Anda di halaman 1dari 21

1

KONSEP NEGARA HUKUM DALAM PERSPEKTIF


PIAGAM MADINAH
Fauzi Al Muhtad
Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Syariah (STIS) Kebumen
Email: fauzi.al-muhtad@gmail.com
Abstrak
Negara merupakan konsep yang sangat urgen dalam studi hukum tata negara (fiqh siyasah), karena
negara merupakan organisasi pokok dari kekuasaan politik, dan didalamnya terhapat hubungan
antara rakyat, penguasa, dan hukum yang mengaturnya. Tanpa ada negara yang disepakati rakyat,
maka kekacauan dan anaki akan terjadi. Tulisan ini bertujuan membahas lebih jauh tentang konsep
state dalam hukum tata negara Islam dengan kaca mata piagam madinah Nabi Muhammad Saw.
Kerangka yang dipakai adalah mengembangkan konsep fiqh siyaasah dan diperdalam dalam cabangcabangnya seperti konsep imamah, khilafah, imarah, mamlakah, bilad, dan dar, tetapi dalam konteks
kajian ini lebih pada kajian tentang konsep negara hukum yang juga dipandang dipadankan dengan
istilah daulah. Kemudian dikontekstualisasikan dengan kondisi bangsa Indonesia tentang negara
hukum yang heterogen. Terutama korelasinya dengan UUD 1945 dan pancasila sebagai pilar negara,
sehingga harapannya, ada titik temu antara konsep negara dalam piagam madinah dengan UUD 1945
dan pancasila di Indonesia.
Keywords: negara hukum, siyasah, ummah, konstitusi, piagam madinah.

2
A. Pendahuluan
Sejak awal manusia mempunyai fithrah untuk hidup bersama, karena itu manusia tidak lepas
dari negara. Sifat ini merupakan konsekuensi manusia sebagai zoon politicon, makhluk yang tidak lepas
dari politik, dan appetitus societatis, makhluk yang berhasrat untuk hidup bermasyarakat. Dan pada saat
bersamaan pula manusia tidak bisa menghindar untuk berpolitik dalam arti ikut menjadi anggota
suatu negara. Oleh karenanya, manusia kemudian membentuk berbagai organisasi yang salah satu
diantaranya adalah negara.1
Dengan demikian, negara dibentuk secara etis rasional sebagai aktualisasi fithrah manusia
yang dibangun berdasarkan kesepakatan bersama yang disebut konstitusi. Konstitusi negara
merupakan mitsaqan ghalidza, perjanjian yang teguh dan kokoh yang bersifat mengikat, harus ditaati,
dan harus pula dilaksanakan oleh seluruh elemen negara itu tanpa kecuali.
Prinsip bernegara dalam Islam sebenarnya sudah dicontohkan oleh Muhammad saw. melalui
pembentukan Negara Madinah, dengan Piagam Madinah yang ternyata bukan Negara Islam
Madinah, karena labeling negara Islam bukanlah sebuah keharusan agama. Dalam hal bernegara, Islam
hanya mengatur asas-asas atau prinsip-prinsipnya saja, sedangkan pelembagaan atau sistemnya
diserahkan kepada manusia untuk menentukan sesuai tuntutan tempat, waktu dan tradisinya masingmasing.
Negara Madinah yang didirikan oleh Muhammad saw. nuansa pluralistiknya sangat jelas,
dengan menempatkan penduduk Madinah menjadi tiga bagian. Pertama, kelompok kaum Mukminin
yang terdiri dari kaum Anshor dan Muhajirin. Kedua, kelompok munafiqin yakni mereka yang raguragu terhadap Islam dan terkadang cenderung memusuhi Islam. Ketiga, kelompok Yahudi.
Bernegara menurut apa yang tertuang dalam Piagam Madinah diatur mengenai pertama,
bahwa sesama muslim adalah satu umat walaupun berbeda suku dan ras. Kedua, hubungan antara
masyarakat muslim dengan non muslim didasarkan pada prinsip bertentangga secara baik, saling
membantu dalam menghadapi musuh bersama, membela mereka yang teraniaya, saling nasihat dan
menghormati kebebasan beragama. Atau dengan kata lain bahwa nilai bernegara dalam Piagam
Madinah mengandung dua nilai dasar yaitu kesederajatan (keadilan), dan keterbukaan (inklusivisme).
Untuk itulah, konsep bernegara dalam Islam hanya mengatur asas-asaa atau prinsipprinsipnya saja antara lain tentang pemimpin harus jujur, amanah, adil, transparan, bermusyawarah,
dan melindungi hak asasi (fithrah). Islam mengajarkan dan memberi tuntunan dalam hidup bernegara,
artinya agar dibangun negara sebagai rumah untuk menegakkan keadilan sesuai dengan hak-hak yang
secara asasi dimiliki oleh setiap warga negaranya.
Keberhasilan Rasulullah Muhammad SAW membangun masyarakat Muslim di Madinah oleh
sebagian intelektual Muslim disebut dengan negara kota (city state).2 Walaupun sejak awal dalam
sejarahnya, Islam tidak memberikan ketentuan yang pasti tentang bagaimana dan konsep negara yang
dikehendaki, namun kenyataannya bahwa Islam adalah agama yang mengandung prinsip-prinsip
dasar kehidupan termasuk berpolitik dan bernegara.
B. Konsep Bernegara
Negara merupakan konsep yang penting dalam studi hukum tata negara (fiqh siyasah). Karena
negara merupakan organisasi pokok dari kekuasaan politik, dan didalamnya terhapat hubungan
antara rakyat, penguasa, dan hukum yang mengaturnya. Tanpa ada negara yang disepakati rakyat,
maka kekacauan dan anaki akan terjadi.
1. Istilah Negara
1 Moh. Mahfud MD, Substansi Islam Dalam Berhukum di Negara dan Kebangsaan. Lihat. Ahmad Sukardja, Hukum Tata
Negara dan Administrasi Dalam Perspektif Fiqh Siyasah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hlm. v-xii.
2 Abd. Salam Arief, Konsep Ummah Dalam Piagam Madinah dalam Majalah Ilmu Pengetahuan Agama Islam Al-Jamiah,
IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, No. 50 Tahun 1993, hlm. 85-98.

3
Istilah negara diterjemahkan dari beberapa kata seperti steat (bahasa Belanda dan Jerman),
state (bahasa Inggris) dan letat (bahasa Perancis). Kata-kata tersebut sebenarnya diambil dari
bahasa Latin, yaitu status atau statum yang artinya keadaan yang tegak dan tetap atau sesuatu yang
memiliki sifat tegak dantetap. Kata status atau statum lazim diartikan sebagai standing atau station
(kedudukan) yang dihubungkan dengan kedudukan persekutuan hidup manusia sebagaimana
diartikan dalam istilah status civitatis atau status republicae. Istilah negara juga digunakan dalam kitabkitab fiqh siyasah klasik yang sering disepadankan dengan imamah, khilafah, imarah, mamlakah, bilad,
dan dar. Namun sekarang istilah negara dipadankan dengan istilah daulah. 3
Lain halnya menurut pendapat Zaenal Abidin Ahmad menyebutkan empat istilah negara
dalam fiqh siyasah, yaitu daulah islamiyah, khilafah, dan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Dalam
pandangannya, khilafah dipergunakan sejak berdirinya negara Islam yang pertama. Darul Islam
adalah istilah yang tumbuh dalam masyarakat Islam. Istilah ini tidak terdapat di dalam al-Quran
dan Hadits. Baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur adalah istilah yang tercantum dalam al-Quran dan
tumbuh dalam politik Islam di Indonesia, tetapi belum dikenal pemakiannya dalam dunia politik
Islam klasik. Daulah Islamiyah merupakan istilah yang sering dipakai dalam pemikiran Islam
modern. Terdapat satu istilah lagi yaitu imamah yang sering dipakai di kalangan Syiah.
2. Definisi Negara
Menurut rumusan Aristoteles (384-322 SM) dalam bukunya Politicia, pengertian negara
adalah sebuah perkumpulan dari keluarga dan desa untuk mencapai kehidupan sebaik-baiknya
dengan menggunakan istilah Polis untuk negara kota (city state) yang berfungsi sebagai tempat
tinggal bersama warga negara dengan pemerintahan dan benteng untuk menjaga keamanan dari
serangan musuh. Atau dengan kata lain, negara terjadi berkat adanya sifat kodrati setiap individu
untuk hidup bersama.
Sedangkan menurut Plato, negara adalah entitas yang terdiri dari bagian-bagian yang saling
melengkapi dan saling tergantung dan bertindak bersama-sama dalam mencapai tujuan. Baik Plato
maupun Aristoteles mendefinisikan substantifnya dengan tidak menyatukan negara dan agama,
karena negara bukan entitas yang berasal dari Tuhan. Negara adalah kreativitas dari keburukab
manusia dalam mengelola kehidupannya.
Al-Mawardi dan Ibnu Khaldun, mendefinisikan negara sebagai misi kelanjutan
Muhammad saw. untuk melindungi agama agar supaya segala sesuatu yang berhubungan dengan
negara itu berada dibawah naungan pengawasan Tuhan.
Di kalangan pemikir Islam modern, hubungan agama dan negara sudah dipertdebatkan
antara lain oleh tokoh-tokoh Islam, seperti Hasan al-Banna, Sayyid Quthb, Hasan Turabi,
Taqiyuddin al-Nabhani, dan Khoemaini yang memandang bahwa agama masih melekat ke dalam
negara. Dengan kata lain, negara yang mereka pahami adalah negara Islam dengan istilah daulah
Islamiyah atau khilafah Islamiyah. Sedangkan Ali Abdir Raziq, Muhammad Said al-Asymawi,
Muhammad Abid al-Jabiri, Abdullahi al-Naim menolak penyatuan agama dan negara. Negara
tidak didefinisikan sebagai entitas ketuhanan, melainkan organisasi masyarakat yang diorientasikan
untuk kesejahteraan seluruh masyarakat, tanpa mengemban tanggungjawab untuk melaksanakan
ajaran-ajaran agama.
3. Terbentuknya Negara
Terdapat beberapa teori tentang terbentuk sebuah negara antara lain; teori alamiah, teori
perjanjian, teori teokrasi, teori kekuatan, teori patriarkal, dan teori matrialkal, serta teori organis. 4
Selanjutnya teori tersebut akan diurakan sebagai berikut : pertama, teori alamiah menyatakan
3 Ahmad Sukardja, Hukum Tata Negara dan Administrasi Dalam Perspektif Fiqh Siyasah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012),
hlm. 36-38.
4 F. Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, (Bandung: Binatjipta, 1999), hlm. 136.

4
bahwa negara dalam kehidupan manusia merupakan sesuatu yang alamiah terjadi dan merupakan
esensi kodrati dari manusia itu sendiri. Teori ini diperkenalkan oleh Aristotele yang menyebutkan
bahwa manusia sebagai zoon politicon dengandidasarkan pada pendapat bahwa manusia baru
dikatakan sempurna apabila hidup dalam ikatan kenegaraan.
Kedua, teori perjanjian (social contract theory) yang diusung oleh oleh Thomas Hobbes, John
Locke, J.J. Rousseau dengan menganggap bahwa perjanjian merupakan dasar negara dan
masyarakat.
Ketiga, teori teokrasi dengan dasar pemikiran kepercayaan bahwa segala sesuatu yang ada
atau terjadi di alam semesta ini semua atas dasar kehendak Tuhan. Sehingga kekuasaan seorang
penguasa negara tak lain meruapakan sebuah pemberian dari Tuhan . Tokoh teori ini antara lain
Santo Agustinus, Thomas Aquinas, dan penganut teokrasi modern seperti Friederich Julius Stahl
(1802-1861). Oleh karena itu, menurut teori ini penentangan terhadap perintah raja merupakan
penentangan terhadap Tuhan yang berkembang di Eropa dimana kekuatan raja mendapat
legitimasi dari gereja.
Keempat, teori kekuatan menyebutkan bahwa awal terbentuknya sebuah negara merupakan
hasil dari dominasi dari kelompok yang kuat terhadap kelompok yang lemah. Sehingga
terbentuknya negara karena adanya upaya penaklukan dan pendudukan.
Kelima, teori Patriarkal dan Matriarkal yang menjelaskan bahwa entitas keluarga dianggap
sebagai kesatuan sosial yang paling utama dalam masyarakat primitif. Dalam teori patriarkal,
hubungan kekeluargaan yang ditarik dari garis ayah, sedangkan matriarkal keluarga ditarik dari
garis keturunan ibu. Pola hubungan kekeluargaan dari ayah dan ibu inilah kemudian menjadi cikal
bakal terbentuknya sebuah negara.
Keenam, teori organis yang menjelaskan bahwa asal-usul perkembangan negara mengikuti
asal-usul oerkembangan individu. Individu berasal dari sebuah unit yang disebut sel, kemudian sel
berkumpul membentuk jaringan membentuk organ, sistem organ dan begitu seterusnya sampai
individu. Teori ini dianggap teori yang paling tua, karena mengikuti asumsi Plato bahwa yang
mempersamakan individu dengan negara dengan menarik persamaan antara fungsi-fungsi negara
dan fungsi-fungsi individu.
Ketujuh, teori historis menganggap bahwa negara sebagai sebuah organisasi sosial yang
tidak dibuat, tetapi tumbuh berdasarkan evolusi kehidupan manusia.
Mengenai terbentuknya negara, al-Mawardi dalam Adab al-Dunya wa al-Din berpendapat
bahwa manusia adalah makhluk sosial yang tidak mungkin seorang manusia mencukupi hidupnya
sendiri, kecuali berhubungan dengan yang lain. Al-Ghazali dalam Ihya Ulum al-Din juga
berpendapat sama. Manusia diciptakan oleh tidak bisa hidup seorang diri, ia butuh berkumpul
bersama yang lain. Ibnu Khaldun juga berpendapat bahwa negara terbentuk karena kemampuan
manusia yang terbatas sehingga memaksanya untuk bekerjasama dengan orang lain. Dengan
demikian, negara diharapkan dapat menyelesaikan sengketa dan konflik dalam pemenuhan
hidupnya, berari bahwa negara sangat dibutuhkan oleh setiap individu.
4. Unsur-Unsur Neagara
Kriteria berdirinya negara, jika berpatokan pada masa Muhammad saw. di Madinah adalah
suatu hal yang sangat jelas yang terdiri dari tiga unsur: pertama, ada rakyat, berarti berbagai
golongan besar dan kecil. Kedua, ada wilayah tertentu, yakni Madinah. Ketiga, ada pemegang
kekuasaan pemerintahan yang berdaulat, yaitu Muhammad saw. yang dipatuhi oleh umumnya
warga Madinah dan tidak ada penguasa lain yang membawahinya.
Dalam naskah Piagam Madinah, tiga unsur negara itu telah disebutkan. Rakyat adalah
semua golongan secara umum disebut ahl hazihi al-shahifah (pasal 37, 39, 42, 46). Wilayah ialah
Yasrib (pasal 39) atau Madinah (pasal 47). Pemerintahan ialah Muhammad SAW (Mukadimah,
pasal 23, 36, 42).

5
Ada pendapat yang mengatakan bahwa unsur lain dari negara selain adanya rakyat, wilayah
dan pemerintahan yakni adanya pengakuan dari negara lain yang merupakan unsur keempat. Jadi
keberadaan suatu negara sama sekali tidak tergantung dari ada tidaknya unsur pengakuan, karena
unsur pengakuan ini hanyalah sekedar menjelaskan tentang negara yang sudah ada.
5. Tujuan dan Fungsi Negara
Tujuan negara secara garis besar adalah untuk mencapai kebagiaan bagi rakyatnya. Dan
fungsi negara adalah untuk menyelesaikan sengketa, konflik, dan pemenuhan kebutuhan hidup
bersama. Sehingga negara merupakan alat kepentingan bersama dalam mencapai kebahagiaan.
Menurut Meriam Budiardjo, setiap negara apapunbentuknya setidaknya memiliki empat
fungsi yang mutlak yang perlu dilaksanakan oleh kepala negara, yaitu melaksanakan penertiban
untuk mencapai tujuan bersama, mencegah konflik-konflik dalam masyarakat, mengusahakan
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, membangun pertahanan untuk memelihara kemungkinan
serangan dari luar, menegakkan keadilan.5
Dan negara diberi kewajiban untuk menjalan ajaran agama kepada seluruh penduduknya.
Menurut pandangan Abdul wahab Khallaf, negara didirikan untuk kemaslahatan rakyat sehingga
pengelolaan negara bukan untuk kepentingan pribadi melainkan untuk kepentingan bersama.
6. Sifat Negara
Negara memiliki sifat sebagai wujud kedaulatannya. Sifat negara ini melekat dan menjadi
kekuatan yang dapat mempengaruhi perilaku warga negaranya.
Miriam Budiardjo menyebutkan sifat negara itu ada tiga. Pertama, memaksa yaitu
tercermin dalam peraturan yang telah dibuat agar dipatuhi oleh warga negaranya untuk mengatur
ketertiban dan mencegah terjadinya sengketa dan konflik. Peraturan (qanun) yang dibuat negara
adalah bagian dari siyasah wadhiyyah yang dilakukan untuk kemaslahatan rakyat. Kaidah yang
dipakai adalah tasharraf al-imam ala al-raiyyah manutun bi al-maslahah (kebijakan penguasa terhadap
rakyatnya didasarkan pada maslahat atau kepentingan bersama). Qanun (peraturan) yang dibuat
penguasa, rakyat berkewajiban muntuk mentaatinya. Bagi yang melanggar akan dikenakan tazir
(hukuman yang ditetapkan penguasa).
Kedua, sifat monopoli terutama dalam menetapkan tujuan bersama.Dalam hal ini negara
memonopoli (menguasai) sumber-sumber strategis, seperti sumber daya air dan lain sebagainya.
Dengan sifat ini, negara dapat diwujudkan pelarangan ajaran politik dan agama yang bertentangan
dengan konstitusi.
Ketiga, negara juga memiliki sifat mencakup semua. Artinya semua peraturan (qanun) yang
ditetapkan untuk semua orang tanpa terkecuali. Dalam konteks ini , tidak ada diskriminasi
terhadap warganya.
Dari konsep negara yang telah diuraikan, perlu kita memahami hakikat negara. Sifat hakikat
negara senantiasa sama, meskipun sebagai organisasi di dalam masyarakat, negara beda dengan
organisasi lainnya karena negara mempunyai sifat yang khusus. Sifat khusus dari negara terletak pada
monopoli dari kekuasaan jasmaniah yang tidak dimiliki oleh organisasi lain.
C. Ide Bernegara
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata ide yang diartikan sebagai rancangan yang
tersusun di dalam pikiran; gagasan, cita-cita; ia mempunyai ide dasar yan g bagus, akan tetapi
sukar dilaksanakan; ide atau perasaan yang benar menyelimuti perasaan. 6 Dalam Kamus Politik
yang disusun oleh Amirtaat Nasution mendefinisikan tentang negara ialah suatu pemerintahan
yang terdiri dari sekelompok besar masyarakat dan pergaulan yang terdiri dari suku-suku bangsa
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Penerbit Gramedia, 1985), Cetakan ke-5, hlm. 45-46.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), Edisi
ke-4, hlm. 16.
5
6

6
yang telah ingin diikat di dalamnya dengan pengertian politik, ekonomi, dan sosial, untuk
mengatur hidup bangsa itu.7 Perkataan negara juga diartikan sebagai persekutuan rakyat, yakni
untuk menyatakan suatu bangsa yang hidup dalam suatu daerah di bawah kekuasaan tertinggi,
menurut kaidah-kaidah hukum yang sama. 8
Jika ide dalam bahasa hukum dapat diartikan sebagai gagasan. Jadi, ide bernegara hukum
bisa berupa rancangan yang sudah tersusun secara lengkap, baik supra maupun infrastruktur
perangkatnya sudah tertata, hanya belum sempurna apabila belum dilaksanakan oleh penegak
hukum yang dilengkapi dengan teori dan dikembangkan dengan undang-undang atau sejenisnya.
Menurut sejarahnya ide bernegara hukum muncul sejak masa kehidupan sebelum masehi. Dalam
sebuah negara hukum, ada ciri khusus yang melekat pada negara tersebut, yaitu menjunjung tinggi
posisi hak asasi manusia, kesetaraan dan kesamaan derajat antara satu dengan yang lainnya di
samping berpegang teguh pada aturan-aturan, norma-norma yang telah diterapkan dan
diberlakukan bagi warga negaranya tanpa ada perkecualian.
Berlakunya hukum di lingkungan masyarakat Islam meliputi tiga kategori, yaitu: pertama,
hukum syariat atau hukum syara adalah ketentuan Allah yang berkaitan dengan perbuatan
subyek hukum, berupa melakukan suatu perbuatan, memilih, atau menentukan sesuatu sebagai
syarat, sebab, atau penghalang. Hukum syariat sebagai hukum yang ditetapkan Allah dan RasulNya yang secara jelas terdapat dalam al-Quran dan al-Hadits, maka bersifat tetap, tidak berubah,
dan seharusnya tidak terdapat perbedaan pendapat, seperti; shalat, zakat, puasa, puasa ramadlan
dan haji. Adapun prinsip lain dalam hukum syariat adalah musyawarah (al-syura) dan bersikap adil
(al-adalah) secara jelas juga diperintahkan Allah dalam firman-Nya.
Kedua, fiqh dalam pengertian ilmu atau pemahaman tentang hukum-hukum syara yang
bersifat perbuatan yang dipahami dari dalil-dalil yang rinci. Fiqh itu sendiri merupakan hukumhukum hasil pemahaman ulama mujtahid dari dalil-dalilnya yang rinci (terutama ayat-ayat alQuran dan al-Hadits). Melalui ijtihad dan pemahaman ulama terhadap dalil-dalil hukum
melahirkan fiqh, yang bersifat berkembang dan menerima perbedaan pendapat.
Dan ketiga, qnn (undang-undang) dengan jamak al-qawanin (peraturan perundangundangan) yang dibuat oleh lembaga yang berwenang dalam negara yang sejalan atau tidak
bertentangan dengan syariat (agama). Qnn itu sendiri merupakan produk dari siysah syariyah
yaitu kewenangan pemerintah untuk melakukan kebijakan yang dikehendaki kemaslahatan,
melalui aturan yang tidak bertentangan dengan agama meskipun tidak ada dalil tertentu. 9
Ilmu siyasah syariyah menempatkan hasil temuan manusia dalam segi hukum pada
kedudukan yang tinggi dan sangat bernilai yang bersumber pada manusia dan lingkungannya
disebut siysah wadiyah (seperti; ara ahl al-bashar (pandangan para ahli), al-urf (kebiasaan atau
tradisi), al-dah (adat), al-tajrib (pengalaman-pengalaman), dan al-audaa al-maurusah (aturan-aturan
terdahulu yang diwariskan). Peraturan hukum yang digali dari sumber-sumbernya akan bersifat
Islami, apabila isi dan prosedur pembentukannya memenuhi kriteria Islami, yakni; (1) isi
peraturan itu sesuai atau sejalan (muthbaqah) atau tidak bertentangansecara hakiki dengan syariat
Islam, (2) peraturan itu meletakkan persamaan (al-muswah) kedudukan manusia di depan hukum
dan pemerintah, (3) tidak memberatkan masyarakat (adam al-haraj), (4) untuk menegakkan
keadilan (tahqq al-adlah), (5) dapat mewujudkan kemaslahatan (tahqq al-mashlih), dan (6) mampu

Amirtaat Nasution, Kamus Politik, (Jakarta: Pustaka Energi, 1952), cetakan ke-10, hlm. 110.
B. Hestu Cipto Handoyo, Hukum Tata Negara Indonesia, (Yogykarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2009),
cetakan ke-13, hlm. 10.
9 Ibid., hlm. 8-13.
7
8

7
menjauhi kemudaratan (dafu al-madlr), serta (7) prosedur pemebentukannya melalui musyawarah
(al-musywarah).
Dalam ketentuan Islam bahwa peraturan yang secara resmi ditetapkan oleh negara dan
tidak bertentangan dengan agama itu wajib dipatuhi sepenuh hati, dan diperlukan siyasah yang adil
atau siysah yang haq (benar) yaitu peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan agama,
apakah peraturan itu bersumber dari syariat atau bersumber dari manusia sendiri dan
lingkungannya.10 Sebagaimana diperintahkan al-Quran surat Al-Nis ayat 59 yang artinya; Wahai
orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah dan Rasul, dan taatlah kepada Uli al-Amr
(pemerintah) diantara kalian.
Gagasan tentang bernegara hukum dapat disebutkan antara lain sebagai berikut :
1. Muhammad Saw.
Muhammad bin Abdullah (570-632)11 adalah nabi, politisi, dan negarawan yang berhasil
menjadikan hak-hak masyarakat Arab yang jahiliyah itu berputar haluan menjadi yang
berkeadaban. Muhammad saw. dengan ajaran Islam yang penuh perdamaian, meletakkan posisi
manusia sebagaimana mestinya di depan hukum, luhur, bermartabat serta sederajat
kedudukannya antara yang satu dengan yang lainnya tanpa ada diskriminasi.
Menurut Abu Ala al-Maududi hak-hak rakyat dalam bernegara adalah: (1) Perlindungan
terhadap hidupnya, hartanya, dan kehormatannya; (2) Perlindungan terhadap kebebasan
pribadi; (3) Kebebasan menyatakan pendapat dan berkeyakinan; (4) Terjamin kebutuhan
pokok hidupnya, dengan tidak membedakan kelas dan kepercayaannya.12
Keberhasilan Muhammad saw. dalam membawa masyarakat Arab meliputi tiga segi,
yaitu: pertama, segi agama , bangsa Arab yang semula penganut animisme, dinamisme, dan
paganisme (menyembah berhala) menjadi penganut agama Islam yang menegakkan tauhid
(mengesakan Tuhan). Kedua, segi kemasyarakatan yang semula tidak mengenal perikemanusiaan
berubah menjadi bangsa yang menerapkan nilai-nilai kemanusiaan sehingga tidak lagi terlihat
eksploitasi dan dikriminasi terhadap wanita, serta pembedaan status sosial, penghapusan
perbudakan. Ketiga, dari segi politik, masyarakat Arab tidak lagi bangsa yang fanatik terhadap
kesukuannya.13
Terbukti secara empiris bahwa Muhammad saw. telah berhasil menanamkan embrio
negara hukum, meletakkan persamaan derajat manusia pada posisi yang semestinya. Secara
kontekstual bahwa Muhammad saw. telah mengakui sepenuhnya terhadap nilai-nilai hak asasi
manusia (HAM), karena hak asasi manusia merupakan anugerah Tuhan yang secara alamiah
telah dimiliki dan melekat pada manusia sejak keberadaan.14
2. Ibnu Khaldun
Ibnu Khaldun (1332-1406) mempunyai rumusan negara dilihat dari karakter kekuasaan
negara yang dibagi menjadi dua, yakni: pertama, negara yang berkarakter kekuasaan alamiah
(mulk thbii), yaitu merupakan negara yang menerapkan kekuasaan secara sewenang-wenang
(despotisme) dan cenderung menerapkan hukum rimba. Kedua, negara dengan karakter kekuasaan
10

Abd. Wahhab Khallaf, Al-Siyasah al-Syariyah, (Al-Qahirah: Dar Al-Anshar, 1977), hlm. 3-24.

11 Muhammad lahir pada 12 Rabiul Awwal bertepatan dengan 20 April Tahun 570 M dan wafat 13 Rabiul Awwal
atau 8 Juni 632 M. Abdul Aziz Dahlan, (ed) Ensiklopedi Hukum Islam, Muhammad, (Jakarta: Ichtiar Baru van Houve,
1996), Jilid IV, hlm. 1203.
12 A. Jazuli, Fiqh Siyasah, (Jakarta: Prenada Media, 2003), cetakan ke-3, hlm. 98.
13 Ahmad Sukardja, Piagama Madinah & Undang-Undang Dasar NRI 1945; Kajian Perbandingan Tentang Hidup Bersama
Dalam Masyarakat Majemuk, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), Cet. 1, hlm.17-18.
14 A. Ubaidillah dkk., Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani, (Jakarta: IAIN Jakarta Press, 200), Cetakan Pertama,
hlm. 207.

8
politik (mulk siysi), yang dibagi menjadi tiga bagian, yakni: (a) negara hukum atau nomokrasi
Islam (siysah diniyah)15, (b) negara hukum sekuler (siysah aqliyah), (c) negara republik (siysah
madaniyah).
Nomokrasi Islam menurut Muhammad Tahir Azhary adalah suatu negara hukum yang
memiliki sembilan prinsip (1) kekuasaan sebagai amanah; (2) musyawarah; (3) keadilan; (4)
persamaan; (5) pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia; (6) peradilan bebas;
(7) perdamaian; (8) kesejahteraan; (9) ketaataan rakyat.
3. John Locke
Negara menurut John Locke (1632-1704) menuntut negara menyerahkan kekukasaan
sepenuhnya kepada tiga badan peneyelenggaraan negara, antara lain: kekuasaan legislatif,
kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudikatif. 16 Kemudian tiga pilar kekuasaan negara disebut
dengan kekuasaan kolektif. Adapun syarat dari kekuasaan kolektif itu bahwa sang penguasa
harus melindungi dan menjunjung tinggi perjanjian yang telah disepakati.
4. Montesquieu
Pemikiran Montesquieu (1689-1721) yang terkenal dengan praktek bernegara adalah
mengharuskan adanya pemisahan atau pembagian kekuasaan lembaga negara ke dalam fungsifungsi legislatif (the legislatitive function) yaitu dikaitkan dengan peran lembaga parlemen, ekskutif
(the executive function) yaitu dikaitkan dengan peran pemerintah , dan yudisial (the judicial function)
yakni dikaitkan dengan peran lembaga kehakiman atau peradilan.
Pada hakikatnya ide bernegara maurut Montesquieu ini, menggarisbawahi bahwa
pembagian atau pemisahan kekuasaan itu dari segi hak asasi setiap warga negara, dan ia
melebur fungsi pertahanan dan hubungan luar negeri dimasukkan ke dalam fungsi eksekutif,
dan memperkuat fungsi yudisial atau kekuasaan kehakiman.
5. Al-Syatibi
Ide bernegara menurut Al-Syatibi17 ini mendasarkan pada sumber hukum tertulis yaitu
al-Quran dan al-Sunnah yang kedudukannya yang tertinggi yang memuat prinsip-prinsip
hukum, salah satunya yaitu prinsip maqasid al-syarah atau yang mengandung prinsip persamaan
di depan hukum, atau prinsip persamaan, prinsip kesejahteraan manusia. Maqasid al-syarah
yakni dharuriyyah, hajiyyat dan tahsiniyyah sebagai konsep hukum Islam yang menjunjung tinggi
nilai-nilai luhur manusia dengan mengajarkan proses hubungan masyarakat yang satu dengan
lainnya dengan beberapa aturan agama dan aturan sosial, komunitas yang satu dengan yang
lain, antara rakyat dengan pemerintahnya, yakni hubungan yang menjunjung tinggi spiritual, 18
memiliki tujuan syariat yang mempunyai dimensi tersendiri dalam sebuah negara hukum.

15 Menurut Ibnu Khaldun model siysah diniyah (negara hukum atau nomokrasi Islam) ini paling ideal dan
merupakan satu-satunya bentuk tata politik dan kultural permanen. Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum; Suatu
Studi Prinsip-Prinsipnya Dilihat Dari Segi Hukum Islam, Implementasi Pada Negara Madinah dan Masa Kini, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Grup Group, 2007), cet. Ke-3, hlm. 14.
16 Kekuasaan legislatif berwenang membentuk Undang-Undang, kekuasaan berkewajiban melaksanakan UndangUndang, dan kekuasaan yudikatif memiliki kekuasaan di bidang keamanan dan hubungan luar negari. Lihat Jimly
Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, jilid II, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi RI, 2006), cet. 1, hlm. 13.
17 Nama lengkap dari Al-Syatibi adalah Abu Ishak Ibrahim (790 H), Al-Syatibi adalah nama daerah yang asal
keluarganya bermukim, nama Syatibi diambil dari urutan nama Syatibah (Jativa). Sejarahnya, kota ini jatuh ke tangan
penguasa Kristen dan para pemeluk Islam diusir dari kota itu dan sebagian lari ke kota Granada-Spanyol. Menurut
Fazlurrahman, Al-Syatibi adalah seorang ahli hukum yang cemerlang pada abad 8 H/14 M, dan merupakan peletak
pondasi rasional moral dan spiritual hukum Islam, Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqasid al-Syariah Menurut Al-Syatibi, (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 1996), cet. ke-1, hlm. 300.
18 Hamka Haq, Al-Syatibi, (Jakarta: Erlangga, 2007), Cet. Ke-1, hlm. 103.

9
Teori negara hukum Al-Syatibi ini perlu mendapat perhatian bahkan diadopsi oleh
sebuah negara hukum, mengingat teori ini menganut prinsip humanisme, genetika, agama,
sosial, dan ekonomi. Kelima prinsip tersebut dalam upaya memelihara agama (hifdz al-Din),
memelihara jiwa (hifdz al-Nafs), memeliahara akal (hifdz al-Aql), memelihara keturunan (hifdz alNasl), dan memelihara harta (hifdz al-Mal). Konsekuensi logis dari pelanggaran dari lima prinsip
dalam sebuah negara tersebut dapat dikatergorikan sebagai perbuatan inconstitusional.19
D. Bernegara Hukum dalam Perspektif Piagam Madinah
Piagam Madinah merupakan cikal bakal kehidupan bermasyarakat yang multikultural dan
heterogen dapat hidup tenteram dan damai dengan penerapan normal, regulasi, konvensi dan
konstitusi. Karena faktanya, sejarah hukum pada abad ini sesungguhnya sarat dengan persoalan
diskriminasi, arogansi, dan absolutisme yang melekat pada etnis-etnis di Jazirah Arab dalam
menjalankan kehidupan bermasyarakat. Adanya Piagam Madinah yang disepakati tersebut berhasil
meruntuhkan polemik yang terjadi berabad-abad tersebut.
Sejarah menunjukkan bahwa Muhammad saw., dan umat Islam selama kurang lebih 13
tahun di Mekah terhitung sejak pengangkatan Muhammad saw sebagai Rasul, belum mempunyai
kekuatan dan kesatuan politik yang menguasai suatu wilayah. Umat Islam menjadi satu komunitas
yang bebas merdeka setelah tahun 622 M yaitu dengan berhijrah ke Madinah, kota yang
sebelumnya disebut Yasrib. Kalau di Mekah umat Islam sebelumnya merupakan umat yang lemah
dan tertindas, di Madinah umat Islam mempunyai kedudukan yang baik dan menjadi umat yang
kuat dan dapat berdiri sendiri.20
Kelahiran Piagam Madinah merupakan suatu naskah politik yang baru dan sangat maju.
Menurut Fazlur Rahman mengemukakan siapa pun yang mempelajari kehidupan Nabi
(peninggalannya antara lain Piagam Madinah), tidak dapat pasti terkesan oleh watak spiritualnya
serta keterampilan politik dan administrasinya, suatu hal yang luar biasa dalam kepemimpinan
umat manusia.21
1. Keauntentikan Naskah Piagam Madinah
Piagam Madinah ini secara lengkap diriwayatkan oleh Ibn Ishaq 22 dan Ibn Hisyam23,
menurut Ahmad Ibrahim al-Syarif tidak ada periwayat lain sebelumnya, yang telah menuliskan
secara sistematis dan lengkap24. Keautentikan Piagam Madinah tidak diragukan lagi
kebenarannya, mengingat gaya bahasa dan susunan redaksi yang dipergunakan pada masa itu.
William Montgomery Watt25 mengakui keautentikan Piagam Madinah dengan menyatakan:
Bahwa dokumen Piagam Madinah ini yang secara umum diakui keautentikannya tidak mungkin
dipalsukan dan ditulis dalam masa dinasti Umayyah dan Abasiah yang kandungannya
memasukkan orang non Muslim kedalam kesatuan ummah.
Petunjuk penting adanya Piagam Madinah itu juga diperoleh dari sejumlah hadits AlBukhari dan Muslim, yang mencantumkan ikhtisar tentang Piagam Madinah itu dalam Bab
Fadail (fadl) al-Madinah dan isi dokumen tersebut disebutkan oleh Abu Dawud dan Al-Nasai.
Adapun di dalam hadits yang ketika Muhammad Saw, tiba di Madinah, dilihat dari segi agama,
penduduk Madinah terdiri dari tiga golongan besar, yaitu Muslimin, Musyrikin, dan Yahudi.

Ahmad Sukardja, Piagama Madinah..., hlm. 24-25.


Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia, 1985), cetakan ke5 Jilid I, hlm. 92.
21 Fazlur Rahman, Islam, (Chicago: University of Chicago Press, 1988), hlm. 28.
22 Ibn Ishaq, Sirah al-Rasul, juz II, (Mesir: Babi al-Halabi, ttp), hlm. 348-351.
23 Ibn Hisyam, Al-Sirah al-Nabawiyyah, (Mesir: Babi al-Halabi, 1955), hlm. 501-505.
24 Ahmad Ibrahim, Makkah wa al-Madinah fi al-Jahiliyyah wa ahdi al-Rasul, (Mesir: Dar al-Fikr, 1965), hlm. 312.
25 W. Montgomery Watt, Muhammad at Madina, (London: Oxford University Press, 1956), hlm. 225.
19
20

10
Tentang penulisan naskah Piagam Madinah ini menurut Subhi al-Shalih dilakukan pada
tahun pertama Hijrah. Ahmad Ibrahim al-Syarif menegaskan, penulisan itu terjadi sebelum
habis tahun pertama Hijrah. Al-Thabari menyatakan Ia (Muhammad Saw.) telah mengikat
perjanjian damai dengan Yahudi Madinah ketika ia baru berdiam di Madinah... Yahudi yang
paling dulu melanggar perjanjian adalah Bani Qaynuqa, ... yakni pada bulan Syawal tahun
kedua Hijrah.
Maka berdasarkan uraian diatas, bahwa Piagam Madinah adalah autentik dan
pembuatannya dilakukan sebelum terjadi perang Badr dan waktunya masih tahun pertama
Hijrah.
2. Format Naskah Piagam Madinah
Kalimat-kalimat shahifah (piagam), seperti tercantum dalam kitab Sirah al-Nabiyy Ibn
Hisyam, tersusun secara bersambung, tidak terbagi atas pasal-pasal dan bukan berbentuk syair.
Bismillah al-Rahman al-Rahim tertulis pada awal naskah, disusul dengan rangkaian kalimat
berbentuk prosa. Selanjutnya Muhammad Hamidullah membaginya menjadi 47 pasal dengan
sedikit perubahan. Pasal pertama menurut Hamidullah dijadikan pendahuluan. Pasal 2
dijadikan pasal 1, dan demikian seterusnya sampai 12 a. Pasal 12 b dijadikan pasal 12. Pada
pasal-pasal berikutnya, bila ada pembagian atas subpasal a dan b, dijadikan satu pasal. Alasan
bagi perubahan ini sebagai berikut :
Bagian awal dari piagam oleh Hamidullah dijadikan pasal pertama, isinya bernada
pengantar karena tepat ditempatkan sebagai pembukaan. Pembagian pasal atas subpasal a dan
b tidak penting, karena itu tidak dilakukannya. Dengan perubahan tersebut, ternyata susunan
dan jumlah pasal dalam tulisan ini sama dengan susunan dan jumlah pasal dalam buku W.
Montgomery Watt.
Dalam teks aslinya, Piagam Madinah ini semula tidak terdapat pasal-pasal, pemberian
pasal-pasal sebanyak 47 pasal baru kemudian dilakukan oleh oleh A.J. Winsing dalam karyanya
Mohammed en de Joden te Madina, tahun 1928 M dalam desertasi doktornya dalam bahasa semit.
Oleh karena Winsinck mempunyai andil yang besar dalam mempopulerkan Piagam Madinah di
kalangan sarjana barat yang menekuni studi Islam. Menurut W. Montgomery Watt, bahwa
Piagam Madinah yang sampai ke tangan kita sebenarnya paling tidak terdiri dari dokumen yang
semula terpisah, kemudian disatukan dan mengalami pengurangan dan penambahan di sana
sini.26 Hipotesa ini dikemukakan oleh W. Montgomery Watt karena terlihat adanya
pengulangan dalam beberapa pasalnya.27
3. Piagam Madinah dalam Terjemahan Bahasa Indonesia
Walaupun terdapat kesulitan dalam menerjemahkan Piagam Madinah, namun penting
artinya orang Islam mengetahui teks agar tidak hanya menjadi dokumen yang sejarah yang
sulit dijelaskan karena adanya kendala lingustik, seperti adanya kata-kata yang saat ini tidak
popular, susunan kalimat yang berbeda dengan kelaziman. Hal ini diakui oleh Montgomery
Watt, menurutnya dokumen ini sulit dijelaskan bagian-bagiannya dengan memperhatikan
ketegasan-ketegasan linguistiknya, juga dalam mempergunakan kata-kata ganti.28
Dalam upaya mempermudah pemahaman terhadap teks Piagam Madinah, penulis
menampilkan terjemahan dalam Bahasa Indonesia agar dapat mempermudah pemahaman yang
bersifat kontekstual dan historis.

W. Montgomery Watt, Islamic Political Thought, (Edinburg : Edinburg University Press, 1969), hlm. 4-5.
Lihat. Abd Salam Arief, Konsep Ummah Dalam Piagam Madinah dalam Al-Jamiah, (Yogyakarta: IAIN Sunan
Kalijaga Yogykarta, 1992), No. 50 Tahun 1992.
28 W. Montgomery Watt, Islamic Political Thought, (Edinburg: Edinburg University Press, 1980) hlm. 160.
26
27

11
Teks lengkap Piagam Madinah dalam terjemahan Bahasa Indonesia29, sebagai berikut:
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
Ini adalah piagam dari Muhammad, Nabi saw., di kalangan mukminin dan muslimin [yang
berasal] dari Quraysy dan Yasrib, dan orang yang mengikuti mereka, mengabungkan diri dan berjuang
bersama mereka.
1. Sesungguhnya mereka satu umat, laindari (komunitas) manusia yang lain.
2. Kaum Muhajirin dan Quraysy sesuai keadaan [kebiasaan] mereka, bahu-membahu membayar
diat di antara mereka dan mereka membayar tebusan tawanan dengan cara yang baik dan adil di
antara mukminin.
3. Banu Awf, sesuai keadaan [kebiasaan] mereka, bahu-membahu membayar diat di antara
mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil di
antara mukminin.
4. Banu Saidah, sesuai keadaan [kebiasaan] mereka, bahu-membahu membayar diat di antara
mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil di
antara mukminin
5. Banu al-Hars, sesuai keadaan [kebiasaan] mereka, bahu-membahu membayar diat di antara
mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil di
antara mukminin.
6. Banu Jusyam, sesuai keadaan [kebiasaan] mereka, bahu-membahu membayar diat di antara
mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil di
antara mukminin.
7. Banu al-Najjar, sesuai keadaan [kebiasaan] mereka, bahu-membahu membayar diat di antara
mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil di
antara mukminin.
8. Banu Amr ibn Awf, sesuai keadaan [kebiasaan] mereka, bahu-membahu membayar diat di
antara mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil
di antara mukminin.
9. Banu al-Nabit, sesuai keadaan [kebiasaan] mereka, bahu-membahu membayar diat di antara
mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil di
antara mukminin.
10. Banu al-Aws, sesuai keadaan [kebiasaan] mereka, bahu-membahu membayar diat di antara
mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil di
antara mukminin.
11. Sesungguhnya mukminin tidak boleh membiarkan orang yang berat menanggung utang di antara
mereka, tetapi membantunya dengan baik dalam pembayaran tebusan atau diat.
12. Seorang mukmin tidak dibolehkan membuat persekutuan dengan sekutu mukmin lainnya, tanpa
persetujuan dari padanya.
13. Orang-orang mukmin yang takwa harus menentang orang yang di antara mereka mencari atau
menuntut sesuatu secara zalim, jahat, melakukan permusuhan atau kerusakan di kalangan
mukminin. Kekuatan mereka bersatu dalam menentangnya, sekalipun ia anak dari salah seorang
di antara mereka.
14. Seorang mukmin tidak boleh membunuh orang beriman lainnya lantaran [membunuh] orang
kafir. Tidak boleh pula orang mukmin membantu orang kafir untuk [membunuh] orang beriman.
Ahmad Sukardja, Piagama Madinah & Undang-Undang Dasar NRI 1945; Kajian Perbandingan Tentang Hidup Bersama
Dalam Masyarakat Majemuk, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), Cet. 1, hlm. 81-88.
29

12
15. Jaminan Allah satu, Jaminan (perlindungan) diberikan oleh mereka yang dekat. Sesungguhnya
mukminin itu saling membantu, tidak tergantung pada golongan lain.
16. Sesungguhnya orang Yahudi yang mengikuti kita berhak atas pertolongan dan santunan,
sepanjang [mukminin] tidak terzalimi dan ditentang [olehnya].
17. Perdamaian mukminin adalah satu. Seorang mukmin tidak boleh membuat perdamaian tanpa
ikut serta mukmin lainnya di dalam suatu peperangan di jalan Allah, kecuali atas dasar
kesamaan dan keadilan di antara mereka.
18. Setiap pasukan yang berperang bersama kita harus bahu-membahu satu sama lain.
19. Orang-orang mukmin itu membalas pembunuh mukmin lainnya dalam peperangan di jalan
Allah. Orang-orang beriman dan bertakwa berada pada petunjuk yang terbaik dan lurus.
20. Orang musyrik [Yasrib] dilarang melindungi harta dan jiwa orang [musyrik] Quraysy, dan tidak
boleh campur tangan melawan orang beriman.
21. Barangsiapa membunuh orang beriman dan cukup bukti atas perbuatannya, harus dihukum
bunuh, kecuali wali si pembunuh rela [menerima diat]. Segenap orang beriman harus bersatu
dalam menghukumnya.
22. Tidak dibenarkan bagi orang mukmin yang mengakui piagam ini, percaya kepada Allah dan
Hari Akhir, untuk membantu pembunuh bantuan atau menyediakan tempat berlindung bagi
pelanggar itu, akan mendapat kutukan dan kemurkaan kepadanya. Siapa yang memberi bantuan
atau menyediakan tempat berlindung bagi pelanggar itu, akan mendapat kutukan dan
kemurkaan Allah di hari kiamat, dan tidak diterima daripadanya penyesalan dan tebusan.
23. Apabila kamu berselisih tentang sesuatu, penyelesaiannya menurut (ketentuan) Allah azza wa
jalla dari [keputusan]Muhammad saw.
24. Kaum Yahudi memikul biaya bersama mukminin selama dalam peperangan.
25. Kaum Yahudi dari Bani Awf adalah satu umat dengan mukminin. Bagi kaum Yahudi agama
mereka, dan bagi kaum muslimin agama mereka. Juga [kebebasan ini berlaku] bagi sekutusekutu dan diri mereka sendiri, kecuali bagi yang zalim dan jahat. Hal demikian akan merusak
diri dan keluarganya.
26. Kaum Yahudi Banu Najjar diperlakukan sama seperti Yahudi Banu Awf.
27. Kaum Yahudi Banu Hars diperlakukan sama seperti Yahudi Banu Awf
28. Kaum Kaum Yahudi Banu Saidah diperlakukan sama seperti Yahudi Banu Awf
29. Kaum Yahudi Banu Jusyam diperlakukan sama seperti Yahudi Banu Awf
30. Kaum Yahudi Banu al-Aws diperlakukan sama seperti Yahudi Banu Awf
31. Kaum Yahudi Banu Salabah diperlakukan sama seperti Yahudi Banu Awf. Kecuali orang
zalim atau khianat. Hukumannya hanya menimpa diri dan keluarganya.
32. Suku Jafnanh dan Salabah [diperlakukan] sama seperti mereka [Banu Salabah].
33. Banu Syuthaybah [diperlakukan] sama seperti Yahudi Banu Awf. Sesungguhnya kebaikan
[kesetiaan] itu lain dari kejahatan [khianat].
34. Sekutu-sekutu Salabah [diperlakukan] sama seperti mereka [Banu Salabah].
35. Kerabat Yahudi (diluar kota Madinah) sama seperti mereka [Yahudi].
36. Tidak seorang pun dibenarkan ke luar [untuk perang], kecuali seizin Muhammad saw. Ia tidak
boleh dihalangi [menuntu pembalasan] luka [yang dibuat orang lain]. Siapa berbuat jahat
[membunuh], maka balasan kejahatan itu akan menimpa diri dan keluarganya, kecuali ia
teraniaya. Sesungguhnya Allah sangat membenarkan [ketentua] ini.
37. Bagi kaum Yahudi ada kewajiban biaya, dan bagi kaum msulimin ada kewajiban biaya. Mereka
[Yahudi dan muslimin] bantu membantu dalam menghadapi musuh warga piagam ini. Mereka
saling memberi saran dan nasihat. Kebaikan bukan kejahatan. Sesungguhnya hukum akibat
[kesalahan] sekutunya. Pembelaan diberikan kepada pihak yang teraniaya.
38. Kaum Yahudi memikul biaya bersama mukminin selama dalam peperangan.

13
39. Sesungguhnya Yasrib itu tanahnya haram [suci] bagi warga piagam ini.
40. Orang yang mendapat jaminan [diperlakukan] seperti diri penjamin, sepanjang tidak bertindak
merugikan dan tidak khianat.
41. Tidak boleh jaminan diberikan, kecuali seizin ahlinya.
42. Bila terjadi sesuatu peristiwa atau perselisihan di antara pendukung piagam ini, yang
dikhawatirkan menimbulkan bahaya, diserahkan penyelesaiannya menurut [ketentuan] Allah
azza wa jalla dan [keputusan] Muhammad saw. Sesungguhnya Allah paling memelihara dan
memandang baik isi piagam ini.
43. Sungguh tidak ada jaminan perlindungan bagi Quraysy [Mekah] dan juga bagi pendukung
mereka.
44. Mereka [pendukung piagam] bahu membahu dalam menghadapi penyerang kota Yasrib.
45. Apabila mereka [pendukung piagam] diajak berdamai dan mereka [pihak lawan] memenuhi
perdamaian serta melaksanakan perdamaian itu, maka perdamaian itu harus dipatuhi. Jika
mereka diajak berdamai seperti itu, kaum mukminin wajib memenuhi ajakan dan melaksanakan
perdamaian itu, kecuali terhadap orang yang menyerang agama. Setiap orang wajib melaksanakan
[kewajiban] masing-masing, sesuai tugasnya.
46. Kaum Yahudi al-Aws, sekutu dan diri mereka memiliki hak dan kewajiban seperti kelompok
lain pendukung piagam ini, dengan perlakuan yang baik dan penuh dari semua pendukung
piagam ini. Sesungguhnya kebaikan [kesetiaan] itu berbeda dari kejahatan [penghianatan]. Setiap
orang bertanggung jawab atas perbuatannya. Sesungguhnya Allah paling membenarkan dan
memandang baik isi piagam ini.
47. Sesungguhnya piagam ini tidak membela orang zalim dan khianat. Orang keluar [bepergian]
aman, dan orang berada di Madinah aman, kecuali orang yang zalim dan khianat. Allah adalah
penjamin orang yang berbuat baik dan takwa.
Muhammad Rasulullah saw.
4. Konsep Bernegara dalam Piagam Madinah
Dasar-dasar masyarakat Madinah yang dibangun oleh Nabi dan diteruskan oleh para
khalifah, yaitu masyarakat yang berkeadaban (civility, madaniyah) yang tinggi. Maka atas dasardasar tersebut dibangun suatu sistem kehidupan bersama berbentuk polity (an organiszed society,
such as a nation, having a specific form of government), dengan tujuan terwujudnya maslahat umum,
berbentuk negara. Karena itu bahasa Ibrani mengadaptasi perkataan Arab madinah menjadi
medinat, dengan pengertian negara, yakni negara hukum (rechsstaat).30 Maka madinah,
sebagaimana dikatakan oleh Robert N. Bellah adalah sebuah konsep nasionalisme modern.31
Konsep nasionalisme dalam Piagam Madinah mengandung konsep adanya ikatan agama
dan negara. Ikatan antara Agama Islam dan Negara Madinah erat sekali, karena agama Islam
dibawa oleh Muhammad saw.., dan Negara Madinah dibentuk dan dipimpin oleh beliau.
Syariat Islam menjadi hukum Negara yang tidak hanya mengikat dan berlaku bagi umat
Islam, tetapi dapat diterapkan kepada penganut agama lain dalam hal penyelesaian masalahmasalah dalam hubungan bermasyarakat dan bernegara. Berikut ini penulis memberikan
gambaran tentang manifestasi konsep bernegara dalam Piagam Madinah.
a. Pembinaan Persatuan dan Kesamaan

30

Nurcholish Madjid, Indonesia Kita, (Jakarta: Universitas Paramadina, 2004) cetakan III, hlm.55-56.

31

Ibid., hlm. 56.

14
Kebijakan politik Muhammad saw., yang dituangkan dalam satu naskah yang dikenal
antara lain dengan sebutan Piagam Madinah. Piagam Madinah terdapat kalimat-kalimat
yang mengandung makna dan mengarah kepada kesatuan dan persatuan. Pasal 1
dinyatakan mereka satu umat, berbeda dari yang lain. Pasal 15 menyebutkan
perlindungan Allah adalah satu. Pasal 16 menentukan orang Yahudi yang mengikuti kita,
berhak atas pertolongan dan bantuan. Pasal 24 menyatakan kaum Yahudi memikul biaya
bersama kaum mukminin selama dalam peperangan. Pasal 25 menyebutkan Yahudi Bani Awf
satu bersama kaum mukminin.
Langkah-langkah yang dilakukan Muhammad saw.., dalam upaya konvergensi sosial
adalah sebagai berikut: Pertama, membangun masjid Quba sebagai tempat ibadah dan
pertemuan dengan kaum muslimin. Rasa kesatuan seiman dan satu golongan terbentuk
melalui kegiatan yang berpusat di masjid tersebut. Adapun fungsi masjid sebagai tempat
mempekokoh hubungan sesame kaum muslimin, hubungan internal umat Islam.
Kedua, mempersaudarakan antara Muhajirin dan Anshar. Persuadaraan di antara
kaum muslimin dar Mekah dengan kaum muslimin dari Madinah terjalin erat. Adanya
persaudaraan seperti itu mengikis fanatisme kesukuan ala Jahiliyah dan meruntuhkan
jurang-jurang perbedaan yang didasarkan pada didasarkan pada keturunan, warna kulit
dan asal kedaerahan. Dan Muhammad saw.. berhasil membina persatuan diantara kabilahkabilah Arab dalam secara luas.
Ketiga, meletakkan dasar-dasar tatanan masyarakat baru yang mengikutisertakan
semua penduduk Madinah yang terdiri dari berbagai kelompok, termasuk kaum Yahudi. 32
Di dalam Piagam Madinah, tentang interaksi umat Islam dengan orang-orang di luar Islam
itu diterapkan ketentuan-ketentuan yang sangat toleran, seperti tertuang pada pasal 15, 16,
pasal 25, pasal 40, dan pasal 47 yang sangat berbeda dengan kebiasaan yang berlaku
sebelumnya yang penuh fanatisme kesukuan. Masyarakat yang dibangun oleh Muhammad
saw mencakup golongan muslim yang berasal dari Mekah dan Madinah dan nonmuslim.
Dan umat Islam merupakan komunitas utama masyarakat politik di kota Madinah, tetapi
Muhammad saw.. mampu menjadi penengah di antara mereka. Dalam membina
komunitas politik, Muhammad saw. dengan kecakapan yang mengagumkan dan
meletakkan dasar kesatuan politik yang sebelum itu dikenal wilayah Hijaz, dengan
mewujudkan persatuan warga Madinah.
Selanjutnya dalam hidupnya, Muhammad saw. memegang fungsi pembentuk hukum,
pemimpin agama, ketua pengadilan, penglima tentara, dan kepala negara. Maka arti
penting kehadiran Muhammad saw. adalah terjadinya kristalisasi pengalaman baru dari
wahyu33 yang membentuk suatu komunitas keagamaan yang disebut ummah34 dan
komunitas politik yang mengikutsertakan semua golongan dalam masyarakat.
b. Pembinaan Keamanan dan Perluasan Wilayah
Usaha membina keamanan dan ketertiban yang dilakukan Muhammad saw penuh
dengan hambatan dan tantangan. Dengan penuh kesungguhan semua hambatan dan
tantangan itu dihadapi, dan secara bertahap keamanan dan ketertiban di wilayah yang telah
dikuasai dapat diwujudkan. Kekuatan umat Islam, sebagai kekuatan inti yang dibina,
makin meningkat, baik kuantitas maupun kualitas.

Ibn Hisyam, Sirah al-Nabiyy (t. tp.: Dar al-Fikr, 1981) Juz 2, hlm. 114-126.
Von Grunebaum, Classical Islam, (Chicago: Aldine Publishing Company, 1970), hlm. 27.
34 Menurut W. Montgomery Watt, perkataan ummah berasal dan berasal dari bahasa Ibrani yang bisa berarti suku
bangsa atau bisa juga berarti masyarakat. Lihat , W. Montgomery Watt, Islamic Political Thought, hlm. 9.
32
33

15
Perluasaan wilayah dari kota Madinah ke seluruh Jazirah Arab merupakan hal yang
wajar. Pertama, sebagai konsekuensi logis dari upaya mempertahankan diri dan
menghindarkan ancaman dari pihak luar. Sesuai dengan situasi waktu itu, sewaktu-waktu
Madinah bisa diserang oleh kelompok-kelompok kekuatan di sekitarnya. Memetahkan
kekuatan musuh sebelum sempat menyerang, tampaknya merupakan strategi yang ampuh.
Kedua, Mekah adalah tempat kelahiran Muhammad saw.., dan pusat ibadah kepada Allah
sejak Nabi Ibrahim. Oleh karena itu, hasrat Muhammad saw. untuk menguasainya adalah
wajar, bahkan merupakan keharusan. Apalagi jika mengingat bahwa kaum musyrikin
Quraisy selalu memusuhinya, sebelum kekuatan mereka dipatahkan. Ketiga, waktu itu
belum ada kesepakatan regional dan internasional tetang batas-batas yang konkret wilayah
suatu negara, berbeda halnya dengan negara zaman modern.
Pembinaan keamanan dan ketertiban bagi suatu negara merupakan bagian dari
ukuran keberhasilan pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan negara. Negara
teokrasi Islam yang berpusat di Madinag berhasil secara gemilang mengadakan ekspansi
kekuasaannya secara meluas ke seluruh Arabia, bahka mencakup sebagian besar Asia
Barat dan Afrika Utara. Komunitas Madinah merupakan miniatur dari komunitas Islam
seluruhnya.35 Di wilayah yang sebelumnya tidak pernah terbentuk kesatuan bangsa,
berkembang secara mantap agama yang dalam kekuasaan wilayahnya menggantikan agama
Kristen dan Yahudi.36
Puncak keberhasilan perjuangan bersenjata umat Islam melawan musuh politik dan
musuh Islam terjadi pada bulan Ramadan tahun ke-8 Hijrah, dimana kaum Quraisy
menyerah dan Mekah jatuh ke tangan kaum Muslimin. Kaum musyrikin Quraisy beserta
sekutunya tunduk di bawah kekuasaan umat Islam. Penaklutan kota Mekah, menurut
Ahmad Ibrahim al-Syarif, mempunyai pengaruh besar dan luas, baik dari segi agama
maupun dari segi politik. Dari segi agama, tauhid dapat ditegakkan kembali di Mekah, dan
dari segi politik penaklukan kota Mekah, seluruh wilayah Jazirah Arab menjadi satu
kesatuan wilayah di bawah pimpinan Muhammad saw. Dengan demikian Negara Madinah
yang semula merupakan Negara Kota berubah menjadi negara besar, yaitu Negara Arab
Islam.37
c. Hukum dan Kebebasan Beragama
Dari perkataan Arab bahwa madinah menjadi dengan pengertian negara, yakni
negara hukum (rechsstaat) sesuai dengan rumusan Piagam Madinah dan praktik pembinaan
masyarakat dan negara yang dilakukan Muhammad saw sebagai rasul yang menerima
wahyu dari Allah SWT. Dari berbagai ketentuan hukum dalam pasal-pasal Piagam
Madinah dapat dikembalikan kepada empat macam hukum, yaitu (1) hukum Allah, (2)
Keputusan Muhammad saw. yang berupa al-sunnah dan hukum siasat, (3) Hukum adat;
dan (4) Hukum perjanjian.
Dua hukum yang dsebut pertama, yaitu hukum Allah dan Keputusan Muhammad
saw. berada dalam kedudukan lebih tinggi dari dua hukum lainnya. Dan ketentuan hukum
ini dapat dipahami dari ungkapan Apabila kamu berselisih tentang sesuatu, penyelesaiannya
menurut (ketentuan) Allah azza wa jalla dari [keputusan]Muhammad saw. Apabila kamu berselisih
tentang sesuatu, penyelesaiannya menurut (ketentuan) Allah azza wa jalla dari
[keputusan]Muhammad saw. (Piagam Madinah pasal 23 dan pasal 42). Supremasi hukum
Tuhan ini sesuai dengan negara yan berbentuk, yaitu negara teokrasi, dalam arti negara
Philip K. Hitti, History of The Arabs, (London: The Macmillan Press Ltd., 1974) edisi ke-9, hlm.121.
Ibid., hlm. 122.
37 Ahmad Ibrahim al-Syarif, Dawlah al-Rasul li al-Madinah, (Kuwait: Dar al-bayan, 1972), hlm. 281-284.
35
36

16
yang di dalamnya kedaulatab ada pada Tuhan. Hukum Tuhan menjadi hukum negara, dan
hukum yang lain tunduk di bawah kontrol hukum Tuhan.
Dari macam-macam hukum yang diterapkan oleh Muhammad saw., baik dalam
kedudukannya sebagai Rasul maupun Kepala Negara, dapat diambil kesimpulan bahwa,
dalam bidang muamalat, khususnya kenegaraan, sumbernya adalah wahyu (al-Quran),
kebijakan Muhammad saw. sebagai Rasu Allah (al-Sunnah) dan selaku Kepala Negara (alsiyasah). Ia juga menggunakan sumber hukum yang lain, yaitu hukum adat, dan perjanjian.
Hukum adata yang beliau terapkan dapat menjadi hukum Islam.
Terkait dengan kebebasan beragama dalam Piagam Madinah pasal 25 disebutkan
Kaum Yahudi dari Bani Awf adalah satu umat dengan mukminin. Bagi kaum Yahudi agama
mereka, dan bagi kaum muslimin agama mereka. Juga [kebebasan ini berlaku] bagi sekutu-sekutu dan
diri mereka sendiri, kecuali bagi yang zalim dan jahat. Hal demikian akan merusak diri dan
keluarganya
Dapat diambil kesimpulan bahwa orang-orang musyrik dan Yahudi yang diperangi
Muhammad saw., adalah orang-orang musyrik dan Yahudi yang memusuhinya. Jadi
penyebab perang dengan mereka adalah masalah politik, dan bukan semata-mata karena
berbeda agama.
Kebebasan beragama itu tampak pula dalam pertemuan tiga agama di Madinah, yaitu
agama Islam, Yahudi, dan Nasrani. Pertemuan tiga agama tersebut tidak membawa ke
kesatuan agama dengan ditunjukkan pada peristiwa jatuhnya kota Mekah yang dikenal
dengan fath atau parexellence.38 Muhammad saw. menunjukkan kebesaran jiwa dan keluasan
pandangan serta sifat kasih sayangnya dengan memberikan amnesti umum kepada seluruh
kaum musyrikin Quraisy termasuk pemimpin mereka dan tidak ada seorangpun dipaksa
masuk Islam. Konversi agama tampaknya, benar-benar diserahkan kepada kesadaran
mereka.
Lebih dari itu Al-Masjid al-Haram di Mekah dapat dibersihkan dari kemusyrikan dan
sepenuhnya kembali kepada kondisi hanif39, seperti pada saat dibangun oleh Nabi Ibrahim.
Padahal pada awal ada kehawatiran secara psikologis dan politik, berbahaya dan dapat
membangkitkan kemarahan serta menumbuhkan rasa persatuan orang-orang musyrik
untuk menentang pihak umat Islam. Kenyataannya yang terjadi, setelah tersiarnya
larangan tersebut, orang-orang musyrik semakin banyak yang masuk Islam dan Mekah
justru bertambah ramai.
d. Damai, Saksi, dan Perang
Pengkondisian masyarakat secara damai dan pemberlakuan sanksi terhadap pelanggar
dalam keadaan damai, termasuk urusan negara yang perlu dilakukan pemerintah. Apabila
upaya damai tidak dapat dilakukan, perang pun dilakukakan sebagai jalan yang harus
ditempuh.
1. Menyelesaikan Masalah secara Damai
Berbagai golongan yang ada di Madinah dapat hidup berdampingan di bawah
kepemimpinan politik Muhammad saw. Masing-masing kelompok penganut agama
dapat menjalankan ibadat menurut agama masing-masing tanpa gangguan dari pihak
lain. Seperti halnya Muhammad saw., pernah melakukan pembicaraan dengan pemukapemuka Yahudi (mereka diakui sebagai Ahli Kitab), khususnya sebelum turunnya
wahyu (al-Quran) tentang arah shalat dan puasa turun, Muhammad saw., shalat kea rah

38
39

W. Montgomery Watt, Muhammad at Medina, (London: Oxford University Press, 1953), hlm. 66.
Hanif artinya lurus, yaitu sepenuhnya berdasar tauhid kepada Allah dan bersih dari unsure kemusyrikan.

17
Bayt al-Maqdis40 dan puasa pada hari Asyura41 (tanggal 10 Muharram) seperti yang
dilakukan oleh orang-orang Yahudi.
Dalam berhubungan dengan komunitas-komunitas nonmuslim, Muhammad saw.
selalu menempuh jalan damai, sepanjang komunitas nonmuslim itu tidak memusuhi
Islam dan kaum muslimin. Sikap damai dengan musuh, antara lain dibuktikan dengan
adanya Perjanjian Hudaybiyah yang nampaknya lebih menguntung pihak Quraisy.
Pihak Quraisy yakin bahwa mereka akan memegang posisi yang tinggi sesuai sistem
mereka dengan mengadakan perjanjian itu. Pada saat Mekah ditaklukkan, Muhammad
saw., memberikan amnesti umum tanpa syarat konversi agama, seperti kaum Quraisy
yang bersedia tunduk dibawah kekuasaannya, tidak seorang pun dipaksa masuk Islam,
dan bahkan dinyatakan bebas.
2. Penerapan Sanksi
Tindakan-tindakan kaum Yahudi setelah hidup bersama secara damai di Madinah
dan mendapat perlindungan, lama kelamaan mulai diketuahui sikap kepura-puraanya
masuk Islam setelah bergaul dengan di tengah-tengah umat Islam. Seperti ditunjukkan
oleh beberapa orang Aws dan Khazraj setelah masuk Islam dan bersatu padu, seorang
Yahudi dari Bani Qaynuqa mulai menghiati perjanjian koeksistensi damai dengan
mengadakan makar terhadap kepemimpinan Muhammad saw.
Perbuatan yang orang Yahudi diberi sanksi sesuai Piagam Madinah digolongkan
sebagai perbuatan khianat harus dihukum dan tidak boleh dilindungi. Sebagaimana
dalam rumusan Piagam Madinah pasal 13 yang berbunyi Orang-orang mukmin yang
takwa harus menentang orang yang di antara mereka mencari atau menuntut sesuatu secara zalim,
jahat, melakukan permusuhan atau kerusakan di kalangan mukminin. Kekuatan mereka bersatu
dalam menentangnya, sekalipun ia anak dari salah seorang di antara mereka.
Insiden ini terjadi situasi permusuhan antara Bani Qaynuqa dengan umat Islam
pada pertengahan bulan Syawal tahun ke-2 Hijrah antara lain dipelopori seorang tokoh
yang bernama Abdullah Ibn Ubayy (seorang munafiq), kemudian Muhammad saw.,
memerintahkan kaum muslimin untuk mengepung mereka selama 15 hari, setelah
menyerah diberi sanksi dengan hukuman diusir dan meninggalkan kota Madinah.
Puncak kemarahan kaum muslimin, ketika kaum Yahudi melakukan
pengkhianatan dengan membangun masjid yang bukan digunakan untuk ibadat yang
terkenal disebut Masjid Dirar, setelah diketahui penggunaannya, dibakar oleh kaum
muslimin.
3. Pemberlakuan Perang
Setelaah terjadinya insiden tersebut, kaum muslimin menyadari sepenuhnya
betapa besar bahaya yang mengancam. Kemudian mengambil langkah-langkah
persiapan untuk mempertahankan kota Madinah dengan membuat parit (khandaq)
sekitar lembah. Dan meletuslah perang Ahzab (pasukan gabungan orang Yahudi dan
Bani Qurayzhah) dan perang Khandaq pada tahun ke-5 Hijrah. Strategi perang yang
yang dilakukan Muhammad saw., adalah dengan melakukan pengepungan
perkampungan Bani Qurayzhah selama 25 hari dengan panglima perang Ali Ibn Abi
Thalib. Akhirnya mereka menyerah.
Keberhasilan strategi perang yang dilakukan Muhammad saw., disebabkan tidak
kuatnya persatuan kelompok-kelompok Yahudi dengan orang Arab dan kekompakan
40
41

Al-Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Libnan: Dar al-Kitab al-Arabiyy, 1973) cet. Ke-2, Jilid I, hlm. 129.
Ibid., hlm. 451.

18
dimiliki oleh kaum muslimin bertambah kuat dan unggul dalam pertarungan man to
man.
Pelanggaran atas perjanjian damai Hudaybiyah yang dipimpin oleh Abu Sufyan
mendatangi Muhammad saw., untuk memperpanjang isi perjanjian, tetapi karena kaum
muslimin sering khianati. Muhammad saw., akhirnya mengambil tindakan tegas dengan
mengerahkan pasukan besar menuju Mekah dan dapat menguasainya tanpa perlawanan
yang berarti.
e. Sistem Pemilihan Kepala Negara
Setelah Muhammad saw berhijrah ke Yatsrib, lalu diubah menjadikan Madinah
sebagai sebuah pembuktian bahwa Muhammad saw bukan hanya manusia langit yang
membicarakan persoalan mistis-eskatologis, melainkan juga manusia bumi yang terlibat
aktif mengupayakan hidup manusia sesuai dengan harkatnya. Selanjutnya Madinah dapat
dijadikan role model bagi format negara yang berbasis musyawarah. Karena dengan
musyawarah dapat terbangun ruang publik (public sphere), dengan kata lain demokrasi.42
Dalam fiqh siyasah menggunakan mekanisme musyawarah (syura) memang menjadi
prasyarat demokrasi. Walaupun musyawarah tersebut demi kemaslahatan, tidak boleh
menghasilkan kesepakatan yang bertentangan dengan syariah.
Di dalam sistem politik Islam syura (musyawarah), merupakan sendi kehidupan
bermasyarakat dan bernegara yang digunakan sebagai prinsip yang harus ditegakkan di
muka bumi. Syura adalah prinsip yang menegaskan sirkulasi kekuasaan dapat dibicarakan.
Mengenai cara pengambilan keputusan, cara pelaksanaan putusan musyawarah, dan aspekaspek tata laksana lainnya diserahkan kepada kelompok manusia bersangkutan untuk
mengaturnya. Untuk itulah, musyawarah (syura) adalah syariat. Pemahamannya termasuk
bidang fiqh dan pengaturannya termasuk siyasah syariyyah.43
Di dalam fiqh siyasah, pemilihan kepala negara di Madinah yang pertama melalui
proses yang unik dan melalui proses yang panjang yakni mulai hijrah Muhammad saw.. ke
Madinah hingga disepakatinya Piagam Madinah. Sehingga terdapat prinsip yang
menegaskan bahwa pemilihan kepala negara tidak dilakukan secara baku dalam satu
sistem, melainkan diberikan kewenangan kepada masyarakat Islam di zamannya untuk
mengembangkan sistem pemilihan yang sesuai. Dan ini adalah masalah politik (siyasah)
yang terus berkembang.
Sistem pemilihan dapat dibagi menjadi dua yaitu sistem pemilihan mekanis dan
sistem pemilihan organis. Sistem pemilihan mekanis adalah menempatkan rakyat sebagai
suatu individu yang sama. Sedangkan sistem pemilihan organis adalah menempatkan
rakyat sebagai sejumlah individu yang hidup bersama dalam berbagai macam persekutuan
hidup berdasarkan geneologis (keluarga), fungsi tertentu (ekonomi, industri), lapisanlapisan sosial (buruh, tani, cendekiawan) dan lembaga-lembaga sosial. 44
Sistem pemilihan mekanis dapat dilaksanakan dengan dua cara, yaitu sistem
distrik/mayoritas (sigle member constituencies) dan sistem proposional. Selanjutnya, dalam fiqh
siyasah, sistem pemilihan mana dan diterapkan di suatu negara sangatlah terbuka karena
Demokrasi deliberatif dalam perspektif Habermas, yaitu yaitu kebijakan-kebijakan penting (perundang-undangan)
dihasilkan dengan mendengar berbagai jaring-jaring komunikasi publik masyarakat sipil. Asep Salahudin, Hijrah Politik
Berkeadaban dalam Kompas, 4 November 2013.
43 Ahmad Sukardja dan Ahmad Sudirman Abbas, Demokrasi dalam Perspektif Islam, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya dan
Anglo Media, 2005), hlm. 1
44 Moh. Kusnardi dan harmaily Ibrahim, Hukum Tata Negara di Indonesia, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara
Fakultas Hukum UI, 1988), hlm. 336
42

19
masalah ini termasuk ijtihad politik. Fiqh siyasah tidak menetapkan secara baku sistem
pemilihan yang diselenggarakan oleh suatu negara dan memberikan kelonggaran sistem
pemilihan yang dipandang bermaslahat bagi masyarakat dengan membawa asas-asas
keadilan dalam berpolitik.
Goresan sejarah yang ditorehkan oleh Muhammad saw., hingga muncul konsep negara
modern dalam bingkai Piagam Madinah, serta hubungannya dengan kehidupan bernegara menuju
hidup yang adil, aman, dan tentram tidak bisa dipahami secara taken for granted tetapi harus
dikontekstualisasi. Maka Piagam Madinah sebagai traktat politik, spirit toleransi menjadi daulat
utama dalam melihat realitas yang majemuk. Kebebasan agama mendapat jaminan konstitusi,
masyarakat lemah dan minoritas dilindungi penuh oleh negara Madinah. Salah satu kunci kesuksesan
pada masa-masa keemasan politik nilai di Madinah dapat digapai Muhammad saw karena
mempraktekan keteladanan dalam hal ihwal kesederhanaan, asketisme, satunya kata dan perbauatan.
Muhammad saw., tidak memosisikan diri sebagai penguasa, tetapi sebagai pelayan yang
berkhidmat bagi hajat orang banyak.
Masyarakat politik yang dibina oleh Muhammad saw., di Madinah merupakan salah satu
bentuk kemasyarakatan yang di dalamnya diterapkannya prinsip-prinsip yang dikehendaki Allah
dalam Al-Quran, walaupun bukan bentuk masyarakat baku dalam Islam. Dengan begitu, sebagai
pengemban risalah yang merupakan amanat dari Allah, Muhammad saw., telah melakukan berbagai
kegiatan berupa penyampaian wahyu, penjelasan, dan contoh penerapannya dalam kehidupan
pribadi, masyarakat dan negara dengan penuh kesungguhan melakukan al-amr bi al-maruf wa al-nahy
an al-munkar.
E. Penutup
Sebagai penutup dapat ditarik kesimpulanb bahwa konsep bernegara hukum dalam
perspektif Piagam Madinah sebagai berikut :
1. Negara merupakan konsep yang penting dalam studi hukum tata negara (fiqh siyasah). Karena
negara merupakan organisasi pokok dari kekuasaan politik, dan didalamnya terhapat hubungan
antara rakyat, penguasa, dan hukum yang mengaturnya.
2. Sifat hakikat negara senantiasa sama, meskipun sebagai organisasi di dalam masyarakat, negara
beda dengan organisasi lainnya karena negara mempunyai sifat yang khusus. Sifat khusus dari
negara terletak pada monopoli dari kekuasaan jasmaniah yang tidak dimiliki oleh organisasi lain.
3. Negara Madinah yang didirikan oleh Muhammad saw. nuansa pluralistiknya sangat jelas, dengan
menempatkan penduduk Madinah menjadi tiga bagian. Pertama, kelompok kaum Mukminin yang
terdiri dari kaum Anshor dan Muhajirin. Kedua, kelompok munafiqin yakni mereka yang ragu-ragu
terhadap Islam dan terkadang cenderung memusuhi Islam. Ketiga, kelompok Yahudi.
4. Naskah dan isi Piagam Madinah diawali kalimat basmalah. Kata Allah tertulis 14 kali, kata
Muhammad saw., 5 kali, kata nabiy 1 kali, penyebutan kata mengandung arti keagamaan dan nilai
transendental lebih banyak, dan tidak terdapat kata Islam.
5. Manifestasi isi Piagam Madinah telah dilaksanakan dalam hal pembinaan persatuan dan kesatuan,
perluasan wilayah, hokum, kebebasan beragama, damai, sanksi dan perang serta sistem pemilihan
kepala negara yang menggunakan mekanisme syura (musyawarah) yang bersifat demokratis
menunjukkan bahwa seluruh warga atau rakyat dilibatkan dalam pelaksanaannya.

20
DAFTAR PUSTAKA
Abd. Wahhab Khallaf, Al-Siyasah al-Syariyah, Al-Qahirah: Dar Al-Anshar, 1977.
Abdul Aziz Dahlan, (ed) Ensiklopedi Hukum Islam, Muhammad, Jakarta: Ichtiar Baru van Houve,
1996.
Abd. Salam Arief, Konsep Ummah Dalam Piagam Madinah dalam Majalah Ilmu Pengetahuan Agama
Islam Al-Jamiah, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, No. 50 Tahun 1993.
Ahmad Sukardja, Hukum Tata Negara dan Administrasi Dalam Perspektif Fiqh Siyasah, Jakarta: Sinar
Grafika, 2012.
_________________, Piagama Madinah & Undang-Undang Dasar NRI 1945; Kajian Perbandingan
Tentang Hidup Bersama Dalam Masyarakat Majemuk, Jakarta: Sinar Grafika, 2012.
Ahmad Sukardja dan Ahmad Sudirman Abbas, Demokrasi dalam Perspektif Islam, Jakarta: Pedoman
Ilmu Jaya dan Anglo Media, 2005
Ahmad Ibrahim al-Syarif, Dawlah al-Rasul li al-Madinah, Kuwait: Dar al-bayan, 1972.
___________________________, Makkah wa al-Madinah fi al-Jahiliyyah wa ahdi al-Rasul, Mesir: Dar
al-Fikr, 1965.
Al-Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Libnan: Dar al-Kitab al-Arabiyy, 1973.
Amirtaat Nasution, Kamus Politik, (Jakarta: Pustaka Energi, 1952), cetakan ke-10, hlm. 110.
A. Jazuli, Fiqh Siyasah, Jakarta: Prenada Media, 2003.
Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqasid al-Syariah Menurut Al-Syatibi, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1996.
Asep Salahudin, Hijrah Politik Berkeadaban dalam Kompas, 4 November 2013.
A. Ubaidillah dkk., Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani, Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2000.
B. Hestu Cipto Handoyo, Hukum Tata Negara Indonesia, Yogykarta: Universitas Atma Jaya
Yogyakarta, 2009.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2008.
Fazlur Rahman, Islam, Chicago: University of Chicago Press, 1988.
F. Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, Bandung: Binatjipta, 1999.
Hamka Haq, Al-Syatibi, Jakarta: Erlangga, 2007.
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia, 1985.
Ibn Hisyam, Sirah al-Nabiyy, t. tp.: Dar al-Fikr, 1981.
____________, Al-Sirah al-Nabawiyyah, Mesir: Babi al-Halabi, 1955.
Ibn Ishaq, Sirah al-Rasul, juz II, Mesir: Babi al-Halabi, ttp.
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, jilid II, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006.
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Penerbit Gramedia, 1985), Cetakan ke-5, hlm.
45-46.
Moh. Mahfud MD, Substansi Islam Dalam Berhukum di Negara dan Kebangsaan. dalam Ahmad
Sukardja, Hukum Tata Negara dan Administrasi Dalam Perspektif Fiqh Siyasah, Jakarta: Sinar
Grafika, 2012.
Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum; Suatu Studi Prinsip-Prinsipnya Dilihat Dari Segi Hukum
Islam, Implementasi Pada Negara Madinah dan Masa Kini, Jakarta: Kencana Prenada Media Grup
Group, 2007.
Moh. Kusnardi dan harmaily Ibrahim, Hukum Tata Negara di Indonesia, Jakarta: Pusat Studi Hukum
Tata Negara Fakultas Hukum UI, 1988.
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita, Jakarta: Universitas Paramadina, 2004.
Philip K. Hitti, History of The Arabs, London: The Macmillan Press Ltd., 1974.

21
Von Grunebaum, Classical Islam, Chicago: Aldine Publishing Company, 1970.
W. Montgomery Watt, Muhammad at Madina, London: Oxford University Press, 1956.
________________________, Islamic Political Thought, Edinburg: Edinburg University Press, 1980.

Anda mungkin juga menyukai