Anda di halaman 1dari 5

Dimana Indonesia?

Oleh: Kris Ajoi


Setiap membicarakan Indonesia atau nasionalisme Indonesia selalu saja ada sentuhan
keganjilan yang mengisahkan adanya keresahan untuk mengakuinya. Bagaimana tidak, dari
gereja dan sampai masjid masih saja terjadi kegaduhan. Apalagi orang-orang di kantor
maupun di pasar yang bersaing secara distributif untuk mendapatkan apa yang harus dimakan
atau diminum, saya sulit menemukan Indonesia dalam melihat realitas itu.
Bagaimana wujud Indonesia kita gambarkan melalui kehidupan seperti itu. Di Yogyakarta,
mahasiswa Papua dan hampir seluruh mahasiswa dari wilayah Timur di Indonesia pasti akan
mengatakan ya, jika di sana mereka lebih banyak mengenal daerah mereka, diaspora etnik
berlangsung lebih masif, pengenalan-pengenalan asal usul dan segala jenis kegagalan
pembangunan negara (Indonesia) di daerah mereka menjadi topik yang terus
dipermasalahkan dari pada mengenal Indonesia.
Mencari kos sangat sulit bahkan (mungkin) lebih mudah mencari jarum di sungai dari pada
kos di Yogyakarta. Maka, tidak heran asrama baik digunakan oleh mahasiswa rantauan
karena tidak mungkin mereka kuliah sambil tidur di trotoar atau di kolong jembatan. Itu
bukan hanya di Yogyakarta, di beberapa tempat lain, teman-teman mahasiswa mulai
mengakui hal itu mulai terjadi seakan masyarakat di kota lain ikut berprasangka buruk
dengan melihat media.
Sulit rasanya membayangkan hal itu, di mana sebenarnya Indonesia, apakah sedang dalam
perjalanan, ataukah sudah lewat masanya? Tetapi itu pertanyaan bagi kita semua, dan
Indonesia melalui realitas sosial maupun ekonomi masyarakatnya telah dihilangkan, seperti
Nietzche seorang Filsuf Jerman menuduh para ilmuan di abad ke delapan belas karena telah
membunuh tuhan dengan mengagungkan kebenaran ilmu pengetahuan. Indonesia telah
dibunuh oleh orang-orang Indonesia sendiri dan mengatakan bahwa yang ada dan yang nyata
itu orang dengan identitas bangsanya, sedangkan Indonesia masih dicari, dimanakah
Indonesia berada?

Buku-buku yang ditulis oleh John Roosa, 2006, (terj 2008), William Oltsman, 2001, dan Max
Lane, 2008 sangat baik untuk digunakan, termasuk Greg Poulgrain peneliti sejarah dan
politik dari Amerika Serikat.
Di Indonesia, para pengkritisi negara seperti Arif Budiman yang juga sempat menjadi
pengajar di Salatiga dan orang yang dekat dengannya dan menuai banyak kecaman akibat
kritikan pedas dan tajam yang bertubi-tubi karena buku-buku yang ditujukan untuk
membongkar korupsi, kolusi dan nepotisme baik oleh lembaga maupun individu petinggipetinggi negara, termasuk dengan menyebutkan nama aktor negara dan korporasi bisnisnya,
pak George Junus Aditjondro yang menulis Gurita Cikeas.
Sebagai pintu masuk mengenal Indonesia dari para petinggi negara ini, ikut juga di dalamnya
sejarawan Anhar Gonggong yang terus menerus melakukan penyelidikan mendalam untuk
pembenahan sejarah termasuk berusaha mengubah buku-buku ajar di sekolah-sekolah. Ini
semua kumpulan untaian perasaan mereka yang memprakarsai nasionalisme yang tidak
timpang dan berharap agar semua masyarakat Indonesia memiliki identitas politik bukan
mempolitisir identitas.
Dua hal penting lain yang akan saya uraikan di sini dan sekaligus menjadi argumentasi utama
yaitu: pertama, lemahnya orang Indonesia yang kepingin menjadi Indonesia itu terpaku
pada alasan lemahnya nasionalisme baik historis maupun kelembagaan dan struktur politik.
Lemahnya nasionalisme di sini tidak dimengerti secara harfiah, maksudnya nasionalisme
yang berada di titik puncak, sebuah semangat bangsa yang dibeking oleh gerakan-gerakan
revolusioner maupun reformasi.
Tetapi mari kita sederhanakan pemahaman ini sebagai setiap aktivitas sosial yang
menghadirkan Indonesia dari perspektif masing-masing identitas. Orang Aceh bisa melihat
Indonesia dan merasa menjadi orang Indonesia jika orang Aceh tetap menjadi orang Aceh,
begitupun sebaliknya orang Batak atau NTT maupun Makassar akan sangat mencintai
Indonesia jika mereka mencintainya dengan cara mereka. Mengucapkan bahasa, menarikan
tari dan termasuk ikut di dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan maupun partisipasi
lainya dalam konsep silang menyilang kebudayaan (cutting cross cultural/cutting cross
affiliation). Apalagi mereka yang berada di bagian yang lebih jauh dan sulit sekali dijangkau
secara akomodatif, pasti menjadi sangat problematik.
Kedua, mari kita ke ranah politik untuk membicarakan hal ini. Sangat perlu diketahui, tidak
ada identitas dalam pesta demokrasi yang sangat liberal yang tidak menyangkut ranah publik.
Artinya, orang Indonesia saat ini adalah orang yang berada di antara fragmentasi identitas
dan nasionalisasi kebangsaan. Di sana, ada individu maupun kelompok yang saling
mereduksi diri mereka secara kolektif-representatif terutama adalah untuk mendapatkan
pengakuan. Selain agar apa yang dimilikinya (dirinya) diakui sebagai bagian dari bhinneka
(ragam) identitas yang Indonesianis ini, terdapat juga para pemangku kepentingan yang
dengan keadaan di Indonesia pasca reformasi desentralisasi dan otonomi daerah
memungkinkan mereka untuk mendapatkan pembagian kue-kue kekuasaan yang kemudian
di tingkat lokal dimengerti sebagai jatah para individu pejuang identitas.
Dua argumentasi yang dibahas sebagai penghambat orang di Indonesia memiliki rasa
menjadi Indonesia bisa diwakili oleh dua ungkapan. Yang satu ini adalah fenomena yang
terjadi pasca desentralisasi dan otonomi di Indonesia, yaitu orang Sumatera itu orang

Indonesia, tetapi bukan orang Jawa, dan berikutnya memperlihatkan bahwa musuh
nasionalisme itu kapitalisme.
Cara berpikir praktisnya perlu dibeking dengan gaya dan pola sosiologis dan antropologis
yang sangat dekat dengan pemikiran Jasques Bertrand yang memberikan satu dari empat
indikator sebagai pemenuhan kebutuhan nasionalisme dengan menghadirkan Indonesia, tetapi
dapat juga mempengaruhi proses penghilangan Indonesia dari benak orang-orang Indonesia
yang oleh Ben Anderson seakan membalik telapak tangan atau tutup mata buka mata jadilah
Indonesia. Dengan cara inilah tesis Ben Anderson dipatahkan.
Buktinya 71 tahun kemerdekaan Indonesia semakin menghilangkan wujudnya dari benak
orang-orangnya. Bertrand kembali mengingatkan Anderson bahwa salah satu faktor penentu
tadi adalah instrumentalisme. Di mana segala jenis perangkat lunak identitas (identifikasi
diri) dimuat untuk memperjuangkan identitasnya. Simbol-simbol, artefak, aturan, norma dan
segala struktur dan mekanisme yang menggambarkan satu bentuk identitas akan sangat
berguna dalam praktek politik kekinian. Itulah makanya negara ini kena batunya karena
keutuhan entitas politiknya belum sekuat batu karang. Sudah dipecahkan dengan pemekaran
dan menciptakan ruang (kosong) politik baru kemudian diisi oleh identitas-identitas yang
dulunya tidak ada dan memang sudah menunggu jatahnya.
Indonesia sekali lagi tambah hilang dan lenyap diputihkan dengan entitas-entitas bangsa dan
keragaman tersebut. Bagi Bertrand, instrumentalisme bisa membawa Indonesia hadir dalam
acara kebangsaan dan kenegaraan ini jika hanya di level ideologi politik. Namun sayangnya,
berbeda ketika instrumentalisme menjadi instrumen kekuasaan para elit lokal dan pemangkupemangku kepentingan yang haus kekuasaan dan lapar akan uang. Instrumentalisme akhirnya
menjadi instrumen kekuasaan politik yang sangat lokalistik dan tidak nasionalis. Lalu di
mana Indonesia?
Orang Sumatera itu Orang Indonesia Tapi Bukan Orang Jawa
Pemahaman seperti inilah yang hadir setelah masyarakat Indonesia telah mengetahui
bagaimana mengidentifikasi siapa yang merupakan bagian dan mana yang bukan dari
kelompok di mana mereka diakui. Satu persoalan penting ini antara lain setiap identitas sulit
mengakui identitas lain yang ada di Indonesia meski bukan berasal dari identifikasi khusus
yang berasal atau merepresentasikan identitas kolektif antara insiders dan outsiders (kami
dan mereka). Soal ini bukan identitas kolektif, tetapi identitas politik negara yang perlu
diperhatikan sebagai sarana nasionalisme di Indonesia.
Dilema Indonesia saat ini bisa dijelaskan dalam bentuk wacana yang bisa didiskusikan.
Misalnya Orang Sumatera kan orang Indonesia tapi kan bukan orang Jawa. Atau yang
lainnya, Orang Jakarta kan orang Indonesia tapi kan bukan orang Semarang.
Pada masa ketika demokrasi telah ditegakkan, di Indonesia, tidak semua orang bisa memiliki
kesejahteraan dengan bekerja sebagai perantau (outsider) di masing-masing daerah
kepulauan. Jangankan kepulauan, wilayah-wilayah pemerintahan di tingkat lokal, misalnya
desa-desa atau kampung, nagari dan nama yang lainya.
Akan ada perang jika orang-orang lokal merasa kepemilikan mereka atau ruang akselerasi
politik mereka diduduki penduduk lain. Bahkan yang paling parah sering kita temukan adalah
interaksi dan komunikasi yang dibangun antar setiap kelompok hanya sebatas simbolis dan

insidental untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan sesaat. Hal ini menjadi kondisi yang
membatasi pemahaman masyarakat yang sementara sedang mengalami proses menjadi
Indonesia. Tentunya akan lebih banyak pertanyaan yang menanyakan dimana Indonesia?.

Musuh Nasionalisme adalah Kapitalisme


Sistem produksi yang bertumpu pada kapital disebut kapitalisme (Hiariej, 2012). Kapitalisme
bisa dilihat sebagai usaha mengelola uang demi mendapatkan uang, modal dikomodifikasi
menjadi modal.
Marx dalam das kapital mengungkapkan bagaimana proses peminggiran masyarakat lemah
oleh karena ketidakmampuan melawan sistem.
Di antara dua dilema, ada yang memiliki sumber daya, tetapi hidup didasarkan pada
pemahaman kosmologi sangat kuat, pengetahuan untuk bekerja seperti watak-watak kapitalis
tidak ada, maka yang ada adalah ketertinggalan.
Ada pula yang dengan keterbatasan sumber daya dan memiliki kemampuan, masih saja selalu
mendapatkan ketidakadilan mengenai gaji, keterlambatan pembayaran upah, ketidakadilan
bagi pekerja, kesulitan meminta cuti, dan terutama dalam hal yang sangat kecil, bangun harus
tepat waktu. Marx mengatakan, salah satu cara yang baik untuk melawan kapitalisme adalah
dengan bangun terlambat.
Pada masa orde baru, pasca 30 September 1965, Indonesia pada saat itu sedang mengalami
krisis nasionalisme. Krisis itu bukan saja terjadi, tetapi baru saja dimulai melalui represifitas
institusi keamanan, teror-teror kepada warga negara dan otoritas Soeharto semakin kuat
didorong oleh kekuatan modal kapital Amerika Serikat (Oltsman 2001, Roosa, 2006).
Soeharto adalah juragan tanah dan lahan produksi, sedangkan para pebisnis dan korporasi
bisnis-bisnis lainnya merupakan faktor produksi eksternal yang membantu negara dengan
potensi infrastruktur memadai.
Sumber daya alam memadai dari Timur sampai Barat, apalagi di tahun 1967, pemerintah orde
baru mengesahkan UUPMA (Undang-Undang Penanaman Modal Asing) di Indonesia. Semua
pengusaha bebas menanamkan modalnya di Indonesia untuk meraup keuntungan dan yang
penting ada kontribusi untuk membangun Indonesia dan tataran elit orde baru. Penghematan
anggaran dilakukan dengan memaksa setiap warga dari Pulau Jawa didatangkan ke berbagai
wilayah lain di Indonesia terutama di Sumatera (Riau), Kalimantan, dan Papua dengan tujuan
membantu pemerintah mengembangkan industri dan pertambangan di Indonesia yang pada
saat itu menerapkan proses kapitalisasi dalam pembangunan.
Warga yang didatangkan dari pulau Jawa dan Bali termasuk sebagian dari NTT pada masa itu
bisa disebut sebagai Buruh Negara yang menurut Marx, suprastruktur bagian dari faktor
produksi. Warga yang tidak mengikuti aturan (transmigrasi) nasional kemungkinan berada
dalam ketakutan karena takut dituduh PKI?, maka kampung halaman ditinggalkan.
Produksi industri orde baru (negara) pada masa itu sangat meningkat dalam rencana
pembangunan lima tahun yang selalu mendapat kecaman masyarakat di berbagai wilayah.
Tidak ada pertimbangan dampak keambrukan struktur sosial masyarakat di kemudian hari,

atau akan adanya ketimpangan yang berlebihan, sehingga menimbulkan kecemburuan.


Bahkan ada pula yang menganggap Indonesia sedang melakukan proses nasionalisasi ala
Jawa (Jawanisasi).
Konstruksi nasionalisme ala orde baru adalah konstruksi identitas kapitalis dan negara,
sehingga yang terjadi itu hegemoni negara dan kebudayaan tunggal yang dipaksa menjadi
budaya nasional. Hasil kerja orde baru bisa dilihat sekarang, demokrasi menjadi gagal karena
kebebasan individu semakin gagah di dalam relasi kuasa budaya dan politik yang eksklusif.
Kekuasaan semakin direduksi menjadi subyektif, bahkan yang dianggap memiliki andil
memegang kuasa adalah orang dari suku, marga, klan, atau kelompok-kelompok etnis.
Indonesia menjadi sangat bhinneka tetapi tidak Tunggal Ika. Parahnya, kegagalan Orde
Baru masih diwarisi dalam praktek pembangunan hari ini. Lalu di mana Indonesia?
Penutup
Nasionalisme dibangun tidak dengan kekuatan besar, melainkan dibangun dari cerita
kehidupan warga negaranya. Tidak ada konstruksi politik massa yang berdiri tanpa
komunikasi dan interaksi massa pula. Realitas politik Indonesia bisa dilihat sebagai keadaan
masa mengambang yang akan selalu mencari jati diri bangsa dan identitas politik
masyarakatnya.
Tiga fase peradaban Indonesia dalam model sistem politik negara yang dipimpin dengan
paham nasionalis-komunis, nasionalis-kapitalisme, dan nasionalis-demokrasi belum mampu
mempererat ikatan emosi masyarakat sebagai satu identitas dalam ragam identitas.
Proses membangun nasionalisme tidak dapat begitu saja kita singkirkan dari keberadaan
masyarakat sehari-hari. Sampai hari ini, kalau bangunan kebudayaan nasionalya hanya
dibangun berdasarkan eksklusifisme, diaspora atau interaksi simbolik yang menandakan
penolakan terhadap identitas Indonesia yang lain (the others), maka nasionalisme hanyalah
mimpi dan Indonesia kurang lebih dapat digambarkan dengan apa yang disebut oleh Max
Lane: Unfinished Nation atau bangsa yang belum selesai.
Penulis adalah staf Pengajar di Jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Komunikasi, UKSW, Salatiga.

Anda mungkin juga menyukai