

Vitreous

Clear

White, fluffy seeds

Retinal vessels

Irregular
dilation
telangiectasia
Remain
course

visible

Most

commonly

with Tortuous, but regular dilation


toward a mass

throughout

Disappear into tumor

seen Occur in quadrant of tumor

inferotemporally,
temporally,
superotemporally

and

Retinal exudation

Present

Absent

Retinal mass

Absent

Present

Retinal gliosis

Present, often
subretinal mass

Retinoschisis

Sometimes present

Subretinal fluid

Present, golden yellow with Present,


with
faint
cholesterol
free floating seeds

forming

Absent
Absent
white

Diagnostic Testing
Ultrasonography

Retinal detachment

Retinal detachment

Subretinal echoes are minimal


Subretinal echoes from seeds
or none
Rare calcification at level of Calcification
within
retinal pigment epithelium
tumor in 90% of cases
Computed
tomography

Retinal detachment

Magnetic resonance
Retinal detachment
tomography

retinal

Retinal
detachment
calcified retinal mass

and

Retinal
detachment
with
enhancement of retinal mass

Tabel 1. Diagnosis banding dengan retinoblastoma10

V.

PENATALAKSANAAN
Prinsip penatalaksanaan penyakit Coats adalah mencegah progresifitas penyakit dan

mempertahankan tajam penglihatan dengan terapi agresif terhadap kebocoran kapiler retina
untuk mencegah eksudasi daerah makula. Shields lebih lanjut menguraikan penatalaksanaan
penyakit Coats berdasarkan stadiumnya. Penatalaksaan penyakit Coats terdiri dari observasi,
laser fotokoagulasi, krioterapi dan tindakan bedah.
Observasi dilakukan pada stadium 1 dan 5 karena pada stadium 1 hanya terjadi
kelainan telangiektasia saja dan stadium 5 merupakan stadium akhir penyakit Coats dimana

sudah terjadi kebutaan. Tindakan laser fotokoagulasi dan krioterapi efektif untuk
menghancurkan

telangiektasia

vaskuler

retina.

Shields5

berpendapat

bahwa

laser

fotokoagulasi terbatas hanya dilakukan pada stadium 2 dan 3A, sedangkan krioterapi dapat
dilakukan pada stadium 2A, 2B, 3A dan 3B.
Penatalaksanaan bedah untuk melekatkan kembali lapisan retina pada RPE, dapat
dilakukan dengan drainase cairan subretina, pemasangan sabuk sklera atau scleral buckle,
vitrektomi dan silicon oil. Pada kasus-kasus lanjut dan berat Yoshizumi 14 dkk menyarankan
tindakan vitrektomi disertai drainase cairan subretina dan kolesterol, diatermi intraokuler
dengan laser fotokoagulasi dan injeksi silicon oil untuk melisis telengiektasis vaskuler.
Sedangkan Kranias dan Krebs21 lebih agresif dalam penanganan stadium lanjut penyakit
Coats yaitu dengan melakukan vitrektomi, drainase cairan subretina, membrane peeling dan
retinopeksi pneumatik. Enukleasi dilakukan atas indikasi gejala nyeri akut pada mata baik
oleh karena glaukoma neovaskuler maupun dugaan adanya retinoblastoma. Pada umumnya
enukleasi ini dilakukan pada stadium 4. 4-5

VI.

PROGNOSIS
Prognosis penyakit Coats tergantung pada stadiumnya.

4-5

Stadium 1 dan 2 pada

umumnya baik bila eksudasi tidak terlalu meluas meskipun pada stadium 2B terdapat eksudat
di daerah fovea. Stadium 3 hingga stadium 5 mempunyai prognosis yang buruk karena sudah
terjadi ablasio retina dan komplikasi lain seperti glaukoma sekunder. Budning dkk 16
menyatakan bahwa prognosis visual penderita penyakit Coats tergantung pada luasnya
jaringan retina perifer yang terlibat dan ada tidaknya ablasio retina.

BAB III
KESIMPULAN
Penyakit Coats atau Coats disease adalah suatu penyakit yang ditandai oleh adanya
telangiektasis dan aneurisma pembuluh darah retina disertai dengan eksudat intraretina
maupun subretina pada satu mata. Pada penyakit Coats jaringan anatomi yang terlibat
terutama adalah jaringan vaskuler retina dan sawar darah retina. Penyebab pasti penyakit
Coats belum diketahui hingga saat ini. Namun diduga penyebab penyakit Coats adalah
sebagai kelainan primer dari vaskuler. Gambaran histopatologi menunjukkan hilangnya
sebagian sel endotel dan perisit yang akan menyebabkan disorganisasi mural, dilatasi
aneurisma dan telangiektasis pada pembuluh darah retina. Manifestasi klinik penyakit Coats
terbagi menjadi dua yaitu onset dini (early onset) anak usia < 20 tahun dan onset dewasa 20
tahun. Pada anak-anak manifestasi klinisnya lebih parah dibandingkan dewasa. Diagnosis
penyakit Coats ditegakkan melalui anamnesis, manifestasi klinis, pemeriksaan dengan
slitlamp biomikroskopi, oftalmoskop direk dan indirek. Pemeriksaan penunjang yang dapat
dilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah angiografi fluoresen fundus (FFA),
ultrasonografi (USG) dan sitologi. Diagnosis banding penyakit Coats berdasarkan gejala
klinis yang hampir sama yaitu penurunan tajam penglihatan dan lekokoria adalah
retinoblastoma, persistent hiperplastic primary vitreous (PHPV), retinopathy of prematurity
(ROP), katarak kongenital dan penyakit Norrie. Prinsip penatalaksanaan penyakit Coats
adalah mencegah progresifitas penyakit dan mempertahankan tajam penglihatan dengan
terapi agresif terhadap kebocoran kapiler retina untuk mencegah eksudasi daerah makula.
Prognosis penyakit Coats tergantung pada stadiumnya.

DAFTAR PUSTAKA
1.

Halter JA. Coats disease. In : Ryan SJ, editor. Retina 3rd ed. St Louis : CV Mosby ;
2001. p. 1441-7

2.

Regillo CD, Brown GC, Flynn HW. Vitreoretinal Disease the Essentials. New York :
Thieme ;1999. p. 196-200

3.

American Academy of Ophthalmology staff. Basic and clinical science course.


Retina and vitreous. Section 12. San Francisco: LEO; 2005-2006. p. 203-5

4.

Shields JA, Shields CL, Honavar SG, Demirci H. Clinical variations and
complications of Coats disease in 150 cases : the 2000 Sanford Gifford Memorial
Lecture. Am J Ophthalmol. 2001;131:561-71

5.

Shields JA, Shields CL, Honavar SG, Demirci H, Cater J. Classification and
management of Coats disease : the 2000 Proctor Lecture. Am J Ophthalmol.
2001;131:572-83

6.

Silodor SW, Augsburger JJ, Shields JA, Tasman W. Natural history and management
of advanced Coats disease. Ophthalmic Surg 1988; :89-93

7.

Black GC, Perveen R, Bonshek R, Cahill M, Clayton-Smith J, Lloyd IC, et al.


Coats disease of the retina ( unilaterla retinal telangiectasia ). Hum Mol Genet
1999;8(11):2031-5

8.

Smithen LM, Brown GC, Brucker AJ, Yannuzi LA, Klais CM, Spaide RF. Coats
disease diagnosed in adulthood. Ophthalmology 2005;112:1072-8

9.

Tarkkanen

A,

Laatikainen

L.

Coats

disease :

clinical,

angiographic,

histopathological findings and clinical management. Br J Ophthalmol 1983;67:766-76


10.

Shields JA, Shields CL. Differentation of Coats disease and retinoblastoma. J


Pediatr Ophthalmol Starbismus. 2001;38:262-6

11.

Alexandriou A, Stavrou P. Bilateral Coats disease : long-term follow up. Acta


Ophthalmol Scand 2002;80:98-100

12.

Patelli F, Zumbo G, Fasolino G, DiTizio FM, Radice P. Tretment and outcome of


exudative retinal detachment in Coats disease : a case report. Sem Ophthalmol
2004;19:117-8

13.

Sugimoto M, Sasoh M, Ito Y, Miyamura M, Uji Y, Chujo S. A case of Coats disease


with a peeling of premacular fibrosis after photocoagulation. Acta Ophtalmol Scand
2002;80:96-7

14.

Yoshizumi MO, Kreiger AE, Lewis H, Foxman B, Hakakha BA. Vitrectomy


techniques in late-stage Coats-like exudative retinal detachment. Doc Ophthalmol
1995;90:387-94

15.

Char DH. Coats syndrome : long term follow up. Br J Ophthalmol 2000;84:37-9

16.

Budning AS, Heon E, Gallie BL. Visual prognosis of Coats disease. JAAPOS
1998;2 :356-9

17.

American Academy of Ophthalmology staff. Basic and clinical science course.


Fundamental and Principles of Ophthalmology. Section 2. San Francisco: LEO;20052006. p. 62-73, 76-89

18.

Forrester JV, Dick AD, McMenamin P, Lee WR, editors. Anatomy of the eye and
orbit. In : The Eye Basic Sciences and Practice. London : Harcourt Pub Ltd ; 2002. p. 2631, 37-41

19.

Jonas JB, Holbach LM. Clinical-pathologic correlation in Coats disease. Graefes


Arch Clin Exp Ophthalmol 2001;239:544-5

20.

Ciardelle AP, Gross N, Angelilli A, Yanuzi L. Coats disease in vegetarian female. Br


J Ophthalmol 2004;88:970-1

21.

Khurana RN, Samuel MA, Murphree AL, Loo RH, Tawansy KA. Subfoveal nodule
in Coats disease. Clin Exp Ophthalmol 2005;33:301-2

22.

Kranias G, Krebs TP. Advanced Coats disease succesfully managed with vitreoretinal surgery. Eye 2002;16:500-1

Anda mungkin juga menyukai