Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN
Glaukoma berasal dari kata Yunani glaukos yang berarti hijau kebiruan,
yang memberikan kesan warna tersebut pada pupil penderita glaukoma. Glaukoma
adalah suatu keadaan tekanan intraokuler/tekanan dalam bola mata relatif cukup besar
untuk menyebabkan kerusakan papil saraf optik dan menyebabkan kelainan lapang
pandang. Di Amerika Serikat, glaucoma ditemukan pada lebih 2 juta orang, yang
akan beresiko mengalami kebutaan. Survei Kesehatan Indera Penglihatan tahun 19931996 yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia mendapatkan
bahwa glaucoma merupakan penyebab kedua kebutaan sesudah katarak (prevalensi
0,16%). Katarak 1,02%, Glaukoma 0,16%, Refraksi 0,11% dan Retina 0,09%. Akibat
dari kebutaan itu akan mempengaruhi kualitas hidup penderita terutama pada usia
produktif, sehingga akan berpengaruh juga terhadap sumberdaya manusia pada
umumnya dan khususnya Indonesia.
Berdasarkan etiologi, glaukoma dibagi menjadi 4 bagian; glaukoma primer,
glaukoma kongenital, glaukoma sekunder dan glaukoma absolut sedangkan
berdasarkan mekanisme peningkatan tekanan intraokular glaukoma dibagi
menjadi dua, yaitu glaukoma sudut terbuka dan glaukoma sudut tertutup (Vaughan,
2007). D a r i

semua

jenis

glaukoma

di

atas,

glaukoma

absolut

m e r u p a k a n h a s i l a t a u stadium akhir semua glaukoma yang tidak terkontrol,


yaitu dengan kebutaan total dan bola mata nyeri (Irianto, 2011).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Glaukoma
Glaukoma merupakan penyakit yang ditandai dengan neuropati saraf optik
dan defek lapangan pandang yang seringkali disebabkan karena peningkatan tekanan
intraokuler. Glaukoma dapat mengganggu fungsi penglihatan dan bahkan pada
akhirnya dapat mengakibatkan kebutaan. Glaukoma merupakan penyakit yang tidak
dapat dicegah namun bila diketahui secara dini dan dikendalikan maka glaukoma
dapat diatasi untuk mencegah kerusakan lebih lanjut. Penemuan dan pengobatan
sebelum terjadinya gangguan penglihatan adalah cara terbaik untuk mengontrol
glaukoma. Glaukoma dapat bersifat akut dengan gejala yang nyata dan bersifat kronik
yang hampir tidak menunjukkan gejala (Wulansari, 2007).

Gambar 1. Lapangan pandang normal dan glaucoma


2.2 Klasifikasi
Klasifikasi untuk Vaughen untuk glaucoma adalah sebagai berikut:
a Glaukoma primer
glaucoma sudut terbuka (glaucoma simpleks)
glaucoma sudut sempit
b Glaukoma kongenital
primer atau infantile
menyertai kelainan kongenital lainnya
2

c Glaukoma sekunder
perubahan lensa
kelainan uvea
trauma
bedah
rubeosis
steroid dan lainnya
d Glaukoma absolut
Dari pembagian di atas dapat dikenal glaucoma dalam bentuk-bentuk:
glaucoma sudut sempit primer dan sekunder(dengan blockade pupil

atau tanpa blockade pupil)


glaucoma sudut terbuka primer dan sekunder
kelainan pertumbuhan, primer (kongenital,

infantile,juvenile),

sekunder kelainan pertumbuhan lain pada mata


2.3 Faktor Resiko
Glaukoma lebih sering terjadi pada umur di atas 40 tahun. Beberapa faktor
resiko lainnya untuk terjadi glaukoma, antara lain:

Faktor genetik, riwayat glaukoma dalam keluarga.

Penyakit hipertensi

Penyakit diabetes dan penyakit sistemik lainnya.

Kelainan refraksi berupa miopi dan hipermetropi

Ras tertentu

2.4 Epidemologi Glaukoma


Diseluruh dunia, glaukoma dianggap sebagai penyebab kebutaan yang
tertinggi, 2% penduduk berusia lebih dari 40 tahun menderita glaukoma. Glaukoma
dapat juga didapatkan pada usia 20 tahun, meskipun jarang. Pria lebih banyak
diserang daripadawanita (Vaughan, 2007).
Di seluruh dunia, kebutaan menempati urutan ketiga sebagai ancaman yang
menakutkan setelah kanker dan penyakit jantung koroner (Pertiwi; Friyeko, 2010). Di
Amerika Serikat, kira-kira 2 juta orang pada usia 40 tahun dan yang lebih tua
mengidap glaukoma, sebanyak 120.000 adalah buta disebabkan penyakit ini.
Banyaknya

Orang

Amerika

yang

terserang

glaukoma

diperkirakan

akan
3

meningkatkan sekitar 3.3 juta pada tahun 2020. Tiap tahun, ada lebih dari 300.000
kasus glaukoma yang baru dan kira-kira 5400 orang-orangmenderita kebutaan.
Glaukoma akut (sudut tertutup) merupakan 10-15% kasus padaorang Kaukasia.
Persentase ini lebih tinggi pada orang Asia, terutama pada orang Burmadan Vietnam
di Asia Tenggara. Glaukoma pada orang kulit hitam, lima belas kali lebih
menyebabkan kebutaan dibandingkan orang kulit putih (Vaughan, 2007; AHAF,
2010).
Diketahui bahwa angka kebutaan di Indonesia menduduki peringkat pertama
untuk kawasan Asia Tenggara. Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), angka
kebutaan di Indonesia mencapai 1,5% atau sekitar 3 juta orang. Persentase itu
melampaui negara Asia lainnya seperti Bangladesh dengan 1%, India 0,7% dan
Thailand 0,3% ( Pertiwi; Friyeko, 2010). Menurut Survei Kesehatan Indera
Penglihatan dan Pendengaran tahun 1993-1996, kebutaan tersebut disebabkan oleh
katarak (0,78%), glaukoma (0,2%), kelainan refraksi (0,14%) dan penyakit lain yang
berhubungan dengan usia lanjut (0,38%).
Glaukoma akan lebih sering ditemukan pada ( Pertiwi; Friyeko S, 2010):
1. Tekanan intarokuler yang tinggi
Tekanan intraokulera/bola mata di atas 21 mmHg berisiko tinggi terkena
glaukoma. Meskipun untuk sebagian individu, tekanan bola mata yang lebih rendah
sudah dapat merusak saraf optik.
2. Umur
Risiko glaukoma bertambah tinggi dengan bertambahnya usia. Terdapat 2% dari
populasi 40 tahun yang terkena glaukoma

3. Riwayat glaukoma dalam keluarga


Glaukoma jenis tertentu, anggota keluarga penderita galukoma mempunyai risiko
6 kali lebih besar untuk terkena glaukoma. Risiko terbesar adalah kakak-beradik
kemudian hubungan orang tua dan anak-anak.
4.Obat-obatan
4

Pemakaian steroid secara rutin, misalnya pemakaian tetes mata yang mengandung
steroid yang tidak terkontrol dapat menginduksi terjdinya glaukoma
5.Riwayat trauma pada mata
6.Riwayat penyakit lain
Riwayat penyakit Diabetes, Hipertensi
7. Di Amerika terdapat lebih banyak pada masyarakat kulit berwarna.
Adapun beberapa faktor resiko yang dapat mengarah pada kerusakan
glaukoma (Surya, 2010):

Peredaran darah dan regulasinya, darah yang kurang akan menambah


kerusakan

Tekanan darah rendah atau tinggi

Fenomena autoimun

Degenasi primer sel-sel ganglion

Usia di atas 40 tahun

Miopia berbakat untuk menjadi glaukoma sudut terbuka

Himetropia berbakat untuk terjadinya glaukoma sudut tertutup

Pasca bedah dengan hifema atau infeksi

2.5 Patofisiologi
Cairan aqueus diproduksi dari korpus siliaris, kemudian mengalir melalui
pupil ke kamera okuli posterior (COP) sekitar lensa menuju kamera okuli anterior
(COA) melalui pupil. Cairan aqueus keluar dari COA melalui jalinan trabekula
menuju kanal Schlemms dan disalurkan ke dalam sistem vena.

Gambar 2. Aliran normal humor aquous


Beberapa mekanisme peningkatan tekanan intraokuler:
a. Korpus siliaris memproduksi terlalu banyak cairan bilik mata, sedangkan
pengeluaran pada jalinan trabekular normal
b. Hambatan pengaliran pada pupil sewaktu pengaliran cairan bilik mata belakang ke
bilik mata depan
c. Pengeluaran di sudut bilik mata terganggu.
Glaukoma sudut terbuka ditandai dengan sudut bilik mata depan yang terbuka,
dan kemampuan jalinan trabekula untuk mengalirkan cairan aqueus menurun (gambar
3b). Glaukoma sudut tertutup ditandai dengan tertutupnya trabekulum oleh iris
perifer, sehingga aliran cairan melalui pupil tertutup dan terperangkap di belakang iris
dan mengakibatkan iris mencembung ke depan. Hal ini menambah terganggunya
aliran cairan menuju trabekulum (gambar 3b).

Gambar 3.(a) Aliran humor aquous pada glaucoma sudut terbuka, (b) Aliran humor
aquous pada glaucoma sudut tertutup
Mekanisme utama kehilangan penglihatan pada glaukoma adalah apoptosis
sel ganglion retina. Optik disk menjadi atropi, dengan pembesaran cup optik. Efek
dari peningkatan tekanan intraokuler dipengaruhi oleh waktu dan besarnya
peningkatan tekanan tersebut. Pada glaukoma akut sudut tertutup, Tekanan Intra
Okuler (TIO) mencapai 60-80 mmHg, mengakibatkan iskemik iris, dan timbulnya
edem kornea serta kerusakan saraf optik. Pada glaukoma primer sudut terbuka, TIO
biasanya tidak mencapai di atas 30 mmHg dan kerusakan sel ganglion retina
berlangsung perlahan, biasanya dalam beberapa tahun.
2.6 Manifestasi Klinis
Pasien dengan glaukoma primer sudut terbuka (glaukoma kronik sudut
terbuka) dapat tidak memberikan gejala sampai kerusakan penglihatan yang berat
terjadi, sehingga dikatakan sebagai pencuri penglihatan. Berbeda pada glaucoma akut
sudut tertutup, peningkatan tekanan TIO berjalan cepat dan memberikan gejala mata
merah, nyeri dan gangguan penglihatan.
a. Peningkatan TIO
Normal TIO berkisar 10-21 mmHg (rata-rata 16 mmHg). Tingginya TIO
menyebabkan kerusakan saraf optik tergantung beberapa faktor, meliputi tingginya
TIO dan apakah glaukoma dalam tahap awal atau lanjut. Secara umum, TIO dalam
rentang 20-30 mmHg biasanya menyebabkan kerusakan dalam tahunan. TIO yang
7

tinggi 40-50 mmHg dapat menyebabkan kehilangan penglihatan yang cepat dan
mencetuskan oklusi pembuluh darah retina.
b. Halo sekitar cahaya dan kornea yang keruh
Kornea akan tetap jernih dengan terus berlangsungnya pergantian cairan oleh selsel endotel. Jika tekanan meningkat dengan cepat (glaukoma akut sudut tertutup),
kornea menjadi penuh air, menimbulkan halo di sekitar cahaya.
c. Nyeri. Nyeri bukan karakteristik dari glaukoma primer sudut terbuka.
d. Penyempitan lapang pandang
Tekanan yang tinggi pada serabut saraf dan iskemia kronis pada saraf optic
menimbulkan kerusakan dari serabut saraf retina yang biasanya menghasilkan
kehilangan lapang pandang (skotoma). Pada glaukoma stadium akhir kehilangan
lapang penglihatan terjadi sangat berat (tunnel vision), meski visus pasien masih 6/6.
e. Perubahan pada diskus optik. Kenaikan TIO berakibat kerusakan optik berupa
penggaungan dan degenerasi papil saraf optik.
f. Oklusi vena
g. Pembesaran mata
Pada dewasa pembesaran yang signifikan tidak begitu tampak. Pada anak-anak
dapat terjadi pembesaran dari mata (buftalmus).
2.7 Pemeriksaan Penunjang
Penderita dengan dugaan glaukoma harus dilakukan pemeriksaan sebagai berikut:
1. Perimetri
Alat ini berguna untuk melihat adanya kelainan lapang pandangan yang
disebabkan oleh kerusakan saraf optik2. Beberapa perimetri yang digunakan antara
lain:

Perimetri manual: Perimeter Lister, Tangent screen, Perimeter Goldmann

Perimetri otomatis

Perimeter Oktopus

2. Tonometri
Alat ini digunakan untuk pengukuran TIO. Beberapa tonometri yang digunakan
antara lain tonometer Schiotz, tonometer aplanasi Goldman, tonometer Pulsair, TonoPen, tonometer Perkins, non kontak pneumotonometer.
3. Oftalmoskopi
Oftalmoskopi yaitu pemeriksaan untuk menentukan adanya kerusakan saraf optik
berdasarkan penilaian bentuk saraf optik. Rasio cekungan diskus (C/D) digunakan
untuk mencatat ukuran diskus otipus pada penderita glaukoma. Apabila terdapat
peninggian TIO yang signifikan, rasio C/D yang lebih besar dari 0,5 atau adanya
asimetris yang bermakna antara kedua mata, mengidentifikasikan adanya atropi
glaukomatosa.
4. Biomikroskopi
Untuk menentukan kondisi segmen anterior mata, dengan pemeriksaan ini dapat
ditentukan apakah glaukomanya merupakan glaukoma primer atau sekunder.
5. Gonioskopi
Tujuan dari gonioskopi adalah mengidentifikasi kelainan struktur sudut,
memperkirakan kedalaman sudut bilik serta untuk visualisasi sudut pada prosedur
operasi.
6. OCT (Optical Coherent Tomography). Alat ini berguna untuk mengukur ketebalan
serabut saraf sekitar papil saraf.
7. Fluorescein angiography
8. Stereophotogrammetry of the optic disc
2.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan penyakit glaukoma antara lain:
a. Medikamentosa
1. Penekanan pembentukan humor aqueus, antara lain:

adrenegik bloker topikal seperti timolol maleate 0,25 - 0,50 % 2 kali sehari,
betaxolol 0.25% dan 0.5%, levobunolol 0.25% dan 0.5%, metipranolol 0.3%,
dan carteolol 1%
9

apraklonidin

inhibitor karbonik anhidrase seperti asetazolamid (diamox) oral 250 mg 2 kali


sehari, diklorofenamid, metazolamid

2. Meningkatkan aliran keluar humor aqueus


seperti: prostaglandin analog, golongan parasimpatomimetik, contoh:
pilokarpin tetes mata 1 - 4 %, 4-6 kali sehari, karbakol, golongan epinefrin
3. Penurunan volume korpus vitreus.
4. Obat-obat miotik, midriatikum, siklopegik
b. Terapi operatif dan laser
1. Iridektomi dan iridotomi perifer
2. Bedah drainase glaukoma dengan trabekulektomi, goniotomi.
3. Argon Laser Trabeculoplasty (ALT)

10

BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas Pasien
Nama

: Ny. R

Umur

: 33 tahun

Jenis Kelamin

: Perempuan

Pekerjaan

: Ibu Rumah Tangga

Tempat tinggal

: JR. Pabalutan kec. rambatan kabupaten tanah datar

Tanggal pemeriksaan : 13 Januari 2017


3.2 Anamnesa
Keluhan Utama:
Penglihatan kabur pada mata sebelah kiri sejak 10 tahun sebelum ke poliklinik
Riwayat Penyakit Sekarang:
Penglihatan kabur pada mata sebelah kiri sejak 10 tahun sebelum ke
poliklinik. Semakin lama semakin kabur secara perlahan, pandangan semakin sempit.
Pasien juga mengeluhkan mata sebelak kiri membayang jika melihat ke sanping.
Pasien mengeluhkan mata sebelah kanan juga kabur tetapi tidak terlalu parah, melihat
jarak jauh tidak jelas. Pasien mengeluhkan kepala sakit secara tiba-tiba sesekali tetapi
sebulan ini makin berat. Pasien tidak ada keluhan air mata berlebihan atau kotoran
mata yang berlebihan.
Riwayat Penyakit Dahulu:

Pasien pernah jatuh dari motor 5 tahun yang lalu

DM disangkal

HT disangkal

Penyakit jantung disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga:


11

Tidak ada keluarga dengan penyakit yang sama


3.3 Status Oftalmologi
OD

OS

3/60

1/2/60

-5,00

-5,00

Visus

Non Corrected

Cum Corrected
Pin Hole
Reflek Fundus
Silia/Supersilia

Madarosis

Trikhiasis

Krusta/Skuama

Distikhiasis
Palpebra Superior

Ptosis/pseudo ptosis

Epikanthus

Hordeolum

Kalazion

Abses

Tumor

Xanthelasma

Nevus

Edema

Blefarokalasis

Enteropion

Ekteropion
Palpebra Inferior

Tidak dilakukan
Tidak ada kelainan

Tidak dilakukan
Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

Hordeolum

12

Kalazion

Abses

Tumor

Nevus

Edema

Blefaritis

Enteropion

Ekteropion

Meibomitis
Aparatas Lakrimalis

Hiperlakrimalis

Obstruksi

Epifora

Dakristenosis
Konjungtiva Tarsalis

Folikel

Papil

Lithiasis

Hiperemis

Sikatrik

Membran

Pseudomembran
Konjungtiva Bulbi

Injeksi konjungtiva

Injeksi silia

Kemosis

Perdarahan

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

sub

konjungtiva
13

Sklera
Warna
Kornea

Infiltrat

Sikatrik

Ulkus

Edema

Neovaskularisasi

Arkus kornea
Kamera Okuli Anterior

Kedalaman

Flare

Hipopion

Hifema

Pigmen

Iris

Warna

Rugae

Atropi iris

Coloboma

Putih
Tidak ada kelainan

Putih
Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

Normal

Normal

Sinekia
Pupil

Bentuk

Reflek

pupil Normal

Tidak ada

Reflek pupil tidak Normal

Tidak ada

langsung

langsung
Lensa

bening/keruh

Keruh

Keruh
14

Kelainan letak
Korpus Vitreus
Funduskopi

Media

Papil N. Optikus
Warna
Batas
Cup/disk

Pembuluh darah
Aa:Vv

Retina perifer
Perdarahan
Eksudat
Pigmentasi
Sikatrik

Makula

Refleks
Tekanan Bulbus Okuli
Gerakan Bulbus Okuli
Posisi Bulbus Okuli
3.4 Diagnosa

Bebas
Sentral

Bebas
Sentral

Susp Glaukoma OS

3.5 Terapi

Asetazolamid 250 mg x 4/hari

Timolol 0,5% 2x1 tetes per/hari

Pilokarpin 2-4%

3.6 Prognosis

Ad vitam

Ad funtionam : Dubia ad malam

: Bonam

- Ad sanationam

: Dubia ad malam

BAB IV
15

PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Glaukoma merupakan penyakit yang ditandai dengan neuropati saraf optik
dan defek lapangan pandang yang seringkali disebabkan karena peningkatan tekanan
intraokuler. Glaukoma dapat mengganggu fungsi penglihatan dan bahkan pada
akhirnya dapat mengakibatkan kebutaan. Glaukoma merupakan penyakit yang tidak
dapat dicegah namun bila diketahui secara dini dan dikendalikan maka glaukoma
dapat diatasi untuk mencegah kerusakan lebih lanjut. Karena sudah mencapai tahap
glaukoma , maka penatalaksanaan pada pasien ini hanya terbatas untuk menurunkan
TIO.

DAFTAR PUSTAKA
16

American Academy of Ophthalmology. 2005-2006. Glaucoma. San Fransisco: AAO.


Ilyas, S. 2001. Kedaruratan Dalam Ilmu Penyakit Mata . Jakarta: Balai
Penerbit FKUI. Hal 219-244
Japan Glaucoma Society. 2006. Guidelines for Glaucoma. 2 nd Edition.
Tokyo: Japan Glaucoma Society
Kanski, Jack J. 2005. Clinical Ophthalmology. Toronto: Butterworth Heinemann. pp
192-269
Khurana AK. 2005. Ophthalmology. 3rd Edition. New Delhi: New Age International.
pp 235
Maraffa, M., De Natale, R., Marchini, G., et al. 1999. Is there a Relationship Between
Visual Field Defects and Retinal Fiber Loss in Glaucoma. University Eye
Clinic of Verona, Italy. Dalam Perimetry Update 1998/1999, pp 413-416
Oktariana, VD. 2009. Dokter Umum Bisa Bantu Cegah Kebutaan Glaukoma.
http://www.perdami.or.id/?page=news.detail&id=7. Diakses 04 Januari 2012.
OShea,

J.

2003.

Visual

Fields

in

Glaucoma.

http://medweb.bham.ac.uk/easdec/eyetextbook/Visual%20Fields%20in
%20Glaucoma.pdf. Diakses 28 Desember 2011
Pavan-Langston, D and Grosskreutz, CL. 2002. Glaucoma in Manual of Ocular
Diagnosis and Therapy. 5th Ed. USA: Lippincott William Wilkins, pp 251285.

17

Anda mungkin juga menyukai