Anda di halaman 1dari 47

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan salah satu negara beriklim tropis yang memiliki
suhu dan kelembaban tinggi, merupakan suasana yang baik bagi pertumbuhan
jamur, sehingga jamur dapat ditemukan hampir di semua tempat (Hidayati et
al, 2009).
Lingkungan kerja merupakan tempat yang potensial mempengaruhi
kesehatan pekerja. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kesehatan pekerja
antara lain faktor fisik, faktor kimia, dan faktor biologis. Lingkungan kerja
ataupun

jenis

pekerjaan

dapat

menyebabkan

penyakit

akibat

kerja

(Kurniawati, 2006).
Dermatofitosis ialah penyakit yang disebabkan oleh kolonisasi jamur
dermatofit yang menyerang jaringan yang mengandung keratin seperti stratum
korneum kulit, rambut dan kuku pada manusia. Terdapat tiga genus penyebab
dermatofitosis, yaitu microsporum, trichophyton, dan epidermophyton (Wolff
and Johnson, 2012).
Prevalensi penyakit dermatofitosis di Asia mencapai 35,6% (Kumar et
al, 2011). Di Indonesia sendiri pada tahun 2000-2004 prevalensinya
mengalami peningkatan 14,4% (Hidayati, 2009). Dari keseluruhan insidensi
berhubungan dengan pekerjaan, sehingga sering disebut dermatofitosis akibat
kerja antara lain Tinea pedis (Kumar et al, 2011).
Tinea pedis adalah salah satu infeksi kulit pada sela jari kaki dan
telapak kaki yang disebabkan oleh Trichophyton rubrum (Viegas et al, 2013;
Wolff dan Johnson, 2012). Di National Skin Care Singapura pada tahun 19992003, presentase Tinea pedis mencapai 27,3% (Tan, 2005). Di Chumitshu
Chuo Hospital Tokyo Jepang, presentase Tinea pedis mencapai 64,2%
(Takahashi, 2002). Berdasarkan data statistik Poliklinik Kulit dan Kelamin

RSUD Dr. Moewardi Surakarta pada bulan Januari 2011 jumlah kunjungan
kasus dermatofitosis hampir tidak ditemukan, karena penyakit ini tidak lagi
menjadi jangkauan fasilitas kesehatan tingkat tiga atau empat seperti RSUD
Dr. Moewardi (Diklat RSUD Dr. Moewardi, 2015). Hasil wawancara dengan
dinas kesehatan kota Surakarta, 10 besar penyakit kulit yang ada di seluruh
puskesmas Surakarta menunjukan bahwa Tinea pedis termasuk di dalamnya
(Dinkes, 2015). Banyaknya kasus Tinea pedis tersebut disebabkan karena
kebiasaan pemakaian sepatu tertutup dalam aktivitas atau pekerjaan seharihari (Ervianti et al, 2002).
Tinea pedis sering menyerang orang dewasa usia 20-50 tahun yang
berkerja di tempat basah seperti tukang cuci mobil dan motor, petani,
pemungut sampah atau orang yang setiap hari harus memakai sepatu tertutup
(Soekandar, 2001). Bertambahnya kelembaban karena keringat, pecahnya kulit
karena mekanis, dan paparan terhadap jamur merupakan faktor predisposisi
yang menyebabkan Tinea pedis (Kumar et al, 2011).
Keadaan sosial ekonomi serta kurangnya kebersihan memegang
peranan penting terhadap infeksi jamur (Siregar, 2005). Keadaan gizi kurang
akan menurunkan imunitas seseorang dan mempermudah seseoarang
terjangkit suatu penyakit (Chandra dan Kumari, 1994).
Di Indonesia terdapat beberapa pekerjaan dengan pemakaian sepatu
boots diantaranya, petani, pencuci mobil dan motor, anggota brimob dan
pemungut sampah (Soekandar, 2001). Angka kejadian penyakit yang paling
sering di temukan dalam pemakaian sepatu boots anatara lain seperti
dermatitis kontak alergi, scabies dan dermatofitosis (Wardani, 2007).
Penelitian dengan mengambil 56 responden pemungut sampah di
tempat pembuangan akhir Jatibarang Semarang memperoleh hasil 26 (46,4%)
pemulung positif menderita Tinea pedis (Kurniawati, 2006).
Dalam penelitian ini peneliti memilih pekerjaan dengan lingkungan
kerja yang memiliki faktor risiko terjadinya Tinea pedis. Pemungut sampah
2

adalah salah satu contoh okupasi yang kesehariannya menggunakan sepatu


tertutup dengan waktu yang cukup lama dan frekuen. Ruang lingkup kerja
mereka juga seputar daerah kotor, panas dan lembab. Hal-hal tersebut
merupakan beberapa faktor yang memudahkan timbulnya infeksi jamur pada
kaki atau Tinea pedis (Kurniawati, 2006).
Oleh karena itu, peneliti ingin menganalisis, apakah terdapat hubungan
lama pemakaian sepatu boots dengan angka kejadian Tinea pedis pada pekerja
pemungut sampah dinas kebersihan daerah, karena pekerja pemungut sampah
yang bekerja di dinas kebersihan daerah kota Surakarta sudah dibekali dengan
peralatan yang memadai seperti sepatu boots. Data-data dari pekerja pemungut
sampah sudah sangat lengkap dan terorganisir, sehingga memudahkan peneliti
dalam melakukan penelitian.
B. Rumusan masalah
Apakah ada hubungan lama pemakaian sepatu boots sebagai pekerja
pemungut sampah dinas kebersihan daerah kota Surakarta dengan angka
kejadian Tinea pedis?
C. Tujuan Penelitian
Untuk menganalisis hubungan lama pemakaian sepatu boots dengan
angka kejadian Tinea pedis pada pekerja pemungut sampah dinas kebersihan
daerah kota Surakarta.
D. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis hubungan lama pemakaian
sepatu boots sebagai pekerja pemungut sampah dinas kebersihan daerah kota
Surakarta.

E. Manfaat Penelitian
1. Bagi dinas kebersihan daerah kota Surakarta

Dapat menjadi masukan tentang beberapa penyakit yang sering timbul


pada pekerja pemungut sampah seperti halnya infeksi jamur.

2. Bagi pekerja pemungut sampah

Menambah pengetahuan bagi pekerja pemungut sampah tentang risiko


dari pekerjaan pemungut sampah yang rawan terinfeksi jamur kulit.

Memberi edukasi kepada para pekerja pemungut sampah tentang


pencegahan dan penanganan terhadap terjadinya infeksi jamur.

3. Bagi peneliti

Mendapat

pengetahuan

dan

pengalaman

dalam

melaksanakan

penelitian, memperkaya wawasan dalam bidang kesehatan masyarakat


pada umumya, terutama tentang bidang yang diteliti. Hasil penelitian
dapat dijadikan bahan acuan dalam penelitian selanjutnya.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinea Pedis
1. Definisi
Tinea pedis adalah infeksi dermatofita pada kaki, terutama pada sela
jari dan telapak kaki (Wolff and Johnson, 2012). Terdapat tiga bentuk
Tinea pedis, tipe interdigitalis, tipe moccasin, tipe vesicobulosa
(Budimulja, 2007).
2. Etiologi
Terdapat tiga spesies jamur, Trichophyton rubrum, Trichopyhton
mentagrophytes, dan Epidermophyton floccosum adalah penyebab Tinea
pedis di seluruh dunia. Ketiga organisme keratofilik ini, Trichophyton
rubrum merupakan patogen yang paling sering (Wolff dan Johnson, 2012;
Price dan Wilson, 2006).
3. Epidemiologi
Onset Tinea pedis terjadi pada masa kanak-kanak akhir atau pada
kehidupan dewasa muda. Umumnya paling banyak pada usia 20-50 tahun.
Laki-laki lebih banyak dari pada perempuan (Wolff dan Johnson, 2012).
Tinea pedis paling banyak ditemukan diantara jari ke-4 dan ke-5,
dan seringkali meluas ke bawah jari dan sela-sela jari lain. Oleh karena
daerah ini lembab, maka sering terlihat maserasi berupa kulit putih dan
rapuh. Jika bagian kulit yang mati ini dibersihkan, maka akan terlihat kulit
baru, yang pada umumnya juga telah terserang jamur (Budimulja, 2007).

4. Faktor Risiko dan Faktor Predisposisi


Beberapa faktor penyebab Tinea pedis adalah pemakaian sepatu
tertutup untuk waktu yang lama, bertambahnya kelembaban karena
keringat, cuaca panas dan suhu tinggi (Wolff dan Johnson, 2012).
Faktor-faktor risiko Tinea pedis secara garis besar dibagi menjadi
dua (Kumar et al, 2011) :
1) Faktor Host
-

Kemoterapi, obat imunosupresif (steroid)

Diabetes Melitus

Obesitas

Umur

2) Faktor Lokal
-

Trauma

Menggunakan sepatu yang tertutup dalam waktu yang lama

Keadaan kaki lembab dan basah (keringat)

Keadaan sosial ekonomi rendah serta kurangnya kebersihan.

5. Gejala Klinis
Tinea pedis terdiri dari beberapa macam tipe klinis, dan yang paling
sering ditemukan adalah (Siregar, 2005) :
a) Tipe Interdigitalis
Presentasi yang paling umum dari Tinea pedis, yaitu kelainan
yang dimulai dari gatal, sisik, dan eritema yang mengenai sela jari kaki
4 dan 5 dan sering menyebar hingga ke bawah. Ada 2 tipe dari Tinea
pedis Interdigitalis. Pertama, tipe kering yang disebut dermatofitosis
simpleks (kulit pada sela jari kering dan sedikit terkelupas). Kedua,
tipe basah atau maserasi, maserasi terletak pada sela jari yang terkena.
Tipe kedua ini disebut dermatofitosis kompleks.

Gambar 1. Tipe Interdigitalis dry type


(Wolff dan Johnson, 2012)

\
Gambar 2. Tipe Interdigitalis maserated type
(Wolff dan Johnson, 2012)
b) Tipe Moccasin atau hiperkeratotik kronis
Terjadi penebalan kulit disertai sisik, terutama pada telapak
kaki, tepi kaki, dan punggung kaki, eritema biasanya ringan dan
terutama terlihat pada bagian tepi lesi. Keadaan hyperkeratosis hebat
dapat terjadi fisura yang dalam pada bagian lateral telapak kaki.
Keadaan ini disebut tipe moccasin. Pada tipe ini terdapat vesikel yang
berukuran kurang dari 2 mm.

Gambar 3. Tipe Moccasin atau hiperkeratosis kronik


(Wolff dan Johnson, 2012)
c) Vesikobulosa Tinea pedis
Biasa disebabkan oleh T. Mentagrophytes memiliki vesikula
lebih besar dari 3 mm, vesiculopustulosa, atau bulla. Kelainan ini dapat
mulai pada daerah sela jari, kemudian meluas ke punggung kaki atau
telapak kaki.

Gambar 4. Tipe Vesicobulosa


(Wolff dan Johnson, 2012)
6. Patogenesis
Patogenesis dermatofita memiliki 3 step:
a. Perlekatan dermatofit pada keratin, perlekatan atrokonidia pada
jaringan keratin tercapai maksimal 6 jam, dimediasi oleh serabut
dinding terluar dermatofit yang memproduksi keratinase (keratolitik)
yang dapat menghidrolisis keratin dan memfasilitasi pertumbuhan
jamur ini di stratum korneum. Proses ini juga dipermudah oleh adanya
luka (Richardson dan Edwart, 2000).

b. Penetrasi dermatofit melewati dan diantara sel, spora harus tumbuh


dan menembus masuk stratum korneum dengan kecepatan melebihi
proses deskuamasi. Proses penetrasi menghasilkan sekresi proteinase
yang menjadi nutrisi jamur. Dalam upaya bertahan menghadapi
pertahanan imun yang terbentuk tersebut, jamur patogen menggunakan
beberapa cara: (Richardson dan Edwart, 2000).
1. Penyamaran, jamur membentuk kapsul polisakarida yang tebal dan
filamen hifa, sehingga jamur tidak terdeteksi oleh makrofag.
2. Pengendalian,

dengan

sengaja

mengaktifkan

mekanisme

penghambatan imun penjamu atau mengendalikn respun imun


mengarah kepada tipe pertahanan yang tidak efektif, contohnya
adhesin pada dinding sel jamur yang berikatan dengan CD14, yang
berakibat aktivasi makrofag terhambat.
3. Penyerangan, dengan memproduksi molekul yang secara langsung
merusak atau memasuki pertahanan imun spesifik dengan
mensekresi toksin.
c. Respon penjamu, terdiri dari dua bentuk, yaitu imunitas alami yang
memberikan respon cepat dan imunitas adaptif yang memberikan
respon lambat. Pada kondisi individu dengan sistem imun yang lemah
(immunocompromized) cenderung mengalami dermatofitosis yang
berat atau menetap seperti pemakaian obat kemoterapi dan steroid
(Koga, 2005).
7. Diagnosis
Diagnosis Tinea pada umumnya dapat ditegakkan berdasarkan
gejala-gejala klinis yang khas dan pemeriksaan sediaan langsung dengan
KOH 10-20% (Siregar, 2005).
Pemeriksaan dengan menggunakan KOH adalah teknik pemeriksaan
sederhana dengan menggunakan mikroskop. Cairan KOH yang alkalis
dapat menyebabkan penghancuran sel-sel korneosit. Penghancuran

tersebut memungkinkan untuk identifikasi atau melihat di bawah


mikroskop bahan-bahan exogenus non protein seperti hifa dan spora
(Rosani, 1995).
Prosedur dalam pemeriksaan KOH meliputi:
1.

Daerah kulit yang telah dipilih di bersihkan dengan alkohol, untuk


menhilangkan kotoran yang menempel pada kulit. Setelah itu
dilanjutkan dengan pengambilan bahan kerokan dari daerah lesi
kulit.

2.

Kerokan kulit ditampung langsung ke atas gelas obyek atau


ditampung dalam wadah steril, kemudian kerokan dikumpulkan di
bagian tengah gelas obyek tipis-tipis.

3.

Teteskan KOH ke atas kerokan yang telah dipersiapkan.

4.

Tutup gelas obyek dengan gelas penutup.

5.

Panaskan slide tersebut dan hindari pemanasan yang berlebihan.

6.

Periksa dibawah mikroskop, dimulai dengan pembesaan 10 X


sampai 40 X.
Interpretasi hasil pemeriksaan sebagai berikut:

1.

Hifa dermatofita.
Bentuknya seperti benang panjang lurus atau berlekuk yang
seringkali bercabang-cabang, diameternya uniform, warna terang

2.

dengan tepi sedikit gelap.


Hifa dan budding spora candida.
Disebut juga pseudo-hifa yang seringkali sukar di bedakan dengan
hypha dari dermatofita. Bentuknya seperti benang yang panjang,
lurus atau bengkok, bentukan sel bulat atau oval dan budding.

8. Diagnosis Banding
Menurut Budimulja (2007) Tinea pedis perlu dibedakan dengan
penyakit lain di kaki, ada beberapa diagnosis banding yang perlu
diketahui, antara lain:
1) Dermatitis kontak alergi

10

11

Dermatitis kontak alergi dapat menyebabkan gatal disertai


eritema, vesikel, skuamasi terutama pada jari-jari, punggung, dan kaki.
Disebabkan oleh kontak dengan bahan yang dapat menimbulkan reaksi
alergi.

Gambar 5. Dermatitis Kontak Alergi


(http://emedicine.medscape.com)
2) Dermatitis atopik
Dermatitis atopik dapat menyebabkan skuamasi kering yang
disertai gatal di bagian punggung kaki yang lebih dikenal sebagai
eksim. Keadaan ini timbul pada penderita dengan riwayat atopi
(urtikaria, rinitis alergika, dan asma).

Gambar 6. Dermatitis Atopik


(http://emedicine.medscape.com)
3) Psoriasis Vulgaris
Psoriasis dapat menyebabkan deskuamasi dan permukaan kulit
tampak eritematous. Pada psoriasis vulgaris tidak ditemukan vesikel,
bula ataupun pustul. Dalam pemerikaan laboratorium tidak ditemukan
jamur.

Gambar 7. Psoriasis vulgaris


(Wolff dan Johnson, 2012)
4. Candidosis Interdigitalis
Penyakit jamur yang disebabkan oleh spesies jamur Candida,
bersifat akut dan subakut. Gejala klinik yang sering dijumpai antara
lain maserasi, eritematous, bersisik dan disertai rasa gatal.

Gambar 8. Candidosis Interdigitalis


(http://emedicine.medscape.com)

12

13

9. Tatalaksana
Penatalaksanaan Tinea pedis didasarkan atas klasifikasi dan tipenya
(Budimulja, 2007).

Tipe
Moccasin

Tabel 1 : Klasifikasi jenis Tinea pedis dan pengobatannya


Organisme Penyebab
Gejala Klinis
Pengobatan
Trichophyton rubrum Hiperkeratosis
Antifungal
Epidermophyton
yang difus, eritema topikal disertai
floccosum
dan retakan pada
dengan obatScytalidium hyalinum permukaan telapak obatan
S. dimidiatum
kaki;pada
keratolitik asam
umumnya sifatnya salisilat, urea
kronik dan sulit
dan asam laktat
disembuhkan;
untuk
berhubungan
mengurangi
dengan defisiensi
hiperkeratosis;
Cell Mediated
dapat juga
Immunity (CMI)
ditambahkan
dengan obatobatan oral

Interdigital

T. mentagrophytes
(var. interdigitale)
T. rubrum
E. floccosum
S. hyalinum
S. dimidiatum
Candida spp.

Tipe yang paling


sering; eritema,
krusta dan maserasi
yang terjadi pada
sela-sela jari kaki,

Obat-obatan
topikal; bisa
juga
menggunakan
obat-obatan oral
dan pemberian
antibiotik jika
terdapat infeksi
bakteri; kronik :
ammonium
klorida
hexahidrate 20
%

Inflamasi/
Vesikobulosa

T. mentagrophytes
(var. mentagrophytes)

Vesikel dan bula


pada pertengahan
kaki; berhubungan
dengan reaksi
dermatofit

Obat-obatan
topikal biasanya
cukup pada fase
akut, namun
apabila dalam
keadaan berat
maka indikasi

Ulseratif

T. rubrum
T. mentagrophytes
E. floccosum

Eksaserbasi pada
daerah interdigital;
Ulserasi dan erosi;
biasanya terdapat
infeksi sekunder
oleh bakteri;
biasanya terdapat
pada pasien
imunokompromais
dan pasien diabetes

pemberian
glukokortikoid
Obat-obatan
topikal;
antibiotik
digunakan
apabila terdapat
infeksi sekunder

a. Obat Topikal (Wolff dan Johnson, 2012)


1. Imidazol: klotrimazol, miconazol, Ketokonazole, Econazole,
Sulconizol.
2. Allylamines: Naftifine, Terbanafine.
3. Naphthionates: Tolnaftat
4. Nistatin
b. Obat Sistemik (Wolff dan Johnson, 2012)
Pemberian antifungal oral dilakukan setelah pengobatan topikal gagal
dilakukan. Secara umum, dermatofitosis pada umumnya dapat diatasi
dengan pemberian beberapa obat antifungal di bawah ini antara lain:
1. Terbinafine 250 mg tablet.
2. Imidazole: Itroconazole 100 mg kapsul, Fluconazole 150-200
mg tablet, Ketokonazole 200 mg tablet.
3. Griseofulvin: 250-500 mg tablet.
c. Mekanisme kerja obat: (Sukandar et al, 2008)
1. Griseofulvin
Obat antibiotik fungistatik yang menghambat pembelahan sel
jamur dan mengikat keratin sehingga tahan terhadap infeksi
jamur.
2. Nistatin
14

15

Antibiotik yang mempunyai mekanisme kerja mengikat


ergosterol pada membrane sel jamur dan meningkatkan
permeabelitas membrane.
3. Terbinafine
Terbinafine menyebabkan kematian pada sel jamur dengan
menghanbat squalane epoxidase, enzim biosentesis sterol dan
mengakibatkan kekurangan ergosterol di dalam sel jamur.
4. Itrokonazole
Mengurangi sintesis ergosterol dengan menghambat sitokrom
P450.
5. Tolnaftat
Mekanisme

kerjanya

dengan

mendistorsi

hifa

dan

menghentikan pertumbuhan miselium.


B. Tinjauan Umum Tentang Pemungut Sampah
Pemungut sampah adalah orang-orang yang melakukan kegiatan
mengumpulkan barang bekas yang dikumpulkan dari tempat sampah.
Kegiatan yang bergerak di sektor informal ini dipengaruhi oleh sistem
pengelolaan sampah yang dilakukan di Indonesia, yang pada umumnya terdiri
dari sistem pengumpulan, sistem pemindahan, sistem pengangkutan dan
sistem pembuangan akhir.
Kondisi lingkungan kerja para pemungut sampah berada di lingkungan
terbuka sehingga para pemungut sampah di bekali dengan alat pelindung diri
seperti sepatu boots dan sarung tangan. Pemakaian alat pelindung diri yang
terlalu lama seperti sepatu boots dapat mengakibatkan peningkatan produksi
keringat dan akan timbul kelembaban pada kaki. Kondisi inilah yang memicu
terjadinya infeksi jamur atau sering disebut Tinea pedis.

C. Tinjauan Umum Tentang Sepatu Boots


Sepatu boots adalah alat pelindung diri yang digunakan untuk
melindungi diri khususnya pada bagian kaki di waktu bekerja atau melakukan

aktifitas sehari-hari yang berhubungan dengan lingkungan yang kotor, basah,


panas. Berbahan karet, plastik, kulit dan desain yang sangat tertutup rapat
tanpa ventilasi adalah karakteristik dari sepatu boots. Kondisi ini yang
menyebabkan

tingkat

kelembaban

pada

kaki

meningkat,

sehingga

memudahkan jamur untuk berkembang biak dengan subur dan dalam jangka
waktu tertentu akan terjadi infeksi oleh jamur.
Terdapat berbagai pekerjaan yang erat kaitanya dengan penggunaan
sepatu boots antara lain sebagai berikut (Kurniawati, 2006; Soekandar, 2001) :
1. Pemungut sampah
2. Pencuci mobil dan motor
3. Petani
4. Anggota Brimob
D. Hubungan Lama Pemakaian Sepatu Boots dengan Kejadian Tina pedis
Penelitian yang dilakukan oleh Kurniawati (2006) di TPA Jatibarang
Semarang. Terdapat beberapa faktor risiko yang diteliti antara lain penggunaan
sepatu boots. Hasil penelitian menunjukan dari 56 sampel yang diambil 26
diantaranya positif Tinea pedis. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi
hasil

penelitian

diantaranya

meningkatnya

keasadaran

pekerja

akan

pentingnya menjaga kebersihan diri, seperti halnya mengganti sepatu dan kaos
kaki secara rutin dan mencuci kaki setelah bekerja.

E. Kerangka Konsep

Pekerja
pengguna sepatu
boots
16

17

Petani

Pencuci mobil dan


motor

Pemungut sampah

Anggota brimob

Lama kerja

Pemakaian sepatu
boots

Lama pemakaian
sepatu boots

Lembab, suhu
tinggi, keringat
berlebih
Adheren,
penetration, reaksi
host
Tinea pedis

Faktor terkendali

Penggunaan sepatu
tertutup
Kondisi kaki lembab

Faktor tak terkendali

Usia
Trauma
Sosial ekonomi
rendah
Diabetes Militus
Obesitas
Kebersihan
perorangan
Status gizi
Imunitas

Skema I : Kerangka Konsep (Kurniawati, 2006: Wolff dan Johnson, 2012;


Budimulja, 2007; Siregar, 2005; Koga, 2005; Richardson dan Edwart, 2000;
Price dan Wilson, 2006).
G. Hipotesis

Terdapat hubungan lama pemakaian sepatu boots dengan angka


kejadian Tinea pedis pada pekerja pemungut sampah.

18

BAB III
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Desain yang digunakan ialah cross sectional yaitu peneliti mencari
hubungan antara variable bebas (faktor risiko) dengan variable terikat (efek)
dengan melakukan pengukuran pada waktu observasi. Desain cross sectional
yang peneliti lakukan yakni dengan melakukan anamnesis terlebih dahulu
kemudian dilakukan pemeriksaan fisik dan dilajutkan dengan pemeriksaan
laboratorium tanpa follow up lebih lanjut.
B. Lokasi dan waktu penelitian
Penelitian ini dilakukan pada pekerja pemungut sampah di dinas
kebersihan kota Surakarta. Penelitian akan dilaksanakan pada bulan Desember
2015.
C. Variabel Penelitian
1. Variabel independen : Lama pemakaian sepatu boots
2. Variabel dependen

: Tinea pedis

D. Populasi dan Sample Penelitian


1. Populasi
Populasi penelitian adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang
diteliti. Populasi penelitian ini adalah pekerja pemungut sampah dinas
kebersihan daerah kota Surakarta (Sastroasmoro dan Ismael, 2011).

19

2. Sampel
Sampel penelitian adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek
yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi. Sampel dalam
penelitian ini diambil dari sejumlah populasi yang memenuhi kriteria inklusi
dan eksklusi (Sastroasmoro dan Ismael, 2011).
E. Metode Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan metode
purposive sampling yaitu pemilihan subjek berdasarkan atas ciri-ciri dan sifat
tertentu yang berkaitan dengan karakteristik populasi (Sastroasmoro dan Ismael,
2011).
F. Besar Sample
Menurut (Sastroasmoro dan Ismael, 2011). Rumus besar sample yang
digunakam adalah sebagai berikut :

n1 = n2 =

n1= n2 =

n1 = n2 =

20

21

n1 = 7,56
n1 = n2 =
n1 + n2 = 57,15 = 57
Keterangan :
n

= besar sampel

Z = derivat baku alfa


Z = derivat baku beta
P2 = proporsi pada kelompok yang sudah diketahui nilainyadari penelitian
sebelumnya, mendapatkan hasil 24,35%
(Kurniawati, 2006).
Q2

= 1- P2

P1

= proporsi pada kelompok yang nilainya merupakan judgement


penelitian 0,5

Q1

= 1- P1

P1 P2

= selisih proporsi yang dianggap bermakna

= proporsi total = ( P1+P2 )/ 2

=1P
Nilai Z = 1,64 dan presisi absolut yang dikehendaki 5% dan Z = 1,28

dengan presisi absolute yang dikehendaki 10%. Dengan P sebesar 24,35% maka
peneliti akan mengambil 57 sampel (Sastroasmoro dan Ismael, 2011).
G. Kriteria Restriksi
(a) Kriteria Inklusi
1. Pekerja pemungut sampah yang menggunakan sepatu boots.

2. Pekerja pemungut sampah yang mempunyai gejala klinis Tinea pedis.


3. Pekerja pemungut sampah yang bekerja di dinas kebersihan kota
Surakarta.
(b) Kriteria eksklusi
1. Pekerja pemungut sampah yang menjalani terapi obat antifungal, obat
imunosupresif (steroid) dan kemoterapi.
2. Pekerja pemungut sampah penderita Diabetes Militus.
3. Pekerja pemungut sampah yang mengalami trauma pada kaki.
H. Definisi Operasional
1. Tinea pedis
Tinea pedis adalah dermatofitosis pada kaki terutama pada bagian
sela-sela jari dan telapak kaki.
a. Alat ukur: Pemeriksaan fisik dan mikroskopis
b. Skala: Nominal
c. Hasil pengukuran:
1) Positif, apabila ditemukan

gejala klinis

dan hifa dalam

pemeriksaan mikroskopis.
2) Negatif, apabila tidak ditemukan gejala klinis dan hifa dalam
pemeriksaan mikroskopis.
2. Lama pemakaian sepatu boots
Durasi lama pemakaian sepatu boots perhari yang dihitung
berdasarkan jam kerja.
a. Alat ukur: Anamnesis
b. Skala pengukuran: Nominal
c. Hasil pengukuran: Lama pemakaian sepatu boots perhari yang dihitung
berdasarkan jam kerja, yakni 6 dan 9 jam kerja.

22

23

I. Analisis Data
Data yang tercatat pada penelitian ditabulasi dan selanjutnya dianalisis
menggunakan program SPSS secara analitik dengan menggunakan uji ChiSquare.
J. Cara kerja
1. Peneliti datang ke dinas kebersihan kota Surakarta.
2. Peneliti menjelaskan tentang tujuan penelitian serta meminta persetujuan
(informed consent).
3. Peneliti mencari data yang dibutuhkan dengan cara anamnesis dan selanjutnya
dilakukan pemeriksaan fisik dan kerokan untuk menegakan diagnosis.
4. Hasil kerokan diserahkan kepada bagian laboratorium mikrobiologi RSUD
Dr. Moewardi Surakarta.
5. Data yang diperoleh kemudian dilakukan analisa statistik.

J. Alur Penelitian

Pekerja Pemungut Sampah


Inform consent
Pengumpulan data pengguna
sepatu boots perhari

Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan


mikroskop Tinea pedis
Tinea pedis Negatif

Tinea pedis positif

Pengolahan dan analisis data

Skema 2: Alur penelitian

K. Jadwal Kegiatan
24

25

Tabel 2. Jadwal kegiatan


Tahun 2015/2016
Kegiatan
Penyusunan
Proposal
Ujian Proposal
Revisi Proposal
Penelitian
Analisis Data
Penyusunan
Skripsi
Ujian Skripsi
Revisi Skripsi

Bulan
10

11

12

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada pekerja pemungut sampah dinas
kebersihan daerah kota Surakarta dengan menggunakan teknik purposive
sampling. Penelitian ini dilaksanakan tanggal 4 Januari 2016 dengan jumlah
sampel 57 yang sesuai dengan perhitungan estimasi besar sampel yang telah
memenuhi kriteria restriksi. Pengambilan data tersebut dilakukan dengan
melihat rekam medik pasien. Penelitian ini didapatkan hasil sebagai berikut :
1. Karakteristik Pasien
a. Usia
Tabel 4.1 Karakteristik pasien berdasarkan usia
Usia

Frekuensi

Presentase (%)

30 - 39 tahun
40 - 49 tahun

25
10

43,9
17,5

50 - 59 tahun

22

38,6

57

100,0

Total

Pada tabel 4.1 jumlah responden yang paling banyak adalah


responden yang berusia 30-39 tahun, yaitu dengan presentase
sebesar 43,9%, kemudian diikuti responden yang berusia 40-49
tahun sebesar 17,5%, kemudian diikuti responden yang berusia 5059 tahun yaitu sebesar 38,6%, dari jumlah total 57 responden.
b. Lama kerja
Tabel 4.2 Karakteristik responden berdasarkan lam kerja

26

27

Lama kerja

Frekuensi

Presentase (%)

< 5 Tahun

24

42,1

5-9 Tahun

20

35,1

10-14 tTahun

13

22,8

Total

57

100,0

Pada table 4.2 jumlah responden yang paling banyak adalah


responden yang lama kerjanya < 5 tahun, yaitu dengan presentase
sebesar 42,1%, kemudian diikuti responden yang lama kerjanya 5-9
tahun sebesar 35,1%, kemudian diikuti responden yang lama
kerjanya 10-14 tahun yaitu sebesar 22,8%, dari jumlah total 57
responden
c. Lama pemakaian sepatu boots
Tabel 4.3 Karakteristik responden berdasarkan lama pemakaian
sepatu boots
Lama pemakaian
sepatu boots

Frekuensi

Presentase (%)

6 jam

21

36,8

9 jam

36

63,2

Total

57

100,0

Pada tabel 4.2 diketahui bahwa responden yang memakai


sepatu boots 9 jam perhari lebih banyak yaitu sebesar 36 orang
(63,2%) dan responden yang memakai sepatu boots 6 jam perhari
lebih sedikit yaitu 21 orang (36,8%) dari total 57 responden.
2. Lama pemakaian sepatu boots dengan angka kejadian Tinea pedis
Tabel 4.4 Lama pemakaian sepatu boots dengan angka kejadian
Tinea pedis

Pemakaian

Tinea pedis

Tinea pedis

Total / presentase

sepatu boots

positif

Negatif

6 jam

7
(12,3%)

14
(24,6%)

21
(36,8%)

9 jam

26
(45,6%)

10
(17,5%)

36
(63,2%)

Total

33
(57,9%)

24
(42,1)

57
(100,0%)

Dari tabel 4.4 diketahui bahwa responden yang memakai sepatu


boots 6 jam perhari dan mengalami Tinea pedis positif bejumlah 7
orang (12,3%) dan yang mengalami Tinea pedis negatif 14 orang
(14,6%). Sedangkan responden yang memakai sepatu boots 9 jam
perhari dan mengalami Tinea pedis positif berjumlah 26 orang (45,6%)
dan yang mengalami Tinea pedis negatif adalah 10 orang (17,5%) dari
total 57 responden.
3. Analisis Data
Tabel 4.4 Chi Square Test

Chi-Square

Value

df

Asymp, Sig
(2sided)

8,229a

0,004

Dari tabel 4.4 dapat dilihat hasil dari uji statistik didapatkan
nilai P = 0,004. Oleh karena nilai P < 0,05 sehingga dapat disimpulkan
bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara lama pemakaian sepatu
boots dengan angka kejadian Tinea pedis.
B. Pembahasan

28

29

Penelitian ini dilakukan pada tanggal 4 januari 2015 di dinas


kebersihan daerah kota Surakarta dengan jumlah sampel sebesar 57
responden. Dengan teknik pengambilan data yaitu purposive sampling. Tujuan
dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan lama pemakaian sepatu
boots dengan angka kejadian Tinea pedis.
Dari tabel 4.1 menunjukkan bahwa distribusi responden yang paling
banyak yaitu kelompok umur 30-39 tahun dengan jumlah 25 pasien dan
diikuti kelompok umur 40-49 tahun dengan jumlah 10 pasien, hal ini
dikarenakan pada usia 15-64 tahun tersebut merupakan usia produktif bagi
seseorang untuk bekerja (pasaribu, 2007). Penelitian yang dilakukan oleh
Kurniawati (2006) menyatakan dari kelompok umur termuda 20 tahun dan
tertua 60 tahun.
Dari table 4.2 menunjukkan bahwa responden yang lama kerja < 5
tahun lebih banyak dengan jumlah 24 responden dan diikuti kelompok lama
kerja 5-9 tahun dengan jumlah 20 reponden dan kelompok responden paling
sedikit dengan lama kerja 10-14 tahun berjumlah 13 responden, hal ini
disebabkan banyaknya pekerja yang keluar dan masuk sesuai kontrak
kerjanya.
Tabel 4.3 menunjukkan bahwa responden yang memakai sepatu boots
9 jam lebih banyak yaitu sebesar 36 orang (63,2%) dan responden yang
memakai sepatu boots 6 jam lebih sedikit yaitu 21 orang (36,8%). Frekuensi
sampah di kota Surakarta cukup tinggi dan didukung bahwa kota Surakarta
merupakan salah satu kota wisata, maka dari itu dinas kebersihan
membutuhkan pekerja yang mempunyai jam kerja hingga sore hari, kurang
lebihnya sampai 9 jam.
Tabel 4.4 menunjukkan hasil penelitian diketahui bahwa responden
yang memakai sepatu boots 6 jam perhari dan mengalami Tinea pedis positif
berjumlah 7 orang (12,3%) dan yang mengalami Tinea pedis negative
berjumlah 14 orang (24,6%). Sedangkan pasien yang memakai sepatu boots 9
jam perhari dan mengalami Tinea pedis positif berjumlah 26 orang (45,6%)

dan yang mengalami Tinea pedis negatif berjumlah 10 orang (17,5%).


Menurut Soekandar (2001) bahwa pemakaian sepatu tertutup dengan waktu
yang lama dan frekuen serta bertambahnya kelembapan karena keringat
merupakan faktor risiko terjadinya Tinea pedis.
Analisis statistik menggunakan Chi-square didapatkan nilai P = 0,004
dimana nilai tersebut < 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat
hubungan yang bermakna antara lama pemakaian sepatu boots dengan angka
kejadian Tinea pedis. Hal ini sesuai dengan penelitian Kurniawati (2006),
yaitu terdapat beberapa faktor risiko terjadinya Tinea pedis pada pekerja
pemungut sampah diantaranya adalah pemakaian sepatu tetutup dengan waktu
yang lama pada saat bekerja. Pada penelitin yang dilakukan oleh Bae pada
tahun 2012 di salah satu asrama militer di Korea, bahwa angka insedensi
Tinea pedis mencapai 15,2% dan dikarenakn oleh pemakaian sepatu tertutup
yang lama.
Sepatu boots adalah alat pelindung diri yang digunakan para pekerja
pemungut sampah untuk melindungi diri khususnya pada bagian kaki.
Pemakaian sepatu boots dengan waktu yang lama

merupakan salah satu

pencetus terjadinya Tinea pedis (Wolff dan Johnson, 2012). Penularan infeksi
jamur seperti Tinea pedis secara tidak langsung dapat melalui tanaman, kayu
yang dihinggapi jamur, barang-barang atau pakaian, debu atau tanah, hingga
air yang terkontaminasi spora jamur (Siregar, 2005). Spora jamur yang
menempel pada media transmisi akan melekat pada keratin dan memproduksi
keratinase (keratolitik) yang dapat menghidrolisis keratin dan memfasilitasi
pertumbuhan jamur di stratum korneum (Richardson dan Edwart, 2000).
Kelebihan dari penelitian terletak pada variabel yang diteliti, pada
penelitian yang dilakukan Kurniawati meneliti pada seluruh faktor resiko
pekerja pemungut sampah, tetapi pada penelitian ini lebih spesifik pada
pemakaian sepatu boots. Kelemahan dari penelitian ini terletak pada variabel
bebasnya, peneliti hanya mengambil variable lama pemakaian sepat boots
saja. Terdapat beberapa variable perancu yang tidak dapat dikendalikan,
30

31

karena keterbatasan data responden. Variabel perancu yang tidak dikendalikan


adalah diabetes melitus, obesitas, status gizi, dan imunitas.
Menurut penelitian Kurniawati terdapat beberapa variabel yang
mempengaruhi terjadinya Tinea pedis, diantaranya mencuci kaki setelah
bekerja, mengganti kaos kaki saat bekerja dan pemakaian alas kaki yang
tertutup (Kurniawati, 2006: Wolff dan Johnson, 2012). Menjaga daerah kaki
agar tetap kering merupakan salah satu bentuk pencegahan terhadap kejadian
Tinea pedis (Kumar et al (2011). Faktor dari host sendiri seperti status
imunitas memiliki peran penting yakni mempengaruhi respon seseorang
terhadap infeksi dermatofita (Wolff dan Johnson, 2012).

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A.

Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa


terdapat hubungan yang bermakna antara hubungan lama pemakaian sepatu
boots dengan angka kejadian Tinea pedis pada pekerja pemungut sampah
dinas kebersihan daerah kota Surakarta.
B.

Saran
Perlu dilakukan edukasi pada para pekerja pemungut sampah, tentang
pencegahan dan penatalaksanaan yang baik dan benar karena mereka
termasuk orang-orang yang beresiko menderita Tinea pedis. Edukasi yang
perlu diterapkan untuk mencegah terjadinya Tinea pedis antara lain, mencuci
kaki setelah bekerja, menjemur sepatu setelah bekerja.
Dinas kebersihan Surakarta hendaknya bekerja sama dengan fasilitas
kesehatan

setempat

untuk

mendaftarkan

semua

karyawanya

agar

mempermudah dalam penatalaksanaan pekerja yang sudah terinfeksi Tinea


pedis, dan para pekerja mempunyai catatan medis sehingga mempermudah
bagi seorang peneliti dalam memperoleh informasi data pekerja. Diharapkan
adanya penelitian lebih lanjut dengan faktor risiko yang lain.

DAFTAR PUSTAKA

32

33

Budimulja, U. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 5. Jakarta: FKUI. pp. 8994
Chandra, R.K., dan Kumari, S., 1994. Nutrion and Immunity. Journal of nutrition.
Vol 124 (22): 1433-1435
Diklat, Dinas Kesehatan Kota Surakarta, (personal communication), 8 Oktober 2015
Diklat, RSUD Dr. Moewardi, (personal communication), 8 Oktober 2015
Ervianti, E., Martidiharjo, S., Murtiastutik D., 2002. Etiologi dan Pathogenesis
Dermatomikosis Superficialis. RSU Dr. Soetomo/ FK UNAIR. Dalam
Simposium Penatalaksanaan Dermatomikosis Superficialis.
Hidayati, A.N., Suroso, S., Hinda, D., Sandra, E., 2009. Superficial Mycosis in
Mycology Division Out Patient Clinic of Dermatovenereology. Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga. Vol 21: 1
Koga, T. 2005. Fungal Immunology in the Skin; Immune Response to
Dermatophytes. Journal of Dermatology. Vol 50(3): 151-4
Kumar, V., Tilak, R., Prakash, P., Nigam, C., 2011. Tinea Pedis- an Update. Asian
Journal of Medical Sciences. Vol 2: 134-8
Kurniawati, R.D., 2006. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Tinea
pedis pada Pemulung di TPA Jatibarang Semarang. Thesis. Universitas
Diponegoro
Medscape, 2015. http://emedicine.medscape.com/article/1049085-overview. Diakses
10 Desember 2015
Medscape, 2015. http://emedicine.medscape.com/article/1049216-overview. Diakses
10 Desember, 2015

Price, S.A., dan Wilson, L.M., 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit Volume 1. Edisi 6. Jakarta: EGC, pp: 1283-85
Richardson, M., dan Edwart, M., 2000. Model System for Study of Dermatophyte
and Non-dermatophyte Invasion of Human Keratine. Departement of
Bacteriology dan Immunology. Vol 14: 669
Rosani, A. 1995. Prosedur Pemeriksaan KOH. RSUD Dr. Syaiful Anwar, FK
UNIBRAW
Sastroasmoro, S., dan Ismael, S., 2011. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis
Edisi 4. Jakarta: Sagung Seto, pp. 78-81
Siregar, R.S., 2005. Penyakit Jamur Kulit Edisi 1 Jakarta: EGC, pp. 17-21
Soekandar, T.M., 2001. Dermatomikosis Superficilis Pedoman Untuk Dokter dan
Mahasiswa Kedokteran. Jakarta: FKUI, pp.8-10
Sukandar, E.Y., Andrjati, R., Sigit, J.I., Andyana, I.K., Setiadi, A.P., 2008. Iso
Farmakoterapi. Edisi 1 Jakarta: PT.ISFI, pp. 121-6
Takahashi, 2002. Dermatophyte Flora at the Dermatology Clinic of Kimitsu Chuo
Hospital from 1994 through 1999. Nippon Ishinkin Gakkai Zasshi. Vol 43
(1): 217
Tan, H.H., 2005. Superficial Fungal Infections seen at National Skin Centre
Singapore. Journal Medical of Mycology. Vol 46: 778
Viegas, C., Sabino, R., Parada, H., Brandao, J., Carolino, E., 2013. Diagnosis of
Tinea pedis and Onychomycosis in Patients from Carlo CJ, Bowe MC.
Tinea pedis Athletes foot. Saude and Tekhnology. ISSN: 1646-9704

34

35

Wardani, I. 2007. Hubungan Praktik Kebersihan Diri dan Penggunaan Alat Pelindung
Diri dengan Angka Scabies pada Pemulung di TPA Bakung Bandar
Lampung. Skripsi. Unversitas Diponegoro
Wollf, K., dan Johnson, R.A., 2012. Fitzpatrick Color Atlas and Synopsis of Clinical
Dermatology Edisi 6. ISBN: 978-0-07-163342-0

LAMPIRAN 1
PERSETUJUAN PENELITIAN
(Informed Consent)
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama

Tempat/tanggal lahir

Agama

Alamat

Setelah diberi penjelasan mengenai penelitian ini, maka dengan ini saya menyatakan bersedia
sebagai peserta penelitian dengan judul.HUBUNGAN LAMA PEMAKAIAN SEPATU
BOOTS DENGAN ANGKA KEJADIAN TINE PEDIS PADA PEKERJA PEMUNGUT
SAMPAH DINAS KEBERSIHAN DAERAH KOTA SURAKARTA

Surakarta, 2016
Saya yang membuat pernyataan

36

37

LAMPIRAN 2
LEMBAR DATA ANAMNESIS

NAMA :
USIA :
ALAMAT:
AGAMA :
LAMA PEMAKAIAN SEPATU BOOTS /HARI:
LAMA KERJA :
KELUHAN UTAMA YANG DIRASAKAN (GEJALA TINEA PEDIS) :
PENYAKIT LAIN :
RIWAYAT PENGOBATAN:

LAMPIRAN 3
DATA PENELITIAN
N
O
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31

NAMA
SUGENG
FATAH
WARTOYO
DIKUN
DEDI
MURRAWAN
BAMBANG
KARTIMAN
JAMIN
SUKIRNA
EDDI
JUNI
KAMIKARDI
BUDI
PRIYATNO
SUWITA
HARIYANTO
SUYADI
SUDARNO
WARSI
AGUNG
TRI TUNGGAL
SUGIMAN
MULTANTO
SUYANTO
SAID
GIANTO
PARIYANTO
TEGUH
WAHYU
PANDIMAN
HARTANTO
SLAMET
WIDODO

USIA
38
39
49
55
36
56
52
49
51
45
56
51
35

LAMA
KERJA
5
7
12
14
8
12
10
8
6
5
12
9
4

36
54
44
53
50
45
51
40
32
34

5
10
14
12
13
8
8
7
3
4

9
6
9
6
9
9
6
9
9
9

JAM
JAM
JAM
JAM
JAM
JAM
JAM
JAM
JAM
JAM

POSITIF
NEGATIF
NEGATIF
POSITIF
POSITIF
POSITIF
NEGATIF
POSITIF
NEGATIF
NEGATIF

30
52
35
34
49
55
50

2
10
5
3
9
8
7

9
6
9
9
9
6
9

JAM
JAM
JAM
JAM
JAM
JAM
JAM

POSITIF
NEGATIF
POSITIF
NEGATIF
POSITIF
NEGATIF
POSITIF

57

6 JAM

NEGATIF

38

LAMA PEMAKAIAN SEPATU


BOOTS
9 JAM
9 JAM
9 JAM
6 JAM
9 JAM
6 JAM
6 JAM
9 JAM
6 JAM
9 JAM
6 JAM
6 JAM
9 JAM

HASIL
PEMERIKSAN
POSITIF
POSITIF
NEGATIF
POSITIF
POSITIF
NEGATIF
NEGATIF
NEGATIF
POSITIF
POSITIF
POSITIF
NEGATIF
POSITIF

39

32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
52
53
54
55
56
57

WALI
MULYONO
BUDIANTO
SUMARSONO
SUTRISNO
KARIADI
JOHAN
SUKARNO
EDI SUPENO
BAMBANG
TRI
KARSONO
DARMAJI
ANDIK
IMAM
ERPAN
ROSID
BAIDOWI
SIGIT
HARJIMAN
TIKNO
AMBAR
AGUS
ENGGAR
RAGIL
ANWARI
SOLEH

31
45
33
58
30
53
34
44
37

3
5
4
8
2
9
4
6
5

9
9
9
6
9
6
9
9
9

JAM
JAM
JAM
JAM
JAM
JAM
JAM
JAM
JAM

POSITIF
POSITIF
POSITIF
NEGATIF
NEGATIF
NEGATIF
POSITIF
POSITIF
POSITIF

52
31
32
33
36
54
52
35
34
33
57
34
38
36
58
40
59

8
2
2
3
4
9
11
5
4
3
10
4
8
6
12
4
7

6
9
9
9
9
6
6
9
9
9
6
9
9
9
6
9
6

JAM
JAM
JAM
JAM
JAM
JAM
JAM
JAM
JAM
JAM
JAM
JAM
JAM
JAM
JAM
JAM
JAM

NEGATIF
NEGATIF
POSITIF
POSITIF
POSITIF
NEGATIF
POSITIF
NEGATIF
NEGATIF
POSITIF
POSITIF
POSITIF
NEGATIF
POSITIF
NEGATIF
POSITIF
POSITIF

LAMPIRAN 4
KARAKTERISTIK RESPONDEN
Frequencies
Statistics
Umur
N

Valid
Missing

Mean
Median
Mode
Std. Deviation

Lama Kerja

57

57

0
43.72
44.00
34
9.405

0
6.93
7.00
4a
3.321

a. Multiple modes exist. The smallest value is


shown
Frequency Table

40

41

Umur
Frequency
Valid

Percent

Valid
Percent

Cumulative
Percent

30

3.5

3.5

3.5

31

3.5

3.5

7.0

32

3.5

3.5

10.5

33

5.3

5.3

15.8

34

8.8

8.8

24.6

35

5.3

5.3

29.8

36

7.0

7.0

36.8

37

1.8

1.8

38.6

38

3.5

3.5

42.1

39

1.8

1.8

43.9

40

3.5

3.5

47.4

44

3.5

3.5

50.9

45

5.3

5.3

56.1

49

5.3

5.3

61.4

50

3.5

3.5

64.9

51

5.3

5.3

70.2

52

7.0

7.0

77.2

53

3.5

3.5

80.7

54

3.5

3.5

84.2

55

3.5

3.5

87.7

56

3.5

3.5

91.2

57

3.5

3.5

94.7

58

3.5

3.5

98.2

59

1.8

1.8

100.0

57

100.0

100.0

Total

Lama Kerja
Frequency
Valid

Valid
Percent

Percent

Cumulative
Percent

7.0

7.0

7.0

8.8

8.8

15.8

14.0

14.0

29.8

12.3

12.3

42.1

5.3

5.3

47.4

8.8

8.8

56.1

14.0

14.0

70.2

7.0

7.0

77.2

10

7.0

7.0

84.2

11

1.8

1.8

86.0

12

8.8

8.8

94.7

13

1.8

1.8

96.5

14

3.5

3.5

100.0

57

100.0

100.0

Total

Frequencies
Statistics
Umur
N

Valid
Missing

57
0

Umur
Frequency
Valid

Percent

Valid Percent

Cumulative
Percent

30-39 Tahun

25

43.9

43.9

43.9

40-49 Tahun

10

17.5

17.5

61.4

50-59 Tahun

22

38.6

38.6

100.0

Total

57

100.0

100.0

42

43

Frequencies
Statistics
Lama Kerja
N

Valid
Missing

57
0

Lama Kerja
Frequency
Valid

Percent

Valid Percent

Cumulative
Percent

< 5 Tahun

24

42.1

42.1

42.1

5-9 Tahun

20

35.1

35.1

77.2

10-14 Tahun

13

22.8

22.8

100.0

Total

57

100.0

100.0

LAMPIRAN 5
DISTRIBUSI DATA VARIABEL YANG DI TEELITI
Frequencies
Statistics
Lama
Angka
Pemakaian Kejadian Tinea
Sepatu boots
pedis
N

Valid
Missing

57

57

Frequency Table
Lama Pemakaian Sepatu boots
Frequency
Valid

Percent

Valid
Percent

Cumulative
Percent

6 Jam

21

36.8

36.8

36.8

9 Jam

36

63.2

63.2

100.0

Total

57

100.0

100.0

Angka Kejadian Tinea pedis


Frequency
Valid

Valid
Percent

Percent

Cumulative
Percent

Positif

33

57.9

57.9

57.9

Negatif

24

42.1

42.1

100.0

Total

57

100.0

100.0

44

45

LAMPIRAN 6
HASIL UJI BIVARIAT ANTARA LAMA PEMAKAIAN SEPATU BOOTS
DENGAN ANGKA KEJADIAN TINEA PEDIS
Crosstabs
Case Processing Summary
Cases
Missing
Percen
N
t

Valid
Perce
N
nt
Lama Pemakaian Sepatu
boots * Angka Kejadian
Tinea pedis

57

100.0
%

Total
Percen
N
t

.0%

57

100.0
%

Lama Pemakaian Sepatu boots * Angka Kejadian Tinea pedis


Crosstabulation
Angka Kejadian Tinea
pedis
Positif
Lama
Pemakaian
Sepatu Boots

6 Jam Count
Expected
Count
% of Total
9 Jam Count
Expected
Count

Total

% of Total
Count
Expected
Count
% of Total

Negatif

Total

14

21

12.2

8.8

21.0

12.3%

24.6%

36.8%

26

10

36

20.8

15.2

36.0

45.6%
33

17.5%
24

63.2%
57

33.0

24.0

57.0

57.9%

42.1%

100.0%

Lama Pemakaian Sepatu boots * Angka Kejadian Tinea pedis


Crosstabulation
Angka Kejadian Tinea
pedis
Positif
Lama
Pemakaian
Sepatu Boots

6 Jam Count
Expected
Count
% of Total
9 Jam Count
Expected
Count

Total

% of Total
Count
Expected
Count

46

Negatif

Total

14

21

12.2

8.8

21.0

12.3%

24.6%

36.8%

26

10

36

20.8

15.2

36.0

45.6%
33

17.5%
24

63.2%
57

33.0

24.0

57.0

47

Chi-Square Tests

Value
Pearson Chi-Square
Continuity Correctionb
Likelihood Ratio
Fisher's Exact Test
Linear-by-Linear
Association
N of Valid Cases

Asymp.
Sig. (2sided)

df
a

8.229
6.711
8.318

1
1
1

Exact
Sig. (2- Exact Sig.
sided) (1-sided)

.004
.010
.004
.006

8.084

.005

.004

57

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is
8.84.
b. Computed only for a 2x2 table

Anda mungkin juga menyukai