Anda di halaman 1dari 16

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi Tanaman Sawit
Kelapa sawit adalah tanaman perkebunan/industri berupa pohon batang lurus dari famili
Palmae. Tanaman tropis ini dikenal sebagai penghasil minyak sayur yang berasal dari Amerika.
Brazil dipercaya sebagai tempat di mana pertama kali kelapa sawit tumbuh. Dari tempat asalnya,
tanaman ini menyebar ke Afrika, Amerika Equatorial, Asia Tenggara, dan Pasifik Selatan.Kelapa
sawit adalah tanaman perkebunan/industri berupa pohon batang lurus dari famili Palmae.
Perkebunan kelapa sawit pertama dibangun di Tanah itam, Hulu Sumatera Utara oleh Schadt
(Jerman) pada tahun 1911. Seperti yang kita ketahui pula bahwa di indonesia tanaman kelapa
sawit mempunyai produksi minyak paling tinggi perhektar pertahun dibandingkan tanaman
penghasil minyak lainnya yaitu = 2000 s/d 6000 kg / hektar / tahun.

Gambar 2.1 Pohon Kelapa Sawit

Klasifikasi botani tanaman kelapa sawit sebagai berikut :


Kelas : Angiospermae
Ordo : Palmales
Famili : Palmaceae
Sub-famili : Palminae
Genus ; Elaeis
Spesies : Elais Oleivera, Elais melanococca, dan Elais odora.
Varietas unggul kelapa sawit adalah varietas Dura sebagai induk betina dan Pisifera sebagai
induk jantan. Hasil persilangan tersebut memiliki kualitas dan kuantitas yang lebih baik. Varietas
unggul hasil persilangan antara lain: Dura Deli Marihat (keturunan 434B x 34C; 425B x 435B;
34C x 43C), Dura Deli D. Sinumbah, Pabatu, Bah Jambi, Tinjowan, D. Ilir (keturunan 533 x 533;
544 x 571), Dura Dumpy Pabatu, Dura Deli G. Bayu dan G Malayu (berasal dari Kebun Seleksi
G. Bayu dan G. Melayu), Pisifera D. Sinumbah dan Bah Jambi (berasal dari Yangambi), Pisifera
Marihat (berasal dari Kamerun), Pisifera SP 540T (berasal dari Kongo dan ditanam di Sei
Pancur). Tanaman kelapa sawit termasuk tumbuhan monokotil. Bagian tanaman kelapa sawit
yang penting adalah akar, batang dan daun. Biji kelapa sawit berkeping tunggal, sehingga
akarnya adalah serabut. Sistem penyebaran akar terkonsentrasi pada tanah lapisan atas.
Sebagaimana fungsi akar pada umumnya, akar kelapa sawit juga berperan terutama dalam
penyerapan unsur hara dalam tanah dan respirasi tanaman (Ginting,1975). Daun tanaaman sawit
bersirip gelap, bertulang sejajar, panjangnya mencapai 35 meter. Daun mempunyai pelepah
yang pada bagian kiri maupun kanannya tumbuh anak-anak daun, panjang pelepah dapat
mencapai 9 meter. Tanaman kelapa sawityang sudah dewasa mempunyai anak daun yang
jumlahnya dapat mencapai 100-- 160 pasang. Pada bagian pangkal pelepah daun tumbuh duri

dan bulu-bulu kasar dan halus. Duduknya pelepah daun pada batang tersusun teratur, melingkari
batang membentuk konfigurasi spiral. Arah spiral ada yang kekiri dan ada pula yang kekanan,
hal ini tampaknya merupakan pancaran ragam genetis. Produksi daun per tahun tergantung pada
iklim setempat, terutama pada saat tanaman tersebut tumbuh (Syamsulbahri, 1996).
Berdasarakan buku statistik komoditas kelapa sawit terbitan Ditjen Perkebunan, pada
Tahun 2014 luas areal kelapa sawit mencapai 10,9 juta Ha dengan produksi 29,3 juta ton CPO.
Luas areal menurut status pengusahaannya milik rakyat (Perkebunan Rakyat) seluas 4,55 juta Ha
atau 41,55% dari total luas areal, milik negara (PTPN) seluas 0,75 juta Ha atau 6,83% dari total
luas areal, milik swasta seluas 5,66 juta Ha atau 51,62%, swasta terbagi menjadi 2 (dua) yaitu
swasta asing seluas 0,17 juta Ha atau 1,54% dan sisanya lokal.
Terlepas dari pertumbuhannya, manfaat dari kelapa sawit pun sangat banyak terutama di
dunia industri di antaranya :
1.

Sebagai bahan baku industri minyak goreng.

2. Sebagai bahan baku industri margarin.


3. Sebagai bahan baku industri alkohol.
4.

Sebagai bahan baku industri kosmetika.

5. Sebagai nutrisi pakanan ternak (cangkang hasil pengolahan).


6. Sebagai bahan dasar industri lainnya industri sabun.
7. Sebagai obat karena kandungan minyak nabati berprospek tinggi.
8. Sebagai bahan pembuat particle board (batang dang pelepah).

9. Sebagai bahan pupuk kompos (cangkang hasil pengolahan).

2.2 Lignoselulosa
Lignoselulosa merupakan biomassa yang berasal dari tanaman dengan komponen utama
selulosa, hemiselulosa dan lignin. Ketiganya membentuk suatu ikatan yang kompleks yang
menjadi bahan dasar penyusun dinding sel tumbuhan. Struktur dari ketiganya dapat
dideskripsikan sebagai kerangka selulosa yang menempel pada ikatan silang matriks
hemiselulosa serta dikelilingi oleh lignin sebagai kulitnya. Selulosa, hemiselulosa dan lignin
merupakan penyusun utama kayu, dimana selulosa adalah senyawa yang menyusun 40 50
% bagian kayu dalam bentuk selulosa mikrofibril. Sedangkan hemiselulosa adalah senyawa
matriks yang berada diantara mikrofibril mikrofibril selulosa. Berbeda dengan selulosa dan
hemiselulosa, lignin merupakan senyawa berstruktur kuat yang menyelimuti dan
mengeraskan dinding sel. Peran ketiga komponen kimia ini dalam dinding sel dapat
dianalogikan seperti bahan konstruksi yang terbuat dari reinforced concrete, dimana selulosa,
lignin dan hemiselulosa berperan sebagai rangka besi, semen dan bahan penguat yang
memperbaiki ikatan diantara mereka. Kandungan batang kelapa sawit yang didominasi oleh
selulosa disajikan pada Tabel 1.
gram / 100 gram

No

Kandungan batang kelapa sawit

1
2
3

Selulosa
50.78
Hemiselulosa
30.36
Lignin
17.87
Tabel 2.2 kandungan batang kelapa sawit

2.2.1 Lignin
Lignin atau zat kayu adalah salah satu zat komponen penyusun tumbuhan. Komposisi
bahan penyusun ini berbeda-beda bergantung jenisnya. Lignin terutama terakumulasi pada
batang tumbuhan berbentuk pohon dan semak. Pada batang, lignin berfungsi sebagai bahan
pengikat komponen penyusun lainnya, sehingga suatu pohon bisa berdiri tegak.

Lignin merupakan senyawa yang terdiri dari unit fenilpropana dan turunannya yang
terikat secara tiga dimensi seperti yang disajikan pada Gambar 2.2.1. Struktur tiga dimensi
yang kompleks ini menyebabkan lignin sulit untuk diuraikan oleh mikroorganisme. Lignin
adalah bagian utama dari dinding sel tanaman yang merupakan polimer terbanyak setelah
selulosa. Lignin yang merupakan polimer aromatik berasosiasi dengan polisakarida pada
dinding sel sekunder tanaman dan terdapat sekitar 20-40% . Komponen lignin pada sel
tanaman (monomer guasil dan siringil) berpengaruh terhadap pelepasan dan hidrolisis
polisakarida. Kandungan lignin dalam kayu daun jarum lebih tinggi daripada dalam kayu
daun lebar. Di samping itu, terdapat beberapa perbedaan struktur lignin dalam kayu daun
jarum dan dalam kayu daun lebar. Selulosa, hemiselulosa dan lignin secara umum dapat
ditemukan dalam berbagai jenis biomassa dan merupakan sumber daya karbon yang paling
melimpah di bumi.

Gambar 2.2.1 Struktur lignin

2.2.2. Hemiselulosa
Hemiselulosa terdiri atas gula dengan lima gula netral, yaitu glukosa, mannosa, galaktosa
(heksosan) serta xilosa dan arabinosa (pentosan), didalam kayu, kandungan hemiselulosa
berkisar antara 25-30%, tergantung dari jenis kayunya. Hemiselulosa memiliki keragaman

dengan selulosa yaitu merupakan polimer dari unit-unit gula yang terikat dengan ikatan
glikosidik. Unit gula yang membentuk hemiselulosa dibagi menjadi beberapa kelompok, seperti
pentosa, heksosa, asam heksuronat dan deoksiheksosa. Hemiselulosa merupakan suatu kesatuan
yang membangun komposisi serat dan mempunyai peranan yang penting karena bersifat
hidrofilik sehingga berfungsi sebagai perekat antar selulosa yang menunjang kekuatan fisik serat.
Kehilangan hemiselulosa akan menyebabkan terjadinya lubang diantara fibril dan kurangnya
ikatan antar serat. Hemiselulosa memiliki kestabilan yang rendah terhadap bahan kimia dan
pemanasan jika dibandingkan dengan selulosa. Hal tersebut terkait dengan kristalinitas dan
derajat polimerasisasi dari hemiselulosa yang rendah . Di lain sisi hemiselulosa juga dapat
disebut sebagai gabungan antara dan selulosa yang memiliki sifat mudah larut pada kondisi
netral hingga asam.

Gambar 2.2.2. Struktur Hemiselulosa


2.2.3. Selulosa

Selulosa (C6H10O5) merupakan komponen utama lignoselulosa yang berupa mikrofibril


homopolisakarida yang terdiri atas unit-unit -D-glukopiranosa yang terhubung melalui
ikatan glikosidik, seperti yang disajikan pada Gambar 2.2.3. Secara umum selulosa memiliki
struktur kristalin. Kemampuan hidrolisis selulosa secara enzimatis maupun dengan bahan
kimia lain dipengaruhi oleh tingkat kekristalan selulosa tersebut, Mikrofibril selulosa terdiri
dari 2 tipe, yaitu kristalin dan amorf. Selulosa merupakan kompleks linear yang mempunyai

kecenderungan yang kuat untuk membentuk intra dan intermolekular antar ikatan hidrogen.
Komposisi didalam selulosa tergantung pada varietas, umur, penanaman dan asal dari bahan.

Gambar 2.2.3. Struktur Selulosa

2.3 Bioetanol
Bioetanol adalah etanol yang berasal dari sumber hayati. Etanol adalah senyawa organik
yang terdiri dari karbon, hidrogen dan oksigen, sehingga dapat dilihat sebagai derivat
senyawa hidrokarbon yang mempunyai gugus hidroksil dengan rumus C2H5OH. Bioetanol
dapat dihasilkan dari biomassa yang mengandung komponen pati atau selulosa, seperti
singkong, umbi garut, ubi jalar, tepung sagu, dan ganyong. Dalam dunia industri, etanol
umumnya digunakan sebagai bahan baku industri turunan alkohol, campuran minuman
keras, serta bahan baku farmasi dan kosmetika (Erliza Hambali, dkk, 2007: 39).
Bioetanol diperoleh dari hasil fermentasi bahan yang mengandung gula. Tahap inti
produksi bioetanol adalah fermentasi gula, baik yang berupa glukosa, sukrosa, maupun
fruktosa oleh khamir (Prihardana, 2007). Sifat fisik dan kimia etanol bergantung pada gugus
hidroksil. Reaksi yang dapat terjadi pada etanol antara lain dehidrasi, dehidrogenasi,
oksidasi, dan esterifikasi. Sifat fisika dan kimia etanol dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 2.3.1 Sifat Fisika dan Kimia Etanol

Sifat Fisika dan Sifat Kimia


Berat molekul, g/mol

Nilai
46.1

Titik beku, C

-114.1

Titik didih normal, C

78.32

Densitas, g/ml

0.7983

Viskositas pada 20C, mPa.s

1.17

Panas penguapan normal, J/g

839.31

Panas pembakaran pada 25C, J/g

29676.6

Panas jenis pada 25C, J (gC)


Nilai Oktan
Wujud pada suhu kamar
Dicampur dengan natrium
Kelarutan dalam air
Dapat terbakar

2.42
106-111
Cair
Bereaksi
Larut sempurna
Ya

Sumber : Kirk-Orthmer, Encyclopedia of Chemical Technology, Vol 9,


1967.

Bioetanol sering ditulis dengan rumus EtOH (Ethyl-OH). Rumus molekul etanol (etil
alkohol) adalah C2H5OH, sedang rumus empirisnya C2H6O atau rumus bangunnya CH3CH2-OH. Etanol banyak digunakan sebagai pelarut, germisida, minuman, bahan anti beku,
bahan bakar, dan senyawa antara untuk sintesis senyawa-senyawa organik lainnya. Pada
suhu kamar etanol berupa zat cair bening, mudah menguap, dan berbau khas. (Fessenden
dan Fessenden, 1986).
Bioetanol digunakan dalam beragam industri sebagai bahan baku industri minuman,
farmasi, kosmetika, dan bahan bakar. Secara umum, produksi bioetanol ini mencakup tiga

rangkaian proses, yaitu : hidrolisis, fermentasi, dan pemurnian atau destilasi. Produksi
bioetanol saat ini telah banyak dihasilkan dari berbagai macam komoditas pertanian yang
mengandung karbohidrat seperti gula sederhana, pati, dan selulosa.
Bioetanol memiliki karakteristik yang lebih baik dibandingkan dengan bensin berbasis
petrochemical (Erliza Hambali, dkk, 2007: 50). Karakteristik bioetanol tersebut antara lain :
1. Mengandung 35% oksigen, sehingga dapat meningkatkan efisiensi pembakaran dan
mengurangi gas rumah kaca.
2. Memiliki nilai oktan yang lebih tinggi, sehingga dapat menggantikan fungsi bahan aditif,
seperti metil tertiary butyl eter dan tetra ethyl lead.
3. Mempunyai nilai oktan 96-113, sedangkan nilai oktan bensin hanya 85-96.
4. Bioetanol bersifat ramah lingkungan, karena gas buangnya rendah terhadap senyawasenyawa yang berpotensi sebagai polutan, seperti karbon monoksida, nitrogen oksida,
dan gas-gas rumah kaca.
5. Bioetanol mudah terurai dan aman karena tidak mencemari air.
6. Sebagai sumber energi dapat diperbaharui (renewable energy) dan proses produksinya
relatif lebih sederhana dibandingkan dengan proses produksi bensin.
Umumnya, penggunaan bioetanol masih dalam bentuk campuran dengan bensin pada
konsentrasi 10% (E10), yaitu 10% bioetanol dan 90% bensin. Campuran bioetanol dalam
bensin dikenal dengan istilah gasohol. Penambahan etanol dalam bensin disamping dapat
menambah volume BBM, juga dapat meningkatkan nilai oktan bensin. Penambahan
bioetanol 10% dalam bensin mampu meningkatkan nilai oktan hingga mencapai point ON
92-95 (Erliza Hambali, dkk, 2007: 51). Tingkat kemurnian (grade) bioetanol berbeda-beda

berdasarkan kegunaannya. Bioetanol yang digunakan sebagai bahan bakar umumnya


memiliki tingkat bebas air (anhydrous grade) sebesar 99,5%. Bioetanol untuk keperluan
industri memiliki anhydrous grade sebesar 95% 99,5%.
2.3.1 Sumber-sumber bioetanol
Bioetanol tebagi atas 4 generasi, bioetanol saat ini yang diproduksi umumnya berasal dari
bioetanol generasi pertama, yaitu bioetanol yang dibuat dari gula (tebu, molases) atau patipatian (jagung, singkong, dll). Bahan-bahan tersebut adalah bahan pangan atau pakan.
Konversi bahan pangan/pakan menjadi bioetanol di Eropa dan Amerika diduga menjadi
salah satu penyebab naiknya harga-harga pangan dan pakan. Arah pengembangan bioetanol
mulai berubah ke arah pengembangan bioetanol generasi kedua, yaitu bioetanol dari
biomassa, yang diperoleh dari limbah-limbah industri pangan, seperti Tandan Kosong
Kelapa Sawit (TKKS), jerami padi, tongkol jagung, sisa pangkasan jagung, sisa pangkasan
tebu, kulit buah kakao, kulit buah kopi, batang kelapa sawit dan sebagainya. Dua limbah
industri pertanian yang melimpah jumlahnya adalah TKKS dan batang kelapa sawit.
2.3.2. Pembuatan Bioetanol
Bioetanol diperoleh dari hasil fermentasi bahan yang mengandung gula. Secara umum,
produksi bioetanol mencakup tiga rangkaian proses, yaitu persiapan bahan baku, fermentasi
dan pemurnian. Untuk bahan Lignoselulosa, seperti limbah-limbah industri pertanian, harus
melalui tahapan pengolahan awal sebagai persiapan bahan baku. Pada tahap ini, limbah
industri pertanian digiling untuk pengecilan ukuran, kemudian dihilangkan dahulu
kandungan ligninnya dengan proses delignifikasi dengan cara hidrolisis dengan asam kuat
(H2SO4) atau basa kuat (NaOH). Delignifikasi dapat dilakukan dengan cara perendaman
dalam NaOH 5% disertai dengan pemanasan 120C. Proses tersebut untuk memisahkan

antara lignin dan selulosa. Lignin dapat larut atau terurai dalam larutan asam dan basa,
sehingga lignin dapat dipisahkan dan tidak mengganggu proses hidrolisis dari selulosa.
Proses selanjutnya yaitu proses sakarifikasi atau pembentukan gula dari bahan yang
mengandung lignoselulosa. Selulosa dihidrolisis dengan asam atau hidrolisis enzimatis
menjadi glukosa. Hidrolisis secara enzimatis bisa dengan enzim selulase yang akan
mengubah selulosa menjadi gula gula sederhana (glukosa). Sebenarnya proses hidrolisis
ini dapat juga dilakukan dengan cara penambahan asam kuat seperti H 2SO4 pekat atau HCl
pekat dan berlangsung lebih cepat. Tetapi karena sifat asam kuat yang tidak spesifik
terhadap substrat maka asam tidak hanya menghidrolisis selulosa tetapi juga menguraikan
hemiselulosa menjadi senyawa furfural yang dapat menghambat proses hidrolisis. Sehingga
rendemen glukosa yang dihasilkan cukup sedikit. Reaksi sakarifikasi/hidrolisis yang terjadi
yaitu:
(C6H10O5)n + nH2O nC6H12O6
Selulosa Air Glukosa Glukosa yang dihasilkan kemudian difermentasi dengan enzim
dari ragi Saccharomyces cereviseae menjadi etanol, air dan CO 2. Kondisi optimum
fermentasi adalah pada suhu 30C, pH 4,0 4,5 dan kadar gula 10 18%. Selama
fermentasi dilakukan pengadukan (aerasi) dan akan terjadi kenaikan suhu sehingga perlu
dilakukan pendinginan. Pada awal fermentasi perlu ditambahkan nutrien dan kofaktor yang
berperan penting bagi kehidupan khamir seperti karbon, oksigen, nitrogen, hidrogen,
fosfor, sulfur, potasium dan magnesium agar pertumbuhan khamir bisa optimal. Proses
fermentasi berlangsung selama 30 72 jam dan akan terhenti setelah kadar etanol sebesar
12 %. Hal ini karena etanol 12 % dapat membunuh khamir itu sendiri sehingga
menghambat fermentasi. Etanol yang dihasilkan kemudian didestilasi untuk meningkatkan

kadarnya. Etanol yang telah didestilasi mempunyai kadar 91 92 %. Peningkatan


kemurnian etanol dapat dicapai dengan cara dehidrasi sehingga mencapai kemurnian 99,7
%. Etanol tersebut sudah siap digunakan sebagai bahan bakar baik sebagai bahan bakar
murni maupun pengoplos bensin dan juga sebagai bahan bakar kompor.
2.3.3 Penggunaan Bioetanol
Bioetanol dapat digunakan sebagai bahan bakar kendaraan bermotor dengan cara
mencapurkannya dengan bensin. Bahan bakar campuran ini disebut gasohol (Hambali,
dkk., 2008). Umumnya gasohol ini adalah campuran dari 10% bioetanol dan 90% bensin,
lazim disebut gasohol E-10. Pengujian pada kendaraan roda empat di laboratorium BPPT
menunjukkan bahwa tingkat emisi karbon dan hidrokarbon Gasohol E-10 yang merupakan
campuran bensin dan etanol 10% lebih rendah dibandingkan dengan premium dan
pertamax. Pengujian karakteristik unjuk kerja yaitu daya dan torsi menunjukkan bahwa
etanol 10% identik atau cenderung lebih baik daripada pertamax. Etanol mengandung 35%
oksigen sehingga meningkatkan efisiensi pembakaran (Prihandana dan Hendroko, 2008).
Bioetanol memiliki karakteristik yang lebih baik dibandingkan dengan bensin berbasis
petrochemichal. Berikut ini adalah kelebihan bioetanol sebagai bahan bakar nabati (biofuel)
menurut Hambali, dkk (2008):
mengandung 35% oksigen, sehingga dapat meningkatkan efisiensi pembakaran dan
mengurangi emisi karbon
memiliki nilai oktan yang lebih tinggi, sehingga dapat menggantikan fungsi bahan
aditif seperti metil tertiary butyl ether dan tetra ethyl lead
memiliki nilai oktan (ON) 96-113, sedangkan nilai oktan bensin 85-96
bersifat ramah lingkungan, karena gas buangnya rendah terhadap senyawa-senyawa

yang berpotensi sebagai polutan, seperti karbon monoksida, nitrogen oksida, dan
gas-gas rumah kaca
mudah terurai dan aman karena tidak mecemari air
dapat diperbaharui (renewable energy) dan proses produksinya relatif lebih
sederhana dibandingkan proses produksi bensin.
2.4 Pretreatment
Bahan-bahan lignoselulosa umumnya terdiri dari selulosa, hemiselulosa dan
lignin. Selulosa secara alami diikat oleh hemiselulosa dan dilindungi oleh lignin. Adanya
senyawa pengikat lignin inilah yang menyebabkan bahan-bahan lignoselulosa sulit untuk
dihidrolisa . Oleh karena itu, proses pretreatment merupakan tahapan proses yang sangat
penting yang dapat mempengaruhi produksi glukosa maupun xilosa sebagai bahan baku
pembuatan bioetanol generasi kedua melalui hidrolisis enzimatik. Pretreatment bertujuan
untuk memecah ikatan lignin (delignifikasi), menghilangkan kandungan lignin dan
hemiselulosa, merusak struktur kristal dari selulosa serta meningkatkan porositas bahan .
Rusaknya struktur kristal selulosa akan mempermudah terurainya selulosa menjadi
glukosa. Selain itu, hemiselulosa turut terurai menjadi senyawa gula sederhana: glukosa,
galaktosa, manosa, heksosa, pentosa, xilosa dan arabinosa. Selanjutnya senyawa-senyawa
gula sederhana tersebut yang akan difermentasi oleh mikroorganisme menghasilkan
etanol. Tujuan pretreatment secara skematis disajikan pada Gambar 2.4.1 yang
menunjukkan adanya proses delignifikasi atau dapat disebut dengan pretreatment mampu
memecah kompleks lignoselulosa yang terdiri atas lignin, selulosa dan hemiselulosa.
Sehingga terdapat celah yang memungkinkan enzim untuk mengakses selulosa dan
hemiselulosa pada proses hidrolisis.

Gambar 2.4. 1. Pretreatment Bioetanol

Secara umum proses pretreatment dapat dilakukan melalui beberapa metode,


diantaranya secara fisik, kimiawi, biologi, serta kombinasi antara fisik dan kimiawi.
Pretreatment yang dilakukan secara fisik merupakan pretreatment yang memanfaatkan
mesin atau alat berat dengan tujuan akhir mampu mengurangi ukuran biomassa
lignoselulosa

tersebut,

sedangkan

pada

metode

pretreatment

secara

kimiawi,

memanfaatkan bahan kimia sebagai medium perusak kompleks lignoselulosa. Pada


pretreatment secara biologi memanfaatkan aktivitas mikroorganisme dalam melakukan
delignifikasi, Namun mengingat karakteristik biomassa lignoselulosa yang kompleks,
terutama dalam hal ini batang kelapa sawit, diperlukan kombinasi metode pretreatment
guna meningkatkan efisiensi delignifikasi.
Beberapa penelitian terkait dengan pretreatment terhadap limbah batang kelapa
sawit antara lain dilakukan oleh Prawitwong (2012) dengan menggunakan panas
konvensional (oven) yang dikombinasikan dengan 3% NaOH sebagai pelarut pada suhu
150oC selama 3 jam. Selain itu Lai and Idris pada tahun 2013 dan 2014 juga melakukan
penelitian dengan metode microwave dengan daya 700 hingga 900 Watt yang
dikombinasikan dengan pelarut NaOH 2.5 M (10%) selama 60 hingga 80 menit, namun

penelitian tersebut dirasa belum efektif karena hanya mampu menghasilkan delignifikasi
sebesar 15 22%. Sedangkan pada penelitian lain yang menggunakan daya microwave,
konsentrasi pelarut dan waktu yang lebih rendah (12 hingga 30 menit dengan konsentrasi
NaOH 1 - 3%) justru mampu menghasilkan delignifikasi yang lebih tinggi, yakni
mencapai 82%.
Oleh karena itu, melimpahnya limbah atau biomassa lignoselulosa dalam hal ini
batang kelapa sawit di Indonesia dan potensi yang ada terkait dengan pemanfaatannya
sebagai bahan baku bioetanol generasi kedua, membuat penelitian terkait dengan
pretreatment masih terus berkembang. Selain itu kompleksnya ikatan lignoselulosa dalam
biomassa juga menjadi permasalahan yang saat ini masih banyak menjadi kendala dalam
pemilihan metode maupun kondisi dari proses pretreatment. Dimana terdapat beberapa
faktor yang mempengaruhi keberhasilan pretreatment. Diantaranya umur tanaman yang
dapat menentukan kandungan lignoselulosa didalamnya. Besar kecilnya kandungan
lignin dalam biomassa tersebut. Ukuran biomassa pada saat pretreatment, pemilihan
metode yang berkaitan dengan penggunaan pelarut maupun pemanasan. Serta tidak
adanya senyawa inhibitor yang dapat dihasilkan setelah proses pretreatment. Karena hal
ini akan mempengaruhi kerja enzim dan proses fermentasi terhadap pembuatan bioetanol
generasi kedua.

Anda mungkin juga menyukai