Anda di halaman 1dari 19

MDR TB

1 | XOXO LO L XOXO LO L

BAB I
PENDAHULUAN
Di Indonesia, TB merupakan masalah utama kesehatan masyarakat. Hasil surveilans
secara global menemukan bahwa OAT yang resisten terhadap M. tuberculosis sudah menyebar
dan mengancam program tuberkulosis kontrol di berbagai negara. Pada survei WHO dilaporkan
lebih dari 90.000 pasien TB di 81 negara, ternyata angka Tuberculosis Multi Drug Resistance
(TB MDR) lebih tinggi dari yang diperkirakan. Enam negara dengan kekerapan TB MDR tinggi
di dunia adalah Estonia, Kazakhstan, Latvia, Lithunia, bagian dari federasi Rusia dan
Uzbekistan. WHO memperkirakan ada 300.000 kasus TB MDR baru per tahun. OAT yang
resisten terhadap kuman tuberculosis akan semangkin banyak, saat ini 79% dari TB-MDR adalah
super strains yang resisten paling sedikit 3 atau 4 obat antituberkulosis.
Resisten ganda (multidrugs resistant tuberculosis/TB-MDR ) merupakan masalah terbesar
terhadap pencegahan dan pemberantasan TB dunia. Pada tahun 2010 WHO menyatakan insidens
TB-MDR meningkat secara bertahap merata 2% pertahun. Prevalens TB diperkirakan WHO
meningkat 4,3% di seluruh dunia dan lebih dari 200 kasus baru terjadi di dunia. Di Negara
berkembang prevalens TB-MDR berkisar antara 4,6%-22,2%. WHO Report On Tuberculosis
Epidemic 1995 menyatakan bahwa resisitensi ganda kini menyebar dengan amat cepat di
berbagai belahan dunia. Lebih dari 50 juta orang mungkin telah terinfeksi oleh kuman
tuberkulosis yang resisten terhadap beberapa obat anti tuberkulosis khususunya Rifampisin dan
INH, serta kemungkinan pula ditambah obat lainnya.
Banyak negara sudah menerapkan strategi DOTS dalam penatalaksanaan TB hal ini
tenyata sangat bermanfaat untuk meningkatkan angka kesembuhan sehingga mengurangi angka
resitensi termasuk resitensi ganda.

2 | XOXO LO L XOXO LO L

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Resisten ganda (multidrugs resistant tuberculosis/MDR TB) adalah Mycobacterium
tuberkulosis (M Ttuberculosis) yang resisten minimal terhadap rifampisin dan INH dengan atau
tanpa obat antituberkulosis (OAT) lainnya.1,2 Resisten terhadap OAT dinyatakan bila hasil
pemeriksaan laboratorium menunjukkan adanya pertumbuhan M. Tuberculosis in vitro saat
terdapat satu atau lebih OAT.1 Terdapat empat jenis kategori resistensi terhadap OAT, yaitu:
Tabel 1. Kategori resistensi terhadap OAT.2
Mono resisten

Resisten terhadap satu obat lini pertama

Poli resisten

Resisten terhadap lebih dari satu OAT lini pertama


selain kombinasi isoniazid dan rifampisin.

Multi drug resistant (MDR)

Resisten terhadap sekurang-kurangnya isoniazid dan


rifampisin

Extensively drug resistant TB-MDR ditambah kekebalan terhadap salah satu


(XDR)

obat golongan flourokuinolon dan sedikitnya salah


satu dari OAT injeksi lini kedua (kapreomisin,
kanamisin dan amikasin).

Total
(TDR)

Drug

Resistance

Resisten baik dengan lini pertama maupun lini kedua.


Pada kondisi ini tidak ada lagi obat yang bisa
dipakai.

Secara umum resistensi terhadap OAT dibagi menjadi: resistensi primer dan resistensi
sekunder atau resistensi didapat. Resistensi primer adalah resistensi yang terjadi M. tuberculosis
terhadap OAT, dimana penderita tidak memiliki riwayat pengobatan OAT atau telah mendapat
pengobatan OAT, namun kurang dari 1 (satu) bulan. Sedangkan resistensi sekunder, pasien telah
mempunyai riwayat pengobatan OAT minimal 1(satu) bulan.
Epidemiologi

3 | XOXO LO L XOXO LO L

Insidens resistensi obat meningkat sejak diperkenalkannya pengobatan tuberkulosis


pertama tahun 1943. Kegawatan dari MDR TB karena pemakaian rifampisin yang meluas pada
awal tahun 1970-an mengakibatkan penggunaan obat antituberkulosis (OAT) lini kedua.
Ketidaktepatan penggunaan obat-obat tersebut mengakibatkan terjadinya generasi dan
penyebaran MDR TB bahkan extensive drug resistant tuberculosis (XDR TB).
Menurut laporan WHO 2016, pada tahun 2014 diperkirakan di seluruh dunia terdapat
480.000 kasus MDR TB. Sebanyak 27 negara (15 negara berada di Eropah) adalah penyumbang
jumlah 86% dari seluruh kasus di dunia. Empat negara tertinggi jumlah kasus MDR TB adalah
Cina dengan estimasi kasus 100.000, India 99.000 kasus, Federasi Rusia 38.000 kasus dan Afrika
Selatan 13.000 kasus MDR TB. Sebanyak 50% kasus MDR TB di dunia berada di Cina dan
India sedangkan kematian akibat MDR TB diperkirakan 150.000 orang setiap tahun di seluruh
dunia pada tahun 2008. Menurut laporan WHO 2008 dari 27 negara dengan jumlah MDR TB
tertinggi, Indonesia menempati urutan ke-8 di dunia dalam hal jumlah kasus MDR TB yaitu
sebanyak 12.142 penderita. Menurut laporan WHO 2010, di Indonesia diperkirakan terdapat 2%
MDR TB dari semua kasus baru TB dan 14,7% MDR TB dari semua kasus TB yang pernah
mendapat pengobatan.
Berdasarkan data Global Project dari 116 negara dengan 2.509.543 kasus TB didapatkan
proporsi resistensi di antara kasus baru adalah 17% resisten terhadap OAT apa saja, resisten
terhadap INH 10,3%, dan MDR TB 2,9%. Proporsi resistensi di antara kasus yang pernah diobati
adalah 35% resisten terhadap OAT apa saja, resisten terhadap INH 13% dan MDR TB 15,3%.
Kasus resistensi pada semua kasus TB adalah 20% pada OAT apa saja, 13,3% resisten terhadap
INH dan 5,3% MDR TB. Pada negara dengan angka TB yang tinggi, kasus TB yang pernah
diobati berkisar 4,4% hingga 26,9% dari semua pasien yang teregistrasi pada program directly
observed treatment short-course (DOTS). Pada 2 negara dengan jumlah kasus TB terbesar kasus
pengobatan kembali mencapai 20% dari kasus dengan dahak positif hapusan langsung.1,2
Faktor-faktor Terjadinya Resistensi
Kegagalan pada pengobatan poliresisten TB atau TB-MDR akan menyebabkan lebih
banyak OAT yang resisten terhadap kuman M. tuberculosis. Kegagalan ini bukan hanya
merugikan pasien tetapi juga meningkatkan penularan pada masyarakat. Ada lima penyebab
terjadinya TB-MDR antaranya:2
4 | XOXO LO L XOXO LO L

1. Pemberian terapi TB yang tidak adekuat akan menyebabkan mutants resisten. Hal ini
amat ditakuti karena dapat terjadi resisten terhadap OAT lini pertama
2. Masa infeksius yang terlalu panjang akibat keterlambatan diagnosis akan menyebabkan
penyebaran galur resitensi obat. .Penyebaran ini tidak hanya pada pasien di rumah sakit
tetapi juga pada petugas rumah sakit, asrama, penjara dan keluarga pasien
3. Pasien dengan TB-MDR diterapi dengan OAT jangka pendek akan tidak sembuh dan
akan menyebarkan kuman. Pengobatan TB-MDR sulit diobati serta memerlukan
pengobatan jangka panjang dengan biaya mahal
4. Pasien dengan OAT yang resisten terhadap kuman tuberkulosis yang mendapat
pengobatan jangka pendek dengan monoterapi akan menyebabkan bertambah banyak
OAT yang resisten ( The amplifier effect). Hal ini menyebabkan seleksi mutasi resisten
karena penambahan obat yang tidak multipel dan tidak efektif
5. HIV akan mempercepat terjadinya terinfeksi TB mejadi sakit TB dan akan
memperpanjang periode infeksious
TB resistensi obat anti TB (OAT) pada dasarnya adalah suatu fenomena buatan manusia,
Sebagai akibat dari pengobatan pasien TB yang tidak adekuat yang menyebabkan terjadinya
penularan dari pasien TB-MDR ke.orang lain / masyarakat. Faktor penyebab resitensi OAT
terhadap kuman M. tuberculosis antara lain:1-3
1. Faktor Mikrobiogi
Resisten yang natural

Resisten yang didapat

Amplifier effect

Virulensi kuman

Tertular galur kuman MDR

2. Faktor klinik
A. Penyelenggara kesehatan
Keterlambatan diagnosis

Pengobatan tidak mengikuti guideline

5 | XOXO LO L XOXO LO L

Penggunaan paduan OAT yang tidak adekuat yaitu karena jenis obatnya yang kurang
atau karena lingkungan tersebut telah terdapat resitensi yang tinggi terhadap OAT yang
digunakan misal rifampisin atau INH

Tidak ada guideline/pedoman

Tidak ada / kurangnya pelatihan TB

Tidak ada pemantauan pengobatan

Fenomena addition syndrome yaitu suatu obat yang ditambahkan pada satu paduan
yang telah gagal. Bila kegagalan ini terjadi karena kuman tuberkulosis telah resisten
pada paduan yang pertama maka penambahan 1 jenis obat tersebut akan menambah
panjang daftar obat yang resisten.

Organisasi program nasional TB yang kurang baik

B. Obat
Pengobatan TB jangka waktunya lama lebih dari 6 bulan sehingga membosankan
pasien

Obat toksik menyebabkan efek samping sehingga pengobatan kompllit atau sampai
selesai gagal

Obat tidak dapat diserap dengan baik misal rifampisin diminum setelah makan, atau ada
diare

Kualitas obat kurang baik misal penggunaan obat kombinasi dosis tetap yang mana
bioavibiliti rifampisinnya berkurang

Regimen / dosis obat yang tidak tepat

Harga obat yang tidak terjangkau

Pengadaan obat terputus

C. Pasien
Kurangnya informasi atau penyuluhan

Kurang dana untuk obat, pemeriksaan penunjang dll

Efek samping atau gangguan penyerapan obat

Sarana dan prasarana transportasi sulit / tidak ada

Masalah sosial
6 | XOXO LO L XOXO LO L

3. Faktor program
Tidak ada fasilitas untuk biakan dan uji kepekaan

Amplifier effect

Tidak ada program DOTS-PLUS

Program DOTS belum berjalan dengan baik

Memerlukan biaya yang besar

4. Faktor AIDS-HIV
Kemungkinan terjadi TB-MDR lebih besar

Gangguan penyerapan

Kemungkinan terjadi efek samping lebih besar

Patofisiologi
Ungkapan terhadap tahap MDR pada mikrobakteriologi mengarah pada resisten secara
simultan terhadap Rifampisin dan Isoniazide (dengan atau tanpa resistensi pada obat anti
tuberkulosis lainnya). Analisa secara genetik dan molekuler pada mikobakterium tuberkulosis
menjelaskan bahwa mekanisme resistensi biasanya didapat oleh basil melalui mutasi terhadap
target obat atau oleh titrasi dari obat akibat overproduksi dari target. MDR TB menghasilkan
secara primer akumulasi mutasi gen target obat pada individu.
Tabel 2. Gen yang bermutasi pada resisten obat.2
Obat
Rifampicin
Isoniazid
Etambutol
Pirazinamid
Streptomisin
Fluoroquinolon

Gen yang bermutasi


rpoB
katG, inhA, oxyR-ahpC
embCAB
pncA
rpsL, rrs
gyrA

1. Mekanisme Resistensi Terhadap INH


Isoniazid merupakan hydrasilasi dari asam isonikotinik, molekul yang larut air sehingga
mudah untuk masuk ke dalam sel. Mekanisme kerja obat ini dengan menghambat sintesis
dinding sel asam mikolik (struktur bahan yang sangat penting pada dinding sel
mykobakterium) melalui jalur yang tergantung dengan oksigen seperti rekasi katase
7 | XOXO LO L XOXO LO L

peroksidase. Mutan M.tuberculosis yang resisten isoniazid terjadi secara spontan dengan
kecepatan 1 dalam 105-106 organisme. Mekanisme resistensi isoniazid diperkirakan oleh
adanya asam amino yang mengubah gen katalase peroksidase (katG) atau promotor pada
lokus 2 gen yang dikenal sebagai inhA. Mutasi missense atau delesi katG berkaitan dengan
berkurangnya aktivitas katalase dan peroksidase.
2. Mekanisme Resistensi Terhadap Rifampisin
Rifampisin merupakan turunan semisintetik dari Streptomyces mediterranei, yang
bekerja sebagai bakterisid intraseluler maupun ekstraseluler. Obat ini menghambat sintesis
RNA dengan mengikat atau menghambat secara khusus RNA polymerase yang tergantung
DNA. Rifampisin berperan aktif invitro pada kokus gram positif dan gram negatif,
mikobakterium, chlamydia, dan poxvirus. Resistensi terhadap rifampisin ini disebabkan oleh
adanya permeabilitas barier atau adanya mutasi dari RNA polymerase tergantung DNA.
Rifampisin mengahambat RNA polymerase tergantung DNA dari mikobakterium, dan
menghambat sintesis RNA bakteri yaitu pada formasi rantai (chain formation) tidak pada
perpanjangan rantai (chain elongation), tetapi RNA polymerase manusia tidak terganggu.
Resistensi rifampisin berkembang karena terjadinya mutasi kromosom dengan frekuensi
tinggi dengan kecepatan mutasi tinggi, dengan akibat terjadinya perubahan pada RNA
polymerase. Resistensi terjadi pada gen untuk beta subunit dari RNA polymerase dengan
akibat terjadinya perubahan pada tempat ikatan obat tersebut.
3. Mekanisme Resistensi Terhadap Pyrazinamide
Pyrazinamid merupakan turunan asam nikotinik yang berperan penting sebagai
bakterisid jangka pendek terhadap terapi tuberkulosis. Obat ini bekerja efektif terhadap
bakteri tuberkulosis secara invitro pada pH asam (pH 5,0-5,5). Pada keadaan pH netral,
pyrazinamid tidak berefek atau hanya sedikit berefek. Obat ini merupakan bakterisid yang
memetabolisme secara lambat organisme yang berada dalam suasana asam pada fagosit atau
granuloma kaseosa. Obat tersebut akan diubah oleh basil tuberkel menjadi bentuk yang aktif
asam pyrazinoat.Mekanisme resistensi pyrazinamid berkaitan dengan hilangnya aktivitas
pyrazinamidase sehingga pyrazinamid tidak banyak yang diubah menjadi asam pyrazinoat.
Kebanyakan kasus resistensi pyrazinamide ini berkaitan dengan mutasi pada gen pncA, yang
menyandikan pyrazinamidase.

8 | XOXO LO L XOXO LO L

4. Mekanisme Resistensi Terhadap Ethambutol


Ethambutol merupakan turunan ethylenediamine yang larut air dan aktif hanya pada
mycobakteria. Ethambutol ini bekerja sebagai bakteriostatik pada dosis standar. Mekanisme
utamanya

dengan

menghambat

enzim

arabinosyltransferase

yang

memperantarai

polymerisasi arabinose menjadi arabinogalactan yang berada di dalam dinding sel. Resistensi
ethambutol pd M.tuberculosis paling sering berkaitan dengan mutasi missense pada gen
embB yang menjadi sandi untuk arabinosyltransferase.
5. Mekanisme Resistensi Terhadap Streptomysin
Streptomysin merupakan golongan aminoglikosida yang diisolasi dari Streptomyces
griseus. Obat ini bekerja dengan menghambat sintesis protein dengan menganggu fungsi
ribosomal. Pada 2/3 strain M.tuberculosis yang resisten terhadap streptomysin telah
diidentifikasi oleh karena adanya mutasi pada satu dari dua target yaitu pada gen 16S rRNA
(rrs) atau gen yang menyandikan protein ribosomal S12 (rpsl). Kedua target diyakini terlibat
pada ikatan streptomysin ribosomal. Mutasi yang utama terjadi pada rpsl.
Diagnosis MDR TB
Tuberkulosis paru dengan resistensi ganda dicurigai kuat jika kultur basil tahan asam (BTA)
tetap positif setelah terapi 3 bulan atau atau kultur kembali positif setelah terjadi konversi
negatif. Beberapa gambaran demografik dan riwayat penyakit dahulu dapat memberikan
kecurigaan TB paru resisten obat yaitu:4,5
1. TB aktif yang sebelumnya mendapat terapi terutama jika terapi yang diberikan tidak
2.
3.
4.
5.

sesuai standard terapi


Kontak dengan pasien kasus MDR TB.
Gagal terapi atau kambuh
Infeksi human immunodeficiency virus (HIV)
Riwayat rawat inap dengan wabah MDR TB

Diagnosis MDR TB tergantung kepada pengumpulan dan proses kultur spesimen yang
adekuat dan harus dilakukan sebelum terap diberikan. Jika pasien tidak dapat mengeluarkan
sputum atau dahak, dapat dilakukan induksi sputum. Jika tetap tidak bisa mengeluarkan dahak,
dilakukan pemeriksaan bronkoskopi. Tes sensitivitas terhadap obat lini pertama dan kedua harus
dilakukan pada laboratorium rujukan yang memadai.

9 | XOXO LO L XOXO LO L

Beberapa metode telah digunakan untuk deteksi resistensi obat pada TB. Deteksi resistensi
obat di masa lalu yang disebut dengan metode konvensional berdasarkan deteksi pertumbuhan
M.tuberculosis. Akibat sulitnya beberapa metode ini dan membutuhkan waktu yang lama untuk
mendapatkan hasilnya, maka belakangan ini diusulkanlah teknologi baru.Yang termasuk metode
terbaru ini adalah metode fenotipik dan genotipik. Pada banyak kasus, metode genotipik
khususnya telah mendeteksi resistensi rifampisin, sejak saat itu metode ini dipertimbangkan
sebagai petanda TB-MDR khususnya pada suasana dengan prevalensi TB-MDR yang tinggi.
Sementara metode fenotipik, di lain sisi, merupakan metode yang lebih sederhana dan lebih
mudah diimplementasikan pada laboratorium mikrobakteriologi klinik secara rutin.5
Tabel 3. Metode untuk deteksi resistensi obat pada TB.5
Metode fenotipik

Metode fenotipik baru

Metode genotipik

Metode proporsional

Metode phage-based

Rangkaian DNA

Metode rasio resistensi

Metode kolorimetri

Teknik hybridisasi fase

Metode konsenstrasi absolut

The nitrate reductase assay

agar

Metode radiometri BACTEC

The microscopic

Microarrays

Tabung indicator

observation broth-drug

Polymerase Chain

pertumbuhan mikobakterial

susceptibility assay

Reaction (PCR)

konvensional

Metode agar thin-layer


Teknik real-time
Tatalaksana MDR TB
Penatalaksanaan MDR TB ini memerlukan seorang spesialis yang ahli dibidangnya. Tiga
hal penting yang perlu diperhatikan pada penatalaksanaan MDR TB adalah teknik diagnostik,
pemberian obat dan kepatuhan. Idealnya regimen pengobatan kasus TB dengan resistensi obat
disusun berdasarkan hasil in vitro drug susceptibility (DST) yang dilakukan pada masing-masing
pasien. Namun yang menjadi kendala adalah hasil pemeriksaan ini baru dapat diperoleh dalam 12 bulan. Oleh karena itu pada beberapa kondisi berikut ini antara lain pasien dengan riwayat
gagal pengobatan sebelumnya, pasien yang sebelumnya pernah mendapat terapi OAT, pasien
yang ada kontak dengan kasus TB resisten OAT dan pasien yang lahir dan tinggal pada daerah
endemis TB, resistensi obat harus di antisipasi dan terapi harus dimulai tanpa menunggu hasil
DST. Beberapa strategi pengobatan TB-MDR:5,6

10 | X O X O L O L X O X O L O L

1. Pengobatan standar. Data drugs resistancy survet (DRS) dari populasi pasien yang
representatif digunakan sebagai dasar regimen pengobatan karena tidak tersedianya hasil uji
kepekaan individual. Seluruh pasien akan mendapatkan regimen pengobatan yang sama.
Pasien yang dicurigai TB-MDR sebaiknya dikonfirmasi dengan uji kepekaan
2. Pengobatan empiris. Setiap regimen pengobatan dibuat berdasarkan riwayat pengobatan TB
pasien sebelumnya dan data hasil uji kepekaan populasi representatif. Biasanya regimen
empiris akan disesuaikan setelah ada hasil uji kepekaan individual.
3. Pengobatan individual. Regimen pengobatan berdasarkan riwayat pengobatan TB
sebelumnya dan hasil uji kepekaan.
Tabel 4. Golongan dan jenis obat OAT.7
Golongan dan Jenis

Obat

Golongan 1:

Isoniazid (H)

Pyrazinamide (Z)

Obat Lini Pertama

Ethambutol (E)

Rifampicin (R)

Kanamycin (Km)

Streptomycin (S)
Amikacin (Am)

Capreomycin (Cm)

Golongan 2:

Obat suntik/ Suntikan lini


kedua
Golongan 3:

Ofloxacin (Ofx)

Moxifloxacin (Mfx)

Golongan 4:

Levofloxacin (Lfx)
Ethionamide (Eto)

Para

Obat bakteriostatik lini

Prothionamide (Pto)

kedua

Cycloserine (Cs)
Clofazimine (Cfz)

Terizidone (Trd)

Golongan 5:

Thioacetazone (Thz)

Obat yang belum terbukti

Linezolid (Lzd)

Clarithromycin (Clr)

efikasinya dan tidak

Amoxilin-Clavulanate

Imipenem (Ipm)

Golongan Floroquinolone

direkomendasikan oleh

amino

salisilat

(PAS)

(Amx-Clv)

WHO
Secara umum, prinsip pengobatan TB resistensi obat, khususnya TB dengan MDR
adalah sebagai berikut:
1. Pengobatan menggunakan minimal 4 macam OAT yang masih efektif.
11 | X O X O L O L X O X O L O L

2. Jangan menggunakan obat yang kemungkinan menimbulkan resistan silang (crossresistance)


3. Membatasi pengunaan obat yang tidak aman
4. Gunakan obat dari golongan/kelompok 1 - 5 secara hirarkis sesuaipotensinya.
Penggunaan OAT golongan 5 harus didasarkan pada pertimbangan khusus dari Tim Ahli
Klinis (TAK) dan disesuaikan dengan kondisi program.
5. Paduan pengobatan ini diberikan dalam dua tahap yaitu tahap awal dan tahap lanjutan.
Tahap awal adalah tahap pemberian suntikan dengan lama minimal 6 bulan atau 4 bulan
setelah terjadi konversi biakan.
6. Lama pengobatan minimal adalah 18 bulan setelah konversi biakan
7. Dikatakan konversi bila hasil pemeriksaan biakan 2 kali berurutan dengan
jarakpemeriksaan 30 hari.
8. Pemberian obat selama periode pengobatan tahap awal dan tahaplanjutan menganut
prinsip DOT = Directly/Daily Observed Treatment, dengan PMO diutamakan adalah
tenaga kesehatan atau kader kesehatan
Tabel 5. Pengobatan TB resistensi obat rekomendasi WHO.8

12 | X O X O L O L X O X O L O L

Tabel 5. Regimen yang potensial untuk penderita TB dengan berbagai bentuk resistensi.8

Paduan obat TB MDR hanya diberikan pada pasien yang sudah terbukti TB MDR, paduan obat
standard diatas harus disesuaikan kembali berdasarkan keadaan dibawah ini:8-9
1. Hasil uji kepekaan OAT lini kedua menunjukkan resisten terhadap salah satu obat diatas.
Etambutol dan pirazinamid tetap digunakan
2. Ada riwayat penggunaan salah satu obat tersebut di atas sebelumnya sehingga dicurigai
ada resistensi, misalnya : pasien sudah pernah mendapat kuinolon untuk pengobatan TB
sebelumnya, maka dipakai levofloksasin dosis tinggi. Apabila sudah terbukti resisten
terhadap levofloksasin regimen pengobatan ditambah PAS, atas pertimbangan dan
persetujuan dari tim ahli klinis atau tim terapeutik
3. Terjadi efek samping yang berat akibat salah satu obat yang sudah dapat diidentifikasi
sebagi penyebabnya
4. Terjadi perburukan keadaan klinis, sebelum maupun setelah konversi biakan. Hal-hal
yang harus diperhatikan adalah kondisi umum, batuk, produksi dahak, demam, penurunan
berat badan
Resistensi silang
Pada pengobatan MDR TB harus dipertimbangkan resistensi silang dalam memilih
jenis OAT yaitu suatu resistensi terhadap suatu antibiotikum dapat menyebabkan resisten
terhadap semua derivatnya. Tidak efektif memberikan OAT dari golongan yang sama atau
paduan OAT yang berpotensi terjadi resistensi silang.9
13 | X O X O L O L X O X O L O L

1. Tionamid dan tiosetason


Etionamid adalah golongan tionamid yang dapat menginduksi terjadinya resistensi silang
dengan proteonamid karena satu golongan. Sering ditemukan resistensi silang antara
tionamid dengan tiosetason, galur yang biasanya resisten dengan tiosetason biasanya
masih sensitif dengan etionamid dan proteonamid. Galur yang resisten terhadap
etionamaid dan proteonamid biasanya juga resisten terhadap tiosetason pada lebih dari
70% kasus.
2. Aminoglikosid
Galur yang resisten terhadap streptomisin biasanya sensitif terhadap kanamisin dan
amikasin. Galur yang resisten terhadap kanamisin dapat menyebabkan resisten silang
terhadap amikasin. Galur yang resisten terhadap kanamisin dan amikasin juga
menimbulkan resisten terhadap steptomisin. Galur yang resisten terhadap streptomisin,
kanamisin, amikasin biasanya masih sensitif terhadap kapreomisin.
Kesimpulan :
a.

Resistensi terhadap streptomisin gunakan kanamisin atau amikasin

b.

Resisten terhadap kanamisin atau amikain gunakan kapreomisin

3. Fluorokuinolon
Ofloksasin dan siprofloksasin dapat menginduksi terjadinya resistensi silang untuk semua
fluorokuinolon. Itulah sebabnya penggunaan ofloksasin harus hati-hati karena beberapa
kuinolon yang lebih aktif (levofloksasin dan moksifloksasin) dapat menggantiakn
ofloksasin di masa datang.
4. Sikloserin dan terizidon
Terdapat resistensi silang antara dua macam obat ini. Tidak terdapat resistensi silang
dengan obat golongan lain.
Fase-fase Pengobatan TB-MDR
Pengobatan pasien MDR TB terdiri atas dua tahap, tahap awal dan tahap lanjutan.
Pengobatan MDR TB memerlukan waktu lebih lama daripada pengobatan TB bukan MDR, yaitu
sekitar 18-24 bulan. Pada tahap awal pasien akan mendapat Obat anti tuberkulosis lini kedua
minimal 4 jenis OAT yang masih sensitif, dimana salah satunya adalah obat injeksi. Pada tahap
lanjutan semua OAT lini kedua yang dipakai pada tahap awal.9,10
1. Fase Pengobatan intensif
14 | X O X O L O L X O X O L O L

Fase intensif adalah fase pengobatan dengan menggunakan obat injeksi (kanamisin atau
kapreomisin) yang digunakan sekurang-kurangnya selama 6 bulan atau 4 bulan setelah
terjadi konversi biakan.
a. Fase rawat inap di rumah sakit selama 2 hingga 4 minggu
Pada fase ini pengobatan dimulai dan pasien diamati untuk:

Menilai keadaan pasien secara cermat

Tatalaksana secepat mungkin bila terjadi efek samping

Melakukan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) yang intensif

Dokter menentukan kelayakan pasien untuk rawat jalan berdasarkan:

Tidak ditemukan efek samping

Pasien sudah mengetahui cara minum obat dan suntikan sesuai dengan pedoman
pengobatan TB MDR

b. Fase rawat jalan


Selama fase intensif baik obat injeksi dan obat minum diberikan oleh petugas
kesehatan dengan disaksikan PMO kepada pasien. Pada fase rawat jalan ini obat oral
ditelan di rumah pasien hanya pada libur
2. Fase pengobatan lanjutan
a. Fase setelah pengobatan injeksi dihentikan
b. Fase lanjutan minimum 18 bulan setelah konversi biakan
c. Pasien yang memilih menjalani pengobatan di RS Rujukan TB MDR mengambil obat
setiap minggu dan berkonsultasi dengan dokter setiap 1 bulan.10
Pasien harus dipantau secara ketat untuk menilai respons terhadap pengobatan dan
mengidentifikasi efek samping pengobatan. Gejala klasik TB batuk, berdahak, demam dan BB
menurun umumnya membaik dalam beberapa bulan pertama pengobatan. Penilaian respons
pengobatan adalah konversi dahak dan biakan. Hasil uji kepekaan TB MDR dapat diperoleh
setelah 2 bulan. Pemeriksaan dahak dan biakan dilakukan setiap bulan pada fase intensif dan
setiap 2 bulan pada fase lanjutan. Evaluasi pada pasien TB MDR adalah: 8,9,11
1. Penilaian klinis termasuk berat badan
2. Penilaian segera bila ada efek samping
3. Pemeriksaan dahak setiap bulan pada fase intensif dan setiap 2 bulan pada fase lanjutan
15 | X O X O L O L X O X O L O L

4. Pemeriksaan biakan setiap bulan pada fase intensif sampai konversi biakan
5. Uji kepekaan obat sebelum pengobatan dan pada kasus kecurigaan akan kegagalan
pengobatan
6. Periksa kadar kalium dan kreatinin sepanjang pasien mendapat suntikan (Kanamisin dan
Kapreomisin)
7. Pemeriksaan TSH dilakukan setiap 6 bulan dan jika ada tanda-tanda hipotiroid
Penanganan efek samping
Pemantauan efek samping selama pengobatan
1. OAT lini kedua mempunyai efek samping yang lebih banyak, lebih berat dan lebih sering
dari pada OAT lini pertama
2. Deteksi dini efek samping penting karena makin cepat ditemukan dan ditangani makin
baik prognosanya, jadi pasien harus di monitor tiap hari
3. Efek samping sering terkait dosis
4. Gejala efek samping harus diketahui oleh PMO dan pasien sehingga pasien tidak menjadi
takut saat mengalaminya dan drop-out
5. Efek samping bisa ringan, sedang dan berat atau serius. Semua hal harus tercatat dalam
pencatatan dan pelaporan.
Untuk efek samping berat atau serius, pasien harus menghentikan semua obat, segera dirujuk
dengan didampingi ke RS rujukan TB MDR. Contoh efek samping yang berat adalah:
1. Kulit dan mata pasien nampak kuning
2. Pendengaran berkurang (tuli) atau telinga berdengung
3. Mendengar suara-suara, halusinasi, delusi/waham, bingung
4. Reaksi alergi berat yaitu Syok anafilaktik dan angionerotik edema, harus segera ditangani
oleh dokter puskesmas sesuai standard penanganan syok sebelum segera dirujuk ke RS
rujukan TB-MDR.
5. Reaksi alergi berat yang lain yang berupa kemerahan pada mukosa (selaput lendir) seperti
Steven Johnsons Syndrome.
Pencegahan
WHO merekomendasikan strategi Directly Observed Treatment Short Course (DOTS)
dalam penatalaksanaan kasus TB, selain relatif tidak mahal dan mudah, strategi ini dianggap
dapat menurunkan risiko terjadinya kasus resistensi obat terhadap TB. Pencegahanan yang
16 | X O X O L O L X O X O L O L

terbaik adalah dengan standarisasi pemberian regimen yang efektif, penerapan strategi DOTS
dan pemakaian obat fixed dose drug combinations (FDC) adalah yang sangat tepat untuk
mencegah terjadinya resistensi OAT. Pencegahan terjadinya MDR TB dapat dimulai sejak awal
penanganan kasus baru TB antara lain adalah:10,11
1. Pengobatan secara pasti terhadap kasus BTA positif pada pertama kali
2. Penyembuhan secara komplit kasus kambuh
3. Penyediaan suatu pedoman terapi terhadap TB
4. Penjaminan ketersediaan OAT adalah hal yang penting
5. Pengawasan terhadap pengobatan, dan adanya OAT secara gratis
6. Jangan pernah memberikan terapi tunggal pada kasus TB
7. Peranan pemerintah dalam hal dukungan kelangsungan program
8. Ketersediaan dana untuk penanggulangan TB (DOTS)
Dasar pengobatan TB oleh klinisi berdasarkan pedoman terapi sesuai evidence based dan
tes kepekaan kuman. Penerapan strategi DOTS plus mempergunakan kerangka yang sama
dengan strategi DOTS, dimana setiap komponen yang ada lebih ditekankan kepada penanganan
MDR TB. Strategi DOTS Plus juga sama terdiri dari 5 komponen kunci:8
1. Komitmen politis yang berkesinambungan untuk masalah MDR TB
2. Strategi penemuan kasus secara rasional yang akurat dan tepat waktu menggunakan
pemeriksaan hapusan dahak secara mikroskopis, biakan dan uji kepekaan yang terjamin
mutunya.
3. Pengobatan standar dengan menggunakan OAT lini kedua ,dengan pengawasan yang
ketat
4. Jaminan ketersediaan OAT lini kedua yang bermutu
5. Sistem pencatatan dan pelaporan yang memungkinkan pencatatan dan evaluasi hasil
akhir.
Setiap komponen dalam penanganan TB MDR lebih kompleks dan membutuhkan biaya
lebih banyak dibandingkan dengan pasien TB bukan MDR Pelaksanaan program DOTS plus
akan memperkuat Program Penanggulangan TB Nasional.
Prognosis
Ada beberapa hal yang dapat menjadi petanda untuk mengetahui prognosis pada penderita TB
MDR. Dari beberapa studi yang ada menyebutkan bahwa adanya keterlibatan ekstrapulmoner,
17 | X O X O L O L X O X O L O L

usia tua, malnutris, infeksi HIV, riwayat mengunakan OAT dengan jumlah cukup banyak
sebelumnya, terapi yang tidak adekuat dapat menjadi petanda prognosis buruk pada penderita
tersebut. Dengan mengetahui beberapa petanda diatas dapat membantu klinisi intuk mengamati
penderita lebih seksama dan dapat memperbaiki hal yang menjadi penyebab seperti malnutrisi.11
BAB III
KESIMPULAN
Harus diakui bahwa pengobatan terhadap tuberkulosis dengan resistensi ganda ini amat
sulit dan memerlukan waktu yang amat lama dan pada beberapa keadaan bahkan sampai 24
bulan lamanya. Ada yang menganjurkan agar pasien dirawat di rumah sakit untuk mencegah
penularan dan mengontrol pengobatannya dengan lebih baik. Hasil pengobatan terhadap
resistensi ganda tuberkulosis ini juga kurang menggembirakan.
Resistensi ganda terhadap obat tuberkulosis adalah masalah besar dalam penanggulangan
tuberkulosis dewasa ini. Pemberian obat tuberkulosis yang benar dan terawasi secara baik
merupakan salah satu kunci penting untuk mencegah dan mengatasi masalah ini. Konsep Direcly
Observed Treatment Short Course (DOTS) merupakan salah satu upaya penting dalam menjamin
keteraturan berobat penderita dan menaggulangi masalah tuberkulosis khususnya resistensi
ganda ini. Perkembangan obat baru mungkin juga diperlukan untuk menanggulangi hal ini.

18 | X O X O L O L X O X O L O L

Daftar Pustaka
1. Guidelines for the programmatic management of drug-resistant tuberculosis: emergency
update 2016. Geneva, World Health Organization, 2016.
2. Departemen Kesehatan RI. Penanggulangan TB kini lebih baik. Available from
http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press-release/1348penangulangan-tb-kinilebih-baik.html.
3. Dalimunthe NN, Keliat EN, dan Abidin A. Penatalaksanaan Tuberkulosis dengan
Resistensi Obat Anti Tuberkulosis. Divisi Pulmonologi Alergi Imunologi FK Universitas
Sumatra

Utara.

Available

from

http://www.ikaapda.com/resources/PAI/Reading/PENATALAKSANAANTUBERCULOSIS-DENGAN-RESISTENSI-OBAT-ANTI-TUBERCULOSIS.pdf.
6. Riyanto BS, Wilhan. Management of MDR TB Current and Future dalam Buku Program dan
Naskah Lengkap Konferensi Kerja Pertemuan Ilmiah Berkala. PERPARI. Bandung. 2006.
7. Soepandi PZ. 2010. Diagnosis Dan Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya TB-MDR.
Departemen Pulmonologi & Ilmu kedokteran Respirasi FKUI-RS Persahabatan, Jakarta.
8. World Health Organization. Guideline for the programmatic management of drug resistant
tuberculosis . Emergency Update 2016.
9. Aditama TY, dkk. Tuberkulosis : Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia,
PERPARI, Jakarta, 2006.
10. Wallace RJ, Griffith DE. Antimycrobial Agents in Kasper DL, Braunwald E (eds), Harrisons
Principles of Internal Medicine, 18th ed. Mc Graw Hill. New York. 2012.
11. Sharma SK. Multidrug resistant tuberculosis. Indian Journal Medical Respiratory. 120, Oct

2004, 354-76.

19 | X O X O L O L X O X O L O L

Anda mungkin juga menyukai