Anda di halaman 1dari 6

Efek samping extrapyramidal setelah pemberian metoclopramide di unit perawatan pasca

anestesi

Youn Yi Jo, Yong Beom Kim, Mi Ran Yang, and Young Jin Chang
Departemen Anestesiologi dan Pengobatan Nyeri, Gachon Universitas Kedokteran dan Ilmu
Gil Medical Center, Incheon, Korea

Meskipun insiden dari reaksi ekxtrapiramidal yang berhubungan dengan metoclopramide


telah dilaporkan sekitar 0,2%, reaksi seperti itu jarang di bidang anestesi. Beberapa anestesi
adjuvan seperti ondansentron dan pregabalin, juga telah dikaitkan dengan efek samping
ekstrapiramidal. Disini, penulis melaporkan sebuah kasus pasien yang berumsia 47 tahun,
sebelumnya telah diberikan pregabalin dan ondansentron, yang mengidap efek samping
ekstrapiramidal setelah diberikan sekali suntikkan metoclopramide (10 mg) di unit perawatan
pasca anestesi.

Kata kunci : efek samping ekstrapiramidal, metoclopramide, unit perawatan pasca anestesi.

Metoclopramide telah digunakan sebagai tambahan anestesi karena efek prokinetic


dan antiemetiknya, dan secara konvensional, metoclopramide, sebagai antiemetik pada dosis
10mg, telah digunakan untuk mencegah efek mual dan muntah pasca operasi, karena pada
dosis ini tidak diyakini memiliki efek samping yang merugikan, seperti gejala
ekstrapiramidal[1]. Meskipun insiden dari reaksi ekstrapiramidal yang berhubungan dengan
metoclopramide telah dilaporkan sekitar 0,2%[2], reaksi seperti itu jarang di bidang anestesi.
Pada laporan sebelumnya tidak dikabarkan efek samping ekstrapiramidal, termasuk
oculgyric crisis, setelah pemberian metoclopramide diperawatan pasca anestesi di leteratur
Inggris. Disini, kami melaporkan sebuah kasus efek samping ekstrapiramidal berkembang
setelah sekali suntikan metoclopramide (10mg)pada seorang pasien di unit perawatan pasca
anestesi, sebelumnya telah diberikan pregabalin dan ondansentron.

LAPORAN KASUS
Seorang laki laki berusia 47 tahun (tinggi 166cm; berat badan 65 kg) datang ke unit
gawat darurat dengan low back pain. Riwayat medisnya biasa biasa saja dan hasil Magnetic
Resonance Imaging (MRI) menunjukkan spondylolitic spondylolisthesis dan protrusi discus
setingkat L3-S1. Untuk mengontrol nyeri, dia meminum 3 tablet perhari tramadol
hydrochloride/acetaminophen (Ultracet) dan 150mg/hari pregabalin (lyrica) untuk 5 hari
sebelum dilakukannya operasi. Tanda vital dan data laboratorium sebelum pembedahan
dalam batas normal.
Midazolam 2mg dan glycopyrrolate 0,2mg seara intramuscular diberikan sebagai obat
premedikasi 30 menit sebelum anestesi dan setibanya di kamar operasi, dipasang alat
monitoring standar. Sebelum dilakukan induksi anestesi tanda vitalnya yaitu; tekanan darah
144/81 mmHg, denyut jantung 62 kali/menit, dan saturasi oksigen 97%. Setelah
preoksigenasi, anestesi diinduksi dengan propofol 120mg, 100 g fentanyl, dan 50 mg
rocuronium. Intubasi endotrakeal dilakukan menggunakan bantuan kawat endotrakeal tube
yang digunakan dengan satu lumen berdiameter (ID) 7.5mm dimasukkan tanpa kesulitan.
Line artrial radial dan central vena kateter pada vena jugular kanan dimasukkan seperti
kateter folley. Maintain anestesi dengan desflurane di N2O/O2 (FiO2 = 0,5) dengan tambahan
infus remifantil secara kontinyu. Discectomy lumbar dengan posterior fusion tidak
sepenuhnya dilakukan. pasien mendapat fentanyl (1.000 ug) dicampur dengan 100ml normal
saline digunakan selama 48 jam untuk analgesi intravena pasien. Untuk mencegah mual dan
muntah pasca operasi, digunakan ondansentron 8mg yang diberikan secara intravena sebelum
dan diakhir pembedahan, ketika semua agen anestesi dihentikan dan sisa blokade
neuromuscular terbalik dengan pyridostigmine dan glikopirolat. Trakeal tube dilepas ketika
pasien telah merespon perintah suara dan menunjukkan pernapasan spontan yang cukup dan
fungsi neuromuscular. Pasien diantar ke unit perawatan pasca anestesi (PACU) dimana tanda
vitalnya adalah ; 145/85mmHg, 88 denyut/menit, dan saturasi 97%. Lima liter oksigen
diberikan melalui sunkup dan seorang ahli bedah saraf memeriksa fungsi sensorik dan
motorik. Setelah beberapa menit kemudian, dia mengeluh mual dan metoclopramide 10 mg
diberikan secara intravena. Sekitar 10 menit setelah pemberian tadi, dia mengeluh kalau dia
tidak bisa melihat hidungnya. Pada pemeriksaan, ditemukan bahwa keduanya teriksasi ke atas
dengan pandangan ke lateral. Pupilnya tampak sama bulat, keduanya bereaksi terhadap
cahaya dan tidak memiliki fotofobia atau penglihatan kabur. Pada saat yang sama, dia dalam
keadaan kaku, postur opistotonus dengan leher ekstensi dan kearah lateral. Kesadarannya

baik, dan dapat menjawab semua pertanyaan; tanda vitalnya 162/90mmHg dan 98
denyut/menit. Midazolam 2mg diberikan sekali dan sekitar 5 menit kemudian gejala mulai
merea dan sekitar 20 menit kemudian reaksi distonik sepenuhnya hilang. Analisis gas darah
dan hasil laboraorium lainnya menunjukkan batas normal. Pasien tetap dirawat di unit
perawatan pasca anestesi selama 2 jam, dan setelah itu di transfer ke bangsal umum. Dia
tidak mengalami reaksi distonik lebih lanjut selama sisa perawatan dan diperbolehkan pulang
pada hari ke 8 pasca operasi. Tujuh hari setelah pulang dari rumah sakit dia mengalami nyeri
perut dan kembali dirawat untuk laparoscopy cholesistektomi. Dia diberikan ondansentron 8
mg secara intravena sebelum operasi selesaim tidak ada reaksi distonik terjadi di unit
perawatan pasca anestesi dan dia dipulangkan setelah hari ke 3 pasca operasi.
Diskusi
Disini, kami menyajikan kasus seorang pasien pria yang dimana mengalami efek
samping ekstrapiramidal setelah pemberian tunggal metoclopramid untuk pencegahan mual
dan muntah setelah operasi tulang belakang. Beberapa kasus oculogyric crisis telah dijelaskan
setelah metoclopramide, tetapi kebanyakan melibatkan pasien anak maupun dewasa yang
menerima metoclopramide secara teratur [2,3].
Metoclopramide (golongan chlorobenzamide) adalah anestesi adjvan yang sangat
berguna karena efek antiemetiknya dan efek prokinetik. Efek anti emetiknya merupakan hasil
dari dopamin D2 reseptor antagonis di zona pencetus kemoreseptor di sistem saraf pusat.
Reaksi ekstrapiramidal adalah efek samping akut yang paling sering terjadi oleh
metoclopramide dengan laporan 0,2% insiden, tetapi pada pasien tua dan muda tingkat
insidensi meningkat menjadi 25% [4]. Walaupun begitu mekanisme yang mendasari reaksi
ekstrapiramidal masih belum jelas, blokade stratum reseptor dopamin D2 diyakini menjadi
penyebab utama [5]. Gejala ekstrapiramidal mungkin ditemui pada dosis yang dianjurkan
dan biasana terjadi dalam 24 72 jam setelah pemberian [6]. Namun, pasien kami mengalami
efek samping ekstrapiramidal hanya 10 menit setelah metoclopramide di suntikan, dan sesuai
dengan laporan sebelumnya gejala ekstrapiramidak berkembang dalam 10 15 menit setelah
pemberian secara intravena metoclopramide (10 mg) untuk mencegah profilaksis aspirasi
paru [7].
Gejala ekstrapiramidal akut cenderung teratasi dengan cepat dan tanpa gejala sisa
yang serius setelah penghentian atau penurunan dari obat penyebab. Antikolinergik intravena
seperti benztropine sangat efektif untuk reaksi distonik dalam waktu 5 menit. Antihistamin,

benzodiazepin, beta-adrenergic antagonist (propranolol), beta-adrenergic agonist (clonidine),


atau dopamine agonis (amantadine) juga dapat digunakan [8]. Dalam kasus yang dijelaskan,
kami menggunakan midazolam (2mg,I.V) karena selalu tersedia sehingga mudah diakses di
bidang anestesi dan pasien kami akan sembuh dengan cepat.
Meskipun hubungan sementara yang erat antara perkembangan gejala ekstrapiramidal
dan administrasi metoclopramide, kita tidak bisa mengecualikan kemungkinan reaktivitas
silang dengan anestesi adjuvant lainnya. Secara khusus, dilihat dari saat timbulnya efek
samping, ondansentron juga harus dipertimbangkan sebagai faktor penyebab walaupun tidak
ada reaksi distonik yang ditimbulkan oleh ondansentron selama operasi. Krisis oculogyric
pada pasien kami terjadi sekitar 10 menit setelah penggunaan metoclopramide dan dalam
waktu 30 menit setelah penggunaan ondansentron, dan onset dari ondansentron menginduksi
reaksi ekstrapiramidal dilaporkan bervariasi mulai dari beberapa menit hingga 30 menit
[9,10].
Ondansentron merupakan antagonis reseptor 5-HT3 selektif dan dianggap bebas dari
komplikasi neurologis, termasuk reaksi ekstrapiramidal, disebabkan ondansentron bukan
merupakan dopaminergik bloker sentral. Namun, meskipun ondansentron tidak berikatan
dengan reseptor dopamin, hal ini memainkan peranan penting dalam transmisi dopaminergik
dengan mengurangi aktivitas dopamin mesoimbic [11]. Pasien kami juga menggunakan
pregabalin sebelum pembedahan, dan pregabalin berikatan dengan afinitas tinggi ke voltasigate calsium channel di sistem saraf pusat dan memodulasi pelepasan kalsium dependen dari
beberapa neurotransmitter [12]. Hanya pada satu kasus saja dilaporkan, distonia terjadi ketika
pregabalin dihentikan dan mereda ketika pregabalin diberikan kembali kemudian muncul
kembali ketika pregabalin lagi lagi dihentikan [13]. Pasien kami diberikan pregabalin sehari
sebelum operasi dan tidak terjadi reaksi distonik setelah dihentikan pasca operasi.
Pada penjelasan kasus, kita merkenalkan kembali ondansentron untuk mencegah mual
dan muntah pasca operasi setelah laparoscopik kolesistektomi, meskipun memiliki riwayat
efek samping ekstrapiramidal, disebabkan ondansentron juga memiliki riwayat mula dan
muntah pasca operasi selama operasi sebelumnya. Selanjutnya, dia menjalani operasi
laparoskopi dengan fentanyl berdasarkan analgesia intravena dan tidak mendapat obat lain
yang dapat mempengaruhi reseptor dopaminergik setelah operasi tulang belakang. Meskipun
kita tidak bisa mengesampingkan kemungkinan bahwa ondansentron adalah penyebab reaksi

distonik sebelumnya, mengingat insiden yang kita ketahui yaitu efek samping
ekstrapiramidal, kta memilih ondansentron ketimbang metoclopramide.
Umumnya penggunaan antiemetik seperti metoclopramide dan ondansentron dapat
menginduksi reaksi ekstrapiramidal bahkan setelah suntikan tunggal. Ahli anestesi
seharusnya memiliki kecurigaan yang tinggi terhadap antiemetik yang menginduksi efek
samping ekstrapiramidal dan harus memutuskan indikasi yang tepat sebelum meresepkan
antiemetik yang diketahui memiliki efek samping ekstrapiramidal.
Referensi
1. Watcha MF, White PF. Postoperative nausea and vomiting. Its etiology, treatment, and
prevention. Anesthesiology 1992; 77: 162- 84.
2. Yis U, Ozdemir D, Duman M, Unal N. Metoclopramide induced dystonia in children:
two case reports. Eur J Emerg Med 2005; 12: 117-9.
3. Lou E, Abou-Zeid N. A case of metoclopramide-induced oculogyric crisis in a 16-yearold girl with cystic fibrosis. South Med J 2006; 99: 1290-1.
4. Montvale NJ. Metoclopramide. In: Physicians desk reference. 50th ed. Montvale, New
Jersey, Medical Economics. 1996, pp 2068-70.
5. Kapur S, Zipursky R, Jones C, Remington G, Houle S. Relationship between dopamine
D(2) occupancy, clinical response, and side effects: a double-blind PET study of firstepisode schizophrenia. Am J Psychiatry 2000; 157: 514-20.
6. Tait PA. Supraglottic dystonic reaction to metoclopramide in a child. Med J Aust
2001;174: 607-8.
7. Moos DD, Hansen DJ. Metoclopramide and extrapyramidal symptoms: a case report. J
Perianesth Nurs 2008; 23: 292-9.
8. Kamin J, Manwani S, Hughes D. Emergency psychiatry: extrapyramidal side effects in
the psychiatric emergency service. Psychiatr Serv 2000; 51: 287-9.
9. Sprung J, Choudhry FM, Hall BA. Extrapyramidal reactions to ondansetron: crossreactivity between ondansetron and prochlorperazine? Anesth Analg 2003; 96: 1374-6.
10. Spiegel JE, Kang V, Kunze L, Hess P. Ondansetron-induced extrapyramidal symptoms
during cesarean section. Int J Obstet Anesth 2005; 14: 368-9.
11. Wilde MI, Markham A. Ondansetron. A review of its pharmacology and preliminary
clinical findings in novel applications. Drugs 1996; 52: 773-94.

12. Kim JC, Choi YS, Kim KN, Shim JK, Lee JY, Kwak YL. Effective dose of peri-operative
oral pregabalin as an adjunct to multimodal analgesic regimen in lumbar spinal fusion
surgery. Spine (Phila Pa 1976) 2011; 36: 428-33.
13.

Karosin C, Kofler M, Mayr A, Saltuari L. Pregabalin: a treatment option for dystonia?

Neurol Sci 2012; 33: 351-4.

Anda mungkin juga menyukai