Oleh :
ARDA FEBRI GIANT PUTRA,S.H
NIM :
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Dalam prefektif sejarah, disadari bahwa perjalanan profesi advokat di Indonesia tidak
bisa lepas dari keterkaitannya dengan perubahan sosial. Para advokat Indonesia terseret
dalam arus perubahan tersebut. Pada masa pra kemerdekaan dan saat ini setelah Indonesia
merdeka, secara individu banyak advokat terlibat dalam perjuangan kemerdekaan,
terutama perjuangan politik dan diplomasi. Kala itu, kaum intelektual dan pemimpin
politik Indonesia memang terbatas pada mereka yang berasal dari kalangan advokat,
dokter, insinyur dan pamong peraja. Mereka terdidik dalam alam romantisme liberal dan
etika berpikir Eropa Barat termasuk Belanda. Karena kedudukan yang cukup terhormat
itu, maka perannya cukup signifikan dalam menentukan sikap politik para pemimpin
Indonesia pada masanya, seperti ikut merumuskan dasar-dasar konstitusi Indonesaia.1
Di era kemerdekaan, pada masa pemerintahan Sukarno dimana politik menjadi
panglima, para advokat diam tidak bisa ikut melakukan revolusi. Dimasa itu pula kita
mencatat sejarah peradilan yang relatif bersih dan berwibawa.
Bahkan dimasa pemerintahan Suharto yang represif menggunakan kekuatan militer,
Persatuan Advokat Indonesai (peradin) dengan berani dan terbuka membela secara
probono para politikus komunis dan simpatisannya yang diadili dengan tuduhan makar
tehadap Negara Republik Indonesia, dihadapan Mahkamah Militer Luar Biasa
(Mahmilub).
Dari sekilas sejarah (peran) para advokat tersebut, menunjukkan bahwa sumbangan
pemikiran para advokat berkualitas, yang menjadi pemimpin politik dan sosial sejak
1923, adalah sangat besar. Pada masa itu, advokat Indonesia pertama Mr. Besar
Martokoesoemo, membuka kantor advokat ditegal, selain pak Besar sendiri, ada Sartono,
Alisastroamidjojo, Wilopa, Muh Roem, Ko Tjang Sing, Muh Yamin, Iskaq
Tjokrohadisuryo, lukman Wiradinata, Suardi Tasrif, Ani Abbas Manoppo, Yap Thiam
Hien, dan lain-lain dan generasi yang aktif sebelum dan sesudah kemerdekaan sampai
Daniel S.Lev, Kata Pengantar, Advokat Indonesia Mencari Legitimasi PSHK, 2001
1960-an dan beberapa diantaranya sampai 1980-an. 2Hanya saja, akibat ombang-ambing
politik,
sebagai
profesi
para
advokat
Indonesia
mengalami
perubahan
yang
membingungkan. Kalau mereka bisa aktif dalam politik pada zaman parlementer, dan
dihormati oleh hakim dan jaksa sebagai unsur biasa dalam sistem peradilan. Pada zaman
Demokrasi Terpinpin sebaliknya, Mereka mulai dijauhkan dari lembaga formal, diisolasi
sebagai unsur swasta, dan sering diperlakukan seperti musuh oleh hakim dan jaksa. 3 Pada
permulaan 1960-an korupsi peradilan mulai menonjol yang dimulai dari kantor kejaksaan,
dari situ kepengadilan dan pada akhirnya meluas pada advokat yang sulit membela
kliennya kecuali ikut main dalam sistem birokrasi peradilan yang korup. Kondisi
demikian, hingga pasca lahirnya undang-undang No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat
masih belum berubah. Pada hal Pasal 5 undang-undang No. 18 Tahun 2003, ayat (1)
menyatakan bahwa Advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang
dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan.
sama dengan penegak hukum lainnya yaitu polisi, jaksa dan hakim atau yang disebut
dengan catur wangsa.
Sebagai organisasi profesi, advokat melalui pasal 28 undang-undang No. 18 Tahun
2003 tentang Advokat diamanatkan untuk membentuk wadah tunggal organisasi advokat,
yang kemudian lahir PERADI (Perhimpunan Advokat Indonesia), namun dalam
perkembangannya di internal organisasi advokat itu sendiri (PERADI) malahan terjadi
perpecahan, sehingga muncul lagi organisasi advokat lain yaitu KAI (Kongres Advokat
Indonesia). Hal itu tentunya sangat memprihatinkan dan patut menjadi bahan perenungan
yang mendalam, meskipun ada adagium yang sudah diketahui secara luas Tegakkan
hukum walaupun langit runtuh nampaknya harapan itu sangat jauh dari kenyataan yang
dihadapi.
Untuk itu, tulisan ini mencoba memberikan kajian dari aspek historis yuridis
perkembangan advokat di Indonesia dari masa pra kemerdekaan sampai lahirnya undangundang No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat, dari berbagai literatur serta analisa ringkas
terhadap aspek-aspek yang terkait dengan obyek kajian ini.
2
3
4
Ibid
Ibid
Undang-undang No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat
B.
C.
RUMUSAN MASALAH
1.
2.
3.
TUJUAN
1.
2.
3.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kedudukan Advokat Pra Kemerdekaan
Jika ditilik sejarahnya, fungsi advokat sebenarnya tidak lahir secara genuine dari
kultur hukum masyarakat Indonesia. Fungsi ini baru muncul sejalan dengan
ditransplantasikannya sistem hukum dan peradilan formal oleh pemerintah Hindia
Belanda. Sistem peradilan Hindia Belanda terbagi dalam empat jenis peradilan yang
berlainan. Pertama, pengadilan pemerintah untuk orang Eropa meliputi pengadilan
tingkat pertama residentiegerecht yang menjadi wewenang residen Belanda; pengadilan
banding raad van justitie di ibukota dan pengadilan tertinggi, hoogerechtshof. Kedua,
pengadilan pemerintah untuk orang bukan golongan eropa, pengadilan agama Islam, dan
pengadilan adat.5 Pengadilan pemerintah bagi orang Indonesia juga memiliki tiga
tingkatan yakni districtsgerecht, regentschapsgerecht, dan landraad. Landraad inilah
yang menjadi cikal bakal pengadilan negeri Indonesia. Pada tahun 1938, putusan
landraad dapat dibanding pada raad van justitie Sebagian besar hakim landraad adalah
orang Belanda, namun sejak 1920-an dan 1930-an beberapa orang ahli hukum Indonesia
berpendidikan hukum diangkat sebagai hakim. Pengadilan Indonesia menggunakan KUH
Pidana dengan hukum acara yang dikenal Herziene Inlandse Reglement (HIR).6
Pemerintah kolonial tidak mendorong orang-orang Indonesia untuk bekerja sebagai
advokat. Pada 1909 pemerintah kolonial mendirikan Rechtsschool di Batavia dan
membuka kesempatan pendidikan hukum bagi orang pribumi hingga tahun 1922, namun
kesempatan hanya dimanfaatkan kaum priyayi. Pada tahun 1928, Rechtsschool
meluluskan hampir 150 orang rechtskundigen (sarjana hukum). Namun mereka ini hanya
menjadi panitera, jaksa dan hakim tidak sebagai notaris dan advokat. 7 Hingga pada tahun
1940 terdapat hampir tiga ratus orang Indonesia asli menjadi ahli hukum sampai pada
pendudukan Jepang. Para advokat Indonesia angkatan pertama menetap di Belanda
sebagai advokat. Diantara empat puluh orang Indonesia yang meraih gelar sarjana hukum
di Leiden, tidak kurang dari enam belas orang menjadi advokat sepulang ke Indonesia.8
5
6
7
8
Khaerul H. Tanjung, Istilah Advokat, Pengacara, Penasehat Hukum & Konsultan Hukum, hal.1
Ibid
Ibid
Ibid
Salah seorang tokoh yang mendorong perkembangan advokat Indonesia adalah Mr.
Besar Martokusumo. Pada saat itu tidak satupun kantor advokat yang besar kecuali kantor
Mr. Besar di Tegal dan Semarang, dan kantor advokat Mr. Iskak di Batavia. Bagi advokat
Indonesia asli memulai praktik adalah langkah yang sulit. Hal ini terjadi karena advokat
Belanda mengganggap mereka sebagai ancaman dalam persaingan.9 Sebenarnya
transplantasi sistem peradilan Barat tidak otomatis mengintrodusir fungsi advokat di
dalamnya. Sebagai bukti, pemerintah Hindia Belanda sengaja memberlakukan Herziene
Indonesisch Reglement (HIR) sebagai hukum acara bagi kalangan pribumi yang tidak
mengenal fungsi advokat, bukannya Reglement op de Strafvordering (SV) dan Reglement
op de Rechtsvordering (RV) yang memang dikhususkan buat masyarakat Eropa di Hindia
Belanda. 10
HIR (Herziene Indonesisch Reglement) dibentuk dengan cara pandang yang
"menggampangkan" permasalahan hukum masyarakat pribumi, karena itu aturannya
dibuat sangat sederhana. Semua proses beracara juga dipusatkan pada kewenangan
(diskresi) hakim. Sebab selain berwenang mengadili, hakim dalam HIR juga diberi
kewenangan menyusun surat dakwaan (bukan jaksa), serta memberi nasehat hukum
kepada terdakwa atau pihak-pihak yang berperkara (bukan advokat atau ahli hukum lain
yang kompeten). Hal ini diperburuk oleh kualifikasi para pelaku peradilan di HIR yang
tidak ditentukan secara memadai. Hanya hakim yang disyaratkan harus memiliki keahlian
hukum tertentu, sementara fungsi jaksa cukup dilakukan oleh pejabat pamong praja, dan
nasehat hukum (jika bukan hakim yang melaksanakan) bisa diberikan oleh siapa saja
selama disetujui pihak berperkara.11
Sebagai perbandingan, pemberlakuan SV dan RV didasarkan pada penghargaan akan
kultur hukum masyarakat Eropa yang sudah maju. Kedua ketentuan hukum acara tersebut
cukup gamblang menjabarkan prinsip-prinsip peradilan yang baik. Hakim, jaksa, dan
advokat harus berasal dari mereka yang menyandang status sarjana hukum, serta masingmasing diberi fungsi yang jelas untuk saling mengawasi dan saling mengimbangi.12
Akibatnya profesi advokat berkembang maju di pengadilan-pengadilan yang
menyelesaikan sengketa hukum masyarakat Eropa (Raad van Justitie), dan secara kontras
9
Ibid
Binziad Hadfi, Ruu Tentang Provesi Advokat dan Sejarah Pengaturan Advokat di Indonesia, hal. 2
11
Ibid
12
Ibid
10
Ibid
sesuatu kejahatan yang dapat dihukum dengan hukuman mati, maka magistraat
hendak menanyakan kepadanya, maukah ia dibantu di pengadilan oleh seorang
penasehat hukum. Dan Pasal 254 menentukan bahwa dalam persidangan tiap-tiap
orang yang dituduh berhak dibantu oleh pembela untuk mempertahankan dirinya.
g. Staatblad Tahun 1944 Nomor 44 tentang Het Herziene Inlandsch Reglement atau RIB
(Reglemen Indonesia yang diperbaharui), menurut Pasal 123 dimungkinkan kepada
pihak yang berperkara untuk diwakili oleh orang lain.
Berbagai ketentuan hukum diatas mendasari profesi advokat pada masa pra kemerdekaan,
meski masih mengutamakan advokat Belanda. Akan tetapi berbagai pengaturan itu
sedikitnya telah mendasari perkembangan advokat Indonesia pada masa selanjutnya. 14
B. Kedudukan Advokat Pasca Kemerdekaan
Perkembangan pengaturan profesi advokat di Indonesia dilanjutkan pada masa
pendudukan Jepang. Pemerintah kolonial Jepang tidak melakukan perubahan yang berarti
mengenai profesi ini. Hal ini terbukti pada UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang
Pemberlakuan Wetboek van strafrecht voor Nederlands Indie tetapi digunakan istilah
KUH Pidana. UU ini memuat pengaturan tentang kedudukan advokat dan procureur dan
orang-orang yang memberikan bantuan hukum. Pengaturan profesi advokat secara
sporadis tersebar dalam berbagai ketentuan perundang-undangan termasuk didalamnya
ketentuan pada masa kolonial Belanda. Bahkan pengaturan profesi advokat sejak
proklamasi 17 Agustus 1945 justru kurang mendapat perhatian. Hal ini ditunjukkan
dengan tidak ditemukannya istilah advokat atau istilah lain yang sepadan dimasukkan
dalam UUD 1945. Demikian pula pada UUD RIS 1949 yang digantikan dengan UUDS
1950.
Memang pada pasca-kemerdekaan satu-persatu undang-undang organik di bidang
peradilan dan kekuasaan kehakiman diberlakukan, lengkap dengan fluktuasinya. Kadang
menunjukkan pergerakan positif, kadang justru berbalik arah sesuai tarik-ulur
kepentingan politik pemerintah di dalamnya. Mulai dari UU No. 1 tahun 1950 tentang
Susunan dan Kekuasaan Jalannya Mahkamah Agung Indonesia yang mengakui hak
pemohon kasasi untuk mendapatkan bantuan hukum, hingga UU No. 13 tahun 1965
tentang hal sama yang membenarkan intervensi langsung Presiden sebagai pemimpin
besar revolusi ke dalam jalannya peradilan. Padahal satu tahun sebelumnya, baru
14
15
16
17
18
20
KMA/005/SKB/VII/1987,
No.
M.03-PR.08.95
tahun
1987
tentang
Tata
Cara
Pengawasan, Penindakan, dan Pembelaan Diri Penasehat Hukum, yang secara signifikan
mereduksi
kemandirian
advokat
dengan
mensub-ordinatkan
advokat
berikut
organisasinya terhadap pengadilan dan pemerintah. Malah SKB tersebut secara sepihak
dijadikan salah satu pranata hukum bagi contempt of court di Indonesia.21
Berbagai peraturan perundang-undangan yang lahir berikutnya, relatif tidak
membawa perubahan penting bagi kebutuhan advokat. UU No. 5 tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara, UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, UU No. 3
tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, UU No. 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer,
dan UU No. 4 tahun 1998 tentang Kepailitan, kesemuanya secara sporadis menyinggung
fungsi advokat. Berbeda dengan UU No. 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal yang
berkontribusi penting dalam menguatkan pelembagaan profesi advokat di bidang nonlitigasi. Sehingga ironi dalam pembangunan hukum di Indonesia, tidak mengatur secara
khusus profesi advokat sebagaimana profesi hukum lainnya, padahal profesi ini sebagai
salah satu unsur penegak hukum. Akibatnya menimbulkan berbagai keprihatinan dan
kesimpangsiuran menyangkut profesi tersebut. Seirama dengan merosotnya wibawa
hukum (authority of law) dan supremasi hukum (supremacy of law), maka profesi hukum
ini juga terbawa arus kemerosotan.
Meskipun demikian secara implisit, terdapat beberapa ketentuan yang mengisyaratkan
pengakuan terhadap profesi ini, antara lain sebagai berikut :
a. UU Nomor 20 Tahun 1947 tentang Peradilan Ulangan untuk Jawa dan Madura, dalam
Pasal 7 ayat 1 menyebutkan bahwa peminta atau wakil dalam arti orang yang diberi
kuasa untuk itu yaitu pembela atau penasehat hukum.
b. UU Nomor 1 Tahun 1950 tentang Mahkamah Agung dalam Pasal 42 memberikan
istilah pemberi bantuan hukum dengan kata PEMBELA.
c. UU Drt. Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan Sementara Penyelenggaraan
Kekuasaan dan Acara Pengadilan sipil, memuat ketentuan tentang bantuan hukum
bagi tersangka atapun terdakwa.
d.UU Nomor 19 Tahun 1964 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman yang kemudian
diganti dengan UU Nomor 14 Tahun 1970, menyatakan bahwa setiap orang yang
tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum.
21
22
23
24
keberadaan
undang-undang
advokat
malah
potensial
semakin
membahayakan
bahwa
undang-undang
profesi
advokat
mutlak
diperlukan
untuk
menyetarakan status antara profesi advokat dengan unsur-unsur peradilan lainnya (seperti
polisi, jaksa, dan hakim). Tanpa status yang setara, advokat akan terus menjadi "anak
bawang" dalam proses peradilan, dan selalu dipandang sama swastanya dengan klien
yang diwakili. Akibatnya, advokat tidak dapat menjalankan perannya secara optimal
karena rentan terhadap tindak diskriminasi, intervensi, dan represi baik dari polisi, jaksa,
maupun hakim.28
25
26
27
28
29
30
31
32
33
Amrie Hakim,Ibid.
Amrie Hakim, Catatan Refleksi Atas Pengujian-pengujian UU Advokat, www.hukumonline.com
Didik Maryono, Kajian Singkat Terhadap Permasalahan Bantuan Hukum dan Peranan Pengacara di Indonesia
advokat yang dimaksud adalah anggota PERADI. Sebagian diantaranya bahkan menjadi
bidan lahirnya PERADI dan sekarang duduk di kepengurusan. PERADI mengklaim KAI
tidak sah karena bertentangan dengan UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat. KAI
dinilai akan merugikan dan menafikan eksistensi sekitar 19.000 advokat yang terdaftar
sebagai anggota PERADI. Soal keabsahan, PERADI menegaskan merekalah organisasi
profesi advokat yang diamanatkan UU Advokat. Pendiriannya pun sudah sesuai
mekanisme, delapan organisasi yang disebut UU Advokat bersepakat mendirikan
PERADI. 37
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dari sekilas uraian sejarah para advokat tersebut di atas, ada beberapa hal yang perlu dicatat
yaitu sebagai berikut:
Pertama, pada awalnya secara perorangan para advokat pernah menjadi bagian yang sangat
penting dalam pembentukan negara ini, baik pembentukan institusi, politik hukum, maupun
etika profesi para penegak hukum;
Kedua, dalam keterbatasan represi, para advokat secara perorangan organisasi masih mampu
berperan di dalam gerakan penegakkan hak asasi manusia di Indonesia;
37
Ketiga, pada masa jatuhnya Orde Baru sampai sekarang ini, para advokat sebagai individu
maupun organisasi menjadi sangat dilemahkan, hingga tidak mampu menolong dirinya
sendiri untuk berperan dalam menentukan politik hukum dan reformasi hukum (termasuk
institusi hukum), penegakkan hukum dan keadilan, hak asasi manusia, serta pemberantasan
korupsi, yang menjadi agenda utama reformasi. Bahkan, ada beberapa memperlihatkan
indikasi yang jelas tentang keterlibatannya dalam praktek-praktek koruptif di badan
peradilan;
Keempat, walaupun pada mulanya kedudukan advokat dipinggirkan baik oleh pemerintah
penjajahan
maupan
pemerintahan
Indonesia
setelah
merdeka,
namun
dalam
perkembangannya karena peranan advokat sangat penting dan dibutuhkan oleh masyarakat
pencari keadilan maka diberbagai perundang-undangan diatur tentang kedudukan advokat,
puncaknya pengaturan advokat diatur khusus dalam undang-undang yaitu undang-undang no
18 tahun 2003 tentang advokat. Namun sayangnya pasca lahirnya undang-undang no 18
tahun 2003 tentang advokat, terjadi perpecahan di internal organisasi advokat itu sendiri yaitu
PERADI dan KAI yang masing-masing mengklaim sebagai wadah tunggal organisasi
advokat, hal itu sangat disayangkan karena advokat dianggap tidak dapat melaksanakan
amanah sebagaimana ketentuan pasal 28 undang-undang no.18 tahun 2003 tentang advokat,
dan pada akhirnya akan merugikan bagi kalangan profesi advokat itu sendiri dan juga
masyarakat pada umumnya.
B.
SARAN
Saran kami, agar tugas makalah yang membahas tentang Sejarah Hukum Indonesia ini
dapat diapahami dan dimanfaatkan semaksimal mungkin oleh pembaca. Sehingga pembaca
dapat mengerti apa saja yang terkandung dalam peristiwa peristiwa yang terjadi pada
sejarah hukum di Indonesia baik di fase prakolonial hingga pada fase kemedekaan.
DAFTAR PUSTAKA