Anda di halaman 1dari 19

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Hipospadia sendiri berasal dari dua kata yaitu hypo yang berarti di
bawah dan spadon yang berarti keratan yang panjang. Hipospadia adalah
kelainan kongenital dimana muara uretra eksterna (MUE) terletak di ventral penis
dan lebih ke proximal dari tempat normalnya (ujung gland penis). Kelainan ini
seringkali disertai adanya fibrosis pada bagian distal MUE yang menyebabkan
bengkoknya penis (chordae).
3.2 Epidemiologi
Insidensi hipospadia telah meningkat sejak 15 tahun yang lalu di negaranegara barat dengan angka kejadian 1 untuk setiap 250 kelahiran bayi laki-laki.
Insidensi lebih tinggi sekiranya terdapat riwayat keluarga dengan hipospadia
dengan angka kejadian 1 untuk setiap 100 kelahiran hingga 1 untuk setiap 80
kelahiran bayi laki-laki. Insidensi kasus hypospadia terbanyak adalah Eropa
dilaporkan dari Amerika Serikat, Inggris, telah menunjukkan peningkatan. Di
Amerika hipospadia terjadi 1:300 kelahiran bayi laki-laki hidup. Umumnya di
Indonesia banyak terjadi kasus hipospadia karena kurangnya pengetahuan para
bidan saat menangani kelahiran karena seharusnya anak yang lahir itu laki-laki
namun karena melihat lubang kencingnya di bawah maka di anggap perempuan.

3.3 Anatomi
9

Uretra merupakan tabung yang menyalurkan urin ke luar dari buli-buli


melalui proses miksi. Pada pria organ ini berfungsi juga dalam menyalurkan
cairan mani.
Uretra diperlengkapi dengan sfingter uretra interna yang terletak pada
perbatasan buli-buli dan uretra, dan sfingter uretra eksterna yang terletak pada
perbatasan uretra anterior dan posterior. Secara anatomis uretra dibagi menjadi
dua bagian yaitu:
1. Uretra pars anterior, yaitu uretra yang dibungkus oleh korpus spongiosum
penis, terdiri dari: pars bulbosa, pars pendularis, fossa navikulare, dan
meatus uretra eksterna.
2. Uretra pars posterior, terdiri dari uretra pars prostatika, yaitu bagian uretra
yang dilengkapi oleh kelenjar prostat, dan uretra pars membranasea.

Gambar 3.1 Anatomi Genetalia Pria

3.4 Embriologi
10

Pada embrio yang berumur 2 minggu baru terdapat 2 lapisan yaitu


ektoderm dan endoderm. Baru kemudian terbentuk lekukan di tengah-tengah yaitu
mesoderm yang kemudian bermigrasi ke perifer, memisahkan ektoderm dan
endoderm, sedangkan di bagian kaudalnya tetap bersatu membentuk membran
kloaka. Pada permulaan minggu ke-6, terbentuk tonjolan antara umbilical
cord dan tail yang disebut genital tubercle. Di bawahnya pada garis tengah
terbenuk lekukan dimana di bagian lateralnya ada 2 lipatan memanjang yang
disebut genital fold.
Selama minggu ke-7, genital tubercle akan memanjang dan membentuk
glans. Ini adalah bentuk primordial dari penis bila embrio adalah laki-laki, bila
wanita akan menjadi klitoris. Bila terjadi agenesis dari mesoderm, maka genital
tubercle tak terbentuk, sehingga penis juga tak terbentuk.
Bagian anterior dari membrana kloaka, yaitu membrana urogenitalia akan
ruptur dan membentuk sinus. Sementara itu genital fold akan membentuk sisi-sisi
dari sinus urogenitalia. Bila genital fold gagal bersatu di atas sinus urogenitalia,
maka akan terjadi hipospadia.
3.5 Etiopatogenesis
Hipospadiaa terjadi karena gangguan perkembangan urethra anterior yang
tidak sempurna yaitu sepanjang batang penis sampai perineum. Semakin ke arah
proksimal muara meatus uretra maka semakin besar kemungkinan ventral penis
memendek dan melengkung dengan adanya chordae. Namun, penyebab pasti
hipospadia tidak diketahui secara pasti. Beberapa etiologi dari hipospadia telah
dikemukakan, termasuk faktor genetik, endokrin, dan faktor lingkungan. Sekitar

11

28% penderita ditemukan adanya hubungan familial. Berikut adalah beberapa


teori yang menyatakan tentang penyebab hipospadia antara lain :

Faktor genetik.
Berdasarkan penelitian oleh Alexander 2007, pada keluarga yang
memiliki kelainan kelamin (hypospadia), maka resiko yang akan terulang
pada saudara laki-laki kurang lebih 7% - 9% resiko hypospadia. Jika orang
tua kandung laki-laki memiliki kelainan kelamin (hypospadia) maka
resiko yang akan diturunkan kepada anak kandung laki-laki kurang lebih
12% - 14 %.

Faktor etnik dan geografis.


Di Amerika Serikat angka kejadian hypospadia pada kaukasoid
lebih tinggi dari pada orang Afrika-Amerika. Namun hubungan/korelasi
antara faktor etnik dan geografis dengan kenaikan insidensi hypospadia
belum dapat diketahui secara pasti.

Faktor hormonal
Faktor hormon androgen/estrogen sangat berpengaruh terhadap
kejadian hypospadia karena berpengaruh terhadap proses maskulinisasi
masa embrional. Terdapat hipotesis tentang pengaruh estrogen terhadap
kejadian hypospadia bahwa estrogen sangat berperan dalam pembentukan
genital eksterna laki-laki saat embrional. Perubahan kadar estrogen dapat
berasal dari.
a.

Androgen yaitu perubahan pola makanan yang meningkatkan lemak


tubuh.

b.

Sintetis seperti oral kontrasepsi

12

Adanya penurunan hormon androgen yang dihasilkan oleh testis


dan

placenta.

karena

penurunan

hormon

androgen

maka

akan

menyebabkan penurunan produksi dehidrotestosterone (DHT) yang


dipengaruhi oleh 5 reduktase, hormon ini berperan dalam pembentukan
phallus

(penis)

sehingga,

jika

terjadi

defisiensi

androgen

akan

menyebabkan kegagalan perkembangan dan pembentukan urethra


(hypospadia).
Secara

umum

diketahui

bahwa

genital

eksterna

laki-laki

dipengaruhi oleh estrogen yang dihasilkan testis primitif. Suatu hipotesis


mengemukakan bahwa kekurangan estrogen atau terdapatnya antiandrogen akan mempengaruhi pembentukan genitalia ekterna laki-laki.
3.6 Klasifikasi
Terdapat beberapa klasifikasi hipospadia telah diperkenalkan, namun yang
sering digunakan saat ini adalah berdasarkan letak dari meatus uretra :
1. Glandular
2. Coronal
3. Penile shaft
4. Penoscrotal
5. Scrotal
6. Perineal
Pengklasifikasian hipospadia menurut letak muara uretranya antara lain :
1. Anterior yang terdiri dari tipe glandular dan coronal
2. Middle yang terdiri dari distal penile, proksimal penile, dan penoscrotal
3. Posterior yang terdiri dari tipe scrotal dan perineal.

13

Gambar 3.2 Klasifikasi Hipospadia


3.7 Manifestasi Klinis
Gejala yang timbul pada kebanyakan penderita hypospadia biasanya
datang dengan keluhan kesulitan dalam mengatur aliran air kencing (ketika
berkemih). Hypospadia tipe perineal dan penoscrotal menyebabkan penderita
harus miksi dalam posisi duduk dan pada orang dewasa akan mengalami
gangguan hubungan seksual.
Tanda-tanda klinis hypospadia :
a. Lubang Osteum/orifisium Uretra Externa (OUE) tidak berada di ujung
glands penis.
b. Preputium

tidak ada dibagian bawah penis, menumpuk di bagian

punggung penis.
c. Biasanya jika penis mengalami kurvatura (melengkung) ketika ereksi,
maka dapat disimpulkan adanya chordee, yaitu jaringan fibrosa yang
membentang hingga ke glans penis.

14

d. Dapat timbul tanpa chordee, bila letak meatus pada dasar dari glands
penis.
Selain terdapat tanda dan gejala klinis diatas dalam beberapa penelitian juga
membuktikan bahwa sebagian besar hypospadia mengalami sedikit gangguan
psikologis. Roger dan Michel (2005) mengungkapkan bahwa pederita hypospadia
memiliki pola pergaulan yang cenderung menutup diri. Faktor psikososial 43%
terjadi pada penderita hypospadia. Beberapa sumber menyatakan bahwa faktor
yang mempengaruhi psikososial hypospadia pada orang dewasa adalah hubungan
antara hypospadia fungsi seksual 10%, namun belum dilakukan survei tentang
korelasi antara

hypospadia dengan fungsi reproduksi untuk memdapatkan

keturunan.
3.8 Diagnosa
Ketika pasien pertama kali datang, pertanyaan dibuat mengenai riwayat
obat-obatan di awal kehamilan, riwayat keluarga, arah dan kekuatan aliran kemih
dan adanya penyemprotan pada saat buang air kecil.
Pemeriksaan

fisik

meliputi

kesehatan

umum

dan

perkembangan

pertumbuhan dengan perhatian khusus pada sistem saluran kemih seperti


pembesaran salah satu atau kedua ginjal dan amati adanya cacat lahir lainnya.
Khas pada hipospadia adalah meatus uretra pada bagian ventral dan
perselubungan pada daerah dorsal serta terdapat defisiensi kulit preputium,
dengan atau tanpa chordee dan hipospadia berat berupa suatu skrotum bifida.
Ukuran meatus uretra dan kualitas dinding uretra (corpus spongiosum) pada
proksimal meatus juga berbeda. Derajat hipospadia sering digambarkan sesuai
dengan posisi meatus uretra dalam kaitannya dengan penis dan skrotum. Ini harus

15

dilakukan dengan sangat hati-hati untuk kemungkinkunan timbul keraguan karena


dengan adanya chordee yang signifikan. Sebuah meatus yang berada di wilayah
subcoronal mungkin sebenarnya juga sangat dekat dengan persimpangan
penoscrotal dan karena itu setelah koreksi chordee, meatus akan surut ke daerah
proksimal batang penis memerlukan rekonstruksi uretra yang luas. Sebaliknya,
meatus yang terletak di wilayah subcoronal dalam ketiadaan chordee cocok
dengan hipospadia ringan. Oleh karena itu karena kehadiran chordee yang
signifikan, posisi meatus uretra harus dijelaskan dalam kaitannya dengan
persimpangan penoscrotal dan korona. Tingkat chordee dapat secara akurat dinilai
dengan induksi ereksi dengan mengompresi kavernosum terhadap rami pubis.
Kehadiran satu atau kedua testis di skrotum harus dicatat. Pada sebagian besar
kasus, pasien dengan testis hipospadia ringan sampai sedang dan kedua testis yang
dapat turun secara genotif adalah laki-laki normal. Namun dalam kasus hipospadia
yang berat, terutama bila dikaitkan dengan testis yang tidak turun baik unilateral
atau bilateral, muncul pertanyaan tentang interseks.
Beberapa

pemeriksaan

penunjang

yang

dapat

dilakukan

yaitu

urethtroscopy dan cystoscopy untuk memastikan organ-organ seks internal


terbentuk secara normal. Excretory urography dilakukan untuk mendeteksi ada
tidaknya abnormalitas kongenital pada ginjal dan ureter. (Cafici, 2002)
3.9

Diagnosis Banding
Hipospadia yang terkait dengan pemisahan dari kantung

skrotum, testis yang tidak turun (UTD), alat kelamin yang belum
jelas (ambiguous genitalia), dan hernia inguinalis (mengandung
gonad).

16

3.10

Penatalaksanaan
Penanganan hipospadia adalah dengan cara operasi. Operasi ini bertujuan

untuk merekonstruksi penis agar lurus dengan orifisium uretra pada tempat yang
normal

atau

diusahakan

untuk

senormal

mungkin.

Operasi

sebaiknya

dilaksanakan pada saat usia anak yaitu enam bulan sampai usia prasekolah. Hal ini
dimaksudkan bahwa pada usia ini anak diharapkan belum sadar bahwa ia begitu
spesial, dan berbeda dengan teman-temannya yang lain yaitu dimana anak yang
lain biasanya miksi (buang air seni) dengan berdiri sedangkan ia sendiri harus
melakukannya dengan jongkok aga urin tidak mbleber ke mana-mana. Anak
yang menderita hipospadia hendaknya jangan dulu dikhitan, hal ini berkaitan
dengan tindakan operasi rekonstruksi yang akan mengambil kulit preputium penis
untuk menutup lubang dari sulcus uretra yang tidak menyatu pada penderita.
Tahapan operasi rekonstruksi hipospadia ini secara garis besar / secara
umum antara lain :
1. Release Chordae dan Tunneling
Meluruskan penis yaitu orifisium dan canalis uretra senormal mungkin.
Hal ini dikarenakan pada penderita hipospadia biasanya terdapat suatu chorda
yang merupakan jaringan fibrosa yang mengakibatkan penis bengkok. Langkah
selanjutnya adalah mobilisasi (memotong dan memindahkan) kulit preputium
penis untuk menutup sulcus uretra dan dibuat lubang di gland penis sehingga
MUE berada di ujung penis.

17

Gambar 3.3 Chordectomi


2. Uretroplasty
Uretroplasty yaitu membuat fassa naficularis baru pada glans penis yang
nantinya akan dihubungkan dengan canalis uretra yang telah terbentuk
sebelumnya melalui tahap pertama. Penutupan kulit bagian, ventral dilakukan
dengan memindahkan prepusium dorsal dan kulit penis mengelilingi bagian
ventral dalam tahap uretroplasti.
Pemilihan urethroplasti tergantung kualitas dan lebar dari urethral plate
(pelepasan mukosa uretra mulai dari meatus uretral ektopik sampai ke glans cap).
Sekiranya urethral plate cukup lebar dan baik, ia bisa digunakan untuk
menkonstruksi salur uretra (prosedur Thiersch-Duplay). Namun, jika urethral
plate tipis atau sempit, masih terdapat beberapa opsi. Opsi yang paling popular
saat ini yaitu prosedur Snodgrass, di mana urethral plate di insisi secara
longitudinal dari meatus ektopik sehingga ke glans. Alternatif lain adalah jaringan
dengan empat persegi panjang di pisahkan dan di aplikasi ke urethral plate dan
dijahit di pinggirnya (onlay urethroplasty). Jaringan berbentuk empat persegi
panjang ini diambil dari kulit bagian preputium dan diposisikan pada tepi ventral
meatus uretral ektopik (prosedur Mathieu flip-flap) atau bisa dengan pencakokan
jaringan, lazimnya mukosa buccal atau yang jarang dipakai yaitu mukosa vesika
18

urinaria dan kulit. Dalam kasus yang jarang, urethral plate tidak dipertahankan,
dan substitusi penuh dari uretra yang hilang harus dilakukan dengan
menggunakan tabung mukosa preputium (prosedur Asopa-Duckett) atau tabung
mukosa buccal (prosedur Koyanagi)

.
Gambar 3.4 Prosedur Thiersch-Duplay

19

Gambar 3.5 Posedur Onlay

Gambar 3.6 Prosedur Mathieu

20

Gambar 3.7 Prosedur Asopa-Duckett

21

Gambar 3.8 Prosedur Koyanagi

22

Gambar 3.9 (a) Uretroplasti Duplay incomplete; (b) Uretroplasti Denis Browne;
(c) Uretroplasti Rich; (d) Uretroplasti Snodgrass TIP.
Operasi hipospadia merupakan salah satu masalah yang paling sering
dibicarakan bagi ahli bedah rekonstruktif, dan ahli bedah urolog, dan pediatrik

23

karena tingkat komplikasi yang tinggi. Faktanya ada sekitar 250 operasi yang
berbeda untuk mengelola masalah rumit, yang menunjukkan bahwa tidak ada
operasi tunggal yang disukai oleh semua ahli bedah di dunia karena tidak ada
teknik tunggal memberikan hasil baik yang seragam. Satu tahap perbaikan secara
alami disukai karena trauma post operasi berkurang, tidak ada bekas luka pada
kulit, menurunkan jumlah rawat inap dan lebih ekonomis. Tapi ahli bedah tertentu
tetap yakin ada keterbatasan dan kelemahan dari operasi satu langkah dan terus
berlatih operasi dua tahap. (Ismail, 2009)
3.11

Perawatan Pasca Operasi


Suatu tekanan ringan dan elastis dari perban dipakai untuk memberikan

kompres post operatif bagi reparasi hipospadia, untuk mengatasi oedema dan
untuk mencegah pendarahan setelah operasi. Dressing harus segera dihentikan
bila terlihat keadaan sudah membiru disekitar daerah tersebut, dan bila terjadi
hematoma harus segera diatasi. Setiap kelebihan tekanan yang terjadi karena
hematoma akan bisa menyebabkan nekrosis. Oleh karena efek tekanan pada
penyembuhan, maka pemakaian kateter yang dipergunakan harus kecil, dan juga
steril, dan terbuat dari plastik dan dipergunakan kateter dari kateter yang lunak.
Dalam keadaan dimana terjadi luka yang memburuk sebagai akibat edema pada
luka, ereksi atau hematoma, maka sebaiknya dikompres dengan mempergunakan
bantalan saline steril yang hangat. Diversi urine terus dilanjutkan sampai daerah
yang luka itu sembuh. Bila jaringan tersebut telah sembuh, maka masalahnya bisa
direparasi dalam operasi yang kedua 6 12 bulan yang akan datang

24

3.12

Komplikasi
Komplikasi yang timbul paska repair hipospadia sangat dipengaruhi oleh

banyak faktor antara lain faktor usia pasien, tipe hipospadia, tahapan operasi,
ketelitian teknik operasi, serta perawatan paska repair hipospadia. Macam
komplikasi yang terjadi yaitu :
1.

Perdarahan

2.

Infeksi

3.

Fistel urethrokutan

4.

Striktur urethra, stenosis urethra

5.

Divertikel urethra.
Komplikasi paling sering dari reparasi hipospodia adalah fistula,

divertikulum, penyempitan uretral dan stenosis meatus. Penyebab paling sering


dari fistula adalah nekrosis dari flap yang disebabkan oleh terkumpulnya darah
dibawah flap. Fistula itu dapat dibiarkan sembuh spontan dengan reparasi
sekunder 6 bulan sesudahnya. Untuk itu kateter harus dipakai selama 2 minggu
setelah fistulanya sembuh, dengan harapan tepi-tepinya akan menyatu kembali,
sedangkan kegunaannya untuk terus diversi lebih lama dari dua minggu
3.13

Prognosis
Secara umum hasil fungsional dari one-stage procedure lebih baik

dibandingkan dengan multi-stage procedures karena insidens terjadinya fistula


atau stenosis lebih sedikit, dan lamanya perawatan di rumah sakit lebih singkat,
dan prognosisnya baik.

DAFTAR PUSTAKA
25

Ahmed, J. 2010. TRANSVERSE PREPUTIAL ISLAND FLAP FOR


HYPOSPADIAS

REPAIR.

Journal

of

Surgery

Pakistan

(International) 15 (3) July - September 2010.


Arap, S., Mitre, AI. 2000. PENOSCROTAL HYPOSPADIAS. Brazilian
Journal of Urology. Vol. 26 (3): 304-314, May - June, 2000.
Brouwers,

MM.,

Feitz,

WFJ.

2006.

Hypospadias:

transgenerational effect of diethylstilbestrol?. Society of


Human

Reproduction

and

Embryology.

Human

Reproduction Vol.21, No.3 pp. 666669, 2006.


Castagnetti, M., Scarpa, MG. 2009. Evaluation of cosmetic results
in uncomplicated distal hypospadias repairs. Journal of
Andrological Sciences 2009;16:121-124.
Djacovic, N., Nyarangi-Dix, J. 2008. Hypospadias. Advances in
Urology. Volume 2008, Article ID 650135, 7 pages.
Fisch, H., Golden, RJ. 2001. MATERNAL AGE AS A RISK FACTOR
FOR HYPOSPADIAS. The Journal Of Urology Vol. 165,
934936, March 2001.
Ismail, KA. 2009. Proximal Hypospadias: Is Still There a Place for
Two Stage Urethroplasty?. Annals of Pediatric Surgery. Vol
5, No 4, October 2009, PP 274-281.
Mieusset, R., Soulie, M. 2005. Hypospadias: Psychosocial, Sexual,
and Minireview Reproductive Consequences in Adult Life.
Journal of Andrology, Vol. 26, No. 2, March/April 2005.
26

Pai, W., Tseng H. 2007. Ambiguous Genitalia during Neonatal


Period : A 15-Year Experience at a Medical Center. Clinical
Neonatology 2007 Vol. 14 No.2.
Rey, RA., Codner, E. 2005. Low Risk of Impaired Testicular Sertoli
and

Leydig Cell : Functions

in Boys with Isolated

Hypospadias. J Clin Endocrinol Metab, November 2005,


90(11):60356040.
Snodgrass, W., Macedo, A. 2011. Hypospadias dilemmas: A round
table. Journal of Pediatric Urology Company. Journal of
Pediatric Urology (2011) xx, 1-13.
Wang,

M.

2008.

Endocrine

Disruptors,

Genital

Review

Development, and Hypospadias. Journal of Andrology, Vol.


29, No. 5, September/October 2008.

27

Anda mungkin juga menyukai