Anda di halaman 1dari 15

1

KATA PENGATAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada tuhan yang maha esa, dalam
proses menyelesaikan penulisan makalah sederhana ini dengan judul:
IMPLIKASI DARI OTONOMI KHUSUS (OTSUS) PAPUA: Konflik Vertikal dan
Konflik Horisontal.
Makalah ini merupakan hasil kolaborasi dari pemikiran penulis
dengan pendapat para ahli sebelumnya dalam membantu melihat
permasalahan Otonomi Khusus di Papua. Di mana permasalahan ini
kenyataannya sangat ironis dan jauh dari apa yang kita kira. Paradoks
dalam paradoks mungkin yang patut diberikan kepada kompleksnya
permasalahan Otonomi Khusus di Papua.

Batam, Januari 2017

Penulis

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Desentralisasi merupakan pelimpahan wewenang dari pemerintah
pusat kepada pemerintah daerah untuk mengelola wilayahnya dengan
mengacu pada aspek-aspek kedaerahan dengan kata lain terjadinya
transfer kekuasaan. Desentralisasi merupakan produk dari perkembangan
demokratisasi

suatu

bangsa.

Secara

konseptual

ataupun

formulasi

tidaklah salah untuk mengatakan bahwa otonomi pada hakekatnya adalah


demokrasi

di

Desentralisasi

tingkat
juga

lokal

atau

merupakan

demokrasi

sebuah

di

peluang

tingkat

daerah.1

(opportunity)

bagi

pemerintah, namun bisa juga menjadi suatu ancaman (threat) yang harus
dihadapi oleh pemerintah.
Pelayanan

publik

merupakan

kegiatan

yang

senantiasa

diseleggarakan harus seiring dengan harapan dan tuntutan seluruh warga


negara dan penduduk tentang pemenuhan kebutuhan pelayanan publik.
Dalam kajian negara hukum, pemerintah mengatur pelayanan publik di
berbagai sendi kehidupan berbangsa dan bernegara yang mengangkut
hak dasar rakyat dan hak untuk mendapatkan pelayanan publik yang
prima. Kualitas suatu pelayanan publik yang berkualitas yakni pemerintah
mampu memenuhi seluruh sendi kehidupan masyarakat dalam kaitannya
dengan pelayanan administrasi yang terkandung dalam UU No.25 Tahun
1999 tentang Pelayanan Publik.2
Tujuan otonomi daerah pada intinya merupakan suatu jenjang atau
proses untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik dengan upaya

mereformasi tatanan birokrasi untuk dapat bersifat responsif dengan


polemik yang berkembang di tengah lingkungan masyarakat serta dapat
segera

mendapatkan

jalan

keluar

dari

permasalahan.

Untuk

itu,

pemerintah pusat dapat mengadakan suatu koordinasi yang solid dengan


kepala daerah setempat untuk dapat menjalankan prinsip sharing of
power

dan

tidak

hanya

sekedar

tentang

pembagian

kekuasaan,

pemerintah pusat harus mempunyai daya untuk melakukan suatu


pendayagunaan

aparatur

administrasi

pemerintah

daerah

atau

empowering of regional administration.


Warsito Utomo menjelaskan bahwa terdapat tiga problema yang
paling pokok di dalam implementasi Otonomi Daerah. Pertama, saat ini
Indonesia sedang mengalami masa transisi, perubahan, reformasi, dan
iklim politik dan pemerintahan monolitik sentralisitik ke pemerintahan
yang

demokratik

khususnya

demokrasi

lokal

atau

otonomi

atau

desentralisasi yang sebelumnya selama hampir 30 tahun berada dalam


masa pemerintahan orde baru yang cenderung sentralistik di mana
masyarakat

tidak

mempunyai

public

space

untuk

mengungkapkan

keberadaannya sebagai civil society. Akibatnya, bagaikan lepas dari


kungkungannya atau jeratan sehingga menjadi lepas kendali dan
terjadilah

suatu

euphoria

di

dalam

bidang

pemerintahan,

politik,

kemasyarakatan bahkan perekonomian. Kedua, banyaknya pasal dalam


undang-undang

yang

menimbulkan

misinterpretasi

yang

berakibat

terjadinya perbedaan pendapat, persepsi bahkan konflik antar kompenen


secara internal dan eksternal. Ketiga, sangat cepat dan pendeknya waktu
sosialisasi undang-undang sehingga tidak saja daerah-daerah menjadi
kebingungan dan malahan kebablesan, tetapi juga ketidaktahuan dan
ketidaktepatan

memberikan

makna ,

filosofi,

dan

prinsip

otonomi

daerah.3
Jadi permasalahan dalam implementasi kebijakan otonomi daerah
menjadi persoalan yang tidak kunjung terselesaikan hingga sampai hari

ini,

bahkan

permasalahan

ini

semakin

kompleks

dalam

usaha

meminimalisir masalah yang berkaitan dengan otonomi daerah dan juga


menjadi pekerjaan rumah yang tidak terselesaikan bagi pemerintah
pusat. Kebijakan otonomi daerah dalam rangka menciptakan konsep
desentralisasi

kewenangan

dari

pusat

ke

daerah

ternyata

justru

menimbulkan konflik ketimbang memecahkan suatu masalah.


Kondisi ini berlangsung sangat lama, sehingga menimbulkan
berbagai ketidakpuasan. Semangat pemerintah dalam pemberian otonomi
dari waktu ke waktu terus berubah, dari otonomi yang bernuansa
demokratis ke otonomi yang bercirikan liberal, dilanjutkan ke otonomi
seluas-luasnya, selanjutnya kepada otonomi yang nyata dan bertanggung
jawab sampai pada munculnya Undang-Undang No.32 Tahun 2004
tentang Pemerintah Daerah serta perubahannya UU No.12 Tahun 2008
yang diharapkan dapat menjanjikan otonomi yang seluas-luasnya dan
bertanggung jawab. Namun dari sekian banyak peraturan tentang
pemerintah daerah yang sudah ada lebih dari setengah abad dalam
praktiknya tetap merupakan kata-kata yang indah belaka tanpa wujud
yang nyata. Lama kelamaa hal ini menimbulkan rasa tidak puas di daerah
yang kaya dengan sumber daya alam, namun tetap miskin.
Sebagai suatu daerah yang kaya akan sumber daya alam dan
dikenal sebagai mutiara hitam, Papua merupakan suatu daerah yang
mengalami keterbelakangan pembangunan yang tidak sepadan dengan
kekayaan alamnya yang begitu hebat. Hal ini terlihat bahwa arus
mobilisasi warga dalam menjalani kehidupan sehari-hari ditambah lagi
topografi daerah Papua yang mayoritas daerah hutan dan berbukit. Jadi
tak jarang kehidupan masyarakatnya sedikit terisolir dari suatu kehidupan
luar atau arus modernisasi di tambah lagi dengan pentingnya suatu
peningkatan kesejahteraan hidup warga Papua.

Sebagai tajuk rencana dalam penulisan paper ilmiah ini, fokus


permasalahan

yang

akan

diambil

oleh

penulis

melingkupi

tema

pemberlakuan Kebijakan Otonomi Khusus di Papua dengan mencermati


berjalannya implementasi kebijakan tersebut yang dicetuskan oleh
Pemerintah Pusat dengan menggunakan konsep Asimetri Desentralisasi
yang dilakukan oleh dubnia barat untuk mengatasi suatu permasalahan
yang berhubungan dengan kemerdekaan yang diajukan oleh suatu daerah
berdaulat sendiri, langkah pemerintah tersebut sebagai suatu cara yang
dinilai komprehensif dalam mengatasi dinamika masalah yang terjadi di
Papua sejak 1961. Wacana untuk merdeka dan berdaulat secara terpisah
dengan NKRI merupakan suatu permasalahan yang sangat kompleks
antara Pemerintah RI dengan warga masyarakat Papua, terlebih lagi
mencuat pernyataan dari Koordinator Umum Organisasi Papua Merdeka
(OPM), Lambert Pekikir yang menolak untuk diajak dialog mengenai masa
depan Papua secara tegas menyatakan jangan bikin dialog macammacam, dialog tidak membuat Papua aman, justru yang terjadi adalah
polemik yang berkepanjangan dan kami telah menunggu resolusi 2504
diubah PBB, kalau itu sudah dilakukan mau bikin kongres merdeka pun
terserah.
Terlihat jelas penolakan dialog yang disampaikan oleh Koordinator
OPM terhadap semua tawaran pemerintah RI dalam proses rekonsiliasi di
Papua. Ini menggambarkan bahwa Pemerintah RI yang harus bertanggung
jawab atas ketidakpercayaan rakyat Papua terhadap semua program
Pemerintah RI termasuk dengan Program Otonomi Khusus dan juga
adanya Program UP4B (Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua
Barat) yang telah gagal total dan juga kebijakan Otonomi Khusus ini
malah memperparah konflik di Papua.
Sedikit menjelaskan bahwa suatu kebijakan pemerintah pasti
bertujuan untuk kemakmuran rakyat, tapi nyatanya kebijakan pemberian
Otonomi Khusus (Otsus) yang diimplemetasikan di daerah Papua boleh

dibilang jauh dari target utama yaitu untuk menciptakan kemakmuran


daerah

terkhususnya

kemakmuran

rakyat

yang

dalam

proses

implementasinya melupakan aspek pendekatan sosial budaya (social


culture approach) yang sangat kompleks dalam kehidupan masyarakat
papua.

Sehinggan

kebijakan

Otonomi

Khusus

yang

telah

diimplementasikan hanya membuang banyak sekali anggaran, tapi


masyarakat

Papua

tidak

merasa

keadilan,

kemiskinan,

hidup

di

pedalaman, mendapat perlakuan yang semena-mena, dan pengerukan


kekayaan alam Papua, sehingga muncul suatu pernyataan dari rakyat
Papua bahwa Bagi Orang Papua, NKRI Bukan Harga Mati.

B. Identifikasi Masalah
Pada pembahasan kali ini, penulis akan memfokuskan perhatian
dari penulisan karya ilmiah ini dengan melakukan pembatasan masalah
yakni dalam scope konflik vertikal (warga Papua dengan Pemerintah RI
dengan pemberlakuan Otonomi Khusus) dan konflik Horisontal (perang
saudara yang terjadi di sekitar lingkungan Freeport).

Persoalan dari Otonomi Khusus di Papua terlalu ironis dalam


implementasinya di lapangan dan bukan saja menciptakan konflik vertikal
tetapi menciptakan konflik horisontal sebagai implikasi dari gagalnya
pelaksanaan otonomi khusus di Papua.

BAB II
KONSTRUKSI ARGUMEN

A. Konflik Horisontal
Otonomi Khusus yang diberikan Pemerintah Republik Indonesia
terhadap Papua mempunyai muatan politis dan juga mengandung strategi
win win solution antara Pemerintah RI dengan masyarakat Papua.

Kebijakan ini mempunyai efek yang sangat signifikan bagi kehidupan


masyarakat Papua dari segi keadilan (equity), di mana masyarakat Papua
menganggap hidup mereka telah didiskriminasi oleh Kebijakan Pemerintah
Pusat perijinan kegiatan pertambangan PT. Freeport di tanah Papua,
kebijakan Pemberian Otonomi Khusus terhadap Papua sebagai kebijakan
yang sifatnya membujuk atau mengajak damai.
Merasa
mengajukan

tidak
diri

mendapat

untuk

keadilan,

merdeka

dari

masyarakat

NKRI

dengan

Papua

mulai

pembentukan

Organisasi Papua Merdeka yang terus mengancam keberadaan PT.


Freeport dengan sejumlah aksi-aksi teror.
Kebijakan Otonomi Khusus seharusnya memberikan kewenangan
pemerintah daerah untuk mengatur daerahnya baik itu keuangan maupun
penyelenggarakan pelayanan umum. Nyatanya semua petunjuk teknis
dan

petunjuk

pelaksanaan

masih

sentralistik

yang

memerlukan

pertimbangan pemerintah pusat yakni presiden.


The land of forgot, istilah yang digunakan para antropolog barat
kiranya tepat untuk menyebut daerah di ujung timur Indonesia, Papua
atau Irian Jaya. Wilayah yang luas dan unik dan kekayaan alam yang
melimpah tidak menjadikan Papuan menjadi pusat perhatian bangsabangsa dunia. Selama ratusan tahun lamanya, masyarakat Papua tidak
memiliki kontak dengan dunia luar. Tidak adanya kontak dengan dunia
disebabkan oleh isolasi alam di mana 244 kelompok suku bangsa hidup
dengan beragam bahasa, terpasung selama ribuan tahun dalam budaya
yang mirip dengan zaman batu. Berbagai langkah pemerintah untuk
meminimalisir konflik politik dan sosial di tanah
Papua mengalami jalan buntuh dalam mengajak dialog dengan
tokoh masyarakat sekitar karena sudah menebarkan mosi tidak percaya
terhadap

bantuan

pemerintah

RI.

Seakan

upaya

penyelasaian

permasalahan gagalnya Otonomi Khusus di Papua seperti paradoks dalam


paradoks, tidak ada titik temunya.
Syamsul Hadi dan Andi Widjajanto, Disintegrasi Pasca Orde Baru:
Negara, Konflik Lokal dan Dinamika Internasional. (Jakarta: CIReS Fisip UI
bekerja sama dengan Yayasan Obor Indonesia, 2007). Hlm. 97.
Penjelasan
Perekonomian

Rizal

Ramli

menegaskan

mantan
bahwa

Menteri

rezim

Koordinator

SBY-Boediono

Bidang
memang

menjalankan politik dua muka di Papua. Di satu sisi, dalam berbagai


pidato dan pernyataan, SBY menyatakan pendekatan damai, perlakuan
setara, dan tanpa kekerasan terhadap warga Papua. Tapi di sisi lain, dalam
kenyataannya terus berlangsung, bahkan meningkatnya kekerasan di
bumi Papua.
Penolakan terhadap direvisinya Undang-Undang No.21 Tahun 2001
tentang

Otonomi

Khusus

bagi

Provinsi

Papua

merupakan

usaha

Pemerintah yang sia-sia dalam menekan angka terjadinya konflik di


Papua. Konflik politik di Papua menyulut pemerintah memakai cara
dengan pendekatan militer dan juga Metode penyelesaian konflik dengan
menggunakan kekerasan (forcing)8 seperti yang dilakukan Pemerintah RI
terlalu sangat keliru serta tidak cocok pada konteks di mana pendekatan
tersebut diimplementasikan.
Respect masyarakat Papua terhadap persatuan dan kesatuan
bangsa Indonesia sudah pudar dengan gagalnya kebijakan Otonomi
Khusus yang membuat terancamnya hak hidup masyarakat Papua
terancam dan berniat untuk melepaskan diri atau merdeka karena sudah
bosan dengan seluruh janji-janji Pemerintah RI yang melupakan semangat
dalam UU Otonomi Khusus juga merupakan amanat Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (TAP MPR RI) Nomor IV Tahun
1999. Spirit dari amanat TAP MPR itu ialah mempertahankan keutuhan
dan integrasi NKRI, sebab di situ dinyatakan: integrasi bangsa

10

Indonesia

dipertahankan

dalam

wadah

Negara

Kesatuan

Republik

Indonesia dengan tetap menghargai kesetaraan dan kehidupan sosial


budaya masyarakat Irian Jaya melalui penetapan Otonomi Khusus yang
diatur dengan Undang-undang.

B. Konflik Horisontal
Selain itu dengan, permasalahan atau konflik vertikal antara warga
Papua

dengan

Pemerintah

Pusat,

kemudian

muncul

suatu

konflik

horizontal yang terjadi sesama rakyat Papua dengan berlatarkan etnis


sebagaimana penulis telah paparkan mengenai keberadaan PT. Freeport
Indonesia di bumi Cendrawasih yang dinilai menjadi sumber konflik selain
dilihat dalam artian suatu kebijakan yang diciptakan Pemerintah RI. Tetapi
keberadaan PT. Freeport Indonesia yang merupakan anak cabang dari
Freeport-McMoRan Copper & Gold. Inc sebagai suatu sumber konflik antar
etnis dengan modus perebutan keuntungan dari masing-masing di sekitar
daerah Timika.
Sebuah

pernyataan

sederhana

dari

Kapolda

Papua

bahwa

terjadinya konflik sebagai perang suku yang merupakan budaya yang


mengakar dalam kehidupan mereka10. Namun jika diteliti mengenai
latar belakang permasalahan konflik horisontal ini dengan menggunakan
pendekatan ekonomi-politik kekerasan (political economy of violence) oleh
Elwert.11 Terdapatnya pro dan kontra terhadap kehadiran dari PTFI yang
menyebabkan konflik horisontal antara etnis untuk merebut keuntungan.
Pihak PTFI memberikan bantuan akomodasi berupa peningkatan fasilitas
umum

dengan

mengucurkan

dana

yang

dikelola

oleh

Lembaga

Pengembangan Masyarakat Amungme dan Kamoro (LPMAK) yang fokus


pendanaannya terhadap daerah Dani, Moni, Ekari/Mee, Damal, dan
Nduga. Dana kemitraan tersebut mencapai 52 Juta Dollar AS pada tahun

11

2006, dan kontribusi total sejak dana tersebut digagas adalah sebesar
242 Juta Dollar AS. 12
Persaingan antara berbagai suku yang berada di sekitar Timika di
tengarai bahwa PTFI telah menjadi aktor kunci yang melatarbelakangi
terjadinya konflik horizontal antar sesama etnis di Papua dengan
memebrikan

bantuan

akomodasi

berupa

makanan

dan

angkutan

transportasi untuk masyarakat supaya menciptakan konflik antar etnis


dan juga menurut masyarakat sekitar adanya campur tangan oknum
Kepolisian, TNI, dan BIN (Badan Intelijen Negara) dalam konflik sesama
warga.13
Berbagai upaya mediasi telah dilakukan oleh tokoh adat dan juga
tokoh

agama

dalam

meminimalisir

konflik

yang

terjadi

Papua

terkhususnya konflik horisontal yang terjadi antar suku dan meruntuhkan


semangat persatuan dan kesatuan yang sesungguhnya dari rakyat Papua
belum mendapatkan titik temu dari pemecahan masalah horisontal antar
etnis dipicu masih adanya rasa arogan dan perasaan saling curiga antar
etnis dalam perebutan tanah ulayat.

12

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Di akhir pembahasan yakni pada tahap kesimpulan dari
pembahasan mengenai Permasalahan Otonomi Khusus di Papua
yang

bukan

saja menyebabkan

konflik

vertikal

namun

juga

menyebabkan konflik horisontal yang terjadi di lingkungan internal


warga Papua dan tentunya meresahkan warga Papua yang lainnya
serta melecehkan kehidupan sosial-budaya masyarakat Papua
dari segala konflik kepentingan yang terjadi.
Reformasi tata pemerintahan baik itu di pusat maupun
daerah agar kebijakan yang dikeluarkan tidak salah kaprah seperti
kebijakan Otonomi Khusus yang merenggut hak warga Papua
sehingga tercapainya suatu kualitas pelayanan publik yang penuh
integritas serta berkeadilan yang merata terhadap semua rakyat
Papua.
Permasalahan Otonomi Khusus di Papua seharusnya menjadi
suatu agenda kerja sama yang penting antara Pemerintah RI,
Pemerintah Papua, Tokoh Masyarakat (adat dan agama), dan pihak
PTFI. Sehingga dapat menjelaskan suatu cara bila Papua dapat
memisahkan

diri

dengan

Indonesia

atau

Pemerintah

dapat

13

mengakhiri

penderitaan

Masyarakat

Papua

yang

telah

terdiskriminasi dari rasa ketidakadilan, hidup terisolir. Ataukan perlu


dengan pendekatan Asimetri Desentralisasi yang menjadikan Papua
sebagai daerah istimewa seperti yang diberlakukan pada daerah
Aceh. Mari kita melihat sebagai suatu kebijakan yang dapat dicari
jalan keluarnya dan bergandeng tangan demi tercapainya suatu
kondisi yang kondusif di bumi cendrawasi. Singkatnya, badai pasti
berlalu.

14

DAFTAR PUSTAKA

Buku
Azra, Azyumardi., Rahman, Jamal, D., Komaruddin, Hidatat., Widjanarko,
Putut. (2008).
Reinventing Indonesia: Menemukan Kembali Masa Depan Bangsa. Jakarta:
Mizan.
Gaol, Jimmy L (2014). A to Z Human Capital: Manajemen Sumber Daya
Manusia. Jakarta: Grasindo.
Busrizalti, M (2013). Hukum Pemda: Otonomi Daerah dan Implikasinya.
Yogyakarta: Total Media.
Hadi, Syamsul., Widjajanto, Andi. (2007). Disintegrasi Pasca Orde Baru:
Negara, Konflik Lokal dan Dinamika Internasional. Jakarta: CIReS Fisip UI
bekerja sama dengan Yayasan Obor Indonesia.
Utomo, Warsito (2011). Dinamika Administrasi Publik. Yogyakarta: Pustaka
Belajar. Utomo, Warsito (2009). Administrasi Publik Baru Indonesia.
Yogyakarta: Pustaka Belajar.

15

Media Massa
Gaol, J, Hotman. (2011). Apa Perlu UP4B?. Tabloid Reformata (Edisi 146,
1-31 Desember 2011).

Internet
Admin, nabire.net. (2014). Selain Karena Dibukanya Jalan Paniai- Nabire,
Freeport Juga Dituding Sebagai Biang Perang Suku Di Timika. [online].
Tersedia:

http://www.nabire.net/selain-karena-dibukanya-jalan-paniai-

nabire-freeport-juga-dituding-sebagai-biang-perang-suku-di-timika/.
April 2014, Pukul 22.13 WIB]

[24

Anda mungkin juga menyukai