Anda di halaman 1dari 30

OBAT PENGINDUKSI UVEITIS

Nikolas JS London, Sunir J Garg, Ramana S Moorthy, dan Emmett T Cunningham Jr

Abstrak
Beberapa obat memiliki keterkaitan dengan kejadian uveitis. Ulasan ini menyoroti
baik yang sudah terbukti maupun yang baru-baru ini dilaporkan mengenai obat
sistemik, topikal, intraokular, dan vaksin terkait dengan obat penginduksi uveitis, dan
menetapkan skor secara kuantitatif untuk setiap obat berdasarkan kriteria yang
digambarkan oleh Naranjo dan kawan-kawan.
Tinjauan
Pendahuluan
Meskipun terdapat banyak kasus uveitis yang disebabkan oleh penyakit autoimun
atau infeksi, obat-obatan dikenal sebagai penyebab penting dari uveitis. Setiap obat
memiliki berbagai bentuk termasuk formulasi topikal, periokular, suntikan
intraokular, dan obat sistemik, yang terkait dengan kejadian uveitis. Ketersediaan
pengobatan terbaru untuk penyakit neovaskuler retina dan koroid dengan agen anti
VEGF telah meningkatkan prevalensi dan kejadian uveitis yang diinduksi oleh obatobatan. Mekanisme yang mendasari terjadinya uveitis akibat penggunaan obat belum
diketahui secara jelas, meskipun baik inflamasi maupun reaksi toksik telah diduga
berperan.(1-3) Dengan demikian, untuk setiap apa yang diringkaskan dibawah ini, kita
hanya membahas mekanisme dari obat yang menginduksi kejadian uveitis ketika
beberapa studi spesifik telah disediakan untuk tambahan wawasan. Ulasan ini
menyoroti baik yang sudah terbukti maupun yang baru-baru ini dilaporkan mengenai
obat sistemik, topikal, intraokular, dan vaksin terkait dengan obat penginduksi uveitis.
Meskipun banyak obat-obatan yang dilaporkan menyebabkan uveitis, hanya beberapa

obat

saja

yang

dipublikasikan

secara

independen

dalam

mengkonfirmasi

penyebabnya lebih jauh. Awalnya menggunakan algoritma yang diusulkan oleh


Naranjo dan kawan-kawan, secara kuantitatif menggambarkan keterkaitan berbagai
obat dengan kejadian uveitis sebagai pasti, mungkin, bisa jadi, dan diragukan
(Tabel 1)(4). Skor Naranjo untuk angka 9 atau lebih menunjukkan keterkaitan yang
pasti, skor 5-8 keterkaitan yang mungkin, skor 1-4 keterkaitan yang bisa saja terjadi,
dan skor 0 menunjukkan tidak ada keterkaitan sama sekali dengan kejadian uveitis.
Tabel 2 berisi obat-obatan yang terkait secara kuat dengan kejadian uveitis. Tabel 3
berisi daftar obat yang kemungkinan terkait dengan uveitis berdasarkan sistem
penilaian Naranjo. Selain itu, kemungkinan penyebab per kriteria Naranjo tertulis
didalam kurung tepat disamping obat.
Obat Sistemik
Cidofovir (Skor 11 Naranjo, Pasti)
Cidofovir adalah obat antivirus yang jarang digunakan yang pada awalnya digunakan
untuk pengobatan retinitis cytomegalovirus (CMV) pada pasien dengan kekebalan
imun yang rendah akibat human immunodeficiency virus (HIV) / AIDS. Secara
selektif menghambat polymerase DNA virus, menghambat replikasi virus. cidofovir
dapat diberi secara intravena atau secara langsung ke dalam rongga vitreus melalui
suntikan intravitreal. Efikasi dari cidofovir intravena sebagai terapi pada retinitis
CMV yang sebelumnya tidak terobati pada pasien dengan HIV/AIDS telah
dibuktikan dalam sebuah ujicoba acak multisenter dan dalam studi dosis cidofovir
pada pasien dengan HIV/AIDS dan yang sebelumnya diterapi kemudian mengalami
kekambuhan retinitis CMV.(5-6)
Dibandingkan dengan terapi lain untuk retinitis CMV, cidofovir memiliki beberapa
keunggulan, termasuk waktu paruh intraseluler yang lama. (7) Namun, saat ini jarang
digunakan karena beberapa efek samping yang penting, yang paling serius adalah
berpotensi menyebabkan ireversibel nefrotoksisitas. Selain itu, cidofovir terbukti

menimbulkan uveitis anterior non-granulomatosa pada 17% sampai 89% kasus dan
hipotoni pada 10% kasus.(8-14) Efek samping yang paling sering terjadi apabila pasien
mendapat inhibitor protease secara bersamaan, yang sebelumnya dirawat karena
retinitis CMV, kronik atau berulang, atau mengalami pemulihan kekebalan. (13)
Cidofovir yang terkait dengan kejadian uveitis lebih sering pada penggunaan
intravitreal dan biasanya terjadi setelah beberapa kali injeksi, dengan rata-rara 4,2
injeksipada sebuah studi.(11) Meskipun hampir semua kasus cidofovir terkait dengan
kejadian uveitis di mata dengan riwayat aktif atau pengobatan retinitis CMV, terdapat
laporan pasien dengan CMV non-okular(15) dan laporan kedua yaitu 5 dari 14 pasien
yang diterapi dengan cidofovir intravena untuk polimavirus berkaitan dengan
kejadian nefropati.(16) Insidensi efek samping okular menurun secara signifikan
dengan pemberian bersamaan dengan probenesid oral, pada satu studi melaporkan
penurunan dari 71% menjadi 18%.(8) Probenesid diyakini menghambat sekresi
cidofovir intraokular dari badan siliaris, sehingga meminimalisir konsentrasi
intraokular.(13) Sebelumnya, pathogenesis dari cidofovir terkait kejadiaan uveitis
berdasarkan hipotesis bahwa disebabkan reaksi langsung dengan CMV tersebut,
namun, uveitis telah dikaitkan dengan penggunaan cidofovir pada non CMV terkait
virus.(16)
Pengobatan melibatkan proses inisiasi dari kortikosteroid topikal dan agen
siklopegik/midriatik. Inflamasi berat mungkin harus menghentikan pemakaian
cidofovir,(12) tetapi biasanya tidak diperlukan pada kebanyakan kasus. Hipotoni
biasanya terlihat pada mata dengan uveitis dan mungkin berhubungan dengan
perubahan koroid, ablasi retina, dan lipatan makula, atau penurunan ketajaman visus.
Pada kebanyakan laporan kasus, hipotoni dapat diterapi dengan topikal dan atau
kortikosteroid periokular serta menghindari tambahan suntikan cidofovir bila
mungkin.(9,11,17)

Tabel 1. Skor Naranjo untuk menilai keterkaitan antara obat dengan reaksi yang
merugikan
Pertanyaan
1.Apakah terdapat laporan konklusif sebelumnya terhadap
reaksi ini?
2.Apakah efek yang tidak diinginkan muncul setelah
pemberian obat yang diduga?
3.Apakah efek yang tidak diinginkan meningkat setelah
pemberian obat dihentikan atau antagonis spesifik
diberikan?
4.Apakah efek yang tidak diinginkan muncul kembali
setelah pemberian obat kembali?
5. Apakah ada penyebab lain (selain obat) yang mereka
ketahui sendiri dapat menyebabkan reaksi tersebut?
6.Apakah reaksi muncul kembali setelah placebo diberikan?
7.Apakah obat yang terdeteksi dalam darah (cairan tubuh
lainnya) diketahui beracun?
8. Apakah reaksi memberat ketika dosis dinaikkan, atau
reaksi mereda ketika dosis diturunkan?
9.Apakah pasien mengalami reaksi yang sama dengan
pemakaian obat serupa pada pemaparan sebelumnya?
10.Apakah efek yang merugikan ini dikonfirmasi dengan

Ya

Tidak

Tidak Tahu

+1

+2

-1

+1

+2

-1

-1

+2

-1

+1

+1

+1

+1

Skor

+1
0
0
bukti objektif?
TOTAL
Skor maksimal adalah 13. Skor Naranjo dengan nilai 9 atau lebih menunjukkan keterkaitan
pasti, skor 5-8 keterkaitan yang mungkin, skor 1-4 bisa jadi terdapat keterkaitan, dan skor 0
menunjukkan tidak ada keterkaitan.

Tabel 2. Obat-obatan yang berkaitan dengan kejadian uveitis (modifikasi dari


Cunningham et al.(2)
Sistemik
Antagonis TNF- (a)

Topikal
Prostaglandin

(a)

Rifabutin
Bisphosphonates (a)
Sulfonamide (a)
Diethylcarbamazine (a)

Fluoroquinolones

(a)

Intraokular
Antibiotics (a)

Vaksin
Bacille

Calmette-

analog (a)
Metipranolol (a)
Corticosteroids (a)
Cholinomimetics (a)

Cidofovir
Urokinase (a)
Plasmin/

Guerin (BCG) (a,c)


Influenza (a)
Hepatitis B (a)
Measles, Mumps, and

Brimonidine (a)

mikroplasmin (a)
Antibodies

Rubella (MMR) (b)


Diphteria, Tetanus and

(ranibizumab,

Pertussis (DPT) (b)

bevacizumab, etc) (a)


Triamcinolone

Varicella (b)

Antibiotics

(a)

(a)

acetonide (a)
Oral Contraseptives
Topiramate (b)

(b)

(b)

Smallpox (b)

Betaxolol
Cholinesterase
Inhibitor (b)

(b)

Trifluoperazine
Quinidine (b)
Ibuprofen (b)
Reserpine (b)
Sildenafil (b)
Clomiphene citrate (b)
Daftar obat yang dilaporkan memiliki keterkaitan dengan kejadian uveitis yang dapat
ditemukan di www.eyedrugregistry.com. (a)Bukti kuat; (b)Bukti anekdot; (c)Uveitis yang juga
berhubungan dengan bagian kulit tempat pemurnian derivat protein.

Tabel 3. Penilaian kuantitatif dari obat penginduksi uveitis menggunakan algoritma


Naranjo

Jenis

Obat

Kriteria Skor Naranjo


1

10

Skor

Kemungkinan

Total

Penyebab

Sistemik

Topikal

Cidofovir
Rifabutin
Bisphosphonates
Sulfonamides
TNF- Inhibitor
Fluoroquinolones
DEC
Metipranolol
Glucocorticosteroid
Brimonidine
Prostaglandin

1
1
1
1
1
1
1
1
1
1

2
2
2
2
2
2
2
2
2
2

1
1
1
1
1
1
1
1
1
1

2
2
1
2
2
0
0
2
2
2

2
2
2
2
0
0
-1
2
0
2

0
0
0
0
0
0
1
0
1
0

1
0
0
0
0
0
0
0
0
0

1
1
0
0
0
0
0
1
0
0

0
0
1
1
0
1
0
0
1
0

1
1
1
1
1
1
1
1
1
1

11
10
10
10
7
6
5
10
9
9

Pasti
Pasti
Pasti
Pasti
Mungkin
Mungkin
Mungkin
Pasti
Pasti (a)
Pasti

Pasti

Cidofovir

11

Pasti

Anti-VEGF agents
Triamnicolone

11

Pasti

analog
Intraokular

1
2
1
2
-1 0
0
0
1
1
7
Mungkin
acetonide
Vaksin
BCG
1
2
1
2
2
0
0
0
0
1
9
Pasti
Influenza
1
2
1
0
2
0
0
0
0
1
7
Mungkin
MMR
1
2
1
0
2
0
0
0
0
1
7
Mungkin
Hepatitis B
1
2
0
0
2
0
0
0
0
1
6
Mungkin
Varicella
1
2
1
0
-1 0
0
0
0
1
4
Bisa Jadi
BCG, Bacille Calmette-Guerin; DEC, Diethylcarbamazine; MMR, Measles, Mumps and
Rubella; TNF, Tumor Necrosis Factor; (a)Laporan lama, beberapa menemukan kaitan dengan
infeksi sifilis laten

Rifabutin (Skor 10 Naranjo, Pasti)


Rifabutin adalah jenis antibiotik bakterisid oral yang digunakan sebagai profilaksis
terhadap Mycobacterium avium complex (MAC), biasanya digunakan pada pasien
dengan kelemahan imun dan terutama yang terinfeksi oleh HIV. Hal ini paling sering
terjadi berkaitan dengan kejadian uveitis anterior dengan hipopion (Gambar 1),
meskipun uveitis intermedia, panuveitis, dan vaskulitis retina juga telah dilaporkan.
(18,19)

Sebagian besar pemahaman mengenai rifabutin menginduksi uveitis karena adanya


laporan pada awal hingga pertengahan tahun 1990.(20-23) Saran dan kawan-kawan
menggambarkan gambaran klinis dari tujuh pasien dengan HIV/AIDS yang menerima
300 sampai 600 mg rifabutin setiap harinya ditambah dengan clarithromycin dan
fluoconazole, dan mayoritas juga mendapatkan ethambutol secara bersamaan. Pada
laporan ini, lima pasien menunjukkan uveitis hipopion akut pada 51-393 hari (ratarata 79 hari) setelah memulai konsumsi obat. Semua pasien pada akhirnya
berkembang menjadi uveitis anterior. Penglihatan pulih pada 20 dari 30 pasien dalam
jangka waktu 3 minggu setelah memulai pengobatan kortikosteroid topikal, meskipun
tiga dari lima pasien menurunkan dosis rifabutin dan/atau penghentian obat. Dalam
kelompok yang lebih besar, 24 pasien menerima 600 mg rifabutin perhari ditambah
dengan clarithromycin dan ethambutol, Shafran dan kawan-kawan menggambarkan
adanya iritasi mata dan kemerahan masing-masing 75% dan 54% pasien. Keluhan
fotofobia terdapat pada 33% pasien, dan hipopion terjadi pada 29% pasien. (24) Pada
studi yang sama, pasien yang mendapat dosis rendah rifabutin (300mg/hari) jarang
menimbulkan uveitis, dan apabila hal tersebut terjadi, butuh waktu 7 bulan
penggunaan obat untuk menimbulkan uveitis. Skinner dan Blaschke kemudian
menegaskan bahwa obat yang menginduksi uveitis jarang terjadi pada dosis
rekomendasi yaitu 300mg/hari.(25)
Faktor Risiko untuk berkembangnya uveitis akibat penggunaan rifabutin adalah
mengenai dosis dan durasi pemberian rifabutin, berat badan yang rendah, dan
penggunaan obat bersamaan, termasuk clarithromycin dan ritonavir.(21) Pada analisis
multivariate dari seluruh pasien yang mendapat 600 mg rifabutin perhari, Shafran dan
kawan-kawan menemukan uveitis sebanyak 64% pada pasien yang dengan berat
badan 55 kg, 45% pada pasien dengan berat badan 55-65 kg, dan hanya 14% pada
pasien dengan berat badan lebih dari 65 kg.(24) Beberapa obat, seperti clarithromycin
dan ritonavir, dapat memperburuk efek samping dari rifabutin seperti uveitis melalui
penghambatan sitokrom hati P-450.(26-28) Meskipun azoles sistemik, seperti

fluoconazole, juga menghambat sitokrom P-450, Shafran dan kawan-kawan tidak


menemukan bukti bahwa penggunaan bersamaan azoles sistemik dapat meningkatkan
risiko uveitis.(21)
Rifabutin menginduksi terjadinya uveitis mungkin merupakan hasil dari toksisitas
rifabutin. Hubungan antara rifabutin dan uveitis didukung oleh adanya hubungan
antara dosis dan durasi pemakaian, dan reversibilitas pada penghentian obat.

Gambar 1 Sit-lamp photograph pada uveitis hipopion. Seorang perempuan Eritran berusia
17 tahun yang mendapat rifabutin sebagai profilaksis MAC yang rekuren mengembangkan
uveitis anterior disertai hipopion. Pasien juga mengalami vaskulitis retina. Inflamasi benarbenar berhenti setelah pemakaian rifabutin dihentikan. Foto dari H. Nida Sen, MD, MHS

Bisphosphonates (Skor 10 Naranjo, Pasti)


Bisphosphonates utamanya digunakan sebagai terapi osteoporosis dan mencegah
fraktur dikarenakan penyakit keganasan pada tulang. Meskipun pada umumnya dapat
ditoleransi secara baik(30), beberapa obat jenis ini telah dikaitkan dengan kejadian
uveitis. Selain itu, bisphosphonates juga tercatat dapat menyebabkan skleritis /
episkleritis pada beberapa pasien.(31)
Pamidronate sodium intravena adalah jenis bisphosphonates yang paling sering
dikaitkan dengan efek samping okular, dan biasanya gejala timbul pada 1 sampai 6

hari setelah memulai pengobatan.(32) Konjungtivitis merupakan manifestasi yang


paling umum terjadi, diikuti uveitis anterior dan skleritis / episkleritis. (31-37) Diantara
23 kasus yang dilaporkan oleh Ciba-Geigy Central Epidemiology and Drug Safety
Center pada tahun 1993, 13 (57%) mengalami konjungtivitis non-spesifik, 7 (30%)
mengalami uveitis anterior (paling sering bilateral), dan 3 (13%) mengalami
episkleritis unilateral atau skleritis.(32) Dosis harian pamidronate sodium pada studi ini
berkisar 30 sampai 120 mg. Kebanyakan pasien dengan konjungtivitis non-spesifik
pulih secara spontan dalam beberapa hari. Pasien dengan uveitis anterior, tingkat
keparahan inflamasi mulai dari minimal, secara spontan sembuh dalam waktu 24 jam,
sampai tingkat inflamasi parah terkadang membutuhkan kortikosteroid topikal
dengan atau tanpa agen siklopegik dan juga rawat inap. Episkleritis atau skleritis
tercatat pada 3 pasien setelah mendapat pengobatan pamidronate disodium intravena
pada hari 1 sampai 6. Semua pasien pulih sepenuhnya dengan pengobatan. Pasien
dengan episkleritis diterapi menggunakan indometasin oral, dan pasien dengan
skleritis posterior diterapi dengan kortikosteroid oral.
Baru-baru ini, Fraunfelder dan kawan-kawan melaporkan 17 kasus skleritis unilateral
yang terkait dengan penggunaan pamidronate intravena dengan rentang dosis antara
30-60 mg perhari.(38) Pada semua kasus ini diperlukan penghentian terapi pamidronate
untuk resolusi penuh terhadap proses inflamasi yang terjadi.
Meskipun jarang digunakan, efek samping serupa telah diamati pada pemakaian agen
alendronate oral,(39-41) risedronate,(42,43) etidronate,(44) dan zoledronic acid.

(45-47)

Meskipun data tidak tersedia, namun aledronate telah dikaitkan dengan kejadian
skleritis dan uveitis anterior non-granulomatosa akut.(40-42) Hanya ada satu kasus
dilaporkan mengenai pemakaian risedronate yang terkait dengan uveitis anterior.(42)
Teori mengenai mekanisme bisphosphonates menginduksi uveitis didasari adanya
proses imunologi dan reaksi toksik yang disebabkan adanya sitokin inflamasi. (31-48)
Nitrogen yang mengandung bisphosphonates diketahui menyebabkan reaksi fase akut

sistemik, termasuk gejala influenza, yaitu sekitar 30% pasien pada infus intravena
untuk pertama kalinya.(49) Perlu dicatat, bagaimanapun, reaksi inflamasi, termasuk
uveitis anterior, dapat terjadi setelah paparan non-nitrogen, halogen yang
mengandung bisphosphonates, seperti clodronate.(50) Pasien yang menerima
bisphosphonates juga dapat menyebabkan terjadinya leukopenia sebagai akibat
peningkatan protein C-reaktif, interleukin-1, dan interleukin-6, yang semuanya
berkontribusi menyebabkan uveitis.
Pengobatan tergantung pada jenis dan tingkat keparahan inflamasi pada mata.
Konjungtivitis biasanya akan sembuh sendiri, meskipun obat-obatan seperti air mata
buatan dan / atau non-steroid topikal dapat mengurangi keluhan. Peradangan
substansial lebih mungkin memerlukan terapi kortikosteroid topikal atau sistemik.
Mungkin perubahan pada pengobatan dengan non-nitrogen yang mengandung
bisphosphonates atau penghentian sama sekali harus dipertimbangkan dalam
beberapa kasus uveitis anterior dan hamper semua kasus skleritis.(31,47,50)
Sulfonamides (Skor 10 Naranjo, Pasti)
Sulfonamides adalah antibiotik yang digunakan untuk infeksi yang umum terjadi,
termasuk infeksi saluran kemih dan toksoplasmosis. Sulfonamides baru-baru ini
digunakan sebagai antikonvulsan, diuretik, dan agen dermatologi. Hanya beberapa
yang melaporkan keterkaitan penggunaan sulfonamides dengan kejadian uveitis
anterior non-granulomatosa ringan.(51,52)
Kasus terbesar mengenai sulfonamides terkait uveitis dilaporkan oleh Tilden dan
kawan-kawan pada tahun 1991.(51) Menggunakan data 12 pasien yang diperoleh dari
National Registry of Drug Induced Ocular Side Effects, the US Food and Drug
Administration, dan tambahan dua laporan kasus, menunjukkan 14 pasien yang
mengembangkan uveitis anterior non-granulomatosa. Enam (43%) dari pasien
mengalami kejadian bilateral, dan merupakan gejala yang paling banyak berkembang
dalam waktu seminggu setelah inisiasi obat. Pasien diuji coba ulang dengan

menggunakan trimethoprim-sulfamethoxazole, sebuah sulfonamides yang umum


digunakan, menunjukkan peradangan berulang terjadi dalam waktu 24 jam. Lima
pasien lain juga memiliki bukti sulfonamides menginduksi efek samping lain seperti
Steven-Johnson Syndrome (SJS), eritema multiforme, stomatitis, glositis, ruam
vesikuler, atau fungsi hati yang abnormal.
Sering dikaitkan dengan penggunaan sulfonamide, kejadian SJS dan toksis epidermal
nekrolisis yang akut, parah, sembuh sendiri tetapi reaksi obat berpotensi mengancam
nyawa pada pasien dengan temuan dermatologi seperti erosi mukosa dengan berbagai
macula eritematosa dan akhirnya menglami kerusakan epitel. Manifestasi oftalmik
yang umum dari SJS meliputi kelopak mata, konjungtiva, dan peradangan kornea
serta jaringan parut, yang dapat menyebabkan hilangnya penglihatan yang parah. (53)
Uveitis sangat jarang pada pasien SJS, namun pernah dilaporkan.(54)
Obat non-sulfonamide, khususnya trimethroprim mungkin memainkan peran dalam
beberapa kasus yang diduga sulfonamide menginduksi uveitis. Khususnya, sebagian
besar kasus yang dilaporkan melibatkan penggunaan timethoprime-sulfametoxazole.
Ini termasuk 12 dari 14 pasien pada kasus yang dilaporkan Tilden dan kawan-kawan.
(51)

Pathak dan Power menunjukkan seorang wanita berusia 41 tahun yang mengalami
uveitis anterior bilateral non-granulomatosa setelah 2 hari mendapat 200 mg
trimethoprime dengan frekuensi dua kali sehari. Pekerjaannya biasa-biasa saja, dan
inflamasi yang dialaminya dapat hilang dengan terapi topikal dan penghentian obat,
kambuh terjadi 45 menit setelah uji coba ulang dengan 200 mg trimethoprim.(55) Pada
waktu yang berbeda, seorang wanita berusia 38 tahun mengalami menyerupai gejala
flu seperti yang terjadi pada uveitis anterior bilateral

non-granulomatosa ketika

memulai pengobatan dengan trimethoprim-sulfametoxazole.(56) Hal tersebut membaik


segera setelah pemberian kortikosteroid topikal.(56)
Inhibitor Tumor Necrosis Factor (TNF) (Skor 7 Naranjo, Mungkin)

Tumor Necrosis Factor (TNF)- merupakan sitokin proinflamasi yang secara kuat
terlibat dalam patogenesis penyakit autoimun. Penghambatan dari TNF- merupakan
terapi yang efektif untuk mengobati berbagai kondisi peradangan, termasuk artritis
rematoid, artritis juvenile idiopatik, penyakit Crohn, artritis psoriasis, dan spondilitis
ankilosing. Agen ini telah digunakan untuk mengobati inflamasi pada mata yaitu
uveitis dan skleritis.(2,3,58-65) Inhibitor TNF- yang paling sering digunakan untuk
uveitis adalah infliximab, adalimumab, dan yang jarang adalah etanercept. Infliximab
adalah antibodi monoklonal kimerik tikus-manusia yang diberikan melalui infus
intravena. Adalimumab adalah antibody monoclonal yang sepenuhnya dari
manusiayang digunakan melalui subkutan. Sebaliknya, etanercept adalah TNF hasil
rekayasa genetika reseptor konjugasi wilayah Fc pada IgG manusua yang diberikan
sebagai injeksi subkutan.
Terapi anti-TNF telah dipelajari secara ekstensif sejak diperkenalkan dan telah
menunjukkan profil keamanan yang dapat diterima mengingat beratnya gangguan
yang dialami. Reaksi autoimun, khususnya seperti sindrom menyerupai lupus seperti
pada hepatitis autoimun, telah dijelaskan oleh agen ini. Laporan baru-baru ini lebih
dari 800 kasus penyakit autoimun dengan onset baru terjadi setelah penggunaan obat
ini, termasuk lupus sistemik, proses organ spesifik seperti penyakit paru-paru, dan
uveitis.(66) Kebanyakan kasus muncul pada 1 sampai 12 bulan awa terapi, dan
sebagian kasus benar-benar sembuh setelah penggunaan obat dihentikan. Dari
peninjauan kasus, 87 inflamasi intraokular terlibat setelah memulai pengobatan.
Bahkan lebih mencolok, pasien lain dirawat karena penyakit tidak umum terkait
dengan uveitis.
Baru-baru ini terdapat laporan anekdot dan metaanalisis yang melibatkan ketiga agen,
terutama etanercept sebagai penyebab uveitis.(66-75) Pada tahun 2007, Lim dan kawankawan meninjau semua kasus uveitis terkait dengan etanercept, infliximab, dan
adalimumab yang dilaporkan database nasional antara tahun 1998 dan 2006,
dikecualikan pasien dengan penyakit yang mendasari yang terkait uveitis. (76) Secara

total menemukan 59 kasus yang diduga mengalami uveitis akibat obat, dimana 43
dengan etanercept,14 dengan infliximab, dan 2 dengan adalimumab. Etanercept
secara signifikan lebih terkait dengan kejadian uveitis daripada infliximab (OR 5,375)
atau adallimumab (OR 8,6).(76)
Agen anti-TNF, khususnya etanercept, juga telah dicatat mendorong paradox, yang
dibuktikan dengan biopsy sarkoidosis termasuk sarkoidosis mata (Gambar 2). (2,77-81)
Pasien yang terkena memiliki gambaran yang bervariasi. Uveitis terjadi berkisar dari
3 sampai 6 minggu, termasuk peradangan mata baik anterior dan / atau posterior serta
periflebitis atau koriorenitis. Kebanyakan pasien sembuh secara spontan setelah agen
penyebab dihentikan, tetapi beberapa kasus membutuhkan kortikosteroid sistemik.
Penyebab inflamasi paradoks yang disebabkan oleh agen anti-TNF dan sitokin
proinflamasi interferon dapat meningkatkan aktivasi sel kekebalan, pembentukan
autoantibodi, dan deposisi kompleks imun, akhirnya mengarah ke pengembangan
penyakit autoimun.(2,82) Hal ini juga menduga bahwa penghambatan TNF- mungkin
meningkatkan kejadian infeksi oleh organisme terkait pembentukan granuloma nonkaseosa.(2)
Fluoroquinolones Oral (Skor 6 Naranjo, Mungkin)
Uveitis yang terkait dengan terapi fluoroquinolones sistemik pertama kali dijelaskan
pada tahun 2004.(83) Sejak saat itu, setidaknya 40 kasus telah dilaporkan.(70,83-87) Dari
catatan, kasus yang teridentifikasi telah dilaporkan tanpa diketahui paparan terapi
fluoroquinolones

sistemik,

menunjukkan

bahwa

faktor

lainnya

mungkin

berkontribusi.(88) Sebagian besar peresepan fluoroquinolones oral yang terlibat antara


lain ciprofloxacine, ofloxacine, gatifloxacine, levofloxacine, dan norfloxacine.
Namun, yang paling sering terlibat sebagai agen adalah moxsifloxacine. Pada semua
kasus, obat-obat tersebut diberikan pada dosis oral standar. Uveitis berkembang pada
hari ke 13 (rentang 0 sampai 20 hari) setelah inisiasi obat. Pasien menunjukkan
adanya

nyeri

okuler

bilateral

dan

penurunan

visus.

Pemeriksaan

sering

mengungkapkan adanya endapan keratik berpigmen dengan pigmen di bagian ruang


anterior dan non-pigmen hanya sedikit (Gambar 3). Sampai dengan 50% pasien
menderita hipertensi okular atau glaucoma yang membutuhkan terapi untuk
menurunkan tekanan intraokular.(86,87)
Patofisiologi fluoroquinolones terkait uveitis sebagian besar tidak diketahui, tetapi
mungkin melibatkan fototoksisitas, predisposisi autoimun, dan / atau infeksi virus
secara bersamaan. Fototoksisitas telah diusulkan sebagai mekanismenya, tetapi tidak
memungkinkan, sebab mengingat pembatasan temuan mata yang bertentangan
dengan daerah yang terpapar sinar matahari. (85) Ada juga kemungkinan predisposisi
autoimun. Dari 40 pasien yang dilaporkan oleh Hinkle dan kawan-kawan, 27 (69%)
adalah perempuan dengan usia rata-rata 54 tahun, dan HLA-B27 dan HLA-B51
haplotipe yang diidentifikasi masing-masing 20% dan 40%.(84) Infeksi virus yang
terjadi bersamaan adalah kemungkinan lain tetapi tidak menjelaskan secara cukup
untuk temuan tersebut.(84-86) Sebuah laporan tunggal menggambarkan adanya iris yang
cekung yang mengarah ke penjelasan. Namun tidak dijelaskan dalam kasus lain.(86)
Diethylcarbamazine (Skor 5 Naranjo, Bisa Jadi)
Diethylcarbamazine (DEC) adalah mikrofilaria kuat yang digunakan untuk
pengobatan onchocerciasis. Yang secara luas digunakan sebelum pengenalan
ivermectin. DEC menyebabkan kematian dari mikrofilaria, termasuk reaksi inflamasi
yang terjadi pada mata yang dikenal sebagai reaksi Mazzotti. (89,90) Uveitis anterior, lesi
pigmen epitel retina sementara, koriorenitis, dan peradangan syaraf optik telah
dijelaskan.(91-93) Pada percobaan, placebo-kontrol, Taylor dan kawan-kawan
menunjukkan ivemectin dan DEC memiliki efektivitas yang sama dalam mengurangi
mikrofilaria intraokular, dengan ivemectin tidak ada ditemukan efek samping
inflamasi pada mata.(94) Dengan demikian, reaksi Mazzotti saja tidak cukup untuk
menjelaskan uveitis terkait penggunaan DEC.

Gambar 2 Slit-lamp (kiri) dan fundus (kanan) pada pasien dengan etenercept yang
menginduksi menyerupai sarkoid uveitis. Menunjukkan adanya keratik presipitat dan
inflamasi pada vitreus dengan opasitas vitreus perifer dan bercak vaskulitis. Fotografi dari
Alex Fonolossa, MD

Pengobatan Topikal
Metipranolol (Naranjo skor 10, pasti)
Metipranolol adalah beta-blocker non-selektif topikal yang digunakan untuk
pengobatan hipertensi okular dan glaukoma. Tak lama setelah diperkenalkan, laporan
dari asosiasi uveitis anterior granulmatosa mulai muncul [95-102]. Akingbehin dan
Villada mempresentasikan temuan 56 episode uveitis anterior granulomatosa di 26
mata dari 15 pasien [96]. Hampir semua kasus uveitis terjadi dengan 0,6% dosis
dibandingkan dengan dosis 0,3%, yang mengarah ke penarikan dosis 0,6% dari
pasaran pada tahun 1990. Sebagian besar kasus yang dikembangkan setelah 7-31
bulan terapi pasien biasanya didapatkan sel, flare, dan endapan keratic
granulomatosa, dan 2% berkembang sinekia posterior. Lebih dari 50% dari mata juga

terjadi hipertensi okular. Dengan penghentian metipranolol dan inisiasi kortikosteroid


topikal, pasien umumnya tidak cukup baik, dengan perbaikan inflamasi setelah 3
sampai 5 minggu. Sejumlah besar laporan kasus, data menunjukkan hubungan antara
metipranolol dan peradangan [103]. Hipotesis awal tentang patogenesis metipranolol
menginduksi uveitis berpusat pada metode sterilisasi (misalnya, radiasi gamma)
digunakan untuk botol multidosis, namun efek samping telah terlihat dengan botol
dosis tunggal maupun dengan metode sterilisasi lain [98,100]

Glukokortikoid (Naranjo skor 9, pasti)


Beberapa laporan uveitis berkembang atau memburuk pada mata yang tidak
terinflamasi selama atau tiba-tiba setelah penarikan kortikosteroid topikal [104-106]
Meskipun laporan sebelumnya terutama ditunjukkan deksametason sodium phosphate
0,1% , penarikan kortikosteroid terkait uveitis telah dijelaskan dengan penarikan
berbagai formulasi kortikosteroid topikal, termasuk prednisolon asetat 1% dan
deksametason 0,1% [104,103,107]
Laporan pertama diterbitkan pada tahun 1970 [105]. Dalam studi prospektif pada
2.000 pasien yang dirancang untuk memeriksa efek deksametason sodium phospat
topikal 0,1%, pada tekanan intraokular, penulis menggambarkan dua pasien tanpa
riwayat uveitis yang mengalami uveitis anterior 2 sampai 5 hari setelah menghentikan
pengobatan [105]. Uveitis merespon terapi intensif dengan agen yang sama bersama
dengan obat cycloplegic/mydriatic. Laporan terbesar adalah serangkaian kasus 16
pasien tanpa riwayat uveitis dan tanpa riwayat kondisi sistemik predisposisi, yang
mengalami uveitis anterior terkait dengan penarikan kortikosteroid topikal [104].
Lima belas kasus (94%) terkait dengan dexamethasone natrium phosphate 0,1%
dengan kasus yang terkait dengan salep triamcinolon asetonid 0,5% . Peradangan di
dapatkan pada dua pasien yang tetap menggunakan deksametason. Terutama,
kejadian uveitis pada pasien kulit hitam (14/261, 5,4%) secara signifikan lebih tinggi

dibandingkan kejadian pada pasien berkulit putih (2/360, 0,5%). Signifikansi hal ini
tidak jelas dan belum dikonfirmasi dalam penelitian berikutnya. Dalam semua kasus,
peradangan sembuh dengan cepat dengan agen cycloplegic/mydriatic topikal saja.
Satu pasien dengan prednisolon asetat 1% selama 10 hari dan terjadi uveitis berulang
2 hari setelah menghentikan obat.
Walaupun mekanisme kortikosteroid menyebabkan uveitis belum di ketahui,
kejadian pada pasien dengan serologi fluoresen troponemal antibodi absorpsi positif
(FTA-ABS) telah dicatat [106]. Dengan catatan, tidak ada laporan-laporan baru
kostikosteroid menyebabkan uveitis sejak 1979.

Gambar 3 foto slit lamp dari bilik mata depan pada pasien dengan moxifloxacin
terkait uveitis. Pasien ditunjukkan dengan nyeri pada mata dan kemerahan 1 minggu
setelah penggunaanterapi moxifloxacin sistemik. Pada pemeriksaan ditemukan

partikel pigmen campuran dan sel peradangan pada bilik mata depan (atas) dan artofi
iris pada transluminasi (bawah)

Brimonidine (Naranjo skor 9, pasti)


Brimonidinc tartrate adalah selektif alpha2-adrenergic reseptor agonis yang
digunakan untuk pengobatan glaukoma dan hipertensi okular. Pada umumnya,
brimonidine aman dan ditoleransi baik. Akan tetapi, terdapat beberapa kasus
menjelaskan uveitis anterior granulomatosa dengan peningkatan tekanan intraokular
pada penggunaan lama [108-114]. Pada kasus besar, pasien berusia lebih dari 75
tahun dan menggunakan brimonidine topikal dalam 11 bulan atau lebih. Hal tersebut
berbeda dengan brimonidine menginduksi konjungtivitis alergi, yang biasanya terjadi
setelah 6 sampai 9 bulan penggunaan. Byles dkk melaporkan empat pasien yang
mengalami uveitis anterior granulomatosa setelah menggunakan brimonidine sekitar
14 bulan [108]. Sebagai catatan, keempat pasien timbul inflamasi berulang dalam
waktu 3 minggu setelah memulai pengobatan kembali.
Menghentikan pengobatan adalah yang paling efektif dan biasanya
memberikan hasil perbaikan inflamasi yang cepat. Penggunaan terapi kotrtikosteroid
topikal dan agen cycloplegic/mydriatic mungkin di perlukan untuk sebagian kasus.

Analog Prostaglandin (Naranjo skor 9, pasti)


Analog prostaglandin topikal latanoprost, travoprost, dan bimatoprost tekanan
rendah intraokular kerja utama dengan meningkatkan aliran uveoscleral [115-117].
Obat ini telah dikaitkan dengan beberapa efek samping itu, termasuk konjungtiva
hiperemia, pertumbuhan bulu mata, iris, dan pigmentasi kulit periokular,

pembentukan kista iris, edema makula, reaktivasi herpes simpleks keratitis dan
uveitis anterior [118,119].
Sementara prostaglandin endogen tingkat tinggi diketahui menyebabkan
inflamasi intraokular dan penghalang aliran darah, prostaglandin analog topikal yang
khusus dirancang untuk meminimalkan potensi efek samping prostaglandin
[120,121]. Meskipun demikian, beberapa studi telah menggambarkan perkembangan
uveitis anterior di persentase kecil pasien. Satu studi menemukan pengembangan
uveitis anterior akut ringan pada 8 dari 163 mata diobati dengan latanoprost [122].
Tak satu pun dari pasien memiliki riwayat uveitis atau kondisi medis terkait dengan
uveitis. Peradangan didapatkan setelah beberapa bulan penggunaan latanoprost pada
enam dari delapan mata dan setelah 1 hari di kedua mata dari satu pasien [122].
Uveitis sembuh segera setelah penghentian obat, meskipun beberapa mata juga di
terapi dengan kortikosteroid topical.
Mekanisme prostaglandin analog dapat menyebabkan uveitis anterior mungkin
melibatkan stimulasi elcosanoid proinflamasi [123]. Terlebih lagi, prostaglandin
analog dapat meningkatkan IL-1 dan IL-6 di air mata, dan berpotensi dalam aqueous
humor, pada terapi pasien [124]
Menariknya, bila digunakan pada mata dengan uveitis anterior endogen aktif dan
mata dan hipertensi okular / glaukoma, prostaglandin topikal tampaknya tidak
menyebabkan peningkatan inflamasi atau edema makula cystoid bila dibandingkan
dengan agen intraokular pressure (IOP) yang lain (IOP) [125]. Tekanan intraokular ini
mungkin sebagian karena penggunaan bersamaan kortikosteroid topikal, regional,
atau systemik pada pasien ini yang dapat menumpulkan atau menutupi efek proinflamasi dari analog prostaglandin.

Pengobatan Intraokular

Sidofovir (Naranjo skor 11, pasti)


Intraokular injeksi sidofovir telah dikaitkan dengan inflamasi sekunder. Pada fase
I/II uji klinis, sidofovir intravitreal tanpa pemberian sistemik bersamaan dikaitkan
dengan hypotony dan uveitis ringan yang mudah dikontrol dengan obat topikal
[9,126] Penelitian lain menemukan kejadian 26% dari uveitis non-granulomatosa
ringan sampai sedang setelah injeksi intravitreal sidofovir [8,171]. Kemiripan dengan
uveitis terlihat dengan pemberian sidofovir sistemik, kejadian uveitis secara
substansial lebih rendah pada pasien yang menggunakan kortikosteroid sistemik
bersamaan dengan probenesid dan kortikosteroid topikal [8,17]. Pada sebagian besar
kasus, terjadi hypotony ringan, dengan penurunan dari TIO dasar rata-rata 9,3-7,1
mmHg 2 minggu setelah injeksi intravitreal 20-ug [126]. Dalam sebuah penelitian,
hanya 1 dari 24 mata didapatkan secara klinis signifikan tidak bisa hypotony (dengan
TIO dari 1 mmHg) yang diasosiasikan dengan detasemen choroidal dan penurunan
ketajaman visual [126]. Pasien ini membaik secara spontan.

Agen anti-VEGF (Naranjo skor 11, pasti)


Agen anti-VEGF adalah antibodi monoklonal (ranibizumab, bevacizumab),
aptamers RNA (pegaptanib), atau reseptor VEGF (afilbercept) berikatan dan efektif
menghambat aktivitas VEGF. Agen ini digunakan untuk pengobatan sejumlah
gangguan retina, termasuk exudativc yang berkaitan dengan degenerasi makula
dikarenakan usia, edema makula diabetik, glaukoma neovascular, dan makula edema
dengan oklusi vena retina [127-143]. Meskipun profil keamanan relatif kuat, studi
multicenter, sudah ada beberapa laporan dari uveitis yang terkait dengan injeksi
intraokular dari obat ini [130,144-153].
Pada tahun 2004, pegaptanib sodium adalah agen anti-VEGF pertama yang
disetujui untuk pengobatan eksudatif yang berkaitan dengan degenerasi macular.

Berbasis RNA aptamer untuk mengikat VEGF-165 [154]. Dalam percobaan


multicenter dari 890 mata diobati dengan berbagai dosis pegaptanib, 14% dari mata
didapatkan beberapa tingkat peradangan bilik anterior dibandingkan dengan hanya
6% dari mata diobati dengan suntikan palsu (0,001) [154]. Penulis mengemukakan
hal tersebut disebabkan insiden yang relatif tinggi pada kedua kelompok dengan
prosedur injeksi dan / atau preparat. Sebuah studi tindak lanjut dari 147 pasien diobati
dengan dosis sampai 3 mg (sepuluh kali lebih tinggi dari dosis yang disetujui)
melaporkan ada kasus peradangan mata klinis yang relevan [155}
Ranibizumab telah dipelajari lebih luas daripada bevacizumab dan afbercept,
dengan data yang cukup besar tentang profil keamanannya. Pada tahap III studi
ANCHOR dan MARINA, inflamasi berat (3+ atau lebih) terjadi 2,9% dan 2,1% dari
mata yang diobati, dibandingkan dengan 0% dari mata kontrol dan 7,9% dari mata
yang di obati dalam studi ANCHOR didapatkan peradangan pasca injeksi [128-133].
Baru-baru ini, studi CRUISE, sBRAVO, PIER, dan CATT melaporkan peradangan
mata pada 1% sampai 15% dari mata yang dirawat di beberapa titik selama masa
studi [129.131.133.134.140.156]. Akan tetapi, pada percobaan BRAVO dan CRUISE,
peradangan di dapatkan lebih jarang di mata yang diobati dengan ranibizumab
daripada pada mata dengan pengobatab palsu [131,134]. Tahap I/II studi FOCUS,
studi ranibizumab ditambah PDT dibandingkan dengan hanya PDT, dilaporkan
kejadian yang relatif tinggi uveitis berat pada 12,4% dari mata diobati dengan
ranibizumab ditambah PDT dibandingkan dengan 0% dari pasien yang menerima
PDT saja [157.158]. Para penulis mengemukakan perbedaan ini untuk perumusan
penggunaan ranibizumab (liofilisasi dalam studi FOKUS dibandingkan Food and
Drug Administration (FDA) dan tersedia formulasi cair secara komersial) serta
hubungan antara suntikan ranibizumab dan pengobatan PDT.
Bevacizumab tampaknya memiliki tingkat lebih bervariasi untuk obat berkaitan
dengan peradangan. Dalam sebuah penelitian retrospektif obat-terkait 2.000 suntikan
(1.275 bevacizumab dan 725 ranibizumab), Ladas dan rekan melaporkan 38 kasus

peradangan intraokular. Ini merupakan 6% dari mata diobati dan 1,9% dari suntikan
[147]. Sebagian besar kasus (30) adalah kasus-kasus uveitis anterior ringan yang
terjadi dalam beberapa hari setelah injeksi dan mudah dikontrol dengan kortikosteroid
topikal. Delapan kasus (yang merupakan 1,3% dari mata yang diobati dan 0,4% dari
suntikan) disajikan dalam 1 sampai 3 minggu dari peradangan moderat sampai
peradangan parah. Peradangan dalam kasus ini juga mudah dikendalikan dengan
pemberian singkat topikal dan sistemik kortikosteroid. Hanya satu mata mengalami
inflamasi berulang dengan setiap dari masing-masing tiga injeksi tersebut. Baru-baru
ini, perbandingan studi CATT antara ranibizumab dan bevacizumab. Tingkat yang
dilaporkan peradangan pada terapi mata yang rendah sebesar 0,3% untuk ranibizumab
dan 0,5% untuk bevacizumab [129.130]. Demikian pula, dalam percobaan
retrospektif besar, r dari 1.173 mata diobati dengan bevacizumab selama 12 bulan,
hanya 4 mata (0,3% dari mata diobati, 0,09% dari innjeksi) didapatkan uveitis parah
[159]. Semua kasus ini dikelola dengan kortikosteroid topikal.
Sementara sebagian besar kasus weilis berikut injeksi anti-VEGF ringan dan
transicnt, serangkaian kasus sporadis telah dijelaskan parah peradangan umumnya
dengan bevacizumab dibandingkan dengan ranibizumab [146,149,160-162]. Sato dan
rekan melaporkan serangkaian lima mata yang dikembangkan menyajikan uveitis
parah seperti sindrom segmen anterior beracun setelah injeksi dengan bevacizumab
[149] Empat dari lima mata sebelumnya menerima bevacizumab intraokular tanpa
didapatkan uveitis. Para penulis bevacizumab mengusulkan agar kasus ini
kemungkinan besar karena produk sampingan beracun hadir dalam banyak suntikan.
Dalam lain hal, Kay dan rekan menjelaskan tujuh mata dari 6 pasien yang mengalami
uveitis non infeksius dari cohort 976 injeksi bevacizumab berturut-turut [161].
Catatan, 338 suntikan ranibizumab dilakukan selama rentang waktu yang sama tanpa
inflamasi yang terkait. Dalam waktu 24 jam, semua mata yang terkena mengalami
tanda-tanda dan gejala khas uveitis anterior yang cepat membaik dengan pengobatan
kortikosteroid tipokal. Semua mata menerima bevacizumab. Tiga mata menerima

injeksi berturut-turut dan tidak berkembang menjadi uveitis berulang. Bilik mata
depan dari satu mata yang terkena mengungkapkan bukti partikel materi asing, yang
penulis berspekulasi mungkin salah satu kausal terkait.
Seri yang lebih besar muncul untuk menunjukkan data dari percobaan besar, di
mana formulasi khusus (yaitu, berbeda dari yang tersedia secara komersial) dari obat
dapat digunakan. Sebuah survei yang berbasis survei internet dari laporan dokter
mencatat kejadian uveitis ringan pada 0,14% dari mata yang menerima suntikan
bevacizumab [153]. Dalam review retrospektif 1.278 suntikan bevacizumab,
Wickremasingle rekan melaporkan bahwa 14 kasus (1,1%) didapatkan peradangan
akut, tapi penelitian yang di eksklusi yang mencurigakan untuk endophthalmitis
[163]. Sebagian besar meata menunjukkan telah menerima suntikan sebelumnya
(rata-rata 2,7) dan dalam 1 sampai 3 hari dengan kemampuan penglihatan berkurang
dan ketidaknyamanan ringan. Inflamasi ringan (1 sampai 2) dalam banyak kasus,
inflamasi hadir baik pada ruang anterior dan vitreous. Semua mata merespon dengan
baik terhadap terapi kortikosteroid topikal intensif. Shah dan rekan melaporkan 16
kasus endoftalmitis di antara 27.736 suntikan ranibizumab atau bevacizumab, tanpa
perbedaan insiden antara kedua obat. Day dan rekan mengidentifikasi 6.154 pasien
yang menerima 40.903 suntikan anti-VEGF di Medicare klaim batabase dan
mengevaluasi mereka untuk hasil yang merugikan paska injeksi di bandingkan
dengan kontrol [165]. Pada 2 tahun, uveitis secara signifikan lebih umum pada
kelompok anti-VEGF (0,73% vs 0,37%, p< 0,01). Insiden uveitis per injeksi adalah
0,11% dalam seri mereka.
Alibercept adalah protein fusi yang disetujui untuk pengobatan eksudatif AMD
dan edema macular berhubungan dengan RVO. Pengalaman awal menyarankan
bahwa allibercept mungkin kurang sering diasosiasikan uveitis dibandingkan dengan
ranibizumab dengan obat-terkait atau bevacizumab, mempengaruhi 0,6% dari pasien
atau lebih sedikit di CLEAR -IT 2 dan DA VINCI studi [137,139], dengan
COPERNICUS dan EXCITI studi melaporkan nol kasus [138,166].

Triamcinolone asetonid (Naranjo skor 7, mungkin)


Triamcinolone asetonid (TA) adalah kortikosteroid kristal yang dapat disuntikkan
ke dalam mata. Hal ini digunakan untuk mengobati beberapa penyakit segmen
posterior, termasuk non-infeksi, dan panuveitis, berbagai bentuk makula edem [167169] Laporan paradoks telah terjadi peradangan parah setelah injeksi TA intravitreal
[152,167,168,170-180], yang sering disebut non-infeksi atau steril thalmitis
endoftalmitis. Pasien mungkin tampak dengan penglihatan berkurang dengan sedikit
atau tanpa injeksi konjngtiva dan nyeri, tapi mungkin ada keterlibatan sel ruang
anterior besar, seringkali dengan hypopyon. Insiden guna merespon inflamasi ini
diduga adalah variabel di lilerature tersebut, yang terjadi pada 0,5% 9,7% dari
suntikan [170,172-175,178]. Dalam salah satu penelitian terhadap 922 suntikan TA
intravitreal [171], penulis melaporkan endophthalmitis non infeksi pada delapan mata
(0.87%). Pasien tampak dalam 1 sampai 7 hari injeksi dengan ketajaman visual buruk
dan hypopyon. Pengobatan bervariasi dari antibiotik sistemik untuk menekan vitreous
dan injeksi antibiotik untuk pars plana vitrectomy. Tak satu pun dari sampel vitreous
menunjukkan kultur positif, dan pasien cenderung untuk melakukannya dengan baik,
dengan rata-rata akhir ketajaman 20/75. Endophthalmitis infeksius diduga pada
semua pasien dengan intraokular inflamasi berikut IVTA, terutama mereka dengan
suntikan yang buruk atau sakit, penglihatan buruk atau keterlibatan konjungtiva dari
vitreous.
Beberapa peneliti telah menyarankan bahwa inflammasi intraokular berikut IVTA
mungkin merupakan reaksi toksik obat, pembawa, atau kontaminan [172] Jonas dan
rekan diberikan 1.135 injeksi intravitreal 20 mg TA yang di filter dan mengamati
tidak ada kasus endophthalmitis non infeksi [181]. Pemberian dosis tinggi TA, ini
berpendapat terhadap efek toksik langsung obat. Mendukung hipotesis ini, satu
review retrospektif dari 646 suntikan 4 mg TA mencatat kasus lebih signifikan

endophthalmitis non-infeksi di antara pasien yang menerima TA dengan pengawet


dibandingkan tanpa pengawet [180] Dukungan lebih lanjut berasal dari dua penelitian
besar yang menggunakan formulasi sekali pakai dari IVTA bebas pengawet pada 457
pasien dengan oklusi vena retinal. Penulis melaporkan tidak ada kasus inflamasi post
injeksi [167,168}. Pasien dengan riwayat uveitis lebih mungkin untuk mengalami
peradangan mata pasca injeksi [182] Namun, beberapa peneliti menemukan bahwa
reaksi inflamasi non-infeksi dapat terjadi diduga bahkan dengan TA tanpa pengawet
[179]
Yang membingungkan adalah infeksi atau endophthalmitis non infeksi adalah
pseudoendophthalmitis karena migrasi dari kristal 1A ke ruang anterior, di mana
mereka menetap pada pseudohipopion (Gambar 5) [183]. Pseudo-endnphthalmitis
lebih jarang terjadi pada pasien phakic dan pasien pseudofakia dengan kapsul
posterior utuh [170]

Gambar 5. Endoftalmitis post injeksi awal (kiri) vs pseudoendoftalmitis (tengah)


setelah injeksi triamcinolone acetonid intraocular. Catatan aqueous humor fibrinoid
pada endoftalmitis vs aqueous humor granular pada pseudoendoftalmitis.

Vaksin
Bacile Calmette-Guerin (Naranjo skor 9, pasti)
Bacille Calmette-Guerin (BCG) adalah vaksin yang digunakan untuk profilaksis
terhadap resiko Mycobacterium tuberculosis dan sering di berikan di negara denagn
prevalensi infeksi yang tinggi. Vaksi Bacille Calmette-Guerin adalah vaksin primer
yang digunakan untuk mencegah anak-anak TB meningitis dan penyakit miliaria, dan
juga memiliki utilitas dalam pengobatan kanker kandung kemih. Beberapa laporan
kasus telah terlibat baik vaksinasi BCG dan BCG intrevesikal dalam pengembangan
non-granulomatosa bilateral akut atau uveitis anterior granulomatosa [184-192].
Peradangan dapat dikaitkan dengan hilangnya pigmentasi iris dan biasanya merespon
dalam beberapa hari sampai beberapa minggu pengobatan dengan agen kortikosteroid
topical dan agen cycloplegic / mydriatic . Pasien mungkin juga hadir dengan gejala
sistemik yang menyerupai arthritis reaktif [191-193). Pada sebagian kecil kasus,
pasien mungkin hadir dengan dengan panuveitis bilateral [194,195], choraretinitis
[196], vitiligo [189], dan / atau neuritis optik [195]
Beberapa penulis berpendapat untuk respon imun yang abnormal di sebabkan
karena mimikri molekular [184,185]. Penulis laporan kasus dari perempuan berusia
13 tahun yanag mengalami anterior uveitis bilateral kronis sesudah vaksinasi BCG
terlibat HLA-DR4 positif, mencatat bahwa HLA-DR4 sangat responsif terhadap
antigen M. tuberculosis [184]. Sebuah laporan terpisah menjelaskan seorang wanita
72 tahun yang mengalami uveitis anterior granulomatosa bilateral setelah BCG
intravesical untuk bladder karsinoma [185]. Para penulis mencatat bukti reaksi reaksi
autoimun poliklonal ditimbulkan oleh BCG serta rangkaian asam amino homolog
antara protein dari M. tuberculosis, BCG, dan retina antigen [185] Sebagai catatan,
pasien itu negatif untuk HLA-B27 tapi positif untuk HLA-B8 dan HLA-B38

Beberapa kasus uveitis berikut tes kulit tuberkulin (purified protein derivative
atau PPD) telah dilaporkan [197]. Reaksi berkisar dari panuveitis [197] presentasi
menyerupai choroditia multifokal dan penyakit Vogt-Koyanagi-Harada dengan retinal
serosa [198]. Keterlambatan terjadinya uveitis setelah uji kulit mendukung mediasi
imun, reaksi hipersensitivitas tipe lambat, mungkin untuk sel imun sebelumnya yang
peka terhadap M. tuberculosis [197]

Campak, gondok, dan rubella (Naranjo skor 7, mungkin)


Kedua uveitis anterior dan panuveitis telah dilaporkan dalam hubungan dengan
vaksinasi campak, gondok, dan rubella (MMR) dalam laporan kasus terisolasi
[199,200] . Laporan-laporan ini jarang, dengan tingkat keparahan bervariasi. Dalam
kasus yang dilaporkan oleh Islam dan rekan, pasien disajikan dengan panuveitis
bilateral 4 dan 6 minggu setelah vaksinasi MMR [199] Kedua pasien HLA-B27
negatif. Sedaghat dan rekannya melaporkan seorang gadis 17 tahun yang mengalami
panuveitis bilateral terkait dengan kulit vaskulitis dan arthritis lama setelah vaksinasi
MMR [200]. Peradangan dapat terjadi 12 bulan atau lebih untuk perbaikan kembali
[199] dan mungkin memerlukan pengobatan kortikosteroid topikal dan sistemik
[199.200). Mekanisme mungkin melibatkan mimikri antigenik atau proses yang
terlibat dalam penyusunan vaksin seperti kontaminasi atau kerusakan [199]

Influenza (Naranjo skor 7, mungkin)


Vaksinasi influenza telah terlibat dalam uveitis sekunder dalam beberapa laporan
kasus , termasuk panuveitis bilateral [201-204], panuveitis berulang [205], dan
posterior multifocal placoid pigmen epitheliopathy (APMPPE) [206]. Uveitis anterior
dapat dikontrol dengan kortikosteroid topikal dan agen cycloplegic / mydriatic,
sedangkan posterior mungkin membutuhkan kortikosteroid sistemik. Rothova dan

rekan melaporkan Acute Retinal Nekrosis (ARN) setelah vaksinasi untuk strain
influenza H1N1 [207].

Hepatitis B (Naranjo skor 6, mungkin)


Vaksin virus hepatitis B (HBV) disetujui oleh FDA untuk pencegahan infeksi
hepatitis B pada anak-anak dan populasi yang berisiko. Sebuah laporan kasus telah
diimplikasikan vaksinasi HBV dalam pengembangan uveitis, termasuk laporan kasus
tunggal pasca-vaksinasi APMPPE [208-211]. Sebagian besar informasi kami terkait
vaksin hepatitis B terhadap uveitis berasal dari review 32 kasus yang dilaporkan ke
database nasional [211]. Dalam kasus ini, usia rata-rata pasien adalah 29 tahun (1-57
tahun), dengan dominasi pasien wanita (24 perempuan, 8 laki-laki). Mayoritas kasus
yang dikembangkan dalam beberapa setelah vaksinasi dan lebih sering setelah
vaksinasi awal daripada vaksinasi berikutnya, meskipun beberapa pasien mengalami
peradangan berulang dengan tiap vaksinasi. Sebagian besar pasien (75%) juga
melaporkan penyakit seperti flu. Itu adalah reaksi yang menunjukkan sebagai reaksi
hipersensitivitas imun tertunda atau reaksi terhadap pembawa vaksin dimaksudkan
untuk mempotensi aktivitas imunogenik vaksin [211]

Varicella (Naranjo skor 4 mungkin)


Beberapa laporan kasus menggambarkan perkembangan uveitis setelah vaksinasi
varicella. Berbagai presentasi telah dijelaskan, termasuk uveitis anterior terisolasi
[210] uveitis anterior terkait dengan ruam vesikular [212], keratouveitis dengan
glaukoma inflamatory dan tanda Hutchinson [213], sclerokeralius dengan uveitis
anterior (herpes zoster oftalmikus) [214] dan ARN [215] Secara umum, pasien
merespon pengobatan standar , termasuk kortikosteroid topikal dan acyclovir oral.
Namun, dua pasien dengan ARN keduanya diperlukan dan perawatan yang lebih

intensif termasuk valacyclovir oral, intraocular gansiklovir atau foscarnet, asiklovir


intravena, dan vitrectomy dengan tamponade minyak silikon karena penyakit
progresif [215] Uveitis dapat terjadi karena reactvasi virus varicella atau karena infesi
primer dengan virus yang dilemahkan yang digunakan dalam vaksin.

Kesimpulan
Uveitis akibat obat diobservasi dengan berbagai obat topikal, sistemik, dan
intraokular. Riwayat pengobatan rinci harus diketahui pada semua pasien dengan
uveitis. Sementara obat penyebab uveitis anterior biasanya respon terhadap
kortikosteroid topikal intensif dan terapi cycloplegic/mydriatic. Obat yang diduga
menyebabkan uvitis mungkin perlu dikurangi atau dihentikan pada saat peradangan
baik berat atau persisten. Kriteria formal yang tersedia untuk grading kekuatan bukti
penyebab uveitis karena obat ditetapkan sebagai agen pembelajaran baru.

Anda mungkin juga menyukai