Anda di halaman 1dari 10

TUGAS

POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA


Review Buku Politik Luar Negeri Indonesia dan Politik Luar
Negeri Indonesia dibawah Soeharto
Dosen : Iing Nurdin,Drs.,M.Si

Nama : Nadiva Awalia Rahmah


NIM : 6211151020
Kelas

: A

UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
CIMAHI
2016

Judul Buku

: Politik Luar Negeri Indonesia di Bawah Soeharto

Penerbit

: LP3ES

Karya

: Leo Suryadinata
Pada awal bab buku ini mengulas sejumlah faktor yang memengaruhi politik luar

negeri indonesia, faktor yang dimaksud adalah persepsi para pemimpin indonesia atas batasbatas dan wilayah, peranan indonesia dalam dunia internasional maupun budaya politik dari
indonesia sendiri.

Hampir 60% minyak mentah Indonesia di jual ke Jepang dan Indonesia juga menerima

bantuan asing dalam jumlah besar dari negara Jepang


Negara Islam/mayoritas penduduknya beragama islam juga berpengaruh terhadap arah

sikap politik suatu negara. Karena arah kebijakanya akan proaktif daripada responsif
Dalam wacana mengenai batas teritorial Indonesia, Mohammad Yamin mengatakan
bahwasanya wilayah Indonesia adalah refleksi dari kerajaan Srwijaya & Majapahit yakni
meliputi Hindia Belanda, Malaysia, Borneo, Timor dan Papua Nugini; akan tetapi Moh.
Hatta yang pada saat itu tergabung dalam panitia kecil RUU negara baru, mengatakan
bahwasanya wilayah Indonesia hanya meliputi bekas Hindia Belanda semata. Karena
jikalau memasukan seperti dua kerajaan silam yakni Majapahit dan Sriwijaya kesanya
Indonesia di mata negara luar adalah Imprealis, ditambah lagi apakah benar adanya
wilayah Majapahit itu sampai dengan apa yang di utarakan Moh. Yamin ternyata masih di
perdebatkan di kalangan akademisi, karena akademisi percaya kekuasaan Majapahit tidak

keluar dari Jawa, hanya saja pengaruhnya meluas ke wilayah Hindia Belanda
Mungkin ini hanya kesimpulan sementaraku, mengapa banyak jargon Ganyang
Malaysia atau secara real hubungan Indonesia dengan Malaysia sampai saat ini
cenderung naik turun. Karena dibuku ini diutarakan saat Soekarno memimpin ia
bersikeras bahwasanya Indonesia selalu dikaitkan dengan setiap masalah regional. Saat
pembentukan negara Malaysia, Indonesia merasa disepelekan karena pembentukan

Malaysia di umumkan tanpa menunggu hasil dari misi PBB


Dalam mempelajari politik luar negeri Indonesia, ada dua faktor yang harus di perhatikan,
1) Ancaman asing, 2 Konsep Kepulauan. Contoh:
1) Dalam ancaman asing, menurut pengamat hal pertama ditimbulkan dari dalam.
Seperti dugaan RRC ikut andil dalam kudeta 1965, pemerintah menduga komunis

di Indonesia bekerjasama dengan RRC. Padahal hal ini sesungguhnya


adalah phobia pemerintah

semata

sehingga pada

bulan

Februari

1989

mengumumkan normalisasi dengan RRC, menurut pemimpin Indonesia, RRC


selain karena komunis juga sangat agresif.
2) Sedangkan untuk konsep kepulauan, posisi Indonesia yang memiliki 13.000 pulau
lebih mewajibkan pemerintah untuk mengontrol semua pulau tersebut,Mochtar
Kusuatmaja sebagai mantan Menteri Luar negeri mengatakan bahwakarena politik
dan

keamananlah yang

membuat

pemerintah

Indonesia

memperkenalkan

KONSEP NUSANTARA pada desember 1957


3) Nusantara adalah istilah yang dipakai dalam Jawa Kuno untuk merujuk negara yang
berdekatan dengan Majapahit & Sriwijaya
4) Sedangkan menurut deklarasi Desember 1957, Nusantara itu Seluruh perairan,
yang

mengelilingi

diantara

&

menyatukan

negara

Indonesia

tanpa

mempertimbangkan perpanjangan luasnya bagian integral dari wilayah Indonesia,


karenanya bagian perairan dalam negeri atau nasional berada di bawah kedaulatan
penuh negara Indonesia.
5) Konsep Nusantara adalah konsep wilayah, sementara Wawasan Nusantara adalah
konsep politik yang didasarkan pada konsep wilayah. Konsep tersebut menarik
pemimpin Indonesia bahwa Indonesia disatukan, tidak dipisah oleh laut. Hal ini
yang menjadi jargon bahwa TANAH & AIR adalah SATU.
Karenanya, persepsi Indonesia terhadap ancaman dan konsep Nusantara/Wawasan Nusantara
adalah dua faktor yang telah mempengaruhi dan akan menentukan perilaku politik luar negeri
Indonesia

Islam Abangan di sebut juga Agama Jawi / Islam Nominal / Islam Liberal
Islam Santri di sebut juga Islam Shaleh / Islam Taat

Islam Abangan berasal dari massa Pra-Islam (Hinduisme), hal ini banyak terdapat di
birokrat-birokrat, pemimpin militer atau tokoh sipil ternama sehingga mereka lebih

memilih Pancasila sebagai Idiologi Indonesia daripada Islam


Islam Santri di Indonesia memang terhitung sedikit, mereka ini sangat aktif di sektor
perekonomian dan berwatak fundamentalis, mereka ini ingin mengislamkan

masyarakat Jawa dengan menghapuskan budaya-budaya Pra-Islam.


Perjuangan antara Abangan dan Santri dalam politik terwujudkan dengan perseturuan

antara PANCASILA & ISLAM


Pada tahun 1945, Soekarno sebagai seorang Abangan merefleksikan pemikiranya
dengan bukti UUD45 & PANCASILA yang mengakui Pluralisme. Hal ini sama saja
dengan dibangunya negara ini atas dasar sekuler.

Dibawah kepimimpinan Soeharto, pada tahun 1985 Pancasila disahkan sebagai satu-

satunya idiologi bagi seluruh organisasi massa di Indonesia


Soeharto percaya, bahwasanya seorang penguasa harus mengikuti tradisi Jawa. Karena
dia sebagai pemimpin yang kuat beranggapan bahwa negara adalah Kerajaan dan

orang di dalamnya adalah pelayan yang wajib menggikuti menuruti apa perintahnya.
Politik luar negeri Indonesia lebih diformulasikan oleh elite daripada massa melalui
proses demokrasi. Elite ini dipengaruhi oleh budaya politik dan pengalaman historis di
saat merumuskan politik luar negeri. Latar belakang abangan dan perasaan
nasionalisme yang kuat dari elite terwujudkan dalam politik luar negeri mereka. Ini
dapat dilihat dalam kebijakan Indonesia terhadap Timur Tengah dan penolakan
terhadap pangkalan militer asing. Penting untuk dicatat bahwa elite ini menyadari hak
Indonesia sebagai pemimpin di kawasan Asia Tenggara, karena luasnya wilayah
sejarah Indonesia. Tetapi kemampuan Indonesia yang terbatas telah mengahambat
perilaku internasional mereka. Faktor-faktor yang menentukan (determinants) yang
dibicarakan di atas telah bergesekan dengan politik luar negeri Indonesia sepanjang
tahun dari periode revolusi hingga era Soeharto

Judul Buku

: Politik Luar Negeri Indonesia

Penerbit

: Gramedia

Karya

: Michael Leifer

Revolusi Nasional dan Benih-Benih Politik Luar Negeri


Politik luar negeri sudah dimulai sejak awal kemerdekaan Indonesia, terlebih setelah
Indonesia mendapatkan kemerdekaan langkah-langkah kebijakan politik luar negeri mulai
dicanangkan. Sejak isu-isu tentang kemerdekaan mulai disinggung dan mulai dirumuskan
sejak akhir tahun 1920-an. Indonesia pun sudah mulai menunjukkan langkah-langkah yang
akan diambil selanjutnya. Setelah situasi di Jepang memanas dengan sekutu, Perdana
Menteri Kuniaki Koiso memiliki niat untuk memberikan kemerdekaan kepada Hindia
Belanda. Di dalam situasi ini, politik luar negeri Jepang terhadap Indonesia sangat
berpengaruh terhadap keberlangsungan nasib Indonesia ke depannya. Setelah mengakui
bahwa hanya Soekarno dan Hatta yang memiliki posisi tepat untuk mengumumkan
proklamasi kemerdekaan Indonesia, diharapkan bahwa ini akan menarik dukungan dari
masyarakat umum. Selain peran mereka sebagai pemimpin nasionalis menunjukkan
pentingnya peranan politik yang dimiliki oleh mereka. Jepang pun memberikan ultimatum
dimana penguasa militer tidak akan mencegah atau menghalangi suatu proklamasi
kemerdekaan selama hal ini tidak dikaitkan dengan Jepang dan tidak menimbulkan
gangguan terhadap ketertiban umum.
Proklamasi yang dicetuskan dalam keadaan kekosongan politik, dianggap oleh
Belanda dan dunia Internasional sebagai gagasan Jepang, sehingga hal ini merupakkan
tonggak awal Indonesia mencari pengakuan internasional atas kemerdekaanya walaupun
dengan resiko aib militerisme Jepang. Politik luar negeri yang dicanangkan Indonesia
dengan tujuan untuk menunjukkan kemampuan administratif dan berharap untuk
mendapatkan pengakuan internasional melalui simpati dari kekuatan-kekuatan sekutu
dengan usaha Indonesia untuk menampakkan kemampuan dlaam menegakkan ketertiban
umum.
Kebijakan yang pada saat itu memang sedang diarahkan pada dunia internasional,
menjadikan titik fokus Indonesia pada saaat itu adalah diplomasi, walaupun pada
prakteknya ada hal yang sangat mendasari diplomasi yaitu adalah kekuatan paksaan.
Walaupun menurut Soekarno kekuatan paksaan disini bukanlah suatu organisasi militer,
melainkan adalah suatu administrasi fungsional yang dapat melaksanakan kewenangan
karena dengan demikian dapat mencegah timbulnya teror dan anarki.

Meskipun dalam memperoleh pengakuan de facto Indonesia mendapat banyak


kesulitan, terutama dari pihak Belanda sehingga menimbulkan banyak persengketaan
diantara kedua belah pihak. dan dalam pelaksanaan politik luar negerinya Indonesia pun
memerlukan pihak ketiga sebagai perantara dalam kasus persengketaan ini, Indonesia secara
khusus meminta Amerika Serikat untuk menjadi pihak ketiganya. Inilah yang menyebabkan
uniknya politik luar negeri Indonesia.
Politik luar negeri yang tengah berusaha dijalankan oleh Indonesia dapat
dipertahankan dengan intervensi yang menentukan dari Soekarno dan didukung oleh Hatta.
Setelah berusaha memperjuangkan pengakuan internasional terhadap Indonesia, pada
akhirnya Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia walaupun pada saat itu pemerintahan
Indonesia masih berkesinambungan dengan kerajaan di Belanda dan Indonesia pun menjadi
negara serikat, tetapi di tingkat permukaan kebijaksanaan diplomasi pada akhirnya dapat
dikatakan sukses.
Walaupun Indonesia ingin berdiri sendiri dan menghapus jejak-jejak penjajahan pada
kenyataannya itu bukan hal mudah, karena Belanda pun menuntut terhadap Indonesia
bahawa kedaulatan Belanda harus dipelihara sejara de jure oleh seluruh wilayah Indonesia
karena memang segala kepentingan diseluruh wilayah Indonesia masih dibayangi oleh
kerajaan Belanda.
Pengakuan de facto yang diberikan oleh Belanda terhadap Indonesia setelah adanya
penandatanganan Perjanjian Linggarjati telah mempertinggi dan menjelaskan status
kedudukan Indonesia terhadap dunia internasional. Walaupun pada akhirnya Belanda mulai
menggencarkan serangan-serangan militer terhadap Indonesia dalam rangka untuk
mengambil alih kembali Indonesia, sehingga beberapa negara seperti India dan Australia
membawa permasalahan ini kepada PBB. Komisi Jasa-jasa Baik (Amerika Serikat,
Australia, dan Belgia) pun ikut turut berperan sebagai pelindung atas usaha Belanda yang
semakin gencar mengambil alih wilayah Indonesia secara unilateral oleh Belanda dan
menghasilkan Perjanjian Renville yang menegaskan pemotongan batas-batas republik.
Setelah itu Indonesia yang pada akhirnya mendapatkan pengakuan internasional, membuat
kebijaksanaan luar negeri pascakemerdekaan, yaitu suatu janji untuk tidak berpihak pada
blok barat maupun blok timur yang pada saat itu sedang mengalami perang dingin dan
disitulah Indonesia pun menjadi negara non-blok.

Indonesia yang pada akhirnya memutuskan untuk memperkuat keterikatan politik


luar negeri yang independen (bebas) dipertegas lagi dalam menghadapi suasana pertikaian
dalam negeri yang dipertahankan setelah penyerahan kedaulatan, dan diyakini akibat imbas
Konferensi Meja Bundar yang pada saat pelaksanaanya memang cenderung memalukan
bagi pihak Indonesia.
Politik Luar Negeri dan Keperluan-Keperluan Dalam Negeri)
Politik luar negeri juga mengalami kendala dimana politik luar negeri mencerminkan
beban yang ditimpakan dan sedang dihadapi didalam negeri oleh persyaratan-persyaratan
penyerahan kedaulatan yang kontroversial. Tanggapan politik luar negeri pun mulai
mencuat ketika pemerintah yang notabenya mengambil langkah bahwa Indonesia menjadi
negara non-blok dan sebagai negara yang baru merdeka ini menolak usul pemerintah
Filipina untuk membentuk suatu Pakta Anti-Komunis.
Ketika Mohammad Natsir menjadi perdana menteri dia menyampaikan kepada
parlemen bahwa ada 8 tujuan yang menjadi programnya enam diantaranya merupakan
program yang berkaitan dengan ketertiban dalam negeri dan pembangunan kembali
ekonomi, tujuan yang ketujuh menyangkut penyelesaian masalah Irian Barat dan tujuan
kedelapan mengenai upaya pelaksanaan politik luar negeri yang independen dalam krisis
yang ditimbulkan akibat perang dingin. Indonesia pun menjadi anggota PBB yang ke-60
pada tanggal 28 September 1950.
Indonesia yang pada lumrahnya memiliki musuh-musuh politik yang banyak
terutama dalam bidang politik mengeksploitasi kelemahan kebijaksanaan luar negeri
Indonesia untuk kemudian membentuk pemerintahan koalisi yang baru yang seolah-olah
diduga bahwa itu adalah hasil dari praktik ekonomi dan politik revolusi. Tetapi, hal ini
justru membuat politik luar negeri dan dalam negeri tidak pernah terpisah dan justru saling
mencakup dan menghasilkan hubungan simbiotik.
Ketika Ali Sastroamidjojo menjadi perdana menteri, kebijaksanaan luar negeri lebih
digunakan untuk melayani pemerintah yang tengah memegang kewenangan daripada
melayani kepentingan oposisi politik. Ali pun berkontribusi dalam hubungan luar negeri
yaitu adalah terlaksananya Konferensi Asia Afrika, suatu peristiwa bersejarah pada bulan
April 1955, dimana tujuan pertemuan itu adalah mengendorkan ketegangan-ketegangan
perang dingin, dan meneruskan tantangan terhadap kolonialisme. Melihat adanya peristiwa

bersejarah ini, membuktikan bahwa pemerintah menganut kebijaksanaan luar negeri yang
bebas dan aktif.
Pada zaman pemerintahan Burhanuddin, dia menaruh perhatian aktif terhadap
kebijaksanaan luar negeri, khususnya mengenai tuntutan atas Irian Barat. Pemerintah pun
mulai merubah gaya diplomasi dimana dengan gaya diplomasi yang dirubah ini pemerintah
memiliki sasaran yang ingin dicapai yaitu adalah memperbaiki hubungan dengan negaranegara Barat.
Indonesia yang pada saat itu merupakan negara Uni Indonesia-Belanda pun
sebenarnya ingin memisahkan diri dari naungan Belanda, dan hasilnya adalah perundingan
di Den Haag pada bulan Desember 1955 membahas tentang keinginan Indonesia untuk
membubarkan Uni Indonesia-Belanda sehingga republik tidak lagi dibebani dengan
kewajiban-kewajiban ekonomi dan keuangan juga perihal Irian Barat yang lebih
kontroversial. Walaupun pada akhirnya pembubaran Uni telah tercapai tetapi masalah Irian
Barat tidak mengalami kemajuan yang berarti. Kebijaksanaan luar negeri yang dianut dalam
kabinet yang digawangi oleh Burhanuddin lebih bersifat paradoksal.
Ketika pemerintahan kembali dikuasai Soekarno Indonesia sedang gencar-gencarnya
menangani kasus Irian Barat, Indonesia mengambil langkah tegas bahwa mereka akan
menerapkan

suatu

kebijaksanaan

yang

menghalangi

perkembangan

kepentingan-

kepentingan Belanda di Indonesia, dengan harapan bahwa tindakan ini merupakan cara yang
tepat untuk membuat Belanda bisa lebih bersikap bijaksana dalam menanggapi kasus Irian
Barat. Disinilah mulai terlihat ketegasan Indonesia terhadap setiap kebijakan luar negeri
yang diambil dimana ketika Indonesia memperluas lingkup wilayah laut Indonesia menjadi
12 mil. Kebijaksanaan luar negeri yang dilaksanakan oleh Soekarno pun dilaksanakan
sebagai kelanjutan perjuangan revolusioner dengan prioritas untuk mengambil kembali Irian
Barat. Karena memang fokus utama negara Indonesia kala itu adalah Irian Barat. Gambaran
luas tentang kebijaksanaan luar negeri itu sendiri adalah suatu usaha untuk memperluas
pengaruh Indonesia di luar batas-batas kawasan untuk memperbaiki struktur dan aturan
sistem internasional.
Politik Luar Negeri dan Demokrasi Terpimpin
Demokrasi Terpimpin mulai dicanangkan pertama kali oleh Presiden Soekarno pada
tanggal 5 Juli 1959 ketika dekrit yang dia keluarkan menyatakan Konstitusi 1950 tak

berlaku lagi dimana, Demokrasi Terpimpin memiliki gambaran khas yaitu dua perangkat
bertautan koalisi yang bersaing dan diwujudkan dalam kenyataan ketika sistem parlementer
ditentang oleh upaya bersama Soekarno dan angkatan bersenjata.
Namun, masalah-masalah kebijaksanaan luar negeri pun tetap timbul dan
membangkitkan reaksi nasionalis kepada Soekarno, dan Soekarno menggunakan masalahmasalah kebijaksanaan luar negeri untuk mempertahankan kesatuan nasional dan
menyokong pola kekuasaan yang di dalamnya Soekarno sebagai aktor pentingnya.
Kebijaksanaan luar negeri menjadi bidang kewenangan Soekarno pribadi dimana
merupakan suatu upaya untuk mengubah peranan internasional yang terbatas dan juga untuk
mendapatkan kedudukan dan kepemimpinan di antara negara lain.
Tujuan kebijaksanaan luar negeri secara umum, Soekarno memberikan tantangan
terhadap pengganti kolonial Belanda yang diumpamakan sebagai kekuatan Nekolim
(neokolonialisme, kolonialisme, dan imperialisme) yang diciptakan oleh Letnan Jenderal
Achmad Yani.
Ketika Soekarno menyampaikan pada konferensi pertama negara-negara nonblok dia
mengkritik dan menantang doktrin ortodoks gerakan non-blok karena memandang non-blok
sebagai jawaban yang tepat terhadap persaingan perang dingin antara Amerika Serikat dan
Uni Soviet. Persaingan inilah yang dipandang sebagai ancaman terhadap perdamaian dunia.
Soekarno pun menggambarkan dunia ini terbagi antara kekuatan-kekuatan baru yang
sedang bangkit (New Emerging Forces, NEFOS) dan kekuatan-kekuatan lama yang telah
mapan (Old Establisihed Forces, OLDEFOS). Teori Soekarno mengenai hubungan
internasional adalah tuntutan moral yang dinyatakan dalam bentuk pemerataan keadilan
yang selama ini tak diberikan kepada republik.
Selama Demokrasi Terpimpin, usaha Indonesia dalam menangani pertikaian Irian
Barat dan kemudian pada kasus konfrontasi dengan Malaysia, yang merupakan masalahmasalah utama politik luar negeri pada periode Demokrasi Terpimpin dimana penerapannya
ditandai oleh unsur paksaan dan kekerasa yang justru tak ada pada proses kemerdekaan.
Indonesia pun sempat memutuskan hubungan diplomatik dengan Den Haag Belanda
diakibatkan balasan aras penampakan kapal induk dan pesawat udara berbendera Belanda di
Irian Barat. Walaupun terdapat dugaan yang sangat kuat di Washington bahwa
kebijaksanaan luar negeri Indonesia akan kembali pada proses yang lebih tenang begitu
aspirasi nasionalis yang sah atas Irian Barat terpenuhi.

Keseimbangan Demokrasi Terpimpin yang tak stabil dipertahankan karena unsurunsur pesaing dalam sistem diamana mereka harus tunduk menerima doktrin nasionalis dan
revolusioner yang dikemukakan dan di tafsirkan oleh Soekarno. Jika doktrin itu berlanjut
maka akan mengambil bentuk anti luar negeri apabila hal itu memenuhi fungsi-fungsi
politik dalam negeri.

Anda mungkin juga menyukai