Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN KASUS KEMATIAN

SYOK SEPTIK E.C. HOSPITAL ACQUIRED PNEUMONIA (HAP)

Oleh :
dr. Ahmad Zaki

Narasumber :
dr. Agustina Parmayanti, Sp.PD

INTERNSHIP RSUD DR. R. SOETIJONO


PERIODE 1 JUNI 2015 30 MEI 2016
BLORA
2015

Berita Acara Presentasi Kasus Kematian

Pada hari ini hari Jumat, tanggal 8 Desember 2015 telah dipresentasikan kasus kematian
oleh:
Nama

: dr. Ahmad Zaki

Judul/ topik

: Syok Septik e.c. HAP

No. ID dan Nama Pendamping

: dr. Ken Mardyanah

No. ID dan Nama Narasumber

: dr. Agustina Parmayanti, Sp.PD

No. ID dan Nama Wahana

: RSUD dr. R. Soetijono Blora

Nama Peserta Presentasi


1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.

No. ID Peserta

Tanda Tangan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.

Berita acara ini ditulis dan disampaikan sesuai dengan yang sesungguhnya.
Pendamping

dr. Ken Mardyanah


NIP. 196002262006042002
No. ID dan Nama Peserta : dr. Ahmad Zaki
Presenter : dr. Ahmad Zaki
No. ID dan Nama Wahana : RSUD dr. R. Soetijono Pendamping : dr. Ken Mardyanah
Blora

TOPIK : Syok Septik e.c. HAP


Tanggal (kasus) : 27 Oktober 2015
Nama Pasien
: Ny. S/ 70 th
No. RM : 321650
Tanggal Presentasi :
Pendamping : dr. Ken Mardyanah
Tempat Presentasi : RSUD dr. R. Soetijono Blora
OBJEKTIF PRESENTASI
o Keilmuan
o Keterampilan
o Penyegaran
Tinjauan Pustaka
Diagnostik
Manajemen
o Masalah
o Istimewa
o Neonatus
o Bayi
o Anak
o Remaja
Dewasa o Lansia o Bumil
o Deskripsi :
Ny. S, 70 tahun dibawa keluarganya pukul 13.45 ke RSUD BLORA dengan penurunan
kesadaran sejak pukul 11.00, disertai dengan nafas cepat dan dalam. Pasien juga demam
serta keluar keringat dingin. Tadi pagi pasien masih bisa diajak komunikasi seperti biasa
hanya merasa lemas, kemudian pasien ingin tidur tapi tiba-tiba tidak bisa diajak
komunikasi. Sehari sebelumnya pasien baru pulang dirawat di puskesmas jiken selama 3
hari karena diare dan dinyatakan sembuh kemudian pasien pulang.
o Tujuan:
1. Mengetahui etiologi kematian pada pasien
2. Mengetahui etiologi, patogenesis, penatalaksanaan pada Pneumonia dan syok septik
Bahan Bahasan Tinjauan Pustaka o Riset
Kasus
o Audit
Cara Membahas o Diskusi
Presentasi
o E-mail
o Pos
dan Diskusi
DATA PASIEN
Nama : Ny. S
No Registrasi : 321650
Nama klinik : ICU
Telp : Terdaftar sejak : 27/10/2015
Data utama untuk bahan diskusi:
1. Diagnosis : Syok Septik e.c. HAP
Gambaran Klinis : Ny. S, 70 tahun dibawa keluarganya pukul 13.45 ke RSUD
BLORA dengan penurunan kesadaran sejak pukul 11.00, disertai dengan nafas cepat
dan dalam. Pasien juga demam serta keluar keringat dingin. Menurut keluarga pasien
demam selama 4 hari. Tadi pagi pasien masih bisa diajak komunikasi seperti biasa
hanya merasa lemas, kemudian pasien ingin tidur tapi tiba-tiba tidak bisa diajak
komunikasi dan sesak nafas. Sehari sebelumnya pasien baru pulang dirawat di
puskesmas jiken selama 3 hari karena diare dan dinyatakan sembuh kemudian pasien
pulang. Menurut keluarga, Pasien dirawat karena BAB cair sehari lebih dari 5 kali,
lendir darah tidak ada, mual muntah sehari 1x. pasien demam saat diare. Di
puskesmas, menurut keluarga pasien dirawat selama 3 hari di IGD puskesmas karena
ruangan penuh. Saat pulang dari puskesmas diare sudah sembuh tetapi masih agak
demam. Setelah pulang dari puskesmas malamnya pasien merasa agak sesak dan
demam sampai menggigil . Setelah minum obat penurun panas dari puskesmas pasien
merasa enakan dan memutuskan untuk tidur. Bangun tidur pasien masih demam dan
sesak nafas sampai akhirnya pasien tidak bisa di ajak komunikasi dan setelah itu
keluarga memutuskan untuk membawa pasien ke RSUD BLORA.
2. Riwayat Pengobatan : (+) obat hipertensi, tetapi tidak rutin minum dan kontrol
3. Riwayat Kesehatan/ Penyakit : pasien punya riwayat darah tinggi tidak terkontrol,
kencing manis disangkal, jantung disangkal. Batuk berdahak disangkal
4. Riwayat Pekerjaan : sebelum sakit bekerja sebagai ibu rumah tangga

5. Kondisi Lingkungan Sosial dan Fisik : pasien tinggal bersama 1 anak dan 3 cucunya,

suaminya sudah meninggal sat pasien masih muda


6. Lain-lain : (-)
DAFTAR PUSTAKA:
1. American Thoracic Society. Guidelines for management of adults with communityacquired pneumonia. Diagnosis, assessment of severity, antimicrobial therapy, and
prevention. Am J Respir Crit.Care Med 2001; 163: 1730-54
2. Bartlett JG.2001 : Hospital acquired pneumonia, in Management of Respiratory Tract
Infections. Ed Bartlett JG, Lippincott Williams & Wilkins, 3rd, pp 71-8.
3. Berezin EB. Treatment and prevention of nosocomial pneumonia. Chest 1995; 108:
1S-16S
4. Fiel S. Guidelines and critical pathways for severe Hospital-acquired Pneumonia.
Chest 2001; 119 : 412S-8S.
5. Guyton AC, Hall JE. 2006. Syok Sirkulasi dan Fisiologi Pengobatan in: Buku Ajar
Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. EGC. Jakarta. pp. 359-372
6. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.2003. Pneumonia Nosokomial : Pedoman
diagnosis dan penatalaksanaan diindonesia.
HASIL PEMBELAJARAN:
1. Pengetahuan tentang etiologi kematian pada pasien
2. Pengetahuan tentang etiologi, patogenesis, penatalaksanaan Pneumonia dan syok
septik
1. SUBJEKTIF
Alloanamnesa
RPS : Ny. S, 70 tahun dibawa keluarganya pukul 13.45 ke RSUD BLORA
dengan penurunan kesadaran sejak pukul 11.00, disertai dengan nafas cepat dan dalam.
Pasien juga demam menggigil serta keluar keringat dingin. Menurut keluarga pasien
demam selama 4 hari. Tadi pagi pasien masih bisa diajak komunikasi seperti biasa
hanya merasa lemas, kemudian pasien ingin tidur tapi tiba-tiba tidak bisa diajak
komunikasi dan sesak nafas. Sehari sebelumnya pasien baru pulang dirawat di
puskesmas jiken selama 3 hari karena diare dan dinyatakan sembuh kemudian pasien
pulang. Menurut keluarga, Pasien dirawat karena BAB cair sehari lebih dari 5 kali,
lendir darah tidak ada, mual muntah sehari 1x. pasien demam saat diare.
Di puskesmas, menurut keluarga, pasien dirawat selama 3 hari di IGD
puskesmas karena ruangan penuh. Saat pulang dari puskesmas diare sudah sembuh
tetapi masih agak demam. Setelah pulang dari puskesmas malamnya pasien merasa
agak sesak dan demam sampai menggigil . Setelah minum obat penurun panas dari
puskesmas pasien merasa enakan dan memutuskan untuk tidur. Bangun tidur pasien
masih demam dan sesak nafas sampai akhirnya pasien tidak bisa di ajak komunikasi
dan setelah itu keluarga memutuskan untuk membawa pasien ke RSUD BLORA.

2. OBJEKTIF
Keadaan Umum/Kesadaran : Lemah tampak sesak / GCS : E3V4V2
Status Gizi
: BB: 65 kg
TB: 160 cm
BMI: 25,3 Overweight
Tanda vital
o Tekanan darah : 90/50 mmHg
o Nadi
: 130 x/ menit
o Nafas
: 32 x/ menit
o Suhu
: 40,7 oC
Kepala
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor
Hidung : discharge (-), nafas cuping hidung (+)
Mulut : gusi berdarah (-), papil lidah atrofi (-), bibir sianosis (+)
Leher : simetris, pembesaran limfonodi leher (-)
Thoraks
Pulmo
Inspeksi : Simetris, sela iga melebar (-), ketinggalan gerak (-)
Palpasi : Fokal fremitus kanan = kiri
Perkusi
: Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : suara vesikuler (+ / + ), ronkhi basah kasar (+/+)
Cor
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi
: Ictus cordis teraba di SIC V LMCS, tidak kuat angkat
Perkusi
: batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : S1-S2 regular, bising jantung (-)
Abdomen
Inspeksi
: dinding perut cembung
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi

: Hiper Timpani (+), pekak alih pekak sisi (-)

Palpasi

: supel, nyeri tekan (-), hepar/ lien tidak


teraba , undulasi tes (-)

Ekstremitas
Akral dingin, CRT > 2 detik, edema (-/-), SpO2 : 90%

3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium tanggal 27 Oktober 2015
Hematologi Rutin
HASIL
Satuan
Hb
13,6
g/dl
42,7
HCT

34,2
AL
103/l
259
AT
103/l

Rujukan
12,0-18,0
35-47
4,0-11,0
150-450

Golongan Darah
KIMIA KLINIK
GDS
Ureum
Kreatinin
SGOT
SGPT
URIN RUTIN
Glukosa
Bilirubin
Benda keton
Berat jenis
Darah
PH
Protein
Urobilinogen
Nitrit
leukosit

b. EKG 27 Oktober 2015

A/B/AB/O

152
42
2,45
50
47

mg/dL
mg/dL
mg/dL
U/L
U/L

Negatif
1+
Trace
1,025
3+
5,5
2+
3,2
Negatif
1+

<200
<50
0,7-1,3
<35
<37
Negatif
Negatif
Negatif
>1,005-<1030
Negatif
5,0-9,0
Negatif
0,2-1,0E U/Dl
Negatif
Negatif

Sinus takikardi, normoaksis


4. ASESSMENT
Sepsis berat e.c. HAP
5. PLAN
Penatalaksanaan di UGD
Jam
Tanda vital
13.45 TD: 90/50 mmHg
HR: 130x/menit
RR: 32x/menit
t: 40,2 0C
SpO2: 90%
14.00 TD: 100/60 mmHg
HR: 129x/menit
RR: 40x/menit
t: 40 0C
SpO2: 90%
14.30 TD: 140/90 mmHg
HR: 129x/menit
RR: 36x/menit
t: 40,2 0C
SpO2: 90%
Perjalanan kematian
Tanggal

Terapi
O2 NRM 8 lpm
Infus NaCl 0,9 % Loading 200 cc
Pasang DC
Cek darah rutin, GDS, Ureum,
Kreatinin,SGOT,SGPT, Urin rutin
O2 NRM 8 lpm
Infus NaCl 0,9% 150 cc

O2 NRM 8 lpm
Infus NaCl 0,9 % 150 cc
Inj. Cefotaxim 1gr
Inj. Ranitidin 1 Amp
Rawat ICU

Tanggal

27 Oktober 2015
Pukul 16.00
KU
Nafas cepat dan dalam, apatis,
keringat dingin
PF TD: 140/76 mmhg
HR: 128x/menit
RR: 40x/menit
t: 39.7 0C
SpO2: 90%
Pulmo :
I :Pengembangan dada kanan=kiri
P : Fremitus raba kanan = kiri
P : sonor/sonor
A : SDV (+/+), RBK (+/+)
Dx Sepsis berat e.c. HAP
Tx Konsul residen interna
Advise :
- 02 8 lpm
- IVFD Nacl 0,9% 30 tpm
- Inj cefotaxim stop diganti
inj levofloxacin 750mg/24 jam
- Inj metronidazol 500mg/8 jam
- Drip paracetamol 500mg/8 jam
- Inj ranitidin 50mg/12 jam
- In metylprednisolon 20mg/8 jam
- Awasi tanda vital dan diuresis

27 Oktober 2015
17.30
Nafas cepat dan dalam, apatis,
keringat dingin
TD: 64/32 mmhg
HR: 109x/menit
RR: 40x/menit
t: 39.7 0C
SpO2: 87%
Pulmo :
I :Pengembangan dada kanan=kiri
P : Fremitus raba kanan = kiri
P : sonor/sonor
A : SDV (+/+), RBK (+/+)
Syok sepsis e.c. HAP
Loading NaCl/RL 250 cc
Tensi tidak naik setelah loading
17.43 pasien Apneu
TD : 38/palpasi
N : 27 x/menit
RR : Dilakukan Bagging + RJP 5 sirklus
+ 1 Amp Adrenalin pasien nafas
spontan

Pukul 18.00
TD : 123/51 mmHG
HR : 105 x/menit
R : 26 x/menit
S : 40,2
SpO2 : 86 %
Pukul 18.20
TD : 78/42 mmHG
N : 101 x/menit
R : 40 x/menit
S : 39,9 C
SpO2 : 79 %

Konsul residen interna :


Advice :

SP vascon
0,05 mikrogram/kgbb/menit
18.30. apneu
Bagging +RJP

Jam.18.45
Pupil midriasis, napas (-), tekanan
darah (-), denyut jantung (-)

Monitoring tanda vital dan diuresis di ICU


27/10 15.00
16.00
17.30
17.43
TD
143/79 140/76 64/32 38/N
129
128
109
27
RR
43
41
38
SpO2
90%
90%
87%
86%
Diuresis
50 cc
6. Etiologi Kematian
Syok sepsis

18.00
123/51
105
26
86

18.20
78/43
101
30
79%

18.30
92/64
30
79%
100 cc

18.45
-/-

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pneumonia nosokomial atau hospital acquired pneumonia (HAP)


1. DEFINISI
Pneumonia nosokomial (HAP) adalah pneumonia yang terjadi setelah pasien
48 jam dirawat di rumah sakit dan disingkirkan semua infeksi yang terjadi sebelum
masuk rumah sakit.
2. ETIOLOGI
Patogen penyebab pneumonia nosokomial berbeda dengan pneumonia
komuniti. Pneumonia nosokomial dapat disebabkan oleh kuman bukan multi drug
resistance (MDR) misalnya S.pneumoniae, H. Influenzae, Methicillin Sensitive
Staphylococcus aureus (MSSA) dan kuman MDR misalnya Pseudomonas
aeruginosa, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Acinetobacter spp dan Gram
positif seperti Methicillin Resistance Staphylococcus aureus (MRSA). Pneumonia
nosokomial yang disebabkan jamur, kuman anaerob dan virus jarang terjadi.
Bahan pemeriksaan untuk menentukan bakteri penyebab dapat diambil dari
dahak, darah, cara invasif misalnya bilasan bronkus, sikatan bronkus, biopsi aspirasi
transtorakal dan biopsi aspirasi transtrakea.
3. PATOGENESIS
Patogenesis pneumonia nosokomial pada prinsipnya sama dengan pneumonia
komuniti. Pneumonia terjadi apabila mikroba masuk ke saluran napas bagian bawah.
Ada empat rute masuknya mikroba tersebut ke dalam saluran napas bagian bawah
yaitu :
a) Aspirasi, merupakan rute terbanyak pada kasus-kasus tertentu seperti kasus
neurologis dan usia lanjut
b) Inhalasi, misalnya kontaminasi pada alat-alat bantu napas yang digunakan pasien
c) Hematogenik
d) Penyebaran langsung
Pasien yang mempunyai faktor predisposisi terjadi aspirasi mempunyai risiko
mengalami pneumonia nosokomial. Apabila sejumlah bakteri dalam jumlah besar
berhasil masuk ke dalam saluran napas bagian bawah yang steril, maka pertahanan
pejamu yang gagal membersihkan inokulum dapat menimbulkan proliferasi dan

inflamasi sehingga terjadi pneumonia. Interaksi antara faktor pejamu (endogen) dan
faktor risiko dari luar (eksogen) akan menyebabkan kolonisasi bakteri patogen di
saluran napas bagian atas atau pencernaan makanan. Patogen penyebab pneumonia
nosokomial ialah bakteri gram negatif dan Staphylococcus aureus yang merupakan
flora normal sebanyak < 5%. Kolonisasi di saluran napas bagian atas karena bakteribakteri tersebut merupakan titik awal yang penting untuk terjadi pneumonia.

Faktor Predisposisi Atau Faktor Risiko Pneumonia Nosokomial.


Faktor risiko pada pneumonia sangat banyak dibagi menjadi 2 bagian:
1. Faktor yang berhubungan dengan daya tahan tubuh
Penyakit kronik (misalnya penyakit jantung, PPOK, diabetes, alkoholisme,
azotemia), perawatan di rumah sakit yang lama, koma, pemakaian obat tidur,
perokok, intubasi endotrakeal, malnutrisi, umur lanjut, pengobatan steroid,
pengobatan antibiotik, waktu operasi yang lama, sepsis, syok hemoragik, infeksi
berat di luar paru dan cidera paru akut (acute lung injury) serta bronkiektasis
2. Faktor eksogen adalah :
a. Pembedahan :

Besar

risiko

kejadian

pneumonia

nosokomial

tergantung

pada

jenis

pembedahan, yaitu torakotomi (40%), operasi abdomen atas (17%) dan operasi
abdomen bawah (5%).
b. Penggunaan antibiotik :
Antibiotik dapat memfasilitasi kejadian kolonisasi, terutama antibiotik yang
aktif terhadap Streptococcus di orofaring dan bakteri anaerob di saluran
pencernaan.

Sebagai

contoh,

pemberian

antibiotik

golongan

penisilin

mempengaruhi flora normal di orofaring dan saluran pencernaan. Sebagaimana


diketahui Streptococcus merupakan flora normal di orofaring melepaskan
bacterocins yang menghambat pertumbuhan bakteri gram negatif. Pemberian
penisilin dosis tinggi akan menurunkan sejumlah bakteri gram positif dan
meningkatkan kolonisasi bakteri gram negatif di orofaring.
c. Peralatan terapi pernapasan
Kontaminasi pada peralatan ini, terutama oleh bakteri Pseudomonas aeruginosa
dan bakteri gram negatif lainnya sering terjadi.
d. Pemasangan pipa/selang nasogastrik, pemberian antasid dan alimentasi enteral
Pada individu sehat, jarang dijumpai bakteri gram negatif di lambung karena
asam lambung dengan pH < 3 mampu dengan cepat membunuh bakteri yang
tertelan. Pemberian antasid / penyekat H2 yang mempertahankan pH > 4
menyebabkan peningkatan kolonisasi bakteri gram negatif aerobik di lambung,
sedangkan larutan enteral mempunyai pH netral 6,4 - 7,0.
e. Lingkungan rumah sakit
Petugas rumah sakit yang mencuci tangan tidak sesuai dengan prosedur
Penatalaksanaan dan pemakaiaan alat-alat yang tidak sesuai prosedur, seperti
alat bantu napas, selang makanan, selang infus, kateter dll
Pasien dengan kuman MDR tidak dirawat di ruang isolasi
Faktor risiko kuman MDR penyebab HAP dan VAP (ATS/IDSA 2004)
Pemakaian antibiotik pada 90 hari terakhir
Dirawat di rumah sakit 5 hari
Tingginya frekuensi resisten antibiotik di masyarakat atau di rumah sakit tersebut
Penyakit immunosupresi dan atau pemberian imunoterapi

4. DIAGNOSIS

Metode yang digunakan untuk menegakkan diagnosis HAP masih menjadi


kontroversi dan belum ada metode yang menjadi gold standard. The Centers for
Disease Control and Prevention and the National Healthcare Safety Network telah
membuat kriteria untuk penegakkan diagnosis pneumonia nosokomial yang mencakup
faktor klinis dan radiologis.
Kriteria pneumonia nosokomial menurut Centers for Disease Control and
Prevention, adalah:
Radiologi
Dua atau lebih dari serial foto rongent toraks paling tidak salah satu dari berikut:
1. Infiltrat menetap yang progresif dan baru
2. Konsolidasi
3. Ada kavitas
Tanda/gejala/dan laboratorium.
Paling tidak salah satu dari berikut ini:
1. Demam (>38_C or >100.4_F) tanpa ada sebab lainnya
2. Leukopenia (12,000 WBC/mL)
3. Untuk dewasa usia 70 tahun atau lebih, adanya perubahan status mental tanpa ada
penyebab pasti lainnya.
Dan paling tidak dua dari berikut ini:
1. Onset baru dari sputum yang purulen, atau perubahan dalam karakter sputum, atau
meningkatnya sekresi respiratory atau meningkatnya kebutuhan akan suction
2. Onset baru atau memburuknya batuk, atau sesak nafas, atau takikardia
3. Terdapat ronkhi atau suara nafas bronkial
4. Memburuknya pertukaran gas (Pa O2/fraksi dari oksigen inspirasi [FiO2] 240,
meningkatnya kebutuhan peralatan oksigen atau meningkatnya kebutuhan ventilator
mekanik
Kriteria pneumonia nosokomial berat menurut ATS
1. Dirawat di ruang rawat intensif
2. Gagal napas yang memerlukan alat bantu napas atau membutuhkan O 2 > 35 %
untuk mempertahankan saturasi O2 > 90 %
3. Perubahan radiologik secara progresif berupa pneumonia multilobar atau kaviti dari
infiltrat paru
4. Terdapat bukti-bukti ada sepsis berat yang ditandai dengan hipotensi dan atau
disfungsi organ yaitu :

Syok (tekanan sistolik < 90 mmHg atau diastolik < 60 mmHg)


Memerlukan vasopresor > 4 jam
Jumlah urin < 20 ml/jam atau total jumlah urin 80 ml/4 jam
Gagal ginjal akut yang membutuhkan dialisis

5. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a) Pewarnaan Gram dan kultur dahak yang dibatukkan, induksi sputum atau aspirasi
sekret dari selang endotrakeal atau trakeostomi. Jika fasiliti memungkinkan dapat
dilakukan pemeriksaan biakan kuman secara semikuantitatif atau kuantitatif dan
dianggap bermakna jika ditemukan 106 colony-forming units/ml dari sputum,
105 106 colony-forming units/ml dari aspirasi endotrracheal tube, 104 105
colony-forming units/ml dari bronchoalveolar lavage (BAL) , 103 colonyforming units/ml dari sikatan bronkus dan paling sedikit 10 2 colony-forming
units/ml dari vena kateter sentral . Dua set kultur darah aerobik dan anaerobik dari
tempat yang berbeda (lengan kiri dan kanan) sebanyak 7 ml. Kultur darah dapat
mengisolasi bakteri patogen pada > 20% pasien. Jika hasil kultur darah (+) maka
sangat penting untuk menyingkirkan infeksi di tempat lain. Pada semua pasien
pneumonia nosokomial harus dilakukan pemeriksaan kultur darah. Kriteria dahak
yang memenuhi syarat untuk pemeriksaan apusan langsung dan biakan yaitu bila
ditemukan sel PMN > 25 / lapangan pandang kecil (lpk) dan sel epitel < 10 / lpk.
b) Analisis gas darah untuk membantu menentukan berat penyakit
c) Jika keadaan memburuk atau tidak ada respons terhadap pengobatan maka
dilakukan pemeriksaan secara invasif. Bahan kultur dapat diambil melalui
tindakan bronkoskopi dengan cara bilasan, sikatan bronkus dengan kateter ganda
terlindung dan bronchoalveolar lavage (BAL). Tindakan lain adalah aspirasi
transtorakal.

6. TERAPI ANTIBIOTIK
Beberapa pedoman dalam pengobatan pneumonia nosokomial ialah :

1. Semua terapi awal antibiotik adalah empirik dengan pilihan antibiotik yang harus
mampu mencakup sekurang-kurangnya 90% dari patogen yang mungkin sebagai
penyebab, perhitungkan pola resistensi setempat

2. Terapi awal antibiotik secara empiris pada kasus yang berat dibutuhkan dosis dan
cara pemberian yang adekuat untuk menjamin efektiviti yang maksimal.
Pemberian terapi emperis harus intravena dengan sulih terapi pada pasien yang
terseleksi, dengan respons klinis dan fungsi saluran cerna yang baik.
3. Pemberian antibiotik secara de-eskalasi harus dipertimbangkan setelah ada hasil
kultur yang berasal dari saluran napas bawah dan ada perbaikan respons klinis.
4. Kombinasi antibiotik diberikan pada pasien dengan kemungkinan terinfeksi
kuman MDR
5. Jangan mengganti antibiotik sebelum 72 jam, kecuali jika keadaan klinis
memburuk
6. Data mikroba dan sensitiviti dapat digunakan untuk mengubah pilihan empirik
apabila respons klinis awal tidak memuaskan. Modifikasi pemberian antibiotik
berdasarkan data mikrobial dan uji kepekaan tidak akan mengubah mortaliti
apabila terapi empirik telah memberikan hasil yang memuaskan.

LAMA TERAPI
Pasien yang mendapat antibiotik empirik yang tepat, optimal dan adekuat,
penyebabnya bukan P.aeruginosa dan respons klinis pasien baik serta terjadi resolusi
gambaran klinis dari infeksinya maka lama pengobatan adalah 7 hari atau 3 hari bebas
panas. Bila penyebabnya adalah P.aeruginosa dan Enterobacteriaceae maka lama
terapi 14 21 hari.
RESPONS TERAPI

Respons

terhadap

terapi

dapat

didefinisikan

secara

klinis

maupun

mikrobiologi. Respons klinis terlihat setelah 48 72 jam pertama pengobatan


sehingga dianjurkan tidak merubah jenis antibiotik dalam kurun waktu tersebut
kecuali terjadi perburukan yang nyata.
Setelah ada hasil kultur darah atau bahan saluran napas bawah maka
pemberian antibiotik empirik mungkin memerlukan modifikasi. Apabila hasil
pengobatan telah memuaskan maka penggantian antibiotik tidak akan mengubah
mortaliti tetapi bermanfaat bagi strategi de-eskalasi. Bila hasil pengobatan tidak
memuaskan maka modifikasi mutlak diperlukan sesuai hasil kultur dan kepekaan
kuman. Respons klinis berhubungan dengan faktor pasien (seperti usia dan
komorbid), faktor kuman (seperti pola resisten, virulensi dan keadaan lain).
Hasil kultur kuantitatif yang didapat dari bahan saluran napas bawah sebelum
dan sesudah terapi dapat dipakai untuk menilai resolusi secara mikrobiologis. Hasil
mikrobiologis dapat berupa: eradikasi bakterial, superinfeksi, infeksi berulang atau
infeksi persisten.
Parameter klinis adalah jumlah leukosit, oksigenasi dan suhu tubuh. Perbaikan
klinis yang diukur dengan parameter ini biasanya terlihat dalam 1 minggu pengobatan
antibiotik. Pada pasien yang memberikan perbaikan klinis, foto toraks tidak selalu
menunjukkan perbaikan, akan tetapi apabila foto toraks memburuk maka kondisi
klinis pasien perlu diwaspadai.
Penyebab Perburukan
Ada beberapa penyebab perburukan atau gagal terapi, termasuk diantaranya
kasus-kasus yang diobati bukan pneumonia, atau tidak memperhitungkan faktor
tertentu pejamu, bakteri atau antibiotik, Beberapa penyakit noninfeksi seperti gagal
jantung, emboli paru dengan infark, kontusio paru , pneumonia aspirasi akibat bahan
kimia diterapi sebagai HAP.
Faktor pejamu yang menghambat perbaikan klinis adalah pemakaian alat
bantu mekanis yang lama, gagal napas, keadaan gawat, usia di atas 60 tahun, infiltrat
paru bilateral, pemakaian antibiotik sebelumnya dan pneumonia sebelumnya. Faktor
bakteri yang mempengaruhi hasil terapi adalah jenis bakteri, resistensi kuman
sebelum dan selama terapi terutama P.aeruginosa yang diobati dengan antibiotik
tunggal. Hasil buruk dihubungkan biasanya dengan basil gram negatif, flora
polimikroba atau bakteri yang telah resisten dengan antibiotik. Pneumonia dapat juga

disebabkan oleh patogen lain seperti M.tuberculosis, jamur dan virus atau patogen
yang sangat jarang sehingga tidak diperhitungkan pada pemberian antibiotik
Penyebab lain kegagalan terapi adalah komplikasi pneumonia seperti abses
paru dan empiema. Pada beberapa pasien HAP mungkin terdapat sumber infeksi lain
yang bersamaan seperti sinusitis, infeksi karena kateter pembuluh darah, enterokolitis
dan infeksi saluran kemih. Demam dan infiltrat dapat menetap karena berbagai hal
seperti demam akibat obat, sepsis dengan gagal organ multipel.

Evaluasi Kasus Tidak Respons


Pada kasus-kasus yang cepat terjadi perburukan atau tidak respons terapi awal
perlu dilakukan evaluasi yang agresif mulai dengan mencari diagnosis banding dan
melakukan pengulangan pemeriksaan kultur dari bahan saluran napas dengan aspirasi
endotatrakeal atau dengan tindakan bronkoskopi. Jika hasil kultur terlihat resisten atau
terdapat kuman yang jarang ditemukan maka dilakukan modifikasi terapi. Jika dari
kultur tidak terdapat resistensi maka perlu dipikirkan proses noninfeksi. Pemeriksaan
lain adalah foto toraks (lateral dekubitus) USG dan CT scan dan pemeriksaan imaging
lain bila curiga ada infeksi di luar paru seperti sinusitis. Juga perlu dipikirkan terdapat
emboli paru dengan infark.

7. PROGNOSIS
Prognosis akan lebih buruk jika dijumpai salah satu dari kriteria di bawah ini, yaitu
1. Umur > 60 tahun
2. Koma waktu masuk
3. Perawatan di IPI
4. Syok
5. Pemakaian alat bantu napas yang lama
6. Pada foto toraks terlihat gambaran abnormal bilateral
7. Kreatinin serum > 1,5 mg/dl
8. Penyakit yang mendasarinya berat
9. Pengobatan awal yang tidak tepat
10. Infeksi yang disebabkan bakteri yang resisten (P.aeruginosa, S.malthophilia,
Acinetobacter spp. atau MRSA)
11. Infeksi onset lanjut dengan risiko kuman yang sangat virulen
12. Gagal multiorgan
13. Penggunaan obat penyekat H2 yang dapat meningkatkan pH pada pencegahan
perdarahan usus
B. SYOK SEPSIS
1. DEFINISI
Sepsis merupakan respon sistemik pejamu terhadap infeksi dimana patogen
atau toksin dilepaskan ke dalam sirkulasi darah sehingga terjadi aktivasi proses
inflamasi. Berbagai definisi sepsis telah diajukan, namun definisi yang saat ini
digunakan di klinik adalah definisi yang ditetapkan dalam consensus American
College of Chest Physician dan Society of Critical Care Medicine pada tahun 1992
yang mendefinisikan sepsis, sindroma respon inflamasi sistemik (systemic
inflammatory response syndrome / SIRS), sepsis berat, dan syok/renjatan septik
Terminologi dan Definisi Sepsis
1. Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), ditandai dengan 2 (dua) gejala
sebagai berikut:
a. Hyperthermia/hypothermia (>38,3C; <35,6C)
b. Tachypneu (resp >20/menit)
c. Tachycardia (pulse >100/menit)

d. Leukocytosis >12.000/mm atau Leukopenia <4.000/mm


e. 10% >cell imature
2. Sepsis :Infeksi disertai SIRS
3. Sepsis Berat :Sepsis yang disertai MODS/MOF, hipotensi, oligouri bahkan anuria.
4. Sepsis dengan hipotensi :Sepsis dengan hipotensi (tekanan sistolik <90 mmHg atau
penurunan tekanan sistolik >40 mmHg).
5. Syok septik
Syok septik adalah subset dari sepsis berat, yang didefinisikan sebagai hipotensi
yang diinduksi sepsis dan menetap kendati telah mendapat resusitasi cairan, dan
disertai hipoperfusi jaringan

Gambar 5. Hubungan antara sepsis dengan SIRS

Gambar 5. Kriteria Bones untuk Pengenalan Sepsis Berat

2. ETIOLOGI
Infeksi dapat disebabkan oleh virus, bakteri, fungi. Respon sistemik dapat
disebabkan oleh mikroorganisme penyebab yang beredar dalam darah atau hanya
disebabkan produk toksik dari mikroorganisme atau produk reaksi radang yang
berasal dari infeksi lokal.
Umumnya disebabkan kuman gram negatif. Insidensnya meningkat, antara
lain karena pemberian antibiotik yang berlebihan, meningkatnya penggunaan obat
sitotoksik dan imunosupresif, meningkatnya frekuensi penggunaan alat-alat invasive
seperti kateter intravaskuler, meningkatnya jumlah penyakit rentan infeksi yang dapat
hidup lama, serta meningkatnya infeksi yang disebabkan organisme yang resisten
terhadap antibiotik. Infeksi traktus repiratorius merupakan penyebab sepsis yang
tersering diikuti infeksi abdomen dan jaringan lunak.
3. PATOFISIOLOGI
Syok terjadi karena adanya kegagalan sirkulasi dalam upaya memenuhi
kebutuhan tubuh. Hal ini disebabkan oleh menurunnya cardiac output atau kegagalan
distribusi aliran darah dan kebutuhan metabolik yang meningkat disertai dengan atau
tanpa kekurangan penggunaan oksigen pada tingkat seluler. Tubuh mempunyai
kemampuan kompensasi untuk menjaga tekanan darah melalui peningkatan denyut
jantung dan vasokonstriksi perifer. Hipotensi dikenali sebagai tanda yang timbul
lambat terutama pada neonatus karena mekanisme kompensasi tubuh mengalami
kegagalan sehingga terjadi ancaman kardiovaskuler.
Respon imun pejamu, melalui sistem imun seluler dan humoral serta reticular
endothelium system (RES), dapat mencegah terjadinya sepsis. Respon imun ini
menghasilkan kaskade inflamasi dengan mediator mediator yang sangat toksik
termasuk hormon, sitokin, dan enzim. Jika proses kaskade inflamasi ini tidak
terkontrol, maka SIRS terjadi dan dapat berlanjut dengan disfungsi sel, organ, dan
gangguan sistem mikrosirkulasi.
Kaskade inflamasi dimulai dengan toksin atau superantigen. Endotoksin (suatu
lipopolisakarida), mannosa, dan glikoprotein, komponen dinding sel bakteri gram
negatif, berikatan dengan makrofag meyebabkan aktivasi dan ekspresi gen inflamasi.
Superantigen atau toksin yang berhubungan dengan bakteri gram positif,
mycobacteria, dan virus akan mengaktivasi limfosit dan menginisiasi kaskade
mediator inflamasi.

Gangguan mikrosirkulasi dalam bentuk jejas endotel, akan melepaskan


substansi vasoaktif, perubahan tonus kardiovaskuler, obstruksi mekanis kapiler karena
adanya aggregasi elemen seluler, dan aktivasi sistem komplemen. Pada tingkat seluler
terdapat penurunan fosforilasi oksidatif sekunder karena penurunan penghantaran
oksigen, metabolisme anaerob karena penurunan adenosine triphosphate (ATP),
penurunan glikogen, produksi laktat, peningkatan kalsium sitosol, aktivasi membran
fosfolipase, dan pelepasan asam lemak dengan pembentukan prostaglandin.
Respon biokimia termasuk produksi metabolit asam arakhidonat, melepaskan
faktor depresan jantung, endogen opiat, aktivasi komplemen, dan produksi mediator
lainnya. Metabolit asam arakhidonat seperti (1) thromboxane A2 menyebabkan
vasokontriksi dan agregasi trombosit, (2) prostaglandin, seperti PGF2 yang
menyebabkan vasokontriksi, dan PGI2 menyebabkan vasodilatasi, serta (3) leukotrien
yang menyebabkan vasokontriksi, bronkokontriksi, dan peningkatan permeabilitas
kapiler. Faktor depresan jantung, tumor necrosis factor- (TNF-), dan beberapa
interleukin menyebabkan depresi miokardium melalui peningkatan perangsangan
nitrit oksida sintase. Opiat endogen, termasuk didalamnya -endorfin, menurunkan
aktivasi simpatis, menurunkan kontraksi miokardium, dan menyebabkan vasodilatasi.
Aktivasi sistem komplemen merangsang lepasnya mediator vasokontriksi yang akan
menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler, vasodilatasi dan aktivasi dan
agregasi trombosit dan granulosit.
4. GEJALA KLINIS
Manifestasi klinis dari Keadaan syok sepsis ditandai dengan gambaran klinis
sepsis disertai tanda-tanda syok (nadi cepat dan lemah, ekstremitas pucat dan dingin,
penurunan produksi urin, dan penurunan tekanan darah). Gejala syok sepsis yang
mengalami hipovolemia sukar dibedakan dengan syok hipovolemia (takikardia,
vasokonstriksi perifer, produksi urin < 0,5 cc/kgBB/jam, tekanan darah sistolik turun
dan menyempitnya tekanan nadi). Pasien-pasien sepsis dengan volume intravaskuler
normal atau hampir normal, mempunyai gejala takikardia, kulit hangat, tekanan
sistolik hampir normal, dan tekanan nadi yang melebar.
Karakteristik sepsis berat dan syok-septik pada awal adalah hipovolemia, baik
relatif (oleh karena venous pooling) maupun absolut (oleh karena transudasi cairan).
Kejadian ini mengakibatkan status hipodinamik, yaitu curah jantung rendah, sehingga
apabila volume intravaskule adekuat, curah jantung akan meningkat. Pada sepsis berat

kemampuan kontraksi otot jantung melemah, mengakibatkan fungsi jantung intrinsik


(sistolik dan diastolik) terganggu.
Meskipun curah jantung meningkat (terlebih karena takikardia daripada
peningkatan volume sekuncup), tetapi aliran darah perifer tetap berkurang. Status
hemodinamika pada sepsis berat dan syok septik yang dulu dikira hiperdinamik
(vasodilatasi dan meningkatnya aliran darah), pada stadium lanjut kenyataannya lebih
mirip status hipodinamik (vasokonstriksi dan aliran darah berkurang).
Tanda karakterisik lain pada sepsis berat dan syok septik adalah gangguan
ekstraksi oksigen perifer. Hal ini disebabkan karena menurunnya aliran darah perifer,
sehingga kemampuan untuk meningkatkan ekstraksi oksigen perifer terganggu,
akibatnya VO2 (pengambilan oksigen dari mikrosirkulasi) berkurang. Kerusakan ini
pada syok septik dipercaya sebagai penyebab utama terjadinya gangguan oksigenasi
jaringan.
Karakteristik

lain

sepsis

berat

dan

syok

septik

adalah

terjadinya

hiperlaktataemia, mungkin hal ini karena terganggunya metabolisme piruvat, bukan


karena dys-oxia jaringan (produksi energi dalam keterbatasan oksigen).
Keadaan syok akan melalui tiga tahapan mulai dari tahap kompensasi,
dekompensasi (sudah tidak dapat ditangani oleh tubuh), dan ireversibel (tidak dapat
pulih).
Fase I : kompensasi
Pada fase ini fungsi-fungsi organ vital masih dapat dipertahankan melalui
mekanisme kompensasi tubuh dengan meningkatkan reflek simpatis, yaitu
meningkatnya resistensi sistemik dimana terjadi distribusi selektif aliran darah dari
organ perifer non vital ke organ vital seperti jantung, paru dan otak. Tekanan darah
diastolik tetap normal sedangkan tekanan darah sistolik meningkat akibat peninggian
resistensi arteriol sistemik (tekanan nadi menyempit).
Untuk mencukupi curah jantung maka jantung mengkompensasi secara
temporer dengan meningkatkan frekuensi jantung. Disamping itu terdapat
peningkatan sekresi vasopressin dan renin angiotensin aldosteron yang akan
mempengaruhi ginjal untuk menahan natrium dan air dalam sirkulasi.
Manifestasi klinis yang tampak berupa takikardia, gaduh gelisah, kulit pucat
dan dingin dengan pengisian kapiler yang melambat > 2 detik.

Fase II : Dekompensasi
Pada fase ini mekanisme kompensasi mulai gagal mempertahankan curah
jantung yang adekuat dan sistem sirkulasi menjadi tidak efisien lagi. Jaringan dengan
perfusi yang buruk tidak lagi mendapat oksigen yang cukup, sehingga metabolisme
berlangsung secara anaerobic yang tidak efisien. Alur anaerobic menimbulkan
penumpukan asam laktat dan asam-asam lainnya yang berakhir dengan asidosis.
Asidosis akan bertambah berat dengan terbentuknya asam karbonat intra selular
akibat ketidak mampuan sirkulasi membuang CO2.
Asidemia akan menghambat kontraktilitas otot jantung dan respons terhadap
katekolamin. Akibat lanjut asidosis akan menyebabkan terganggunya mekanisme
energi dependent pompa Na/K ditingkat selular, akibatnya integritas membran sel
terganggu, fungsi lisosom dan mitokondria akan memburuk yang dapat berakhir
dengan kerusakan sel. Lambatnya aliran darah dan kerusakan reaksi rantai kinin serta
system koagulasi dapat memperburuk keadaan syok dengan timbulnya agregasi
tombosit dan pembentukan trombos disertai tendensi perdarahan.
Pada syok juga terjadi pelepasan mediator-vaskular antara lain histamin,
serotonin, sitokin (terutama TNF=tumor necrosis factor dan interleukin 1), xanthin,
oxydase yang dapat membentuk oksigen radikal serta PAF (platelets agregatin factor).
Pelepasan mediator oleh makrofag merupakan adaptasi normal pada awal keadaan
stress atau injury, pada keadan syok yang berlanjut justru dapat memperburuk
keadaan karena terjadi vasodilatasi arteriol dan peningkatan permeabilitas kapiler
dengan akibat volume intravaskular yang kembali kejantung (venous return) semakin
berkuarang diserai timbulnya depresi miokard.
Manifestasi klinis yang dijumpai berupa takikardia yang bertambah, tekanan
darah mulai turun, perfusi perifer memburuk (kulit dingin dan mottled, capillary
refilling bertambah lama), oliguria dan asidosis (laju nafas bertambah cepat dan
dalam) dengan depresi susunan syaraf pusat (penurunan kesadaran).
Fase III : Irreversible
Kegagalan mekanisme kompensasi tubuh menyebabkan syok terus berlanjut,
sehingga terjadi kerusakan/kematian sel dan disfungsi sistem multi organ lainnya.
Cadangan fosfat berenergi tinggi (ATP) akan habis terutama di jantung dan hepar,
sintesa ATP yang baru hanya 2% / jam dengan demikian tubuh akan kehabisan energi.
Kematian akan terjadi walaupun system sirkulasi dapat dipulihkan kembali.

Manifestasi klinis berupa tekanan darah tidak terukur, nadi tak teraba, penurunan
kesadaran semakin dalam (sopor-koma), anuria dan tanda-tanda kegagalan sistem
organ lain.
Karakteristik

lain

sepsis

berat

dan

syok

septik

adalah

terjadinya

hiperlaktataemia, mungkin hal ini karena terganggunya metabolisme piruvat, bukan


karena dys-oxia jaringan (produksi energi dalam keterbatasan oksigen). Berikut
adalah tanda-tanda kelainan sistemik pada Multiple Organ Failure
DIC

Multiple Organ Failure


FDP 1:40 atau D-dimers 2,0 dengan
rendahnya
platelet
Memanjangnya waktu:
- protrombin
- partial thromboplastin
- Perdarahan

Respirotary Distress.Syndrome

Hipoksemia

Acute Renal Failure

Kreatinin > 2,0 ug/dl


Na. Urin 40 mmol/L
Kelainan prerenal sudah disingkirkan

Hepatobilier disfunction

Bil.>34 umol/L (2,0 mg/dL)


Harga alk. Fosfatase, SGOT, SGPt dua kali
harga normal

Central Nervous System Disf..

GCS < 15

5. PENATALAKSANAAN
Penatalaksaan awal pasien-pasien demean mengarah sepsis ialah resusitasi
cairan yang mencakup 3 proses, yaitu:
1. Memaksimalkan penyebaran oksigen dan perfusi jaringan
2. Monitoring seksama dari tanda-tanda vital dan fungsi organ sebagai pedoman
resusitasi lanjutan
3. Menyiapkan strategi untuk menyingkirkan sumber infeksi.
Proses ini ditujukan untuk menghentikan (atau setidaknya memperlambat)
onset dari sindrom disfungsi organ multipel / multi organ dysfunction syndrome. Saat
sepsis sudah dikonfirmasi, beberapa langkah berikut sebaiknya sudah dilakukan
seperti oksigen aliran tinggi, kanul, terapi cairan, monitoring jumlah urin.
Perbaikan hemodinamik
Banyak pasien syok septik yang mengalami penurunan volume intravaskuler,
sebagai respon pertama harus diberikan cairan jika terjadi penurunan tekanan darah.
Cairan koloid dan kristaloid tak diberikan. Jika disertai anemia berat perlu transfusi
darah dan CVP dipelihara antara 10-12 mmHg.
Untuk mencapai cairan yang adekuat pemberian pertama 1 L-1,5 L dalam
waktu 1-2 jam. Tujuan resusitasi pasien dengan sepsis berat atau yang mengalami
hipoperfusi dalam 6 jam pertama adalah CVP 8-12 mmHg, MAP >65 mmHg, urine
>0.5 ml/kg/jam dan saturasi oksigen >70%. Bila dalam 6 jam resusitasi, saturasi
oksigen tidak mencapai 70% dengan resusitasi cairan dengan CVP 8-12 mmHg, maka
dilakukan transfusi PRC untuk mencapai hematokrit >30% dan/atau pemberian
dobutamin (dosis 5-10 g/kg/menit sampai maksimal 20 g/kg/menit).
Dopamin diberikan bila sudah tercapai target terapi cairan, yaitu MAP
60mmHg atau tekanan sistolik 90-110 mmHg. Dosis awal adalah 2-5 mg/Kg
BB/menit. Bila dosis ini gagal meningkatkan MAP sesuai target, maka dosis dapat di
tingkatkan sampai 20 g/ KgBB/menit. Bila masih gagal, dosis dopamine
dikembalikan pada 2-5 mg/Kg BB/menit, tetapi di kombinasi dengan levarterenol
(norepinefrin). Bila kombinasi kedua vasokonstriktor masih gagal, berarti
prognosisnya buruk sekali. Dapat juga diganti dengan vasokonstriktor lain (fenilefrin
atau epinefrin).

Pemakaian Antibiotik
Setelah diagnosis sepsis ditegakkan, antibiotik harus segera diberikan, dimana
sebelumnya harus dilakukan kultur darah, cairan tubuh, dan eksudat. Pemberian
antibiotik tak perlu menunggu hasil kultur. Untuk pemilihan antibiotik diperhatikan
dari mana kuman masuk dan dimana lokasi infeksi, dan diberikan terapi kombinasi
untuk gram positif dan gram negatif.
Terapi antibiotik intravena sebaiknya dimulai dalam jam pertama sejak
diketahui sepsis berat, setelah kultur diambil. Terapi inisial berupa satu atau lebih obat
yang memiliki aktivitas melawan patogen bakteri atau jamur dan dapat penetrasi ke
tempat yang diduga sumber sepsis. Oleh karena pada sepsis umumnya disebabkan
oleh gram negatif, penggunaan antibiotik yang dapat mencegah pelepasan endotoksin
seperti karbapenem memiliki keuntungan, terutama pada keadaan dimana terjadi
proses inflamasi yang hebat akibat pelepasan endotoksin, misalnya pada sepsis berat
dan gagal multi organ. Pemberian antibiotik kombinasi juga dapat dilakukan dengan
indikasi :
1. Sebagai terapi pertama sebelum hasil kultur diketahui
2. Pasien yang dapat imunosupresan, khususnya dengan netropeni
3. Dibutuhkan efek sinergi obat untuk kuman yang sangat pathogen
(pseudomonas aureginosa, enterokokus).
Pemberian antimikrobial dinilai kembali setelah 48-72 jam berdasarkan data
mikrobiologi dan klinis. Sekali patogen penyebab teridentifikasi, tidak ada bukti
bahwa terapi kombinasi lebih baik daripada monoterapi.
Terapi Suportif
Oksigenasi
Sepsis secara dramatis akan meningkatkan kecepatan metabolik tubuh
sehingga kebutuhan akan oksigen akan meningkat. Untuk itu digunakan nonrebreathe face mask dengan aliran oksigen tinggi. Saturasi oksigen ditargetkan di
sekitar > 94% kecuali jika pasien memiliki riwayat hipoksemia kronis. Nonrebreathe face mask biasanya tidak cocok untuk pemakaian jangka panjang,
namun sangat penting dalam fase resusitasi akut untuk memaksimalkan jumlah
oksigen yang masuk. Pada keadaan hipoksemia berat dan gagal napas bila disertai
dengan penurunan kesadaran atau kerja ventilasi yang berat, ventilasi mekanik

segera dilakukan.
Terapi cairan

o Hipovolemia harus segera diatasi dengan cairan kristaloid (NaCl 0.9% atau
ringer laktat) maupun koloid.
o Pada keadaan albumin rendah (<2 g/dL) disertai tekanan hidrostatik melebihi
tekanan onkotik plasma, koreksi albumin perlu diberikan.
o Transfusi PRC diperlukan pada keadaan perdarahan aktif atau bila kadar Hb
rendah pada kondisi tertentu, seperti pada iskemia miokard dan renjatan
septik. Kadar Hb yang akan dicapai pada sepsis masih kontroversi antara 8-10

g/dL.
Vasopresor dan inotropik
Sebaiknya diberikan setelah keadaan hipovolemik teratasi dengan pemberian
cairan adekuat, akan tetapi pasien masih hipotensi. Vasopresor diberikan mulai
dosis rendah dan dinaikkan (titrasi) untuk mencapai MAP 60 mmHg atau tekanan
darah sistolik 90mmHg. Dapat dipakai dopamin >8g/kg.menit,norepinefrin 0.031.5g/kg.menit,

phenylepherine

0.5-8g/kg/menit

atau

epinefrin

0.1-

0.5g/kg/menit. Inotropik dapat digunakan: dobutamine 2-28 g/kg/menit,


dopamine 3-8 g/kg/menit, epinefrin 0.1-0.5 g/kg/menit atau fosfodiesterase

inhibitor (amrinone dan milrinone).1,5,15


Bikarbonat
Secara empirik bikarbonat diberikan bila pH <7.2 atau serum bikarbonat <9

mEq/L dengan disertai upaya untuk memperbaiki keadaan hemodinamik.1,15


Disfungsi renal
Akibat gangguan perfusi organ. Bila pasien hipovolemik/hipotensi, segera
diperbaiki dengan pemberian cairan adekuat, vasopresor dan inotropik bila
diperlukan. Dopamin dosis renal (1-3 g/kg/menit) seringkali diberikan untuk
mengatasi gangguan fungsi ginjal pada sepsis, namun secara evidence based
belum terbukti. Sebagai terapi pengganti gagal ginjal akut dapat dilakukan

hemodialisis maupun hemofiltrasi kontinu.


Nutrisi
Pada metabolisme glukosa terjadi peningkatan

produksi

(glikolisis,

glukoneogenesis), ambilan dan oksidasinya pada sel, peningkatan produksi dan


penumpukan laktat dan kecenderungan hiperglikemia akibat resistensi insulin.
Selain itu terjadi lipolisis, hipertrigliseridemia dan proses katabolisme protein.
Pada sepsis, kecukupan nutrisi: kalori (asam amino), asam lemak, vitamin dan

mineral perlu diberikan sedini mungkin.


Kontrol gula darah
Terdapat penelitian pada pasien ICU, menunjukkan terdapat penurunan mortalitas
sebesar 10.6-20.2% pada kelompok pasien yang diberikan insulin untuk mencapai

kadar gula darah antara 80-110 mg/dL dibandingkan pada kelompok dimana
insulin baru diberikan bila kadar gula darah >115 mg/dL. Namun apakah
pengontrolan gula darah tersebut dapat diaplikasikan dalam praktek ICU, masih

perlu dievaluasi, karena ada risiko hipoglikemia.


Gangguan koagulasi
Proses inflamasi pada sepsis menyebabkan terjadinya gangguan koagulasi dan
DIC (konsumsi faktor pembekuan dan pembentukan mikrotrombus di sirkulasi).
Pada sepsis berat dan renjatan, terjadi penurunan aktivitas antikoagulan dan
supresi proses fibrinolisis sehingga mikrotrombus menumpuk di sirkulasi
mengakibatkan kegagalan organ. Terapi antikoagulan, berupa heparin, antitrombin
dan substitusi faktor pembekuan bila diperlukan dapat diberikan, tetapi tidak

terbukti menurunkan mortalitas.


Kortikosteroid
Hanya diberikan dengan indikasi insufisiensi adrenal. Hidrokortison dengan dosis
50 mg bolus IV 4x/hari selama 7 hari pada pasien dengan renjatan septik
menunjukkan penurunan mortalitas dibandingkan kontrol. Keadaan tanpa syok,
kortikosteroid sebaiknya tidak diberikan dalam terapi sepsis.

Modifikasi Respons Inflamasi


Anti endotoksin (imunoglobulin

poliklonal

dan

monoklonal,

analog

lipopolisakarida); antimediator spesifik (anti-TNF, antikoagulan-antitrombin, APC,


TFPI; antagonis PAF; metabolit asam arakidonat (PGE1), antagonis bradikinin,
antioksidan

(N-asetilsistein,

imunostimulator

selenium),

(imunoglobulin,

IFN-,

inhibitor
G-CSF,

sintesis

NO

imunonutrisi);

(L-NMMA);
nonspesifik

(kortikosteroid, pentoksifilin, dan hemofiltrasi). Endogenous activated protein C


memainkan peranan penting dalam sepsis: inflamasi, koagulasi dan fibrinolisis.
Drotrecogin alfa (activated) adalah nama generik dari bentuk rekombinan dari human
activated protein C yang diindikasikan untuk menurunkan mortalitas pada pasien
dengan sepsis berat dengan risiko kematian yang tinggi.
Monitoring Jumlah Urin
Pada kondisi normal, sistem autoregulasi tubuh akan menjamin aliran cukup
ke ginjal dalam jumlah normal meski adanya perubahan tekanan darah. Pada sepsis,
fungsi ini terganggu sehingga ketika tekanan darah menurun, aliran darah ke ginjal
juga menurun sehingga jumlah urin juga akan menurun. Kateter urin dapat mengukur

jumlah produksi urin dari ginjal, sehingga membantu mengestimasi aliran darah
ginjal. Hal ini membantu dalam menilai perfusi ginjal dan sebagai prediktor dari gagal
ginjal. Pasien harus ditargetkan mencapai produksi urin normal. Dikatakan oliguria
bila produksi urin <0.5ml/kg/jam selama 2 jam berturut-turut. Oliguria persisten
menjadi tanda awal dari gagal ginjal. Anuria mengindikasikan bahwa ginjal telah
sepenuhnya mengalami kegagalan, namun seringkali akibat terbloknya aliran urin di
kateter.

6. PROGNOSIS
Keseluruhan angka kematian pada pasien dengan syok septik menurun dan sekarang
rata-rata 40% (kisaran 10 sampai 90%, tergantung pada karakteristik pasien).

PEMBAHASAN
Pasien dirawat di puskesmas karena diare akut selama 4 hari dan diare telah
dinyatakan sembuh dan dibolehkan pulang, tetapi pasien masih demam walaupun sudah tidak
diare. Selama dirawat di puskesmas keluarga pasien tidak ada yang mengerti obat apa saja

yang diberikan selama perawatan tetapi pernah diberitahu oleh perawat bahwa pasien diberi
antibiotik d puskesmas. Setelah sehari pulang dari puskesmas, pasien malah merasa demam
menggigil dan nafas terasa sesak. Pasien dirawat selama 4 hari Di puskesmas, tidak menutup
kemungkinan pasien terkena infeksi mikroba lain dari puskesmas yang merupakan faktor
eksogen, ditambah faktor resiko endogen yaitu usia 70 tahun yang tergolong lanjut usia dan
rentan terhadap penyakit infeksi atau infeksi dari saluran pencernaan dari pasien itu sendiri
yang menyebabkan daya tahan tubuh pasien menurun. Faktor resiko lain yang mungkin
adalah penggunaan antibiotik di puskesmas yang bisa memfasilitasi terjadinya kolonisasi
yang mempengaruhi flora nornal pada tubuh pasien. Faktor eksogen dan endogen yang
terdapat pada pasien

Ny.S dianggap sebagai seorang tersangka Pneumonia. Kecurigaan

tersebut diperkuat
Pada pemeriksaan fisik pasien ditemukan suhu tubuh yang meningkat yaitu 40,2 0C,
sesak nafas yaitu 32x/menit, pada auskultasi paru terdapat suara tambahan Ronkhi basah
kasar yang menunjukkan adanya cairan/sekret pada bronkus atau trakea dan pada
pemeriksaan laboratorium menunjukkan adanya

leukositosis

(34,2 x103/l). serta

memburuknya pertukaran gas yang ditandai dengan saturasi oksigen turun (SpO 2 : 90%).
Untuk lebih memastikan diagnosis pneumonia, seharusnya pasien dilakukan foto thoraks,
akan tetapi pada pasien ini belum sempat dilakukan foto thoraks karena pada saat datang ke
IGD pasien dalam kondisi yang tidak stabil dan perlu penanganan dan pengawasan ketat
terlebih dahulu. Pada pasien pneumonia akan didapatkan gambaran foto rontgn thoraks
Infiltrat menetap yang progresif dan baru, Konsolidasi, Ada kavitas. Berdasarkan tanda/gejala
serta pemeriksaan laboratorium pasien sudah memenuhi kriteria dan pasien ini dapat
ditegakkan diagnosis pneumonia nosokomial atau HAP.
Pasien dibawa ke IGD RSUD Soetijono Blora dengan penurunan kesadaran, tampak
lemah, disertai dengan nafas cepat dan dalam., demam serta keluar keringat dingin.
Pemeriksaan tekanan darah pasien adalah 90/50 mmHg dengan denyut nadi 130x/menit,
frekuensi nafas 32x/menit dan suhu mencapai 40,7 oC serta SpO2: 90%. Di IGD pasien
diberikan cairan intravena sebanyak 500 cc, tekanan darah pasien kemudian meningkat
140/90 mmHg dengan nadi 129x/menit. Takikardi, takipnea, hipertermia, leukositosis dan
adanya fokus infeksi pneumonia di paru memenuhi kriteria Bone mengenai sepsis. Penurunan
kesadaran, hipotensi, azotemia dan peningkatan SGOT SGPT pada pasien menguatkan
diagnosis sepsis berat, kemudian pasien dirawat di ICU dengan diagnosis sepsis berat e.c.
HAP.

Sejak datang ke IGD, pasien mendapatkan terapi oksigen 8

liter per menit

menggunakan sungkup non-rebreathing. Oksigen tekanan tinggi penting untuk pasien sepsis
karena adanya peningkatan kebutuhan oksigen akibat peningkatan kecepatan metabolik
didalam tubuh. Pemasangan kateter urin dilakukan untuk mengukur jumlah produksi urin dari
ginjal untuk estimasi aliran darah ginjal. Hal ini membantu dalam menilai perfusi ginjal dan
sebagai prediktor dari gagal ginjal.

Di ICU pasien mendapat infus Nacl 0,9 demean

kecepatan 30tpm setelah diberikan 500 cc di IGD. Pada pasien sepsis, untuk mencapai cairan
yang adekuat pemberian pertama 1 L-1,5 L dalam waktu 1-2 jam. Pasien diberikan antibiotik
intravena spektrum luas (levofloxacin) dan antibiotik untuk kuman anaerob (Metronidazole)
segera setelah dirawat di ICU. Penggunaan antibiotik pada sepsis harus segera diberikan
segera tanpa menunggu hasil kultur.
Setelah pasien di tempatkan di ICU selama 1,5 jam pasien mulai mengalami
penurunan tekanan darah dan diberikan loading cairan tetapi tidak respon. Produksi urin
Pasien

hanya 100cc sejak pukul 13.45 pagi hingga 18.30 atau sekitar 0,4cc/kgbb/jam

(oligouria). Pasien sepsis mengalami gangguan sistem autoregulasi sehingga ketika tekanan
darah menurun, aliran darah ke ginjal juga menurun sehingga jumlah urin juga akan
menurun. Diagnosis pasien berubah menjadi syok septik, dan pasien apneu. Dilakukan
resusitasi jantung paru hingga pasien bisa nafas spontan. Akan tetapi keadaan pasin masih
hipotensi. Kemudian diberikan

vasopresor

berupa syring pump vascon

0,05

mikrogram/kgbb/menit. Tidak lama setelah itu keadaan pasien memburuk, tekanan darah
kembali turun dan pasien apneu. Kemudian dilakukan resusitasi jantung paru lagi dan pasien
dinyatakan meninggal.
Kegagalan mekanisme kompensasi tubuh menyebabkan syok terus berlanjut, sehingga
terjadi kerusakan/kematian sel dan disfungsi sistem multi organ lainnya. Syok septik berat
seperti kondisi pasien dapat berkembang menjadi suatu sindrom gangguan fungsi organ
multipel atau multiple organ dysfunction syndrome (MODS) yang menyebabkan hipoperfusi
generalisata sehingga kondisi pasien semakin memburuk.

Anda mungkin juga menyukai