Dimana Indonesia
Dimana Indonesia
Buku-buku yang ditulis oleh John Roosa, 2006, (terj 2008), William Oltsman, 2001, dan Max
Lane, 2008 sangat baik untuk digunakan, termasuk Greg Poulgrain peneliti sejarah dan
politik dari Amerika Serikat.
Di Indonesia, para pengkritisi negara seperti Arif Budiman yang juga sempat menjadi
pengajar di Salatiga dan orang yang dekat dengannya dan menuai banyak kecaman akibat
kritikan pedas dan tajam yang bertubi-tubi karena buku-buku yang ditujukan untuk
membongkar korupsi, kolusi dan nepotisme baik oleh lembaga maupun individu petinggipetinggi negara, termasuk dengan menyebutkan nama aktor negara dan korporasi bisnisnya,
pak George Junus Aditjondro yang menulis Gurita Cikeas.
Sebagai pintu masuk mengenal Indonesia dari para petinggi negara ini, ikut juga di dalamnya
sejarawan Anhar Gonggong yang terus menerus melakukan penyelidikan mendalam untuk
pembenahan sejarah termasuk berusaha mengubah buku-buku ajar di sekolah-sekolah. Ini
semua kumpulan untaian perasaan mereka yang memprakarsai nasionalisme yang tidak
timpang dan berharap agar semua masyarakat Indonesia memiliki identitas politik bukan
mempolitisir identitas.
Dua hal penting lain yang akan saya uraikan di sini dan sekaligus menjadi argumentasi utama
yaitu: pertama, lemahnya orang Indonesia yang kepingin menjadi Indonesia itu terpaku
pada alasan lemahnya nasionalisme baik historis maupun kelembagaan dan struktur politik.
Lemahnya nasionalisme di sini tidak dimengerti secara harfiah, maksudnya nasionalisme
yang berada di titik puncak, sebuah semangat bangsa yang dibeking oleh gerakan-gerakan
revolusioner maupun reformasi.
Tetapi mari kita sederhanakan pemahaman ini sebagai setiap aktivitas sosial yang
menghadirkan Indonesia dari perspektif masing-masing identitas. Orang Aceh bisa melihat
Indonesia dan merasa menjadi orang Indonesia jika orang Aceh tetap menjadi orang Aceh,
begitupun sebaliknya orang Batak atau NTT maupun Makassar akan sangat mencintai
Indonesia jika mereka mencintainya dengan cara mereka. Mengucapkan bahasa, menarikan
tari dan termasuk ikut di dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan maupun partisipasi
lainya dalam konsep silang menyilang kebudayaan (cutting cross cultural/cutting cross
affiliation). Apalagi mereka yang berada di bagian yang lebih jauh dan sulit sekali dijangkau
secara akomodatif, pasti menjadi sangat problematik.
Kedua, mari kita ke ranah politik untuk membicarakan hal ini. Sangat perlu diketahui, tidak
ada identitas dalam pesta demokrasi yang sangat liberal yang tidak menyangkut ranah publik.
Artinya, orang Indonesia saat ini adalah orang yang berada di antara fragmentasi identitas
dan nasionalisasi kebangsaan. Di sana, ada individu maupun kelompok yang saling
mereduksi diri mereka secara kolektif-representatif terutama adalah untuk mendapatkan
pengakuan. Selain agar apa yang dimilikinya (dirinya) diakui sebagai bagian dari bhinneka
(ragam) identitas yang Indonesianis ini, terdapat juga para pemangku kepentingan yang
dengan keadaan di Indonesia pasca reformasi desentralisasi dan otonomi daerah
memungkinkan mereka untuk mendapatkan pembagian kue-kue kekuasaan yang kemudian
di tingkat lokal dimengerti sebagai jatah para individu pejuang identitas.
Dua argumentasi yang dibahas sebagai penghambat orang di Indonesia memiliki rasa
menjadi Indonesia bisa diwakili oleh dua ungkapan. Yang satu ini adalah fenomena yang
terjadi pasca desentralisasi dan otonomi di Indonesia, yaitu orang Sumatera itu orang
Indonesia, tetapi bukan orang Jawa, dan berikutnya memperlihatkan bahwa musuh
nasionalisme itu kapitalisme.
Cara berpikir praktisnya perlu dibeking dengan gaya dan pola sosiologis dan antropologis
yang sangat dekat dengan pemikiran Jasques Bertrand yang memberikan satu dari empat
indikator sebagai pemenuhan kebutuhan nasionalisme dengan menghadirkan Indonesia, tetapi
dapat juga mempengaruhi proses penghilangan Indonesia dari benak orang-orang Indonesia
yang oleh Ben Anderson seakan membalik telapak tangan atau tutup mata buka mata jadilah
Indonesia. Dengan cara inilah tesis Ben Anderson dipatahkan.
Buktinya 71 tahun kemerdekaan Indonesia semakin menghilangkan wujudnya dari benak
orang-orangnya. Bertrand kembali mengingatkan Anderson bahwa salah satu faktor penentu
tadi adalah instrumentalisme. Di mana segala jenis perangkat lunak identitas (identifikasi
diri) dimuat untuk memperjuangkan identitasnya. Simbol-simbol, artefak, aturan, norma dan
segala struktur dan mekanisme yang menggambarkan satu bentuk identitas akan sangat
berguna dalam praktek politik kekinian. Itulah makanya negara ini kena batunya karena
keutuhan entitas politiknya belum sekuat batu karang. Sudah dipecahkan dengan pemekaran
dan menciptakan ruang (kosong) politik baru kemudian diisi oleh identitas-identitas yang
dulunya tidak ada dan memang sudah menunggu jatahnya.
Indonesia sekali lagi tambah hilang dan lenyap diputihkan dengan entitas-entitas bangsa dan
keragaman tersebut. Bagi Bertrand, instrumentalisme bisa membawa Indonesia hadir dalam
acara kebangsaan dan kenegaraan ini jika hanya di level ideologi politik. Namun sayangnya,
berbeda ketika instrumentalisme menjadi instrumen kekuasaan para elit lokal dan pemangkupemangku kepentingan yang haus kekuasaan dan lapar akan uang. Instrumentalisme akhirnya
menjadi instrumen kekuasaan politik yang sangat lokalistik dan tidak nasionalis. Lalu di
mana Indonesia?
Orang Sumatera itu Orang Indonesia Tapi Bukan Orang Jawa
Pemahaman seperti inilah yang hadir setelah masyarakat Indonesia telah mengetahui
bagaimana mengidentifikasi siapa yang merupakan bagian dan mana yang bukan dari
kelompok di mana mereka diakui. Satu persoalan penting ini antara lain setiap identitas sulit
mengakui identitas lain yang ada di Indonesia meski bukan berasal dari identifikasi khusus
yang berasal atau merepresentasikan identitas kolektif antara insiders dan outsiders (kami
dan mereka). Soal ini bukan identitas kolektif, tetapi identitas politik negara yang perlu
diperhatikan sebagai sarana nasionalisme di Indonesia.
Dilema Indonesia saat ini bisa dijelaskan dalam bentuk wacana yang bisa didiskusikan.
Misalnya Orang Sumatera kan orang Indonesia tapi kan bukan orang Jawa. Atau yang
lainnya, Orang Jakarta kan orang Indonesia tapi kan bukan orang Semarang.
Pada masa ketika demokrasi telah ditegakkan, di Indonesia, tidak semua orang bisa memiliki
kesejahteraan dengan bekerja sebagai perantau (outsider) di masing-masing daerah
kepulauan. Jangankan kepulauan, wilayah-wilayah pemerintahan di tingkat lokal, misalnya
desa-desa atau kampung, nagari dan nama yang lainya.
Akan ada perang jika orang-orang lokal merasa kepemilikan mereka atau ruang akselerasi
politik mereka diduduki penduduk lain. Bahkan yang paling parah sering kita temukan adalah
interaksi dan komunikasi yang dibangun antar setiap kelompok hanya sebatas simbolis dan
insidental untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan sesaat. Hal ini menjadi kondisi yang
membatasi pemahaman masyarakat yang sementara sedang mengalami proses menjadi
Indonesia. Tentunya akan lebih banyak pertanyaan yang menanyakan dimana Indonesia?.