Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN
Nefropati diabetik merupakan komplikasi mikrovaskuler utama dari
diabetes mellitus (DM) baik pada tipe 1 maupun tipe 2 yang dapat berakhir
sebagai gagal ginjal.1 Nefropati diabetik didefinisikan sebagai proteinuria
(albuminuria) yang menetap (>300 mg/24 jam) secara klinis pada minimal dua
kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3 sampai 6 bulan. Hal ini berhubungan
dengan peningkatan tekanan darah dan penurunan LFG (Laju Filtrasi
Glomerulus).2,3
Diperkirakan satu pertiga pasien dengan DM tipe 1 dan satu perenam
pasien dengan DM tipe 2 akan berkembang menjadi nefropati diabetik. 1 Ketika
nefropati diabetik telah terjadi, interval menuju end stage renal disease (ESRD)
bervariasi dari 4 tahun hingga lebih dari 10 tahun dan terjadi kemiripan antara
DM tipe 1 dan tipe 2. Meskipun DM tipe 2 merupakan penyebab ESRD yang
umum terjadi, orang dengan penyakit ginjal dan DM tipe 2 tidak mencapai ESRD
karena mortalitas kardiovaskular meningkat dua sampai empat kali lipat karena
adanya mikroalbuminuria atau nefropati.2,4
Faktor-faktor risiko yang dapat dimodifikasi pada pasien nefropati diabetik
adalah kontrol gula darah, tekanan darah, dislipidemia dan merokok. Sedangkan
faktor-faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi yaitu jenis kelamin, lamanya
menderita diabetes, genetik keluarga dan faktor etnis. Penelitian di Inggris
membuktikan bahwa pada orang Asia jumlah penderita nefropati diabetik lebih
tinggi dibandingkan dengan orang barat. Hal ini disebabkan karena penderita DM
tipe 2 orang Asia terjadi pada umur yang relatif lebih muda sehingga
berkesempatan mengalami nefropati diabetik lebih besar. Di Thailand prevalensi
nefropati diabetik dilaporkan sebesar 29,4%, di Filipina sebesar 20,8%, sedang di
Hongkong 13,1%. Di Indonesia terdapat angka yang bervariasi dari 2,0% sampai
39,3%.4-7

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Nefropati diabetik adalah sindrom klinis pada pasien DM yang
ditandai dengan albuminuria menetap (>300 mg/24 jam) pada minimal dua
kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3 sampai 6 bulan yang berhubungan
dengan peningkatan tekanan darah dan penurunan LFG (Laju Filtrasi
Glomerulus).2-3
Mikroalbuminuria didefinisikan sebagai ekskresi albumin lebih dari 30
mg/hari dan dianggap sebagai indikator penting timbulnya nefropati
diabetik.2
B. Epidemiologi
Insidens kumulatif mikroalbuminuria pada pasien DM tipe 1 adalah
12.6%

berdasarkan

European

Diabetes

(EURODIAB)

Prospective

Complications Study Group selama lebih dari 7,3 tahun dan hampir 33% pada
follow-up selama 18 tahun pada penelitian di Denmark. Pada pasien dengan
DM tipe 2, insidens mikroalbuminuria adalah 2% per tahun dan prevalensi
selama 10 tahun setelah diagnosis adalah 25% di United Kingdom Prospective
Diabetes Study (UKPDS). Proteinuria terjadi pada 15-40% dari pasien dengan
DM tipe 1 dengan puncak insidens sekitar 15-20 tahun dari pasien diabetes.
Pada pasien dengan DM tipe 2, prevalensi sangat berubah-ubah, berkisar
antara 5 sampai 20%.2,4,6
Nefropati diabetik lebih umum di antara orang Afrika-Amerika, Asia,
dan Amerika asli daripada orang Kaukasia. Di antara pasien yang memulai
renal replacement therapy pada tahun 2001-2011, insidens nefropati diabetik
dua kali lipat dari tahun 1991-2001. Rata-rata peningkatan menjadi semakin
menurun, mungkin karena pemakaian pada praktek klinis bermacam-macam
langkah yang berperan pada diagnosis awal dan pencegahan nefropati
diabetik, yang dengan cara demikian menurunkan perkembangan penyakit

ginjal yang terjadi. Bagaimanapun, pelaksanaan langkah-langkah ini jauh di


bawah tujuan yang diharapkan.4
Penelitian di Inggris membuktikan bahwa pada orang Asia jumlah
penderita nefropati diabetik lebih tinggi dibandingkan dengan orang Barat.
Hal ini disebabkan karena penderita DM tipe 2 orang Asia terjadi pada umur
yang relatif lebih muda sehingga berkesempatan mengalami nefropati diabetik
lebih besar. Di Thailand prevalensi nefropati diabetik dilaporkan sebesar
29,4%, di Filipina sebesar 20,8%, sedang di Hongkong 13,1%. Di Indonesia
terdapat angka yang bervariasi dari 2,0% sampai 39,3%.4-7
C. Faktor Risiko
Tidak semua pasien DM tipe 1 dan tipe 2 berakhir dengan nefropati
diabetik. Dari studi perjalanan penyakit alamiah ditemukan beberapa faktor
risiko antara lain :. 2,4,5,8
1. Hipertensi
Hipertensi dapat menjadi penyebab dan akibat dari nefropati diabetik.
Dalam glomerulus, efek awal dari hipertensi sistemik adalah dilatasi
arteriola afferentia, yang berkontribusi kepada hipertensi intraglomerular,
hiperfiltrasi, dan gangguan hemodinamik. Respon ginjal terhadap sistem
renin-angiotensin menjadi abnormal pada ginjal diabetes. Hipertensi
diperkirakan menjadi penyebab penurunan cepat kerusakan ginjal.
2. Kepekaan (susceptibility) genetic
a. HLA (human leukosit antigen)
Beberapa penelitian menemukan hubungan faktor genetika tipe antigen
HLA dengan kejadian nefropati diabetik. Kelompok penderita diabetes
dengan nefropati lebih sering mempunyai Ag tipe HLA-B9.9-11
b. Glukose trasporter (GLUT)
Setiap penderita DM yang mempunyai GLUT 1-5 mempunyai potensi
untuk mendapat nefropati diabetik.12
3. Merokok

Beberapa bukti menunjukkan bahwa merokok meningkatkan risiko dan


perkembangan nefropati diabetik. Peningkatan tekanan darah pada pasien
diabetes mellitus, 61% nya terjadi pada perokok. Hasil analisis sejumlah
faktor risiko menunjukkan risiko terjadinya nefropati meningkat sebanyak
1,6 kali lipat pada kalangan perokok.12
4. Dislipidemia (hiperkolesterolemia dan hipertrigliseridemia)
5. Asupan protein berlebihan.
D. Patogenesis
Patogenesis terjadinya kelainan ginjal pada diabetes tidak dapat
diterangkan dengan pasti. Gangguan awal pada jaringan ginjal sebagai dasar
terjadinya nefropati adalah terjadinya proses hiperfiltrasi-hiperperfusi
membran basal glomeruli. Berbagai teori tentang patogenesis nefropati
diabetik adalah peningkatan produk glikosilasi dengan proses non enzimatik
yang disebut AGEs (Advanced Glicosylation End

Products), peningkatan

reaksi jalur poliol (polyol pathway), dan protein kinase-C. Peningkatan


glukosa yang menahun (glukotoksisitas) pada penderita yang mempunyai
predisposisi genetik merupakan faktor-faktor utama ditambah faktor lainnya
dapat menimbulkan nefropati. Glukotoksisitas terhadap basal membran dapat
melalui jalur poliol, AGE ( Advence Glycation End Product), aktivasi protein
Kinase-C, jalur Hexoaminase: 1

Ekstrasel

Gambar 1. Mekanisme jalur poliol


4

Aldose reduktase adalah enzim utama pada jalur polyol, yang


merupakan sitosolik monomerik oxidoreduktase yang mengkatalisa
NADPH-dependent reduction dari senyawa karbon, termasuk glukosa.
Aldose reduktase mereduksi aldehid yang dihasilkan oleh ROS (Reactive
Oxygen Species) menjadi inaktif alkohol serta mengubah glukosa menjadi
sorbitol dengan menggunakan NADPH sebagai kofaktor. Pada sel,
aktivitas aldose reduktase cukup untuk mengurangi glutathione (GSH)
yang merupakan tambahan stress oksidatif. Sorbitol dehydrogenase
berfungsi untuk mengoksidasi sorbitol menjadi fruktosa menggunakan
NAD sebagai kofaktor.

Hipertrofi sel
sintesa matriks
ekstraselular
Inhibisi sintesis NO

Gambar 2. Mekanisme Jalur AGEs


Mekanisme melalui produksi intracelular prekursor AGE (Advanced
Glycation End-Product) menyebabkan kerusakan pembuluh darah. Perubahan
ikatan kovalen protein intraseluler oleh prekursor dicarbonyl AGE akan
menyebabkan perubahan pada fungsi selular. Sedangkan adanya perubahan
pada matriks protein ekstraseluler mengakibatkan interaksi abnormal dengan
matriks protein yang lain dan dengan integrin. Perubahan plasma protein oleh
prekursor AGE membentuk rantai yang akan berikatan dengan reseptor AGE,

kemudian menginduksi perubahan pada ekspresi gen pada sel endotel, sel
mesangial, dan makrofag.

Gambar 3. Jalur Protein Kinase-C 13


Hiperglikemia

intraselular

(hiperglisolia)

akan

menyebabkan

meningkatnya diasilgliserol (DAG) intraselular, dan kemudian selanjutnya


peningkatan protein Kinase C, terutama PKC Beta. Perubahan tersebut
kemudian akan berpengaruh pada sel endotel, menyebabkan terjadinya
perubahan vasoreaktivasi melalui keadaan meningkatnya endotelin 1 dan
menurunnya e-NOS. Peningkatan PKC akan menyebabkan proliferasi sel otot
polos dan juga menyebabkan terbentuknya sitokin serta berbagai faktor
pertumbuhan seperti TGF Beta dan VEGF. TGF-beta menyebabkan
peregangan mesangial dan fibrosis melalui stimulasi kolagen dan fibronectin.
Protein kinase C juga akan berpengaruh menurunkan aktivasi fibrinolisis.
Semua keadaan tersebut akan menyebabkan perubahan- perubahan yang akan
mengarah kepada proses angiopati diabetik. Selanjutnya perubahan terjadi
pada membran basalis glomerulus dengan proliferasi dari sel-sel mesangium.
Keadaan ini akan menyebabkan glomerulosklerosis dan berkurangnya aliran
darah, sehingga terjadi perubahan-perubahan pada permeabilitas membran
basalis glomerulus yang ditandai dengan timbulnya albuminuria.1

Gambar 4. Jalur Hexoamine 13


Glycolytic intermediate fructose-6-phosphate (Fruc-6-P) dirubah menjadi
glucosamine-6-phosphate

oleh

enzim

glutamin:

fructose-6-phosphate

amidotransferase (GFAT). Glikosilasi intraseluler oleh N-acethylglucosamine


(GIcNAC) menjadi serin dan theorenin yang dikalisasi oleh enzim O-GicNAc
transferase (OGT). Peningkatan donasi GicNAC pada residu serin dan
threonine dari faktor transkripsi seperti Sp1, yang biasanya terjadi pada tempat
fosforilasi akan menyebabkan peningkatan produksi fakor seperti PAI-1 dan
TGF-1, AZA, azaserine; AS-GFAT, antisense GFAT. Teraktivasinya
Hexosamine pathways dapat menyebabkan peningkatan reaksi inflamasi dan
koagulasi, aktivitas gen serta meningkatkan resistensi insulin dan aktivitas
PKC.
Hiperfiltrasi dianggap sebagai awal dari mekanisme patogenik dalam
laju kerusakan ginjal, dimana saat jumlah nefron mengalami pengurangan
progresif, glomerulus akan melakukan kompensasi dengan meningkatkan
filtrasi nefron yang masih sehat dan pada akhirnya nefron yang sehat menjadi
sklerosis. Akibat kelainan rennin-angiotensin system, Angiotensin II (ATII)
meningkat pada nefropati diabetik, sehingga menyebabkan konstriksi arteriola
efferentia di glomerulus, menyebabkan peningkatan tekanan kapiler
glomerulus dan hipertensi, serta menstimulasi fibrosis dan inflamasi pada
glomerulus. 1
E. Histopatologi
7

Diabetes menyebabkan perubahan yang unik pada struktur ginjal.


Glomerulosklerosis klasik dicirikan sebagai penebalan membrana basalis,
sklerosis

mesangial

yang

difus,

hialinosis,

mikroaneurisma,

dan

arteriosklerosis hialin. Perubahan tubular dan interstitial juga terjadi. Daerah


ekspansi mesangial yang ekstrim dinamakan nodul Kimmelstiel-Wilson atau
ekspansi mesangial nodular yang diobservasi pada 40-50% pasien yang
terdapat proteinuria. Pasien DM tipe 2 dengan mikroalbuminuria dan
makroalbuminuria memiliki lebih banyak struktur heterogenitas daripada
pasien dengan DM tipe 1.4
Secara histologis, gambaran utama yang tampak adalah penebalan
membrana basalis, ekspansi mesangium yang kemudian menimbulkan
glomerulosklerosis noduler atau difus, hialinosis arteriolar aferen dan eferen,
serta fibrosis tubulo-interstisial.4,8

Gambar 5. Glomerulosklerosis difus.


Ditandai dengan penebalan difus pada membran basal glomerulus
kapiler dan meningkatnya jumlah matriks mesangial dengan proliferasi sel
mesangial ringan (pembesaran mesangial).

Gambar 6. glomerulosklerosis noduler.


Seperti bentuk difus, tetapi dengan akumulasi lebih mencolok dari
matriks mesangial, memproduksi nodul mesangial terletak di pinggiran
glomerulus yang terkena. Nodul mengandung lipid dan fibrin. Parenkim ginjal
biasanya menjadi iskemia sehingga menyebabkan atrofi tubulus, fibrosis
interstisial dan penurunan ukuran ginjal dan fungsi.
Peningkatan tekanan intra kapiler glomerulus menyebabkan kerusakan
glomerulus sehingga terjadi glomerulosklerosis. Namun, ketika terjadi
glomerulosklerosis arteriol afferen vasodilatasi dan kerusakan ini menginduksi
vasokonstriksi pembuluh darah arteri sistemik sehingga terjadi peningkatan
tekanan darah sistemik. Hal ini terjadi karena arteriol afferen yang secara
patobiologi

hipokontraktil

memiliki

sedikit

autoregulasi.

Sehingga

peningkatan tekanan intraglomerulus menyebabkan peningkatan tekanan


darah sistemik dan variasi ini menghasilkan gangguan hemodinamik.
Peningkatan tekanan intraglomerulus juga menyebabkan stress mekanik.
Stress mekanik menyebabkan stress fiber kemudian menyebabkan perlekatan
matriks ekstraseluler hingga menimbulkan endapan matriks ekstraseluler.
Endapan matriks ekstraseluler ini menstimulasi ekspresi growth factor.
Growth factor berperan penting dalam perubahan glomerulus menjadi
sklerosis karena mediator ini menginduksi pemecahan sementara aktin
sitoskeleton dalam sel mesangial, produksi yang tinggi dari fibronectin,
kolagen tipe I and IV, hipertropisel mesangial. Angiotensin II adalah growth
factor tambahan yang menstimulasi sel ginjal untuk memproduksi TGF 1
yaitu dengan cara, meningkatkan akumulasi ECM (Extra Cellular Matrix) sel
9

mesangial yang secara primer menstimulasi ekspresi TGF 1. TGF 1


bersamaan dengan stress mekanik menginduksi Vascular Endothelial Growth
Factor (VEGF) dan Connective Tissue Growth Factor (CTGF).
F. Gambaran Klinis
Diagnosis nefropati diabetik dimulai dari dikenalinya albuminuria pada
penderita DM baik tipe I maupun tipe II. Bila jumlah protein atau albumin di
dalam urin masih sangat rendah, sehingga sulit untuk dideteksi dengan metode
pemeriksaan urin yang biasa, akan tetapi sudah >30 mg/24 jam ataupun
>20mg/menit disebut juga sebagai mikroalbuminuria. Hal ini sudah dianggap
sebagai nefropati insipien. Derajat albuminuria atau proteinuria ini dapat juga
ditentukan dengan rationya terhadap kreatinin dalam urin yang diambil
sewaktu, disebut sebagai albumin atau kreatinin ratio (ACR). Tingginya
ekskresi albumin atau protein dalam urine selanjutnya akan menjadi petunjuk
tingkatan kerusakan ginjal seperti terlihat dalam tabel di bawah ini:
Tabel 1. Tingkat Kerusakan Ginjal 8

1. Stadium I (Hyperfiltration-Hypertropy Stage)


Secara klinik pada tahap ini akan dijumpai:
a. Hiperfiltrasi: meningkatnya laju filtrasi glomerulus mencapai 20-50%
diatas normal menurut usia.
b. Hipertrofi ginjal, yang dapat dilihat melaui foto rontgen.
c. Glukosuria disertai poliuria.
d. Mikroalbuminuria lebih dari 20 dan kurang dari 200 g/menit.

10

2. Stadium II (Silent Stage)


Ditandai dengan:
a. Mikroalbuminuria normal atau mendekati normal (<20 g/menit).
a. Sebagian penderita menunjukan penurunan laju filtrasi glomerulus ke
normal.
b. Awal kerusakan struktur ginjal.
3. Stadium III (Incipient Nephropathy Stage)
Stadium ini ditandai dengan:
a. Awalnya dijumpai hiperfiltrasi yang menetap yang selanjutnya mulai
menurun
b. Mikroalbuminuria 20 sampai 200 g/menit yang setara dengan eksresi
protein 30-300 mg/24 jam.
c. Awal Hipertensi.
4. Stadium IV (Overt Nephropathy Stage)
Stadium ini ditandai dengan:
a. Proteinuria menetap (>0,5 gr/24 jam).
b. Hipertensi.
c. Penurunan laju filtrasi glomerulus.
5. Stadium V (End Stage Renal Failure)
a. Pada stadium ini laju filtrasi glomerulus sudah mendekati nol dan
dijumpai fibrosis ginjal.
b. Rata-rata dibutuhkan waktu 15-17 tahun untuk sampai pada stadium
IV dan 5-7 tahun kemudian akan sampai stadium V.
Ada perbedaan gambaran klinik dan patofisiologi nefropati diabetikum
antara

diabetes

mellitus

tipe

(IDDM)

dan

tipe

(NIDDM).

Mikroalbuminuria sering dijumpai pada NIDDM saat diagnosis ditegakkan


dan keadaan ini seringkali reversibel dengan perbaikan status metaboliknya.
Adanya mikroalbuminuria pada diabetes mellitus tipe 2 merupakan prognosis
yang buruk.10,14

11

G. Diagnosis
Berdasarkan visibilitas, diagnosis, manifestasi klinik, dan prognosis maka
telah dibuat kriteria diagnosis klasifikasi Nefropati Diabetikum tahun 1983
yang praktis dan sederhana. Diagnosis nefropati diabetik dapat dibuat apabila
dipenuhi persyaratan seperti di bawah ini: 4,8
1. Diabetes mellitus
2. Retinopati Diabetikum
3. Proteinuria yang presisten selama 2x pemeriksaan interval 2 minggu tanpa
penyebab proteinuria yang lain, atau proteinuria 1x pemeriksaan plus
kadar kreatinin serum >2,5 mg/dl.
Data yang didapatkan pada pasien antara lain pada:
1. Anamnesis
Dari anamnesis kita dapatkan gejala-gejala khas maupun keluhan tidak
khas dari gejala penyakit diabetes. Keluhan khas berupa poliuri, polidipsi,
polifagi, penurunan berat badan yang terus menerus. Keluhan tidak khas
berupa: sering kesemutan, pandangan kabur, luka sukar sembuh, gatalgatal pada kulit, ginekomastia, impotens.2,8
2. Pemeriksaan fisik
Pada nefropati diabetikum didapatkan kelainan pada retina yang
merupakan tanda retinopati yang spesifik dengan pemeriksaan funduskopi,
berupa : 2,4-6,8
a. Obstruksi kapiler yang menyebabkan berkurangnya aliran darah
dalam kapiler retina.
b. Mikroaneusisma berupa tonjolan dinding kapiler, terutama daerah
kapiler vena.
c. Eksudat berupa :
1) Hard exudates berwarna kuning, karena eksudasi plasma yang
lama.
1) Cotton wool patches berwarna putih, tak berbatas tegas,
dihubungkan dengan iskhemia retina.

12

d. Shunt arteri-vena akibat pengurangan aliran darah arteri karena


obstruksi kapiler.
e. Perdarahan

bintik

atau

perdarahan

bercak,

akibat

gangguan

permeabilitas mikroaneurisma atau pecahnya kapiler.


f. Neovaskularisasi.
Bila penderita jatuh pada stadium end stage (stadium IV-V) atau CRF end
stage, didapatkan perubahan pada:
1) Cor cardiomegali
2) Pulmo oedem pulmo
3. Pemeriksaan laboratorium
Proteinuria yang persisten selama 2 kali pemeriksaan dengan interval 2
minggu tanpa ditemukan penyebab proteinuria yang lain atau proteinuria
satu kali pemeriksaan plus kadar kreatinin serum > 2,5 mg/dl.4,8
H. Penatalaksanaan
Terapi dasar adalah kendali kadar gula darah, kendali tekanan darah, dan
kendali lemak darah. Disamping itu, perlu pula dilakukan mengubah gaya
hidup seperti pengaturan diet, penurunan berat badan bila berlebih, latihan
fisik, menghentikan kebiasaan merokok, dll. Semua tindakan ini adalah juga
tindakan preventif terhadap penyakit kardiovaskuler. Secara non farmakologis
terdiri dari 3 pengelolaan penyakit ginjal diabetik yaitu: 8
1) Edukasi.
Hal ini dilakukan untuk mencapai perubahan prilaku, melalui
pemahaman tentang penyakit DM, makna dan perlunya pemantauan dari
pengendalian DM, penyulit DM, intervensi farmakologis dan nonfarmakologis, hipoglikemia, masalah khusus yang dihadapi, dll
2) Perencanaan makan
Perencanaan diet yang diberikan adalah diet tinggi kalori, rendah
protein dan rendah garam. Dalam upaya mengurangi progresivitas
nefropati maka pemberian diet rendah protein sangat penting. Pada
umumnya dewasa ini disepakati pemberian diet mengandung protein
13

sebanyak 0,8 gr/kgBB/hari yaitu sekitar 10 % dari kebutuhan kalori pada


penderita dengan nefropati overt, akan tetapi bila LFG telah mulai
menurun, maka pembatasan protein dalam diet menjadi 0,6 gr/kgBB/hari
mungkin bermanfaat untuk memperlambat penurunan LFG selanjutnya.
Pemberian diet rendah protein ini harus diseimbangkan dengan pemberian
diet tinggi kalori, yaitu rata-rata 40-50 Kal/24 jam. Dislipidemia diatasi
dengan statin dengan target LDL kolesterol < 100mg/dl pada penderita
DM dan < 70 mg/dl bila sudah ada kelainan kardiovaskuler.
3) Latihan Jasmani.
Dilakukan teratur 3-4 kali seminggu, selama kurang lebih 30 menit.
Latihan jasmani dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki
sensitifitas terhadap insulin, tapi tetap harus disesuaikan dengan umur dan
status kesegaran jasmani penderita. Contoh latihan jasmani yang dimaksud
adalah jalan, sepeda santai, joging, berenang. Prinsipnya CRIPE
(Continous, Rhytmical, Interval, Progressive, Endurance).
Intervensi Farmakologis yang perlu dilakukan adalah :
1. Pengendalian DM
Berbagai penelitian klinik jangka panjang (5-7 tahun) dengan
melibatkan ribuan penderita telah menunjukkan bahwa pengendalian kadar
gula darah secara intensif akan mencegah progresivitas dan mencegah
timbulnya penyulit kardiovaskuler, baik pada DM tipe I maupun tipe II.
Oleh karena itu, perlu sekali diupayakan agar terapi ini dilaksanakan
sesegera

mungkin.

Diabetes

terkendali

yang

dimaksud

adalah

pengendalian secara intensif kadar gula darah, lipid dan kadar HbAlc
sehingga mencapai kadar yang diharapkan. Selain itu pengendalian status
gizi dan tekanan darah juga perlu diperhatikan.16
2. Pengendalian Tekanan Darah
Pengendalian tekanan darah merupakan hal yang penting dalam
pencegahan dan terapi nefropati diabetik. Pengendalian tekanan darah juga
telah ditunjukkan memberi efek perlindungan yang besar, baik terhadap
ginjal, renoproteksi maupun terhadap organ kardiovaskuler.17
14

Banyak panduan yang menetapkan target yang seharusnya dicapai


dalam pengendalian tekanan darah pada penderita diabetes. Pada penderita
diabetes dan kelainan ginjal, target tekanan darah yang dianjurkan oleh
American Diabetes Association dan National Heart, Lung, and Blood
Institute adalah < 130/80 mmHg, akan tetapi bila proteinuria lebih berat
1 gr/24 jam, maka target lebih rendah yaitu < 125/75 mmHg. Pengelolaan
tekanan darah dilakukan dengan dua cara, yaitu non-farmakologis dan
famakologis. Terapi non-farmakologis adalah melalui modifikasi gaya
hidup antara lain menurunkan berat badan, meningkatkan aktivitas fisik,
menghentikan merokok, serta mengurangi konsumsi garam. Harus diingat
bahwa untuk mencapai target ini tidak mudah. Sering harus memakai
kombinasi berbagai jenis obat dengan berbagai efek samping dan harga
obat yang kadang sulit dijangkau penderita. Hal terpenting yang perlu
diperhatikan adalah tercapainya tekanan darah yang ditargetkan apapun
jenis obat yang dicapai. Akan tetapi karena Angiotensin Converting
Enzyme Inhibitor (ACE-I) dan Angiotensin Reseptor blocker (ARB),
dikenal mempunyai efek antiprotein uric maupun renoproteksi yang baik,
maka selalu disukai pemakaian obat-obatan ini sebagai awal pengobatan
hipertensi pada penderita DM. Pada penderita hipertensi dengan
mikroalbuminuria atau makroalbuminuria, ACE inhibitor dan ARB
merupakan terapi utama yang paling dianjurkan. Jika salah satu tidak
dapat diterima atau memberikan hasil yang kurang maksimal maka dapat
dianjurkan penggunaan Non Dihydropyridine CalciumChannel Blockers
(NDCCBs). 18-19
3. Penanganan Gagal Ginjal
Dasar penatalaksanaan gagal ginjal kronik dapat dibagi menjadi dua,
yaitu: 20
Terapi konservatif dan terapi pengganti.
a. Terapi Konservatif
1. Memperkecil beban ginjal atau mengurangi kadar toksin uremik:
- keseimbangan cairan
15

- diet tinggi kalori, rendah protein, dan rendah garam bila


ditemukan adanya oedema atau hipertensi
-

menghindarkan

obat-obat

nefrotoksik

(NSAID,

aminoglikosida, tetrasiklin, dll)


2. Memperbaiki faktor-faktor yang reversible
- mengatasi anemia
- menurunkan tekanan darah
- mengatasi infeksi
3. Mengatasi hiperfosfatemia dengan memberikan Ca(CO)3 dan
diet rendah fosfat
4. Terapi penyakit dasar seperti DM
5. Terapi keluhan:
- untuk mual/muntah diberikan Metoklopramid
- untuk gatal-gatal diberikan Dipenhydramin
6. Terapi komplikasi
- payah jantung dengan Diuretik, vasodilator, dan hati-hati
terhadap pemberian digitalis
b. Terapi pengganti
1. Dialisis
- hemodialisis
- dialisis peritoneal mandiri berkesinambungan
- indikasi : bila Klirens Kreatinin kurang dari 5 cc/menit.
2. Cangkok ginjal
4. Penanganan Multifaktorial
Suatu penelitian klinik dari Steno Diabetes Center di Copenhagen
mendapatkan bahwa penanganan intensif secara multifaktorial pada
penderita DM tipe II dengan mikroalbuminuria menunjukkan pengurangan
faktor resiko yang jauh melebihi penanganan sesuai panduan umum
penanggulangan diabetes nasional mereka. Juga ditunjukkan bahwa
penurunan yang sangat bermakna pada kejadian kardiovaskuler, termasuk
stroke yang fatal dan nonfatal. Demikian pula kejadian yang spesifik
16

seperti nefropati, retinopati, dan neuropati autonomik lebih rendah. Yang


dimaksud dengan intensif adalah energi yang dititrasi sampai mencapai
target, baik tekanan darah, kadar gula darah, lemak darah dan
mikroalbuminuria juga disertai pencegahan penyakit kardiovaskuler
dengan pemberian aspirin. Dalam kenyataanya penderita dengan terapi
intensif lebih banyak mendapat obat golongan ACE-I dan ARB. Demikian
juga dengan obat hipoglikemik oral atau insulin. Untuk pengendalian
lemak darah lebih banyak mendapat statin. Bagi penderita yang sudah
berada dalam tahap V gagal ginjal maka terapi yang khusus untuk gagal
ginjal perlu dijalankan, sepeti pemberian diet rendah protein, pemberian
obat pengikat fosfat dalam makanan, pencegahan dan pengobatan anemia
dengan pemberian eritropoietin dan lain-lain.21
I. Prognosis
Secara

keseluruhan

prevalensi

dari

mikroalbuminuria

dan

makroalbuminuria pada kedua tipe DM diperkirakan 30-35%. Nefropati


diabetik jarang berkembang sebelum sekurang-kurangnya 10 tahun pada
pasien DM tipe 1, dan diperkirakan 3% dari pasien dengan DM tipe 2 yang
baru didiagnosa menderita nefropati. Puncak rata-rata insidens (3%/th)
biasanya ditemukan pada orang yang menderita diabetes selama 10-20 tahun.4
Mikroalbuminuria sendiri meningkatkan morbiditas kardiovaskular,
sedangkan mikroalbuminuria dan makroalbuminuria meningkatkan mortalitas
dari bermacam-macam penyebab dalam DM. Mikroalbuminuria juga
meningkatkan coronary and peripheral vascular disease dan kematian dari
penyakit kardiovaskular pada populasi umum nondiabetik. Pasien dengan
proteinuria yang tidak berkembang memiliki tingkat mortalitas yang relatif
rendah dan stabil, di mana pasien dengan proteinuria memiliki 40 kali lipat
lebih tinggi tingkat relatif mortalitasnya.4
ESRD adalah penyebab utama kematian, 59-66% kematian pada pasien
dengan DM tipe 1 dan nefropati. Tingkat insidens kumulatif dari ESRD pada
pasien dengan proteinuria dan DM tipe 1 adalah 50%, 10 tahun setelah onset
17

proteinuria, dibandingkan dengan 3-11%, 10 tahun setelah onset proteinuria


pada pasien Eropa dengan DM tipe 2. Penyakit kardiovaskular juga penyebab
utama kematian (15-25%) pada pasien dengan nefropati dan DM, meskipun
terjadi pada usia yang relatif muda.3,4,14

BAB III
KESIMPULAN
1. Nefropati diabetikum adalah sindrom klinis pada pasien diabetes mellitus
yang ditandai dengan albuminuria menetap (>300 mg/24 jam) pada minimal
dua kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3 sampai 6 bulan yang berhubungan
dengan peningkatan tekanan darah dan penurunan LFG (Laju Filtrasi
Glomerulus).
2. Berbagai teori tentang patogenesis nefropati diabetik adalah peningkatan
produk glikosilasi dengan proses non enzimatik yang disebut AGEs
(Advanced Glicosylation End Products), peningkatan reaksi jalur poliol
(polyol pathway), protein kinase-C, dan jalur Hexoamine memberikan
kontribusi pada kerusakan ginjal.
3. Diagnosa Nefropati Diabetika ditegakkan apabila memenuhi persyaratan
sebagai berikut :
a. DM
b.

Retinopati Diabetika

18

c. Proteinuria yang persisten selama 2 kali pemeriksaan dengan interval 2


minggu tanpa ditemukan penyebab proteinuria yang lain atau proteinuria
satu kali pemeriksaan piks kadar kreatinin serum > 2,5 mg/dl.
4. Prinsip terapi pada nefropati diabetik adalah secara non farmakologi berupa
edukasi, perencanaan makan, dan latihan jasmani. Sedangkan untuk
farmakologi dengan pengendalian DM, tekanan darah, penanganan gagal
ginjal dan penanganan multifaktorial.

DAFTAR PUSTAKA
1. Navarro-Gonzlez JF, Mora-Fernndez C, Fuentes MM and Garca-Prez J.
2011. Inflammatory molecules and pathways in the pathogenesis of diabetic
nephropathy. Nat. Rev. Nephrol. 7: 327-340.
2. Daniel WF. 2007. Diabetes Mellitus. Dalam Harrison: Prinsip-Prinsip Ilmu
Penyakit Dalam. Edisi 13. Jakarta: EGC. pp: 2212-2213.
3. Thomas MC and Groop PH. 2011. New approaches to the treatment of
nephropathy in diabetes. Informa Journals 20(8): 1057-1071.
4. Batuman V, Rebecca JS, Soman AS and Soman SS. 2011. Diabetic
nephropathy. Med. Scape. 1:1-6.
5. Adam JMF. 2005. Komplikasi kronik diabetik masalah utama penderita
diabetes dan upaya pencegahan. Supl. 26:3.
6. Boner G and Cooper ME. 2005. Management of Diabetic Nephropathy.
London: Martin Dunitz, Ltd. pp: 3-8.
7. Buraczynska M, Ksiazek P, Gaszczyk IB and Jozwiak L. 2006. Association of
the VEGF gene polymorphism with diabetic retinopathy in type 2 diabetes
patients. Oxford Journals. 22(3): 827-832.
19

8. Hendromartono. 2007. Nefropati Diabetik. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit


Dalam Jilid III. Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbit Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp: 1898-1901.
9. Kanwar YS, Wada J, Sun L, Xie P, Wallner EI, Chen S, et al. 2008. Diabetic
nephropathy: mechanisms of renal disease progression. Experimental Bio and
Med. 233(1): 4-11.
10. Ruggegenti P and Remuzzi G. 2006. Nephropathy of type 1 and type 2
diabetes: diverse pathophysiology, same treatment. Oxford Journals. 15(12):
1900-1902.
11. Sheridan AM. 2006. Molecular mechanisms underlying diabetic nephropathy.
Nephrol. Rounds J. 4(8): 298-304.
12. Villeneuve LM and Natarajan R. 2010. The role of epigenetics in the
pathology of diabetic complications. AJP- Renal Physiol. 299: 14-25.
13. Bethesda.Kidney Disease of Diabetes Available at: http: // www. kidney.
niddk. nih.gov / kudiseases / pubs / kdd / index.htm. Accessed; July 20, 2012.
14. Syensson M, Nystrm L, Schn S and Dahlguist G. 2006. Age at onset of
childhood-onset type 1 diabetes and the development of end-stage renal disease.
Diabetes Care 29:538-542.
15. Michael, S., Diabetic Nephropathy: Clinical Evidence Concise, Available
at:http://www.aafp.org/afp/20051201/bmj.html, (Accessed 20 Juli 2012).
16. Nicholas Robertloon, MB, BCh, BAO. Diabetic Kidney Disease: Preventing
Dialysis and Transplantation. Clinical Diabetes. Vol. 21:2. 2003
17. Perkeni. (2002), Petunjuk Praktis Pengelolaan DM Tipe 2. Jakarta: PB
Perkeni.
18. Steigerwalt S, MD, FACP. Management hypertension in Diabetic Patient With
Chronic Kidney Disease. Diabetes Spectrum. Vol.21: 1. 2008
19. Williams G H. Hipertensive vascular disease. In: Harrisons of internal
medicine. 15th ed. India: Mc Graw-Hill. 2003; 1: 1414-1377.
20. Powers AC. DM. In: Harrisons of internal medicine. 15th ed. India: Mc
Graw-Hill. 2003;2: 2109-2137

20

21. Chobanian, AV et al. The Seventh Report of the Joint National Committee on
Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure. JAMA.
2003;289;19; pp 2560-2572.

21

Anda mungkin juga menyukai