Anda di halaman 1dari 4

Lock and Lock Presiden Jokowi

Oleh : Nasihin Masha


REPUBLIKA.CO.ID, Ada banyak faktor yang membuat seorang presiden akan
dikenang sejarah. Pertama, memiliki visi dan misi yang bisa menghipnotis
massa dan memiliki jangkauan jauh ke depan. Kedua, memiliki program yang
jelas, koheren, terukur, serta sesuai dengan visi dan misi. Ketiga, memiliki
tim yang kompak dan berkualitas. Keempat, mempunyai kepemimpinan dan
keterampilan manajerial yang baik. Kelima, bisa bekerja sama dengan
banyak pihak. Keenam, mampu menjaga dukungan publik untuk
memuluskan kepemimpinannya dan berimplikasi pada keterpilihannya di
pemilu berikutnya.
Presiden Jokowi menggenggam poin nomor satu dan enam dengan baik.
Trisakti dan Nawacita merupakan visi dan misinya sehingga publik terpesona
dan mendukung dirinya. Ia juga mampu menjaga popularitas dan dukungan
publik terhadap dirinya. Ia bisa mengendalikan lawan-lawan politik maupun
mitra-mitranya. Ia bisa menjaga opini publik dengan baik melalui media
massa maupun media sosial. Namun di empat faktor lainnya Jokowi masih
harus bekerja keras, bahkan ada yang terseok-seok. Misalnya soal Nawacita
dan Trisakti yang kian sayup-sayup.
Mengapa di empat faktor itu mengalami masalah? Ada dua faktor penyebab
semua itu. Pertama, Jokowi terlalu mengutamakan penyelamatan dan
pengamanan kursi kekuasaannya. Kedua, sejak awal sudah berdendang
tentang pilpres 2019.
Ruang-ruang obrolan mulai memperlihatkan wajah kegelisahan. Kondisi
ekonomi kian merosot. Rupiah tetap tiarap di kisaran Rp 13 ribuan per dolar
AS. Daya beli masyarakat tak kunjung pulih. Defisit APBN kian mengancam,

kendati pemerintah terus giat melakukan pemotongan anggaran.


Pengampunan pajak kontroversial. Reshuffle kabinet jilid dua transaksional
dan amburadul. Ekspor dan impor terus merosot. Intinya, geliat ekonomi
makin berat. Kegiatan berusaha makin sulit. Kondisi di masyarakat makin
perih. Kondisi politik tetap tak kondusif. Memang ada kabar bagus, yakni
menurunnya angka ketimpangan. Namun itu lebih ditopang oleh dana
langsung pemerintah ke masyarakat seperti dana desa maupun proyek
infrastruktur. Ini bukan pijakan yang sejati dan struktural. Mudah oleng oleh
terpaan. Namun para politisi dan penyelenggara negara anteng-anteng saja.
Mereka lebih gelisah pada kursinya masing-masing.
Semua ini akibat sesat jalan yang dilakukan sejak awal. Pertama, menepikan
bahkan terkadang meniadakan Jusuf Kalla sebagai wakil presiden. Hal itu
terbaca di publik. Dengan segala kekurangan dan kelemahan Kalla, dia tetap
memiliki kekuatan dan kelebihan. Salah satu faktor kemenangan pasangan
Jokowi-Kalla pada pilpres lalu adalah kehadiran Kalla. Saat itu ada sentimen
negatif terhadap Jokowi. Untuk menghadapi sentimen itu, Jokowi didapuk
menjadi imam shalat di Muhammadiyah. Ia juga pergi umrah di minggu
tenang. Di debat pilpres putaran terakhir, ia juga memasang A Syafii Maarif
di baris depan. Anies Baswedan juga lebih sering ditampilkan daripada Andi
Widjajanto. Tapi tetap yang akan permanen adalah Kalla sehingga faktor
Kalla menjadi penting pada kemenangan tipis Jokowi-Kalla terhadap
pasangan Prabowo-Hatta. Karena itu menepikan faktor Kalla dalam duet
pemerintahan merupakan pengingkaran terhadap suara pemilihnya. Selain
itu, Kalla memiliki pengalaman lebih panjang dalam pengelolaan
pemerintahan dan pemahaman yang lebih baik dalam hal ekonomi.
Kedua, pemilihan anggota Wantimpres yang lebih memberi kesan bagi-bagi
jatah terhadap unsur penyokongnya. Lembaga ini kelihatannya sepele
karena bekerja di balik layar. Namun Wantimpres menjadi sangat penting di
saat genting. Selain itu, lembaga ini diharapkan menjadi pembisik presiden
yang bijak. Karena itu Wantimpres harus berisi orang-orang bijak, senior,
mewakili semua unsur dalam konfigurasi masyarakat, dan disegani

keseniorannya. Wantimpres harus menjadi lembaga paling steril dari politik


kekuasaan. Mereka haruslah orang-orang yang sudah selesai dengan dirinya
sendiri.
Ketiga, pada akhirnya kabinet bersifat transaksional dan bagi-bagi kursi.
Kabinet menampung banyak partai dan menampung titipan para sponsor
besar dalam pilpres. Teriakan kabinet ramping dan tidak transaksional saat
kampanye hanya isapan jempol belaka. Keempat, jabatan direksi dan
komisaris BUMN juga setali tiga uang dengan penyusunan kabinet. Para
profesional BUMN yang sudah bekerja dengan baik bisa hilang begitu saja.
Meritokrasi bukan ukuran utama. Kelima, membabat habis suara kritis dan
mematikan oposisi. Lembaga-lembaga penegak hukum, kewenangan
administratif pemerintahan, dan partai sosmed dikerahkan secara habishabisan untuk mematikan suara kritis. Tak ada orang dan lembaga yang tak
memiliki kelemahan namun jika itu dieksploitasi untuk mematikan maka
pada akhirnya mereka akan diam. Suara kritis, sekeras apapun dan dengan
tujuan apapun, akan memberikan manfaat dan menyehatkan. Kini, tak ada
kritisisme yang sejati di parlemen maupun di lembaga-lembaga akuntabel.
Yang ada hanyalah kritisisme hit and run yang tentu tak memiliki arti. Inilah
yang membuat pemerintah kehilangan pecut pengingat.
Akibat dari semua kombinasi itu, tombol-tombol yang ada di meja Jokowi
hanyalah tomboh-tombol pengamanan kekuasaan. Software yang ada di
komputer Jokowi hanyalah aplikasi untuk me-like. Padahal emoticon yang
kekinian makin variatif. Tentu kita harus menolak gagasan menurunkan
pemerintah di tengah jalan. Itu kebiasaan yang tidak sehat. Kita harus
mencintai pemerintahan siapapun. Cinta yang sehat justru yang disertai rasa
cemburu dan marah, bukan cinta pasrah yang membuat kita tersesat jalan.
Suka tidak suka, kita sedang menempuh jalan yang agak tersesat. Pada
tahap tertentu kita berada dalam situasi lock and lock. Saling mengunci.
Memperbaiki situasi ekonomi relatif mudah, namun suasana politik di
sekitarnya sudah rusak dan banyak yang tersakiti. Namun kita tak boleh

kehilangan harapan. Masih ada waktu untuk memperbaiki diri. Butuh


kerendahhatian dan kebesaran jiwa.
Tujuan sejati politik dan kekuasaan bukanlah untuk menaklukkan dan
menyingkirkan lawan-lawan dan pesaing-pesaing politik, tapi untuk
menyejahterakan rakyat, menegakkan keadilan, dan memajukan negeri.
Politik bukanlah soal kursi, tapi soal amanah dan tanggung jawab.

Anda mungkin juga menyukai