Anda di halaman 1dari 60

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Saliva
2.1.1 Pengertian dan fungsi saliva
Saliva adalah cairan yang tidak berwarna dengan konsistensi seperti lendir.
Saliva merupakan sekresi yang berkaitan dengan mulut dan diproduksi oleh tiga
pasang kelenjar saliva utama, yaitu: kelenjar sublingual, submandibula, dan parotis,
yang terletak diluar rongga mulut dan menyalurkan saliva melalui duktus-duktus
pendek dalam mulut.
Saliva memiliki fungsi antara lain:

1; Menjaga kadar kelembaban dan membasahi rongga mulut.


2; Melumasi dan melunakkan makanan sehingga proses menelan dan
mengecap rasa makanan akan lebih mudah.

3; Pencernaan karbohidrat oleh enzim ptialin dan amilase yang dimulai


dalam rongga mulut. Proses ini akan berhenti bila sampai di lambung
karena aktivitas dari enzim tersebut akan terhenti dalam suasana asam.

4; Membersihkan rongga mulut dari sisa-sisa makanan, sisa sel, dan


bakteri sehingga menjaga mulut dan gigi geligi agar tetap bersih.

Mencegah infeksi, karena mulut dan gigi bersih serta adanya IgA, lisozim, dan
laktoferin.
Pada manusia, sekresi saliva kira-kira 1-1,5 liter per hari, dimana sebagian
berasal dari ketiga pasang kelenjar ludah besar. Saliva merupakan larutan yang
memiliki komposisi protein, glikoprotein, karbohidrat, enzim ptialin, sel-sel epitel yang
lepas, limfosit, dan IgA yang dihasilkan oleh sel-sel plasma di jaringan ikat
interstitial dari kelenjar saliva.
2.1.2 Anatomi kelenjar saliva
Saliva dihasilkan oleh glandula salivari yang terdiri dari tiga pasang glandula
yaitu glandula parotis, glandula submandibularis, dan glandula sublingualis.

a; Glandula parotis
Glandula parotis merupakan kelenjar ludah terbesar, berbentuk irreguler akan
tetapi dilihat dari permukaan lateralnya nampak berbentuk segitiga.
Glandula parotis terdapat dalam fossa yang pada bagian depan dibatasi oleh
margo posterior ramus mandibula dan musculus pterygoideus. Pada bagian
belakang fossa dibatasi oleh pars tympanica ossis temporalis, kartilago meatus
austici, margo anterior processus mastoidei, dan musculus sternocleidomastoideus.
Pada bagian medial, fossa dibatasi oleh processus styloideus, otot-otot
stylohyoideus dan styloglossus, arteri carotis interna dan vena juguaris interna.
Sedangkan pada bagian ventromedial, fossa dibatasi oleh venter posterior musculi
digastrici.
Duktus parotideus Stenson dibentuk oleh duktus-duktus yang berasal dari
lobus-lobus glandula parotis. Duktus parotideus stenson bermuara ke dalam lebih
vestibulum oris pada paila parotidea yang berhadapan dengan gigi Molar kedua
atas atau Molar pertama atas.
2

Glandula parotis dibungkus oleh fascia yang melekat erat pada


permukaannya. Fascia ini dibentuk dari fascia colli superficialis yang di daerah
glandula

parotis

membelah

untuk

membungkus

kelenjar

ini

(fasciaparotideomasseterica). Struktur yang terdapat dalam substansi glandula


parotis, antara lain: arteri carotis eksterna yang memasuki dan meninggalkan
glandula pada fasies profundanya, vena retromandibula (vena facialis posterior),
nervus facialis, nodilymphatici parotidei. Perdarahan glandula parotis berasal dari
pembuluh darah yang melewatinya. Sedangkan persarafan glandula parotis
didapatkan dari nervus auriculotemporalis.

b) Glandula submandibularis

G
l
a
n
d
u
l
a
s
u
b
m
a
n
d
i
b
u
l
a
r
i
s
b
e
s
a
r
n
y
a
k
u
r
a
n
g
l
e
b
i
h
s
e
t
e
n
g
4

a
h
d
a
r
i
b
e
s
a
r
g
l
a
n
d
u
l
a
p
a
r
o
t
i
s
d
a
n
m
e
m
i
l
i
k
i
b
e
n
t
u
k
o
v
a
l
,
5

p
i
p
i
h
,
d
a
n
t
e
r
l
e
t
a
k
d
a
l
a
m
t
r
i
g
o
n
u
m
s
u
b
m
a
n
d
i
b
u
l
a
r
i
s
.
6

D
u
k
t
u
s
s
u
b
m
a
n
d
i
b
u
l
a
r
i
s
(
d
u
k
t
u
s
W
h
a
r
t
o
n
i
)
b
e
r
m
u
a
r
a
k
e
c
7

a
v
u
m
o
r
i
s
.
P
l
i
k
a
s
u
b
l
i
n
g
u
a
l
i
s
a
d
a
l
a
h
l
i
p
a
t
a
n
m
u
k
o
s
a
d
a
8

s
a
r
k
u
l
i
t
y
a
n
g
d
i
t
o
n
j
o
l
k
a
n
o
l
e
h
d
u
k
t
u
s
W
h
a
r
t
o
n
i
b
e
r
s
a
m
a
9

g
l
a
n
d
u
l
a
s
u
b
l
i
n
g
u
a
l
i
s
.
P
e
r
d
a
r
a
h
a
n
g
l
a
n
d
u
l
a
s
u
b
m
a
n
d
i
b
10

u
l
a
r
i
s
b
e
r
a
s
a
l
d
a
r
i
c
a
b
a
n
g
c
a
b
a
n
g
k
e
c
i
l
a
r
t
e
r
i
f
a
c
i
a
l
i
11

s
d
a
n
a
r
t
e
r
i
s
u
b
m
e
n
t
a
l
i
s
.

c) Glandula sublingualis
Glandula sublingualis adalah kelenjar ludah besar yang terkecil yang memiliki
bentuk memanjang dan sempit. Glandula ini terletak di dasar mulut, pada otot
mylohyoideus antara otot geniohyoid, genioglossus, dan hyoglossus pada satu sisi
dan facies medialis corpus mandibula pada sisi lain. Pada mandibula terletak pada
fovea sublingualis. Glandula sublingualis tertutup langsung oleh membran mukosa
mulut dan menonjolkan mukosa membentuk plika sublingualis.
Glandula sublingualis memiliki perantara 5-20 duktus sempit dan pendek
(duktus sublingualis minor dari duktus Rivinus) yang bermuara kedalam rongga
mulut pada plika sublingualis. Kelompok lobus disebelah ventral membentuk
duktus yang lebih besar yaitu duktus sublingualis mayor yang bermuara kedalam
12

duktus Whartoni, dekat sebelum duktus terakhir ini bermuara pada curunculae.
Perdarahan glandula sublingualis berasal dari arteri sublingualis cabang arteri
lingualis.

Gambar 1. Kelenjar Saliva

13

2.1.3 Histologi kelenjar saliva


1; Kelenjar parotis
Kelenjar parotis merupakan kelenjar saliva terbesar yang terletak di
samping telinga. Jenis kelenjar ini adalah tubuloasiner kompleks (asiner
bercabang)yang ada manusia merupakan kelenjar serosa murni. Sel-sel asini
kelenjar parotis memiliki ribosomal RNA dengan jumlah yang cukup banyak di
bagian basal dibanding dengan sel eksokrin pada kelenjar pankreas. Sel-sel
asini kelenjar ini pada manusia mempunyai granula sekresi yang menunjukkan
reaksi Periodic Acid Schiff (PAS) positif, yang menunjukkan adanya
polisakarida. Granula sekresi ini kaya protein dan mempunyai
aktivitas amilase yang besar.
Kelenjar ini dilingkupi oleh kapsula jaringan ikat retikuler yang tebal
dan bercabang masuk membentuk septa-septa yang membagi kelenjar menjadi
lobulus-lobulus kecil. Dalam jaringan ikat ini terdapat sel-sel lemak, serat-serat
saraf dari nervus VII, duktus interlobularis serta banyak sel-sel plasma. Sel-sel
plasma disini menghasilkan IgA yang berikatan dengan komponen (protein)
sekretoris yang dihasilkan oleh sel asini. Kompleks secretory-IgA (sIgA) yang
dikeluarkan kedalam saliva bersifat resisten terhadap enzim pencernaan dan
berperan dalam mekanisme pertahanan imunologik terhadap

14

zat patogen yang ada di rongga mulut.


Kelenjar parotis mempunyai sistem saluran yang lengkap dari yang
terkecil hingga saluran yang besar. Saluran keluar utamanya disebut duktus
parotideus dari Stenson (duktus stenson).
2) Kelenjar submandibularis
Kelenjar submandibularis merupakan kelenjar tubuloasiner kompleks
(bercabang)dimana memiliki bagian sekretorisnya tersusun dari asini serosa
dan asini mukosa atau disebut kelenjar campuran. Pada manusia kelenjar ini
memiliki asini serosa lebih dominan (80%), sedangkan asini mukosa hanya 5%,
sehingga disebut kelenjar mukoserosa.

15

Sel-sel serosa memiliki granula sekretoris yang memiliki reaksi PAS positif karena
adanya karbohidrat, berinti bulat dan sitoplasmanya basofilik (lebih gelap). Sel-sel
yang membentuk demiluner Gianuzzi mengandung dan mensekresi lisozim, yang
aktivitas utamanya adalah menghidrolisis dinding bakteri. Duktus interkalatus pada
kelenjar ini sangat pendek dan tidak berkembang baik, sehingga pada sediaan tidak
banyak ditemukan, tetapi duktus striata pada kelenjar berkembang baik dan
panjang. Saluran keluar utamanya adalah duktus submandibularis dari Wharton
(duktus Wharton) yang bermuara pada ujung papila sublingualis pada dasar rongga
mulut dibawah lidah. Kelenjar submandibularis dibungkus kapsula jaringan ikat
dan jaringan ikat ini masuk membentuk sekat-sekat yang membatasi lobulus.
3) Kelenjar sublingualis
Kelenjar sublingualis merupakan kelenjar ludah mayor terkecil
dibanding dengan kelenjar parotis dan submandibularis. Kelenjar ini
merupakan jenis kelenjar tubuloasiner kompleks (bercabang) yang juga
merupakan kelenjar campuran, sel ini yang dominan adalah sel-sel mukosa.
disebut kelenjar seromukosa, kapsula jaringan ikat dari kelenjar ini tidak
berkembang dengan baik, tetapi septa-septa kelenjar terlihat cukup
jelas.Saluran keluarnya terdapat kurang lebih sebanyak 10-12 saluran yang
disebut sebagai duktus Rivinus yang bermuara di sepanjang lipatan mukosa
(plika sublingualis). Saluran yang lebih besar yang dimiliki kelenjar ini
adalah duktus Bartholini yang bermuara pada kurunkula sublingualis
bersama dengan duktus Warthoni.
2.1.4 Mekanisme sekresi saliva
Sekresi saliva terbesar terjadi pada saat pengecapan dan pengunyahan makanan.
Pada saat tidak sedang makan, saliva tetap ada, namun aliran saliva dalam rongga
mulut sangat sedikit. Pada individu sehat, produksi saliva tetap berada dalam
rongga mulut sebanyak 0,5 ml sehingga gigi akan terendam dalam saliva dan
membantu mempertahankan integritas gigi, melindungi gigi, lidah, membran
mukosa mulut dan orofaring

16

Sekresi saliva sebagian besar berada dibawah kontrol sistem saraf otonom serta
(simpatis dan parasimpatis). Rangsang saraf parasimpatis yang disertai vasodilatasi
pembuluh darah pada kelenjar berefek pada hasil sekresi saliva banyak dan encer.
Sistem parasimpatis memegang peranan lebih banyak dalam mengatur sekresi saliva.

Sistem parasimpatis akan mengantarkan impuls saraf ke nukleus salivarius, nukleus


salivarius superior akan meneruskan rangsang saraf ke kelenjar sublingualis dan
submandibularis, nukleus salivarius inferior akan meneruskan rangsang saraf ke
kelenjar parotis, sedangkan kelenjar saliva minor akan dipersarafi oleh serabut jaringan
parasimpatis dari saraf fasial. Sekresi saliva memiliki dua jenis reflek, yaitu: reflek
sekresi sederhana dan reflek sekresi terkondisi. Reflek sederhana terjadi apabila
kemoreseptor dan reseptor tekan di dalam rongga mulut melakukan respon terhadap
keberadaan makanan. Reseptor ini akan menghasilkan impuls pada serat afferent lalu
membawa informasi tersebut ke medulla oblongata. Rangsang afferent dibawa oleh
proses merasakan ke nukleus salivarius di medulla oblongata oleh nervus
glossopharingeus, facialis, dan vagus. Sedangkan impuls aferen yang berasal dari
kegiatan mengunyah dibawa oleh nervus trigeminus. Reflek terkondisi dapat timbul
tanpa adanya rangsang secara oral. Reflek ini dapat terjadi akibat berfikir, melihat,
mencium bahkan hanya mendengar. Secara sederhana, sinyal yang berasal bukan dari
oral dikaitkan secara mental melalui korteks serebri yakni melalui sistem limbik untuk
merangsang pusat sekresi saliva di medulla oblongata.

2.1.5 Laju aliran saliva


Jumlah saliva total tanpa stimulasi adalah jumlah total sekresi saliva yang akhir
memasuki mulut tanpa adanya stimulus eksogen. Komposisi dari saliva total ini terdiri
atas sekresi dari kelenjar saliva mayor dan minor ditambah dengan cairan krevis
gingiva, sel epitel skuamosa, bakteri, leukosit, dan kemungkinan sisa makanan, darah,
serta virus. Rata-rata laju aliran saliva tanpa stimulasi selama periode sadar (16 jam)
yakni kurang lebih 0,3 ml/menit, sehingga total volume selama periode ini akan
menjadi 300 ml saliva. Selama tidur, laju saliva akan turun menjadi 0,1 ml/menit,
dan menghasilkan 40 ml saliva dalam 7 jam.
2.1.6 Faktor yang mempengaruhi laju aliran saliva
Faktor yang mempengaruhi laju aliran saliva antara lain:
a) Usia
Laju aliran saliva meningkat pada usia anak dan dewasa, dan menurun pada
usia tua. Fungsi kelenjar saliva menurun pada lansia karena elemen asinus
kelenjar telah digantikan oleh jaringan lemak dan jaringan fibrosa.
b) Jenis kelamin
Laju aliran saliva pada pria lebih tinggi dibanding pada wanita karena kelenjar
saliva berukuran yang lebih besar pada pria dibanding pada wanita.

c) Obat-obatan
Penggunaan atropin dan obat kolinergik seperti antidepresan trisiklik,
antipsikotik, benzodiazepin, -blocker, dan antihistamin dapat menurunkan laju
aliran saliva.
d) Penyakit sistemik
Penyakit sistemik seperti diabetes dan hipertensi dapat menurunkan laju aliran
saliva.
e) Merokok
Konsumsi rokok harian yang meningkat dapat mengakibatkan penurunan pada
sekresi saliva.
f) Alkohol
Mengkonsumsi alkohol berlebihan dapat berpengaruh pada penurunan laju aliran
saliva.

2.2 Klasifikasi Kelaianan Kelenjar Saliva


2.2.1 Non Neoplastik Disorder
2.2.1.1 Infeksi
A. Infeksi akut
Manifestasi infeksi akut yang biasa terjadi pada kelenjar ludah biasanya
berupa parotitis akut. Beberapa kelompok virus dan bakteri merupakan penyebab
umum terjadinya ketidaknormalan produksi kelenjar ludah. Sebagian besar infeksi
bakteri kemungkinan berasal dari kavitas oral dan berhubungan dengan penurunan
aliran ludah. Selain itu beberapa pasien dengan kondisi lemah dan imunosupresan
memiliki resiko untuk terkena sialedenitis akut.
A.1 Infeksi Bakteri
1. Acute suppurative Sialedenitis
Acute suppurative Sialedenitis merupakan suatu kondisi akut dan nyeri difus
pada keadaan awal penyakit glandula parotis. Kelenjar mengalami pembesaran, terasa
sakit, dan terdapat eksudat purulen yang terlihat pada orifice bukal duktus Stensen.
Penyakit ini biasanya terjadi pada pasien dengan kondisi kesehatan lemah, dehidrasi,
dengan oral hygiene yang buruk. Penyakit ini biasanya disebabkan oleh infeksi
bakteri Staphylococcus aureus, Streptococcus viridans, S. pneumoniae, Haemophilus

influenzae, Streptococcus pyogenes, and Escherichia coli. Limfonodi parotis dan


intraparotis biasanya akan terlibat sebagai reaksi inflamasi. Treatment of choice
penyakit ini adalah dengan terapi antibiotik. Selain pada glandula parotis, acute
suppurative sialedenitis juga dapat menyerang pada region submandibula.
2. Suppurative parotitis.
Penyakit ini dapat terjadi pada bayi yang baru lahir, biasanya pada bayi yang
lahir prematur (35-40%) dengan dehidrasi sebagai faktor predisposisi. Onset biasanya
terjadi sekitar 7-14 hari dan terdapat eritema pada kulit di sekitar kelenjar parotis.
Penyebab umum infeksi antara lain Staphylococcus, Pseudomonas, Streptococcus,
Pneumococcus, and Escherichia. Terapi hidrasi dan antibiotic biasanya digunakan
untuk merawat infeksi. Pasien yang salah terdiagnosis atau yang tidak terobati
sempurna terkadang dapat berkembang menjadi abses intraglandular.
3. Sialodochitis
Sialodochitis merupakan inflamasi yang terjadi baik pada duktus Warthon
maupun Stensen. Biasanya terjadi dilatasi pada obstruksi distal. Pembesaran duktus
dapat berbentuk fusiform atau berantai menghasilkan area ductal stenosis.
A.2 Infeksi Virus
Kasus paling umum yaitu viral parotitis (mumps) yang disebabkan oleh RNA
virus dari kelompok paramyxovirus. Pada tahap awal infeksi melibatkan kelenjar

parotis namun juga dapat berkembang di kelenjar submandibula maupun sublingual.


Diagnosis biasanya berdasarkan pada penyakit epidemik dan ditegakkan dengan uji
titer antibody. Periode inkubasi diantara 2-3 minggu, dengan keterlibatan kelenjar
parotis secara unilateral pada 20-33,3% kasus. Agen virus lain yang dapat
menyebabkan parotitis antara lain coxsackie viruses, parainfluenza viruses (types I
and III), influenza virus type A, herpes virus, echo virus, and choriomeningitis virus.
B. Infeksi Kronis
Inflamasi kronis merupakan penyakit umum kelenjar ludah yang disebabkan
oleh rekurensi infeksi bakteri atau infeksi dari agen lain. Kondisi non infeksi
disebabkan oleh iradiasi, penyakit autoimun, dan kasus idiopatik.
1. Mycobacteria
Epidemiologi menyatakan bahwa infeksi mycobacteria dapat menyerang kelenjar
parotis (70% kasus), kelenjar submandibula (27%), dan kelenjar sublingualis (3%).
Sebagian besar penyakit yang disebabkan infeksi ini berkembang dari tonsi maupun
gigi yang menjadi fokal infeksi kemudian menyebar ke kelenjar melalui limfonodi.
Sarcoidosis, merupakan penyakit sistemik infeksius yang ditandai dengan
pembentukan granuloma pada berbagai system organ dan biasanya disebabkan oleh
infeksi mycobacteria. Sekitar 83% kasus pasien mengalami pembesaran kelenjar
parotis bilateral dan penurunan aliran saliva. Beberapa pasien, juga mengalami gejala
xerostomia akibar kelenjar ludah minor ikut terinfeksi. Sebagian besar pasien tidak

mengalami rasa sakit, dan terjadi pembesaran kronis pada kelenjar yang terlibat
dengan penambakan multinodular dan terlihat seperti keganasan.
2. Syphilis
Syphilis biasanya jarang terjadi pada kelenjar parotis, namun ketika penyakit
ini muncul, distribusi dan penampakannya sama seperti pada infeksi TB dengan
gambaran yang hamper mirip dengan sarcoidosis.
3. Cat-Scratch Disease
Cat-Scratch Disease disebabkan oleh infeksi bakteri gram negatif, riketsia dan
menyebabkan limfadenitis regional. Penyakit ini biasa menyerang pada anak-anak
dan remaja. Radiografik menunjukkan adanya pembesaran limfonodi intraparotid
yang meluas dan tidak spesifik dan hal ini mirip pada infeksi sarcoidosis dan infeksi
TB sehingga sering terjadi kesalahan diagnosis.
4. Toxoplasmosis
Toxoplasmosis merupakan infeksi protozoa yang disebabkan oleh Toxoplasma
gondii. Penyakit ini merupakan infeksi yang umum terjadi yaitu sekitar 5-95%
populasi tergantung dari lokasi geografis.
5. Actinomycosis
Actinomycosis disebabkan oleh infeksi bakteri gram positif anaerob,
Actinomyces iszraelli, mengakibatkan infeksi orofaring. Limfonodi parois dan

submandibular dapat menjadi lokasi infeksi sekunder yang disebarkan melalui


perluasan perluasan infeksi kronis mandibula. Jaringan ikat sekitar mengalami
infiltrate inflamasi dan terkadang infeksi kelenjar parotis dapat menyebar hingga
masticator space. Infeksi bakteri ini pada kelenjar parotis dapat akut, dengan gejala
rasa sakit, pembengkakan, abses, dan pembentukan fistula. Infeksi kronik memiliki
gambaran hamper mirip seperti infeksi TB yang termanifestasi sebagai masa parotid
yang tidak sakit.
2.2.1.2 Inflamasi
1. Sialolithiasis
Sialolithiasis sebagian besar terjadi pada kelenjar submandibula (80-90%),
kelenjar parotis (10-20%), dan sekitar 1-7% terjadi di kelenjar ludah sublingual.
Keterlibatan kelenjar ludah minor sangatlah jarang, meskipun juga bias terjadi pada
mukosa bukal dan bibir atas. Sekitar 75% batu berbentuk solid dan tunggal, namun
25% diantaranya memiliki batu kelenjar multiple. Pada pasien dengan sialodenitis
kronis, setidaknya terdapat kalkulus pada du pertiga kasus dan pada gambaran
radiograf batu tampak sebagai lesi radiopak. Sebanyak 85% batu kelenjar
submandibula terjadi di dalam duktus Warthon, 30% di dekat ostium duktus, dan 20%
diantaranya pada pertengahan duktus.

A. Terapi Sialolithiasis
1. Tanpa pembedahan
Pengobatan klasik silolithiasis (medical treatment) adalah penggunaan
antibiotik dan anti inflamasi, dengan harapan batu keluar melalui caruncula secara
spontan.Pada beberapa kasus dimana batu berada di wharton papillae, dapat
dilakukan tindakan marsupialization (sialodochoplasty). Sering kali batu masih tersisa
terutama bila berada di bagian posterior Wartons duct, sehingga pendekatan
konservatif sering diterapkan.
2. Pembedahan
Sebelum teknik endoskopi dan lithotripsi berkembang pesat, terapi untuk
mengeluarkan batu pada sialolithiasis submandibula delakukan dengan pembedahan,
terutama pada kasus dengan diameter batu yang besar (ukuran terbesar sampai 10
mm), atau lokasi yang sulit. Bila lokasi batu di belakang ostium duktus maka bisa
dilakukan

tindakan

simple

sphincterotomy

dengan

anestesia

lokal

untuk

mengeluarkannya. Pada batu yang berada di tengah-tengah duktus harus dilakukan


diseksi pada duktus dengan menghindari injury pada n. lingualis. Hal ini bisa
dilakukan dengan anestesi lokal maupun general, tapi sering menimbulkan nyeri berat
post operative. Harus dilakukan dengan anestesi general, bila lokasi batu berada pada
gland's pelvis. Pada kasus ini harus dilalakukan submaxilectomy dengan tingkat
kesulitan yang tinggi, karena harus menghindari cabang-cabang dari n. facialis.

3. Minimal invasive
a. Lithotripsi
Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL) merupakan terapi dengan
pendekatan non invasive yang cukup efektif pada sialolithiasis. Setelah berhasil untuk
penanganan batu di saluran kencing dan pankreas, ESWL menjadi alternatif
penanganan batu pada saluran saliva, dimulai tahun 1990- an. Tujuan ESWL untuk
mengurangi ukuran calculi menjadi fragmen yang kecil sehingga tidak mengganggu
aliran seliva dan mengurangi simptom. Diharapkan juga fragmen calculi bisa keluar
spontan mengikuti aliran saliva. Indikasi ESWL bisa dilakukan pada semua
sialolithiasis baik dalam glandula maupun dalam duktus, kecuali posisi batu yang
dekat dengan struktur n. facialis. Inflamasi akut merupakan kontra indikasi lokal dan
inflamasi kronis bukan merupakan kontra indikasi, sedangkan kelainan pembekuan
darah (haemorrhagic diathesis), kelainan kardiologi, dan pasien dengan pacemaker
merupakan kontraindikasi umum ESWL.
Metode ini tidak menimbulkan nyeri dan tidak membutuhkan anestesia,
pasien duduk setengah berbaring (semi-reclining position) seperti terlihat pada Gb.
(a). Shockwave benar-benar fokus dengan lebar 2,5 mm dan kedalaman 20mm
sehingga lesi jaringan sekitarnya sangat minimal. Energi yang digunakan disesuaikan
dengan batu pada kelenjar saliva, yaitu antara 5 30 mPa. Tembakan dilakukan 120

impacts per menit, bisa dikurangi sampai 90 atau 60 impacts per menit. Setiap sesion
sekitar 1500 + / - 500 impacts dan antar sesion terpisah minimal satu bulan.
Keberhasilan ESWL tergantung pada dimensi, lokasi, dan jumlah calculi. Ketepatan
posisi (pinpointing) calculi bisa dipandu dengan ultrasonography, echography probe
7,5 Mhz. Calculi dengan ukuran > 10 mm sulit dipecah menjadi fragmen. Beberapa
penelitian telah melakukan pengamatan dan follow up atas keberhasilan penggunaan
ESWL, antara lain Escidier et al mengamati 122 kasus dimana 68% pasien terbebas
dari simptom setelah difollow up selama 3 tahun, Cappaccio et al dengan 322 kasus
melaporkan 87,6% pasien terbebas dari simptom setelah diamati 5 tahun sejak
pengoabatan menggunakan ESWL.
b. Sialendoskopi
Sialendoskopi merupakan teknik endoskopi untuk memeriksa duktus kelenjar
saliva. Teknik ini termasuk minimal invasive terbaru yang dapat digunakan untuk
diagnosis sekaligus manajemen terapi pada ductal pathologies seperti obstruksi,
striktur, dan sialolith. Prosedur yang dapat dilakukan dengan Sialendoskopi
merupakan complete exploration ductal system yang meliputi duktus utama, cabang
sekunder dan tersier. Indikasi diagnostik dan intervensi dengan Sialendoskopi adalah
semua pembengkakan intermitten pada kelenjar saliva yang tidak jelas asalnya. Koch
et al lebih khusus menjelaskan indikasinya, antara lain untuk 1) deteksi sialolith yang
samar, 2) deteksi dini pemebentukan sialolith (mucous or fibrinous plugs) dan

profilaksis pembentukan batu, 3) pengobatan stenosis post inflamasi dan obstruksi


karena sebab lain, 4) deteksi dan terapi adanya variasi anatomi atau malformasi, 5)
diagnosis dan pemahaman baru terhadap kelaianan autoimun yang melibatkan
kelenjar saliva, 6) sebagai alat follow up dan kontrol keberhasilan terapi. Tidak ada
kontra indikasi khusus, karena merupakan teknik minimal invasive yang hanya
membutuhkan enestesi lokal dan cukup rawat jalan saja, baik pada anak-anak, dewasa
maupun usia lanjut.
c. Teknik Intervensi Sialendoskopi.
Sialendoskopi dilakukan dengan anestesi lokal, papila untuk mencapai
kelenjar diinjeksi dengan bahan anestesi (xylocaine 1% dengan epinephrine
1:200000). Papila dilebarkan bertahap dengan probe yang bertambah besar sampai
sesuai dengan diameter sialendoskop. Kemudian sialendoskop dimasukkan ke dalam
duktus kelenjar saliva diikuti pembilasan dengan cairan isotonik melalui probe.
Pembilasan ini dimaksudkan untuk dilatasi duktus dan irigasi debris. Duktus kelenjar
saliva ini dioservasi mulai dari duktus utama sampai cabang tersier hingga probe
tidak bisa masuk lagi, dengan catatan menghindari trauma dan perforasi dinding
duktus. Bila didapatkan obstruksi, kita bisa menggunakan beberapa teknik untuk
mengatasinya. Untuk pengambilan batu dengan diameter < 4 mm pada kelenjar
submandibula atau < 3mm pada klenjar parotis, kita dekatkan sialendoskop ke
sialolith kemudian kita masukkan ke dalam working chanel sebuah forsep penghisap
yang fleksibel dengan diameter 1 mm atau stone extractor (wire basket forcep).

Berikutnya batu dihisap dan sialendoskop ditarik dengan forcep penghisapnya. Pada
kasus dengan batu yang lebih besar, kita memasukkan probe laser helium ke dalam
working chanel dan batu dipecah menjadi beberapa bagian kecil-kecil. Kemudian
bagian kecil tersebut ambil (removed) dengan teknik yang sama. Sedangkan pada
kasus mucus plug, sekret yang lengket dimobilisasi dengan pembilasan dan
penghisapan.
Setelah

intervensi

Sialendoskopi,

dilakukan

stenting

pada

duktus

submandibula menggunakan stent plastik (sialostent) selama 2 sampai 4 minggu


dengan tujuan 1) menghindari striktur, 2) mencegah obstruksi karena udema sekitar
orifisium, dan 3) sebagai saluran irigasi partikel-partikel batu kecil oleh aliran saliva.
Pemberian hydrocortisone 100 mg injeksi intraductal atau langsung pada daerah
striktur juga dapat mempercepat proses penyembuhan pasca sialoendokopi.
d. Decision Tree
Pada tindakan minimal invasive terdapat beberapa pilihan diagnostik maupun
terapi untuk managemen sebuah kasus dengan gejala klinis adanya obstruksi pada
saluran kelenjar saliva. Bila didapatkan batu ukuran kecil (< 4 mm submandibular
atau < 3 mm parotis) maka dapat diintervensi dengan Wire Basket Extraxion. Pada
batu dengan ukuran > 4 mm submandibula atau > 3 mm parotis, batu harus dipecah
menjadi bagian yang lebih kecil menggunakan Laser Lithotripsy kemudian
dikeluarkan dengan Wire Basket Extraxion. Sedangkan stenosis pada sistem duktus

cukup dilakukan dilatasi menggunakan metalic dilator (main duct) atau dengan
balloon catheter bila stenosis terjadi pada cabang duktus.
Komplikasi yang dapat terjadi dari segala bentuk intervensi pada sialolithiasis,
baik pembedahan terbuka maupun minimally invasive dapat menimbulkan
komplikasi antara lain: 1) kerusakan saraf, terutama n. Lingualis dan n. Hipoglosus 2)
perdarahan post operative, 3) striktur sistem duktal, 4) pembengkakan kelenjar yang
menimbulkan nyeri, 5) cutaneus hematoma sering dijumpai pada pasien post
extracorporeal therapy, dan 6) residual lithiasis terjadi pada sekitar 40%-50% pasien.
Teknik minimal invasive yang benar dengan Sialendoskopi, lebih memungkinkan
untuk meminimalisir terjadinya komplikasi tersebut di atas.
2. Chronic Reccurent Sialodenitis
Chronic Reccurent Sialodenitis merupakan pembengakakan difus maupun
terlokalisasi pada kelenjar ludah, dan terasa sakit. Penyakit ini biasanya diasosiasikan
dengan obstruksi tidak sempurna pada sistem duktus, walaupun biasanya terjadi
variasi.
3. Sialodochitis Fibrinosa
Sialodochitis Fibrinosa (Kussmauls Disease), merupakan pembengkakan
rekuren, akut, dan bias terasa nyeri maupun tidak nyeri pada kelenjar parotis atau
submandibula. Penampakan klinis berupa penyumbatan pada pintu masuk duktus
Stensen atau duktus Warthon. Penyakit ini biasanya terjadi padan pasien dengan

kondisi lemah dan dehidrasi perawatan dapat berupa pemijatan pada glandulam
penggunaan secretogogeus untuk menghilangkan sumbatan, dilatasi pintu masuk
duktus untuk mencegah rekurensi, dan bila dimungkinkan dilakukan rehidrasi.
4. Hiperlipidemia
Hiperlipidemia dikarakteristikkan sebagai peningkatan level trigliserid dan
atau kolesterol total plasma. Beberapa pasien dengan hiperlipidemia mengalami
pembesaran kelenjar parotis dengan infiltrate lipid yang seragam yang terlihat pada
MRI. Peningkatan kadar trigliserid plasma berkorelasi dengan pembengkakan parotis,
dan berakibat pada penurunan aliran saliva yang semakin parah. Kelenjar
submandibula juga dapat terlibat namun insidensinya lebih rendah.
5. Sialosis
Sialosis merupakan pembesaran kelenjar parotis yang rekuren maupun kronik,
nonneoplastik, non inflamatori, dan tidak terasa sakit. Kelenjar submandibula,
sublingual, dan kelenjar ludah minor juga ada kemungkinan terlibat. Pembengkakan
parotis biasanya bilateral dan simetrik namun juga bias unilateral dan atau simetris.
Onset biasanya tidak terlalu terlihat, karena tidak ada simptom maupun inflamasi.
Sialosis diasosiasikan dengan berbagai penyakit endokrin, status gizi, dan medikasi.
Sialosis ditemukan pada penderita diabetes, kelainan kelenjar tiroid, kelainan
pankreas, dan akromegali. Sekitar 26-86% kasus ditemukan pada pecandu alkohol
kronis dan sirosis hati akibat alkohol, juga pada penderita dengan status malnutrisi.

Kondisi lain meliputi hipertensi, hiperlipidemia, kegemukan, kehamilan, brucellosis,


disentri, penyakit Chaga, karsinoma esophagealm ankylostomiasis, dan penyakit
celiac. Beberapa medikasi yang dapat memacu terjadinya sialosis antara lain
phenylbutazone, oxyphenbutazone, sulfisoxazole, iodide, isoproterenol, atropine,
imipramine, chloramphenicol, oxytetracycline, phenothiazides, benzodiazepines,
monoamine oxidase (MAO) inhibitors, reserpine, guanethidine, logam berat,
methimazole, dan thiocyanates.
2.2.1.3 Trauma
1. Mucoceles
Mucoceles merupakan istilah klinis yang mendeskripsikan pembengkakan
yang disebabkan oleh akumulasi saliva pada sisi yang terkena trauma maupun daerah
yang mengalami pemnyumbatan pada duktus glandula saliva minor. Mucocele
diklasifikasikan menjadi tipe retensi dan ekstravasasi.
2. Ranula
Ranula merupakan mucocele yang terletak di dasar mulut. Ranula
kemungkinan merupakan fenomena ekstravasasi mucus maupun retensi mucus dan
sebagian besar terjadi pada duktus glandula saliva sublingual. Pembentukan ranula
biasanya terjadi karena trauma. Penyebab lain yaitu penyumbatan pada kelenjar saliva
atau aneurism duktus.

a. Penatalaksanaan Ranula
Dalam kasus ranula, dokter spesialis bedah mulut dapat merekomendasikan
marsupialisasi atau eksisi, dimana ranula diinsisi untuk membuat outlet pada kista
retensi kelenjar ludah sehingga cairan dapat dikeluarkan. Berikut ini merupakan
tahap-tahap prosedur marsupialisasi serta komplikasi yang ditimbulkan :
b. operasi
Penjelasan kepada penderita dan keluarganya mengenai tindakan operasi yang
akan dijalani serta resiko komplikasi disertai dengan tandatangan persetujuan dan
permohonan dari penderita untuk dilakukan operasi. (Informed consent).
1; Memeriksa dan melengkapi persiapan alat dan kelengkapan operasi.
2; Penderita puasa minimal 6 jam sebelum operasi.
3; Antibiotika profilaksis, Cefazolin atau Clindamycin kombinasi dengan
Garamycin, dosis menyesuaikan untuk profilaksis.
c. Tahapan operasi
Dilakukan dalam kamar operasi, penderita dalam narkose umum dengan
intubasi nasotrakheal kontralateral dari lesi, atau kalau kesulitan bisa orotrakeal yang
diletakkan pada sudut mulut serta fiksasinya kesisi kontralateral, sehingga lapangan
operasi bisa bebas.

1; Posisi penderita telentang sedikit head-up (20-250) dan kepala menoleh


kearah kontralateral, ekstensi (perubahan posisi kepala setelah didesinfeksi).
2; Desinfensi intraoral dengan Hibicet setelah dipasang tampon steril di
orofaring.
3; Desinfeksi lapangan operasi luar dengan Hibitane-alkohol 70% 1:1000
4; Mulut dibuka dengan menggunakan spreader mulut, untuk memudahkan
mengeluarkan lidah/ dijulurkan maka bisa dipasang teugel pada lidah dengan
benang sutera 0/1.
Lakukan eksisi bentuk elips pada mukosa dasar mulut yang membesar akibat kista
tersebut dan pilih yang paling sedikit vaskularisasinya, kemudian rawat perdarahan
yang terjadi, lakukan sondase atau palpasi, sebab kadang ada sedimentasi/
sialolithiasis, atau sebab lain sehingga menimbulkan sumbatan pada saluran kelenjar
liur sublingual. Tepi eksisi dijahit marsupialisasi dengan Dexon 0/3 agar tidak
menutup lagi Apabila masih teraba kista maka bisa dilakukan memecahkan septa
yang ada sehingga isinya bisa ter-drainase. Pada kista yang cukup besar setelah
dievaluasi tidak ada kista lagi maka bisa dipasang tampon pita sampai keujungnya
dipertahankan sampai 5 hari sebagai tuntunan epitelialisasi pada permukaan kista tadi
dan tidak obliterasi lagi. Apabila didapat sebagian ranula dibawah m. milohioid, maka
memerlukan pendekatan yang lebih bagus dari ekstra oral. Dan yang perlu

diperhatikan adalah preservasi nervus hipoglossus, nervus lingualis. Pasang redon


drain apabila melakukan pendekatan ekstra oral.
1; Evaluasi ulang untuk perdarahan yang terjadi.
2; Lapangan operasi dicuci dengan kasa-PZ steril, luka operasi yang diluar
ditutup dengan kasa steril dan di hipafiks.
3; Tampon orofaring diambil, sebelum ekstubasi.
4; Buat laporan operasi dan surat pengantar untuk pemeriksaan PA.
d. Komplikasi operasi
1; Perdarahan
2; Kerusakan nervus hipoglosus atau nervus lingualis
3; Infeksi
4; Fistel orokutan pada operasi yang pendekatannya intra dan extra oral
5; Residif
e. Perawatan Pasca Bedah
1; Infus Ringer Lactate dan Dextrose 5% dengan perbandingan 1 : 4 (sehari)
2; Setelah sadar betul bisa dicoba minum sedikit-sedikit, setelah 6 jam tidak
mual bisa diberi makan.

3; Pada penderita yang terpasang drain redon dilepas jika produksinya < 10
cc/24 jam.
4; Luka operasi dirawat dan ganti perban pada hari ke-3.
5; Pada penderita yang dipasang kasa dengan tampon steril pada saat operasi
pada bekas kista sublingual maka tampon dipertahankan sampai hari ke 5, dan
kemudian dicabut sehingga mengurang kemungkinan tertutup lagi kista
kelenjar liur tersebut.
6; Penderita dipulangkan sehari setelah angkat drain dan tampon, anjurkan dan
angkat jahitan pada hari ke-7 setelah operasi.
7; Follow-Up iiap minggu sampai luka operasi sembuh baik.

2.2.1.4 Kondisi Imun dan Medikasi yang Menginduksi Disfungsi Kelenjar Saliva
1. Benign Lymphoepithelial Lesion
Benign Lymphoepithelial Lesion (Mikuliczs Disease) Etiologi penyakit ini
masih belum diketahui dan diperkirakan akibat kondisi auto imun, virus, maupun
faktor genetik dengan predominan pada wanita di usia pertengahan. Gejala umum
yaitu pembengkakan kelenjar ludah unilateral atau bilateral akibat infiltrate limfoid
benigna, serta penurunan produksi saliva bila terjadi infeksi. Diagnosis banding

penyakit ini yaitu Sjorgen syndrome, sarcoidosis, limfoma, dan penyakit lain yang
diasosiasikan dengan pembesaran kelenjar ludah.
2. Sjorgen Syndrome
Sjorgen

Syndrome

merupakan

penyakit

kronis

autoimun

yang

dikarakteristikkan dengan kekeringan mukosa oral dan okular, infiltrat limfosit, dan
dekstrusi eksokrin. Manifestasi oral pasien ini sangat luas sebagai hasil dari
penurunan fungsi kelenjar ludah. Hampir semua pasien mengeluhkan mulut kering
dan membutuhkan asupan cairan. Mulut kering menyebabkan kesulitan dalam
mengunyah, menelan, dan berbicara jika tidak diberi tambahan cairan. Pasien dengan
SS dapat mengalami pembesaran kronis pada kelenjar ludah dan juga dapat terjadi
infeksi pada kelenjar.
2.2.2 Neoplastik
2.2.2.1 Tumor Jinak
Sebagian besar tumor kelenjar ludah terjadi pada kelenjar parotis (80%),
sekitar 10-15% terjadi pada kelenjar submandibula, dan sisanya pada sublingual
maupun pada kelenjar ludah minor. Sekitar 80% tumor parotis dan 50% tumor
submandibula merupakan tumor jinak. Sebaliknya lebih dari 60% tumor yang terjadi
pada kelenjar sublingual maupun kelenjar ludah minor merupakan tumor ganas.
Resiko keganasan akan meningkat sesuai dengan bertambahnya ukuran tumor.

Sekitar 80% tumor terjadi pada usia dewasa. Tumor pada anak-anak biasanya terletak
pada kelen jar parotis, dan sekitar 65% tumor anak-anak bersifat jinak.
1. Adenoma Pleomorfik
Adenoma pleomorfik merupakan tumor kelenjar liur yang paling banyak
ditemukan, berkisar 60%-80% dari seluruh tumor jinak di kelenjar liur. Sekitar 85%
terdapat di kelenjar parotis. pada kedua lobus. Adenoma pleomorfik paling sering
ditemukan pada usia dekade keempat sampai keenam, jarang ditemukan pada anak,
dengan frekuensi lebih tinggi pada wanita dengan perbandingan wanita dengan pria
3:2. Bangsa kulit putih lebih tinggi risiko mendapat adenoma pleomorfik dibanding
dengan kulit berwarna.
2. Monomorphic Adenoma
Monomorphic adenoma merupakan tumor dengan penampakan sel yang sama
dan seragam.
3. Papillary Cystadenoma Lymphomatosum
Papillary Cystadenoma Lymphomatosum juga dikenal dengan tunor Warthin,
merupakan tumor kedua yang paling sering muncul di kelenjar parotis. Predileksi
tumor ini pada laki-laki pada decade ke lima dan delapan. Tumor ini besifat bilateral
pada 6-12% kasus. Secara klinis, tumor ini bersifat lambat pertumbuhannya, berbatas
tegas, tidak nyeri kecuali terjadi superinfeksi.

4. Oncocytoma
Oncocytoma merupakan tunor benigna yang jarang terjadi yaitu sekitar 1%
neoplasma kelenjar saliva. Tumor biasanya terjadi pada kelenjar ludah baik pada lakilaki maupun wanita pada dekade ke enam. Oncocytoma merupaka tumor solid, bulat,
yang terlihat pada kelenjar ludah mayor namun jarang di intraoral serta bersifat
bilateral.
5. Basal Cell Adenoma
Tumor ini bersfat tumbuh lambat, berupa massa yang tidak sakit dan
insidensinya hanya 1-2% dari keseluruhan kasus tumor kelenjar ludah. Predileksi lesi
pada laki-laki dengan perbandingan 5 :1. Sekitar 70% lesi terjadi di kelenjar parotis,
dan apabila terjadi pada kelenjar ludah minor biasanya terjadi pada bibir atas.
6. Canalicular Adenoma
Lesi ini bersifat predominan pada usia lebih dari 50 tahun dan biasanya terjadi
pada wanita. Sekitar 80% terjadi pada bibir bawah dengan pertumbuhan lesi yang
lambat, mobil, dan asimtomatik.
7. Myoepithelioma
Lesi ini biasanya terjadi pada kelenjar parotis dan palatum merupakan lokasi
yang sering terjadi. Tidak terdapat predileksi berdasarkan jenis kelamin, dan biasanya

terjadi pada dewasa di usia sekitar 53 tahun. Lesi berbatas tegas, asimptomatik,
dengan pertumbuhan lambat.
8. Adenoma Sebasea
Lesi jenis ini jarang terjadi dan muncul dari glandula sebasea yang terdapat di
dalam jaringan kelenjar ludah. Kelenjar parotis merupakan lokasi yang sering kali
terlibat.
9. Ductal Papiloma
Ductal papiloma merupakan subset tumor jinak yang muncul dari duktus
ekskretori, predominan pada kelenjar ludah minor. Terdapat tiga bentuk dari tumor ini
yaitu simple ductal papiloma, inverted ductal papiloma, dan sialadenoma papiliferum.
2.2.2.2 Tumor Ganas
1. Mucoepidermoid Carcinoma
Mucoepidermoid carcinoma merupakan kondisi malignant yang biasan terjadi
di kelenjar parotis, dan kedua pada kelenjar submandibula dengan palatum sebagai
lokasi yang paling umum terjadi. Insidensi tertinggi terjadi pada decade ketiga hingga
kelima kehidupan. Laki-laki dan perempuan memiliki persentase yang sama untuk
mengalami insidensi. Lesi terdiri atas sel mucus dan epidermal dan tingkat
keparahannya didasarkan pada rasio sel epidermal terhadap sel mukus. Gejala klinis
yang biasanya terjadi adalah adanya rasa sakit dalam jangka waktu yang lama,

ulserasi pada jaringan yang melapisi, dan jika nervus fasialis terlibat, terdapat
kemungkinan terjadi facial palsy.
2. Adenoid Cystic Carcinoma
Lesi ini mencakup 6% dari seluruh kasus tumor kelenjar ludah dan merupakan
lesi ganas yang sering terjadi padakelenjar submandibula maupun kelenjar ludah
minor. Lesi dapat terjadi baik pada pria maupun wanita pada decade kelima
kehidupan. Secara klinik lesi merupakan massa unilobular, sakit, dan pada tumor
parotis dapat menyebabkan paralisi nervus fasialis pada sebagian kecil penderita. Lesi
ini berkembang lambat yang menyebabkan tertundanya diagnosis hingga beberapa
tahun. Secara radiografik, lesi berkembang hingga merusak tulang sekitar. Metastase
hingga ke paru-paru sering terjadi dibandingkan ke limfonodi regional.
3. Acinic Cell Carcinoma
Acinic cell carcinoma biasanya terdapat pada jaringan parotis yaitu sekitar 9095%, dengan frekuensi terjadi pada wanita di decade kelima kehidupan. Lesi ini
merupakan karsinoma kelenjar ludah kedua terbanyak pada anak-anak. Lesi bersifat
tumbuh lambat, dengan rasa nyeri. Lobus superficial dan inferior pole kelenjar parotis
merupakan area yang paling sering terlibat. Keterlibatan kelenjar secara bilateral
dilaporkan hanya terjadi pada sekitar 3% kasus.

4. Carcinoma Ex Pleomorphic Adenoma


Carcinoma ex pleomorphic adenoma merupakan tumor maligna yang timbul
di dalam pleomorphic adenoma dan berasal dari epitel. Lesi bersifat tumbuh lambat,
dan biasanya terjadi 15-20 tahun sebelum lesi mengalami pertumbuhan ukuran. Lesi
biasa terjadi pada adenoma pleomorfik yang tidak terawat dalam jangka waktu lama.
5. Adenocarcinoma
Adenocarcinoma terjadi pada epitel duktus salivarious. Kelompok neoplasma
ini dibagi berdasarkan struktur dan karakteristiknya. Tipe lesi ditegakkan dengan uji
histologis untuk menunjang diagnosis dan perawatan yang tepat.
6. Limfoma
Limfoma primer dideskripsikan sebagai situasi dari manifestasi suatu penyakit
yang kemungkinan muncul dari jaringan limfe di dalam kelenjar ludah. Penyakit
limfoma yang paling umum yaitu non-Hodgins limfoma yang biasan terjadi pada
pasien dengan autoimun. Kelenjar parotis merupakan lokasi yang paling sering
terlibat diikuti dengan kelenjar submandibular, dan secara klinis dikarakteristikkan
sebagai pembesaran kelenjar tanpa rasa nyeri atau adenopati.

2.3 Penegakan Diagnosa Kelainan Kelenjar Saliva


1. Pemeriksaan Radiologis
Teknik radiografi yang banyak digunakan adalah teknik radiograf oklusal dan
panoramik (OPG), namun tidak semua sialolith dapat terlihat melalui pemeriksaan
radiografis konvensional karena sebagian kecil batu saliva tersebut mengalami
hipomineralisasi dan superimposisi dengan jaringan lain yang bersifat radiodense.
2. Sialografi
Sialografi merupakan pemeriksaan untuk melihat kondisi duktus dengan
menggunakan kontras. Dengan pemeriksaan ini kita dapat mengidentifikasi adanya
iregularitas pada dinding duktus, identifikasi adanya polip, mucous plug atau fibrin,
serta area granulomatosa. Selain itu dapat pula diidentifikasi adanya kemungkinan
obstruksi duktus maupun stenosis. Pemeriksaan dimulai dengan melakukan
identifikasi terhadap duktus Stensen dan Wharton. Langkah selanjutnya adalah
dilakukan dilatasi duktus. Saat dilatasi duktus sudah maksimal, maka dapat
dimasukkan kateter sialografi. Pada pemeriksaan sialografi ini digunakan kontras,
yang bisa berupa etiodol atau sinografin. Sialografi dapat memberikan pemandangan
yang jelas pada duktus secara keseluruhan dan dapat memberikan informasi
mengenai area yang tidak dapat dijangkau dengan sialoendoskop, misalnya pada area
di belakang lekukan yang tajam dan striktur. Kekurangan dari pemeriksaan sialografi

adalah paparan radiasi dan hasil positif palsu pada pemeriksaan batu karena adanya
air bubble (gelembung udara).
3. Tomografi computer
Pemeriksaan ini merupakan salah satu pilihan untuk mengevaluasi sistem
duktus dan parenkim pada kelenjar saliva. Identifikasi dapat dilakukan pada potongan
aksial, koronal maupun sagital. Dengan pemeriksaan ini dapat diidentifikasi adanya
iregularitas pada dinding duktus dengan melihat adanya penebalan dan penyangatan
pada dinding duktus. Pada obstruksi yang disebabkan karena batu, kalsifikasi dapat
dilihat berupa masa hiperdens tanpa penyangatan pada pemeriksaan tomografi
komputer. Adanya penyangatan dapat merupakan indikasi adanya obstruksi
sialodenitis akut.
4. Sialografi tomografi komputer
Pemeriksaan ini merupakan kombinasi antara pemeriksaan sialografi dengan
menggunakan kontras dan pemeriksaan tomografi komputer. Pemeriksaan dilakukan
dengan memasukkan kateter pada duktus, kemudian mengisinya dengan kontras, lalu
dilakukan pemeriksaan tomografi komputer. Pemeriksaan ini digunakan untuk
mengevaluasi parenkim secara detail.

Magnetic resonance imaging dan magnetic resonance sialography, pemeriksaan


dengan MRI juga dapat mengidentifikasi adanya kelainan pada kelenjar saliva.
Dengan pemeriksaan ini akan tampak perbedaan antara struktur duktus dan parenkim.
Pemeriksaan

Magnetic

Resonance

Sialography

dapat

digunakan

untuk

mengidentifikasi struktur duktus pada kelenjar parotis dan submandibula dengan


melakukan sialografi dengan menggunakan kontras Magnetic Resonance.
5. Ultrasonografi
Dalam mendiagnosis kelainan pada kelenjar saliva terkadang diperlukan
pemeriksaan

ultrasonografi

dengan

resolusi

tinggi.

Pemeriksaan

dengan

ultrasonografi bermanfaat dalam mengidentifikasi massa dan membedakan


konsistensi massa tersebut, apakah padat atau kistik. Ultrasonografi yang digunakan
pada pemeriksaan kelenjar saliva adalah ultrasonografi dengan transduser beresolusi
tinggi, yaitu 7,5-10,0 MHz. Pada kasus abses atau massa kistik kelenjar saliva
terkadang dilakukan aspirasi jarum halus. Pada kasus ini, ultrasonografi dapat
dimanfaatkan untuk menjadi panduan dalam aspirasi. Pemeriksaan ultrasonografi
juga penting dilakukan untuk melihat adanya kelokan atau cabang-cabang duktus,
yang bisa menimbulkan komplikasi pada proses obstruksi. Kekurangan pada
pemeriksaan dengan ultrasonografi adalah, alat ini tidak dapat memvisualisasi
kelenjar saliva secara keseluruhan. Pada penegakan kelainan obstruksi kelenjar saliva
menggunakan ultrasonografi sering sulit untuk menentukan ukuran batu secara tiga
dimensi begitu juga dengan struktur stenosisnya. Selain itu, pemeriksaan dengan alat

ini tidak dapat memberikan informasi yang cukup jelas mengenai diameter bagian
distal obstruksi sehingga sulit memastikan apakah duktusnya cukup lebar dan lurus
sehingga memungkinkan masuknya instrumen pada endoskopi terapeutik.
2.4 Treatment pada kelaianan Kelenjar Saliva
Selama fase akut, terapi yang dibutuhkan adalah terapi suportif. Perawatan
dasar pada kelainan glandula saliva meliputi pemberian analgesik, antibiotik, dan
antipiretik apabila dibutuhkan. Selain itu, terapi pada glandula salivarius dapat
dilakukan dengan cara misalnya saja sialolith yang berada pada atau dekat dengan
orifice duktus dapat dihilangkan dengan cara meminta pasien untuk minum air yang
dicampur dengan tetesan jeruk nipis atau lemon sehingga terjadi peningkatan aliran
saliva, kemudian dokter gigi dapat memijat glandula saliva dengan pelembab yang
hangat dan mendorong batu agar keluar dari duktus (Vorvick, 2011). Namun, apabila
sialolith terletak lebih dalam dari orifice duktus, maka dapat dilakukan operasi untuk
pengambilan sialolith. Sialolith yang terletak pada intraglandula, maka perawatan
yang dianjurkan adalah dengan mengambil seluruh glandula saliva yang terkena.
1. Eksisi
Tindakan ini merupakan terapi pilihan untuk mukokel. Namun, apabila hanya
dilakukan aspirasi cairan, maka hasil yang diberikan tidak memberikan kesembuhan
dalam waktu yang lama karena akan terjadi rekurensi, sehingga tindakan yang paling
baik untuk mukokel adalah pengambilan mukokel beserta glandula saliva yang

terlibat untuk mencegah rekurensi. Terapi pilihan untuk ranula juga berupa eksisi lesi
beserta glandula yang terlibat, sehingga rekurensi tidak terjadi.
2. Marsupialisasi
Merupakan terapi yang paling tua yang digunakan untuk menangani ranula.
Rerata kegagalan terapi ini sebesar 61-89% dengan rekurensi setelah 6-12 minggu
setelah operasi. Penekanan/kompresi pada bagian bawah kista yang berasal dari lidah
menyebabkan timbulnya penutupan kista secara prematur. Hal ini menyebabkan
ranula terbentuk kembali dan terjadi rekurensi. Menutup kavitas kista dengan
gauze/kassa selama 7-10 hari dapat meningkatkan tingkat keberhasilan perawatan.
3. Pemberian antibiotik
Apabila terdapat kelainan pada glandula saliva yang diakibatkan oleh infeksi
bakteri yang menghasilkan pus atau demam, contohnya pada sialadenitis. Antibiotik
yang diberikan pertamakali (first line) harusnya antibiotik dengan spektrum yang luas
(broad spectrum) seperti golongan Penicillin. Antibiotik yang termasuk ke dalam
golongan penicillin yaitu Ampicilin dan Amoksisilin yang aktif melawan bakteri
gram negatif dan positif. Untuk pemberian oral, amoksisilin merupakan obat pilihan
karena diabsorbsi lebih baik daripada ampisilin. Dosis yang umumnya digunakan
adalah 500 mg tiap 8 jam dengan waktu pengobatan minimal 5 hari. Antibiotik yang
lain adalah golongan Clindamycin yang efektif terutama terhadap bakteri gram
negatif. Pada 48 jam pertama diberikan melalui intravena dengan dosis 900 mg/8 jam,

kemudian dilanjutkan pemberian secara oral dengan dosis 300 mg/8 jam. Apabila
terapi antibiotik belum berhasil, dapat diberikan antibiotik golongan lain yaitu
sefalosporin. Second line terapi antibiotik adalah dengan kultur sensitifitas untuk
mengetahui nama bakteri spesifik penyebab infeksi dan antibiotik yang sensitif
terhadap bakteri tersebut.
4. Radioterapi
Terapi radiasi pada umumnya diberikan pada pembengkakan glandula
salivarius dan lesi-lesi maligna. Pada pembengkakan glandula parotis yang
disebabkan oleh infeksi HIV diberikan terapi radiasi eksternal dengan dosis 24 Gy.
5. Laser CO2
Keuntungan dari perawatan ini adalah perdarahan dan jaringan parut minimal,
visualisasi selama prosedur baik, dan komplikasi post-operatif minimal. Terapi ini
banyak dipilih untuk menangani sialolithiasis dan mukokel (Ata-Ali dkk., 2010).
6. Extra-corporeal shock wave lithotripsy (ESWL)
Terapi ini merupakan terapi dengan invasi minimal untuk pengambilan
sialolith dengan memanfaatkan gelombang dari alat yang disebut lithotripter yang
memiliki sumber elektromagnetik berbentuk silinder yang menghasilkan gelombang
bertekanan, yang apabila difokuskan pada sialolith dapat memecah sialolith menjadi
berukuran < 2 mm sehingga memungkinkan keluarnya sialolith secara spontan

(DeBurgh Norman dan McGurk, 1995). Setelah ESWL dilakukan, dilanjutkan dengan
ultrasound kontinyu (7,5 MHz) 5 kali seminggu selama 30 menit. Setelah itu di
follow-up setelah 1 minggu dan 1, 3, 6, dan 12 bulan (Capaccio dkk., 2002). Selama
proses ESWL, sialogoues dan/atau pemijatan glandula dapat dilakukan untuk
membantu pengeluaran fragmen sialolith dari duktus (Siddiqui, 2002).

2.5 Kista
2.5.1 Definisi Kista
Kista merupakan rongga patologis yang biasanya berkapsul jaringan ikat,
berisi cairan kental atau semi liquid, tidak disebabkan oleh akumulasi pus dan dapat
berada dalam jaringan lunak atau keras. Cairan yang terkandung di dalamnya
mengandung kristal kolesterol. Bisa dibatasi oleh epitel, namun bis juga tidak. Dapat
menyebabkan pembesaran intraoral atau ekstraoralyang secara klinis dapat
menyerupai tumor jinak.
Infeksi gigi yang kronis dapat menjadi salah satu faktor terbentuknya kista.
Diagnosa kista ditentukan dengan Ro-photo dan pemeriksaan cairan untuk
menemukan kristal kolesterol. Kista ini dapat menjadi fokal infeksi dan ada jenis
kista yang dapat berubah menjadi maligna. Pada stadium permulaan kista tidak
menimbulkan keluhan-keluhan sehingga kista yang kecil ditemukan secara kebetulan
dari gambaran foto rontgen. Tetapi lambat laun kista ini akan bertambah besar dan
akhirnya pasien mengeluh karena adanya benjolan atau karena adanya komplikasi-

komplikasi yang terjadi. Di daerah mulut, kista yang terjadi ada yang berasal dari
jaringan gigi dan ada pula yang bukan berasal dari jaringan gigi, Infeksi gigi yang
kronis dapat menjadi salah satu faktor terbentuknya kista. Diagnosa kista ditentukan
dengan Ro-photo dan pemeriksaan cairan untuk menemukan kristal kolesterol. Kista
ini dapat menjadi fokal infeksi dan ada jenis kista yang dapat berubah menjadi
maligna. Pada stadium permulaan kista tidak menimbulkan keluhan-keluhan sehingga
kista yang kecil ditemukan secara kebetulan dari gambaran foto rontgen. Tetapi
lambat laun kista ini akan bertambah besar dan akhirnya pasien mengeluh karena
adanya benjolan atau karena adanya komplikasi-komplikasi yang terjadi.Di daerah
mulut, kista yang terjadi ada yang berasal dari jaringan gigi dan ada pula yang bukan
berasal dari jaringan gigi.
2.5.2 Etiologi dan Patogenesis Kista
Kista dapat terletak seluruhnya di dalam jaringan lunak atau di antara tulang
atau juga di atas permukaan tulang. Kista yang terletak pada tulang rahang
kemungkinan epitelnya berasal dari epitel odontogenik, misalnya dari sisa dental
lamina atau organ email. perkembangan kista dimulai dan dilanjutkan oleh stimulasi
sitokin terhadap sisa-sisa epitel dan ditambah dengan produk-produk centra cellular
breakdown yang menghasilkan solusi hiperaluminal sehingga menyebabkan fluid
transudate dan kista yang semakin membesar. Berdasarkan dugaan asal dinding
epitelnya, kista odontogenik berasal dari sisa-sisa epitel organ pembentuk gigi. Hal
ini diakibatkan adanya proliferasi dan degenerasi kistik dari epitel odontogenik.

Berdasarkan etiologinya kista ini dapat dibagi lagi menjadi tipe developmental dan
inflammatory. Ada tiga macam sisa epitel yang berperan dalam pembentukan
beberapa

kista

odontogenik,

yakni:

a. Sisa-sisa epitel atau glands of serres yang tersisa setelah terputusnya dental lamina.
Ini merupakan penyebab keratosis odontogenik. Juga dapat menjadi penyebab
beberapa kista odontogenik developmental lainnya, seperti kista gingiva dan kista
periodontal

lateral.

b. Epitel email tereduksi yang berasal dari organ email dan menutupi gigi impaksi
yang sudah terbentuk sempurna. Kista dentigerous (folikuler), kista erupsi, dan kista
paradental

inflammatory

berasal

dari

jaringan

ini.

c. Sisa-sisa Malassez yang terbentuk melalui fragmentasi dari epithelial root sheath of
Hertwig. Seluruh kista radikuler berasal dari sisa-sisa jaringan ini.
2.5.3 Macam Macam Kista
1. Developmental cyst
Primordial cyst (Odontogenic Keratocyst) Kista yang berasal dari epitel email
organ yang akan membentuk benih gigi tapi terganggu pertumbuhannya. Dapat
berasal dari benih gigi normal atau berasal dari benih gigi yang berlebih. Dan seperti
kista-kista yang lain, maka cairan kolesterol yang terbentuk makin bertambah besar
juga. Sesuai dengan definisinya, kista primordial tumbuh sebagai pengganti gigi.
Kiranya, bentuk folikel gigi dan sesudah itu berlanjut menjadi degenerasi kista

bahkan tanpa odontogenesis yang sempurna. Terdapat lapisan epitel yang


mengelilingi jaringan pengikat yang mengalami keratinisasi. Dan jika kista ini berasal
dari benih gigi yang normal maka gigi normal itu akan tidak nampak di mulut
(impaksi). Menurut Thomas, kista primordial sering dijumpai pada regio molar tiga
dan sering meluas ke regio ramus assendens dan biasanya merupakan kista yang
multinuklear.
Kista ini merupakan kista odontogenik yang jarang, dan bakal lesi sebagai
kista primordial dapat menandakan kista residual. Histologi dari lesi ini merupakan
epitelium skuamous stratified nondeskrip. Riwayat gigi yang lengkap penting untuk
menetapkan diagnosa kista primordial (dibandingkan kista residual), meskipun
beberapa diagnosa sering memiliki makna klinis yang kecil dalam hubungannya
dengan perencanaan perawatan dan pembuatan keputusan.

2. Kista Gingiva
Sisa-sisa epitel dari lamina dentalis dapat membentuk kista kecil yang dapat
terlihat sebagai kista gingiva. Tetapi hal ini jarang terjadi, karena biasanya kista kecil
ini menghilang dalam proses perkembangan yang normal. Dapat juga kista ini dilapisi
dengan lapisan epitel yang tipis dan juga terdapat massa seperti keratin. Atau bisa
juga merupakan kelompok epitel dengan degenerasi hidrogen dari sel-sel sentralnya.

Dapat

juga

merupakan

jaringan-jaringan

kelenjar

yang

heterogen.

Gambaran klinik dari kista ini berupa pembengkakan kecil pada gingiva dan
biasanya ditemukan secara kebetulan pada pemeriksaan histologis dari jaringan
gingiva.
a. Kista Gingiva pada Bayi
Kista gingiva pada neonatal umumnya terjadi secara multipel tetapi kadangkadang terjadi sebagai nodul yang soliter. Kista ini bertempat pada ridge alveolar
pada neonatal atau bayi muda. Struktur ini berawal dari sisa lamina gigi dan terletak
dalam corium dibawah permukaan epitelium. Kadang-kadang, kista ini dapat menjadi
cukup besar sehingga dapat tercatat secara klinis sebagai pembengkakan berwarna
putih yang terpisah pada ridge. Kista ini umumnya tidak bergejala dan tidak
menimbulkan rasa tidak nyaman bagi bayi. Nodul Bohn dan mutiara Epstein (Epstein
pearl) adalah dua jenis lesi yang mirip dengan kista gingiva yang kadang-kadang
membingungkan, bagaimanapun, lokasi dan etiologi dari lesi ini agak berbeda.
Epstein pearl adalah nodul kistik yang berisi keratin yang ditemukan sepanjang raphe
midpalatina dan sedikit berasal dari sisa epitelial yang terjerat sepanjang garis
peleburan. Nodul Bohn adalah kista berisi keratin yang menyebar pada seluruh
palatum, tetapi kista ini umumnya tampak pada hubungan antara palatum keras dan
palatum lunak. Kista ini sepertinya berasal dari struktur glandula salivary palatal.
Secara histologi, kista gingiva pada neonatal adalah kista sejati dengan suatu

tepi epitelial yang tipis. Lumen biasanya terisi dengan keratin tetapi dapat terdiri dari
beberapa sel radang, kalsifikasi distropik, dan hyaline body, seperti yang umumnya
ditemukan pada kista dentigerous. Tidak ada perawatan yang diperlukan untuk lesi
ini, yang mana biasanya lenyap dengan pembukaan ke permukaan mukosa atau
melalui gangguan erupsi gigi. Kista ini seperti kebanyakan yang dijelaskan dalam
literatur

lama

sebagai

geligi

predesidui.

b. Kista Gingiva pada Orang Dewasa


Kista gingiva pada orang dewasa hanya ditemukan pada jaringan lunak pada
daerah premolar bawah. Kista ini muncul sebagai lesi yang meregang, fluktuan,
vesikular dan berbentuk bulla. Secara histologi, kista ini terlihat seperti kista
periodontal lateral, dan kista ini kemungkinan memiliki gambaran lesi yang sama jika
ditemukan pada jaringan lunak.

3. Kista Periodontal Lateral


Kista ini biasanya tidak tampak secara klinis tetapi terdeteksi pada
pemeriksaan radiografi. Kista ini memiliki suatu histologi yang berbeda teriri dari
dinding kista noninflamasi fibrous yang tebal, dan batas epitelium terbuat dari sel
kubus yang tipis. Tepi ini tidak sempurna dan mudah terkelupas dengan gambaran
penebalan sel bersih pada interval berkala. Kista ini tumbuh dari lamina gigi

postfungsional dan tidak ada penjelasan yang baik diketahui untuk lokalisasi yang
ditunjukkan. Gambaran klinisnya, lesi ini biasanya asymtomatik dan diameternya
kurang dari 1cm, jika kista terinfeksi sekunder, maka lesi ini akan menunjukkan suatu
abses lateral periodontal. Sekitar 50-75% kista ini berkembang pada mandibula,
umumnya pada gigi insisivus pertama sampai premolar kedua, dan pada maxilla pada
gigi

insisivus

sentral

sampai

caninus.

Secara radiologis terdapat gambaran radiolusensi berbatas tegas dengan


kortical boundary dan berbentuk bulat oval, kadang-kadang dengan akar yang
radiopak. Kista kecil bisa mempengaruhi lamina dura gigi tetangga. Kista yang
berukuran besar dapat menggeser gigi-gigi tetangga dan mengakibatkan ekspasi.

4. Kista Dentigerous
Kista dentigerous adalah kista odontogenik yang berkembang dalam folikel
dental yang normal dan mengelilingi gigi yang tidak erupsi. Kista dentigerous
diperkirakan tidak menjadi neoplastik. Lebih sering ditemukan dalam daerah dimana
terdapat gigi yang tidak erupsi, yaitu gigi molar ketiga rahang bawah, molar ketiga
rahang atas dan kaninus rahang atas dengan penurunan frekuensi mulai dari molar
ketiga rahang bawah hingga kaninus rahang atas. Kista ini dapat tumbuh sangat besar
dan dapat menggerakkan gigi, tetapi, lebih umumnya, kista ini relatif kecil. Kista
dentigerous tunggal adalah kista odontogenik kedua yang paling sering ditemukan
setelah kista radikular. Terkadang dapat terjadi kista bilateral (yang terjadi pada kedua

sisi wajah) ataupun kista multiple, yang telah dilaporkan ditemukan pada pasien
dengan penyakit sistemik seperti mucopolysaccharidosis dan cleidocranial dysplasia.
Beberapa gigi kecil ini disebut odontoma. Kista ini dapat dibagi dalam:
a. Tipe sentral di mana kista meliputi korona gigi secara simetris, sehingga korona
gigi terdapat di sentral. Tipe ini yang paling banyak dijumpai.
b. Tipe lateral di mana kista berkembang pada sisi lateral gigi. Kista ini jenis ini tidak
banyak terjadi.
c. Tipe multilateral terdiri atas banyak kista dan terjadi sebagai akibat proses
degenerasi dari sekelompk sel-sel lamina dentalis yang kemudian menjadi kista.

Kebanyakan kista dentigerous tidak disertai rasa sakit. Bila kista berukuran
kecil, biasanya akan terlihat pada pemeriksaan radiografik, yang dilakukan karena
adanya gejala kista dan untuk melihat kondisi gigi yang impaksi. Namun bila kista
membesar, biasanya terjadi pembengkakan wajah yang tidak disertai rasa sakit.
Penampakan radiografi biasanya adalah suatu lesi radiolusen yang terdermakasi
dengan baik menyerang pada sudut akut dari daerah servikal suatu gigi yang tidak
erupsi. Tepi lesi dapat radiopak. Perbedaan gambaran radiografi antara kista
dentigerous dan folikel dental normal selalu didasarkan pada ukurannya.
Bagaimanapun, secara histologi, suatu perbedaan selain dari ukurannya telah
ditemukan. Folikel gigi secara normal dibatasi oleh berkurangya epitel enamel, jika

kista dentigerous dibatasi oleh suatu epitelium skuamos stratified tidak terkeratinisasi.
Kalsifikasi distropik dan suatu kelompok sel mukous dapat ditemukan dalam kista.
Selain itu juga lazim ditemukan resorpsi radiks gigi di daerah yang berdekatan
dengan lesi. Kista dentigerous berkembang dari epitel folikular dan epitelium
folikular memiliki suatu potensi yang besar untuk bertumbuh, berdiferensiasi dan
berdegenerasi dibandingkan dengan epitrlium dari kista radikuler. Kadangkala, lesi
yang lebih merugikan lainnya muncul dalam dinding kista dentigerous, termasuk
karsinoma epidermoid yang muncul dari sel mukosa didalam dinding kista,
ameloblastoma (lihat tumor odontogenik; 17% ameloblastoma muncul dalam sebuah
kista dentigerous), dan karsinoma sel skuamous. Sebagaimana yang telah disebutkan
sebelumnya, kista dentigerous juga dapat menjadi sangat besar dan dapat memberikan
risiko fraktur rahang patologis kepada pasien. Temuan ini berisikan paling banyak
alasan medis untuk pengangkatan gigi molar ketiga yang impaksi dengan radiolusensi
perikoronal, bagaimanapun, gigi yang impaksi dengan radiolusensi perikoronal yang
kecil (dengan kesan adanya folikel gigi yang normal dibandingkan kista dentigerous)
juga dapat diamati dengan pemeriksaan radiografi secara berseri. Peningkatan ukuran
lesi harus dilakukan pengangkatan dan pemeriksaan histopatologi yang tepat.
Beberapa lesi yang tampak lebih besar dibandingkan folikel gigi normal
mengindikasikan
Komplikasi

pengangkatan
yang

dapat

terjadi

dan
dari

pemeriksaan
kista

dentigerous

histopatologi.
di

antaranya:

a. Kista yang terjadi pada rahang atas dapat menyumbat dan merubah posisi

maxillary antrum dan rongga hidung, terutama kista yang berukuran besar.
b. Kista yang terjadi pada rahang bawah dapat menyebabkan parestesi dan dapat
terjadi perubahan displastik.
Mengingat kista ini dapat membesar, perawatan yang diindikasikan adalah
pengangkatan lesi dan gigi yang bersangkutan dengan cara pembedahan. Enukleasi
adalah pilihan perawatan pada 16 kasus yang pernah dipublikasikan, dan pada lesi
yang lebih besar dapat dilakukan drainase dengan pembedahan dan marsupialisasi
untuk membebaskan tekanan di dalam kista dan mencegah kerusakan pada gigi
permanen yang terlibat.

5. Kista Erupsi
Kista erupsi ini terjadi pada gigi yang hendak erupsi dan ditutupi lapisan
mukosa. Kista berkembang sebagai hasil dari pemisahan trem dental folikel sekitar
mahkota gigi erupsi yang masih berada dalam jaringan lunak diatas tulang alveolar.
Jika kista ini meluas ke sebelah sisi gigi yang sedang erupsi itu dan tidak hanya
terdapat pada permukaan gigi tersebut, maka kista ini disebut kista dentigerous. Pada
lapisan epitel yang mengelilinginya terdapat jaringan pengikat fibrous yang
mengandung sel-sel inflamasi.Sering terdapat pada gigi desidui atau gigi molar
permanen yang hendak erupsi. Kista erupsi terlihat halus, sering translusen, bengkak
pada mukosa gingiva yang berada diatas mahkota gigi desidui atau gigi permanen.

Lesi

sering

terlihat

pada

gigi

molar

permanen

dan

insisivus

maksila.

Biasanya kista ini ruptur dengan sendirinya, tetapi jika tidak, harus ditolong
dengan eksisi supaya gigi dapat erupsi.

6. Keratosis odontogenik
Keratosis odontgenik (OKC) adalah kista odontogenik yang paling penting.
Kista ini dapat memiliki beberapa gambaran klinis; memiliki penampakan yang
sangat besar, dan diagnosanya adalah dengan pemeriksaan histologi. Lesi ini berbeda
dari kista lainnya; kista ini agresif dan dapat menjadi sulit untuk diangkat. Keratosis
odontogenik dapat tumbuh sangat cepat, dan seringkali rekuren. Kista ini merupakan
kista odontogenik terbanyak ketiga dan termasuk dalam diagnosa banding beberapa
radiolusensi pada rahang. Meskipun 40% dari OKC ini tampak berhubungan dengan
dentigerous, 9% kista dentigerous adalah OKC jika dilakukan pemeriksaan histologi.
Kista ini juga ditemukan sebagai bagian dari sindrom nevus sel basal (basal cell
nevus syndrome), yang juga diketahui sebagai sindrom Gorlin (lihat Basal cell nevus
syndrome). Secara histologi, kista ini terbentuk dengan suatu epitelium skuamous
stratified yang memproduksi ortokeratin (10%), parakeratin (83%), atau kedua jenis
keratin (7%). Garis epitelial menunjukkan gambaran yang berombak-ombak jika
dilihat dibawah mikroskop. Ditemukan suatu lapisan basal hiperkromatik yang
terpolarisasi dengan baik, dan sel-sel tersebut menyisakan basaloid hampir ke
permukaan. Tidak ditemukan adanya ridge yang terselubung, oleh karena itu,

epitelium seringkali terkelupas dari jaringan penghubung (94% dari waktunya).


Epitelium ini tipis, dan sering ditemukan adanya aktivitas mitotik, oleh karena itu,
OKC tumbuh dalam cara neoplastik dan bukan sebagai respon terhadap tekanan dari
dalam. Lumen sering diisi dengan bahan seperti keju yang berbau busuk yang bukan
merupakan pus tetapi melainkan kumpulan keratin yang terdegenerasi. Lesi
bertumbuh dalam cara multilocular bosselate dengan anak kista yang meluas
kesekeliling tulang. Karena hubungannya tersebut, kecenderungan untuk rekuren
menjadi tinggi, khususnya jika perawatan bedah yang asli tidak menghasilkan
pengangkatan lesi secara menyeluruh. Enukleasi dengan ostektomi peripheral
dan/atau cryosurgery merupakan bentuk perawatan yang paling umum. Follow-up
radiografi jangka panjang sangat perlu untuk dilakukan. Jika lesi ini dibiarkan tanpa
perawatan, lesi ini dapat menjadi sangat besar dan merusak secara lokal.
Jenis OKC yang berbeda yaitu yang hanya memproduksi ortokeratin memiliki
aktifitas yang berbeda dibandingkan dengan jenis OKC lainnya. Kista ini hampir
selalu ditemukan sehubungan dengan dentigerous, biasanya mengelilingi molar ketiga
rahang bawah, dan biasanya kurang agresif dibandingkan jenis lainnya. Jenis ini tidak
memiliki lapisan basal hiperkromatik, nyatanya, lapisan basalnya rata. Jenis ini tidak
dihubungkan dengan sindrom nevus sel basal.

Anda mungkin juga menyukai