Bab Ii
Bab Ii
KONSEP DASAR
A. Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit infeksi yang menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis.(Price dan Wilson, 2005).
Tuberkulosis Paru (TB Paru) adalah penyakit infeksius, yang terutama menyerang
parenkim paru. ( Smeltzer, 2001).
Tuberkulosis
merupakan
penyakit
menular
yang
disebabkan
oleh
oleh
mikrooganisme
Mycobacterium
tuberculosis
(Elizabeth
J.
Corwn, 2001).
Tuberkulosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh mycobakterium
tuberkulosa gejala yang sangat bervariasi (FKUI, 2001).
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa tuberkulosis paru
adalah suatu penyakit infeksi pada saluran nafas bawah yang menular disebabkan
mycobakterium tuberkulosa yaitu bakteri batang tahan asam baik bersifat patogen atau
saprofit dan terutama menyerang parenkim paru.
B. Anatomi Fisiologi
a.
Anatomi Paru
Paru adalah struktur elastik yang dibungkus dalam sangkar toraks, yang
merupakan suatu bilik udara kuat dengan dinding yang dapat menahan tekanan.
Ventilasi membutuhkan gerakan dinding sangkar toraks dan dasarnya, yaitu
digfrahma. Efek dari gerakan ini adalah secara bergantian meningkatkan dan
6
menurunkan kapasitas dada. Ketika kapasitas dalam dada meningkat, udara masuk
melalui trakea (inspirasi), karena penurunan tekanan di dalam dan mengembangkan
paru. Ketika dinding dada dan diagfrahma kembali ke ukurannya semula
(ekspirasi), paru-paru yang elastis tersebut mengempis dan mendorong udara
keluar melalui bronkus dan trakea. Fase inspirasi dari pernapasan normalnya
membutuhkan energi: fase ekspirasi normalnya positif. Inspirasi menempati
sepertiga dari siklus pernapasan, ekspirasi menempati dua pertiganya.
Pleura. Bagian terluar dari paru-paru, dikelilingi oleh membran halus, licin
yaitu pleura, yang juga meluas untuk membungkus dinding interior toraks dan
permukaan superior diagfrahma. Pleura parietalis melapisi tiraks dan pleura
viseralis melapisi paru-paru. Antara kedua pleura ini terdapat ruang yang disebut
spasium pleura, yang mengandung sejumlah kecil cairan yang melicinkan
permukaan dan memungkinkan keduannya bergeser dengan bebas selama ventilasi.
Mediastinum. Mediastinum adalah dinding yang membagi rongga toraks
menjadi dua bagian. Mediastinum terbentuk dari dua lapisan pleura. Semua
struktur toraks kecuali paru-paru terletak antara kedua lapisan pleura.
Lobus. Setiap paru dibagi menjadi lobu-lobus. Paru kiri atas lobus bawah dan
atas, sementara paru kanan mempunyai lobus atas, tengah dan bawah. Setiap lobus
lebih jauh dibagi lagi menjadi dua segmen yang dipisahkan oleh fisura, yang
merupakan perluasan pleura.
Bronkus dan bronkiolus. Terdapat beberapa divisi bronkus didalam setiap
lobus paru. Pertama adalah bronkus lobaris (tiga pada paru kanan dan dua pada
paru kiri). Bronkus lobaris dibagi menjadi bronkus segmental (10 pada paru kanan
dan 8 pada paru kiri), yang merupakan struktur yang dicari ketika memilih posisi
drainase postural yang paling efektif untuk pasien tertentu. Bronkus segmental
kemudian dibagi lagi menjadi bronkus subsegmental. Bronkus ini dikelilingi oleh
jaringan ikat yang memiliki arteri, limfatik dan saraf.
Bronkus segmental kemudian membentuk percabangan menjadi bronkiolus,
yang tidak mempunyai kartilagi dalam dindingnya. Patensi bronkiolus seluruhnya
tergantung pada rekoil elastik otot polos sekelilingnya dan pada tekanan alveolar.
Bronkiolus mengandung kelenjar submukosa, yang memproduksi lendir yang
membentuk selimut tidak terputus untuk lapisan bagian dalam jalan nafas. Bronkus
7
dan bronkiolus juga dilapisi oleh sel-sel yang permukaannya dilapisi oleh rambut
pendek yang disebut silia. Silia ini menciptakan gerakan menyapu yang konstan
yang berfungsi untuk mengeluarkan lendir dan benda asing menjauhi paru menuju
laring.
Bronkiolus kemudian membentuk percabangan menjadi bronkiolus terminalis,
yang tidak mempunyai kelenjar lendir dan silia. Bronkiolus terminalis kemudian
menjadi bronkiolus respiratori, yang dianggap menjadi saluran transisional antara
jalan udara konduksi dan jalan udara pertukaran gas. Sampai pada titik ini, jalan
udara konduksi mengandung sekital 150 ml udara dalam percabangan
trakeobronkial yang tidak ikut serta dalam pertukaran gas. Ini dikenal sebagai
ruang rugi fisiologik. Bronkiolus respiratori kemudian mengarah ke dalam duktus
alveolar dan sakus alveolar kemudian alveoli. Pertukaran oksigen dan karbon
dioksida terjadi dalam alveoli.
Alveoli. Paru terbentuk oleh sekitar 300 juta alveoli, yang tersusun dalam
kluster antara 15 sampai 20 alveoli. Begitu banyaknya alveoli ini sehingga jika
mereka bersatu untuk membentuk satu lembar, akan menutupi area 70 meter
persegi (seukuran lapang tenis).
Terdapat tiga jenis sel-sel alveolar. Sel-sel alveolar tipe I adalah sel epitel yang
membentuk dinding alveolar. Sel-sel alveolar tipe II, sel-sel yang aktif secara
metabolik, mensekresi surfaktan, suatu fosfolipid yang melapisi permukaan dalam
dan mencegah alveolar agar tidak kolaps. Sel alveoli tipe III adalah makrofag yang
merupakan sel-sel fagositis yang besar yang memakan benda asing (misal : lendir,
bakteri) dan bekerja sebagai mekanisme pertahanan yang penting.
(Brunner & Suddarth, EGC : 2002)
b.
Fisiologi
Transpor Oksigen. Oksigen dipasok ke sel dan karbon dioksida dibuang dari
sel melalui sirkulasi darah. Sel-sel berhubungan dekat dengan kapiler, yang
berdinding tipis sehingga memungkinkan terjadinya pertukaran atau lewatnya
oksigen dan karbon dioksida dengan mudah. Oksigen berdifusi dari kapiler,
menembus dinding kapiler ke cairan interstisial dan kemudian melalui membran
sel-sel ke jaringan, tempat dimana oksigen dapat digunakan oleh mitokondria untuk
8
pernafasan selular. Gerakan karbon dioksida juga terjadi melalui difusi dan
berlanjut dengan arah yang berlawanan dari sel ke dalam darah.
Pertukaran Gas. Setelah pertukaran kapiler jaringan ini, darah memasuki vena
sistemik (dimana disebut darah vena) dan mengalir ke sirkulasi pulmonal.
Konsentrasi oksigen dalam darah di dalam kapiler paru-paru lebih rendah
dibanding dengan konsentrasi dalam kantung udara paru, yang disebut alveoli.
Sebagai akibat gradien konsentrasi ini, oksigen berdifusi dari alveoli ke dalam
darah. Karbon dioksida yang mempunyai konsentrasi dalam darah lebih tinggi dari
dalam alveoli, berdifusi dari dalam alveoli. Gerakan udara ke dan keluar jalan nafas
(ventilasi) secara kontinue memurnikan oksigen dan membuang karbon dioksida
dari jalan dalam paru. Keseluruhan proses pertukaran gas antara udara atmosfir dan
darah dan antara darah dengan sel-sel tubuh ini disebut respirasi. (Brunner &
Suddarth, EGC : 2002).
C. Etiologi
Tuberkulosis paru adalah penyakit menular yang disebabkan oleh basil
mikrobakterium tuberkulosis tipe humanus, sejenis kuman yang yang berbentuk
batang dengan ukuran panjang 1-4/mm dan tebal 0,3-0,6/mm. Sebagian besar
kuman terdiri atas asam lemak (lipid).
Lipid inilah yang membuat kuman lebih tahan terhadap asam (asam alkkohol)
sehingga disebut bakteri tahan asam (BTA) dan ia juga lebih tahan terhadap
gangguan kimia dan fisis. Kuman dapat bertahan hidup pada udara kering maupun
dingin (dapat tahan bertaun-tahun dalam lemari es). Hal ini terjadi karena kuman
bersifat dormant. Dari sifat dormant ini kuman dapat bangkit lagi dan menjadikan
tuberculosis menjadi aktif lagi. Sifat lain kuman ini adalah aerob. Sifat ini
menunjukkan bahwa kuman lebih menyenangi jaringan yang tinggi oksigennya.
Dalam hal ini tekanan bagian apikal paru-paru lebih tinggi dari pada bagian lainnya,
sehingga bagian apikal ini merupakan tempat predileksi penyakit tuberkulosis. (Amin,
2007)
Kuman ini tahan hidup pada udara kering maupun dalam keadaan dingin (dapat
9
tahan bertahun-tahun dalam lemari es). Hal ini terjadi karena kuman berada dalam
sifat dormant. Dari sifat dormant ini kuman dapat bangkit kembali dan menjadikan
tuberkulosis aktif kembali. Sifat lain kuman adalah aerob. Sifat ini menunjukkan
bahwa kuman lebih menyenangi jaringan yang tinggi kandungan oksigennya. Dalam
hal ini tekanan bagian apikal paru-paru lebih tinggi dari pada bagian lainnya, sehingga
bagian apikal ini merupakan tempat predileksi penyakit tuberkulosis.
Basil mikrobakterium tersebut masuk kedalam jaringan paru melalui saluran
napas (droplet infection) sampai alveoli, maka terjadilah infeksi primer (ghon)
selanjutnya menyebar kekelenjar getah bening setempat
kompleks
(ranke).
keduanya
dinamakan
tuberkulosis
yang
dalam
powh 2001)
1). Mereka yang kontak dekat dengan seorang yang mempunyai TB aktif
2).
D. Manifestasi Klinis
Keluhan yang diraskan pasien pasien tuberkulosis dapat bermacam-macam
atau malah banyak
(berat badan turun), sakit kepala, keringat malam, dll. Selain itu juga terjadi
kselitan tidur pada malam hari (Price, 2005). Gejala malaise ini makin lama
makin berat dan terjadi ilang timbul secara tidak teratur.
6. Takikardia
(Amin, 2007)
E. Klasifikasi
Adapun klasifikasi TB paru berdasarkan petogenesisnya yaitu:
Kelas
0
Keterangan
Tipe
Tidak ada pejanan TB.
Tidak terinfeksi
Reaksi
Terpajan TB
negative.terpajan
Riwayat
Ada infeksi TB
terhadap
tes
tuberculin
dilakukan)
3
12
TB,
Tersangka TB
klinis
atauditunda
radiografik
Diagnosa
penyakit
(Price, 2005)
F. Patofisiologi
Penularan tuberculosis paru terjadi karena kuman dibersinkan atau
dibatukkan keluar menjadi droplet nuclei dalam udara. Partikel infeksi ini dapat
menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung pada ada tidaknya sinar
ultraviolet, ventilasi yang buruk dan kelembaban. Dalam suasana lembab dan
gelap kuman dapat tahan selama berhari-hari sampai berbulan-bulan. Bila partikel
infeksi ini terhisap oleh orang sehat akan menempel pada jalan nafas atau paru- paru.
Partikel dapat masuk ke alveolar bila ukurannya kurang dari 5
mikromilimeter.
Tuberculosis adalah penyakit yang dikendalikan oleh respon imunitas perantara
sel. Sel efektornya adalah makrofag sedangkan limfosit (biasanya sel T ) adalah
imunoresponsifnya. Tipe imunitas seperti ini basanya lokal, melibatkan makrofag
yang diaktifkan ditempat infeksi oleh limposit dan limfokinnya. Raspon ini desebut
sebagai reaksi hipersensitifitas (lambat).
Basil tuberkel yang mencapai permukaan alveolus biasanya diinhalasi sebagai
unit yang terdiri dari 1-3 basil. Gumpalan basil yang besar cendrung tertahan
dihidung dan cabang bronkus dan tidak menyebabkan penyakit ( Dannenberg
1981 ). Setelah berada diruang alveolus biasanya dibagian bawah lobus atas paruparu atau dibagian atas lobus bawah, basil tuberkel ini membangkitkan reaksi
peradangan. Leukosit polimorfonuklear tampak didaerah tersebut dan memfagosit
bakteria namun tidak membunuh organisme ini. Sesudah hari-hari pertama
leukosit akan digantikan oleh makrofag . Alveoli yang terserang akan mengalami
13
dengan sendirinya, sehingga tidak ada sisa atau proses akan berjalan terus dan bakteri
akan terus difagosit atau berkembang biak didalam sel. Basil juga menyebar
melalui getah bening menuju kelenjar getah bening regional. Makrofag yang
mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu sehingga
membentuk sel tuberkel epiteloid yang dikelilingi oleh limposit. Reaksi ini butuh
waktu 10-20 hari.
Nekrosis pada bagian sentral menimbulkan gambangan seperti keju yang
biasa disebut nekrosis kaseosa. Daerah yang terjadi nekrosis kaseosa dan jaringan
granulasi disekitarnya yang terdiri dari sel epiteloid dan fibroblast menimbulkan
respon yang berbeda.Jaringan granulasi menjadi lebih fibrosa membentuk jaringan
parut yang akhirnya akan membentuk suatu kapsul yang mengelilingi tuberkel.
Lesi primer paru dinamakn fokus ghon dan gabungan terserangnya kelenjar getah
bening regional dan lesi primer dinamakan kompleks ghon. Respon lain yang
dapat terjadi didaerah nekrosis adalah pencairan dimana bahan cair lepas kedalam
bronkus dan menimbulkan kavitas. Materi tuberkel yang dilepaskan dari dinding
kavitas akan masuk kedalan percabangan trakeobronkhial. Proses ini dapat
terulang lagi kebagian paru lain atau terbawa kebagian laring, telinga tengah atau
usus.
Kavitas yang kecil dapat menutup sekalipun tanpa pengobatan dan
meninggalkan jaringan parut fibrosa. Bila peradangan mereda lumen brokus dapat
menyempit dan tertutup oleh jaringan parut yang terdapt dekat dengan perbatasan
bronkus rongga. Bahan perkejuan dapat mengental sehingga tidak dapat mengalir
melalui saluran penghubung sehingga kavitas penuh dengan bahan perkejuan dan lesi
mirip dengan lesi kapsul yang terlepas. Keadaan ini dapat dengan tanpa gejala dalam
waktu lama atau membentuk lagi hubungan dengan brokus sehingga menjadi
peradangan aktif.
Penyakit dapat menyebar melalui getah bening atau pembuluh darah. Organisme
yang lolos dari kelenjar getah bening akan mencapai aliran darah dalam jumlah
kecil, kadang dapat menimbulkan lesi pada oragan lain. Jenis penyeban ini
disebut limfohematogen yang biasabya sembuh sendiri. Penyebaran hematogen
biasanya merupakan fenomena akut yang dapat menyebabkan tuberkulosis milier.Ini
14
terjadi apabila fokus nekrotik merusak pembuluh darah sehingga banyak organisme
yang masuk kedalam sistem vaskuler dan tersebar keorgan-organ lainnya.
G. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan keperawatan diantaranya dapat dilakukan dengan cara:
a. Promotif
1. Penyuluhan kepada masyarakat apa itu TBC
2. Pemberitahuan baik melalui spanduk/iklan tentang bahaya TBC, cara
penularan, cara pencegahan, faktor resiko
3. Mensosialisasiklan BCG di masyarakat.
b. Preventif
1. Vaksinasi BCG
2. Menggunakan isoniazid (INH)
3. Membersihkan lingkungan dari tempat yang kotor dan lembab.
4. Bila ada gejala-gejala TBC segera ke Puskesmas/RS, agar dapat
diketahui secara dini.
2. Penatalaksanaan secara medik
Dalam pengobatan TB paru dibagi 2 bagian :
1. Jangka pendek.
Dengan tata cara pengobatan : setiap hari dengan jangka waktu 1 3
bulan.
* Streptomisin injeksi 750 mg.
* Pas 10 mg.
* Ethambutol 1000 mg.
* Isoniazid 400 mg.
2. Jangka panjang
15
2. Rifampisin
17
dapat
menyebabkan
gangguan
penglihatan
berupa
berkurangnya ketajaman, buta warna untuk warna merah dan hijau. Meskipun
demikian keracunan okuler tersebut tergantung pada dosis yang dipakai,
jarang sekali terjadi bila dosisnya 15-25 mg/kg BB perhari atau 30 mg/kg BB
yang diberikan 3 kali seminggu. Gangguan penglihatan akan kembali normal
dalam beberapa minggu setelah obat dihentikan. Sebaiknya etambutol tidak
diberikan pada anak karena risiko kerusakan okuler sulit untuk dideteksi
5. Streptomisin
18
ialah
telinga mendenging
(tinitus),
pusing dan
kehilangan
keseimbangan. Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat segera dihentikan atau
dosisnya dikurangi 0,25gr. Jika pengobatan diteruskan maka kerusakan alat
keseimbangan makin parah dan menetap (kehilangan keseimbangan dan tuli).
Reaksi hipersensitiviti kadang terjadi berupa demam yang timbul tibatiba disertai sakit kepala, muntah dan eritema pada kulit. Efek samping sementara
dan ringan (jarang terjadi) seperti kesemutan sekitar mulut dan telinga yang
mendenging dapat terjadi segera setelah suntikan. Bila reaksi ini mengganggu
maka dosis dapat dikurangi 0,25gr.
Streptomisin dapat menembus barrier plasenta sehingga tidak boleh diberikan
pada
wanita
hamil
sebab
dapat
merusak
syaraf
pendengaran
janin.
(http://www.klikpdpi.com/konsensus/tb/tb.pdf)
H.
Pemeriksaan Penunjang
1. Uji Tuberkulin
2. Pemeriksaan Radiologi
3. Pemeriksaan Bakteriologis
4. Pemeriksaan Patologi Anatomi
5. Uji BCG
(Asril Bahar, 2001).
I.
Konsep Pertumbuhan
Pertumbuhan adalah bertambahnya ukuran fisik dan struktur tubuh dalam arti
sebagian atau seluruhnya karena adanya multiflikasi sel-sel tubuh dan juga karena
bertambah besarnya sel. Adanya multiflikasi dan pertambahan ukuran sel berarti ada
pertambahan secara kuantitatif dan hal tersebut terjadi sejak terjadinya konsepsi, yaitu
19
bertemunya sel telur dan sperma hingga dewasa (IDAI, 2000). Jadi, pertumbuhan lebih
ditekankan pada bertambahnya ukuran fisik seseorang, yaitu menjadi lebih besar atau
lebih matang bentuknya, seperti bertambahnya ukuran berat badan, tinggi badan dan
lingkar kepala. Pertumbuhan pada masa anak-anak mengalami perbedaan yang
bervariasisesuai dengan bertambahnya usia anak. Secara umum, pertumbuhan fisik
dimulai dari arah kepala ke kaki. Kematangan pertumbuhan tubuh pada bagian kepala
berlangsung lebih dahulu, kemudian secara berangsur-angsur diikuti oleh tubuh bagian
bawah. Pada masa fetal pertumbuhan kepala lebih cepat dibandingkan dengan masa
setelah lahir, yaitu merupakan 50 % dari total panjang badan. Selanjutnya, pertumbuhan
bagian bawah akan bertambah secara teratur. Pada usia dua tahun, besar kepala kurang
dari seperempat panjang badan keseluruhan, sedangkan ukuran ekstremitas bawah lebih
dari seperempatnya.
J.
Konsep Perkembangan
Perkembangan adalah bertambahnya kemampuan dan struktur fungsi tubuh
yang lebih kompleks dalam pola yang teratur, dapat diperkirakan, dan diramalkan
sebagai hasil dari proses diferensiasi sel, jaringan tubuh, organ-organ, dan sistemnya
yang terorganisasi (IDAI, 2000). Dengan demikian, aspek perkembangan ini bersifat
kualitatif, yaitu pertambahan kematangan fungsi dari masing-masing bagian tubuh. Hal
ini diawali dengan berfungsinya jantung untuk memompakan darah, kemampuan untuk
bernafas, sampai kemampuan anak untuk tengkurap, duduk, berjalan, memungut bendabenda di sekelilingnya serta kematangan emosi dan sosial anak.
K.
Konsep Hospitalisasi
Hospitalisasi merupakan suatu proses yang karena suatu alasan yang berencana
atau darurat, mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit menjalani terapi dan
perawatan sampai pemulangan kembali ke rumah. Selama proses tersebut, anak dan
orang tua dapat mengalami berbagai kejadian yang menurut beberapa penelitian
ditunjukkan dengan pengalaman yang sangat traumatik dan penuh stress (Supartini,
2004).
Berbagai perasaan yang sering muncul pada anak, yaitu cemas, marah, sedih,
20
takut, dan rasa bersalah (Wong, 2000). Perasaan tersebut dapat timbul karena
menghadapi sesuatu yang baru dan belum pernah dialami sebelumnya, rasa tidak aman
dan tidak nyaman, perasaan kehilangan sesuatu yang biasa dialaminya, dan sesuatu
yang dirasakannya menyakitkan. Apabila anak stress selama dalam perawatan, orang tua
menjadi stres pula, dan stres orang tua akan membuat tingkat stres anak semakin
meningkat (Supartini, 2000).
Dampak Hospitalisasi Pada Anak
Hospitalisasi pada anak dapat menyebabkan kecemasan dan stres pada semua
tingkat usia. Penyebab dari kecemasan dipengaruhi oleh banyaknya faktor, baik faktor
dari petugas (perawat, dokter, dan tenaga kesehatan lainnya), lingkungan baru, maupun
lingkungan keluarga yang mendampingi selama perawatan. Keluarga sering merasa
cemas dengan perkembangan keadaan anaknya, pengobatan, dan biaya perawatan.
Meskipun dampak tersebut tidak bersifat langsung terhadap anak, secara fisiklogis anak
akan merasakan perubahan perilaku dari orang tua yang mendampingi selama
perawatan (Marks, 1998).
Anak menjadi semakin stres dan hal ini berpengaruh pada proses penyembuhan,
yaitu menurunnya respon imun. Hal ini telah dibuktikan oleh Robert Ader (1885) bahwa
pasien yang mengalami kegoncangan jiwa akan mudah terserang penyakit, karena pada
kondisi stress akan terjadi penekanan system imun (Subowo, 1992). Pasien anak akan
merasa nyaman selama perawatan dengan adanya dukungan social keluarga, lingkungan
perawatan yang terapeutik, dan sikap perawat yang penuh dengan perhatian akan
mempercepat proses penyembuhan. Berdasarkan hasil pengamatan penulis, pasien anak
yang dirawat di rumah sakit masih sering mengalami stres hospitalisasi yang berat,
khususnya takut terhadap pengobatan, asing dengan lingkungan baru, dan takut terhadap
petugas kesehatan. Fakta tersebut merupakan masalah penting yang harus mendapatkan
perhatian perawat dalam pengelolah asuhan keperawatan (Nursalam, 2005)
Reaksi Anak Terhadap Hospitalisasi
Seperti telah dikemukakan di atas, anak akan menunjukkan berbagai perilaku
sebagai reaksi terhadap pengalaman hospitalisasi. Reksi tersebut bersifat individual,
dan sangat bergantung pada tahapan usia perkembangan anak, pengalaman
sebelumnya terhadap sakit, sistem pendukung yang tersedia, dan kemampuan koping
yang dimilikinya. Pada umumnya, reaksi anak terhadap sakit adalah kecemasan karena
21
perpisahan, kehilangan, perlukaan tubuh, dan rasa nyeri. Berikut ini reaksi anak
terhadap sakit dan dirawat di rumah sakit sesuai dengan tahapan perkembangan anak.
1. Masa Bayi (0 sampai 1 tahun)
Masalah yang utama terjadi adalah karena dampak dari perpisahan dengan
orang tua sehingga ada gangguan pembentukan rasa percaya dan kasih sayang. Pada
anak usia lebih dari enam bulan terjadi stranger anxiety atau cemas apabila
berhadapan dengan orang yang tidak dikenalnya dan cemas karena perpisahan. Reaksi
yang sering muncul pada anak usia ini adalah menangis, marah, dan banyak
melakukan gerakan sebagai sikap stranger anxiety. Bila ditinggalkan ibunya, bayi
akan merasakan cemas karena perpisahan dan perilaku yang ditunjukkan adalah
dengan menangis keras. Respons terhadap nyeri atau adanya perlukaan biasanya
menangis keras, pergerakan tubuh yang banyak, dan ekspresi wajah yang tidak
menyenangkan.
2. Masa Todler (2 sampai 3 tahun)
Anak usia todler bereaksi terhadap hospitalisasi sesuai dengan sumber
stresnya. Sumber stres yang utama adalah cemas akibat perpisahan. Respons perilaku
anak sesuai dengan tahapannya,yaitu tahap protes, putus asa, dan pengingkaran
(denial). Pada tahap protes, perilaku yang ditunjukkan adalah menangis kuat, menjerit
memanggil orang tua atau menolak perhatian yang diberikan orang lain. Pada tahap
putus asa, perilaku yang ditunjukkan adalah menangis berkurang, anak tidak aktif,
kurang menunjukkan minat untuk bermain dan makan, sedih, dan apatis. Pada tahap
pengingkaran, perilaku yang ditunjukkan adalah secara samar mulai menerima
perpisahan, membina hubungan secara dangkal, dan anak mulai terlihat menyukai
lingkungannya. Oleh karena adanya pembatasan terhadap pergerakannya, anak akan
kehilangan kemampuannya untuk mengontrol diri dan anak menjadi tergantung pada
lingkungannya. Akhirnya, anak akan kembali mundur pada kemampuan sebelumnya
atau regresi. Terhadap perlukaan yang dialami atau nyeri yang dirasakan karena
mendapatkan tindakan invasive, seperti injeksi, infus, pengambilan darah, anak akan
meringis, menggigit bibirnya, dan memukul.Walaupun demikian, anak dapat
menunjukkan lokasi rasa nyeri dan mengomunikasikan rasa nyerinya.
3. Masa prasekolah (3 sampai 6 tahun)
22
Perawatan anak di rumah sakit memaksa anak untuk berpisah dari lingkungan
yang dirasakannya aman, penuh kasih sayang, dan menyenangkan, yaitu lingkungan
rumah, permainan, dan teman sepermainannya. Reaksi terhadap perpisahan yang
ditunjukkan anak usia prasekolah adalah dengan menolak makan, sering bertanya,
menangis walaupun secara perlahan, dan tidak kooperatif terhadap petugas kesehatan.
Perawatan di rumah sakit juga membuat anak kehilangan control terhadap dirinya.
Perawatan di rumah sakit mengharuskan adanya pembatasan aktivitas anak sehingga
anak merasa kehilangan kekuatan diri. Perawatan di rumah sakit sering kali
dipersepsikan anak prasekolah sebagai hukuman sehingga anak akan merasa malu,
bersalah, atau takut. Ketakutan anak terhadap perlukaan muncul karena anak
menganggap tindakan dan prosedurnya mengancam integritas tubuhnya. Oleh karena
itu, hal ini menimbulkan reaksi agresif dengan marah dan berontak, ekspresi verbal
dengan mengucapkan kata-kata marah, tidak mau bekerja sama dengan perawat, dan
ketergantungan pada orang tua.
4. Masa Sekolah (6 sampai 12 tahun)
Perawatan anak di rumah sakit memaksa anak untuk berpisah dengan
lingkungan yang dicintainya, yaitu keluarga dan terutama kelompok sosialnya dan
menimbulkan kecemasan. Kehilangan control juga terjadi akibat dirawat di rumah sakit
karena adanya pembatasan aktivitas. Kehilangan control tersebut berdampak pada
perubahan peran dalam keluarga, anak kehilangan kelompok sosialnya karena ia biasa
melakukan kegiatan bermain atau pergaulan sosial, perasaan takut mati, dan adanya
kelemahan fisik. Reaksi terhadap perlukaan atau rasa nyeri akan ditunjukkan dengan
ekspresi baik secara verbal maupun nonverbal karena anak sudah mampu
mengomunikasikannya. Anak usia sekolah sudah mampu mengontrol perilakunya jika
merasa nyeri, yaitu dengan menggigit bibir dan/atau menggigit dan memegang sesuatu
dengan erat.
5. Masa Remaja (12 sampai 18 tahun)
Anak usia remaja memersepsikan perawatan di rumah sakit menyebabkan
timbulnya perasaan cemas karena harus berpisah dengan teman sebayanya. Apabila
harus dirawat di rumah sakit, anak akan merasa kehilangan dan timbul perasaan cemas
karena perpisahan tersebut. Pembatasan aktivitas di rumah sakit membuat anak
kehilangan kontrol terhadap dirinya dan menjadi bergantung pada keluarga atau petugas
23
kesehatan di rumah sakit. Reaksi yang sering muncul terhadap pembatasan aktivitias ini
adalah dengan menolak perawatan atau tindakan yang dilakukan padanya atau anak
tidak mau kooperatif dengan petugas kesehatan atau menarik diri dari keluarga, sesama
pasien, dan petugas kesehatan (isolasi). Perasaan sakit karena perlukaan atau
pembedahan menimbulkan respons anak bertanya-tanya, menarik diri dari lingkungan,
dan/atau menolak kehadiran orang lain (Supartini,2004) .
Pencegahan Dampak Hospitalisasi
Dirawat di rumah sakit bisa menjadi sesuatu yang menakutkan dan pengalaman
yang mengerikan bagi anak-anak. Anak seringkali mengalami hal-hal yang tidak
menyenangkan selama di rumah sakit, mulai dari lingkungan rumah sakit yang asing,
serta pengobatan maupun pemeriksaan yang kadang kala menyakitkan bagi si anak.
Oleh karena itu, peran perawat sangat diperlukan dalam upaya pencegahan dampak
tersebut.
1. Menurunkan atau mencegah dampak perpisahan dari keluarga
Dampak perpisahan dari keluarga, anak mengalami gangguan psikologis seperti
kecemasan, ketakutan, kurangnya kasih sayang, gangguan ini akan menghambat proses
penyembuhan anak dan dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan anak.
2. Meningkatkan kemampuan orang tua dalam mengontrol perawatan pada anak
Melalui peningkatan kontrol orang tua pada diri anak diharapkan anak mampu mandiri
dalam kehidupannya. Anak akan selalu berhati-hati dalam melakukan aktivitas seharihari, selalu bersikap waspada dalam segala hal. Serta pendidikan terhadap kemampuan
dan keterampilan orang tua dalam mengawasi perawatan anak.
3. Mencegah atau mengurangi cedera (injury) dan nyeri (dampak psikologis)
Mengurangi nyeri merupakan tindakan yang harus dilakukan dalam keperawatan anak.
Proses pengurangan rasa nyeri sering tidak bisa dihilangkan secara cepat akan tetapi
dapat dikurangi melalui berbagai teknik misalnya distraksi, relaksasi, imaginary.
Apabila tindakan pencegahan tidak dilakukan maka cedera dan nyeri akan berlangsung
lama pada anak sehingga dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan anak.
4. Tidak melakukan kekerasan pada anak
Kekerasan pada anak akan menimbulkan gangguan psikologis yang sangat berarti
dalam kehidupan anak. Apabila ini terjadi pada saat anak dalam proses tumbuh
24
L.
Asuhan Keperawatan
1) Pengkajian
1.
Identitas klien: selain nama klien, asal kota dan daerah, jumlah
keluarga.
Riwayat keluarga.
menarik diri.
Biasanya pada keluarga yang kurang mampu.
Masalah berhubungan dengan kondisi ekonomi, untuk sembuh
perlu waktu yang lama dan biaya yang banyak.Tidak bersemangat dan
putus harapan.
Lingkungan:
25
Pasien tidak percaya diri, pasif, kadang pemarah, selain itu Ketakutan dan
kecemasan akan muncul pada penderita TB paru dikarenakan kurangnya
pengetahuan tentang pernyakitnya yang akhirnya membuat kondisi penderita
menjadi perasaan tak berbedanya dan tak ada harapan. (Marilyn. E. Doenges,
2000)
8) Pola peran hubungan
Penderita dengan TB paru akan mengalami gangguan dalam
hal
Cardiovaskuler
Gejala
takikardia
(Doengoes, 2000)
Pemeriksaan Fisik
27
Inspeksi
Konjungtiva mata pucat karena anemia, malaise, badan kurus/ berat badan
menurun. Bila mengenai pleura, paru yang sakit terlihat agak tertinggal
dalam pernapasan.
Perkusi
Terdengar suara redup terutama pada apeks paru, bila terdapat kavitas
yang cukup besar, perkusi memberikan suara hipersonar dan timpani. Bila
mengenai pleura, perkusi memberikan suara pekak.
Auskultasi
Terdengar suara napas bronchial. Akan didapatkan suara napas tambahan
berupa rhonci basah, kasar dan nyaring. Tetapi bila infiltrasi ini diliputi
oleh penebalan pleura, suara napas menjadi vesikuler melemah. Bila
terdapat kavitas
yang cukup
besar, auskultasi
Palpasi
badan teraba hangat (demam)
Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan Laboratorium
aktif penyakit
Ziehl-Neelsen (pemakaian asam cepat pada gelas kaca untuk usapan
Biopsi jarum pada jaringan paru : Positif untuk granuloma TB; adanya sel
raksasa menunjukkan nekrosis.
Foto thorax : Infiltrasi lesi awal pada area paru atas simpanan kalsium lesi
sembuh primer atau efusi cairan perubahan menunjukan lebih luas
TB dapat termasuk rongga akan fibrosa. Perubahan mengindikasikan
TB yang lebih berat dapat mencakup area berlubang dan fibrous. Pada
foto thorax tampak pada sisi yang sakit bayangan hitam dan diafragma
menonjol ke atas.
adalah
penyakit pleural.
2.
sekret
darah,
kelemahan, upaya
batuk
buruk,
edema
trakeal/faringeal.
3. Gangguan pertukaran
berkurangnya
Klien
mengidentifikasi
interfensi
untuk
mencegah
resiko
penyebaran infeksi
30
Intervensi
1. Kaji patologi penyakit dan potensial penyebaran infeksi melalui droplet
udara selama batuk, bersin,meludah, bicara, tertawa ataupun menyanyi.
Untuk Membantu pasien menyadari/ menerima perlunya mematuhi
program
pengobatan
Pemahaman
untukmencegah
bagaimana
penyakit
pengaktifan
berrulang.
disebarkan
dan
faktor
resiko
individu
terhadap
pengaktifan
berulang
7.
Dx 2
Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan sekret kental atau
sekret darah, kelemahan, upaya batuk buruk, edema trakeal/faringeal.
Tujuan: Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 2x30 menit,
diharapkan bersihan jalan napas pasien efektif dengan kriteria hasil :
-
pernafasan teratur
Intervensi
Mandiri
1) Auskultasi suara nafas, perhatikan bunyi nafas abnormal
Untuk mengidentifikasi kelainan pernafasan berhubungan dengan
32
pasien dan
membantu
pengeluaran sekret
8) Lakukan fisioterapi dada sesuai indikasi
Fisioterapi dada terdiri dari postural drainase, perkusi dan fibrasi
yang dapat membantu dalam pengeluaran sekret klien sehingga jalan
nafas klien kembali efektif
9) Lakukan suction bila perlu
Membantu dalam pengeluaran sekret klien sehingga jalan nafas
klien
Kolaborasi
a. Berikan O2 sesuai indikasi
Memenuhi kebutuhan O2
b. Berikan obat sesuai indikasi misalnya bronkodilator, mukolitik,
antibiotik, atau steroid
Membantu membebaskan jalan napas secara kimiawi
Dx 3
Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan berkurangnya keefektifan
kerusakan membran alveolar kapiler.
Tujuan: Setelah diberikan askep selama 2x30 menit diharapkan
pertukaran gas kembali efektif dengan kriteria :
Pasien melaporkan keluhan sesak berkurang
Pasien melaporkan tidak letih atau lemas
Napas teratur
Tanda vital stabil
Hasil AGD dalam batas normal (PCO2 : 35-45 mmHg, PO2 : 95100 mmH
Intervensi : Mandiri
1.
2. Mengobservasi warna
kulit,
membran
serta
3. Mengobservasi
kondisi
yang
memburuk.
Mencatat
adanya
memantau
perubahan
proses
penyakit
dan
memfasilitasi
perubahan
Dx 4
Gangguan keseimbangan nutrisi, kurang dari kebutuhan berhubungan
dengan mual muntah dan intake tidak adekuat.
Tujuan: Setelah diberikan tindakan keperawatan diharapkan
kebutuhan
Intervensi:
35
Mandiri
1. Catat status nutrisi pasien: turgor kulit, timbang berat badan, integritas
mukosa mulut, kemampuan menelan, adanya bising usus, riwayat
mual/rnuntah atau diare.
Berguna dalam mendefinisikan derajat masalah dan intervensi yang
tepat
2. Kaji ulang pola diet pasien yang disukai/tidak disukai.
Membantu intervensi kebutuhan yang spesifik, meningkatkan intake diet
pasien.
3. Monitor intake dan output secara periodik.
Mengukur keefektifan nutrisi dan cairan.
4. Catat adanya anoreksia, mual, muntah, dan tetapkan jika ada
hubungannya dengan medikasi. Awasi frekuensi, volume, konsistensi
Buang Air Besar (BAB).
Dapat menentukan jenis diet dan mengidentifikasi pemecahan masalah
untuk meningkatkan intake nutrisi.
5. Anjurkan bedrest.
Membantu menghemat energi khusus saat demam terjadi peningkatan
metabolik.
6. Lakukan perawatan mulut sebelum dan sesudah tindakan pernapasan.
Mengurangi rasa tidak enak dari sputum atau obat-obat yang
digunakan yang dapat merangsang muntah.
7. Anjurkan makan sedikit dan sering dengan makanan tinggi protein dan
karbohidrat.
Memaksimalkan intake nutrisi dan menurunkan iritasi gaster.
Kolaborasi:
1. Rujuk ke ahli gizi untuk menentukan komposisi diet.
Memberikan bantuan dalarn perencaaan diet dengan nutrisi adekuat
36
2. Pantau TTV
Perubahan frekuensi
mengalami nyeri, khususnya bila alasan untuk perubahan tanda vital telah
terlihat.
3.
terapi
analgesik.
4. Tawarkan pembersihan mulut dengan sering.
Pernafasan mulut dan terapi oksigen dapat mengiritasi dan
mengeringkan membran mukosa, potensial ketidaknyamanan umum.
5. Anjurkan dan bantu pasien dalam teknik menekan dada selama
37
episode batuk.
Alat
untuk
mengontrol
ketidaknyamanan
dada
sementara
0
Suhu dalam rentang normal : 36,5-37,7 C.
Intervensi :
Mandiri
1) Pantau TTV
Untuk mengetahui keadaan umum pasien
2) Observasi suhu kulit dan catat keluhan demam
Untuk mengetahui peningkatan suhu tubuh pasien
3) Berikan
masukan
cairan
sesuai
kebutuhan
perhari,
kecuali
ada
kontraindikasi.
Untuk menanggulangi terjadinya syok hipovolemi
38
4)
Kolaborasi
1) Kolaborasi pemberian cairan IV.
Untuk menanggulangi terjadinya syok hipovolemi
2) Kolaborasi pemberian obat antipiretik
Untuk menurunkan suhu tubuh yang bekerja langsung di hipotalamus
Dx 7
Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidak seimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen.
Tujuan:
Setelah
diberikan
tindakan
keperawatan
pasien
diharapkan
mampu
Intervensi:
1.
laporan
dispnea,
3.
Dx 8
Kurang
pengetahuan
tentang
kondisi,
pengobatan,
pencegahan
diberikan
tindakan
keperawatan
tingkat
pengetahuan
pasien
pemahaman
proses
penyakit/prognosisdan
kebutuhan
pengobatan.
Melakukan perubahan prilaku dan pola hidup unruk memperbaiki
kesehatan umurn
dan
menurunkan
resiko
pengaktifan
ulang
luberkulosis paru.
Mengidentifikasi gejala yang mernerlukan evaluasi/intervensi.
Menerima perawatan kesehatan adekuat.
Intervensi
1.
penglihatan,
kering,
kepala, peningkatan
konstipasi,
tekanan
darah.
yang
cukup
dapat
mengurangi
resiko
penularan/
efusi
pleura,
empierna,
bronkiektasis,
41
4) Evaluasi
Dx 1 : Bersihan jalan nafas pasien kembali efektif
Dx 2 : pertukaran gas pasien efektif
Dx 3 : Nutrisi terpenuhi/ adekuat
Dx 4 : Nyeri berkurang atau hilang
Dx 5 : Suhu tubuh pasien kembali normal
Dx 6 : Klien dapat beraktivitas tanpa kelelahan
Dx 7 : Klien tahu dan mengerti tentang penyakit serta pengobatannya
42