Oleh :
dr. Ahmad Zaki
Narasumber :
dr. Agustina Parmayanti, Sp.PD
Pada hari ini hari Jumat, tanggal 8 Desember 2015 telah dipresentasikan kasus kematian
oleh:
Nama
Judul/ topik
No. ID Peserta
Tanda Tangan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
Berita acara ini ditulis dan disampaikan sesuai dengan yang sesungguhnya.
Pendamping
5. Kondisi Lingkungan Sosial dan Fisik : pasien tinggal bersama 1 anak dan 3 cucunya,
2. OBJEKTIF
Keadaan Umum/Kesadaran : Lemah tampak sesak / GCS : E3V4V2
Status Gizi
: BB: 65 kg
TB: 160 cm
BMI: 25,3 Overweight
Tanda vital
o Tekanan darah : 90/50 mmHg
o Nadi
: 130 x/ menit
o Nafas
: 32 x/ menit
o Suhu
: 40,7 oC
Kepala
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor
Hidung : discharge (-), nafas cuping hidung (+)
Mulut : gusi berdarah (-), papil lidah atrofi (-), bibir sianosis (+)
Leher : simetris, pembesaran limfonodi leher (-)
Thoraks
Pulmo
Inspeksi : Simetris, sela iga melebar (-), ketinggalan gerak (-)
Palpasi : Fokal fremitus kanan = kiri
Perkusi
: Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : suara vesikuler (+ / + ), ronkhi basah kasar (+/+)
Cor
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi
: Ictus cordis teraba di SIC V LMCS, tidak kuat angkat
Perkusi
: batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : S1-S2 regular, bising jantung (-)
Abdomen
Inspeksi
: dinding perut cembung
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi
Palpasi
Ekstremitas
Akral dingin, CRT > 2 detik, edema (-/-), SpO2 : 90%
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium tanggal 27 Oktober 2015
Hematologi Rutin
HASIL
Satuan
Hb
13,6
g/dl
42,7
HCT
34,2
AL
103/l
259
AT
103/l
Rujukan
12,0-18,0
35-47
4,0-11,0
150-450
Golongan Darah
KIMIA KLINIK
GDS
Ureum
Kreatinin
SGOT
SGPT
URIN RUTIN
Glukosa
Bilirubin
Benda keton
Berat jenis
Darah
PH
Protein
Urobilinogen
Nitrit
leukosit
A/B/AB/O
152
42
2,45
50
47
mg/dL
mg/dL
mg/dL
U/L
U/L
Negatif
1+
Trace
1,025
3+
5,5
2+
3,2
Negatif
1+
<200
<50
0,7-1,3
<35
<37
Negatif
Negatif
Negatif
>1,005-<1030
Negatif
5,0-9,0
Negatif
0,2-1,0E U/Dl
Negatif
Negatif
Terapi
O2 NRM 8 lpm
Infus NaCl 0,9 % Loading 200 cc
Pasang DC
Cek darah rutin, GDS, Ureum,
Kreatinin,SGOT,SGPT, Urin rutin
O2 NRM 8 lpm
Infus NaCl 0,9% 150 cc
O2 NRM 8 lpm
Infus NaCl 0,9 % 150 cc
Inj. Cefotaxim 1gr
Inj. Ranitidin 1 Amp
Rawat ICU
Tanggal
27 Oktober 2015
Pukul 16.00
KU
Nafas cepat dan dalam, apatis,
keringat dingin
PF TD: 140/76 mmhg
HR: 128x/menit
RR: 40x/menit
t: 39.7 0C
SpO2: 90%
Pulmo :
I :Pengembangan dada kanan=kiri
P : Fremitus raba kanan = kiri
P : sonor/sonor
A : SDV (+/+), RBK (+/+)
Dx Sepsis berat e.c. HAP
Tx Konsul residen interna
Advise :
- 02 8 lpm
- IVFD Nacl 0,9% 30 tpm
- Inj cefotaxim stop diganti
inj levofloxacin 750mg/24 jam
- Inj metronidazol 500mg/8 jam
- Drip paracetamol 500mg/8 jam
- Inj ranitidin 50mg/12 jam
- In metylprednisolon 20mg/8 jam
- Awasi tanda vital dan diuresis
27 Oktober 2015
17.30
Nafas cepat dan dalam, apatis,
keringat dingin
TD: 64/32 mmhg
HR: 109x/menit
RR: 40x/menit
t: 39.7 0C
SpO2: 87%
Pulmo :
I :Pengembangan dada kanan=kiri
P : Fremitus raba kanan = kiri
P : sonor/sonor
A : SDV (+/+), RBK (+/+)
Syok sepsis e.c. HAP
Loading NaCl/RL 250 cc
Tensi tidak naik setelah loading
17.43 pasien Apneu
TD : 38/palpasi
N : 27 x/menit
RR : Dilakukan Bagging + RJP 5 sirklus
+ 1 Amp Adrenalin pasien nafas
spontan
Pukul 18.00
TD : 123/51 mmHG
HR : 105 x/menit
R : 26 x/menit
S : 40,2
SpO2 : 86 %
Pukul 18.20
TD : 78/42 mmHG
N : 101 x/menit
R : 40 x/menit
S : 39,9 C
SpO2 : 79 %
SP vascon
0,05 mikrogram/kgbb/menit
18.30. apneu
Bagging +RJP
Jam.18.45
Pupil midriasis, napas (-), tekanan
darah (-), denyut jantung (-)
18.00
123/51
105
26
86
18.20
78/43
101
30
79%
18.30
92/64
30
79%
100 cc
18.45
-/-
TINJAUAN PUSTAKA
inflamasi sehingga terjadi pneumonia. Interaksi antara faktor pejamu (endogen) dan
faktor risiko dari luar (eksogen) akan menyebabkan kolonisasi bakteri patogen di
saluran napas bagian atas atau pencernaan makanan. Patogen penyebab pneumonia
nosokomial ialah bakteri gram negatif dan Staphylococcus aureus yang merupakan
flora normal sebanyak < 5%. Kolonisasi di saluran napas bagian atas karena bakteribakteri tersebut merupakan titik awal yang penting untuk terjadi pneumonia.
Besar
risiko
kejadian
pneumonia
nosokomial
tergantung
pada
jenis
pembedahan, yaitu torakotomi (40%), operasi abdomen atas (17%) dan operasi
abdomen bawah (5%).
b. Penggunaan antibiotik :
Antibiotik dapat memfasilitasi kejadian kolonisasi, terutama antibiotik yang
aktif terhadap Streptococcus di orofaring dan bakteri anaerob di saluran
pencernaan.
Sebagai
contoh,
pemberian
antibiotik
golongan
penisilin
4. DIAGNOSIS
5. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a) Pewarnaan Gram dan kultur dahak yang dibatukkan, induksi sputum atau aspirasi
sekret dari selang endotrakeal atau trakeostomi. Jika fasiliti memungkinkan dapat
dilakukan pemeriksaan biakan kuman secara semikuantitatif atau kuantitatif dan
dianggap bermakna jika ditemukan 106 colony-forming units/ml dari sputum,
105 106 colony-forming units/ml dari aspirasi endotrracheal tube, 104 105
colony-forming units/ml dari bronchoalveolar lavage (BAL) , 103 colonyforming units/ml dari sikatan bronkus dan paling sedikit 10 2 colony-forming
units/ml dari vena kateter sentral . Dua set kultur darah aerobik dan anaerobik dari
tempat yang berbeda (lengan kiri dan kanan) sebanyak 7 ml. Kultur darah dapat
mengisolasi bakteri patogen pada > 20% pasien. Jika hasil kultur darah (+) maka
sangat penting untuk menyingkirkan infeksi di tempat lain. Pada semua pasien
pneumonia nosokomial harus dilakukan pemeriksaan kultur darah. Kriteria dahak
yang memenuhi syarat untuk pemeriksaan apusan langsung dan biakan yaitu bila
ditemukan sel PMN > 25 / lapangan pandang kecil (lpk) dan sel epitel < 10 / lpk.
b) Analisis gas darah untuk membantu menentukan berat penyakit
c) Jika keadaan memburuk atau tidak ada respons terhadap pengobatan maka
dilakukan pemeriksaan secara invasif. Bahan kultur dapat diambil melalui
tindakan bronkoskopi dengan cara bilasan, sikatan bronkus dengan kateter ganda
terlindung dan bronchoalveolar lavage (BAL). Tindakan lain adalah aspirasi
transtorakal.
6. TERAPI ANTIBIOTIK
Beberapa pedoman dalam pengobatan pneumonia nosokomial ialah :
1. Semua terapi awal antibiotik adalah empirik dengan pilihan antibiotik yang harus
mampu mencakup sekurang-kurangnya 90% dari patogen yang mungkin sebagai
penyebab, perhitungkan pola resistensi setempat
2. Terapi awal antibiotik secara empiris pada kasus yang berat dibutuhkan dosis dan
cara pemberian yang adekuat untuk menjamin efektiviti yang maksimal.
Pemberian terapi emperis harus intravena dengan sulih terapi pada pasien yang
terseleksi, dengan respons klinis dan fungsi saluran cerna yang baik.
3. Pemberian antibiotik secara de-eskalasi harus dipertimbangkan setelah ada hasil
kultur yang berasal dari saluran napas bawah dan ada perbaikan respons klinis.
4. Kombinasi antibiotik diberikan pada pasien dengan kemungkinan terinfeksi
kuman MDR
5. Jangan mengganti antibiotik sebelum 72 jam, kecuali jika keadaan klinis
memburuk
6. Data mikroba dan sensitiviti dapat digunakan untuk mengubah pilihan empirik
apabila respons klinis awal tidak memuaskan. Modifikasi pemberian antibiotik
berdasarkan data mikrobial dan uji kepekaan tidak akan mengubah mortaliti
apabila terapi empirik telah memberikan hasil yang memuaskan.
LAMA TERAPI
Pasien yang mendapat antibiotik empirik yang tepat, optimal dan adekuat,
penyebabnya bukan P.aeruginosa dan respons klinis pasien baik serta terjadi resolusi
gambaran klinis dari infeksinya maka lama pengobatan adalah 7 hari atau 3 hari bebas
panas. Bila penyebabnya adalah P.aeruginosa dan Enterobacteriaceae maka lama
terapi 14 21 hari.
RESPONS TERAPI
Respons
terhadap
terapi
dapat
didefinisikan
secara
klinis
maupun
disebabkan oleh patogen lain seperti M.tuberculosis, jamur dan virus atau patogen
yang sangat jarang sehingga tidak diperhitungkan pada pemberian antibiotik
Penyebab lain kegagalan terapi adalah komplikasi pneumonia seperti abses
paru dan empiema. Pada beberapa pasien HAP mungkin terdapat sumber infeksi lain
yang bersamaan seperti sinusitis, infeksi karena kateter pembuluh darah, enterokolitis
dan infeksi saluran kemih. Demam dan infiltrat dapat menetap karena berbagai hal
seperti demam akibat obat, sepsis dengan gagal organ multipel.
7. PROGNOSIS
Prognosis akan lebih buruk jika dijumpai salah satu dari kriteria di bawah ini, yaitu
1. Umur > 60 tahun
2. Koma waktu masuk
3. Perawatan di IPI
4. Syok
5. Pemakaian alat bantu napas yang lama
6. Pada foto toraks terlihat gambaran abnormal bilateral
7. Kreatinin serum > 1,5 mg/dl
8. Penyakit yang mendasarinya berat
9. Pengobatan awal yang tidak tepat
10. Infeksi yang disebabkan bakteri yang resisten (P.aeruginosa, S.malthophilia,
Acinetobacter spp. atau MRSA)
11. Infeksi onset lanjut dengan risiko kuman yang sangat virulen
12. Gagal multiorgan
13. Penggunaan obat penyekat H2 yang dapat meningkatkan pH pada pencegahan
perdarahan usus
B. SYOK SEPSIS
1. DEFINISI
Sepsis merupakan respon sistemik pejamu terhadap infeksi dimana patogen
atau toksin dilepaskan ke dalam sirkulasi darah sehingga terjadi aktivasi proses
inflamasi. Berbagai definisi sepsis telah diajukan, namun definisi yang saat ini
digunakan di klinik adalah definisi yang ditetapkan dalam consensus American
College of Chest Physician dan Society of Critical Care Medicine pada tahun 1992
yang mendefinisikan sepsis, sindroma respon inflamasi sistemik (systemic
inflammatory response syndrome / SIRS), sepsis berat, dan syok/renjatan septik
Terminologi dan Definisi Sepsis
1. Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), ditandai dengan 2 (dua) gejala
sebagai berikut:
a. Hyperthermia/hypothermia (>38,3C; <35,6C)
b. Tachypneu (resp >20/menit)
c. Tachycardia (pulse >100/menit)
2. ETIOLOGI
Infeksi dapat disebabkan oleh virus, bakteri, fungi. Respon sistemik dapat
disebabkan oleh mikroorganisme penyebab yang beredar dalam darah atau hanya
disebabkan produk toksik dari mikroorganisme atau produk reaksi radang yang
berasal dari infeksi lokal.
Umumnya disebabkan kuman gram negatif. Insidensnya meningkat, antara
lain karena pemberian antibiotik yang berlebihan, meningkatnya penggunaan obat
sitotoksik dan imunosupresif, meningkatnya frekuensi penggunaan alat-alat invasive
seperti kateter intravaskuler, meningkatnya jumlah penyakit rentan infeksi yang dapat
hidup lama, serta meningkatnya infeksi yang disebabkan organisme yang resisten
terhadap antibiotik. Infeksi traktus repiratorius merupakan penyebab sepsis yang
tersering diikuti infeksi abdomen dan jaringan lunak.
3. PATOFISIOLOGI
Syok terjadi karena adanya kegagalan sirkulasi dalam upaya memenuhi
kebutuhan tubuh. Hal ini disebabkan oleh menurunnya cardiac output atau kegagalan
distribusi aliran darah dan kebutuhan metabolik yang meningkat disertai dengan atau
tanpa kekurangan penggunaan oksigen pada tingkat seluler. Tubuh mempunyai
kemampuan kompensasi untuk menjaga tekanan darah melalui peningkatan denyut
jantung dan vasokonstriksi perifer. Hipotensi dikenali sebagai tanda yang timbul
lambat terutama pada neonatus karena mekanisme kompensasi tubuh mengalami
kegagalan sehingga terjadi ancaman kardiovaskuler.
Respon imun pejamu, melalui sistem imun seluler dan humoral serta reticular
endothelium system (RES), dapat mencegah terjadinya sepsis. Respon imun ini
menghasilkan kaskade inflamasi dengan mediator mediator yang sangat toksik
termasuk hormon, sitokin, dan enzim. Jika proses kaskade inflamasi ini tidak
terkontrol, maka SIRS terjadi dan dapat berlanjut dengan disfungsi sel, organ, dan
gangguan sistem mikrosirkulasi.
Kaskade inflamasi dimulai dengan toksin atau superantigen. Endotoksin (suatu
lipopolisakarida), mannosa, dan glikoprotein, komponen dinding sel bakteri gram
negatif, berikatan dengan makrofag meyebabkan aktivasi dan ekspresi gen inflamasi.
Superantigen atau toksin yang berhubungan dengan bakteri gram positif,
mycobacteria, dan virus akan mengaktivasi limfosit dan menginisiasi kaskade
mediator inflamasi.
lain
sepsis
berat
dan
syok
septik
adalah
terjadinya
Fase II : Dekompensasi
Pada fase ini mekanisme kompensasi mulai gagal mempertahankan curah
jantung yang adekuat dan sistem sirkulasi menjadi tidak efisien lagi. Jaringan dengan
perfusi yang buruk tidak lagi mendapat oksigen yang cukup, sehingga metabolisme
berlangsung secara anaerobic yang tidak efisien. Alur anaerobic menimbulkan
penumpukan asam laktat dan asam-asam lainnya yang berakhir dengan asidosis.
Asidosis akan bertambah berat dengan terbentuknya asam karbonat intra selular
akibat ketidak mampuan sirkulasi membuang CO2.
Asidemia akan menghambat kontraktilitas otot jantung dan respons terhadap
katekolamin. Akibat lanjut asidosis akan menyebabkan terganggunya mekanisme
energi dependent pompa Na/K ditingkat selular, akibatnya integritas membran sel
terganggu, fungsi lisosom dan mitokondria akan memburuk yang dapat berakhir
dengan kerusakan sel. Lambatnya aliran darah dan kerusakan reaksi rantai kinin serta
system koagulasi dapat memperburuk keadaan syok dengan timbulnya agregasi
tombosit dan pembentukan trombos disertai tendensi perdarahan.
Pada syok juga terjadi pelepasan mediator-vaskular antara lain histamin,
serotonin, sitokin (terutama TNF=tumor necrosis factor dan interleukin 1), xanthin,
oxydase yang dapat membentuk oksigen radikal serta PAF (platelets agregatin factor).
Pelepasan mediator oleh makrofag merupakan adaptasi normal pada awal keadaan
stress atau injury, pada keadan syok yang berlanjut justru dapat memperburuk
keadaan karena terjadi vasodilatasi arteriol dan peningkatan permeabilitas kapiler
dengan akibat volume intravaskular yang kembali kejantung (venous return) semakin
berkuarang diserai timbulnya depresi miokard.
Manifestasi klinis yang dijumpai berupa takikardia yang bertambah, tekanan
darah mulai turun, perfusi perifer memburuk (kulit dingin dan mottled, capillary
refilling bertambah lama), oliguria dan asidosis (laju nafas bertambah cepat dan
dalam) dengan depresi susunan syaraf pusat (penurunan kesadaran).
Fase III : Irreversible
Kegagalan mekanisme kompensasi tubuh menyebabkan syok terus berlanjut,
sehingga terjadi kerusakan/kematian sel dan disfungsi sistem multi organ lainnya.
Cadangan fosfat berenergi tinggi (ATP) akan habis terutama di jantung dan hepar,
sintesa ATP yang baru hanya 2% / jam dengan demikian tubuh akan kehabisan energi.
Kematian akan terjadi walaupun system sirkulasi dapat dipulihkan kembali.
Manifestasi klinis berupa tekanan darah tidak terukur, nadi tak teraba, penurunan
kesadaran semakin dalam (sopor-koma), anuria dan tanda-tanda kegagalan sistem
organ lain.
Karakteristik
lain
sepsis
berat
dan
syok
septik
adalah
terjadinya
Respirotary Distress.Syndrome
Hipoksemia
Hepatobilier disfunction
GCS < 15
5. PENATALAKSANAAN
Penatalaksaan awal pasien-pasien demean mengarah sepsis ialah resusitasi
cairan yang mencakup 3 proses, yaitu:
1. Memaksimalkan penyebaran oksigen dan perfusi jaringan
2. Monitoring seksama dari tanda-tanda vital dan fungsi organ sebagai pedoman
resusitasi lanjutan
3. Menyiapkan strategi untuk menyingkirkan sumber infeksi.
Proses ini ditujukan untuk menghentikan (atau setidaknya memperlambat)
onset dari sindrom disfungsi organ multipel / multi organ dysfunction syndrome. Saat
sepsis sudah dikonfirmasi, beberapa langkah berikut sebaiknya sudah dilakukan
seperti oksigen aliran tinggi, kanul, terapi cairan, monitoring jumlah urin.
Perbaikan hemodinamik
Banyak pasien syok septik yang mengalami penurunan volume intravaskuler,
sebagai respon pertama harus diberikan cairan jika terjadi penurunan tekanan darah.
Cairan koloid dan kristaloid tak diberikan. Jika disertai anemia berat perlu transfusi
darah dan CVP dipelihara antara 10-12 mmHg.
Untuk mencapai cairan yang adekuat pemberian pertama 1 L-1,5 L dalam
waktu 1-2 jam. Tujuan resusitasi pasien dengan sepsis berat atau yang mengalami
hipoperfusi dalam 6 jam pertama adalah CVP 8-12 mmHg, MAP >65 mmHg, urine
>0.5 ml/kg/jam dan saturasi oksigen >70%. Bila dalam 6 jam resusitasi, saturasi
oksigen tidak mencapai 70% dengan resusitasi cairan dengan CVP 8-12 mmHg, maka
dilakukan transfusi PRC untuk mencapai hematokrit >30% dan/atau pemberian
dobutamin (dosis 5-10 g/kg/menit sampai maksimal 20 g/kg/menit).
Dopamin diberikan bila sudah tercapai target terapi cairan, yaitu MAP
60mmHg atau tekanan sistolik 90-110 mmHg. Dosis awal adalah 2-5 mg/Kg
BB/menit. Bila dosis ini gagal meningkatkan MAP sesuai target, maka dosis dapat di
tingkatkan sampai 20 g/ KgBB/menit. Bila masih gagal, dosis dopamine
dikembalikan pada 2-5 mg/Kg BB/menit, tetapi di kombinasi dengan levarterenol
(norepinefrin). Bila kombinasi kedua vasokonstriktor masih gagal, berarti
prognosisnya buruk sekali. Dapat juga diganti dengan vasokonstriktor lain (fenilefrin
atau epinefrin).
Pemakaian Antibiotik
Setelah diagnosis sepsis ditegakkan, antibiotik harus segera diberikan, dimana
sebelumnya harus dilakukan kultur darah, cairan tubuh, dan eksudat. Pemberian
antibiotik tak perlu menunggu hasil kultur. Untuk pemilihan antibiotik diperhatikan
dari mana kuman masuk dan dimana lokasi infeksi, dan diberikan terapi kombinasi
untuk gram positif dan gram negatif.
Terapi antibiotik intravena sebaiknya dimulai dalam jam pertama sejak
diketahui sepsis berat, setelah kultur diambil. Terapi inisial berupa satu atau lebih obat
yang memiliki aktivitas melawan patogen bakteri atau jamur dan dapat penetrasi ke
tempat yang diduga sumber sepsis. Oleh karena pada sepsis umumnya disebabkan
oleh gram negatif, penggunaan antibiotik yang dapat mencegah pelepasan endotoksin
seperti karbapenem memiliki keuntungan, terutama pada keadaan dimana terjadi
proses inflamasi yang hebat akibat pelepasan endotoksin, misalnya pada sepsis berat
dan gagal multi organ. Pemberian antibiotik kombinasi juga dapat dilakukan dengan
indikasi :
1. Sebagai terapi pertama sebelum hasil kultur diketahui
2. Pasien yang dapat imunosupresan, khususnya dengan netropeni
3. Dibutuhkan efek sinergi obat untuk kuman yang sangat pathogen
(pseudomonas aureginosa, enterokokus).
Pemberian antimikrobial dinilai kembali setelah 48-72 jam berdasarkan data
mikrobiologi dan klinis. Sekali patogen penyebab teridentifikasi, tidak ada bukti
bahwa terapi kombinasi lebih baik daripada monoterapi.
Terapi Suportif
Oksigenasi
Sepsis secara dramatis akan meningkatkan kecepatan metabolik tubuh
sehingga kebutuhan akan oksigen akan meningkat. Untuk itu digunakan nonrebreathe face mask dengan aliran oksigen tinggi. Saturasi oksigen ditargetkan di
sekitar > 94% kecuali jika pasien memiliki riwayat hipoksemia kronis. Nonrebreathe face mask biasanya tidak cocok untuk pemakaian jangka panjang,
namun sangat penting dalam fase resusitasi akut untuk memaksimalkan jumlah
oksigen yang masuk. Pada keadaan hipoksemia berat dan gagal napas bila disertai
dengan penurunan kesadaran atau kerja ventilasi yang berat, ventilasi mekanik
segera dilakukan.
Terapi cairan
o Hipovolemia harus segera diatasi dengan cairan kristaloid (NaCl 0.9% atau
ringer laktat) maupun koloid.
o Pada keadaan albumin rendah (<2 g/dL) disertai tekanan hidrostatik melebihi
tekanan onkotik plasma, koreksi albumin perlu diberikan.
o Transfusi PRC diperlukan pada keadaan perdarahan aktif atau bila kadar Hb
rendah pada kondisi tertentu, seperti pada iskemia miokard dan renjatan
septik. Kadar Hb yang akan dicapai pada sepsis masih kontroversi antara 8-10
g/dL.
Vasopresor dan inotropik
Sebaiknya diberikan setelah keadaan hipovolemik teratasi dengan pemberian
cairan adekuat, akan tetapi pasien masih hipotensi. Vasopresor diberikan mulai
dosis rendah dan dinaikkan (titrasi) untuk mencapai MAP 60 mmHg atau tekanan
darah sistolik 90mmHg. Dapat dipakai dopamin >8g/kg.menit,norepinefrin 0.031.5g/kg.menit,
phenylepherine
0.5-8g/kg/menit
atau
epinefrin
0.1-
produksi
(glikolisis,
kadar gula darah antara 80-110 mg/dL dibandingkan pada kelompok dimana
insulin baru diberikan bila kadar gula darah >115 mg/dL. Namun apakah
pengontrolan gula darah tersebut dapat diaplikasikan dalam praktek ICU, masih
poliklonal
dan
monoklonal,
analog
(N-asetilsistein,
imunostimulator
selenium),
(imunoglobulin,
IFN-,
inhibitor
G-CSF,
sintesis
NO
imunonutrisi);
(L-NMMA);
nonspesifik
jumlah produksi urin dari ginjal, sehingga membantu mengestimasi aliran darah
ginjal. Hal ini membantu dalam menilai perfusi ginjal dan sebagai prediktor dari gagal
ginjal. Pasien harus ditargetkan mencapai produksi urin normal. Dikatakan oliguria
bila produksi urin <0.5ml/kg/jam selama 2 jam berturut-turut. Oliguria persisten
menjadi tanda awal dari gagal ginjal. Anuria mengindikasikan bahwa ginjal telah
sepenuhnya mengalami kegagalan, namun seringkali akibat terbloknya aliran urin di
kateter.
6. PROGNOSIS
Keseluruhan angka kematian pada pasien dengan syok septik menurun dan sekarang
rata-rata 40% (kisaran 10 sampai 90%, tergantung pada karakteristik pasien).
PEMBAHASAN
Pasien dirawat di puskesmas karena diare akut selama 4 hari dan diare telah
dinyatakan sembuh dan dibolehkan pulang, tetapi pasien masih demam walaupun sudah tidak
diare. Selama dirawat di puskesmas keluarga pasien tidak ada yang mengerti obat apa saja
yang diberikan selama perawatan tetapi pernah diberitahu oleh perawat bahwa pasien diberi
antibiotik d puskesmas. Setelah sehari pulang dari puskesmas, pasien malah merasa demam
menggigil dan nafas terasa sesak. Pasien dirawat selama 4 hari Di puskesmas, tidak menutup
kemungkinan pasien terkena infeksi mikroba lain dari puskesmas yang merupakan faktor
eksogen, ditambah faktor resiko endogen yaitu usia 70 tahun yang tergolong lanjut usia dan
rentan terhadap penyakit infeksi atau infeksi dari saluran pencernaan dari pasien itu sendiri
yang menyebabkan daya tahan tubuh pasien menurun. Faktor resiko lain yang mungkin
adalah penggunaan antibiotik di puskesmas yang bisa memfasilitasi terjadinya kolonisasi
yang mempengaruhi flora nornal pada tubuh pasien. Faktor eksogen dan endogen yang
terdapat pada pasien
tersebut diperkuat
Pada pemeriksaan fisik pasien ditemukan suhu tubuh yang meningkat yaitu 40,2 0C,
sesak nafas yaitu 32x/menit, pada auskultasi paru terdapat suara tambahan Ronkhi basah
kasar yang menunjukkan adanya cairan/sekret pada bronkus atau trakea dan pada
pemeriksaan laboratorium menunjukkan adanya
leukositosis
memburuknya pertukaran gas yang ditandai dengan saturasi oksigen turun (SpO 2 : 90%).
Untuk lebih memastikan diagnosis pneumonia, seharusnya pasien dilakukan foto thoraks,
akan tetapi pada pasien ini belum sempat dilakukan foto thoraks karena pada saat datang ke
IGD pasien dalam kondisi yang tidak stabil dan perlu penanganan dan pengawasan ketat
terlebih dahulu. Pada pasien pneumonia akan didapatkan gambaran foto rontgn thoraks
Infiltrat menetap yang progresif dan baru, Konsolidasi, Ada kavitas. Berdasarkan tanda/gejala
serta pemeriksaan laboratorium pasien sudah memenuhi kriteria dan pasien ini dapat
ditegakkan diagnosis pneumonia nosokomial atau HAP.
Pasien dibawa ke IGD RSUD Soetijono Blora dengan penurunan kesadaran, tampak
lemah, disertai dengan nafas cepat dan dalam., demam serta keluar keringat dingin.
Pemeriksaan tekanan darah pasien adalah 90/50 mmHg dengan denyut nadi 130x/menit,
frekuensi nafas 32x/menit dan suhu mencapai 40,7 oC serta SpO2: 90%. Di IGD pasien
diberikan cairan intravena sebanyak 500 cc, tekanan darah pasien kemudian meningkat
140/90 mmHg dengan nadi 129x/menit. Takikardi, takipnea, hipertermia, leukositosis dan
adanya fokus infeksi pneumonia di paru memenuhi kriteria Bone mengenai sepsis. Penurunan
kesadaran, hipotensi, azotemia dan peningkatan SGOT SGPT pada pasien menguatkan
diagnosis sepsis berat, kemudian pasien dirawat di ICU dengan diagnosis sepsis berat e.c.
HAP.
menggunakan sungkup non-rebreathing. Oksigen tekanan tinggi penting untuk pasien sepsis
karena adanya peningkatan kebutuhan oksigen akibat peningkatan kecepatan metabolik
didalam tubuh. Pemasangan kateter urin dilakukan untuk mengukur jumlah produksi urin dari
ginjal untuk estimasi aliran darah ginjal. Hal ini membantu dalam menilai perfusi ginjal dan
sebagai prediktor dari gagal ginjal.
kecepatan 30tpm setelah diberikan 500 cc di IGD. Pada pasien sepsis, untuk mencapai cairan
yang adekuat pemberian pertama 1 L-1,5 L dalam waktu 1-2 jam. Pasien diberikan antibiotik
intravena spektrum luas (levofloxacin) dan antibiotik untuk kuman anaerob (Metronidazole)
segera setelah dirawat di ICU. Penggunaan antibiotik pada sepsis harus segera diberikan
segera tanpa menunggu hasil kultur.
Setelah pasien di tempatkan di ICU selama 1,5 jam pasien mulai mengalami
penurunan tekanan darah dan diberikan loading cairan tetapi tidak respon. Produksi urin
Pasien
hanya 100cc sejak pukul 13.45 pagi hingga 18.30 atau sekitar 0,4cc/kgbb/jam
(oligouria). Pasien sepsis mengalami gangguan sistem autoregulasi sehingga ketika tekanan
darah menurun, aliran darah ke ginjal juga menurun sehingga jumlah urin juga akan
menurun. Diagnosis pasien berubah menjadi syok septik, dan pasien apneu. Dilakukan
resusitasi jantung paru hingga pasien bisa nafas spontan. Akan tetapi keadaan pasin masih
hipotensi. Kemudian diberikan
vasopresor
0,05
mikrogram/kgbb/menit. Tidak lama setelah itu keadaan pasien memburuk, tekanan darah
kembali turun dan pasien apneu. Kemudian dilakukan resusitasi jantung paru lagi dan pasien
dinyatakan meninggal.
Kegagalan mekanisme kompensasi tubuh menyebabkan syok terus berlanjut, sehingga
terjadi kerusakan/kematian sel dan disfungsi sistem multi organ lainnya. Syok septik berat
seperti kondisi pasien dapat berkembang menjadi suatu sindrom gangguan fungsi organ
multipel atau multiple organ dysfunction syndrome (MODS) yang menyebabkan hipoperfusi
generalisata sehingga kondisi pasien semakin memburuk.