Anda di halaman 1dari 34

BAB I

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS
1. Nama Penderita

: An. OG

a. Tanggal Lahir

: 15 Januari 2003

b. Usia

: 13 tahun

c. Jenis Kelamin

: Laki-laki

d. Pendidikan

: SMP kelas 2

e. Alamat

: Panunggalan, Purwodadi

f. Tanggal Masuk RS

: 28 Desember 2016

g. Tanggal Pemeriksaan

: 30 Desember 2016

h. No. RM

: 00419326

2. Nama Ayah
a. Umur

: Tn. S
: 37 tahun

b. Pendidikan

: SMA

c. Agama

: Islam

d. Pekerjaan

: Petani

e. Alamat

: Panunggalan, Purwodadi

B. DATA DASAR
Alloanamnesis dengan kedua orang tua pasien dilakukan pada tanggal 30
Desember 2016 pukul 18.30 WIB di ruang bangsal anak Anggrek serta didukung
dengan catatan medis.
Keluhan Utama

: Lemas

1. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien diantar kedua orang tua datang ke IGD RSUD Dr. R. Soedjati
Purwodadi rujukan Puskesmas Palukulon I dengan anemia, datang mengeluh
lemas sejak 1 minggu SMRS. Lemas dirasakan terus menerus dan semakin
hari semakin lemah. Pasien masih mau makan dan minum. Terkadang merasa
sedikit berdebar dan sesak jika berjalan 20 meter.
Pasien mengeluh panas 2 hari SMRS terus menerus, pasien sudah
berobat ke puskesmas dan mendapat obat penurun panas tetapi panas hanya
menghilang setelah minum obat dan kemudian panas kembali muncul.
Kejang saat panas badan disangkal.
Selain keluhan lemas dan panas, mudah lelah, tidak bersemangat,
perutnya semakin membesar secara perlahan-lahan, pusing dan badan terasa
pegal-pegal.
Pasien menyangkal keluhan penurunan berat badan, batuk, pilek,
menggigil, mengigau, gusi berdarah, mimisan, bintik merah ataupun muntah.
Tidak ada keluhan BAK maupun BAB.
2. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Riwayat keluhan serupa

: (-)

b. Riwayat demam

: (+)

c. Riwayat batuk pilek

: (-)

d. Riwayat alergi

: (-)

e. Riwayat gastritis

: (-)

f. Riwayat infeksi saluran pencernaan : (-)


g. Riwayat transfusi

: (-)

3. Riwayat Penyakit Keluarga


Keluarga pasien tidak ada yang menderita keluhan serupa. Riwayat
asma dan alergi maupun keganasan disangkal.

4. Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien adalah anak pertama, tinggal bersama kedua orang tua. Ayah
bekerja sebagai petani dan ibu sebagai penjual. Biaya pengobatan ditanggung
BPJS dan ditempatkan di kelas II.
Kesan ekonomi : cukup
5. Riwayat Kehamilan
Pasien merupakan kehamilan pertama, ibu berusia 25 tahun, tidak ada
riwayat keguguran sebelumnya. Selama hamil ibu pasien memeriksakan
kehamilan ke bidan 1 bulan sekali secara teratur sejak usia kehamilan 2 bulan
sampai usia kehamilan 10 bulan sebanyak 8 kali. Selama hamil Ibu tidak
pernah mengalami hal-hal sebagai berikut: demam, muntah berlebih,
pendarahan melalui jalan lahir, hipertensi, sakit kuning, batuk dan kejang.
Obat yang diminum ibu selama hamil hanya tablet tambah darah yang
didapat dari bidan, sehari 1 tablet. Ibu mendapat imunisasi TT 2 kali selama
kehamilan. Ibu lupa berapa pertambahan berat badan selama hamil.
Kesan

: riwayat kehamilan baik

6. Riwayat Persalinan
Pasien lahir di puskesmas, spontan, ditolong bidan pada usia
kehamilan 40 minggu, kepala lahir terlebih dahulu, ketuban jernih, bayi lahir
langsung menangis kuat, BB lahir 3000 gram. Ibu lupa berapa panjang bayi
saat lahir.
Kesan

: persalinan normal

7. Riwayat Imunisasi

0-7 hari: Hb O

1 bulan: BCG dan Polio 1

2 bulan: DPT, HB1, HIB, Polio 2

3 bulan: DPT, HB2, HIB, Polio 3

4 bulan: DPT, HB3, HIB, Polio 4

9 bulan: Campak

18 bulan : booster polio, DPT HB, HiB

24 bulan : booster Campak

Kesan: Imunisasi dasar lengkap


8. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan
Perkembangan
Mengangkat kepala
Memiringkan Badan
Tengkurap dan mempertahankan posisi kepala
Duduk
Merangkak
Belajar Berdiri
Berjalan
Berlari
Mulai dapat melompat
Melompat, menggambar berbagai objek
Kesan: perkembangan sesuai anak seusianya
Pertumbuhan
Status Gizi menurut Z-score
Berat Badan

: 40 kg

Tinggi badan

: 145 cm

BMI

: 19,024 kg/m2

Usia

: 13 tahun

Kesan: Perawakan Normal

: 2 bulan
: 3 bulan
: 4 bulan
: 6 bulan
: 8 bulan
: 12 bulan
: 18 bulan
: 24 bulan
: 36 bulan
: 48 bulan

Kesan: Gizi cukup

Kesan: Gizi cukup

C. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan dilakukan di bangsal Anggrek RSUD dr. R. Soedjati pada tanggal
30 Desember 2016 pukul 18.30 WIB
Status Present

Keadaan Umum

: Tampak lemah

Kesadaran

: Somnolen

Tanda Vital

Tekanan Darah

: 108/73 mmHg

Suhu

: 36,3 oC

Nadi

: 96 x/menit , isi dan tegangan cukup irama regular

Pernapasan

: 25 x/menit

Status Generalis
Kepala

Bentuk

: Normocephal, rambut hitam

Mata

: Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik -/-, pupil

isokor,

reflek cahaya (+/+), mata cekung (-/-),mata kering (-/-),

edema palpebra (-/-)

Hidung

: Sekret (-), darah (-), nafas cuping hidung (-)

Telinga

: Sekret (-), serumen (-)

Mulut

: Bibir kering, pucat, oral hygine baik

Leher

Simetris

Pembesaran KGB (-)

Retraksi SS (-)
Thorax

Pulmo

Inspeksi

: Pergerakan dinding thorax kiri-kanan simetris, tidak

ada bekas luka, tidak ada benjolan, retraksi ICS (-)

Palpasi

: vocal fremitus dextra = sinistra

Perkusi

: Sonor pada seluruh lapang paru kiri-kanan

Auskultasi

: Suara nafas vesikuler diseluruh lapang paru kiri-

kanan. Ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

Cor

Inspeksi

: Ictus cordis tidak tampak

Palpasi

: Ictus cordis teraba di ICS 4 linea midklavikula

sinistra.

Perkusi

: Konfigurasi jantung dalam batas normal

Auskultasi

: Bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen

Inspeksi

: Sedikit cembung, retraksi epigastrium (-).

Auskultasi

: Bising usus normal

Palpasi

: Supel, nyeri pada epigastrium (-), pembesaran hepar

(-), lien sulit dinilai

Perkusi

: Timpani keempat kuadran abdomen, area troube (-)

Ekstremitas :
Superior

Inferior

Sianosis

-/-

-/-

Akral dingin

-/-

-/-

< 2

< 2

Bebas

Bebas

+/+

+/+

Cukup

Cukup

Capillary refill
Gerakan
Reflek fisiologis
Turgor kulit
Edema

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
28-12-2016 (Puskesmas Palukulon I)
Hematologi
Hemoglobin

: 3,2

gr/dl

Kesan : anemia
28-12-2016 (RSUD Dr. R. Soedjati)
Hematologi
Leukosit : 27.740 /L
Hitung Jenis
Eosinofil

:0

Basofil

:0

Batang

: 24

Segmen

: 48

Limfosit

: 23

Monosit

:5

Hemoglobin

: 2,5

gr/dl

Hematokrit

: 7,9

Trombosit

: 23

ribu/mm3

Kesan : leukositosis, anemia, trombositopenia, penurunan

hematokrit
Kimia Klinik
GDS

: 93 mg/dl

SGOT

: 7,9 U/L

SGPT

: 6,0 U/L

Kesan : dalam batas normal

30-12-2016 (RSUD Dr. R. Soedjati) post transfusi 2 kf


Hematologi
Hemoglobin

: 6,0 gr/dl

Kesan : anemia

28 Desember 2016 : Gambaran Darah Tepi (GDT)


Eritrosit
Anisositosis sedang (mikrosit, normosit, makrosit)
Poikilositosis sedang (ovalosit, tear drop cell, eliptosit, fragmentosit)
Sebaran sel eritrosit sangat renggang
Leukosit
Estimasi jumlah meningkat
Ditemukan Atypical Mononuclear Cell (AMC) 15% dengan rasio inti
sitoplasma besar, sitoplasma kebiruan bergranula, kromatin agak longgar, anak
inti tidak jelas, blast 3%
Trombosit
Estimasi jumlah menurun
Bentuk normal
Kesimpulan
Anemia makrositik
Leukositosis
AMC 15%, Blast 3%
Trombositopenia

Basitopenia dengan leukositosis


e/c DD

Anemia penyakit hepar kronik


Anemia pada gangguan fungsi tiroid
Infeksi (bakteri, virus)
Organomegali? Perdarahan?
Keganasan hematologi akut
SARAN

Pemeriksaan retikulosit
Pemeriksaan LED, CRP, LFT, RFT, fungsi tiroid
Pemeriksaan urin rutin, widal
Evaluasi Hb, Ht, AL, AT sesuai klinis pasien
Evaluasi ulang setelah terapi
Pemeriksaan BMP dan pengecatan sitokimia
29 Desember 2016 Pemeriksaan Feses
Warna

: coklat lembek

Kista

:-

Ankylostoma

:-

Trychomonas

:-

Sisa makanan

:+

Ascaris

:-

Oxyuris

:-

Lemak

:+

Lekosit

: 0-1

Erytrosit

: 0-1

Amoeba

:-

Lain-lain

: bakteri ++

E. DAFTAR MASALAH
- Lemas
- Panas (saat masuk RS suhu axiller : 39,1o C)
- Mudah lelah
- Perut semakin membesar
- Pusing
- Badan terasa pegal
- Konjungtiva anemis
- Bibir kering, pucat
- Laboratorium : anemia, leukositosis, trombositopenia
- Gambaran darah tepi : Anemia makrositik, leukositosis : AMC 15%,
-

Blast 3%, Trombositopenia, Basitopenia dengan leukositosis


Feses : sisa makanan (+), lemak (+), leukosit 0-1, eritrosit 0-1, bakteri ++

F. DIAGNOSA BANDING
- Anemia Gravis
- Observasi Febris
- Keganasan hematologi akut
G. DIAGNOSA KERJA
- Anemia Gravis
- Observasi Febris
H. USULAN PEMERIKSAAN PENUNJANG
- Pemeriksaan urin rutin
- Uji widal
- Pemeriksaan BMP
- Pengecatan sitokimia

I. PENATALAKSANAAN
- MEDIKAMENTOSA
o Infus RL 20 tpm
BB 40 kg
Kebutuhan cairan : 50 cc/kgBB/24 jam 2000 cc/24 jam
Dalam 24 jam 2000 cc / 24 = 83,33 cc/jam
Karena pasien lemah, maka diberi makrodrip 15 tetes
83,33 cc x 15 : 60 = 20,83 tpm atau 20 tpm
o Oksigenasi (nasal kanul 2 L/mnt)
o Transfusi PRC/ WB

Transfusi diberikan atas indikasi (Hb < 4 g/dL dengan dosis 2-3
mL/kg BB per satu kali pemberian disertai pemberian diuretik
furosemid).
Transfusi tetesan lambat untuk mencegah pembebanan yang
berlebihan pada jantung yang lemah
Lasix 20 mg post transfusi
o Injeksi Ceftriaxon 2 x 1 g (IV)
Dosis usia >12 th adalah 1 gr/hari
1
o Injeksi Methyl Prednisolon 2 x 2 amp
o Paracetamol tab 250 mg 3 x

3
4

tablet

Dosis paracetamol: 10 mg/kgBB/hari setiap 3-4x sehari bila suhu


> 38 0C
10 mg/kgBB/hari x 40 : 3 = 133,3 mg
o Inpepsa syr 3x1 cth
-

NON-MEDIKAMENTOSA
o Tirah baring
o Diet TKTP

J. INITIAL MONITORING
- Keadaan umum, keadaan pasien (pucat, lemah) dan asupan gizi
- Vital sign
- Monitoring hasil laboratorium darah lengkap (Hb, Ht, Trombosit,
-

Leukosit, Jenis Leukosit dan Eritrosit)


Monitoring respon terapi (demam, reaksi transfusi)

K. INITIAL EDUKASI
- Saat di rumah sakit :
o Menjelaskan kepada pasien mengenai penyakit yang dialami,
penyebab, dan penatalaksanaan
o Menjelaskan prognosis dan penyakit tersebut
o Orang tua diminta ikut mengawasi kondisi pasien, segera lapor
perawat apabila tetesan infuse macet atau habis dan tetesan cepat.
o Memberitahukan orang tua untuk mengawasi anak dari tanda
tanda syok berupa nafas cepat, nadi cepat, anak gelisah, anak
tampak lemas dan sulit dibangunkan, BAK berkurang, kaki dan
tangan menjadi dingin, kulit lembab.
o Memberitahukan orang tua untuk mengawasi anak dari tandatanda kejang.

o Bila anak tampak sesak segera laporkan perawat


o Perbanyak minum air
Di rumah :
o Jika anak panas, kompres air suhu kamar, beri obat penurun
panas. Jika panas tidak turun segera, segera bawa ke pelayanan
kesehatan terdekat.
o Makanan yang bergizi

L. PROGNOSIS
- Ad vitam
- Ad functionam
- Ad sanationam

Tanggal

: dubia
: dubia
: dubia

Tindakan

Info lain

Pasang infus RL
28/12/201
6

29/12/201
6

--

--

39,1
150
30
110/60

37,8
110
25
100/80

36,7
95
24
105/80

36,5
97
23
110/80

20 tpm
Infus pamol 500
mg selang-seling
Transfusi PRC 2kf
Monitor vital sign
Cek lab
Pengelolaan nutrisi
Infus RL 14 tpm
Monitor vital sign

Lemas, somnolen, pucat


BB : 40 kg
PB : 145 cm

panas (+), lemas, pucat, ma/mi


sedikit, apatis
BB : 40 kg
PB : 145 cm

Stabilisasi kondisi
30/12/201
6

31/12/201
6

36,5
94
22
110/78

36,8
100
23
112/80

37,4
100
25
100/80

37
97
24
110/80

37,2
93
23
100/76

37,0
94
24
110/70

pasien untuk
persiapan rujuk
Pengelolaan nutrisi
Infus RL 14 tpm
Monitor vital sign

Terapi lanjut

panas (-), ma/mi (+)


Aktif, CM
BB : 40 kg
PB : 145 cm

panas (-), ma/mi (+)


Aktif, CM
BB : 40 kg
PB : 145 cm

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Anemia adalah berkurangnya jumlah sel darah merah, hemoglobin, dan
volume packed red blood cells (hematokrit) hingga nilai di bawah normal. Secara
fungsional anemia didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa eritrosit sehingga
tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup
ke jaringan perifer .
Anemia gravis adalah anemia apabila konsentrasi Hb 7 g/dL selama 3
bulan berturut-turut atau lebih. Anemia gravis timbul akibat penghancuran sel darah
merah yang cepat dan hebat. Anemia gravis lebih sering dijumpai pada penderita
anak-anak. Anemia gravis dapat bersifat akut dan kronis. Anemia kronis dapat
disebabkan oleh anemia defisiensi besi (ADB), sickle cell anemia (SCA), talasemia,
spherocytosis, anemia aplastik dan leukemia. Anemia gravis kronis juga dapat
dijumpai pada infeksi kronis seperti tuberkulosis (TBC) atau infeksi parasit yang
lama, seperti malaria, cacing dan lainnya. Anemia gravis sering memberikan gejala
serebral seperti tampak bingung, kesadaran menurun sampai koma, serta gejalagejala gangguan jantung-paru.(1)
2.2 Etiologi
1. Kehilangan sel darah merah
a. Perdarahan
Perdarahan dapat diakibatkan berbagai penyebab diantaranya
adalah trauma, ulkus, keganasan, hemoroid, perdarahan pervaginam,
dan lain-lain.
b. Hemolisis yang berlebihan
Penghancuran sel darah merah dalam sirkulasi dikenal sebagai
hemolisis, terjadi jika gangguan pada sel darah merah itu sendiri
memperpendek siklus hidupnya (kelainan intrinsik) atau perubahan
lingkungan yang menyebabkan penghancuran sel darah merah
(kelainan ekstrinsik). Sel darah merah mengalami kelainan pada
keadaan :
- Hemoglobinopati atau hemoglobin abnormal yang diwariskan,
contohnya adalah pada penderita penyakit sel sabit (sickle cell
-

anemia)
Gangguan sintesis globin, contohnya pada penderita thalasemia

Kelainan membrane sel darah merah, contohnya pada sferositosis

herediter dan eliptositosis


Difisiensi enzim, seperti defisiensi glukosa 6-fosfat dehidrogenase

(G6PD) dan defisiensi piruvat kinase


2. Kekurangan zat gizi seperti Fe, asam folat, dan vitamin B12.
2.3 Klasifikasi(2)
1. Klasifikasi Morfologia.

Anemia hipokromik-mikrositer(MCV < 80 fl, MCH < 27 pg)

Anemia normokromik-normositer( MCV 80-95fl, MCH 27- 34pg).

Anemia makrositer ( MCV > 95 fl)

2. Klasifikasi Etiopatogenesis
A. Gangguan Produksi Eritrosit
1. Kekurangan bahan pembentuk darah
a. Anemia defisiensi besi
b. Anemia defisiensi B12 & asam folat
2. Gangguan Utilisasi Besi
a. Anemia akibat penyakit kronik
b. Anemia sideroblastik
3. Kerusakan sumsum tulang
a. Hipoplasia Anemia aplastik
b. Infiltrasi anemia mieloptisik
4. Gangguan eritropoetin
a. Anemia pada GGK
5. Disfungsi sumsum tulang
a. Anemia diseritropoetik
b. Anemia pada sindroma mielodisplastik
B. Perdarahan
a. Anemia pasca perdarahan akut
b. Anemia pasca perdarahan kronik
2. Klasifikasi Derajat Anemia
1.Ringan sekali : Hb : 10 g/dl- cut off point
2.Ringan : Hb : 8-9,9 g/dl
3.Sedang : Hb : 6-7,9 g/dl

4.Berat : Hb : <6 g/dl


2.4 Kriteria Diagnosis
Kriteria Anemia (WHO)

Laki-laki dewasa

Wanita dewasa tdk hamil : <12 g/dl

Wanita dewasa hamil

Kriteria Klinik : Hb < 10 g/dlHct < 30 %Eritrosit < 2,8 juta/mm

: <13 g/dl
: <11 g/dl

Pravalensi anemia gravis tertinggi terdapat pada ibu hamil yaitu sebanyak 5070% dan yang paling rendah yaitu pada laki-laki dewasa sebanyak 20-30%. Anemia
lebih sering ditemukan pada masa kehamilan karena selama masa kehamilan
keperluan zat-zat gizi bertambah dan adanya perubahan-perubahan dalam darah dan
sumsum tulang (Price et al, 1995 dalam Wulansari, 2006).
Angka pravalensi anemia di dunia sangat bervariasi tergantung pada geografi.
Salah satu faktor determinan utama adalah taraf sosial ekonomi masyarakat.
Sedangkan prevalensi anemia gravis sendiri menurut WHO mencapai angka lebih
dari 40% dalam satu populasi (WHO, 2006).
A. Fisiologi Eritrosit
Eritrosit (sel darah merah) dihasilkan pertama kali di dalam kantong kuning
saat embrio pada minggu-minggu pertama. Proses pembentukan eritrosit disebut
eritropoesis. Setelah beberapa bulan kemudian, eritrosit terbentuk di dalam hati,
limfa, dan kelenjar sumsum tulang. Produksi eritrosit ini dirangsang oleh hormon
eritropoietin. Setelah dewasa eritrosit dibentuk di sumsum tulang membranosa.
Semakin bertambah usia seseorang, maka produktivitas sumsum tulang semakin
turun (Hoffbrand, 2005).
Pembentukan sel darah merah dimulai dari pluripotensial stem cell (PPSC) di
dalam sumsum tulang yang berdiferensiasi dan berkembang menjadi unipotensial
stem sel. Eritrosit dibentuk melalui suatu proses pematangan yang terdiri dari
beberapa tahap yaitu pembelahan dan perubahan-perubahan morfologi sel berinti
mulai dari rubriblas, prorubrisit, rubrisit, metarubrisit. Setelah itu dilanjutkan dengan
pembentukan eritrosit polikrom tidak berinti yang disebut retikulosit dan akhirnya
menjadi eritrosit (Jain, 1993 dalam Nuraeni, 2006).

Menurut Hoffbrand et al (2005), pronormoblas adalah sel besar dengan


sitoplasma biru tua, dengan inti tengah dan nukleoli, serta kromatin yang sedikit
menggumpal. Pronormoblas menyebabkan terbentuknya suatu rangkaian normoblas
yang makin kecil melalui sejumlah pembelahan sel.
Normoblas mengandung hemoglobin yang makin banyak (yang berwarna
merah muda) dalam sitoplasma. Warna sitoplasma makin biru pucat sejalan dengan
hilang nya RNA dan appartus yang mensintesis protein, sedangkan khromatin inti
menjadi makin pekat. Normoblas (sel darah merah berinti) tampak dalam darah
apabila eritropoiesis terjadi diluar sumsum tulang (eritropoiesis ekstramedular) dan
juga terdapat pada beberapa penyakit sumsum tulang (Hoffbran et al, 2005).
Prorubrisit disebut juga normoblas basofilik atau eritroblas basofilik. Sel ini
memiliki khromatin inti yang tampak kasar dan inti menghilang atau tidak jelas.
Sitoplasma sudah mulai mengandung hemoglobin sehingga warna sitoplasma
menjadi kemerah-merahan. Ukuran sel lebih kecil dibandingkan dengan rubriblas.
Jumlah prorubrisit dalam keadaan normal sekitar 1-4%. Sel ini dapat diwarnai
dengan warna basa dan sel ini akan mengumpulkan sedikit sekali hemoglobin.
Rubrisit disebut juga normoblas polikromatik. Inti sel ini mengandung
khromatin yang kasar dan menebal secara tidak teratur. Pada sel ini sudah tidak
terdapat lagi anak inti. Inti sel lebih kecil dibandingkan dengan prorubrisit, namun
sitoplasma lebih banyak mengandung warna biru (kandugan asam ribonukleat) dan
merah (kandungan hemoglobin), warna merah lebih dominan, sehingga lebih banyak
mengandung hemoglobin. Metarubrisit disebut juga normoblas ortokromatik atau
eritroblas ortokromatik. Inti sel ini kecil mengandung lebih banyak hemoglobin
sehingga warna nya merah, meskipun masih kebiruan. Dalam keadaan normal
jumlahnya sekitar 5-10% (Marshall, 2006).
Pada proses pematangan eritrosit, setelah pembentukan hemoglobin dan
pelepasan inti sel masih diperlukan beberapa hari lagi untuk melepaskan sisa-sisa
RNA. Sebagian proses ini berlangsung di dalam sumsum tulang dan sebagian lagi di
dalam darah tepi. Pada saat proses pematangan akhir, eritrosit selain mengandung
sisa-sisa DNA juga mengandung berbagai fragmen mitokondria dan organel lainnya.
Pada stadium ini eritrosit disebut retikulosit atau eritrosit polikrom, dimana
konsentrasi hemoglobin sekitar 34%, sedangkan nukleus memadat dan ukurannya
mengecil (Hoffbrand et al, 2005).

Proeritroblas

Basofil eritroblas

Polikromatofil sel darah merah

Retikulosit

Eritrosit
Diagram 1. Tahap pembentukan sel darah merah (Guyton, 1997 dalam Nuraeni, 2006)

Sel darah merah (SDM) atau eritrosit berbentuk cakram konkaf tidak berinti yang
kira-kira berdiameter 8 m, total bagian tepi 2 m dan ketebalannya berkurang
dibagian tengah menjadi hanya 1 mm atau kurang. Komponen utama SDM adalah
hemoglobin dan protein (Hb), yang mengangkut sebagian besar oksigen (O 2) dan
sebagian kecil fraksi karbon dioksida (CO2) dan mempertahankan pH normal melalui
serangkaian dapar intraselular (Price, 2006).
B. Patofisiologi Anemia Gravis
a) Sickle cell anemia
Sickle cell anemia adalah gangguan hemolitik darah yang bersifat resesif autosomal
dan kronik dengan tekanan oksigen darah rendah sehingga mengakibatkan eritrosit

berbentuk bulan sabit (Miller, 1984 dalam Amri, 2006). Sickle cell anemia ditandai
dengan adanya hemoglobin abnormal yaitu hemoglobin S. Dalam tereduksi
hemoglobin S mempunyai kelarutan dan bentuk molekul yang khas yang
menyebabkan perubahan bentuk eritrosit seperti bulan sabit. Sel yang berubah
bentuk ini juga dengan cepat dihancurkan oleh sel-sel fagosit sehingga dalam jangka
panjang terjadilah anemia. (Rask, 2004).
b) Thalassemia Mayor
Thalassemia merupakan penyakit herediter yang disebabkan menurunnya
kecepatan sintesis rantai alfa atau beta pada hemoglobin. Hb penderita dipertahankan
antara 8 g/dl sampai 9,5 g/dl tidak melebihi 15 g/dl. Dengan kedaan ini akan
memberikan supresi sumsum tulang yang adekuat, menurunkan tingkat akumulasi
besi, dan dapat mempertahankan pertumbuhan dan perkembangan penderita.
(Modell & Darlison, 2008)
Pada beta thalasemia mayor terdapat defisien parsial atau total sintesis rantai
betha molekul hemoglobin. Sebagai akibatnya terdapat kompensasi berupa
peningkatanan sintesis rantai alpha, sementara produksi rantai gamma tetap aktif
sehingga akan menghasilkan pembentukan hemoglobin yang tidak sempurna (cacat).
Rantai polipeptida yang tidak seimbang ini sangat tidak stabil dan ketika terurai akan
merusak sel darah merah (hemolisis) sehingga terjadi anemia gravis. Untuk
mengimbangi proses hemolisis, sumsum tulang akan membentuk eritrosit dengan
jumlah yang sangat berlimpah kecuali jika fungsi sumsum tulang disupresi melalui
terapi transfusi (Hockenberry & Wilson, 2009).
c) Penderita Kanker
Terjadinya anemia pada penderita kanker (tumor ganas), dapat disebabkan
karena aktivitas sistem imun tubuh dan sistem inflamasi yang ditandai dengan
peningkatan beberapa petanda sistem imun seperti interferon, Tumor Necrosis
Factor (TNF) dan interleukin yang semuanya disebut sitokin, dan dapat juga
disebabkan oleh kanker sendiri. (Gillespie, 2003)
d) Anemia Defisiensi Besi

Bagan. Gangguan keseimbangan rantai globin

Anemia defisiensi besi terjadi bila jumlah zat besi yang diabsorpsi tidak

cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh atau terjadinya kehilangan zat besi yang
berlebihan dari tubuh. Hal ini bisa diakibatkan oleh kurangnya pemasukan zat besi,

berkurangnya sediaan zat dalam makanan, meningkatnya kebutuhan akan zat besi
atau kehilangan darah yang kronis (Wijayanti, 2005).
Defisiensi zat besi terjadi jika kecepatan kehilangan atau penggunaan elemen
tersebut melampaui kecepatan asimilasinya. Walaupun pada kebanyakan negara
berkembang anemia akibat kurangnya zat besi dalam diet dapat terjadi, tetapi
ditemukan penyebab paling sering kejadian anemia pada negara berkembang adalah
akibat kehilangan besi dari tubuh seringnya diakibatkan kehilangan darah melalui
saluran cerna atau saluran kemih (McPhee, 2006).
e) Leukemia
Leukemia adalah penyakit akibat terjadinya proliferasi sel leukosit yang
abnormal dan ganas serta sering disertai adanya leukosit jumlah berlebihan yang
dapat menyebabkan terjadinya anemia dan trombositopenia (Hidayat, 2006).
Leukemia adalah keganasan hematologik akibat proses neoplastik yang disertai
gangguan differensiasi (maturation arrest) pada berbagai tingkatan sel induk
hemopoetik sehingga terjadi ekspansif progresif dari kelompok sel ganas tersebut
dalam sumsum tulang. Pada leukemia terjadi proliferasi dari salah satu sel yang
memproduksi sel darah yang ganas. Sel yang ganas tersebut menginfiltrasi sumsum
tulang dengan menyebabkan kegagalan fungsi tulang normal dalam proses
hematopoetik normal sehingga menimbulkan gejala anemia gravis. (Bakti & Made,
2006)
f) Infeksi Cacing
Infeksi cacing tambang khususnya Necator americanus dan Ancylostoma
duodenale adalah penyebab tersering anemia. Habitat cacing ini berada dalam usus
manusia. Selain mengisap darah, cacing tambang juga menyebabkan perdarahan
pada luka tempat bekas tempat isapan. Infeksi oleh cacing tambang menyebabkan
kehilangan darah secara perlahan-lahan sehingga penderita mengalami anemia
(Gandahasuda, 2000).
Kehilangan zat besi secara patologis paling sering terjadi akibat perdarahan
saluran cerna. Prosesnya sering tiba-tiba. Perdarahan akibat cacing tambang dan
Schistosoma merupakan penyebab tertinggi terjadinya perdarahan saluran cerna dan
seterusnya mengakibatkan anemia defisiensi besi (Wijaya, 2007).
g) Sferositosis herediter (SH)
Sferositosis herediter (SH) merupakan salah satu jenis anemia hemolitik
turunan yang disebabkan oleh kerusakan pada membran eritrosit. Kerusakan terjadi

sebagai akibat defek molekular pada satu atau lebih protein sitoskleletal sel darah
merah yang terdiri dari spektrin, ankirin, band 3 protein, dan protein. Defek pada
beberapa protein skeletal membran yang berbeda dapat menyebabkan sferositosis
herediter; semua ini secara primer atau sekunder akan menimbulkan defisiensi
spektrin yaitu protein struktur (meshwork) yang berkaitan dengan membran internal
sel darah merah. Sel darah merah yang kurang mengandung spektrin memiliki
membran yang tidak stabil dan mudah terfragmentasi secara spontan. Berkurangnya
luas permukaan yang ditimbulkan menyebabkan sel darah merah tersebut berbentuk
sferoid; sferosit semacam ini memiliki fleksibilitas membran yang berkurang dan
terperangkap serta dihancurkan dalam korda limpa (Mitchell et al, 2008).
h) Anemia Aplastik
Anemia aplastik adalah suatu kegagalan anatomi dan fisiologi dari sumsum
tulang yang mengarah pada suatu penurunan nyata atau tidak adanya unsur
pembentuk darah dalam sumsum. Hal ini khas dengan penurunan produksi eritrosit
akibat pergantian dari unsur produksi eritrosit dalam sumsum oleh jaringan lemak
hiposeluler (Young, 2006). Penurunan sel darah merah (hemoglobin) menyebabkan
penurunan jumlah oksigen yang dikirim ke jaringan, seningga menimbulkan gejalagejala anemia (Chan et al, 2008).
Patofisiologi dari anemia aplastik biasanya disebabkan oleh dua hal yaitu
kerusakan pada sel induk pluripoten yaitu sel yang mampu berproliferasi dan
berdiferensiasi menjadi sel-sel darah yang terletak di sumsum tulang dan karena
kerusakan pada microenvironment. Gangguan pada sel induk pluripoten ini menjadi
penyebab utama terjadinya anemia aplastik. Sel induk pluripoten yang mengalami
gangguan gagal membentuk atau berkembang menjadi sel-sel darah yang baru.
Umumnya hal ini dikarenakan kurangnya jumlah sel induk pluripoten ataupun
karena fungsinya yang menurun (Segel et al, 2011).
C. GAMBARAN KLINIS
Adaptasi utama terhadap anemia terjadi dalam sistem kardiovaskular (dengan
peningkatan volume sekuncup dan takikardi) dan pada kurva disosiasi O 2
hemoglobin. Pada beberapa penderita anemia gravis, mungkin tidak terdapat gejala
atau tanda, sedangkan pasien lain yang menderita anemia ringan mungkin
mengalami kelemahan berat (Kasper, 2005).
a) Gejala

Jika pasien memang bergejala, biasanya gejalanya adalah nafas pendek,


khususnya pada saat olahraga, kelemahan, letargi, palpitasi dan sakit kepala. Pada
pasien berusia tua, mungkin ditemukan gejala gagal jantung, angina pektoris,
kaludikasio intermiten, atau kebingunagan (konfusi). Gangguan penglihatan akibat
pendarahan retina dapat mempersulit anemia yang sangat berat, khususnya yang
awitannya cepat. (McPhee, 2006)

b) Tanda
Tanda-tanda dapat dibedakan menjadi tanda umum dan khusus. Tanda
umum meliputi kepucatan membran mukosa yang timbul bila kadar hemoglobin
kurang dari 9-10 g/dL. Sebaliknya, warna kulit bukan tanda yang dapat diandalkan.
Sirkulasi yang hiperdinamik dapat menunjukkan takikardia, nadi kuat, kardiomegali,
dan bising jantung aliran sistolik khususnya pada apeks. Gambaran gagal jantung
kongesti mungkin ditemukan, khususnya pada orang tua. Perdarahan retina jarang
ditemukan. Tanda spesifik dikaitkan dengan jenis anemia tertentu, misalnya
koilonikia dengan defisiensi besi, ikterus dengan anemia hemolitik atau
megaloblastik, ulkus tungkai dengan anemia sel sabit dan anemia hemolitik lainnya,
deformitas tulang dengan talasemia mayor dan anemia hemolitik kongenital lain
yang berat (Lissaeur, 2007).
c) Gambar Darah Tepi

Sickle cell anemia

Gambar 1. Bentuk sel sabit eritrosit yang abnormal (Rask, 2004).

Malaria

Gambar 2. Eritrosit penderita malaria, menunjukkan eritrosit yang diinvasi P.


falciparum (Pusarawati & Tantanular, 2005)
1.A

Gambar skematik P. Falciparum bentuk cincin (ring

forms),double dots dan marginal (applique) (Jeffrey & Leach, 1975).


1.B

Ring forms

1.C

Double dots dan double infection

1.D

Multiple infection

Thalassemia Mayor

Gambar 3. Abnormalitas (bizzare) sel darah merah, poikilositosis (bentuk eritrosit


bermacam-macam) berat, hipokromi (eritosit tampak pucat), mikrositosis (ukuran
eritrosit lebih kecil), sel target, basofil Stippling dan eritrosit berinti. (Hoffbrand et
al, 2005)

Anemia defisiensi besi

Gambar 4. Anisokromasia. Adanya peningkatan variabilitas warna dari hipokrom


dan normokrom dan terdapat poikilosit yang memanjang (Wickramasinghe & Jones,
1992 dalam Renova, 2003)

Leukemia

Gambar 5. Leukemia linfositik akut (LLA). Jumlah limfosit dan neutrofil yang lebih
banyak dari jumlah normal (Simamora, 2009)

Sferositosis Herediter

Gambar 6. Eritrosit berbentuk sferoid. Sperosit adalah eritrosit yang berbentuk lebih
bulat, lebih kecil dan lebih tebal dari eritrosit normal (Sari & Ismail, 2009).
D. PENATALAKSANAAN MEDIS
Penatalaksanaan medis anemia gravis ditentukan berdasarkan penyakit dasar yang
menyebabkan anemia tersebut. Berikut beberapa pengobatan anemia dengan
berbagai indikasi.
1. Farmakologi
a) Erythropoetin-Stimulating Agents (ESAs)
b) Epoetin Alfa
c) Obat untuk Mengatasi Pendarahan

FRESH FROZEN PLASMA (FFP)

CRYOPRECIPITATE

d) Garam Besi

Fereous Sulfate

Carbonyl Iron

Iron Dextran Complex

Ferric Carboxymaltose

2. Transfusi
Transfusi harus dilakukan pada pasien yang secara aktif mengalami pendarahan dan
untuk pasien dengan anemia gravis. Transfusi adalah paliatif dan tidak boleh
digunakan sebagai pengganti untuk terapi tertentu. Pada penyakit kronis yang

berhubungan dengan anemia gravis, erythropoietin dapat membantu dalam


mencegah atau mengurangi transfusi (Anand et al, 2004).
3. Transplantasi Sumsum Tulang dan Stem Sel
Kedua metode ini telah dipakai oleh pasien dengan leukimia, lymphoma, Hodgkin
disease, multiple myeloma, myelofibrosis dan penyakit aplastik. Harapan hidup pada
pasien ini meningkat, dan kelainan hematologi membaik. Alogenik transplantasi
sumsum tulang berhasil memperbaiki ekspresi fenotipik dari penyakit sel sabit dan
talasemia dan meningkatkan harapan hidup pada pasien yang berhasil transplantasi
(Maakaron, 2013).
4. Terapi Nutrisi dan Pertimbangan Pola Makanan
a. Protein
Protein merupakan suatu zat makanan yang amat penting bagi tubuh karena zat ini di
samping berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh juga berfungsi sebagai zat
pembangun dan pengatur. Asupan protein yang adekuat sangat penting untuk
mengatur integritas, fungsi, dan kesehatan manusia dengan menyediakan asam
amino sebagai precursor molekul esensial yang merupakan komponen dari semua
sel dalam tubuh. Protein berperan penting dalam transportasi zat besi di dalam tubuh.
Oleh karena itu, kurangnya asupan protein akan mengakibatkan transportasi zat besi
terhambat sehingga akan terjadi defisiensi besi. Di samping itu makanan yang tinggi
protein terutama yang berasal dari hewani banyak mengandung zat besi. (Gallagher
ML, 2008)
b. Vitamin A
Suplementasi vitamin A dapat membantu mobilisasi zat besi dari tempat
penyimpanan untuk proses eritropoesis di mana disebutkan suplementasi vitamin A
sebanyak 200.000 UI dan 60 mg ferrous sulfate selama 12 minggu dapat
meningkatkan rata rata kadar hemoglobin sebanyak 7 g/L dan menurunkan
prevalensi anemia dari 54% menjadi 38%. (Zimmermann MB et.al, 2011)
Vitamin A merupakan vitamin larut lemak yang dapat membantu absorpsi dan
mobilisasi zat besi untuk pembentukan eritrosit. Rendahnya status vitamin A akan
membuat simpanan besi tidak dapat dimanfaatkan untuk proses eritropoesis. Selain
itu, Vitamin A dan -karoten akan membentuk suatu kompeks dengan besi untuk
membuat besi tetap larut dalam lumen usus sehingga absorbsi besi dapat terbantu.
Apabila asupan vitamin A diberikan dalam jumlah cukup, akan terjadi penurunan
derajat infeksi yang selanjutnya akan membuat sintesis RBP dan transferin kembali

normal. Kondisi seperti ini mengakibatkan besi yang terjebak di tempat


penyimpanan dapat dimobilisasi untuk proses eritropoesis (Subagio HW, 2008).
Sumber vitamin A dalam makanan sebagian besar dari sumber-sumber makanan
nabati dan hewani, misalnya sumber hewani diantaranya susu dan produk susu, telur
serta ikan dll, sumber makanan nebati seperti papaya, mangga, serta jeruk dan
sayuran seperti wortel. (Michael J et al, 2008)
c. Vitamin C
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa ada keterkaitan antara asupan vitamin
C dengan kejadian anemia di mana korelasinya bersifat positif yang menunjukkan
semakin tinggi asupan vitamin C maka kadar hemoglobin akan semakin tinggi pula
yang berarti kejadian anemia semakin rendah. Hal ini membuktikan bahwa vitamin
C dapat meningkatkan absorpsi zat besi di dalam tubuh. (Agus, 2004)
Vitamin C dapat menghambat pembentukan hemosiderin yang sukar dimobilisasi
untuk membebaskan besi jika diperlukan. Vitamin C juga memiliki peran dalam
pemindahan besi dari transferin di dalam plasma ke feritin hati. (Gallagher, 2008)
Vitamin C yang dikonsumsi untuk dibutuhkan untuk membentuk sel darah merah
yang dapat mencegah kelelahan dan anemia misalnya buah sitrus, jeruk, lemon,
blackcurrant buah-buahan lain dan sayuran hijau. (Marshall, 2004)
d. Zat Besi
Besi merupakan mikroelemen yang esensial bagi tubuh, sebagai faktor utama
pembentuk hemoglobin (Almatsier, 2006). Jumlah besi yang disimpan dalam tubuh
manusia adalah sekitar 4 g. Terdapat empat bentuk zat besi dalam tubuh. Sebagian
besar zat besi yaitu kira-kira 2/3 dari total besi tubuh terikat dalam hemoglobin yang
berfungsi khusus, yaitu mengangkut oksigen untuk keperluan metabolisme ke
jaringan-jaringan tubuh (Provan, 2004).
Zat besi (Fe) terdapat dalam bahan makanan hewani, kacang-kacangan, dan sayuran
berwarna hijau tua. Zat besi terdapat dalam makanan dalam bentuk ferri hidroksida,
ferri-protein dan kompleks heme-protein. Secara umumnya, daging terutamanya hati
adalah sumber zat besi yang lebih baik dibanding sayur-sayuran, telur dan lainnya
(Mozzafari et al, 2009).
e. Asam Folat
Asam folat merupakan senyawa berwarna kuning, stabil dan larut dalam air yang
terdiri dari bagian-bagian pteridin, asam para-aminobenzoat dan asam glutamat
(Wardhini & Rosmiati, 2003). Sumber makanan asam folat banyak terdapat pada

hewan, buah-buahan, gandum, dan sayur-sayuran terutama sayur-sayuran berwarna


hijau.
Asam folat bersama vitamin B 12 berfungsi dalam pembentukan DNA inti sel dan
penting dalam pembentukan myelin yang berperan penting dalam maturasi inti sel
dalam sintesis DNA sel-sel eritroblast. Akibat dari sefisiensi asam folat adalah
gangguan sintesis DNA pada inti eritroblas sehingga maturasi inti menjadi lebih
lambat, akibatnya kromatin lebih longgar dan sel menjadi lebih besar (megaloblast)
(Underwood, 2003). Kebutuhan harian asam folat adalah 25-200 mcg (Matizih,
2007).
6) Vitamin B12
Vitamin B12 termasuk vitamin yang larut dalam air, merupakan bagian terbesar dari
vitamin B komplek, dengan berat molekul lebih dari 1000. Bentuk umum dari
vitamin B12 adalah cyanocobalamin (CN-Cbl), keberadaannya dalam tubuh sangat
sedikit dan jumlahnya tidak tentu. Selain cyanocobalamin di alam ada 2 bentuk lain
dari vitamin B12; yaitu hydroxycobalamin dan aquacobalamin, dimana hydroxyl dan
air masing-masing terikat pada cobal (Robert & Brown, 2003).
Di dalam tubuh vitamin B12 berperan sebagai kofaktor untuk dua reaksi enzim.
Pertama, vitamin B12 berperan sebagai kofaktor untuk enzim L-methilmalonyl-CoA
mutase. Enzim L-methilmalonyl-CoA mutase membutuhkan adenosylcobalamin
untuk mengubah L-methylmalonyl-CoA menjadi succinyl-CoA. Succinyl CoA
diperlukan untuk sintesis hemoglobin yang merupakan pigmen pada sel darah merah
sebagai pembawa oksigen keseluruh jaringan tubuh. Bila terjadi defisiensi vitamin
B12, L-methylmalonyl-CoA tidak dapat dirubah menjadi succinyl-CoA sehingga
terakumulasi dan akhirnya dipecah menjadi methylmalonic acid oleh suatu enzim
hydrolase (Gibson, 2005).
Salah satu fungsi utama vitamin B12 adalah dalam pembentukan sel-sel darah
merah. Vitamin B12 penting untuk sistesis DNA dengan cepat selama pembelahan
sel pada jaringan dimana pembelahan sel berlangsung cepat, terutama jaringan sumsum tulang yang bertanggungjawab untuk pembentukan sel darah merah. Terjadi
defisiensi vitamin B12, pembentukan DNA berkurang dan sel-sel darah merah tidak
normal, disebut dengan kejadian megaloblas yang akhirnya menjadi anemia
(Carmel, 2006).
Vitamin B12 dibutuhkan dalam jumlah yang relatif kecil. Kecukupan vitamin B12
pada anak dibawah usia 4 tahun < 1 g/hari, pada usia 4 12 tahun sekitar 1 1,8

g/hari dan bagi usia 13 tahun sampai dewasa 2,4 g/hari. Sedangkan ibu hamil dan
menyusui memerlukan tambahan masing-masing 0,2 g/hari dan 0,4 g/hari.
Vitamin B12 banyak ditemukan dalam pangan hewani, seperti daging, susu, telur,
ikan, kerang dan lain-lain (Setiawan & Rahayuningsih, 2004).
5. Pembatasan Aktivitas
Aktivitas pasien dengan anemia berat harus dibatasi sampai sebagian anemia dapat
disembuhkan. Transfusi sering dapat dihindari dengan bed rest, terapi dapat
dilakukan untuk pasien dengan anemia yang dapat disembuhkan (misalnya anemia
pernisiosa).
E. KOMPLIKASI
1. Gangguan Perkembangan Fisik dan Mental
Pada anak-anak, anemia gravis akibat defisiensi besi dapat berkomplikasi
kepada gangguan dalam perkembangan fisik dan mental. Ada bukti menyatakan
bahwa anemia defisiensi besi dapat menyebabkan gangguan pada perilaku dan fungsi
intelektual anak (Lissauer, 2007). Anemia gravis akibat defisiensi besi menyebabkan
gangguan perkembangan neurologik pada bayi dan menurunkan prestasi belajar pada
anak usia sekolah karena zat besi telah dibuktikan berperan penting dalam fungsi
otak dan penelitian pada hewan coba menunjukkan berlakunya perubahan perilaku
dan fungsi neurotransmitter pada hewan coba yang kekurangan zat besi. Dari
beberapa penelitian yang dilakukan di Chile, Indonesia, India dan USA didapatkan
bahwa anemia defisiensi besi secara konklusifnya mengganggu perkembangan
psikomotor dan fungsi kognitif pada anak usia sekolah. Anak-anak yang diberikan
suplementasi besi merasa kurang lelah dan kemampuan mereka untuk berkonsentrasi
semasa pembelajaran juga meningkat.Nilai IQ (Intelligent Quotient) pada anak yang
mengalami kurang zat besi ditemukan dengan jelas lebih rendah berbanding anak
yang tidak mengalami anemia defisiensi besi (WHO, 2001).
2. Penyakit Kardiovaskular
Pada keadaan anemia dengan kadar hemoglobin < 7g/dL mengakibatkan
kapasitas pengangkutan oksigen oleh sel darah merah menurun. Suatu proses
pengantaran oksigen ke organ ataupun jaringan dipengaruhi oleh tiga faktor di
antaranya faktor hemodinamik yaitu cardiac output dan distribusinya, kemampuan
pengangkutan oksigen di darah yaitu konsentrasi hemoglobin, dan oxygen extraction
yaitu perbedaan saturasi oksigen antara darah arteri dan vena (Dyer & Fifer, 2003).

3. Hipoksia Anemik
Tujuan dasar sistem kardiorespirasi adalah untuk mengirim oksigen (dan
substrat) ke sel-sel dan membuang karbon dioksida (dan hasil metabolik lain) dari
sel-sel. Pertahanan yang sesuai dari fungsi ini tergantung pada sistem respirasi dan
kardiovaskuler yang intak dan suplai udara yang diinspirasi yang mengandung
oksigen adekuat. Perubahan teganagan oksigen dan karbon diaoksida serta
perubahan konsentrasi intraeritrosit dari komponen fosfat organik, terutama asam
2,3-bifosfogliserat, menyebabkan pergeseran kurva disosiasi oksigen. Bila hasil
hipoksi sebagai akibat gagal pernafasan, PaCO2 biasanya meningkat dan kurva
disosiasi bergeser kekanan. Dalam kondisi ini, persentase saturasi hemoglobin dalam
darah arteri pada kadar penurunan tegangan oksigen alveolar (Pa CO2) yang diberikan.
(Baliwati, 2004)
E. PROGNOSIS
Biasanya,

prognosis

tergantung

pada

faktor

penyebab

anemia.

Bagaimanapun, keparahan anemia, etiologi, dan kecepatannya menjadi parah


memainkan peranan penting dalam menentukan prognosis. Demikian pula, umur
pasien dan faktor penyerta lainnya.

Anemia akibat pendarahan dari vasises esophagus

Sekitar 30% pasien dengan sirosis meninggal akibat pendarahan visceral. Pasien
dengan penyakit hati kelas Child C memiliki tingkat kematian 50%. Tingkat
perdarahan ulang pada pasien yang diobati secara medis adalah lebih dari 70%.
(Gultom, 2003)

Anemia akibat Ruptur Aorta

Prognosis dari ruptur traumatik sangat buruk, dengan kira-kira tingkat kematian
prehospital 80%. Jika tidak terobati, sebagian besar pasien meninggal dalam 2
minggu. Ruptur anuerisma nontraumatik juga memiliki prognosis yang buruk dan
berakibat fatal jika tidak diobati. Tindakan bedah yang segara pun masih memiliki
tingakt kematian tinggi, seringkali lebih dari 80%. (Maakaron, 2013)

Sickle cell anemia

Pasien dengan homozigot (Hgb SS) memiliki prognosis yang buruk, karena mereka
cenderung sering mengalami keadaan kritis. Pasien dengan heterozigot (Hgb AS)

memiliki sifat-sifat sel sabit, dan meraka hanya mengalami keadaan kritis pada
kondisi yang ekstrim. (Young et al, 2008)

Thalasemia

Pasien dengan homozigot thalasemia beta (Cooley anemia atau talasemia mayor)
memiliki prognosis yang lebih buruk dari pasien dengan thalasemia lainnya
(thalasemia intermediet dan thalasemia minor). Beberapa tahun terakhir telah
ditemukan kemajuan dalam pengobatan thalassemia, terutama dengan terapi khelasi
zat besi, yang memungkinkan pasien thalassemia untuk hidup sehat sampai dewasa.
(Stefano et al, 2004)

Hiperplasia

Diantara pasien dengan hiperplasia sumsum tulang dan penurunan


produksi RBCs, satu kelompok memiliki prognosis yang baik dan yang lainnya tidak
merespon, refraktori terhadap terapi, dan relatif memiliki prognosis buruk. Termasuk
pasien dengan kerusakan relatif sumsum tulang akibat defisiensi nutrisi, pada pasien
dengan terapi dengan vitamin B12, asam folat atau zat besi mengarah pada
penyembuhan anemia jika etiologi yang tepat ditetapkan. Obat-obatan bekerja
sebagai antagonis antifolic atau inhibitor sintesis DNA dapat menimbulkan efek yang
sama.
Kelompok kedua meliputi pasien dengan hiperplasia idiopati yang dapat
merespon terapi pirydoxine sebagian dalam dosis farmakologi namun lebih sering
tidak merespon. Pasien ini memiliki sideroblas lingkaran di sumsum tulang,
mengindikasikan penggunaan besi yang tidak tepat di mitokondria untuk sintesis
heme (Pignatti, 2004).

Anemia aplastik

Kesempatan bertahan buruk pada pasien dengan idiosyncratic aplasia


karena chloramphenicol dan virus hepatitis, dan akan membaik ketika kemungkinan
etiologi adalah hemoglobinuria nokturnal paroksismal atau anti-insektisida.
Prognosis untuk apalasia idiopati berada di 2 ekstrim, tanpa pengobatan tingkat
kematian sekitar 60-70% setelah 2 tahun diagnosis. Tingkat kematian untuk anemia
aplastik berat selama 2 tahun adalah 70% tanpa tranplantasi sumsum tulang atau
respon terhadap terapi imunosupresif (Young, 2006).

Sferosidosis Herediter

Setelah splenektomi, kelangsungan hidup sel darah merah meningkat


drastis, memungkinkan pasien dengan sferosidosis herediter untuk mempertahankan
tingkat hemoglobin normal (Perrotta & Gallagher, 2008).

DAFTAR PUSTAKA
Achadi, Endang L., 2008. Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: PT. Rajagrafindo
Persada.
Adebisi OY, Strayhorn G. Anemia in pregnancy and race in the United States: blacks
at risk. Fam Med. Oct 2005;37(9):655-62.
Agus ZAN. Pengaruh Vitamin C Terhadap Absorpsi Zat Besi pada Ibu Hamil
Penderita Anemia. In : MEDIKA Jurnal Kedokteran dan Farmasi. Vol.
XXX; 2004.p. 496 499.
Almatsier S., 2006. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.p.75, 185-188, 249-254.
Anand I, McMurray JJV, Whitmore J, et al., 2004. Anemia and its relationship to
clinical outcome in heart failure. Circulation, 110, pp.149154.
Baliwati, Y.F., dkk. 2004. Pengantar Pangan dan Gizi. Penebar Swadaya: Jakarta.
Baradero M. 2008. Klien Gangguan Kardiovaskular: Seri Asuhan Keperawatan.
Jakarta: EGC
Borgna-Pignatti C, Rugolotto S, De Stefano P, et al. Survival and complications in
patients with thalassemia major treated with transfusion and deferoxamine.
Haematologica. Oct 2004;89(10):1187-93.
Bridges KR, Pearson HA., 2008. Anemias and other red cell disorders. New York:
Mc Graw-Hill
Carmel R. 2006. Cobalamin (Vitamin B12). Di dalam: Shils ME, Shike M, Ross AC,
Caballero B, Cousins RJ, editor. Modern Nutrition in Health and Disease.
Ed ke-10. Baltimore. Lippincott Williams and Wilkins.
Casale M, Perrotta S. Splenectomy for hereditary spherocytosis: complete, partial or
not at all?. Expert Rev Hematol. Dec 2011;4(6):627-35.
Dhar R, Zazulia AR, Videen TO, et al. Red blood cell transfusion increases cerebral
oxygen delivery in anemic patients with subarachnoid hemorrhage. Stroke.
Sep 2009;40(9):3039-44.
Fleischman G. 2006. Healthcare solution with acupuncture. Bloomington: iUniverse
Gallagher ML. 2008. The Nutrients and Their Metabolism. In : Mahan LK, EscottStump S. Krauses Food, Nutrition, and Diet Therapy. 12th edition.
Philadelphia: Saunders.
Ganong W. F. 2003. Buku ajar Fisiologi kedokteran. Bab 27 Sirkulasi Cairan Tubuh
hal. 513-515 Edisi 20. EGC : Jakarta
Gibson. 2005. Principles of Nutritional Assessment. New York. Oxford University
Press.
Grace RF, Mednick RE, Neufeld EJ. Compliance with immunizations in
splenectomized individuals with hereditary spherocytosis. Pediatry Blood
Cancer. Jul 2009;52(7):865-7.
Harrison. 2004. Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam Ed. 13 Vol.4.
Jakarta: EGC
Hoffbrand. 2005. Kapita Selekta Hematologi. Jakarta: EGC.
Hung M, Besser M, Sharples LD, Nair SK, Klein AA. The prevalence and
association with transfusion, intensive care unit stay and mortality of preoperative anaemia in a cohort of cardiac surgery patients. Anaesthesia. Sep
2011;66(9):812-8.

Jiu, Z. C., 2012. Effect lifting-thrusting reinforcing-reducing manipulations of


acupuncture on serum ferritin content and total iron binding capacity in
blood-deficiency syndrome rabbits. Acupuncture, 37(1):41-5.
Kaufman M, Rubin J, Rai K. Diagnosing and treating chronic lymphocytic leukemia
in 2009. Oncology (Williston Park). Nov 15 2009;23(12):1030-7.
Kuku I, Kaya E, Yologlu S, Gokdeniz R, Baydin A. Platelet counts in adults with
iron deficiency anemia. Platelets. Aug 3 2009;1-5.
Mardiana L, Agustina, N. Riris, Djarismawati dan Sukijo.2000. Telur Ascaris
lumbricoides pada Tinja dan Kuku Anak Balita serta Tanah di Kecamatan
Paseh, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Maj. Parasitol Ind. 13(1-2): 28-32
Matizih, 2007. Diet Atkins. Jakarta : PT Elex Media Komputindo .
Mozaffari-Khosravi H, Noori-Shadkam M, Fatehi F, Naghiaee Y. Once weekly lowdose iron supplementation effectively improved iron status in adolescent
girls. Biol Trace Elem Res. Aug 4 2009;epub ahead of print.
Nelwanti, Nurlina., 2004. Hubungan Faktor Internal Ibu Hamil dalam Kepatuhan
Mengkonsumsi Tablet Fe dengan Status Anemia. Ners jurnal keperawatan
Universitas Andalas 1.(1).14-18
Passweg JR, Prez WS, Eapen M, Camitta BM, Gluckman E, Hinterberger W, et al.
Bone marrow transplants from mismatched related and unrelated donors for
severe aplastic anemia. Bone Marrow Transplant. Apr 2006;37(7):641-9.
Perrotta S, Gallagher PG, Mohandas N. Hereditary spherocytosis. Lancet. Oct 18
2008;372(9647):1411-26.
Perrotta S, Della Ragione F, Rossi F, et al. {beta}-spectrinBari: a truncated {beta}chain responsible for dominant hereditary spherocytosis. Haematologica.
Jul 16 2009;epub ahead of print
Potts, N. L. & Mandleco, B. L. 2007. Study guide to accompany pediatric nursing
(Second Edition). Canada: Thomson.
Price, S. A. 2005. Patofiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Ed.6 Vol.1&2.
Jakarta: EGC.
Radich JP. How I monitor residual disease in chronic myeloid leukemia. Blood. Oct
15 2009;114(16):3376-81.
Raspati H, Reniarti L, Susanah S., 2005. Anemia defisiensi besi. Dalam: Permono B,
Sutaryo, Ugrasena IDG, Windiastuti E, Abdulsalam M, penyunting. Buku
Ajar Hematologi Onkologi Anak. Jakarta: Badan penerbit IDAI
Robert C, Brown DL. 2003. Vitamin B12 Deficiency. Am Fam Physician 67: 979986, 993-994.
Ronald A, R. A., 2004. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium. Jakarta:
EGC.
Sari, T. T., & Ismail, I. C. 2009. Sferositosis Herediter: laporan kasus. Sari Pediatri ,
11 (4), 298-303.
Servilla KS, Singh AK, Hunt WC, et al. Anemia management and association of race
with mortality and hospitalization in a large not-for-profit dialysis
organization. Am J Kidney Dis. Sep 2009;54(3):498-510.
Setiawan B dan Rahayuningsih S. 2004. Angka Kecukupan Vitamin Larut Air.
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII. Ketahanan pangan dan Gizi di
Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Jakarta. LIPI.
Tarwoto, Warnidar., 2007. Buku Saku Anemia Pada Ibu Hamil, Konsep dan
Penatalaksanaan. Jakarta : Trans Info Media
Wahidiyat I., 2007. Masalah anemia pada anak di Indonesia. Dalam: Abdulsalam M,
Trijono PP, Kaswandani N dan Endyarni B. Pendekatan praktis pucat:

masalah kesehatan yang terabaikan pada bayi dan anak. Jakarta:


FKUI/RSCM
Wang L, Lawrence MS, Wan Y, et al. SF3B1 and other novel cancer genes in chronic
lymphocytic leukemia. N Engl J Med. Dec 29 2011;365(26):2497-506.
Wolter M, Hermann S, Hahn A. 2003. B vitamin status and concentrations of
homocysteine and methylmalonic acid in elderly German women. Am J
Clin Nutr 78(4): 765-772.
World Health Organization., 2006. Worldwide prevalence of anaemia 1993-2005.
World Health Organization global database on anaemia. Atlanta
Young NS, Scheinberg P, Calado RT. Aplastic anemia. Curr Opin Hematol. May
2008;15(3):162-8.
Young NS. Pathophysiologic mechanisms in acquired aplastic anemia. Hematology
pAm Soc Hematol Educ Program. 2006;72-7.

Anda mungkin juga menyukai