Anda di halaman 1dari 24

DEPRESI PADA LANSIA

1. PENDAHULUAN
Menjadi tua adalah suatu proses natural/alami yang terjadi pada
manusia . Secara umum proses penuaan ini menyangkut 2 komponen
utama yaitu komponen biologis dan komponen psikologis. Perubahan
pada

kedua

komponen

ditambah

dengan

sikap

masyarakat

terhadapnya akan mempengaruhi kualitas hidup lansia. Jika mereka


dihargai, dicintai dan dihormati keluarganya baik dalam keadaan sehat
maupun sakit, kontribusi mereka di komunitas tempat mereka hidup
diakui dan dihargai maka lansia menjadi sangat aktif dan hidup
mandiri (Watson Roger, 2003).
Menurut perkiraan dari United States Bureau of Census 1993,
populasi usia lanjut di Indonesia diproyeksikan pada tahun 1990
2023 akan naik 414 %, suatu angka tertinggi di seluruh dunia dan
pada tahun 2020, Indonesia akan menempati urutan keempat jumlah
usia lanjut paling banyak sesudah Cina, India, dan Amerika (Depkes
RI, 2001). Fenomena ini akan berdampak pada semakin tingginya
masalah yang akan dihadapi baik secara biologis, psikologis dan
sosiokultural.

Organisasi

Kesehatan

Dunia

(WHO)

telah

mengidentifikasi lansia sebagai kelompok masyarakat yang mudah


terserang kemunduran fisik dan mental. Dilihat dari perspektif
keperawatan dikatakan ada empat besar penderitaan geriatrik yaitu
immobilisasi,

ketidakstabilan,

inkontinensia,

dan

gangguan

intelektual. Sifat umum dari empat besar tersebut adalah 1)


mempunyai masalah yang kompleks, 2) tidak ada pengobatan yang

sederhana, 3) hancurnya kemandirian, dan 4) membutuhkan bantuan


orang lain yang berkaitan erat dengan keperawatan (Isaac, 1981).
Depresi merupakan problem kesehatan masyarakat yang cukup serius.
World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa depresi berada
pada urutan ke empat penyakit di dunia. Sekitar 20 % wanita dan 12
% pria dalam suatu waktu kehidupannya pernah mengalami depresi
(Amir N, 2005). Depresi adalah kondisi umum yang terjadi pada
lansia. Kondisi ini sering berhubungan dengan kondisi sosial, kejadian
hidup seperti kehilangan, masuk rumah sakit, menderita sakit atau
merasa ditolak oleh teman dan keluarganya serta masalah fisik yang
dialaminya. Cash, H (1998) dalam Hawari (2001) mengemukakan
bahwa 1 dari 5 orang pernah mengalami depresi dalam kehidupannya,
selanjutnya 5-15 % para pasien-pasien depresi melakukan bunuh diri
setiap tahun.
1. PENGERTIAN DEPRESI
Dadang Hawari (2001) menyebutkan Depresi adalah gangguan alam
perasaan (mood) yang ditandai dengan kemurungan dan kesedihan
yang mendalam dan berkelanjutan sehingga menyebabkan hilangnya
kegairahan hidup, tidak mengalami gangguan dalam menilai realitas
(Reality Testing Ability/RTA masih baik), kepribadian yang utuh (tidak
mengalami keretakan kepribadian/spliting of personality, perilaku
dapat mengganggu tetapi masih dalam batas-batas normal.
Jusni (2003) menyatakan Depresi adalah perasaan sedih dan tertekan
yang menetap, perasaan berat sedemikian beratnya sehingga tidak bisa
melaksanakan fungsi sehari-hari sebagai orang tua, pegawai, pasangan
hidup, dan pelajar.

1. STRESOR PENCETUS
Stuart dan Sundeen (1998), menyatakan ada empat sumber utama
yang dapat mencetuskan gangguan alam depresi yaitu :
1. Kehilangan keterikatan
Kehilangan nyata atau yang dibayangkan, termasuk kehilangan cinta
seseorang, fungsi fisik, kedudukan atau harga diri.
1. Peristiwa besar dalam kehidupan
Kegagalan dalam memyelesaikan masalah, kegagalan dalam upaya
yang keras sehingga menimbulkan ketidak berdayaan, menyalahkan
diri sendiri, keputusasaan, dan rasa tidak berharga.
1. Peran dan ketegangan peran
Sering ditemukan adanya ketegangan peran dimana peran tidak sesuai
ataupun ketidak mampuan melaksanakan peran dapat menjadi stressor
pencetus depresi.
1. Perubahan fisiologik
Diakibatkan oleh obat-obatan atau berbagai penyakit fisik kronik yang
melemahkan

tubuh

seperti

infeksi,

neoplasma,

gangguan

keseimbangan metabolik, dan HIV/AIDS.


1. FAKTOR RESIKO DEPRESI
Menurut Amir N (2005), faktor resiko depresi adalah jenis kelamin
(wanita lebih cepat depresi dibandingkan laki-laki), usia rata-rata
awitan antara 20-40 tahun), status perkawinan terutama individu yang
bercerai atau berpisah, geografis (penduduk dikota lebih sering
depresi daripada penduduk di desa), riwayat keluarga yang menderita

gangguan depresi (kemungkinan lebih sering terjadi depresi),


kepribadian : mudah cemas, hipersensitif, dan lebih tergantung orang
lain, dukungan sosial yaitu seseorang yang tidak terintegrasi ke dalam
masyarakat, stresor sosial : peristiwa-peristiwa baik akut maupun
kronik, tidak bekerja terutama individu yang tidak mempunyai
pekerjaan atau menganggur.
Depkes RI (2001) menyatakan ada beberapa keadaan yang beresiko
menimbulkan depresi yaitu kehilangan/meninggal orang (objek) yang
dicintai, sikap psimistik, kecendrungan berasumsi negatif terhadap
suatu pengalaman yang mengecewakan, kehilangan integritas pribadi,
berpenyakit degeneratif kronik, tanpa dukungan sosial yang kuat.

1. GAMBARAN KLINIS DEPRESI PADA USIA LANJUT.


Mengenali depresi pada usia lanjut memerlukan suatu keterampilan
dan pengalaman, karena manifestasi gejala-gejala depresi klasik
(perasaan sedih, kurang semangat, hilangnya minat/hobi atau
menurunya aktivitas) sering tidak muncul. Sangat tidak mudah untuk
membedakan sekuele gejala psikologik akibat penyakit fisik dari
gangguan depresi atau gejala somatik depresi dari efek sistemik
penyakit fisik. Keduanya bisa saja terjadi pada seorang individu usia
lanjut pada saat yang sama. Usia lanjut yang mengalami depresi bisa
saja mengeluhkan mood yang menurun, namun kebanyakan
menyangkal adanya mood depresi, yang sering terlihat adalah gejala
hilangnya tenaga/energi, hilangnya rasa senang, tidak bisa tidur, atau
kehilangan rasa sakit/nyeri (Depkes RI, 2001).
Menurut Brodaty, 1991 dalam Depkes RI (2001), gejala yang sering
muncul adalah anxietas atau kecemasan, preokupasi gejala fisik,

perlambatan motorik, kelelahan, mencela diri sendiri, pikiran bunuh


diri, dan insomnia. Sedangkan gejala depersonalisasi, rasa bersalah,
minat seksual menurun agak jarang. Sebagai petunjuk kearah depresi
perlu diperhatikan tanda-tanda berikut (Depkes RI, 2001) : rasa lelah
yang terus menerus bahkan juga sewaktu beristirahat, kehilangan
kesenangan yang biasanya dapat ia nikmati (tidak merasa senang lagi
jika dikunjungi oleh cucu-cucunya), dan mulai menarik diri dari
kegiatan dan interaksi sosial.
Gambaran klinis depresi pada usia lanjut dibandingkan dengan pasien
yang lebih muda berbeda, usia lanjut cenderung meminimalkan atau
menyangkal mood depresinya dan lebih banyak menonjolkan gejala
somatiknya, disamping mengeluh tentang gangguan memori, juga
pada umumnya kurang mau mencari bantuan psikiater karena kurang
dapat menerima penjelasan yang bersifat psikologis untuk gangguan
depresi yang mereka alami.

1. DIAGNOSA DEPRESI
Gangguan depresi pada usia lanjut ditegakkan berpedoman pada
PPDGJ III (Pedoman Penggolongan Diagnosis gangguan Jiwa di
Indonesia

III)

yang

merujuk

pada

ICD

10

(International

Classification of Deseases 10). Gangguan depresi dibedakan dalam


depresi ringan, sedang, dan berat sesuai dengan banyak dan beratnya
gejala serta dampaknya terhadap kehidupan seseorang.
Pedoman diagnostik lainnya adalah DSM IV (Diagnostic and
Statistical Manual of Mental Disorders IV). Depresi berat menurut
DSM IV jika ditemukan 5 atau lebih gejala-gejala berikut dibawah ini,
yang terjadi hampir setiap hari selama 2 minggu dan salah satu dari

gejala tersebut adalah mood terdepresi atau hilangnya rasa


senang/minat.
Gejala-gejala tersebut :
1. Mood depresi hampir sepanjang hari
2. Hilang miknat/rasa senang secara nyata dalam aktivitas normal
3. Berat badan menurun atau bertambah
4. Insomnia atau hipersomnia
5. Agitasi atau retardasi psikomotor
6. Kelelahan dan tidak punya tenaga
7. Rasa tidak berharga atau perasaan bersalah berlebihan
8. Sulit berkonsentrasi
9. Pikiran berulang tentang kematian, percobaan/ide bunuh diri.
Menurut ICD 10, pada gangguan depresi, ada tiga gejala utama yaitu :
1. Mood terdepresi
2. Hiulang minat/semangat
3. Hilang tenaga/mudah lelah.
Disertai gejala lain :
1. Konsentrasi menurun
2. Harga diri menurun
3. Perasaan bersalah

4. Psimis memandang masa depan


5. Ide bunuh diri atau menyakiti diri sendiri
6. Pola tidur berubah
7. Nafsu makan menurun
Pengelompokan berat ringannya depresi, disajikan dalam tabel 1
Tabel 1.
Pedoman Pengelompokan Berat Ringannya Depresi

Gejala
Depresi

utama
minimal

Ringan

Gejala lain
minimal

Fungsi

Baik

Keterangan

Distres
Berlangsung

Sedang

3 atau 4

Terganggu

minimal 2
minggu

Berat

Sangat

Intensitas gejala

terganggu

berat

Sumber : Depkes dan Kesejahteraan Sosial RI, 2001

Menurunnya perawatan diri, perubahan kebiasaan makan, turunnya


berat badan, dapat merupakan tanda awal depresi tapi dapat juga
merupakan tanda-tanda demensia. Oleh karena itu perlu dilakukan
juga pemeriksaan fungsi kognitif dengan Mini Mental State
Examination (MMSE) atau Abbreviated Mental Test (AMT)

1. PEMERIKSAAN PASIEN DEPRESI


Salah satu langkah penting dalam penatalaksanaan depresi adalah
mendeteksi atau mengidentifikasi. Sampai saat ini belum ada suatu
konsensus atau prosedur khusus untuk penapisan/skrening depresi
pada populasi usia lanjut. Salah satu instrumen yang dapat membantu
adalah Geriatric Depression Scale (GDS) yang terdiri dari 30
pertanyaan yang harus dijawab oleh pasien sendiri. GDS ini dapat
dimampatkan menjadi 15 pertanyaan saja dan ini mungkin lebih
sesuai untuk dipergunakan dalam praktek umum sebagai alat penapis
depresi pada lanjut usia (Depkes RI, 2001). Ada beberapa pertanyaan
pokok yang harus diajukan dalam proses pemeriksaan yaitu :
1. Apakah pada dasarnya anda merasa puas dengan kehidupan
anda ?
2. Apakah hidup anda terasa kosong ?
3. Apakah anda takut sesuatu yang buruk akan terjadi pada diri
anda ?
4. Apakah anda merasa bahagia pada sebagian besar waktu anda ?
Pertanyaan tersebut dapat dilengkapi dengan mengeksplorasi hal-hal
berikut :

1. Apakah pasien mempunyai riwayat depresi ?


2. Apakah pasien terisolasi secara sosial ?
3. Apakah pasien menderita penyakit kronik ?
4. Apakah pasien baru saja berkabung ?
Bila ditemukan tanda-tanda yang mengarah pada depresi harus
dilakukan lagi pemeriksaan lebih rinci tentang 1) Riwayat
klinis/anamnesis, 2) pemeriksaan fisik, 3) Pemeriksaan kognitif, 4)
Pemeriksaan status mental, 5) pemeriksaan lain (memerlukan rujukan
ke pelayanan yang lebih spesialistik).

1. PROGNOSIS
Roth dkk (1950) dan Murphy (1980) dalam Depkes RI (2001),
menyatakan bahwa hanya sepertiga dari pasien-pasien dengan depresi
yang sembuh setelah selama satu tahun dirujuk kepelayanan psikiatri
usia lanjut. Setengah dari pasien-pasien tersebut mengalami relaps.
Penelitian-penelitian lainnya melaporkan prognosis yang lebih cerah
yaitu lebih dari 60 % sembuh dalam waktu satu tahun. Tingkat
mortalitas pada pasien depresi cukup tinggi yaitu sepertiga dari pasien
Murphy meninggal dalam waktu empat tahun follow up. Penyebab
kematian

tidaklah

berhubungan

langsung

dengan

depresi

tetapiterutama karena penyakit vaskular atau infeksi paru dan bukan


bunuh diri.
Prognosis depresi pada lanju usia tidak banyak berbeda dengan
prognosis pada usia muda. Umumnya penderita akan sembuh dan
tetap befungsi dengan baik jika depresi diobati dan ditatalaksana
dengan baik. Hasil terapi yang kurang baik tampaknya berhubungan

dengan episode awal yang parah dan adanya kemorbiditas dengan


penyakit lain.

1. PENATALAKSANAAN DEPRESI PADA USIA LANJUT


Penatalaksanaan yang adekuat menggunakan kombinasi terapi
psikologis dan farmakologis disertai pendekatan multidisiplin yang
menyeluruh. Terapi diberikan dengan memperhatikan aspek individual
harapan-harapan pasien, martabat (dignity) dan otonomi/kemandirian
pasien. Problem fisik yang ada bersama-sama dengan penyakit mental
harus diobati.
1. Terapi fisik
1. Obat (Farmakologis)
Secara umum semua jenis obat antidepresan sama
efektivitasnya. Pengobatan dimulai dengan dosis separuh
dosis dewasa, lalu dinaikkan perlahan-lahan sampai ada
perbaikan gejala. Beberapa kelompok anti depresan
adalah Trisiklik, SSRI's (Selective Serotonin Re-uptake
Inhibitors), MAOI's (Monoamine Oxidase Inhibitors) dan
Lithium.
2. Terapi Elektrokonvulsif (ECT)
2. Terapi Psikologik
1. Psikoterapi : Psikoterapi Individu dan kelompok paling
efektif dilakukan bersama-sama dengan pemberian anti
depresan. Perlu diperhatikan teknik psikoterapi dan
kecocokan antara pasien dengan terapis sehingga pasien

merasa lebih nyaman, lebih percaya diri dan lebih mampu


mengatasi persoalannya sendiri.
2. Terapi Kognitif : bertujuan mengubah pola pikir pasien
yang selalu negatif (persepsi diri, masa depan, dunia, diri
tak berguna, tak mapu, dsb) ke arah pola pikir yang netral
atau yang positif.
3. Terapi Keluarga : problem keluarga dapat berperan dalam
perkembangan

penyakit

depresi,

sehingga

dukungan/support terhadap pasien sangat penting. Proses


penuaan mengubah dinamika keluarga, ada perubahan
posisi dari dominasi menjadi dependen pada orang usia
lanjut. Tujuan dari terapi terhadap keluarga pasien yang
depresi adalah untuk meredakan perasaan frustrasi dan
putus asa, mengubah dan memperbaiki sikap/struktur
dalam keluarga yang menghambat proses penyembuhan
pasien.
4. Penanganan ansietas : teknik yang umum dipakai adalah
program relaksasi progresif baik secara langsung dengan
infra struktur (psikolog atau terapis okupasional) atau
melalui tape recorder. Teknik ini dapat dilakukan dalam
praktek umum sehari-hari.

3. KOMORBIDITAS
Komorbiditas didefinisikan sebagai adanya dua atau lebih gangguan
psikiatrik atau gangguan psikiatrik dengan penyakit fisik lain pada
seorang pasien pada waktu yang sama. Komorbiditas mempunyai
implikasi terhadap diagnosis, terapi, dan prognosis. Contoh sakit

kepala, putus asa, retardasi psikomotor agak sulit untuk dikaitkan


apakah ini suatu problem organik atau mungkin suatu keadaan depresi
? Kapan dan bagaimana memulai terapi antidepresan pada pasien
dengan penyakit fisik berat ? Jelas bahwa kondisi komorbiditas akan
memperburuk kualitas hidup dan menghambat penyembuhan pasien.
Menurut Katona dalam Depkes RI (2001), menyatakan kejadian
depresi berat meningkat pada pasien dengan penyakit medik/fisik.
Sementara depresi akan memperkuat gejala fisik. Kemorbiditas juga
meningkatkan hendaya fungsional/disabilitas. Menurut Depkes RI
(2001), Kondisi-kondisi Kemorbiditas yang sering dijumpai adalah :
1. Gangguan depresi dan stroke
2. Gangguan depresi dan diabetes mellitus
3. Gangguan depresi dan infark miokard/penyakit jantung koroner
4. Gangguan depresi dan penyakit parkinson
5. Gangguan depresi dan penyakit lain (Alzheimer, Huntington,
dll)
1. KESIMPULAN
Populasi usia lanjut semakin tahun semakin bertambah dan
pertambahan populasi ini diikuti juga oleh semakin kompleksnya
permasalahan yang dihadapi baik fisik maupun psikologis. Kondisi ini
memerlukan

perhatian

dan

penatalaksanaan

yang

semakin

komprehensif. Deteksi dini depresi pada pasien usia lanjut dengan


gangguan/penyakit fisik yang disertai dengan intervensi optimal, akan
memperbaiki prognosis dan mencegah terjadinya disabilitas yang akan
membuat pasien menderita berkelanjutan.

Pendekatan multidisiplin dengan fokus pada kepentingan pasien harus


menjadi perhatian bagi seluruh anggota tim. Kesejahteraan jiwa
pasien, harapan-harapan pasien dan kehidupan sosialnya sebaikinya
juga

diupayakan

terpenuhi

disamping

upaya

penyembuhan

penyakitnya.

DAFTAR PUSTAKA

Amir N. 2005. Depresi, Aspek Neurobiologi Diagnosis dan


Tatalaksana, Jakarta : Balai Penerbit FKUI.

Dadang Hawari D. 2002. Manajemen Stress, Cemas dan


Depresi, Jakarta : Gaya Baru
Depkes dan Kesejahteraan Sosial RI. 2001. Pedoman
Pembinaan Kesehatan Jiwa Usia Lanjut Bagi Petugas
Kesehatan, Jakarta.

Isaac. 2003. Buku Pedoman Kesehatan Jiwa, Jakarta : tp.


Watson R. 2003. Perawatan Pada Lansia, Jakarta : EGC
Dukungan Keluarga Terhadap Lansia

Pengertian Dukungan Keluarga


Menurut Friedman (1998), keluarga merupakan unit
terkecil dalam masyarakat yang merupakan klien
penerima asuhan keperawatan, keluarga berperan
dalam menentukan cara asuhan keperawatan yang
diperlukan
bagi
anggota
keluarga
yang
mengalami maslah kesehatan. Bila salah satu dari
anggota keluarga mengalami masalah kesehatan, maka
system didalam keluarga akan terganggu.
Beberapa tugas dari sebuah keluarga menurut
Friedman,(1998) adalah:
a. Mengenal masalah, keluarga dituntut mampu
mengenali masalah kesehatan yang terjadi dikeluarga.
b. Mampu mengambil keputusan yang tepat bila
menemukan masalah pada keluarga tersebut.
c. Merawat anggota keluarga.
d. Memelihara lingkungan.
e. Memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan.
keluarga berfungsi sebagai sistem pendukung bagi
anggotanya. Anggota keluarga memandang bahwa
orang yang bersifat mendukung, selalu
siap memberikan pertolongan dan bantuan jika
diperlukan. Terdapat empat dimensi dari dukungan
keluarga yaitu:
1.

Dukungan emosional, mencakup ungkapan


empati, kepedulian dan perhatian orang-orang
yang bersangkutan kepada anggota keluarga yang
mengalami masalah kesehatan, misalnya umpan
balik dan penegasan dari anggota keluarga.
Keluarga merupakan tempat yang aman untuk
istirahat
serta
pemulihan
penguasaan
emosi. Keluarga sebagai tempat yang aman dan
damai untuk istirahat dan pemulihan serta

membantu penguasaan terhadap emosi. Aspekaspek dari


dukungan
emosional
meliputi
dukungan yang diwujudkan dalam bentuk afeksi,
adanya kepercayaan, perhatian, mendengarkan
dan didengarkan. Dukungan
emosi
adalah
dukungan yang berhubungan dengan hal
yang bersifat emosional atau menjaga keadaan
emosi, afeksi/ekspresi. Menurut Tolsdorf & Wills
(dalam Orford, 1992), tipe dukungan ini lebih
mengacu kepada
pemberian
semangat,
kehangatan,
cinta,
kasih,
dan
emosi.
Leavy (dalam Orford, 1992) menyatakan
dukungan sosial sebagai perilaku yang memberi
perasaan nyaman dan membuat individu percaya
bahwa dia dikagumi, dihargai, dan dicintai dan
bahwa orang lain bersedia memberi perhatian dan
rasa aman. Selama depresi berlangsung, individu
sering menderita secara emosional, sedih, cemas,
dan kehilangan harga diri. Jika depresi
mengurangi perasaan seseorang akan hal dimiliki
dan dicintai. Dukungan emosional memberikan
individu perasaan nyaman, merasa dicintai saat
mengalami depresi, bantuan dalam bentuk
semangat, empati, rasa percaya, perhatian
sehingga individu yang menerimanya merasa
berharga. Pada dukungan emosional ini keluarga
menyediakan tempat istirahat dan memberikan
semangat.
2.

Dukungan informasi, Keluarga berfungsi sebagai


sebuah kolektor dan disseminator (penyebar)
informasi tentang dunia (Friedman, 1998).
apabila individu tidak dapat menyelesaikan
masalah yang dihadapi maka dukungan ini
diberikan dengan cara memberi informasi,

nasehat,
dan
petunjuk
tentang
cara
penyelesaian masalah. Keluarga juga merupakan
penyebar informasi yang dapat diwujudkan
dengan
pemberian
dukungan
semangat,
serta pengawasan terhadap pola kegiatan seharihari. Keluarga berfungsi sebagai sebuah kolektor
dan diseminator (penyebar) informasi tentang
dunia. Menjelaskan tentang pemberian saran,
sugesti, informasi yang dapat digunakan
mengungkapkan suatu masalah. Manfaat dari
dukungan
ini
adalah
dapat
menekan
munculnya suatu stressor karena informasi yang
diberikan dapat menyumbangkan aksi sugesti
yang khusus pada individu. Aspek-aspek dalam
dukungan ini adalah nasehat, usulan, saran,
petunjuk dan pemberian informasi. Dukungan
informasional
adalah
dukungan
berupa
pemberian informasi yang dibutuhkan oleh
individu. Douse (dalam Orford, 1992) membagi
dukungan ini ke dalam 2 (dua) bentuk. Pertama,
pemberian
informasi
atau
pengajaran
suatu keahlian yang dapat memberi solusi pada
suatu masalah. Kedua adalah appraisal support,
yaitu pemberian informasi yang dapat mebantu
individu dalam
mengevaluasi
performance
pribadinya.
Wills
(dalam
Orford,
1992) menambahkan dukungan ini dapat berupa
pemberian
informasi,
nasehat,
dan bimbingan. Jenis dukungan ini meliputi
jaringan komunikasi dan tanggung jawab
bersama, termasuk di dalamnya memberikan
solusi dari masalah, memberikan nasehat,
pengarahan, saran, atau umpan balik tentang apa
yang dilakukan oleh seseorang. Keluarga dapat
menyediakan informasi dengan menyarankan

tentang dokter, terapi yang baik bagi dirinya, dan


tindakan spesifik bagi individu untuk melawan
stressor. Individu yang mengalami depresi dapat
keluar dari masalahnya dan memecahkan
masalahnya dengan dukungan dari keluarga
dengan menyediakan feed back (Sheiley, 1995).
Pada dukungan informasi ini keluarga sebagai
penghimpun informasi dan pemberi informasi.
3.

Dukungan instrumental, Keluarga merupakan


sebuah sumber pertolongan praktis dan kongkrit
(Friedman, 1998). dukungan ini bersifat nyata
dan
bentuk
materi
bertujuan
untuk
meringankan beban
bagi
individu
yang
membentuk dan keluarga dapat memenuhinya,
sehingga
keluarga
merupakan
sumber
pertolongan yang praktis dan konkrit yang
mencakup dukungan atau bantuan seperti uang,
peralatan,
waktu,
serta
modifikasi
lingkungan. Keluarga merupakan sebuah sumber
pertolongan praktis dan konkrit, diantaranya:
kesehatan penderita dalam hal kebutuhan makan
dan minum, istirahat, terhindarnya penderita dari
kelelahan. Dukungan
instrumental
adalah
dukungan berupa bantuan dalam bentuk
nyata atau dukungan material. Menurut Jacobson
dukungan ini mengacu pada penyediaan bendabenda dan layanan untuk memecahkan masalah
praktis. Wills (dalam Orford, 1992) menyatakan
bahwa dukungan ini meliputi aktivitas-aktivitas
seperti penyediaan benda-benda, misalnya alatalat kerja, buku-buku, meminjamkan atau
memberikan uang dan membantu menyelesaikan
tugas-tugas praktis.

4.

Dukungan penghargaan, Keluarga bertindak


sebagai
sebuah bimbingan
umpan
balik,
membimbing dan mempengaruhi pemecahan
masalah dan sebagai sumber dan validator
identitas anggota (Cohen, 1999). terjadi lewat
ungkapan hormat atau positif untuk pasien,
misalnya: pujian atau reward terhadap tindakan
atau upaya penyampaian pesan ataupun masalah,
keluarga bertindak sebagai bimbingan umpan
balik seperti dorongan bagi anggota keluarga.
Keluarga bertindak sebagai sebuah bimbingan
umpan balik, membimbing dan menengahi
pemecahan
masalah,
sebagai
sumber
dan validator indentitas anggota keluarga
diantaranya memberikan support, penghargaan,
perhatian. Dukungan
penghargaan
adalah
dukungan yang terjadi bila ada ekspresi penilaian
yang positif terhadap individu. Menurut Cohent
& Wils (dalam Orford, 1992), dukungan ini dapat
berupa pemberian informasi kepada seseorang
bahwa dia dihargai dan diterima, dimana harga
diri seseorang dapat ditingkatkan dengan
mengkomunikasikan kepadanya bahwa ia bernilai
dan diterima meskipun tidak luput dari kesalahan.

Sumber dan Manfaat Dukungan KeluargaDukungan


keluarga mengacu pada dukungan yang dipandang
oleh keluarga sebagai sesuatu yang dapat diakses
diadakan untuk keluarga (dukungan bisa atau tidak
digunakan, tetapi anggota keluarga memandang bahwa
orang yang bersifat mendukung selalu
siap memberikan pertolongan dan bantuan jika
diperlukan). Dukungan keluarga dapat berupa
dukungan keluarga internal, seperti dukungan
dari suami istri atau dukungan dari saudara kandung

atau dukungan sosial keluarga eksternal. Menurut


friedman (1998) Dukungan keluarga adalah sebuah
proses yang terjadi sepanjang masa kehidupan. Sifat
dan jenis dukungan sosial berbedabeda dalam
berbagai tahapan siklus kehidupan. Namun demikian,
dalam semua tahap siklus kehidupan. Dukungan
keluarga membuat keluarga mampu berfungsi dengan
berbagai kepandaian dan akal sebagai akibatnya. Hal
ini meningkatkan kesehatan dan adaptasi keluarga.
LansiaMenua (menjadi tua) adalah suatu proses
menghilangnya secara perlahanlahan kemampuan
jaringan untuk memperbaki diri atau mengganti dan
mempertahankan fungsi normalnya sehingga
tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki
kerusakan yang di derita. Menurut undang undang
no.4 tahun 1965 pasal 1, seseorang di nyatakan
sebagai lanjut usia setelah yang bersangkutan
mencapai umur 55 tahun, tidak mempunyai atau tidak
berdaya mencari nafkah sendiri untuk keperluan
hidupnya sehari-hari dan menerima nafkah dari orang
lain. Lanjut usia (lansia) adalah seseorang yang karena
usianya mengalami perubahan biologis, fisis, kejiwaan
dan sosial (UU No23 Tahun 1992 tentang kesehatan).
Pengertian dan pengelolaan lansiamenurut UndangUndang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun
1998 tentang lansia sebagai berikut :
a. Lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia
60 tahun keatas
b. Lansia usia potensial adalah lansia yang masih
mampu melakukan pekerjaan dan kegiatan yang dapat
menghasilkan barang atau jasa
c. Lansia tak potensial adalah lansia yang tidak

berdaya mencari nafkah sehingga hidupnya tergantung


pada bantuan orang lain.
Perubahan Yang Terjadi Pada LansiaSuatu proses
yang tidak dapat dihindari yang berlangsung secara
terus-menerus dan berkesinambungan yang
selanjutnya menyebabkan perubahan anatomis,
fisiologis dan dan biokemis. Pada jaringan tubuh dan
akhirnya mempengaruhi fungsi dan kemampuan badan
secara keseluruhan (Depkes RI, 1998). Perubahan
yang terjadi pada lansia yaitu:
a. Perubahan Fisiologis
Menurut Nugroho (2008) terjadi perubahan fisik
meliputi perubahan dari tingkat sel sampai kesemua
sistem organ tubuh, diantaranya sistem pernapasan,
pendengaran, penglihatan, kardiovaskuler, sistem
pengaturan suhu tubuh, muskuloskeletal, gastro
intestinal, genitourinaria, endokrin dan
integumen. Menurut setiabudhi (1999) perubahan
yang terjadi pada sel seseorang menjadi lansia yaitu
adanya perubahan genetika yang mengakibatkan
terganggunya metabolisme protein,
gangguan metabolisme DNA, terjadi ikatan DNA
dengan protein stabil yang mengakibatkan gangguan
genetika, gangguan kegiatan enzim dan system
pembuatan enzim, menurunnya proporsi protein
diotak, otot, ginjal darah dan hati, terjadinya
pengurangan parenchim serta adanya penambahan
lipofuscin. Menurut Wibowo (dalam Harsuki, 2003:
245) adapun perubahan-perubahan fisioligis yang
terjadi pada lansia diakibatkan oleh adanya degenerasi
fungsi alat-alat tubuh. Penyebab dari degenerasi
tersebut sampai saat ini belum diketahui dengan pasti.
Para pakar berpendapat karena adanya

senyawa radikal bebas, arteriklerosis, dan kurangnya


aktivitas fisik.
b. Perubahan Psikologis
Perubahan psikologis pada lansia meliputi short
term memory, frustasi, kesepian, takut kehilangan
kebebasan, takut menghadapi kematian, perubahan
keingginan, depresi, dan kecemasan (Maryam,
2008). Perubahan psikis pada lansia adalah besarnya
individual differences pada lansia. Lansia memiliki
kepribadian yang berbeda dengan sebelumnya.
Penyesuaian diri lansia juga sulit karena
ketidakinginan lansia untuk berinteraksi
dengan lingkungan ataupun pemberian batasan untuk
dapat berinteraksi (Hurlock, 2000).
c. Perubahan sosial
Umumnya lansia banyak yang melepaskan partisipasi
sosial mereka, walaupun pelepasan itu dilakukan
secara terpaksa. Orang lanjut usia yang memutuskan
hubungan dengan dunia sosialnya akan mengalami
kepuasan. Pernyataan tadi merupakan disaggrement
theory. Aktivitas sosial yang banyak pada lansia juga
mempengaruhi baik buruknya kondisi fisik dan sosial
lansia (Hurlock, 2000).
d. Perubahan Ekonomi
Menurut Kuntjoro (2002) Pada umumnya perubahan
ini diawali ketika masa pensiun. Meskipun tujuan
ideal pensiun adalah agar para lansia dapat menikmati
hari tua atau jaminan hari tua, namun dalam
kenyataannya sering diartikan sebaliknya, karena
pensiun sering diartikan sebagai kehilangan
penghasilan, kedudukan, jabatan, peran, kegiatan,
status dan harga diri. Reaksi setelah orang memasuki
masa pensiun lebih tergantung dari
model kepribadiannya. Perubahan-perubahan yang
terjadi pada usia lanjut pada umumnya mengarah pada

kemunduruan kesehatan fisik dan psikis yang akhirnya


akan berpengaruh juga pada aktivitas ekonomi
dan sosial mereka. Sehingga secara umum akan
berpengaruh pada aktivitas kehidupan sehari-hari.
Secara umum dikatakan bahwa masalah yang di hadapi yang dihadapi oleh
kelompok usia lanjut di Asia menyedihkan. Pemerintah di negara-negara Asia
masih memberikan rioritas yang sangat rendah untuk kesejahteraan sosial ara usia
lanjut karena negara-negara tersebut belum baik perekonomiannya. Sejumlah
besar keluarga miskin, di Asia tidak mampu lebih lama membantu orang tua
mereka walaupun mereka masih mempunyai sikap ingin terus memberikan
pelayanan kepada orangtuanya dalam, satu rumah. Beban kesehatan sangat terasa
bagi keluarga, sehingga mereka tidak dapat memberikan bantuan finansial dari
kesehatan orangtuanya.
Masalah yang dihadapi antara lain: (1) ketiadaan sanak keluarga, kerabat
dan masyarakat lingkungan yang dapat memberikan bantuan tempat tinggal dan
penghidupan; (2) kesulitan hubungan antara usia lanjut dengan keluarga di tempat
selama ia tinggal; (3) ketiadaan kemampuan keuangan/ekonomi dari keluarga
untuk menjamin penghidupan secara layak, (4) kebutuhan penghidupannya tidak
dapat dipenuhi melalui lapangan kerja yang ada (5) perbedaan nilai-nilai yang
dianut antara para usia lanjut

dengan generasi muda yang mengakibatkan

timbulnya keresahan para usia lanjut dan (6) berkurangnya kesempatan keluarga
untuk memberikan pelayanan kepada usia lanjut.

Peran Keluarga terhadap usia lanjut


Pada masyarakat tradisional yang umumnya terdiri dari keluaraga-keluarga
luas, memasuki usia lanjut tidak perlu dirisaukan. Mereka cukup aman karena
anak (dan saudara-saudara lainnya) masih merupakan jaminan yang paling baik
bagi orangtuanya dengan ikatan yang kuat dan berhubungan secara kekeluargaan
dengan tetangga dan teman-teman mereka. Anak masih merasa berkewjiban dan
mempunyai loyalitas menyantuni orangtua mereka yang sudah tidak dapat
mengurus dirinya sendiri. Nilai yang masih berlaku memang anak wajib
memberikan kasih sayangnya kepada orangtuanya sebagaimana pernah mereka
dapatkan pada waktu masa kanak-kanak. Bahkan mendapat peranan tersendiri
baik dalam keluarga mdupun masyarakat. Para usia lanjut mempunyai peranan

yang menonjol sebagai orang yang dituakan, bijak dan. bepengalaman, pembuat
keputusan, dan kaya pengetahuan.
Dalam kondisi fisik yang lemah dan mungkin sakit-sakitan, dalam
kesepian, dalam kebosanan, dalam penderitaan post power syndrome, dalam
keadaan menganggur, anak-anak bertanggung jawab dengan penuh loyalitas dan
hormat mengasuh, membiayai, mendidik dan mengawasi orangtua sebagaimana
pernah mereka lakukan terhadap anak-anaknya. Mempunyai orangtua dalam
keluarga, adalah sama halnya dengan mempunyai anak-anak yang dicintainya.
Orangtua tidak perlu merasa mengganggu keluarga anaknya atas keberadaannya
di antara mereka.
Tempat yang terbaik bagi usia lanjut untuk mendapatkan perawatan adalah
tempat tinggal sendiri bersama anggota keluarga lainnya perawatan yang
dilakukan oleh anak sendiri lebih memberikan rasa nyaman dan aman karena
mereka lebih mahfum atau toleran terhadapnya dibandingkan kerabat atau orang
lain.
VI. Hal yang perlu di perhatikan terhadap lanjut usia
Usia lanjut bukanlah suatu penyakit, melainkan suatu proses degenerasi
yang dialami oleh setiap orang. Memasuki usia lanjut, orang akan mengalami
kemunduran-kemunduran, terutama fisiknya, tetapi tidak berarti ia tidak berguna
lagi. Mereka mempunyai hak yang sama untuk menjalani kehidupan bersama
manusia lainnya yang berbeda menurut usia. Seperti yang lainnya pula, ia berhak
atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusian. Majelis Umum
Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menegaskan bahwa adalah hak mereka untuk
tetap terus bekerja selama mereka masih mampu. Dengan modal yang dimiliki,
pengetahuan dan pengalamannya, dan dengan segala kekurangannya, kelompok
usia lanjut merupakan sumber daya manusia yang dapat dimanfaatkan, baik dalam
dunia kerja maupun dalam bidang-bidang kehidupan lainnya.
Kesadaran bahwa usia lanjut merupakan anggota masyarakatnya, yang
mempunyai hak dan kewajiban dan kesadaran bahwa hidupnya di dunia ini
tinggal beberapa waktu lagi akan berakhir, maka ia perlu memiliki semangat
untuk hidup dan tetap berguna bagi orang lain. Untuk itu, sesuai dengan batas
kemampuannya, seorang usia lanjut dapat memilih jalan hidupnya yang berguna
atau yang tidak berguna bagi sesamanya. Pilihan tersebut dapat dipersiapkan sejak
muda.

Gambaran seorang yang usia lanjut sebagai seorang yang sedang menuju
keliang kubur, berpenyakitan, tidak sanggup membina hubungan cinta kasih dan
tidak bisa menolong dirinya sendiri, apalagi memberi pelayanan kepada orangorang lain, adalah salah. Keterisolasian, kesepian, dijauhi oleh masyarakat,
berkurangnya

penghasilan,

pengangguran,

beberapa

faktor

yang

sering

menghalang-halangi usia lanjut untuk tetap produktif, meskipun kemampuan


mereka belum habis
Kesadaran memelihara usia lanjut (jompo) sebagai suatu kewajiban bagi
anak-anak dapat merupakan suatu sistem yang dipertahankan, karena, selain
mereka pada waktunya juga akan menjadi tua, kemampuan masyarakat dan negara
untuk melayani kelompok usia lanjut belum memadai. Apalagi pelayanan bagi
kelompok umur produktif masih jauh dari menggembirakan. Jika anak-anak tidak
melaksanakan kewajiban tersebut, maka sistem tersebut akan runtuh dan sebagai
akibatnya mereka akan menikmatinya kemudian pada hari tuanya, yakni hidup
tanpa dipedulikan oleh anak-anaknya

Anda mungkin juga menyukai