pustaka
Diskusi
Presentasi dan
Pos
diskusi
434-437
b. ocw.usu.ac.id/course/...brain.../bms166_slide_kejang_demam.pdf
c. http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2010/02/kejang_pada_anak.pdf
Hasil pembelajaran:
1. Menegakkan diagnosis kejang demam
2. Memberikan penanganan awal kejang demam di unit gawat darurat
yang berlangsung lebih dari 15 menit, fokal, atau multipel (lebih dari 1 kali kejang dalam 24
jam). Di sini anak sebelumnya dapat mempunyai kelainan neuroiogi atau riwayat kejang
demam atau kejang tanpa demam dalam keluarga.
Kejang merupakan suatu manifestasi klinis yang sering dijumpai di ruang gawat darurat.
Hampir 5% anak berumur di bawah 16 tahun setidaknya pernah mengalami sekali kejang
selama hidupnya. Kejang penting sebagai suatu tanda adanya gangguan neurologis. Keadaan
tersebut merupakan keadaan darurat.
Kejang sederhana mungkin dapat berhenti sendiri dan sedikit memerlukan pengobatan
lanjutan, atau merupakan gejala awal dari penyakit berat, atau cenderung menjadi status
epileptikus.
Tatalaksana kejang seringkali tidak dilakukan secara baik. Karena diagnosis yang salah
atau penggunaan obat yang kurang tepat dapat menyebabkan kejang tidak terkontrol, depresi
nafas dan rawat inap yang tidak perlu. Langkah awal dalam menghadapi kejang adalah
memastikan apakah gejala saat ini kejang atau bu kan. Selanjutnya melakukan identifikasi
kemungkinan penyebabnya.
EPIDEMIOLOGI
Kejadian kejang demam diperkirakan 2-4% di Amerika Serikat, Amerika Selatan, dan
Eropa Barat. Di Asia dilaporkan lebih tinggi. Kira-kira 20% kasus merupakan kejang demam
kompleks. Umumnya kejang demam timbul pada tahun kedua kehidupan (17-23 bulan). Kej
ang demam sedikit lebih sering pada laki-laki.
ETIOLOGI
Penentuan faktor penyebab kejang sangat menentukan untuk tatalaksana selanjutnya,
karena kejang dapat diakibatkan berbagai macam etiologi. Adapun etiologi kejang yang
tersering pada anak dapat dilihat pada tabel 3.
KRITERIA KEJANG
Diagnosis kejang ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan penunjang, sangat
penting membedakan apakah serangan yang terjadi adalah kejang atau serangan yang
menyerupai kejang. Perbedaan diantara keduanya
adalah pada tabel 1:
KLASIFIKASI
Setelah diyakini bahwa serangan ini adalah kejang, selanjutnya perlu ditentukan jenis
kejang. Saat ini klasifikasi kejang yang umum digunakan adalah berdasarkan Klasifikasi
International League Against Epilepsy of Epileptic Seizure [ILAE] 1981, yaitu dapat dilihat
5
pada tabel 2.
Umumnya kejang demam berlangsung singkat, berupa serangan kejang klonik atau
tonik-klonik bilateral. Bentuk kejang yang lain dapat juga terjadi seperti mata terbalik ke atas
dengan disertai kekakuan atau kelemahan, gerakan sentakan berulang tanpa didahului
kekakuan, atau hanya sentakan atau kekakuan fokal.
Sebagian besar kejang berlangsung kurang dari 6 menit dan kurng dari 8% berlangsung
lebih dari 15 menit. Seringkali kejang berhenti sendiri. Setelah kejang berhenti anak tidak
memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah beberapa detik atau menit, anak
terbangun dan sadar kembali tanpa defisit neurologis. Kejang dapat diikuti hemiparesis
sementara (hemiparesis Todd) yang berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari. Kejang
unilateral yang lama dapat diikuti oleh hemiparesis yang menetap. Bangkitan kejang yang
berlangsung lama lebih sering terjadi pada kejang demam yang pertama.
PATOFISIOLOGI
Kejang adalah manifestasi klinis khas yang berlangsung secara intermitten dapat berupa
gangguan kesadaran, tingkah laku, emosi, motorik, sensorik, dan atau otonom yang
disebabkan oleh lepasnya muatan listrik yang berlebihan di neuron otak. Status epileptikus
adalah kejang yang terjadi lebih dari 30 menit atu kejang berulang lebih dari 30 menit tanpa
disertai pemulihan kesadaran.
Mekanisme dasar terjadinya kejang adalah peningkatan aktifitas listrik yang berlebihan
pada neuron-neuron dan mampu secara berurutan merangsang sel neuron lain secara
bersama-sama melepaskan muatan listriknya. Hal tersebut diduga disebabkan oleh;
6
kemampuan membran sel sebagai pacemaker neuron untuk melepaskan muatan listrik yang
berlebihan; berkurangnya inhibisi oleh neurotransmitter asam gama amino butirat [GABA];
atau meningkatnya eksitasi sinaptik oleh transmiter asam glutamat dan aspartat melalui jalur
eksitasi yang berulang. Status epileptikus terjadi oleh karena proses eksitasi yang berlebihan
berlangsung terus menerus, di samping akibat ilnhibisi yang tidak sempurna.
FAKTOR RISIKO
Faktor risiko kejang demam yang penting adalah demam. Selain itu terdapat faktor
riwayat kejang demam pada orang tua atau saudara kandung, perkembangan terlambat,
problem pada masa neonatus, anak dalam perawatan khusus, dan kadar natrium rendah.
Setelah kejang demam pertama, kira-kira 33% anak akan mengalami satu kali rekurensi atau
lebih, dan kira-kira 9% anak mengalami 3 kali rekurensi atau lebih, Risiko rekurensi
meningkat dengan usia dini, cepatnya anak mendapat kejang setelah demam timbul,
temperatur yang rendah saat kejang, riwayat keluarga kejang demam, dan riwayat keluarga
epilepsi.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang pertama. Pada bayi-bayi kecil seringkali gejala
meningitis tidak jelas sehingga pungsi lumbal harus dilakukan pada bayi berumur kurang
dari 6 bulan, dan dianjurkan untuk yang berumur kurang dari 18 bulan. Elektroensefalografi
(EEG) ternyata kurang mempunyai nilai prognostik. EEG abnormal tidak dapat digunakan
untuk menduga kemungkinan terjadinya epilepsi atau kejang demam berulang di kemudian
hari. Saat ini pemeriksaan EEG tidak dianjurkan untuk pasien kejang demam sederhana.
Pemeriksaan laboratorium rutin tidak dianjurkan dan dikerjakan untuk mengevaluasi sumber
infeksi.
DIAGNOSIS BANDING
Penyebab lain kejang yang disertai demam harus disingkirkan, khususnya meningitis atau
ensefalitis. Pungsi lumbal terindikasi bila ada kecurigaan klinis meningitis. Adanya sumber
infeksi seperti otitis media tidak menyingkirkan meningitis dan jika pasien telah
mendapatkan antibiotika maka perlu pertimbangan pungsi lumbal.
7
DIAGNOSIS
Anamnesis dan pemeriksaan fisis yang baik diperlukan untuk memilih pemeriksaan
penunjang yang terarah dan tatalaksana selanjutnya. Anamnesis dimulai dari riwayat
perjalanan penyakit sampai terjadinya kejang, kemudian mencari kemungkinan adanya faktor
pencetus atau penyebab kejang. Ditanyakan riwayat kejang sebelumnya, kondisi medis yang
berhubungan, obatobatan, trauma, gejala-gejala infeksi, keluhan neurologis, nyeri atau cedera
akibat kejang.
Pemeriksaan fisis dimulai dengan tanda-tanda vital, mencari tanda-tanda trauma akut
kepala dan adanya kelainan sistemik, terpapar zat toksik, infeksi, atau adanya kelainan
neurologis fokal. Bila terjadi penurunan kesadaran diperlukan pemeriksaan lanjutan untuk
mencari faktor penyebab. Untuk menentukan faktor penyebab dan komplikasi kejang pada
anak, diperlukan beberapa pemeriksaan penunjang yaitu: laboratorium, pungsi lumbal,
elektroensefalografi, dan neuroradiologi. Pemilihan jenis pemeriksaan penunjang disesuaikan
dengan kebutuhan. Pemeriksaan yang dianjurkan pada pasien dengan kejang pertama adalah
kadar glukosa darah, elektrolit, dan hitung jenis.
Dari hasil diagnosis dan pemeriksaan fisis serta pemeriksaan penunjang maka diagnosis
pasien ini mengarah pada kejang demam.
PENATALAKSANAAN
Ada 3 hal yang perlu dikerjakan, yaitu: (1) pengobatan fase akut; (2) mencari dan
mengobati penyebab; dan (3) pengobatan profilaksis terhadap berulangnya kejang demam.
1. Pengobatan fase akut.
Seringkali kejang berhenti sendiri. Pada waktu kejang pasien dimiringkah untuk
mencegah aspirasi ludah atau muntahan. Jalan napas harus bebas agar oksigenisasi
terjamin. Perhatikan keadaan vital seperti kesadaran, tekanan darah, suhu, pernapasan
dan fungsi jantung. Suhu tubuh yang tinggi diturunkan dengan kompres air dingin dan
pemberian antipiretik.
Obat yang paling cepat menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan
intravena atau intrarektal. Dosis diazepam intravena 0,3-0,5 mg/kgBB/kali dengan
kecepatan 1-2 mg/menit dengan dosis maksimal 20 mg. Bila kejang berhenti sebelum
diazepam habis, hentikan penyuntikan, tunggu sebentar, dan bila tidak timbul kejang lagi
jarum dicabut. Bila diazepam intravena tidak tersedia atau pemberiannya sulit, gunakan
8
diazepam intrarektal 5 mg (BB < 10 kg) atau 10 mg (BB > 10 kg). Bila kejang tidak
berhenti dapat diulang selang 5 menit kemudian. Bila tidak berhenti juga, berikan
fenitoin dengan dosis awal 10-20 mg/kgBB secara intravena perlahan-lahan 1
mg/kgBB/menit. Setelah pemberian fenitoin, hams dilakukan pembilasan dengan NaCl
fisiologis karena fenitoin bersifat basa dan menyebabkan iritasi vena.
Bila kejang berhenti dengan diazepam, lanjutkan dengan fenobarbital diberikan
langsung setelah kejang berhenti. Dosis awal untuk bayi 1 bulan-1 tahun 50 mg dan umur
1 tahun ke atas 75 mg secara intramuskular. Empat jam kemudian berikan fenobarbital
dosis rumat. Untuk 2 hari pertama dengan dosis 8-10 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis,
untuk bari-hari berikutnya dengan dosis 4-5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis. Selama
keadaan belum membaik, obat diberikan secara suntikan dan setelah membaik per oral.
Perhatikan bahwa dosis total tidak melebihi 200 mg/hari. Efek sampingnya adalah
hipotensi, penurunan kesadaran, dan depresi pernapasan. Bila kejang berhenti dengan
fenitoin, lanjutkan fenitoin dengan dosis 4-8 mg/kgBB/ hari, 12-24 jam setelah dosis
awal.
2. Mencari dan mengobati penyebab.
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan
meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang pertama. Walaupun demikian
kebanyakan dokter melakukan pungsi lumbal hanya pada kasus yang dicurigai sebagai
meningitis, misalnya bila ada gejala meningitis atau bila kejang demam berlangsung
lama.
3. Pengobatan profilaksis.
Ada 2 cara profilaksis, yaitu (1) profilaksis intermiten saat demam dan (2) profilaksis
terus-menerus dengan antikonvulsan setiap hari. Untuk profilaksis intermiten diberikan
diazepam secara oral dengan dosis 0,3-0,5 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis saat
pasien demam. Diazepam dapat pula diberikan secara intrarektal tiap 8 jam sebanyak 5
mg (BB < 10 kg) dan 10 mg (BB > 10 kg) setiap pasien menunjukkan suhu lebih dari
38,5C. Efek samping diazepam adalah ataksia, mengantuk, dan hipotonia.
Profilaksis terus-menerus berguna untuk mencegah berulangnya kejang demam berat
yang dapat menyebabkan kerusakan otak tapi tidak dapat mencegah terjadinya epilepsi di
kemudian hari. Profilaksis terus-menerus setiap hari dengan fenobarbital 4-5 mg/
kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis. Obat lain yang dapat digunakan adalah asam valproat
dengan dosis 15-40 mg/kgBB/hari. Antikonvulsan profilaksis terus menerus diberikan
selama 1-2 tahun setelah kejang terakhir dan dihentikan bertahap selama 1-2 bulan.
9
Profilaksis terus-menerus dapat dipertimbangkan bila ada 2 kriteria (termasuk poin 1 atau
2) yaitu:
1. Sebelum kejang demam yang pertama sudah ada kelainan neurologis atau
perkembangan (misalnya serebral palsi atau mikrosefal).
2. Kejang demam lebih lama dari 15 menit, fokal, atau diikuti kelainan neurologis
sementara atau menetap.
3. Ada riwayat kejang tanpa demam pada orang tua atau saudara kandung.
4. Bila kejang demam terjadi pada bayi berumur kurang dari 12 bulan atau terjadi kejang
multipel dalam satu epidose demam.
Bila hanya memenuhi satu kriteria saja dan ingin memberikan pengobatan jangka
panjang, maka berikan profilaksis intermiten yaitu pada waktu anak demam dengan
diazepam oral atau rektal tiap 8 jam di samping antipiretik.
PROGNOSIS
Dengan penanggulangan yang tepat dan cepat, prognosisnya baik dan tidak menyebabkan
kematian. Frekuensi berulangnya kejang berkisar antara 25-50%, umumnya terjad pada 6
bulan pertama. Risiko untuk mendapatkan epilepsi rendah.
10
4. Plan:
Diagnosis:
Kejang Demam Sederhana
Terapi:
Oksigen 1 LPM
Diazepam 5 mg/rectal
Pyrexin 80 mg/rectal
IVFD Dextrose 5% 16 tpm mikro drips
11
Pendidikan:
Kita menjelaskan prognosis dari pasien, serta komplikasi yang mungkin terjadi.
Konsultasi:
Dijelaskan adanya indikasi rawat ICU dan konsultasi dengan spesialis anak untuk
penanganan lebih lanjut.
Rujukan:
Diperlukan jika terjadi komplikasi serius yang harusnya ditangani di rumah sakit dengan
sarana dan prasarana yang lebih memadai.
Peserta,
Pendamping,
12