yang terakreditasi.
National Commission On Educational Service (NCES), memberikan pengertian
sertifikasi secara lebih umum Certification is a procedure whereby the state
evaluates and reviews a teacher candidates credentials and provides him or her
a license to teac. Dalam hal ini, sertifikasi merupakan prosedur untuk
menentukan apakah seorang calon guru layak diberikan izan dan kewenangan
untuk mengajar. Hal ini diperlukan karena lulusan lembaga pendidikan tenaga
keguruan atau tenaga didik Sangay bervariasi, baik itu dikalangan perguruan
tinggi negeri maupun swasta.
Sertifikasi guru merupakan pemenuhan kebutuhan untuk meningkatkan
kompetensi profesional. Oleh karena itu, proses sertifikasi dipandang sebagai
bagian esensial dalam upaya memperoleh sertifikat kompetensi sesuai dengan
estndar yang telah ditetapkan. Sertifikasi guru juga merupakan proses uji
kompetensi bagi calon guru yang ingin memperoleh pengakuan dan atau
meningkatkan kompetensi sesuai profesi yang dipilihnya.
Menurut Samani sertifikat pendidik adalah bukti formal dari pemenuhan dua
syarat, yaitu kualifikasi akademik minimum dan penguasaan kompetensi minimal
sebagai guru
Sedangkan menurut Trianto dan Tutik Sertifikat pendidik adalah surat keterangan
yang diberikan suatu lembaga pengadaan tenaga kependidikan yang
terakreditasi sebagai bukti formal kelayakan profesi guru, yaitu memenuhi
kualifikasi pendidikan minimum dan menguasai kompetensi minimal sebagai
agen pembelajaran.
Sertifikasi guru dapat diartikan sebagai suatu proses pemeberian pengakuan
bahwa seseorang telah memiliki kompetensi untuk melaksanakan pelayanan
pendidikan pada satuan pendidikan tertentu, setelah lulus uji kompetensi yang
diselenggarakan oleh lembaga sertifikasi. Sedangkan Menurut Martinis Yamin,
sertifikasi adalah pemberian sertifikat pendidik untuk guru dan dosen atau bukti
formal sebagai pengakuan yang diberikan kepada guru dan dosen sebagai
tenaga profesional.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Sertifikasi pendidik adalah suatu
bukti pengakuan sebagai tenaga profesional yang telah dimiliki oleh seorang
pendidik dalam melaksanakan pelayanan pendidikan pada satuan pendidikan
tertentu, setelah yang bersangkutan menempuh uji kompetensi yang dilakukan
oleh lembaga sertifikasi.
"Wah.....senangnya, Ibu guru Y hari ini cair lo !" "Cair kenapa nih ? sahut guru lain. "Kan,
Ibu Y sudah menerima uang pencairan sertifikasi" "hahaha......" tawa Ibu guru Y dengan
bangganya. Itulah sekelumit candaan beberapa guru yang sempat terlintas di kuping saya,
keceriaan pun begitu nampak tergambar di wajah mereka yang baru saja menerima uang
sertifikasi. Namun, rusuh rasanya ketika harus menyaksikan sebuah pemandangan yang
membuat saya serasa kembali ke masa lalu, masa tahun 80-an, masa dimana saya sekolah
terulang kembali, masa-masa salah seorang teman saya harus berdiri di atas bangku kecil
untuk menulis materi pelajaran di papan tulis sedangkan saya dan teman-teman lain
mencatatnya di buku tulis, sesekali salah satu teman saya maju ke depan dan bertanya sambil
menunjuk tulisan yang tidak dimengerti, mencatat pun harus cepat karena kalau ketinggalan,
tulisan di bagian atas papan tulis akan dihapus. Itulah salah satu gambaran kegiatan
pemelajaran yang secara tidak sengaja saya saksikan ketika saya berjalan-jalan di depan
sebuah sekolah dasar dan mengamati proses belajar oleh seorang guru yang baru saja
menerima uang sertifikasi. Ironisnya,pada saat siswa mencatat pelajaran di papan tulis,
gurunya sedang asyik melakukan aktivitas sendiri yakni ngobrol di kantor sambil makanmakan sampai jam pelajaran berakhir. Kalau dulu, di jaman saya sekolah, yakni tahun 80-an,
mencatat di papan tulis sudah menjadi kegiatan rutin, alasannya waktu itu buku paket
pelajaran yang dimiliki sekolah cuma satu, itupun dipegang oleh guru, kalau mau memiliki
buku paket maka harus membeli sendiri dengan harga yang mahal, tapi bagi kami di pedesaan
membeli buku pelajaran tidaklah berlaku karena boro-boro membeli buku, mencari makan
saja susah. Selain itu kekurangan guru yang menyebabkan guru harus loncat kelas agar siswa
di kelas lain juga mendapat pelajaran.Sekarang alasan tersebut sudah tidak berlaku lagi
karena sudah ada bantuan operasional sekolah (BOS) yang bisa digunakan untuk pengadaan
buku paket pelajaran siswa, sementara jumlah guru pun sudah lebih dari cukup. Jadi, kalau
jaman sekarang siswa mencatat pelajaran di papan tulis dan siswa lain menyalinnya di buku
tulis masih sebagai kegiatan pemelajaran di kelas, berarti itu adalah kemalasan sang guru
dalam mengajar. Abad 21, abad dimana teknologi sudah sebagai kebutuhan pokok bagi anak,
iternet sebagai sumber belajar yang kaya akan llmu, media sosial seperti facebook, twitter,
dan lainnya berada di genggaman sebagai suatu bentuk interaksi mereka, bahkan cyberword
sudah menjadi tempat bermain mereka, namun anak masih disuguhi dengan buku teks
pelajaran dan disuruh mencatatnya di papan tulis bukanlah cara yang tepat untuk mengajar
bahkan kalau boleh saya bilang itu adalah cara yang memilukan. Guru yang sudah menerima
tunjangan sertifikasi seharusnya meningkatkan kinerja, membenahi cara maupun gaya
mengajar semenarik mungkin, serta mengelola proses pemelajaran dengan maksimal
sehingga hasil dapat meningkat signifikan, baik kualitas guru itu sendiri dalam mengelola
pembelajaran di kelas maupun kualitas peserta didiknya. Namun ironis, alih-alih
meningkatkan kualitas dalam mengajar, justru yang terjadi malah duduk santai berkipas duit
sertifikasi dan berbangga diri, bahkan ada guru yang sudah menggadaikan uang sertifikasinya
untuk kredit mobil. Sebenarnya tidak ada yang salah, itu hak mereka, namun tidakkah merasa
malu, sudah mendapat sertifikasi namun kualitas mengajar masih jalan di tempat. Pada tahun
2011 Bank Dunia mengeluarkan hasil survei tentang kegiatan belajar mengajar di beberapa
negara, termasuk Indonesia, hasilnya program sertifikasi guru di Indonesia dinilai gagal
dalam meningkatkan kualitas guru dalam mengajar. Tanggal 14 Maret 2013, lagi-lagi Bank
dunia meluncurkan publikasi Spending More or Spending Better : Improving Education
Financing in Indonesia. Publikasi itu menunjukkan, para guru yang telah memperoleh
sertifikasi dan yang belum ternyata menunjukkan prestasi yang relatif sama. Saya tidak heran
dengan hasil survei dan publikasi tersebut, alasannya berdasarkan apa yang saya saksikan
merupakan salah satu bukti nyata atas apa yang dipublikasikan oleh BankDunia. Kadang
timbul pertanyaan di benak saya, seperti inikah guru yang sudah disertifikasi, pantaskah guru
seperti ini mendapatkan hak sertifikasinya, atau jangan-jangan pemberian sertifikasi guru atas
dasar asal-asalan, asal kuliah, asal sarjana, asal mengajar, asal dapat uang sertifikasi. Kurang
apalagi pemerintah, setiap tahun gaji dinaikkan, sertifikasi pun sudah di tangan,
pekerjaannya satu gajinya doble, tapi kalau masih asal-asalan mengajar mendingan
sertifikasi guru dihapus saja, atau dana untuk sertifikasi dialihkan saja untuk guru honor yang
notabene para guru honor juga melaksanakan pekerjaan dan tugas yang sama. Bahkansaya
pernah membaca sebuah artikel dari seorang guru yang sudah bersertifikat pendidik isinya
keluhan terhadap 24 jam tatap muka yang harus dipenuhi, disamping itu harus melengkapi
administrasi guru dan lainnya. Sejatinya semua itu adalah kewajiban yang tidak perlu
dijadikan beban namun harus ditunaikan sebagai bentuk ibadah sejati kepada sang Khalik.
Sampai saat ini, bagi saya sertifikasi guru masih menjadi tanda tanya untuk apa dan untuk
siapa, kalau sertifikasi guru diberikan sebagai penghargaan, kenapa tidak diberikan saja
kepada semua guru yang sudah mengabdi selama berpuluh tahun bahkan lebih. Kalau
sertifikasi guru sebagai alat untuk mensejahterakan guru, kenapa tidak diberikan saja kepada
seluruh guru tanpa memandang kualifikasi pendidikan sehingga kesejahteraan semua guru
meningkat. Kalau pemberian sertifikasi guru sebagai sebuah bentuk profesionalitas, kenapa
diberikan kepada guru yang masih bermalas-malasan mengajar. Pada tahun 2009 anggaran
pendidikan naik menjadi 20 %, yakni Rp 224 triliun. Namun, ternyata sampai sekarang belum
banyak memberikan bukti nyata dalam pendidikan, karena anggaran 20 % tersedot hanya
untuk pembayaran gaji dan sertifikasi guru. Bahkan tahun 2014, pemerintah menaikkan
kembali anggaran pendidikan sebesar Rp 371,2 triliun, naik 7,5 persen dari anggaran
pendidikan 2013 yang sebesar Rp 345,3 triliun, kenaikan anggaaran itu dimaksudkan untuk
meningkatkan kualitas pendidikan, seperti peningkatan kualitas guru termasuk di dalamnya
sertifikasi guru dan implementasi kurikulum 2013. Sebuah jumlah yang begitu fantastis,
kalau saja anggaran sebesar itu lagi-lagi terkuras hanya untuk pembayaran sertifikasi guru,
namun kualitas mengajar guru tidak meningkat, berarti program sertifikasi guru dipaksakan.
Dalam hal ini, seharusnya pemerintah meninjau ulang kembali pemberian tunjangan
sertifikasi guru, menghapus atau mekanismenya yang harus diperbaiki, sehingga tidak terjadi
inifisiensi anggaran dan sertifikasi guru tidak salah sasaran.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/johanarifin/sertifikasi-guru-untuk-apa-danuntuk-siapa_552e38ac6ea8343c258b4569