Anda di halaman 1dari 9

Kasus Salah Tangkap Densus 88 di Solo

1. Kronologi
Liputan6.com, Solo - Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror
menangkap 4 orang di Solo pada Selasa 29 Desember 2015.
Namun ternyata 2 di antaranya menjadi korban salah tangkap.
Untuk itu, mereka menuntut Densus melakukan rehabilitasi
nama 2 korban salah tangkap itu.
Dua orang yang merupakan korban salah tangkap Densus 88
bernama Ayom Panggalih dan Nur Syawaludin. Saat proses
penangkapan, kedua orang itu mendapatkan perlakukan yang
kurang manusiawi oleh pihak Densus. Bahkan, mereka sempat
ditodong pistol oleh pasukan antiteror tersebut.
"Tiba-tiba ada mobil yang memepet saya. Waktu itu saya
naik motor akan menuju masjid kebetulan saat itu sudah adzan
dhuhur. Setelah dipepet, langsung mereka menangkap saya.
Ketika saya bilang, salahnya apa. Kemudian mereka
mengeluarkan pistol dan bilang dari Densus 88," kata Nur
Syawaludin di Masjid Baitussalam, Tipes, Solo, Rabu 30
Desember 2015.Selanjutnya, dia menceritakan, setelah
mengeluarkan pistol personel Densus 88 langsung menodongkan
pistol ke dirinya. Mengetahui hal itu, ia mengaku pasrah.
"Setelah itu motor saya titipkan ke showroom-nya mas Galih.
Saya terus diborgol dan muka saya ditutupi kaus, setelah itu
disuruh masuk ke mobil Innova yang ditumpangi Densus," tutur
dia. Selama di dalam mobil, kepala Nur Syawal diminta
menunduk dan tidak boleh melihat jalan. Selain itu, ia juga
ditanya soal temannya Ayom Panggalih yang lari ketika
mengetahui ada penangkapan terhadap dirinya.

"Mereka bilang, kenapa temanmu lari.Saya jawab, siapa


nggak takut lihat gerombolan bersenjata menangkapi seperti
ini," kata dia menjawab pertanyaan anggota Densus.
Kemudian, setelah dibawa mobil, Nur Syawaludin diturunkan di
markas Polsek Laweyan yang jaraknya tidak jauh dari lokasi
penangkapan terhadap dirinya di depan SMA Al Islam Jalan
Honggowongso, Solo. "Sampai di Polsek Laweyan, saya
dimasukkan ke sel. Saya meminta borgolnya dilepas untuk wudu
dan salat, tetapi petugas polsek tidak berani melepaskannya,"
jelas dia. Kemudian, datanglah personel Densus ke selnya.Nur
mengatakan anggota Densus tersebut langsung mengajukan
pertanyaan apakah dirinya kenal dengan yang namanya
Hamzah."Saya menjawab tidak kenal.Saya tahunya Hamzah
gemuk dan berkacamata yang merupakan teman kakak saya,"
jawab dia. Hal senada juga diungkapkan oleh korban salah
tangkap lainnya bernama Ayom Panggalih. Dia menceritakan
penangkapan terhadap dirinya dilakukan saat akan berangkat
menuju masjid.
Awalnya ia mengaku sempat kaget ketika tiba-tiba muncul
5 mobil Innova di sekitar showroom motor miliknya yang berada
di depan SMA Al Islam Solo."Tahu ada yang keluar dari mobil
dengan membawa pistol, secara spontan dan kaget saya
langsung maju ke depan pakai motor bisa menghindari mobil
Innova itu. Namun, setelah itu saya langsung membelokkan
motor, tiba-tiba di depan ada mobil Innova lagi yang menabrak
motor saya," kata dia. Setelah itu, lanjut dia, ia pun terpental
jatuh dari motornya. Kemudian saat terkapar di jalan aspal,
anggota Densus 88 langsung memegang kepalanya dan
menekannya ke aspal."Ketika wajah saya ditaruh di aspal,

tiba-tiba tangan saya ditarik 2 petugas untuk diborgol.


Kemudian, saya disuruh diam dan ditodong senjata," ujar dia.
Selanjutnya, dengan kondisi tangan terborgol dan wajah
ditutupi sweater Ayom Panggalih atau yang akrab disapa Galih
itu langsung dimasukkan ke dalam mobil.Namun, ia tidak
dipersilakan duduk di kursi mobil, tapi diletakkan di lantai mobil
dengan kondisi kepala ditekan ke lantai oleh petugas."Saat di
dalam mobil itu, saya ditanyai kenapa lari. Saya pun jawab kalau
saat itu saya sedang akan salat ke masjid. Mereka pun bilang
apakah kenal dengan Nur.Kemudian saya jawab, tidak
kenal.Saya juga tidak tahu Nur," kata dia saat menjawab
pertanyaan anggota Densus.Sama seperti Nur Syawaludin, Galih
pun dibawa ke Mapolsek Laweyan. Hanya saja, ia tidak
dimasukkan ke dalam sel, tapi dibawa ke salah satu ruang untuk
diinterogasi oleh anggota Densus. "Saat diinterogasi itu saya
ditanyai apakah kenal Hamzah.Saya jawab tidak kenal," ucap
Galih.Mereka berdua ditangkap oleh Densus 88 sekitar pukul
12.00 WIB.Setelah sempat diinterogasi di Polsek Laweyan oleh
pasukan Antiteror itu, lantas sekitar pukul 14.15 WIB kedua
orang korban salah tangkap itu langsung dilepaskan.
Sementara itu, kuasa hukum kedua korban dari Islamic
Study and Action Centre (ISAC), Muhamad Kurniawan
mengatakan penangkapan yang dilakukan terhadap Galih dan
Nur itu bukan merupakan suatu penangkapan. Menurutnya, itu
penculikan karena tidak disertai prosedur surat penangkapan,
surat pemanggilan dan izin lainnya."Ditambah lagi setelah
mereka dilepas itu pihak Densus tidak ada tindakan untuk
meminta maaf kepada dua orang korban salah tangkap," kata
dia. Atas sikap tersebut, lanjut Kurniawan, pihaknya sangat

menyesalkan tindakan Densus 88.Bahkan, tindakan


penangkapan yang tidak manusiawi itu dianggap sebagai
pelanggaran HAM."Diinjak-injak di dalam mobil seperti
hewan.Mereka tidak didudukkan di kursi.Terus penangkapannya
juga terjadi secara sadis sekali.Cara seperti itu jelas berdampak
terhadap kerugian secara psikis," kata dia.
Dengan demikian, dia pun menuntut kepada pihak Densus
88 untuk merehabilitasi nama baik dua korban salah tangkap
tersebut. Pasalnya, adanya kabar penangkapan Densus kepada 2
orang itu sangat merugikan nama baiknya di masyarakat. "Sudah
difoto, cap tiga jari, sudah disidik jari. Eh ternyata tidak terlibat.
Polri harus merehabilitasi nama baik mereka kalau tidak terlibat
jaringan terorisme," ujar Kurniawan.Dalam operasi
penangkapan kemarin berdasarkan data yang dihimpun
Liputan6.com bahwa Densus menangkap 4 orang.Hanya saja 2
orang, yakni Galih dan Nur Syawaludin menjadi korban salah
tangkap akhirnya dilepaskan.Sedangkan 2 lainnya yakni
Hamzah dan Andika belum diketahui keberadaannya. Namun,
pada Rabu siang pihak Densus sempat menggeledah kamar kos
milik Hamzah yang diduga sebagai tempat perakitan bom.

2. Kesimpulan Kasus
Ada Beberapa kesimpulan yang bisa kita ambil dari
kronologi kasus diatas:
a. Prosedur
Densus 88 tidak mengirimkan surat penangkapan
terhadap terduga teroris, sehingga penangkapan
terduga teroris yang terjadi di solo bukanlah
penangkapan melainkan lebih terkesan sebagai
penculikan, padahal prosedur yang berlaku tidaklah
seperti yang terjadi di TKP.
b. Kerugian
Bukan hanya kerugian fisik yang dialami oleh
korban kasus salah tangkap ini melainkan juga
psikis.

3. Faktor Terjadinya Kasus Salah Tangkap


1. Tidak adanya peninjau ulang terlebih dahulu
sebelum kasus tersebut dieksekusi
Tidak adanya peninjau ulang terlebih dahulu adalah
sebab terjadi kesalahan sistem dan prosedur hukum
karena disitulah bentuk keteledoran/kurangnya ketelitian
aparatur hukum.

2. Sedikitnya bukti permulaan yang cukup untuk


menjadikan seseorang sebagai tersangka/terduga
Sedikitnya syarat bukti untuk menjadikan
seseorang tersangka/terduga adalah salahsatu sebab
mengapa terjadinya kasus salah tangkap karena tidak
semua syarat bukti mampu menjadikan seseorang
sebagai tersangka.
3. Kurangnya perlindungan HAM
Kurangnya perlindungan HAM adalah salah satu
sebab mengapa kasus ini dapat terjadi,Karena pada
dasarnya upaya penangkapan yang dilakukan oleh pihak
berwajib terkadang dilakukan secara manusiawi terhadap
terduga terduga tersangka kaarna terduga tersangka
belum tentu pasti menjadi seorang tersangka (Masih
Terduga).

4. Penyelesaian masalah
a. Merevisi sistem hukum
Merevisi sistem hukum adalah salah satu tindakan
yang cukup tepat dalam menangani penyelewangan atau
kesalahan system hukum yang dapat bertampak negatif
pada masyarakat umum.
b. Meninjau ulang kasus dan aparatur hukum
Meninjau ulang kasus atau biasa kita sebut koreksi
juga mampu untuk minimalisir kesalahan sistem hukum
karna tidak semua kesalahan system hukum itu berasal
dari system itu sendiri, melainkan juga dapat terjadi dari
oknum atau pelaku penyelewangan sistem hukum.
c. Sanksi terhadap aparatur hukum
Sanksi dapat membuat para petugas hukum dapat
lebiih teliti dalam menangani suatu kasus.karena sanksi
adalah bentuk dari pertanggung jawaban atas kesalahan
aparatur hukum dan dalam masalah ini tercantum pada
bentuk-bentuk sanksi terdapat kode etik profesi
kepolisian Negara republik Indonesia bila melakukan
pelanggaran adalah sebagai berikut:
1. Perilaku pelanggaran dinyatakan sebagai perbuatan
tercela
2. Kewajiban pelanggar untuk meminta maaf secara
terbatas ataupun secara langsung

3. Kewajiban pelanggar untuk mengikuti pembinaan


ulang profesi
4. Pelanggar dinyatakan tidak layak lagi menjalankan
fungsi kepolisian.
Upaya hukum yang dapat dilakukan jika terjadi salah
tangkap yakni menurut pasal 1 ayat 22 KUHP, ganti
kerugian.Yang menjadi dasar hukum untuk tuntutan
ganti kerugian adalah pasal 77 poin b KUHP,
kemudian rehabilitasi sesuai dengan pasal 1 ayat 10
KUHP pada poin c.
d. Menambah syarat bukti permulaan yang cukup
Menambah syarat bukti permulaan yang cukup
dapat mengurangi terjadinya kasus salah tangkap.

BAB III Kesimpulan


Sebuah aparatur negara sekalipun wajib memiliki cara dan
etika dalam melakukan tugasnya,dalam bertindak dan memenuhi
kewajibannya sekalipun, kejadian seperti ini jangan sampai
terulang kembali dan itu bisa menghambat proses berjalannya
pelaksanaan. Selain itu juga bisa merugikan diri sendiri dan
orang lain akibat dari kecerobohan yang di lakukan. Khususnya
aparatur negara harus lebih bijak dan cerdas dalam menangani
bangsanya sendiri untuk kemajuan bangsa dan negara.

Anda mungkin juga menyukai