Anda di halaman 1dari 25

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

REFERAT
SEPTEMBER, 2016

DEMAM TIFOID

Oleh :

AAN SUCITRA H, S.Ked


10542 0256 11

Pembimbing :
dr.Hj. NIRWANA LODDO, Sp.A

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2016

LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menerangkan, bahwa:


Nama

: Aan Sucitra, S. Ked

NIM

: 10542 0256 11

Judul Referat

: Demam Tifoid

Telah menyelesaikan Referat dalam rangka Kepanitraan Klinik di Bagian


Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar.

Makassar, 24 September 2016

Pembimbing,

(dr. Hj. Nirwana Loddo, Sp. A)

ii

KATA PENGANTAR

Assalamu Alaikum WR.WB


Dengan mengucapkan puji syukur atas kehadirat Allah SWT karena atas
rahmat, hidayah, kesehatan dan kesempatan-Nya sehingga referat dengan judul
DEMAM TIFOID ini dapat diselesaikan. Salam dan shalawat senantiasa tercurah
kepada baginda Rasulullah SAW, sang pembelajar sejati yang memberikan pedoman
hidup yang sesungguhnya.
Pada kesempatan ini, secara khusus penulis mengucapkan terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada dosen pembimbing dr. Hj. Nirwana
Loddo, Sp. A yang telah memberikan petunjuk, pengarahan dan nasehat yang sangat
berharga dalam penyusunan sampai dengan selesainya referat ini.
Penulis menyadari sepenuhnya masih banyak terdapat kelemahan dan
kekurangan dalam penyusunan referat ini, baik dari isi maupun penulisannya. Untuk
itu kritik dan saran dari semua pihak senantiasa penulis harapkan demi
penyempurnaan referat ini.
Demikian, Semoga referat ini bermanfaat bagi pembaca secara umum dan
penulis secara khususnya.
Billahi Fi Sabilill Haq Fastabiqul Khaerat
Wassalamu Alaikum WR.WB.
Makassar, September 2016
Penulis

iii

DAFTAR ISI
Halaman Judul

........................................................................................

Lembar Pengesahan ........................................................................................

ii

Kata pengantar

........................................................................................

iii

....................................................................................................

iv

Daftar Isi

BAB I PENDAHULUAN

............................................................................

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


A. Definisi

........................................................................................

B. Epidemiologi ........................................................................................

C. Etiologi

........................................................................................

D. Patogenesis

........................................................................................

E. Manifestasi Klinis
F. Diagnosis

............................................................................

........................................................................................

G. Differential Diagnosis ............................................................................

12

H. Perawatan dan Pengobatan

................................................................

12

I. Komplikasi

........................................................................................

16

J. Pencegahan

........................................................................................

17

K. Prognosis

........................................................................................

18

BAB III KESIMPULAN

............................................................................

19

iv

BAB I
PENDAHULUAN

Demam tifoid banyak ditemukan di masyarakat perkotaan maupun di


pedesaan. Penyakit ini erat kaitannya dengan kualitas higiene pribadi dan sanitasi
lingkungan yang kurang baik. Di Indonesia bersifat endemik dan merupakan masalah
kesehatan masyarakat. Dari telaah kasus di rumah sakit besar di Indonesia, tersangka
demam tifoid menunjukkan kecenderungan meningkat dari tahun ke tahun dengan
rata-rata kesakitan 500/100.000 penduduk dan angka kematian antara 0.65%. Selain
tingkat insiden yang tinggi, demam tifoid terkait dengan berbagai aspek
permasalahan lain, misalnya: akurasi diagnosis, resistensi antibiotik dan masih
rendahnya cakupan vaksinasi demam tifoid.1
Angka rata-rata kesakitan demam tifoid di Indonesia mencapai 500/100.000
penduduk dengan angka kematian antara 0,6 5%. Berdasarkan Riset Kesehatan
Dasar (RISKESDAS) yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan tahun 2007,
prevalensi demam tifoid di Indonesia mencapai 1,7%. Distribusi prevalensi tertinggi
adalah pada usia 5-14 tahun (1,9%), usia 1-4 tahun (1,6%), usia 15-24 tahun (1,5%)
dan usia <1 tahun (0,8%). Kondisi ini menunjukkan bahwa anak-anak (0-18 tahun;
WHO) merupakan populasi penderita demam tifoid terbanyak di Indonesia.2
Situasi penyakit demam tifoid di Provinsi Sulawesi Selatan pada tahun 2005
sebanyak 16.478 kasus, dengan kematian sebanyak 6 orang (CFR=1%). Berdasarkan
laporan yang diterima oleh Subdin P2&PL Dinkes Prov. Sulsel dari beberapa
kabupaten yang menunjukkan kasus tertinggi yakni Kota Parepare, Kota Makassar,

Kota Palopo, Kab. Enrekang dan Kab. Gowa, sedangkan untuk tahun 2006, tercatat
jumlah penderita sebanyak 16.909 dengan kematian sebanyak 11 orang
(CFR=0,07%) dan sebaran kasus tertinggi di Kab. Gowa, Kab. Enrekang, Kota
Makassar dan Kota Parepare. Pada tahun 2007 tercatat jumlah penderita sebanyak
16.552 dengan kematian sebanyak 5 orang (CFR=0,03%) dengan sebaran kasus
tertinggi di Kab. Gowa, Kab. Enrekang dan Kota Makassar.3
Pendekatan diagnosis demam tifoid di Indonesia adalah meliputi diagnosis
klinis (anamnesis dan pemeriksaan fisik) untuk mendapatkan sindroma klinis dan
pemeriksaan penunjang untuk menentukan definisi kasus. Case definition
diagnosis demam tiofid berdasarkan guideline World Health Organization (WHO),
confirmed case bila pasien demam (> 38 C) selama minimal 3 hari dengan hasil
kultur darah, bone marrow atau cairan usus yang positif Salmonella Typhi. Probable
case apabila pada kasus demam tersebut didapatkan positif serodiagnostik maupun
deteksi antigen tanpa dilakukan isolasi bakteri.4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Demam tifoid adalah infeksi akut pada saluran pencernaan yang disebabkan
oleh Salmonella typhi, dengan gejala utama demam, gangguan saluran pencernaan,
serta gangguan susunan saraf pusat/kesadaran. Demam tifoid pada anak pada
umumnya bersifat ringan dan mempunyai potensi sembuh spontan, namun demam
tifoid yang berat/dengan komplikasi harus ditangani secara adekuat. Terminologi lain
yang sering digunakan adalah typhoid fever, paratyphoid fever, typhus, dan
paratyphus abdominalis atau demam enterik.5,6
B. EPIDEMIOLOGI
Beberapa negara sudah menjalankan imunisasi tifoid sesuai rekomendasi
World Health Organization (WHO) sehingga sulit menentukan prevalens penyakit
tersebut di dunia. Beberapa sistem surveilans untuk kasus demam tifoid di
negara berkembang sangat terbatas, terutama di tingkat komunitas, sehingga
prevalens penyakit yang sesungguhnya sangat sulit diperoleh. Data surveilans
yang tersedia menunjukkan bahwa pada tahun 2000, estimasi penyakit adalah
sebanyak 21.650.974 kasus, kematian terjadi pada 216.510 kasus tifoid dan
5.412.744 pada penyakit paratifoid. Data tersebut diekstrapolasi dari beberapa
penelitian sehingga dapat kurang tepat, apalagi karena pemeriksaan penunjang
diagnosis yang tidak akurat.7

C. ETIOLOGI
Basil penyebab tifoid adalah Salmonella typhi dan paratyphi dari genus
Salmonella. Basil ini adalah gram negatif, bergerak tidak berkapsul tidak membentuk
spora, tetapi memiliki fimbria, bersifat aerob dan anaerob fakultatif. Ukuran antara
(2-4) x 0,6 um. Suhu optimum untuk tumbuh adalah 37C dengan pH antara 6-8.

Masa inkubasi tifoid adalah 10-14 hari dan pada anak masa inkubasi lebih
bervariasi berkisar 5-40 hari, dengan perjalanan penyakit kadang-kadang juga tidak
teratur.4
Basil Salmonella typhi dan paratyphi mempunyai struktur yang dapat
diketahui secara serologis.4
-

Antigen somatik (O)


Merupakan kompleks fofolipid protein polisakarida yang tahan terhadap
pendidihan, alkohol dan asam. Aglutinasi O berlangsung lebih lambat dan
bersifat kurang imunogenik, namun mempunyai nilai diagnostik yang tinggi,
titer antibodi yang timbul oleh antigen O selalu lebih rendah dari titer
antibodi H.

Antigen flagel (H)


Merupakan protein termolabil dan bersifat sangat imunogenik. Antigen ini
rusak dengan pendidihan dan alkohol tetapi tidak rusak oleh formaldehid.

Antigen Vi
Merupakan antigen permukaan dan bersifat termolabil. Antibodi yang
terbentuk dan menetap lama dalam darah dapat memberi petunjuk bahwa
individu tersebut sebagai pembawa kuman (karier). Antigen Vi terdapat pada
S. typhi, S. paratyphi, dan S. dublin.

D. PATOGENESIS,9
Bakteri Salmonella (termasuk serotipe Typhi maupun Paratyphi) memasuki
tubuh inang melalui rute fekal-oral menuju lokasi infeksi pada usus halus (ileum).
Pada usus halus pars ileum ini didapatkan kumpulan limfonoduli submukosa yang
memperantarai sistem imunologi mukosa dikenal sebagai Plak Peyeri. Port dentree
bakteri ke dalam tubuh adalah melalui sel Mkifrofold (sel M) yang merupakan
struktur khusus pada permukaan Plak Peyeri, berfungsi menyaring antigen yang akan
memasuki plak payeri. Penelitian pada subjek sukarelawan didapatkan dosis infeksi
(infecting dose) sekitar 105-106 organisme dengan Salmonella yang ditangkap oleh
sel M akan mentranslokasikannya ke basal sel, lokasi dimana makrofag yang
merupakan Sel Penyaji Antigen berada. Makrofag akan memfagosit Salmonella
untuk dihancurkan dan dikelola antigennya, disajikan pada Sel T helper maupun Sel
B spesifik8,9
Salmonella memiliki mekanisme evasi fagositik yang baik, yaitu dengan
menggagalkan fusi fagosom dengan lisosom. Bakteri yang survive tersebut akan
menggandakan diri dan menginfeksi makrofag-makrofag, dan ikut terbawa ke nodus
limfatik mesenterium, dan keluar ke aliran darah menyebabkan bakteremia primer.
Setelah itu, Salmonella memasuki organ retikuloendotelial seperti sumsum tulang,
hepar dan lien dan bereplikasi kembali di dalam makrofag organ-organ tersebut
sehingga terjadi aktivasi jaringan limfoid maupun makrofag, menyebabkan
hepatomegali dan splenomegali. Manifestasi klinisnya adalah gejala nyeri perut
akibat

pendesakan

organomegali,

mual

dan

muntah

sebagai

manifestasi

hepatomegali yang mendesak saluran pencernaan. Pasca organomegali, bakteri


kembali memasuki aliran darah menyebabkan bakteremia sekunder yang mengawali
5

munculnya gejala demam akibat dilepaskannya endotoksin ke peredaran darah,


menginduksi pirogen endogen yang mempengaruhi temperature set di hipothalamus
sehingga terjadi peningkatan suhu tubuh.9
E. MANIFESTASI KLINIS10
Masa inkubasi demam tifoid rata-rata adalah 7 14 hari, dipengaruhi oleh
dosis infeksi dengan rentang waktu 3 30 hari. Manifestasi klinis meliputi tifoid
ringan dengan demam derajat ringan, malaise, sedikit batuk kering hingga
manifestasi klinis yang berat seperti gangguan gastrointestinal, roseola spot dan
berbagai komplikasi. Kondisi ini sangat dipengaruihi oleh virulensi bakteri, usia,
daya tahan tubuh, waktu pengobatan dan drug of choice yang diberikan.

Sebuah penelitian di Karachi, Pakistan menggunakan sampel sebanyak 2000


anak dengan demam tifoid didapatkan presentase gejala klinis yang dapat dijadikan
sebagai acuan dalam penentuan sindroma klinis.
Tabel 1. Gejala/Tanda Klinis Demam Tifoid Anak
Gejala/Tanda Klinis Umum Demam Tifoid pada Anak
Gejala/Tanda

Presentase (%)

Demam tinggi

95

Lidah Tifoid

76

Anorexia

70

Vomitus

39

Hepatomegali

37

Diare

36

Tampak Toksik

29

Nyeri Perut

21

Pucat

20

Splenomegali

17

Konstipasi

Sakit kepala

Ikterus

Delirium

Ileus

Perforasi usus halus

0,5

F. DIAGNOSIS1,7,11
1. Anamnesis
-

Demam turun naik terutama sore dan malam hari dengan pola intermiten
dan kenaikan suhu step-ladder. Demam tinggi dapat terjadi terus menerus
(demam kontinu) hingga minggu kedua.

Sakit kepala (pusing-pusing) yang sering dirasakan di area frontal

Gangguan gastrointestinal berupa konstipasi dan meteorismus atau diare,


mual, muntah, nyeri abdomen dan BAB berdarah

Gejala penyerta lain, seperti nyeri otot dan pegal-pegal, batuk, anoreksia,
insomnia

Pada demam tifoid berat, dapat dijumpai penurunan kesadaran atau


kejang

2. Pemeriksaan Fisik
Gejala klinis bervariasi dari yang ringan sampai berat dengan komplikasi.
Kesadaran menurun, delirium, sebagian besar anak mempunyai lidah tifoid yaitu
di bagian tengah kotor dan bagian pinggir hiperemis, meteorismus, hepatomegali
lebih sering dijumpai daripada splenomegali. Kadang-kadang terdengar ronki
pada pemeriksaan paru.
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan hematologi
Pemeriksaan hematologi untuk demam tifoid tidak spesifik. Hitung leukosit
yang rendah sering berhubungan dengan demam dan toksisitas penyakit,
namun kisaran jumlah leukosit bisa lebar. Pada anak yang lebih muda
leukositosis bisa mencapai 20.000-25.000/mm3. Trombositopenia dapat
merupakan marker penyakit berat dan disertai dengan koagulasi intravaskular
diseminata. Pemeriksaan fungsi hati dapat berubah, namun gangguan hati
yang bermakna jarang ditemukan.

b. Pemeriksaan Widal
Pemeriksaan Widal mengukur kadar antibodi terhadap antigen O dan H S.
typhi dan sudah digunakan lebih dari 100 tahun. Pemeriksaan Widal memiliki
sensitivitas dan spesifisitas yang rendah dan penggunaannya sebagai
satusatunya pemeriksaan penunjang di daerah endemis dapat mengakibatkan
overdiagnosis. Kadar aglutinin tersebut diukur dengan menggunakan
pengenceran serum berulang. Pada umumnya antibodi O meningkat di hari
ke-6-8 dan antibodi H hari ke 10-12 sejak awal penyakit. Interpretasi

pemeriksaan Widal harus dilakukan secara hati-hati karena beberapa faktor


mempengaruhi hasilnya, antara lain stadium penyakit, pemberian antibiotik,
teknik laboratorium, endemisitas penyakit tifoid, gambaran imunologi
masyarakat setempat, dan riwayat imunisasi demam tifoid. Sensitivitas dan
spesifisitas rendah tergantung kualitas antigen yang digunakan bahkan dapat
memberikan hasil negatif pada 30% sampel biakan positif demam tifoid.
Pemeriksaan Widal memiliki sensitivitas 40%, spesifisitas 91,4%, dan nilai
prediksi positif 80%. Hasil pemeriksaan Widal positif palsu dapat terjadi oleh
karena reaksi silang dengan non-typhoidal Salmonella, enterobacteriaceae,
pemeriksaan dilakukan di daerah endemis infeksi dengue dan malaria,
riwayat imunisasi tifoid, dan preparat antigen komersial yang bervariasi serta
standardisasi yang kurang baik. Pemeriksaan Widal seharusnya dilakukan 1-2
minggu kemudian sehingga kenaikan 4 kali, terutama agglutinin O memiliki
nilai diagnostik yang penting untuk demam tifoid. Titer aglutinin O yang
positif dapat berbeda dari >1/80 sampai >1/320 antar laboratorium tergantung
endemisitas demam tifoid di masyarakat setempat dengan catatan 8 bulan
terakhir tidak mendapat vaksinasi atau baru sembuh dari demam tifoid.
Pemeriksaan Widal pada serum akut satu kali saja tidak mempunyai
arti penting dan sebaiknya dihindari oleh karena beberapa alasan, yaitu
variablitas alat pemeriksaan, kesulitan memperoleh titer dasar dengan kondisi
stabil, paparan berulang S.typhi di daerah endemis, reaksi silang terhadap non
Salmonella

lain,

dan

kurangnya

kemampuan

reprodusibilitas

hasil

pemeriksaan tersebut. Pemeriksaan serologi untuk aglutinin Salmonella


seperti pemeriksaan Widal bahkan tidak dianjurkan.

c. Pemeriksaan serologi terhadap spesimen darah


Pemeriksaan diagnostik baru saat ini tersedia, seperti Typhidot atau Tubex
yang mendeteksi antibodi IgM antigen spesifik O9 lipopolisakarida S. typhi.
Dalam dua dekade ini, pemeriksaan antibodi IgM dan IgG spesifik terhadap
antigen S. typhi berdasarkan enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)
berkembang.
Antigen dipisahkan dari berbagai struktur subselular organisme antara
lain: liposakarida (LPS), outer membrane protein (OMP), flagella (d-H), dan
kapsul (virulence [Vi] antigen). Telah banyak penelitian yang membuktikan
bahwa pemeriksaan ini memiliki sensitivitas dan spesifisitas hampir 100%
pada pasien demam tifoid dengan biakan darah positif S. typhi. Pemeriksaan
antibodi IgM terhadap antigen O9 lipopolisakarida S.typhi (Tubex) R dan
IgM terhadap S.typhi (Typhidot) Rmemiliki sensitivitas dan spesifitas
berkisar 70% dan 80%.
Pemeriksaan serologi tersebut dapat dibaca secara visual dalam waktu
10 menit dengan membandingkan warna akhir reaksi terhadap skala warna
dan nilai > 6 dianggap sebagai positif kuat. Namun interpretasi hasil serologi
yang positif harus dilakukan secara hati-hati pada kasus tersangka demam
tifoid di daerah endemis karena IgM dapat bertahan sampai 3 bulan,
sedangkan IgG sampai 6 bulan.
d. Pemeriksaan PCR
Pemeriksaan whole blood culture PCR terhadap S. typhi hanya
membutuhkan waktu kurang dari 8 jam dan memiliki sensitivitas yang tinggi

10

sehingga lebih unggul dibanding pemeriksaan biakan darah biasa yang


membutuhkan waktu 5-7 hari. In-flagelin PCR terhadap S. typhi memiliki
sensitivitas 93,58% dan spesifisitas 87,9%.13 Pemeriksaan nested polymerase
chain reaction(PCR) menggunakan primer H1-d dapat digunakan untuk
mengamplifikasi gen spesifik S. typhi dari darah pasien dan merupakan
pemeriksaan diagnostik cepat yang menjanjikan. Pemeriksaan nested PCR
terhadap gen flagelin (fliC) dari S. typhi dapat dideteksi dari spesimen urin
21/22 (95.5%), dikuti dari spesimen darah 20/22 (90%), dan tinja 15/22
(68.1%).

e. Pemeriksaan serologi dari spesimen urin


Pemeriksaan ELISA terhadap antibodi monoklonal spesifik antigen 9
grup D Salmonella dari spesimen urin pada satu kali pemeriksaan memiliki
sensitivitas 65%, namun pemeriksaan urin secara serial menunjukkan
sensitivitas 95%. Pemeriksaan ELISA menggunakan antibodi monoklonal
terhadap antigen 9 somatik (O9),antigen d flagella (d-H), dan antigen
virulensi kapsul (Vi) pada spesimen urin memiliki sensitivitas tertinggi pada
akhir minggu pertama, yaitu terhadap ketiga antigen Vi terdeteksi pada 9
kasus (100%), O9 pada 4 kasus (44%) dan d-H pada 4kasus (44%).
Spesifisitas untuk Vi lebih dari 90% sehingga deteksi antigen Vi pada urin
menjanjkan untuk menunjang diagnosis demam tifoid, terutama dalam
minggu pertama sejak timbulnya demam.

11

f. Pemeriksaan antibodi IgA dari spesimen saliva


Pemeriksaan

diagnostik

yang

mendeteksi

antibodi

IgA

dari

lipopolisakarida S. typhi dari spesimen saliva memberikan hasil positif pada


33/37 (89,2%) kasus demam tifoid. Pemeriksaan ELISA ini menunjukkan
sensitivitas 71,4%, 100%, 100%, 9,1% dan 0% pada minggu pertama, kedua,
ketiga, keempat, dan kelima perjalanan penyakit demam tifoid.

g. Pemeriksaan radiologik

Foto thorax, apabila diduga terjadi komplikasi pneumonia

Foto abdomen, apabila diduga terjadi komplikasi intraintestinal seperti


perforasi usus atau perdarahan saluran cerna

Pada perforasi usus tampak:


o Distribusi udara tak merata
o Airfluid level
o Bayangan radiolusen di daerah hepar
o Udara bebas pada abdomen

G. DIFFERENTIAL DIAGNOSIS8,9
Beberapa penyakit dapat menjadi diagnosa banding demam tifoid,
diantaranya: Demam berdarah Dengue, Gastroenteritis, hepatitis akut, tuberkulosis,
malaria, Brucellosis, limfoma, leptospirosis dan lain sebagainya.

H. PERAWATAN DAN PENGOBATAN6,12


1. Simtomatis
a. Istirahat muthlak (tirah baring)

12

Anak barinng terus di tempat tidur dan letak baring harus sering diubah

Lamanya istirahat baring berlangsung samai 5 hari bebas demam,


dilanjutkan dengan mobilisasi secara bertahap sebagai berikut:
-

Hari 1 duduk 2x15 menit

Hari 2 duduk 2x30 menit

Hari 3 jalan dan pulang

Seandainya selama mobilisasi bertahap ada kecenderungan suhu meningkat,


maka istirahat muthlak diulangi kembali.
b. Dietik
1) Makanan biasa
2) Keadaan khusus:

Makanan cair per sondde (bila kesadaran jelas menurun dan


anoreksia)

IVFD (bila ada dehidrasi berat, keadaan toksik, komplikasi berat)


Menanggulangi gangguan sirkulasi
-

Renjatan ringer laktat: 20-30 cc/kgBB/jam

Renjatan berat (profound shock) ringer laktat diguyur


sampai tekanan darah terukur dan nadi teraba, kemudian
jumlah cairan yang diberikan disesuaikan dengan keadaan
penderita

Diare dehidrasi sesuai dengan protokol gastroenterologi

Menjamin intake (keseimbangan cairan dan elektrolit)


Pemberian obat-obatan intravena berkesinambungan

13

2. Kausal
a. Kloramfenikol

Dosis: 75-100 mg/kgBB/hari, dibagi dalam 3 atau 4 dosis per oral atau
parenteral, sesuai keadaan penderita.

Lama pemberian:
10 hari untuk demam tifoid ringan
14 hari untuk:
-

DT berat (keadaan toksisk dan komplikasi berat, bronkhitis,


pneumonia)

Masih demam setelah 10 hari pemberian kloramfenikol

b. Obat pilihan
Diberikan bila ada tanda-tanda resistensi atau intoksikasi kloramfenikol

Kotrimoksazol
Dosis: trimetropin 6 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis, selama 10 hari.

Amoksisilin
Dosis: 100 mg/kgBB/hari dibagi 3 atau 4 dosis, selama 10 hari.

Bila klinis tidak ada perbaikan digunakan generasi ketiga sefalosporin


seperti ceftriakson (80 mg/kg IM atau IV, sekali sehari, selama 5-7 hari)
atau cefixime oral (20 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis selama 10 hari)

3. Kortikosteroid
Indikasi:

Keadaan toksik

Komplikasi berat (perdarahan/perforasi usus, ensefalitis)

14

Untuk ini diberikan deksametason 1 mg/kg BB/hari/ IV selama 2-3 hari,


kemudian dilanjutkan dengan prednisom 2 mg/kg BB/ hari sampai dengan
2 minggu
4. Tindakan Khusus
a. Perforasi/perdarahan

Stop intake per oral

IVFD (untuk koreksi gangguan sirkulasi, keseimbangan elektrolit dan


menjamin intake)

Transfusi darah (untuk atasi anemia pasca perdarahan dan renjatan/ syok
hemoragis)

Kloramfenikol 100 mg/kg BB/ hari IV

Dexametasone 1mg/kg BB/ hari IV

Khusus untuk perorasi usus segera konsul bedah

Kalau

perdarahan

masih

berlangsung lebih

72

jam

perlu

pertimbangkan pemberian hemostatik: Carbazochrome sodium sulfonat


50 mg bolus IV. Kemudian dilanjutkan 100 mg/ 24 jam secara drips
b. Renjatan septik

IVFD

Kloramfenikol 100 mg/kg BB/ hari IV

Dimulai dengan Dexametasone 3mg/kg BB 1 dosis, setelah 6 jam


diikuti 8 dosis 1 mg/kg BB/ setiap 6 jam
Setiap kali pemberian kortikosteroid dilarutkan di dalam 50 cc Dextrose
5% dan diberikan selama 30 menit

15

Dapat dipertimbangkan obat-obatan inotropik: Dopamin dengan dosis 520 mikrogram/Kg BB/menit secara drips

Bila perlu diberikan plasma ekspander untuk mempertahankan tekanan


koloid

Bila ada tanda-tanda anoksia beri O2 2-4 liter/menit.

I. KOMPLIKASI4
Pada minggu ke 2 atau lebih, sering timbul komplikasi demam tifoid mulai yang
ringan sampai berat bahkan kematian, beberapa komlikasi yang sering terjadi
diantaranya:
1. Tifoid toksik ( tifoid ensefalopati)
Didapatkan gangguan atau penurunan kesadaran akut dengan gejala delirium
sampai koma yang disertai atau tanpa kelainan neurologis lainnya. Analisa
cairan otak biasanya dalam batas normal
2. Syok septik
Adalah akibat lanjut dari respon inflamasi sistemik, karena bakteremia
Salmonella. Disamping gejala-gejala tifoid, penderita jatuh ke dalam fase
kegagalan vaskular (syok). Tensi turun, nadi cepat dan lemah, berkeringat serta
akral dingin.
3. Peritonitis
Biasanya menyertai perforasi, tetapi dapat terjadi tanpa perforasi. Ditemukan
gejala-gejala abdomen akut yakni nyeri hebat, kembung serta nyeri pada
penekanan.

16

4. Pneumonia
Dapat disebabkan oleh basil Salmonella atau koinfeksi dengan mikroba lain
yang sering menyebabkan pneumonia. Pada pemeriksaan didapatkan gejalagejala klinis pneumonia serta gambaran khas pada foto polos toraks.

J. PENCEGAHAN10,13
Strategi pencegahan yang dipakai adalah untuk selalu menyediakan makanan
dan minuman yang tidak terkontaminasi, higiene perorangan terutama menyangkut
kebersihan tangan dan lingkungan, sanitasi yang baik, dan tersedianya air bersih
sehari-hari. Strategi pencegahan ini menjadi penting seiring dengan munculnya kasus
resistensi.
Selain strategi di atas, dikembangkan pula vaksinasi terutama untuk para pendatang
dari negara maju ke daerah yang endemik demam tifoid. Vaksin-vaksin yang sudah
ada yaitu:
o Vaksin Vi Polysaccharide
Vaksin ini diberikan pada anak dengan usia di atas 2 tahun dengan
dinjeksikan secara subkutan atau intra-muskuler. Vaksin ini efektif selama 3
tahun dan direkomendasikan untuk revaksinasi setiap 3 tahun. Vaksin ini
memberikan efikasi perlindungan sebesar 70-80%.
o Vaksin Ty21a
Vaksin oral ini tersedia dalam sediaan salut enterik dan cair yang diberikan
pada anak usia 6 tahun ke atas. Vaksin diberikan 3 dosis yang masing-masing
diselang 2 hari. Antibiotik dihindari 7 hari sebelum dan sesudah vaksinasi.

17

Vaksin ini efektif selama 3 tahun dan memberikan efikasi perlindungan 6782%.
o Vaksin Vi-conjugate
Vaksin ini diberikan pada anak usia 2-5 tahun di Vietnam dan memberikan
efikasi perlindungan 91,1% selama 27 bulan setelah vaksinasi. Efikasi vaksin
ini menetap selama 46 bulan dengan efikasi perlindungan sebesar 89%.
K. PROGNOSIS9
Prognosis pasien tergantung pada ketepatan terapi, usia, keadaan kesehatan
sebelumnya, dan ada tidaknya komlikasi. Di negara maju dengan pengobatan
antibiotik yang adekuat angka mortalitas < 1%, di negara berkembang angka
mortalitas >10%, niasanya karena keterlambatan diagnosis, perawatan dan
pengobatan, munculnya komplikasi, sperti perforasi gastro intestinal atau perdarahan
hebat, meningitis, endokarditis, dan pneumonia mengakibatkan morbidotas dan
mortalitas yang tinggi.

18

BAB III
KESIMPULAN

Demam tifoid adalah infeksi akut pada saluran pencernaan yang disebabkan
oleh Salmonella typhi, dengan gejala utama demam, gangguan saluran pencernaan,
serta gangguan susunan saraf pusat/kesadaran.
Diagnosis demam tifoid ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan
pemeriksaan tambahan dari laboratorium. Terapi yang diberikan adalah istirahat, diet
lunak, dan antimikroba.
Diagnosis demam tifoid yang ditegakkan secara dini dan disertai pemberian
terapi yang tepat mencegah terjadinya komplikasi, kekambuhan, pembawa kuman
(carrier), dan kemungkinan kematian.
Strategi pencegahan diarahkan pada ketersediaan air bersih, menghindari
makanan yang terkontaminasi, higiene perorangan, sanitasi yang baik, dan
pemberian vaksin sesuai kebutuhan.

19

DAFTAR PUSTAKA

1. Ikatan Dokter Indonesia. Panduan Praktis Klinis Bagi Dokter di Fasilitas


Pelayanan Kesehatan Primer, Ed revisi 2014. Jakarta: IDI. Hal: 104-105
2. Depkes RI. Demam Tifoid, Data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2007
3. Dinkes Prov Sul-Sel. Profil Kesehatan Sulawesi Selatan tahun 2008
4. Depkes RI. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
364/MENKES/SK/V/2006 tentang Pedoman Pengendalian Demam Tifoid.
Jakarta: Departeman Kesehatan Republik Indonesia
5. Widoyono. Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan
Pemberantasannya. Jakarta: Erlangga. 2012
6. Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran UNHAS. Standar
Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Makassar : SMF Anak RS Dr. Wahidin
Sudirohusodo. 2013. Hal: 5-9
7. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan LXII. Update Management Of Infectious
Diseases and Gasstrointestinal Disorders. Departemen Ilmu Kesehatan Anak:
FKUI. 2012. Hal: 1-14
8. Suprapto N, Karyanti MR, editor. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid I. Edisi IV.
2014. Jakarta : Media Aesculapius. Hal: 74-5
9. Ashkenazi S, Cleary TG. Infeksi Salmonella. Dalam : Wahab AS, editor.
Nelson: Ilmu Kesehatan Anak. Volume 2. Edisi 15. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 2000. Hal. 970-3
10. Bhutta ZA. Enteric Fever (Typhoid Fever): in Nelson Textbook of Pediatrics
20th Edition. 2016. Elsevier: 1388-92

20

11. Pudjiadi AH et al editor. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak


Indonesia. 2009. Hal: 47-9
12. Buku saku Pelayanan Kesehatan Anak Di Rumah Sakit. 2009. Jakarta: WHO
Indonesia. Hal: 167
13. Bhan MK, Bahl R, Bhatnagar S. Typhoid fever and paratyphoid fever. The
Lancet 2005; 366: 749-62

21

Anda mungkin juga menyukai