Anda di halaman 1dari 57

METODE PENELITIAN STUDI KASUS

1. Pengertian Studi Kasus


Menurut Bogdan dan Bikien (1982) studi kasus merupakan pengujian secara rinci
terhadap satu latar atau satu orang subjek atau satu tempat penyimpanan dokumen
atau satu peristiwa tertentu . Surachmad (1982) membatasi pendekatan studi kasus
sebagai suatu pendekatan dengan memusatkan perhatian pada suatu kasus secara
intensif dan rinci. SementaraYin (1987) memberikan batasan yang lebih bersifat teknis
dengan penekanan pada ciri-cirinya. Ary, Jacobs, dan Razavieh (1985) menjelasan
bahwa dalam studi kasus hendaknya peneliti berusaha menguji unit atau individu
secara mendalarn. Para peneliti berusaha menernukan sernua variabel yang penting.
Berdasarkan batasan tersebut dapat dipahami bahwa batasan studi kasus meliputi:
(1) sasaran penelitiannya dapat berupa manusia, peristiwa, latar, dan dokumen;
(2) sasaran-sasaran tersebut ditelaah secara mendalam sebagai suatu totalitas sesuai
dengan latar atau konteksnya masing-masing dengan maksud untuk mernahami
berbagai kaitan yang ada di antara variabel-variabelnya.

2. Jenis-jenis Studi Kasus


a. Studi kasus kesejarahan mengenai organisasi, dipusatkan pada perhatian organisasi
tertentu dan dalam kurun waktu tertentu, dengan rnenelusuni perkembangan
organisasinya. Studi mi sening kunang memungkinkan untuk diselenggarakan, karena
sumbernya kunang mencukupi untuk dikerjakan secara minimal.
b. Studi kasus observasi, mengutamakan teknik pengumpulan datanya melalul
observasi peran-senta atau pelibatan (participant observation), sedangkan fokus
studinya pada suatu organisasi tertentu.. Bagian-bagian organisasi yang menjadi fokus
studinya antara lain: (a) suatu tempat tertentu di dalam sekolah; (b) satu kelompok
siswa; (c) kegiatan sekolah.
c. Studi kasus sejarah hidup, yang mencoba mewawancarai satu onang dengan
maksud mengumpulkan narasi orang pertama dengan kepemilikan sejarah yang khas.
Wawancara sejarah hiclup biasanya mengungkap konsep karier, pengabdian hidup
seseorang, dan lahir hingga sekarang. masa remaja, sekolah. topik persahabatan dan
topik tertentu lainnya.

d. Studi kasus kemasyarakatan, merupakan studi tentang kasus kemasyarakatan


(community study) yang dipusatkan pada suatu lingkungan tetangga atau masyarakat
sekitar (kornunitas), bukannya pada satu organisasi tertentu bagaimana studi kasus
organisasi dan studi kasus observasi.
e. Studi kasus analisis situasi, jenis studi kasus ini mencoba menganalisis situasi
terhadap peristiwa atau kejadian tertentu. Misalnya terjadinya pengeluaran siswa pada
sekolah tertentu, maka haruslah dipelajari dari sudut pandang semua pihak yang
terkait, mulai dari siswa itu sendiri, teman-temannya, orang tuanya, kepala sekolah,
guru dan mungkin tokoh kunci lainnya.
f. Mikroethnografi, merupakan jenis studi kasus yang dilakukan pada unit organisasi
yang sangat kecil, seperti suatu bagian sebuah ruang kelas atau suatu kegiatan
organisasi yang sangat spesifik pada anak-anak yang sedang belajar menggambar.

3. Langkah-Langkah Penelitian Studi Kasus


a. Pemilihan kasus: dalam pemilihan kasus hendaknya dilakukan secara bertujuan
(purposive) dan bukan secara rambang. Kasus dapat dipilih oleh peneliti dengan
menjadikan objek orang, lingkungan, program, proses, dan masvarakat atau unit
sosial. Ukuran dan kompleksitas objek studi kasus haruslah masuk akal, sehingga
dapat diselesaikan dengan batas waktu dan sumbersumber yang tersedia;
b. Pengumpulan data: terdapat beberapa teknik dalarn pengumpulan data, tetapi yang
lebih dipakai dalarn penelitian kasus adalah observasi, wawancara, dan analisis
dokumentasi. Peneliti sebagai instrurnen penelitian, dapat menyesuaikan cara
pengumpulan data dengan masalah dan lingkungan penelitian, serta dapat
mengumpulkan data yang berbeda secara serentak;
c. Analisis data: setelah data terkumpul peneliti dapat mulai mengagregasi,
mengorganisasi, dan mengklasifikasi data menjadi unit-unit yang dapat dikelola.
Agregasi merupakan proses mengabstraksi hal-hal khusus menjadi hal-hal umum guna
menemukan pola umum data. Data dapat diorganisasi secara kronologis, kategori atau
dimasukkan ke dalam tipologi. Analisis data dilakukan sejak peneliti di lapangan,
sewaktu pengumpulan data dan setelah semua data terkumpul atau setelah selesai
dan lapangan;

d. Perbaikan (refinement): meskipun semua data telah terkumpul, dalam pendekatan


studi kasus hendaknya clilakukan penvempurnaan atau penguatan (reinforcement)
data baru terhadap kategori yang telah ditemukan. Pengumpulan data baru
mengharuskan peneliti untuk kembali ke lapangan dan barangkali harus membuat
kategori baru, data baru tidak bisa dikelompokkan ke dalam kategori yang sudah ada;
e. Penulisan laporan: laporan hendaknya ditulis secara komunikatif, rnudah dibaca, dan
mendeskripsikan suatu gejala atau kesatuan sosial secara jelas, sehingga
rnernudahkan pembaca untuk mernahami seluruh informasi penting. Laporan
diharapkan dapat membawa pembaca ke dalam situasi kasus kehidupan seseorang
atau kelompik.

4. Ciri-ciri Studi Kasus yang Baik


a. Menyangkut sesuatu yang luar biasa, yang berkaitan dengan kepentingan umum
atau bahkan dengan kepentingan nasional.
b. Batas-batasnya dapat ditentukan dengan jelas, kelengkapan ini juga ditunjukkan
oleh kedalaman dan keluasan data yang digali peneliti, dan kasusnya mampu
diselesaikan oleh penelitinya dengan balk dan tepat meskipun dihadang oleh berbagai
keterbatasan.
c. Mampu mengantisipasi berbagai alternatif jawaban dan sudut pandang yang
berbeda-beda.
d. Keempat, studi kasus mampu menunjukkan bukti-bukti yang paling penting saja,
baik yang mendukung pandangan peneliti maupun yang tidak mendasarkan pninsip
selektifitas.
e. Hasilnya ditulis dengan gaya yang menarik sehingga mampu terkomunikasi pada
pembaca.
Perhatian !
Orientasi teoritik dan pemilihan pokok studi kasus dalam penelitian kualitatif bukanlah
perkara yang mudah, tetapi tanpa memperdulikan kedua hal tersebut akan cukup
menyulitkan bagi peneliti yang akan turun ke lapangan. Dengan memahami orientasi
teoritik dan jenis studi yang akan dipilih maka setidak-tidaknya seorang peneliti telah
akan mempersiapkan diri sebelum benan-benar terjun dalam kancah penelitian. Di

dalam penyusunan desain penelitian kedua hal tersebut hendaknya sudah dapat
ditentukan, meskipun masih bersifat sementana.
Untuk dapat mengatasi kesulitan dalam menentukan orientasi teoritik pemilihan pokok
studi, terutarna dalam studi kasus, Guba dan Lincoln (1987) memberikan saran-saran
sebagai berikut: Pertama, bagi peneliti pemula hendaknya banyak membaca sebanyak
mungkin laporan-laporan kasus yang ada sehingga mereka dapat mempelajari
bagaimana para peneliti menyusunnya. Kedua, mereka hendaknya bergabung dengan
para penulis kasus yang baik untuk memahami bagaimana mereka bekerja. Ketiga,
mereka harus berlatih menulis laporan kasus, dan terakhir, mereka harus meminta
kritik-kritik yang positif dan para ahli.

Pengertian Penelitian Studi Kasus


Selama sekitar lima belas tahun lebih, tepatnya sejak tahun 1993, seiring dengan
semakin populernya penelitian studi kasus, banyak pengertian penelitian studi kasus
telah dikemukakan oleh para pakar tentang penelitian studi kasus (Creswell, 1998).
Secara umum, pengertian-pengertian tersebut mengarah pada pernyataan bahwa,
sesuai dengan namanya, penelitian studi kasus adalah penelitian yang menempatkan
sesuatu atau obyek yang diteliti sebagai kasus. Tetapi, pandangan tentang batasan
obyek yang dapat disebut sebagai kasus itu sendiri masih terus diperdebatkan hingga
sekarang. Perdebatan ini menyebabkan perbedaan pengertian di antara para ahli
tersebut.
Perdebatan tersebut mengarah pada munculnya 2 (dua) kelompok. Kelompok
pertama berpendapat bahwa penelitian studi kasus adalah penelitian terhadap suatu
obyek penelitian yang disebut sebagai kasus. Kelompok ini menekankan bahwa
penelitian studi kasus merupakan penelitian yang dilakukan terhadap obyek atau
sesuatu yang harus diteliti secara menyeluruh, utuh dan mendalam. Dengan kata lain,
kasus yang diteliti harus dipandang sebagai obyek yang berbeda dengan obyek
penelitian pada umumnya. Sedangkan yang kedua memandang bahwa penelitian studi
kasus adalah sebuah metoda penelitian yang dibutuhkan untuk meneliti atau
mengungkapkan secara utuh dan menyeluruh terhadap kasus. Meskipun tampaknya
hampir sama dengan kelompok yang pertama, kelompok ini berangkat dari adanya

kebutuhan metoda untuk meneliti secara khusus tentang obyek atau kasus yang
menarik perhatian untuk diteliti.
Pengertian dari kelompok yang pertama ini berasal dari pengertian yang
dikemukakan oleh Guba dan Lincoln (1985), lebih diperjelas oleh Stake (1994 dan
2005), kemudian dikembangkan oleh Creswell (1998, 2007) dan Dooley (2002), serta
diikuti oleh Hancock dan Algozzine (2006), yang menyatakan bahwa penelitian studi
kasus adalah penelitian yang dilakukan terhadap suatu obyek, yang disebut sebagai
kasus, yang dilakukan secara seutuhnya, menyeluruh dan mendalam dengan
menggunakan berbagai macam sumber data. Lebih khusus lagi, Stake (2005)
menyatakan bahwa penelitian studi kasus bukanlah sebuah pilihan metodologis, tetapi
sebuah pilihan untuk mencari kasus yang perlu diteiiti. Dengan kata lain, keberadaan
suatu kasus merupakan penyebab diperlukannya penelitian studi kasus. Perhatikan
pernyataan-pernyataan berikut ini:
A case study is an exploration of a bounded system or a case (or multiple cases)
over time through detailed, in-depth data collection involving multiple sources of
information rich in context (Creswell, 1988, 61).
Case study research is a qualitative research approach in which the investigator
explore a bounded system (a case) or multiple bonuded systems (cases) over time
through detailed, indepth data collection involving multiple source information (e.g.,
observations, interviews, audiovisual material, and documents and reports), and
reports a case description and case-based themes (Creswell, 2007, 73).
Case study is not a methodological choice but a choice of what to be studied
(Stake, 2005, 443).
Menurut kelompok pengertian ini, pada penelitian kualitatif, terdapat obyek penelitian
yang harus dipandang secara khusus, agar hasil penelitiannya mampu menggali
substansi terperinci dan menyeluruh dibalik fakta. Obyek penelitian yang demikian,
yang disebut sebagai kasus, harus dipandang sebagai satu kesatuan sistem dibatasi
(bounded system) yang terikat pada tempat dan kurun waktu tertentu. Sebagai sistem
tertutup, kasus terbentuk dari banyak bagian, komponen, atau unit yang saling
berkaitan dan membentuk suatu fungsi tertentu (Stake, 2005). Oleh karena itu,
dibutuhkan suatu metoda yang tepat untuk untuk dapat mengungkapkan mengapa
dan bagaimana bagian, komponen, atau unit tersebut saling berkaitan untuk

membentuk fungsi. Metoda tersebut harus mampu menggali fakta dari berbagai
sumber data, menganalisis dan menginterpretasikannya untuk mengangkat substansi
mendasar yang terdapat dibalik kasus yang diteliti. Metoda penelitian tersebut adalah
metoda penelitian studi kasus.
Oleh karena itu, tidak semua obyek dapat diteliti dengan menggunakan penelitian
studi kasus (Flyvbjerg 2006; Stake, 1995 dan 2005; Creswell, 1998). Menurut Creswell
(1998), suatu obyek dapat diangkat sebagai kasus apabila obyek tersebut dapat
dipandang sebagai suatu sistem yang dibatasi yang terikat dengan waktu dan tempat
kejadian obyek. Mengacu pada kriteria tersebut, beberapa obyek yang dapat diangkat
sebagai kasus dalam penelitian studi kasus adalah kejadian atau peristiwa (event),
situasi, proses, program, dan kegiatan (Stake, 1995; Creswell, 1998; Hancock dan
Algozzine, 2006), seperti yang dijelaskan oleh Creswell (2002) berikut ini:

A case study is a problem to be studied, which will reveal an in-depth understanding of


a case or bounded system, which involves understanding an event, activity, process,
or one or more individuals (Creswell, 2002, 61).
Creswell (1998) menjelaskan bahwa suatu penelitian dapat disebut sebagai
penelitian studi kasus apabila proses penelitiannya dilakukan secara mendalam dan
menyeluruh terhadap kasus yang diteliti, serta mengikuti struktur studi kasus seperti
yang dikemukakan oleh Lincoln dan Guba (1985), yaitu: permasalahan, konteks, isu,
dan pelajaran yang dapat diambil. Banyak penelitian yang telah mengikuti struktur
tersebut tetapi tidak layak disebut sebagai penelitian studi kasus, karena tidak
dilakukan secara menyeluruh dan mendalam. Penelitian-penelitian tersebut pada
umumnya hanya menggunakan jenis sumber data yang terbatas, tidak menggunakan
berbagai sumber data seperti yang disyaratkan dalam penelitian studi kasus, sehingga
hasilnya tidak mampu mengangkat dan menjelaskan substansi dari kasus yang diteliti
secara fundamental dan menyeluruh. Oleh karena itu, diperlukan kehati-hatian dan
kecermatan untuk mencantumkan kata studi kasus pada judul suatu penelitian,
khususnya penelitian kualitatif.
Sementara itu, kelompok pengertian yang kedua berkembang berdasarkan
pendapat Yin (1984; 2003a; 2009), yang secara khusus memandang dan
menempatkan penelitian studi kasus sebagai sebuah metoda penelitian. Creswell

menyebut metoda penelitian studi kasus sebagai salah satu strategi penelitian
kualitatif (Creswell, 1998). Kebutuhan terhadap metoda penelitian studi kasus
dikarenakan adanya keinginan dan tujuan peneliti untuk mengungkapkan secara
terperinci dan menyeluruh terhadap obyek yang diteliti. Pada pengertian yang
dikemukakanya, Yin (1984; 2003a; 2003b; 2009) tidak secara eksplisit menyebut
obyek penelitian studi kasus sebagai kasus, tetapi ia menyebut ciri-ciri dari obyek
tersebut, yang menggambarkan ciri-ciri suatu kasus. Untuk lebih jelasnya, perhatikan
kutipan berikut ini:
The case study research method as an empirical inquiry that investigates a
contemporary phenomenon within its real-life context; when the boundaries between
phenomenon and context are not clearly evident; and in which multiple sources of
evidence are used (Yin, 1984, 23; Yin, 2003a, 13).
Menurut pengertian di atas, penelitian studi kasus adalah sebuah metoda
penelitian yang secara khusus menyelidiki fenomena kontemporer yang terdapat
dalam konteks kehidupan nyata, yang dilaksanakan ketika batasan-batasan antara
fenomena dan konteksnya belum jelas, dengan menggunakan berbagai sumber data.
Dalam kaitannya dengan waktu dan tempat, secara khusus Yin (2003a; 2009)
menjelaskan bahwa obyek yang dapat diangkat sebagai kasus bersifat kontemporer,
yaitu yang sedang berlangsung atau telah berlangsung tetapi masih menyisakan
dampak dan pengaruh yang luas, kuat atau khusus pada saat penelitian dilakukan.
Secara sekilas, metoda penelitian ini sama dengan metoda penelitian kualitatif pada
umumnya. Tetapi jika penjelasan Yin (2003a) secara teoritis maupun dalam bentuk
contoh-contoh praktisnya (Yin, 2003b) dipelajari lebih seksama, maka akan didapatkan
beberapa kekhususan yang menyebabkan metoda penelitian ini memiliki perbedaan
siginifikan dengan metoda penelitian kualitatif lainnya. Pada perkembangan
penggunaanya, dibandingkan dengan kelompok yang pertama, kelompok ini lebih
banyak diikuti, karena melalui buku-bukunya, Yin dianggap mampu menjelaskan
secara terperinci kekhususan metoda penelitian studi kasus yang harus diikuti berikut
dengan contoh-contoh terapannya (Meyer, 2001).
Salah satu kekhususan penelitian studi kasus sebagai metoda penelitian adalah
pada tujuannya. Penelitian studi kasus sangat tepat digunakan pada penelitian yang
bertujuan menjawab pertanyaan bagaimana dan mengapa (Yin, 2003a, 2009)

terhadap sesuatu yang diteliti. Melalui pertanyaan penelitian yang demikian, substansi
mendasar yang terkandung di dalam kasus yang diteliti dapat digali dengan
mendalam. Dengan kata lain, penelitian studi kasus tepat digunakan pada penelitian
yang bersifat eksplanatori, yaitu penelitian yang dimaksudkan untuk menggali
penjelasan kasualitas, atau sebab dan akibat yang terkandung di dalam obyek yang
diteliti. Penelitian studi kasus tidak tepat digunakan pada penelitian eksploratori, yaitu
penelitian yang berupaya menjawab pertanyaan siapa, apa, dimana, dan seberapa
banyak, sebagaimana yang dilakukan pada metoda penelitian eksperimental (Yin,
2003a; 2009).
Kekhususan penelitian studi kasus yang lain adalah pada sifat obyek yang diteliti.
Menurut Yin (2003a; 2009), kasus di dalam penelitian studi kasus bersifat
kontemporer, masih terkait dengan masa kini, baik yang sedang terjadi, maupun telah
selesai tetapi masih memiliki dampak yang masih terasa pada saat dilakukannya
penelitian. Oleh karena itu, penelitian studi kasus tidak tepat digunakan pada
penelitian sejarah, atau fenomena yang telah berlangsung lama, termasuk kehidupan
yang telah menjadi tradisi atau budaya. Sifat kasus yang demikian juga didukung oleh
Creswell (1998) yang menyatakan bahwa penelitian studi kasus berbeda dengan
penelitian grounded theory dan phenomenologi yang cenderung berupaya meneliti
teori-teori klasik, atau defintif, yang telah mapan (definitive theories) yang terkandung
di dalam obyek yang diteliti.
Pendapat Yin (2003a; 2003b; 2009) tersebut diatas didukung oleh Dooley, (2005),
dan VanWynsberghe (2007) yang menyatakan bahwa kasus sebagai obyek penelitian
dalam penelitian studi kasus digunakan untuk memberikan contoh pelajaran dari
adanya suatu perlakuan dalam konteks tertentu. Kasus yang dipilih dalam penelitian
studi kasus harus dapat menunjukkan terjadinya perubahan atau perbedaan yang
diakibatkan oleh adanya perilaku terhadap konteks yang diteliti. Menurut mereka,
penelitian studi kasus pada awalnya bertujuan untuk mengambil lesson learned yang
terdapat dibalik perubahan yang ada, tetapi banyak penelitian studi kasus yang
ternyata mampu menunjukkan adanya perbedaan yang dapat mematahkan teori-teori
yang telah mapan, atau menghasilkan teori dan kebenaran yang baru. Untuk lebih
jelasnya, perhatikan pernyataan-pernyataan mereka berikut ini:

1. Case studies aim to give the reader a sense of being there by providing a highly
detailed, contextualized analysis of an an instance in action. The researcher
carefully delineates the instance, defining it in general terms and teasing out its
particularities (VanWynsberghe, 2007, hal. 4).
2. The case study is ideal for generalizing using the type of test that Karl Popper called
falsification, which in social science forms part of critical reflexivity. Falsification is
one of the most rigorous tests to which a scientific proposition can be subjected: If
just one observation does not fit with the proposition, it is considered not valid
generally and must therefore be either revised or rejected (Flyvbjerg, 2006, 225).
3. Case study research is one method that excels at bringing us to an understanding of
a complex issue and can add strength to what is already known through previous
research (Dooley, 2005, 335).
4. The advantages of the case study method are its applicability to reallife,
contemporary, human situations and its public accessibility through written reports.
Case study results relate directly to the common readers everyday experience and
facilitate an understanding of complex real-life situations (Dooley, 2005, 344).
Dari sifat kasusnya yang kontemporer, dapat disimpulkan bahwa penelitian studi kasus
cenderung bersifat memperbaiki atau memperbaharui teori. Dengan kata lain,
penelitian studi kasus berupaya mengangkat teori-teori kotemporer (contemporary
theories). Penelitian studi kasus berbeda dengan penelitian grounded theory,
phenomenologi dan ethnografi yang bertujuan meneliti dan mengangkat teori-teori
mapan atau definitif yang terkandung pada obyek yang diteliti (Meyer, 2001). Ketiga
jenis penelitian tersebut berupaya mengangkat teori secara langsung dari data temuan
di lapangan (firsthand data) dan cenderung menghindari pengaruh dari teori yang
telah ada. Sementara itu, penelitian studi kasus menggunakan teori yang sudah ada
sebagai acuan untuk menentukan posisi hasil penelitian terhadap teori yang ada
tersebut. Posisi teori yang dibangun dalam penelitian studi kasus dapat sekedar
bersifat memperbaiki, melengkapi atau menyempurnakan teori yang ada berdasarkan
perkembangan dan perubahan fakta terkini. Meskipun demikian, banyak hasil
penelitian studi kasus yang berhasil mamatahkan teori yang ada dan
menggantikannya dengan teori yang baru (Dooley, 2005).
Menurut Yin (2003a, 2009), posisi pemanfaatan teori yang telah ada di dalam
penelitian studi kasus dimaksudkan untuk menentukan arah dan fokus penelitian. Yin

(2003a, 2009) menyebut arahan yang dibangun pada awal proses penelitian tersebut
sebagai proposisi. Meskipun tampaknya mirip, peran dan fungsi proposisi memiliki
perbedaan yang signifikan dengan hipotesis pada penelitian kuantitatif. Jika hipotesis
merupakan jawaban sementara atas pertanyaan penelitian, proposisi dibangun bukan
untuk menetapkan jawaban sementara, tetapi merupakan arahan teoritis yang
digunakan untuk membangun protokol penelitian. Protokol penelitian adalah petunjuk
praktis pengumpulan data yang harus diikuti oleh peneliti agar penelitian terfokus
pada konteksnya. Pada proses analisis data, proposisi kembali digunakan sebagai
pijakan untuk mengetahui posisi hasil penelitian terhadap teori-teori yang ada. Dengan
mengetahui posisi tersebut, dapat ditetapkan apakah hasil penelitiannya mendukung,
memperbaiki, memperbaharui, atau bahkan mematahkan teori yang ada. Creswell
(1998) menyebut penggunaan kajian teori pada proses awal penelitian yang demikian
sebagai kajian before-end theory.
Sedikit berbeda dengan pendapat Yin diatas, Stake (1994 dan 2005) dan Creswell
(1998) menyatakan bahwa teori dapat digunakan sebagai acuan di dalam proses
analisis, setelah fakta terhadap kasus diperoleh. Kajian posisi fakta terhadap teori
dilakukan pada bagian akhir (after-end theory) tersebut dilakukan untuk menentukan
posisi hasil penelitian terhadap teori yang ada. Hal ini dimaksudkan agar pada
pengumpulan data dapat dilakukan lebih leluasa, tidak terlalu terikat pada arahan atau
prinsip-prinsip tertentu. Melalui pengumpulan data yang yang demikian, peneliti dapat
menggali dan mengkaji nilai-nilai yang berada dibalik obyek yang ditelitinya secara
lebih terperinci.
Seperti halnya Stake (1995; 2005) dan Creswell (1998), Yin (2003a; 2009)
berpendapat bahwa penelitian studi kasus menggunakan berbagai sumber data untuk
mengungkapkan fakta dibalik kasus yang diteliti. Keragaman sumber data
dimaksudkan untuk mencapai validitas dan realibilitas data, sehingga hasil penelitian
dapat diyakini kebenarannya. Fakta dicapai melalui pengkajian keterhubungan buktibukti dari beberapa sumber data sekaligus, yaitu dokumen, rekaman, observasi,
wawancara terbuka, wawancara terfokus, wawancara terstruktur dan survey lapangan.
Disamping fakta yang mendukung proposisi, fakta yang bertentangan terhadap
proposisi juga diperhatikan, untuk menghasilkan keseimbangan analisis, sehingga
obyektivitas hasil penelitian dapat terjaga.

Seperti telah dijelaskan di depan, meskipun tampaknya berbeda, kedua kelompok


pengertian tersebut pada dasarnya menuju pada satu pemahaman yang sama.
Keduanya memberikan penjelasan yang tidak bertentangan, bahkan saling
melengkapi. Kelompok pengertian yang pertama memulai penjelasan dari adanya
obyek penelitian, yang disebut sebagai kasus, yang membutuhkan jenis penelitian
kualitatif tertentu, dengan metoda penelitian yang khusus, yaitu metoda penelitian
studi kasus. Sementara itu, kelompok yang kedua memandang penelitian studi kasus
sebagai salah satu jenis metoda penelitian kualitatif yang dibutuhkan untuk digunakan
untuk meneliti suatu obyek yang layak disebut sebagai kasus. Kedua kelompok
pendapat ini memiliki kesamaan pemahaman yaitu menempatkan penelitian studi
kasus sebagai jenis penelitian tersendiri, sebagai salah satu jenis penelitian kualitatif.

Selamat Datang Pada Penelitian Studi Kasus


Assalamualaikum wr.wb.
Jika diperhatikan dengan seksama, banyak jenis strategi penelitian kualitatif
menempatkan posisi obyek penelitian sebagai kasus seperti halnya di dalam
penelitian studi kasus. Edwards (1998) mengkategorikan penelitian-penelitian yang
demikian, termasuk penelitian studi kasus, sebagai penelitian berbasis kasus (casebased research). Penelitian berbasis kasus adalah penelitian kualitatif yang
menggunakan kasus untuk menjelaskan suatu fenomena dan mengkaitkannya dengan
teori tertentu. Istilah penelitian berbasis kasus mengemuka karena berkembangnya
fakta bahwa penelitian kualitatif lebih menekankan kualitas dan kedalaman analisis
terhadap obyek penelitian. Pada hampir di seluruh jenis penelitian kualitatif, obyek
penelitian dikaji tidak dari sudut permukaan yang dangkal atau bagian per-bagian,
tetapi dikaji secara menyeluruh dan terperinci. Menurut penelitian berbasis kasus,
obyek penelitian yang dipandang secara demikian disebut sebagai kasus. Mengacu
pada pemahaman ini, Edwards (1998) memasukkan hampir seluruh jenis penelitian
kualitatif, termasuk penelitian grounded theory, ethnografi, phenomenologi, dan
penelitian studi kasus ke dalam jenis penelitian berbasis kasus.

Hingga saat ini masih terus berlangsung perdebatan tentang posisi kasus sebagai
obyek penelitian dalam penelitian kualitatif pada umumnya dan khususnya pada

penelitian studi kasus. Banyak peneliti yang memandang bahwa setiap obyek
penelitian, khususnya obyek pada penelitian kualitatif adalah kasus, Konsekuensinya,
semua penelitian kualitatif adalah penelitian studi kasus. Oleh karena itu, di dalam
banyak laporan penelitian, khususnya penelitian kualitatif, kata-kata studi kasus
banyak dicantumkan sebagai bagian dari judul. Beberapa peneliti yang sekaligus juga
penulis, seperti Stake (1994, 2005), Creswell (1998, 2007), dan Yin (1994, 2003a,
2003b, 2009) menolak anggapan demikian. Mereka berupaya menunjukkan perbedaan
antara penelitian studi kasus dengan penelitian berbasis kasus. Mereka memandang
bahwa penelitian studi kasus merupakan salah satu jenis penelitian dalam penelitian
kualitatif yang memiliki kedudukan yang sama seperti halnya dengan jenis strategi
penelitian kualitatif yang lain, seperti penelitian ethnografi, phenomenologi, grounded
theory, dan biografi (Creswell, 1998, 2007).

Secara khusus, pada tahun 1982, Yin memperkenalkan penelitian studi kasus sebagai
metoda penelitian tersendiri, yang terpisah dan berbeda dari ragam penelitian
kualitatif yang lain. Yin lebih memperjelas pendapatnya dengan menulis buku khusus
yang secara terperinci menjelaskan argumen, kriteria dan proses penelitian studi
kasus, yang telah diterbitkan hingga empat edisi yaitu pada tahun 1986, 1994, 2003,
dan 2009. Pendapat Yin tersebut mendapatkan banyak tanggapan. Sebagian besar
tidak menentangnya, tetapi cenderung mendukung dengan menambahkan argumenargumen untuk lebih mempertegas kekhususan posisi, kedudukan, dan memperjelas
arahan penggunaannya.
Pengertian Penelitian Kualitatif
Penelitian studi kasus yang dibahas pada blog ini adalah penelitian studi kasus
kualitatif. Untuk lebih memahami lebih mendalam tentang penelitian studi kasus
kualitatif tersebut, terlebih dahulu lebih baik memahami penelitian kualitatif. Berikut ini
adalah bahasan tentang pengertian penelitian kualitatif tersebut.
Banyak buku teks dan jurnal metodologi penelitian telah mengupas secara
mendalam pengertian penelitian kualitatif. Pada sub bagian ini, pembahasan
pengertian penelitian kualitatif tidak dimaksudkan untuk merangkum seluruh
pengertian tersebut. Pembahasan lebih difokuskan pada beberapa konsep dasar yang
dapat digunakan sebagai landasan untuk merumuskan karakteristik penelitian

kualitatif. Untuk lebih memperjelas posisi dan kekhususannya, beberapa bagian


pembahasan dilakukan dengan memperbandingkannya dengan penelitian kuantitatif.
Penelitian kualitatif sering diposisikan berada pada sisi lain atau berkebalikan dengan
penelitian kuantitatif.
Secara harfiah, sesuai dengan namanya, penelitian kualitatif adalah jenis
penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur kuantifikasi,
perhitungan statistik, atau bentuk cara-cara lainnya yang menggunakan ukuran angka
(Strauss dan Corbin, 1990 dalam Hoepfl, 1997 dan Golafshani, 2003). Kualitatif berarti
sesuatu yang berkaitan dengan aspek kualitas, nilai atau makna yang terdapat dibalik
fakta. Kualitas, nilai atau makna hanya dapat diungkapkan dan dijelaskan melalui
linguistik, bahasa, atau kata-kata. Oleh karena itu, bentuk data yang digunakan bukan
berbentuk bilangan, angka, skor atau nilai; peringkat atau frekuensi; yang biasanya
dianalisis dengan menggunakan perhitungan matematik atau statistik (Creswell,
2002).
Menurut Creswell (2003), pendekatan kualitatif adalah pendekatan untuk
membangun pernyataan pengetahuan berdasarkan perspektif-konstruktif (misalnya,
makna-makna yang bersumber dari pengalaman individu, nilai-nilai sosial dan sejarah,
dengan tujuan untuk membangun teori atau pola pengetahuan tertentu), atau
berdasarkan perspektif partisipatori (misalnya: orientasi terhadap politik, isu,
kolaborasi, atau perubahan), atau keduanya. Lebih jelasnya, pengertian tersebut
adalah sebagai berikut:

A qualitative approach is one in which the inquirer often makes knowledge claims
based primarily on constructivist perspectives (i.e. the multiple meanings of individual
experiences, meanings socially and historically constructed, with an intent of
developing a theory or pattern) or advocacy/ participatory perspectives (i.e. political,
issue-oriented, collaborative or change oriented) or both (Creswell, 2003, hal.18).
Lebih jauh, Creswell menjelaskan bahwa di dalam penelitian kualitatif, pengetahuan
dibangun melalui interprestasi terhadap multi perspektif yang berbagai dari masukan
segenap partisipan yang terlibat di dalam penelitian, tidak hanya dari penelitinya
semata. Sumber datanya bermacam-macam, seperti catatan observasi, catatan
wawancara pengalaman individu, dan sejarah.

Penelitian yang menggunakan penelitian kualitatif bertujuan untuk memahami


obyek yang diteliti secara mendalam. Lincoln dan Guba (1982) menjelaskan bahwa
penelitian kualitatif bertujuan untuk membangun ideografik dari body of knowledge,
sehingga cenderung dilakukan tidak untuk menemukan hukum-hukum dan tidak untuk
membuat generalisasi, melainkan untuk membuat penjelasan mendalam atau
ekstrapolasi atas obyek tersebut.
Berbeda dengan penelitian kuantitatif yang bertujuan memperoleh teori-teori
atau hukum-hukum hubungan kausalitas yang general yang memungkinkan peneliti
melakukan prediksi dan pengendalian seperti yang dilakukan pada penelitian ilmu
alam, penelitian kualitatif berupaya membangun pemahaman (verstehen) dan
penjelasan atas perilaku manusia sebagai mahkluk sosial (Muhadjir, 2000).
Penelitian kualitatif bermaksud menggali makna perilaku yang berada dibalik
tindakan manusia. Interpretasi makna terhadap perilaku ini tidak dapat digali melalui
verifikasi teori sebagai generalisasi empirik, seperti yang dilakukan pada panelitian
kuantitatif. Dengan kata lain, penelitian kualitatif bermaksud memahami obyeknya,
tetapi tidak untuk membuat generalisasi melainkan membuat ekstrapolasi atas makna
di balik obyeknya tersebut. Para peneliti kualitatif mengungkapkan dan menjelaskan
kenyataan adanya makna yang menyeluruh dibalik obyek yang ditelitinya, yang
terbentuk dari keterhubungan berbagai nilai-nilai kehidupan dan kepercayaan, bukan
dari ekstrasi atau turunan dari konteks pengertiannya yang menyeluruh, seperti
pernyataan David dan Sutton (2004) berikut ini:
The qualitative researcher is more interested in the fact that meanings come in
packages, wholes, ways of life, belief system and so on. Attention to meanings; in this
sense is a reference to the holistic fabic of interconnected meaning that form a way
of life and wich cannot remain meaningful if they are extracted and broken down into
separate units outside of their meaningful context (David dan Sutton, 2004, hal. 35).
Untuk mengkaji realita kehidupan secara menyeluruh, tidak dapat dilakukan hanya
melalui pengalaman seseorang yang bersifat individual, tetapi harus melalui
mempertimbangkan jalinan antar individu anggota kelompok masyarakat yang diteliti.
Kehidupan itu sendiri terdiri dari unit-unit, baik individu maupun kelompok yang saling
terkait dalam suatu jaringan yang saling mendukung dan melengkapi, sehingga tidak
dapat hanya dipandang dari satu sisi saja. Pada dasarnya, untuk menggambarkan

kehidupan manusia, kajian penelitian tidak dapat dilakukan dengan memisahkan dan
mereduksinya menjadi unit-unit yang saling terpisah, seperti yang dilakukan pada
penelitian kuantitatif. Singkatnya, mengkaji kehidupan manusia secara holistik dapat
lebih bermakna daripada melihatnya dalam kondisi terpisah-pisah. Hal tersebut seperti
dijelaskan dalam pernyataan berikut ini:
Qualitative research claims to describe lifeworlds from the inside out, from the point
of view of the people who participate. By so doing it seeks to contribute to a better
understanding of social realities and to draw attention to processes, meaning patterns
and structural features. Those remain closed to non-participants, but are also, as a
rule, not consciously known by actors caught up in their unquestioned daily routine
(Flick, Kardorff, dan Steinke, 2004, hal. 3).
Pendekatan kualitatif berasumsi bahwa manusia adalah makhluk yang aktif yang
mempunyai kebebasan berkemauan dan berkehendak, yang perilakunya hanya dapat
dipahami dalam konteks budayanya, dan perilakunya yang seringkali tidak didasarkan
oleh hukum sebab-akibat seperti yang terdapat pada hukum-hukum alam. berbeda
dengan benda yang sekedar dapat bergerak seperti yang diamati dalam penelitian
ilmu alam, manusia adalah mahkluk sosial yang dapat bertindak dan berkehendak atas
dasar berbagai alasan-alasan humanistik, sehingga seringkali tidak dapat dijelaskan
melalui pendekatan yang mekanistik. Karena pada dasarnya manusia tidak
sepenuhnya merupakan benda atau mahkluk yang mekanistis, cara-cara mekanistik
yang menggunakan pendekatan kuantifikasi tidak tepat digunakan untuk menelitinya.
Untuk mencapai hal tersebut, penelitian kualitatif lebih menekankan pada bahasa
atau linguistik sebagai sarana penelitiannya. Sarana bahasa lebih mampu untuk
mengungkapkan perasaan, nilai-nilai yang berada dibalik perilaku manusia (Lawson
dan Garrod dalam Daivid dan Sutton, 2004). Keunikan manusia sebenarnya bukanlah
terletak pada kemampuan berpikirnya, melainkan terletak pada kemampuannya
berbahasa (Suriasumantri, 2007). Bahasa merupakan cerminan ungkapan perasaan
dan nilai-nilai manusia.
Manusia hidup adalah manusia yang memiliki kemampuan untuk mengungkapkan
perasaan dan pikirannya ke dalam bentuk perbuatan dan pengunkapan linguistik, baik
lisan maupun tertulis. Tindakan dan ucapan merupakan satu kesatuan yang
dibutuhkan untuk merefleksikan perasaan dan pikiran seseorang. Jatidiri manusia pada

prinsipnya berkaitan erat dengan fungsi dirinya sebagai pemakai bahasa. Tanpa
kemampuan berbahasa yang baik, manusia tidak mampu berpikir dan mengungkapkan
hasilnya secara sistematis dan teratur.
Disamping itu, bahasa mencerminkan tradisi, nilai dan budaya masyarakat yang
menggunakannya. Makna dibalik bahasa yang digunakan suatu masyarakat
mencerminkan konteks budaya dan lingkungannya. Perilaku tindakan dan penggunaan
bahasa merupakan satu kesatuan yang membentuk norma-norma yang diciptakan
untuk mengatur kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu, melalui sarana bahasa,
penelitian kualitatif mampu mengangkat pluralisasi hubungan-hubungan sosial
kemasyarakatan secara lebih mendalam (Flick, 2002). Sarana ukuran atau angka yang
dipergunakan dalam penelitian kuantitatif memang bersifat obyektif, solid, tidak
terbantahkan dan obyektif, tetapi tidak dapat menggambarkan detail-detail penjelasan
perbedaan dalam cara memandang terhadap makna secara mendalam.
Sementara itu, meskipun penggunaan sarana bahasa di dalam penelitian
kualitatif dianggap menyebabkan hasil penelitian bersifat subyektif, tetapi biasanya
kaya akan detail makna yang berada dibalik tradisi, budaya dan perilaku manusia dan
masyarakat yang diteliti. Subyektifitas itu sendiri secara alamiah muncul karena hasil
penelitian sangat terkait dengan konteks lingkungan penelitian, sehingga memiliki
perbedaan terhadap hasil penelitian yang terdapat di tempat lain.
Agar mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang makna yang berada
dibalik obyek yang diteliti, Denzin dan Lincoln (1994) menyatakan bahwa penelitian
kualitatif harus dilaksanakan pada kondisi alami. Guba dan Lincoln (1985) menyebut
pendekatan penelitian yang demikian sebagai pendekatan naturalistik. Menurut
pendekatan ini, data penelitian harus diperoleh pada kondisi dan situasi yang
sebenarnya, atau bukan di laboratorium. Pengamatan pada lingkungan alami akan
menunjukkan hubungan antara tindakan dan linguistik digunakan dalam kondisi yang
sebenarnya secara alamiah, dengan konteks lingkungan yang mempengaruhinya. Jika
pengamatan terhadap tindakan dan bahasa dilakukan dil aboratorium, dapat
diibaratkan seperti pengamatan yang dilakukan pada sebuah panggung sandiwara.
Observasi penggunaan lingustik pada konteks alamiah yang sebenarnya dapat
mengungkapkan fungsi lingustik tidak hanya sebagai alat untuk mengungkapkan
pikiran dan perasaan seseorang, tetapi menggambarkan peran pentingnya di dalam

pemanfaatan nilai-nilai budaya dan tradisi di dalam kehidupan masyarakat yang


sebenarnya.
Sebagian besar penulis dan peneliti mensyaratkan bahwa pengambilan data
penelitian kualitatif harus dilakukan sedekat mungkin, bahkan beberapa metoda
penelitian kualitatif, seperti metoda penelitian ethnografi, mensyaratkan penelitinya
terlibat langsung di dalam setting yang ditelitinya, seperti yang dijelaskan oleh Patton
(2001) berikut ini:
Qualitative research uses a naturalistic approach that seeks to understand phenomena
in context-specific settings, such as "real world setting [where] the researcher does
not attempt to manipulate the phenomenon of interest" (Patton, 2001, hal. 39)
Oleh karena itu, data penelitian kualitatif tidak hanya berupa kondisi perilaku
masyarakat yang diteliti, tetapi juga kondisi dan situasi lingkungan disekitarnya. Untuk
mencapai hal tersebut jenis data yang digunakan bervariasi, diantaranya adalah
pengalaman personal, introspektif, sejarah kehidupan, hasil wawancara, observasi
lapangan, perjalanan sejarah dan hasil pengamantan visual, yang menjelaskan
momen-momen dan nilai-nilai rutinitas dan problematik kehidupan setiap individu yang
terlibat di dalam penelitian. Lebih jelasnya, perhatikan dua pengertian komprehensif
penelitian kualitatif, berikut ini:
Qualitative research is a situated activity that locates the observer in the world. It
consists of a set interpretive, material practices transform the world. They turn the
world into a series of representations, including filed notes, interviews, conversations,
photographs, recordings, and memos to self. This means that qualitative researches
study things in their natural settings, attempting to make sense of, or interpret,
phenomena in terms of the meanings people bring to them (Denzin and Lincoln, 2005,
hal. 3).
Qualitative research is multimethod in focus, involving an interpretive, naturalistic
approach to its subject matter. This means that qualitative researchers study things in
their natural settings, attempting to make sense of, or interpret, phenomena in terms
of the meanings people bring to them. Qualitative research involves the studied use
and collection of a variety of empirical materials - case study, personal experience,
introspective, life story, interview, observational, historical, interactional, and visual
texts - that describe routine and problematic moments and meanings in individuals

lives. Accordingly, qualitative research deploys wide range of interconnected methods,


hoping always to get a better fix on the subject matter at hand (Denzin 1994, hal. 2).
Untuk memenuhi kebutuhan data yang beranekaragam tersebut, penelitian
kualitatif menggunakan berbagai metoda pengumpulan data, seperti wawancara
individual, wawancara kelompok, penaelitian dokumen dan arsip, serta penelitian
lapangan. Antara metoda satu dengan yang lainnya tidak saling terpisah, tetapi saling
berkaitan dan saling mendukung untuk menghasilkan data yang sesuai dengan
kebutuhan. Data yang diperoleh dari suatu metoda disalingsilangkan dengan data
yang diperoleh melalui metoda yang lain, sehingga menghasilkan data yang dapat
dipercaya (valid) dan sesuai dengan kenyataan (reliabel).
Untuk menjalankan tuntutan metoda yang demikian, penelitian kualitatif
menempatkan manusia sebagai figur terpenting dalam penelitian. Berbeda dengan
penelitian kuantiatif yang menempatkan kuisener, rumus matematika dan statistik
sebagai instrumen pengumpulan dan pengolahan data, penelitian kualitatif
memposisikan manusia sebagai instrumen utama penelitian. Peneliti sebagai manusia
berhubungan langsung dan tidak dapat dipisahkan dalam proses pengumpulan,
analisis dan interpretasi data. Oleh karena itu, realita yang berhasil digali dan
ditemukan melalui penelitian kualitatif sering dianggap bersifat subyektif, karena
sangat tergantung dari kapasitas dan kredibilitas pihak-pihak yang terkait, baik peneliti
maupun partisipan yang terlibat di dalamnya (Golafshani, 2003).
Untuk menghindari temuan yang subyektif, penelitian kualitatif menggunakan
bermacam sumber data. Denzin dan Lincoln (2005) menjelaskan bahwa sumber data
yang dipergunakan diantaranya adalah catatan lapangan, wawancara, percakapan,
foto, rekaman dan berbagai artefak, dokumen atau arsip yang terdapat di lapangan.
Setiap sumber data tersebut disalingsilangkan agar data yang diperoleh dapat
dipercaya (valid) dan sesuai dengan kebutuhan (reliabel).
Untuk mencapai hal tersebut, metoda yang dipergunakan adalah metoda
triangulasi, yaitu metoda yang menggunakan beberapa sumber data untuk mencapai
konvergensi data sehingga mencapai data yang valid (Golafshani, 2003). Secara
khusus, Lincoln dan Guba (1985), menyebut reabilitas di dalam penelitian kualitatif
dipenuhi melalui kredibilitas (credibility) partisipan, konsistensi (consistent) dan
transferabilitas (transferability) temuan. Sedangkan validitas dapat dicapai melalui

kualitas (quality) data, ketepatan (rigor) dan kejujuran (trustworthiness)


pengungkapannya.

Berdasarkan pembahasan di depan, maka secara hakikat keilmuan, karakteristik


penelitian kualitatif dapat disimpulkan sebagai berikut:
Secara ontologis, penelitian kualitatif memandang realita terbentuk dari hakikat
manusia sebagai subyek yang mempunyai kebebasan menentukan pilihan
berdasarkan sistem makna individu. Oleh karena itu, fenomena sosial, budaya dan
tingkah laku manusia tidak cukup dengan merekam hal-hal yang tampak secara nyata,
melainkan juga harus mencermati secara keseluruhan dalam totalitas dengan
konteksnya. Hal ini perlu dilakukan karena tingkah laku sebagai fakta tidak dapat
dilepaskan atau dipisahkan begitu saja dari konteks yang melatarbelakanginya, serta
tidak dapat disederhanakan ke dalam hukum-hukum tunggal yang bebas nilai dan
bebas konteks. Subyek penelitian kualitatif adalah tingkah laku manusia sebagai
individu yang menjadi anggota masyarakat. Di sini ditekankankan perspektif
pandangan sosio-psikologis, yang sasaran utamanya adalah pada individu dengan
kepribadiannya dan pada interaksi antara pendapat internal dan eksternal tingkah laku
seseorang terhadap latar belakang kehidupan sosialnya. Para peneliti kualitatif
meyakini bahwa di dalam masyarakat terdapat keteraturan yang terbentuk secara
alami seiring dengan perjalanan sejarah, yang dilatarbelakangi oleh nilai-nilai tertentu.
Oleh karena itu, tugas peneliti adalah menemukan kebenaran dibalik keteraturan itu
pada umumnya dan khususnya nilai-nilai yang melatarbelakanginya, bukan
menciptakan atau membuat sendiri batasan-batasannya berdasarkan teori atau aturan
yang ada. Jadi, pada hakikatnya penelitian kualitatif adalah satu kegiatan sistematis
untuk melakukan eksplorasi atas teori dari fakta di dunia nyata, bukan untuk menguji
teori atau hipotesis. Penelitian kualitatif tetap mengakui fakta empiris sebagai sumber
pengetahuan tetapi tidak menggunakan teori yang ada sebagai landasan untuk
melakukan verifikasi.
Secara epistemologis, di dalam penelitian kualitatif, proses penelitian merupakan
sesuatu yang lebih penting dibanding dengan hasil yang diperoleh. Karena itu peneliti
sebagai instrumen utama pengumpul data merupakan salah satu karakteristik utama
penelitian kualitatif. Hanya dengan keterlibatan peneliti dalam proses pengumpulan

datalah hasil penelitian dapat dipertanggungjawakan. Khusus dalam proses analisis


dan pengambilan kesimpulan, paradigma kualitatif menggunakan induksi analitis dan
ekstrapolasi. Induksi analitis adalah satu pendekatan pengolahan data ke dalam
konsep-konsep dan kateori-kategori, jadi bukan dalam bentuk frekuensi. Untuk
mencapai hal tersebut, sarana berpikir yang digunakan tidak dalam bentuk numerik,
melainkan dalam bentuk deskripsi bahasa, yang ditempuh dengan cara merubah data
ke dalam penjelasan-penjelasan yang bersifat formulatif. Sedangkan ekstrapolasi
adalah suatu cara pengambilan kesimpulan yang dilakukan secara simultan pada saat
proses induksi analitis dan dilakukan secara bertahap dari satu makna ke makna
lainnya, kemudian dirumuskan suatu pernyataan teoritis.
Secara aksiologis, konsep atau teori yang diperoleh dari proses penelitian
kualitatif dapat dimanfaatkan untuk membangun kehidupan suatu kelompok
masyarakat yang berlandaskan kepada nilai-nilai dasar kehidupan mereka sendiri.
Nilai-nilai yang digali melalui interaksi antara peneliti dengan partisipannya dapat
menghasilkan teori lokal dan spesifik yang dapat merepresentasikan kehidupan sosial,
budaya dan tradisi, yang terkritalisasi melewati sejarah kehidupan individu atau
masyarakat yang diteliti. Pemanfaatan nilai-nilai spesifik tentu saja akan sangat sesuai
dengan kehidupan individu atau masyarakat yang diteliti. Apabila nilai-nilai yang
bersifat lokal dan spesifik tersebut hendak digeneralisasikan dan dimanfaatkan pada
lokasi atau kasus yang lain, harus melalui proses khusus yang disebut sebagai
transferabilitas. Proses tranferabilitas biasanya dilakukan melalui serangkaian proses
dialog teori yang memperbandingkan antara konsep atau teori yang ditemukan
dengan teori yang ada dan telah diakui. Melalui proses tersebut, nilai-nilai yang
bersifat lokal, spesifik dan kontekstual dapat di dkonfirmasikan terhadap teori-teori
general sebagai upaya untuk memberikan ilustrasi kontribusinya terhadap
perkembangan ilmu pengetahuan dan manfaatnya di dalam pembangunan kehidupan
masyarakat secara umum.
Karakteristik Penelitian Studi Kasus
Dari pembahasan tentang pengertian penelitian studi kasus, dapat disimpulkan bahwa
penelitian studi kasus adalah penelitian yang meneliti fenomena kontemporer secara
utuh dan menyeluruh pada kondisi yang sebenarnya, dengan menggunakan berbagai
bentuk data kualitatif. Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa, karakteristiuk

penelitian studi kasus pada umumnya sama dengan karakteristik penelitian kualitatif
pada umumnya. Seperti telah dijelaskan di depan, karakteristik penelitian kualitatif
dilandasi oleh tujuan utamanya yaitu untuk menggali substansi mendasar di balik fakta
yang terjadi di dunia. Secara khusus, penelitian studi kasus memiliki karakteristik yang
berbeda dibandingkan dengan jenis penelitian kualitatif yang lain. Kekhususan
penelitian studi kasus adalah pada cara pandang penelitinya terhadap obyek yang
diteliti. Dari cara pandang yang berbeda ini, menimbulkan kebutuhan metoda
penelitian yang khusus, yang berbeda dengan jenis penelitian kualitatif yang lain.
Berdasarkan pendapat Yin (2003a, 2009); VanWynsberghe dan Khan (2007); dan
Creswell (2003. 2007) secara lebih terperinci, karakteristik penelitian studi kasus dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1.

Menempatkan obyek penelitian sebagai kasus.


Seperti telah dijelaskan di dalam pengertian penelitian studi kasus di depan,
keunikan penelitian studi kasus adalah pada adanya cara pandang terhadap obyek
penelitiannya sebagai kasus. Bahkan, secara khusus, Stake (2005) menyatakan
bahwa penelitian studi kasus bukanlah suatu pilihan metoda penelitian, tetapi
bagaimana memilih kasus sebagai obyek atau target penelitian. Pernyataan ini
menekankan bahwa peneliti studi kasus harus memahami bagaimana menempatkan
obyek atau target penelitiannya sebagai kasus di dalam penelitiannya.
Kasus itu sendiri adalah sesuatu yang dipandang sebagai suatu sistem
kesatuan yang menyeluruh, tetapi terbatasi oleh kerangka konteks tertentu
(Creswell, 2007). Sebuah kasus adalah isu atau masalah yang harus dipelajari, yang
akan mengungkapkan pemahaman mendalam tentang kasus tersebut, sebagai
suatu kesatuan sistem yang dibatasi, yang melibatkan pemahaman sebuah
peristiwa, aktivitas, proses, atau satu atau lebih individu. Melalui penelitian studi
kasus, kasus yang diteliti dapat dijelaskan secara terperinci dan komprehensif,
menyangkut tidak hanya penjelasan tentang karakteristiknya, tetapi juga
bagaimana dan mengapa karakteristik dari kasus tersebut dapat terbentuk. Untuk
lebih jelasnya, perhatikan kutipan berikut ini:
We have indicated that a case is effectively a bounded system, which implies
that the case is potentially subject to the principles of systems theory (Anaf dkk.,
2007, 1311).

A case is, essentially, a research study with a sample of one. The one n
sample is the particular event, situation, organization, or selection of individuals that
is presented in written or other forms. It provides readers with a vehicle to discuss,
analyze, and develop criteria and potential solutions for the problems presented in
the case (Naumes dan Naumes, 2006, 7).
A case study is a problem to be studied, which will reveal an in-depth
understanding of a case or bounded system, which involves understanding an
event, activity, process, or one or more individuals (Creswell, 2002, 61).
Seperti telah dijelaskan pada bagian kajian pengertian di depan, maksud penelitian
studi kasus adalah untuk menjelaskan dan mengungkapkan kasus secara
keseluruhan dan komprehensif. Dengan demikian, kasus dapat didefinisikan secara
praktis sebagai suatu fenomena yang harus diteliti dan diinterpretasikan sebagai
satu kesatuan yang utuh dan komprehensif pada setiap variabel informasi yang
terdapat di dalamnya. Untuk lebih jelasnya, perhatikan kutipan berikut ini:
A case can be defined technically as a phenomenon for which we report and
interpret only a single measure on any pertinent variable (Eckstein, 2002, 124).
Karena penelitian studi kasus menempatkan kasus sebagai obyek penelitian yang
harus diteliti secara menyeluruh, kasus tidak dapat disamakan dengan contoh atau
sampel yang mewakili suatu populasi, seperti yang dilakukan pada penelitian
kuantitatif. Kasus mewakili dirinya sendiri secara keseluruhan pada lingkup yang
dibatasi oleh kondisi tertentu sesuai dengan maksud dan tujuan penelitian.
Pembatasan dapat dilakukan dari berbagai sudut pandang, seperti pembatasan
lokasi, waktu, pelaku dan fokus substansi. Dalam hal ini, secara khusus, Yin (2009)
menyatakan bahwa substansi yang diteliti dari suatu kasus harus dipandang dan
diposisikan sebagai unit analisis. Sebagai unit analisis, substansi yang diteliti dari
suatu kasus harus dilihat dan dikaji secara keseluruhan untuk mencapai maksud dan
tujuan penelitian. Di dalam banyak penelitian studi kasus, unit analisis penelitiannya
adalah kasus itu sendiri. Misalnya, penelitian studi kasus tentang pembangunan
jembatan di kawasan perbatasan, maka unit analisisnya adalah pembangunan
jembatan tersebut. Tetapi banyak pula penelitian studi kasus, dengan unit analisis
yang berbeda dengan kasusnya. Yin (2009) menyebut unit analisis yang demikian
sebagai unit yang tertanam (embedded unit). Misalnya, penelitian studi kasus

manajemen kawasan perbatasan daerah, unit analisisnya dapat bermacam-macam,


seperti manajemen pemeliharaan dan operasional infrastruktur; manajemen fasilitas
umum; dan manajemen kerjasama di kawasan perbatasan daerah.
Kasus atau unit analisis sebagai obyek penelitian dapat berupa berbagai
ragam. Pada umumnya, kasus menyangkut kejadian dari kehidupan sehari-hari yang
nyata. Kasus dapat berupa seseorang, sekelompok orang, kejadian, masalah,
konflik, keputusan, program, pelaksanaan suatu proses, dan proses organisasi.
Untuk lebih jelasnya, perhatikan kutipan-kutipan berikut ini:
1. Cases (sometimes referred to as case writing) and case study differ in manyways
and resemble each other in otherways.We will look at them both individually. The
case itself is an account of an activity, event, or problem. The case usually
describes a series of events that reflect the activity or problem as it happened
(Dooley, 2002, 337).
2. Of course, the case also can be some event or entity other than a singe
individual. Case studies have been done about decisions, programs, the
implementation process, and organizational process (Yin, 2009, 29).
3. Cases can be programs, events, persons, processes, institutions, social groups,
and other contemporary phenomena (Hancock dan Algozzine, 2006, 15).
4. Cases are rather special. A case is a noun, a thing, an entity; it is seldom a verb, a
participle, a functioning (Stake, 2006, 1).
Meskipun tampaknya posisi kasus di dalam penelitian studi kasus telah cukup jelas,
tetapi hingga saat ini, masih terjadi perdebatan tentang obyek yang dapat
dikategorikan sebagai kasus (McCaslin dan Scott. 2003). Perdebatan terjadi karena
belum disepakatinya cara atau teknik untuk membatasi obyek penelitian studi kasus
agar dapat disebut sebagai kasus. Pada umumnya, untuk membatasi obyek
penelitian sebagai kasus adalah dengan menggunakan batasan waktu dan ruang.
Ruang lingkup penelitian suatu obyek dapat dibatasi dengan membatasinya dari
awal terjadinya kasus, hingga berakhirnya kasus. Kasus juga dapat ditentukan
dengan membatasi ruang kejadian atau tempat keberadaan yang terkait dengan
kasus tersebut. Untuk lebih jelasnya, perhatikan kutipan berikut ini:
At a minimum, a case is a phenomenon specific to time and space (Johansson, 2003,
4).

Meskipun demikian, banyak ahli yang menyatakan bahwa kasus juga dapat juga
dibatasi dengan menggunakan berbagai cara dan metoda yang lain, misalnya
dengan mengkaji jejak-jejak pengaruh yang disebabkan oleh keberadaan atau
terjadinya kasus tersebut. Disamping itu, pembatasan tentang suatu obyek juga
dapat dilihat dari pihak-pihak yang terlibat atau terkait dengan keberadaan atau
terjadinya kasus tersebut.
Lebih jauh, karena memandang obyek penelitian sebagai kasus, penelitian studi
kasus sering dipandang sebagai penelitian yang menggunakan jumlah obyek sedikit.
VanWynsberghe dan Khan (2007) menyebutnya sebagai penelitian dengan small-N.
Disebut jumlah N (n dengan huruf besar) yang kecil, karena meskipun memiliki
jumlah kasus atau unit analisis hanya satu, tetapi mungkin saja untuk menjelaskan
kasus tersebut membutuhkan banyak pihak yang dilibatkan sebagai informan di
dalam proses penelitiannya.
2.

Memandang kasus sebagai fenomena yang bersifat kontemporer


Bersifat kontemporer, berarti kasus tersebut sedang atau telah selesai terjadi,
tetapi masih memiliki dampak yang dapat dirasakan pada saat penelitian
dilaksanakan, atau yang dapat menunjukkan perbedaan dengan fenomena yang
biasa terjadi. Dengan kata lain, sebagai bounded system (sistem yang dibatasi),
penelitian studi kasus dibatasi dan hanya difokuskan pada hal-hal yang berada
dalam batas tersebut. Pembatasan dapat berupa waktu maupun ruang yang terkait
dengan kasus tersebut. Untuk lebih jelasnya, perhatikan kutipan berikut ini:

1. The case study research method as an empirical inquiry that investigates a


contemporary phenomenon within its real-life context; when the boundaries
between phenomenon and context are not clearly evident; and in which multiple
sources of evidence are used (Yin, 1984, 23; Yin, 2003a, 13).
2. At a minimum, a case is a phenomenon specific to time and space (Johansson,
2003, 4).
3. Case studies provide a detailed description of a specific temporal and spatial
boundary. Attending to place and time brings context to the structures and
relationships that are of interest (VanWynsberghe dan Khan, 2007, 4).
Kata kontemporer itu sendiri berasal dari kata co (bersama) dan tempo
(waktu). Sehingga menegaskan bahwa sesuatu yang bersifat kontemporer adalah
sesuatu yang secara tematik merefleksikan situasi waktu yang sedang dilalui.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kontemporer merupakan kata sifat yang
menunjukkan bahwa sesuatu ada pada waktu atau masa yang sama atau pada
masa kini. Pengertian ini menunjukkan bahwa sesuatu yang kontemporer berarti
bersifat ada pada suatu waktu atau masa tertentu.
Untuk menunjukkan sifat kontemporernya tersebut, berarti penjelasaan
tentang keberadaan sesuatu tersebut harus dibatasi dalam kerangka waktu
tertentu. Disamping dengan menggunakan waktu, pembatasan dapat dilakukan
dengan menggunakan ruang lingkup kegiatan terjadinya phenomena tersebut.
Untuk lebih jelasnya, perhatikan kutipan-kuti[an berikut ini:
A case is a factual description of events that happened at some point in the
past (Naumes dan Naumes, 2006, 4).
Case study research is also good for contemporary events when the relevant
behaviour cannot be manipulated. Typically case study research uses a variety of
evidence from different sources, such as documents, artefacts, interviews and
observation, and this goes beyond the range of sources of evidence that might be
available in historical study (Rowley, 2002, 17).
Lebih jauh, kontemporer sering dikaitkan dengan kekinian, modern atau lebih
tepatnya adalah sesuatu yang sama dengan kondisi waktu yang sama atau saat ini;
jadi sesuatu yang bersifat kontemporer adalah sesuatu yang tidak terikat oleh
aturan-aturan zaman dulu, tetapi berkembang sesuai pada masa sekarang. Sebagai
contoh, seni kontemporer adalah karya seni yang secara tematik merefleksikan
situasi waktu yang sedang dilalui, yang tidak lagi terikat pada jaman dahulu, tetapi
masih terikat dan berlaku pada masa sekarang. Lebih jauh, seni kontemporer itu
sendiri sering dipandang sebagai seni yang melawan seni yang telah mentradisi,
yang dikembangkan untuk membangkitkan wacana pemunculan indegenous art
(seni pribumi), atau khasanah seni lokal para seniman.
Obyek penelitian yang berkebalikan dengan kasus sebagai fenomena
kontemporer adalah obyek yang bersifat telah ada atau berlangsung sangat lama,
sehingga sering dipandang telah menjadi suatu budaya atau tradisi. Obyek yang
demikian diteliti dengan menggunakan strategi atau metoda penelitian kualitatif
yang lain, seperti grounded theory, phenomenologi, biografi atau ethnografi.

Seringkali, penelitian tentang obyek yang telah tua tersebut bertujuan untuk
menggali nilai-nilai kehidupan yang berada dibalik kehidupan masyarakat.

3.

Dilakukan pada kondisi kehidupan sebenarnya


Seperti halnya pendekatan penelitian kualitatif pada umumnya, pelaksanaan
penelitian studi kasus menggunakan pendekatan penelitian naturalistik. Dengan
kata lain, penelitian studi kasus menggunakan salah satu karakteristik pendekatan
penelitian kualitatif, yaitu meneliti obyek pada kondisi yang terkait dengan
kontekstualnya. Dengan kata lain, penelitian studi kasus meneliti kehidupan nyata,
yang dipandang sebagai kasus. Kehidupan nyata itu sendiri adalah suatu kondisi
kehidupan yang terdapat pada lingkungan hidup manusia baik sebagai individu
maupun anggota kelompok yang sebenarnya. Untuk lebih jelasnya, perhatikan
kutipan berikut ini:
By the definition of the North American Case Research Association and many
other groups of case writers, including the authors of this book, a case is a
description of a real situation. Although the case may disguise some or most of the
facts, the basic situation is neither changed nor invented (Naumes dan Naumes,
2006, 9).
Sebagai penelitian dengan obyek kehidupan nyata, penelitian studi kasus
mengkaji semua hal yang terdapat disekeliling obyek yang diteliti, baik yang terkait
langsung, tidak langsung maupun sama sakali tidak terkait dengan obyek yang
diteliti. Penelitian studi kasus berupaya mengungkapkan dan menjelaskan segala
sesuatu yang berkaitan dengan obyek yang ditelitinya pada kondisi yang
sebenarnya, baik kebaikannya, keburukannya, keberhasilannya, maupun
kegagalannya secara apa adanya. Sifat yang demikian menyebabkan munculnya
pandangan bahwa penelitian studi kasus sangat tepat untuk menjelaskan suatu
kondisi alamiah yang kompleks. Untuk lebih jelasnya, perhatikan kutipan berikut ini:
A good case is generally taken from real life and includes the following
components: setting, individuals involved, the events, the problems, and the
conflicts. Because cases reflect real-life situations, cases must represent good and
bad practices, failures as well as successes. Facts must not be changed to expose
how the situation should have been handled (Dooley, 2002, 337).

Case study is uniquely suitable for research in complex settings because it


advances the concept that complex settings cannot be reduced to single cause and
effect relationships (VanWynsberghe dan Khan, 2007, 4).
Berkebalikan dengan penelitian yang di lakukan pada kehidupan nyata,
penelitian dapat dilakukan pada laboratorium. Pada umumnya, penelitian di
laboratotium dilakukan dengan membangun kondisi buatan sedemikian rupa, sesuai
dengan maksud dan tujuan penelitian, misalnya untuk mengeskplorasi dan
memperjelas variabel-variabel yang terkait atau tidak terkait dengan obyek
penelitian. Penelitian yang menggunakan kondisi buatan ini disebut sebagai
penelitian eksperimental. Pada umumnya, tujuan penelitian ini adalah untuk
melakukan pengujian terhadap obyek penelitian terhadap kondisi tertentu yang
dibangun sesuai dengan keinginan penelitinya. Penggunaan penelitian di
laboratorium juga diakukan apabila penelitian yang diinginkan tidak dapat dilakukan
pada kondisi alamiahnya. Untuk itu, pada banyak penelitian eksperimental, kondisi
buatan tersebut dibuat sedemikian rupa dan diusahakan menyerupai kondisi alam
yang sebenarnya.
Penelitian eksperimental yang demikian secara umum tidak sesuai dengan
kriteria penelitian studi kasus (Yin, 2009). Meskipun kondisi buatan di laboratorium
dibuat mendekati kondisi alamiahnya, kondisi alamiah yang sebenarnya merupakan
kondisi yang tepat dan terbaik bagi penelitian studi kasus pada khususnya, dan
penelitian kualitatif pada umumnya, karena pada dasarnya penelitian tersebut
bertujuan mengungkapkan dan menjelaskan obyek penelitian sesuai apa adanya di
kondisi yang alamiah.
4.

Menggunakan berbagai sumber data


Seperti halnya strategi dan metoda penelitian kualitatif yang lain, penelitian
studi kasus menggunakan berbagai sumber data. Seperti telah dijelaskan di dalam
bagian karakteristik penelitian kualitatif di depan, pengggunaan berbagai sumber
data dimaksudkan untuk mendapatkan data yang terperinci dan komprehensif yang
menyangkut obyek yang diteliti. Disamping itu, hal tersebut juga dimaksudkan
untuk mencapai validitas dan realibilitas penelitian. Dengan adanya berbagai
sumber data tersebut, peneliti dapat meyakinkan kebenaran dan keakuratan data

yang diperolehnya dengan mengecek saling-silangkan antar data yang diperoleh.


Untuk lebih jelasnya, perhatikan kutipan berikut ini:
Due to the nature of case study research, the researcher will generate large
amounts of data from multiple sources. Time taken to plan prior to the research will
allow one to organize multiple databases and set categories for sorting and
managing the data (Dooley, 2002, 341).
Adapun bentuk-bentuk data tersebut dapat berupa catatan hasil wawancara,
pengamatan lapangan, pengamatan artefak dan dokumen. Catatan wawancara
merupakan hasil yang diperoleh dari proses wawancara, baik berupa wawancara
mendalam terhadap satu orang informan maupun terhadap kelompok orang dalam
suatu diskusi. Sedangkan catatan lapangan dan artefak merupakan hasil dari
pengamatan atau obervasi lapangan. Catatan dokumen merupakan hasil
pengumpulan berbagai dokumen yang berupa berbagai bentuk data sekunder,
seperti buku laporan, dokumentasi foto dan video.
5.

Menggunakan teori sebagai acuan penelitian


Karakteristik penelitian studi kasus yang relatif berbeda dibandingkan dengan
strategi atau metoda penelitian studi kasus yang lain adalah penggunaan teori
sebagai acuan penelitian. Berdasarkan pemikiran induktif yang bermaksud untuk
membangun pengetahuan-pengetahuan baru yang orisinil, penelitian kualitatif
selalu dikonotasikan sebagai penelitian yang menolak penggunaan teori sebagai
acuan penelitian. Penggunaan teori sebagai acuan dianggap dapat mengurangi
orisinalitas temuan dari penelitian kualitatif. Untuk lebih jelasnya, perhatikan kutipan
berikut ini:
Case study routinely uses multiple sources of data. This practice develops
converging lines of inquiry, which facilitates triangulation and offers findings that are
likely to be much more convincing and accurate (VanWynsberghe dan Khan, 2007,
4).
Pada penelitian studi kasus, teori digunakan baik untuk menentukan arah,
konteks, maupun posisi hasil penelitian. Kajian teori dapat dilakukan di bagian
depan, tengah dan belakang proses penelitian. Pada bagian depan, teori digunakan
untuk membangun arahan dan pedoman di dalam menjalankan kegiatan penelitian.
Secara khusus, pada bagian ini, teori dapat dipergunakan untuk membangun

hipotesis, seperti halnya yang dilakukan pada paradigma deduktif atau positivistik
(VanWynsberghe dan Khan, 2007; Eckstein, 2002; Lincoln dan Guba, 2000). Pada
bagian tengah, teori dipergunakan untuk menentukan posisi temuan-temuan
penelitian terhadap teori yang ada dan telah berkembang (Creswell, 2003, 2007).
Sedangkan pada bagian belakang, teori dipergunakan untuk menentukan posisi
hasil keseluruhan penelitian terhadap teori yang ada dan telah berkembang
(Creswell, 2003, 2007).
Melalui pemanfaatan teori tersebut, peneliti studi kasus dapat membangun
teori yang langsung terkait dengan kondisi kasus yang ditelitinya. Kesimpulan
konseptual dan teoritis yang dibangun melalui penelitian studi kasus dapat lebih
bersifat alamiah, karena sifat dari kasus yang alamiah seperti apa adanya tersebut.
Untuk lebih jelasnya, perhatikan kutipan berikut ini:
Researchers can generate working hypotheses and learn new lessons based on
what is uncovered or constructed during data collection and analysis in the case
study. The entity or phenomenon under study emerges throughout the course of the
study, and it is this surfacing that can bring the study to a natural conclusion
(VanWynsberghe dan Khan, 2007, 4).
Paradigma Penelitian pada Penelitian Studi Kasus
Untuk memperjelas posisinya di dalam dunia penelitian ilmiah, peneliti yang
menggunakan metoda penelitian studi kasus harus mengetahui dan memahami
paradigma yang memayungi metoda yang dipergunakannya tersebut. Dengan
memahami posisinya tersebut, peneliti dapat menempatkan penelitiannya dan
pemikiran-pemikirannya pada posisi yang tepat dan memiliki alasan-alasan atas setiap
pertanyaan yang berkaitan dengan posisinya tersebut. Bagian ini adalah kajian
tentang paradigma penelitian yang menaungi atau menjadi landasan pemikiran
metoda penelitian studi kasus. Adapun jenis-jenis paradigma penelitian yang
digunakan adalah pada 2 (dua) paradigma penelitian besar, seperti yang telah
dijelaskan pada bagian penelitian kualitatif di depan, yaitu: 1) paradigma positivitistik,
2) paradigma non-positistivistik atau postpositivistik. Lebih jauh, di dalam uraian yang
telah dijelaskan di depan, paradigma postpositivistik dapat dibagi lagi menjadi 2 (dua)
kelompok, yaitu paradigma interpretif atau konstruktivistik, dan teori kritis.

Jika dilihat dari karakteristik utamanya yang menggunakan pendekatan penelitian


kualitatif, maka dapat disimpulkan bahwa penelitian studi kasus berdasarkan pada
paradigma penelitian postpositivistik. Pada dasarnya, paradigma postpositivistik
memandang bahwa penelitian merupakan upaya untuk membangun pengetahuan
langsung pada sumbernya. Oleh karena itu, peneliti pengikut paradigma ini memulai
pemikirannya selalu berdasarkan dari bukti, fakta atau data sebagai awalan untuk
membangun atau mengembangkan pengetahuan. Ciri utama paradigma ini adalah
memandang bukti, fakta atau data sebagai sesuatu yang berdiri sendiri, yang memiliki
latar belakang atau makna tertentu yang sangat kontekstual dengan lingkungannya.
Dengan demikian, pengetahuan yang diperoleh dari hasil penelitian bersifat orisinil.
Dalam penerapan praktisnya, para peneliti penganut paradigma ini berupaya
menghindari penggunaan teori, karena teori dipandang dapat membelenggu upaya
untuk mengeksplorasi orisinalitas dari hasil penelitian.
Pada umumnya, penelitian yang berdasarkan paradigma postpositivistik bersifat
induktif. Data yang diperoleh merupakan data yang otentik dan aktual, tidak
dipengaruhi oleh grand theories. Ungkapan dan penjelasan yang disampaikan oleh
informan atau partisipan yang dilibatkan di dalam penelitian merupakan wujud
ekspresi yang keluar dari pengalaman dan persepsi mereka terhadap konteks yang
diteliti. Konsekuensinya, berbeda dengan penelitian positivistik yang terikat dengan
grand theories, temuan-temuan penelitian berbasis paradigma postpositivistik ini
bersifat spesifik, sangat sesuai dengan konteksnya. Dengan kata lain, kajian penafsiran
data, termasuk penarikan kesimpulan dalam penelitian interpretif bersifat idiografik,
yaitu dalam arti keberlakuannya bersifat lokal dan khusus, yang muncul dari informasiinformasi yang diperoleh secara otentik dan aktual.
Tetapi pada berbagai uraian yang dijelaskan oleh para ahli, seperti yang dijelaskan
oleh Yin (2003a, 2009), Creswell (2007), VanWynsberghe dan Khan (2007), Eckstein
(2002), dan Lincoln dan Guba (2000), penelitian studi kasus dapat menggunakan teori.
Hal ini menunjukkan bahwa penelitian studi kasus juga bersifat positivistik.
Penggunaan teori merupakan salah satu ciri penelitian yang menggunakan paradigma
positivistik. Paradigma positivistik itu sendiri memandang bahwa realita ada, terkait
dan dikendalikan oleh hukum alam, dan terpisah dari diri manusia. Oleh karena itu,
paradigma ini menolak bentuk-bentuk interpretasi manusia ke dalam fakta, karena

dapat menghilangkan kemurnian realita yang terkandung di dalam fakta. Peneliti


berperan hanya untuk mengungkapkan realita tersebut senyatanya, dan tidak
diperkenankan menginterpretasikannya menurut kehendaknya sendiri. Dengan kata
lain, penelitian ini harus bersifat bebas dari campur tangan penelitinya, sehingga
hasilnya bersifat obyektif dan bebas nilai. Karena mengungkapkan realita dari hukumhukum alam, analisis dalam penelitian positivistik selalu mengkaitkan dengan hukumhukum alam yang direpresentasikan dalam wujud grand theories. Mengingat bahwa
realita atau kebenaran terikat dengan hukum alam, penelitian dilakukan untuk
menggalinya berdasarkan teori atau kebenaran yang telah diakui dan mapan. Teoriteori tersebut dipergunakan untuk membangun prediksi konsep atau teori tentang
kebenaran yang diverifikasi atau diuji teori melalui penelitian. Dalam prakteknya,
prediksi tersebut berupa hipotesis yang dibangun dari teori, dan diuji melalui
serangkaian instrumen penelitian yang terstruktur.
Berdasarkan karakteristiknya yang demikian, secara khusus, VanWynsberghe dan Khan
(2007) menjelaskan bahwa posisi penelitian studi kasus adalah unik, ia tidak sekedar
metoda penelitian, rancangan penelitian atau metodologi. Mereka lalu menempatkan
posisi dan peran penelitian studi kasus sebagai transparadigmatik heuristik dan
transdisipliner yang berupaya menggambarkan secara detail dan terperinci terhadap
bukti-bukti fenomena yang telah dikumpulkan, dalam berbagai bentuknya, seperti
seperti peristiwa, konsep, program, dan proses. Hal ini tampaknya sesuai dengan
pendapat Stake (2005) yang menyatakan bahwa keunikan penelitian studi kasus
adalah bukan pada metoda atau perancangan penelitiannya, tetapi justru pada
pemilihan kasus yang ditetapkan sebagai obyek penelitian. Karakteristik kasus inilah
yang menentukan di dalam penentuan strategi, metoda dan rancangan penelitiannya.
Menurut VanWynsberghe dan Khan (2007), posisi penelitian studi kasus disebut
transparadigmatik, karena relevan terhadap semua paradigma penelitian dan bahkan
dapat terlepas dari paradigma penelitian seseorang, baik positivistik maupun
postpositivistik, yang terdiri dari teori kritis maupun konstruktivistik atau interpretif.
Transparadigmatik itu sendiri menggambarkan adanya cara pandang lintas paradigma.
Cara pandang ini muncul karena adanya keinginan untuk tidak terikat kepada salah
satu paradigma, tetapi lebih menekankan pada substansi, obyek atau target yang
hendak dikaji. Dengan cara yang demikian, kajian dapat dilakukan dengan lebih

leluasa, menyesuaikan dengan karakteristik sunstansi, obyek atau targetnya tersebut,


serta kemampuan, pengalaman dan pengetahuan pengkaji atau penelitinya. Dalam
kondisi tertentu, penggunaan transparadigmatik juga dimaksudkan untuk membangun
dan mengembangkan paradigma campuran dari paradigma yang ada, dan bahkan
paradigma yang sama sekali baru.
Sementara itu, penelitian studi kasus dapat disebut bersifat transdisipliner, karena
penelitian studi kasus tidak memiliki orientasi pada disiplin tertentu secara khusus,
sehingga dapat digunakan berbagai disiplin, seperti ilmu sosial, ilmu pengetahuan,
ilmu pengetahuan, bisnis, seni rupa, dan penelitian humaniora. Karakteristik yang
demikian juga menggambarkan bahwa penelitian studi kasus lebih menekankan pada
kasus sebagai obyek penelitian (Stake, 2005), dan tidak terikat pada disiplin ilmu
yang menaungi penelitian. Dengan kata lain, suatu kasus dapat diteliti dari berbagai
sudut pandang disiplin ilmu. Untuk lebih jelasnya, perhatikan pernyataan mereka
berikut ini:
We also propose a more precise and encompassing definition that reconciles various
definitions of case study research: case study is a transparadigmatic and
transdisciplinary heuristic that involves the careful delineation of the phenomena for
which evidence is being collected (event, concept, program, process, etc.). By
transparadigmatic, we mean that case study is relevant regardless of ones research
paradigm (i.e., postpositivism, critical theory, constructivism). By transdisciplinary, we
are suggesting that case study has no particular disciplinary orientation; that is, it can
be used in social science, science, applied science, business, fine arts, and humanities
research, for example (VanWynsberghe dan Khan, 2007, 1).
Pendapat VanWynsberghe dan Khan (2007) tersebut berdasarkan kenyataan
munculnya perdebatan tentang karakteristik dan posisi penelitian studi kasus yang
dijelaskan oleh para ahli, terutama tentang adanya 5 (lima) kesalahpahaman tentang
penelitian studi kasus yang dijelaskan oleh Flyvbjerg (2001) yang telah menjadi mitos
di dalam penelitian studi kasus. Berdasarkan kajian mereka atas artikel Flyvbjerg
tersebut, VanWynsberghe dan Khan meyakini bahwa posisi penelitian studi kasus
adalah unik, tidak sekedar metoda penelitian, rancangan penelitian atau metodologi.
Penelitian studi kasus dapat dilakukan dalam paradigma positivistik (VanWynsberghe
dan Khan, 2007). Dalam paradigma ini, peneliti menemukan dan meneliti kasus-kasus,

serta dapat menghasilkan dan menguji hipotesis tentang dunia nyata yang mereka
teliti. Hipotesis tersebut dibangun dengan menggunakan logika deduktif. Teori dan
pengetahuan yang telah berkembang sebelumnya dikaji oleh peneliti untuk
membangun dan mengembangkan pengetahuannnya sendiri tentang substansi
penelitiannya. Pengetahuannya tersebut dipergunakannya sebagai landasan untuk
menetapkan hipotesis. Hipotesis ini kemudian diuji dengan menggunakan bukti empiris
dari data-data hasil pengumpulan datanya di lapangan.
Secara khusus, di dalam banyak penelitian studi kasus, teori dibutuh untuk
membangun dan mengembangkan proposisi penelitian. Proposisi penelitian bersifat
seperti hipotesis, tetapi lebih bersifat komprehensif karena tidak hanya merupakan
jawaban sementara atas pertanyaan penelitian, tetapi juga konsep diskripsi kasus
yang diteliti secara menyeluruh berdasarkan pengetahuan atau teori yang ada. Dalam
hal ini, teori untuk membangun proposisi di dalam penelitian studi kasus dibutuhkan
apabila peneliti memandang kasus yang ditelitinya memiliki posisi yang penting di
dalam pengembangan pengetahuan atau teori yang telah ada. Dengan kata lain,
kebenaran yang terkandung di dalam kasus tersebut dapat mempengaruhi kebenaran
yang ada di dalam teori-teori yang telah diakui kebenarannya.
Penelitian studi kasus juga dapat dilakukan dalam paradigma interpretif
(VanWynsberghe dan Khan, 2007). Paradigma interpretif merupakan paradigma yang
memandang bahwa kebenaran, realitas atau kehidupan nyata tidak memiliki satu sisi,
tetapi dapat memiliki banyak sisi, sehingga dapat dikaji dari berbagai sudut pandang.
Paradigma ini menolak adanya anggapan bahwa kebenaran atau pengetahuan yang
telah ada harus selalu diverifikasi, sehingga kelak suatu kebenaran yang tunggal dapat
tercapai dan terbangun. Paradigma ini memandang bahwa realita dunia ini terdiri dari
banyak kebenaran yang saling terkait. Untuk mengungkapkan kebenaran-kebenaran
tersebut dan keterkaitannya, manusia harus memiliki kemampuan untuk
menginterpretasikan atau menafsirkan setiap fenomena yang dapat ditangkap oleh
inderawinya.
Penelitian studi kasus menggunakan paradigma interpretif apabila penelitinya
memandang obyek yang ditelitinya memiliki keunikan tersendiri dan mengandung
kebenaran yang orisinil, sehingga memposisikannya sebagai kasus yang ditelitinya
sebagai kasus. Keunikan tersebut seringkali muncul karena keterikatan obyek

tersebut terhadap konteks lingkungannya, seperti terhadap ruang dan waktu


terjadinya kasus tersebut, sehingga dipandang tidak atau jarang terjadi dan terdapat
di tempat dan waktu yang lain. Hal ini menyebabkan metoda yang dipergunakan di
dalam penelitian studi kasus yang demikian, pada umumnya bersifat alamiah, karena
sangat terikat pada konteks yang sebenarnya. Akibatnya, kebenaran atau
pengetahuan yang dihasilkan dari penelitian yang demikian pada umumnya bersifat
lokalitas dan kontekstual.
VanWynsberghe dan Khan (2007) juga memandang bahwa penelitian studi kasus juga
dapat dipergunakan pada penelitian yang menggunakan paradigma teori krisis. Seperti
telah dijelaskan di depan, paradigma ini memandang bahwa teori-teori yang
mengandung kebenaran-kebenaran tersebut tidak selamanya mutlak benar, karena
pada kenyataan praktisnya, kebenaran-kebenaran tersebut berbeda dengan kehidupan
nyata. Dengan kata lain, mereka selalu memandang bahwa teori-teori yang dibangun
oleh para pakar harus selalu sesuai kenyataan yang sebenarnya, sehingga dapat selalu
bermanfaat. Secara singkat dapat dikatakan bahwa mereka selalu berupaya mengkaji
kesesuaian antara ontologi, epistemologi dan aksiologi dari teori-teori yang ada. Oleh
karena itu, para penganut teori kritis menganggap perlunya selalu mengkritisi grand
theories yang telah diakui kebenarannya, agar teori-teori tersebut selalu dapat sesuai
dengan perkembangan jaman, sehingga dapat selalu memberikan manfaat di dalam
penyelesaian permasalahan-permasalahan sosial manusia.
Peneliti studi kasus yang menggunakan paradigma teori kritis menempatkan kasus,
baik tunggal maupun jamak, yang ditelitinya sebagai fakta yang dapat membuktikan
adanya ketidaksesuaian antara kebenaran yang dianut selama ini dengan kehidupan
nyata yang sebenarnya. Kebenaran-kebenaran yang berhasil digali dari kasus yang
diteliti dipergunakan untuk mengkritisi kebenaran-kebanaran yang terkandung pada
teori-teori yang selama ini diakui kebenarannya. Untuk melakukan penelitian yang
demikian, peneliti harus memiliki kemampuan untuk mengkonstruksikan karakteristik
dari kasus yang ditelitinya menjadi konsep atau teori yang dapat menunjukkan adanya
ketidaksesuaian, kelemahan atau bahkan ketidakakuratan dari teori yang selama ini
diakui kebenarannya.
Jika dilihat dari kesejarahan perkembangan munculnya penelitian studi kasus,
Johansson (2003) melalui artikel yang diterbitkan melalui websitenya, menyatakan

bahwa paradigma penelitian yang menaungi penelitian studi kasus pada era
perkembangan yang pertama adalah paradigma hermeunitik (hermeunitics).
Paradigma hermenitik menekankan pada upaya manusia untuk mengiterpretasikan
segala sesuatu yang ada di dunia dengan kemampuannya sendiri. Akar kata
hermeneutik dalam Bahasa Yunani dalah hermeneuein, yang berarti menafsirkan,
yang dalam bentuk kata bendanya hermeneid yang berarti tafsir, penafsiran atau
interpretasi. Dalam perwujudan praktisnya, metoda hermeneutik adalah cara-cara
untuk menafsirkan simbol-simbol yang terwujud dalam teks atau bentuk-bentuk
lainnya. Oleh karena itu, secara singkat dapat dikatakan bahwa paradigma hermeunitik
adalah ragam lagi dari penamaan untuk paradigma postpositivistik, konstruktivistik
atau interpretif. Melalui paradigma hermeunitik, generasi perkembangan pertama
metoda penelitian studi kasus terwujud pada penelitian antropologis atau penelitian
lapangan.
Pada perkembangan selanjutnya, yaitu pada perkembangan generasi kedua, pada era
tahun 1990-an, 2000-an, hingga sekarang, penelitian studi kasus terbagi menjadi 2
(dua) aliran dengan paradigma yang berbeda. Aliran pertama adalah penelitian studi
kasus yang tetap berdasarkan pada paradigma hermeunitik atau postpositivistik, yang
didorong oleh pendapat Stake, Patton dan Flyvbjerg. Jika dikembangkan lagi, termasuk
diikuti oleh Creswell dan Dooley. Sedangkan aliran yang kedua adalah penelitian studi
kasus yang dikembangkan dengan menggunakan paradigma positivistik, yang
dikembangkan oleh Yin. Untuk lebih jelasnya, perhatikan kutipan gambar berikut ini:

Gambar: Sejarah Perkembangan Penelitian Studi Kasus


Jenis-jenis Penelitian Studi Kasus

Beberapa pakar mengemukakan jenis-jenis penelitian studi kasus dalam penjelasan


yang berbeda-beda. Perbedaan penentuan jenis tersebut disebabkan oleh cara
pandang masing-masing pakar terhadap posisi dan kedudukan kasus di dalam
penelitian. Meskipun demikian, secara umum, terdapat pandangan yang sama di
antara mereka, yaitu memposisikan dan memperlakukan obyek penelitian sebagai
kasus.
Stake (2005) membagi penelitian studi kasus berdasarkan karakteristik dan fungsi
kasus di dalam penelitian. Stake sangat yakin bahwa kasus bukanlah sekedar obyek
biasa, tetapi kasus diteliti karena karakteristiknya yang khas. Hal ini sesuai dengan
penjelasannya yang menyatakan bahwa penelitian studi kasus bukanlah sekedar
metoda penelitian, tetapi adalah tentang bagaimana memilih kasus yang tepat untuk
diteliti. Berdasarkan hal tersebut, Stake (2005) membagi penelitian studi kasus
menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu:
1. Penelitian studi kasus mendalam
Penelitian studi kasus mendalam (intrinsic case study) adalah penelitian studi kasus
yang dilakukan dengan maksud untuk yang pertama kali dan terakhir kali meneliti
tentang suatu kasus yang khusus. Hal ini dilakukan tidak dengan maksud untuk
menempatkan kasus tersebut mewakili dari kasus lain, tetapi lebih kepada kekhususan
dan keunikannya. Pada awalnya, penelitianya mungkin tidak bermaksud untuk
membangun teori dari penelitiannya, tetapi kelak mungkin ia akan dapat membangun
teori apabila kasus tersebut memang menjadi satu-satunya di dunia. Pada umumnya,
para peneliti studi kasus mendalam ini bermaksud untuk meneliti atau menggali halhal yang mendasar yang berada dibalik kasus tersebut. Kata intrinsic itu sendiri,
menurut Kamus Merriam-Webster adalah sebagai berikut:
1 a : belonging to the essential nature or constitution of a thing *the intrinsic worth of a
gem* *the intrinsic brightness of a star* b : being or relating to a semiconductor in
which the concentration of charge carriers is characteristic of the material itself instead
of the content of any impurities it contains
2 a : originating or due to causes within a body, organ, or part *an intrinsic metabolic
disease* b : originating and included wholly within an organ or part *intrinsic muscles*

Pengertian tentang intrinsic di atas menunjukkan bahwa penelitian studi kasus


mendalam bermaksud menggali hal yang mendasar (esensi) yang menyebabkan
terjadinya atau keberadaan dari suatu kasus.
2. Penelitian studi kasus intrumental
Penelitian studi kasus intrumental (instrumental case study) adalah penelitian studi
kasus yang dilakukan dengan meneliti kasus untuk memberikan pemahaman
mendalam atau menjelaskan kembali suatu proses generalisasi. Dengan kata lain,
kasus diposisikan sebagai sarana (instrumen) untuk menunjukkan penjelasan yang
mendalam dan pemahaman tentang sesuatu yang lain dari yang biasa dijelaskan.
Melalui kasus yang ditelitinya, peneliti bermaksud untuk menunjukkan adanya sesuatu
yang khas yang dapat dipelajari dari suatu kasus tersebut, yang berbeda dari
penjelasan yang diperoleh dari obyek-obyek lainnya.
3. Penelitian studi kasus jamak
Penelitian studi kasus jamak (collective or mutiple case study) adalah penelitian studi
kasus yang menggunakan jumlah kasus yang banyak. Penelitian studi kasus ini adalah
pengembangan dari penelitian studi kasus instrmental, dengan menggunakan kasus
yang banyak. Asumsi dari penggunaan kasus yang banyak adalah bahwa kasus-kasus
yang digunakan di dalam penelitian studi kasus jamak mungkin secara individual tidak
dapat menggambarkan karakteristik umumnya. Masing-masing kasus mungkin
menunjukkan sesuatu yang sama atau berbeda-beda. Tetapi apabila dikaji secara
bersama-sama atau secara kolektif, dapat menjelaskan adanya benang merah di
antara mereka, untuk menjelaskan karakteristik umumnya.
Kasus-kasus di dalam penelitian studi kasus jamak dipilih karena dipandang bahwa
dengan memahami mereka secara kolektif, dapat meningkatkan pemahaman terhadap
sesuatu, dan bahkan dapat memperbaiki suatu teori dengan menunjukkan fakta dan
bukti yang lebih banyak. Stake (2005) menunjukkan contoh-contoh penelitian studi
kasus kolektif adalah dengan menunjuk pada buku-buku kumpulan dari artikel-artikel
yang membahas suatu isu yang sama. Di dalam buku tersebut, editornya harus
mampu menunjukkan benang merah dari masing-masing artikel, sehingga
pembacanya akan mendapatkan pemahaman menyeluruh yang mendalam tentang isu
tersebut berdasarkan kajian yang dilakukan pada masing-masing artikel.

Sementara itu, Creswell (2007) menyatakan bahwa jenis-jenis penelitian studi kasus
ditentukan berdasarkan batasan dari kasus, seperti seorang individu, beberapa
individu, sekelompok, sebuah program atau sebuah kegiatan. Disamping itu, jenis-jenis
tersebut dapat ditentukan berdasarkan penentuan maksud dari analisis kasusnya.
Penjelasan Creswell tentang jenis-jenis penelitian studi kasus secara umum mirip
dengan Stake (2005), karena memang berpedoman kepada penjelasan Stake.
Berdasarkan maksud analisis kasusnya tersebut, Creswell (2007), membagi penelitian
studi kasus dapat dibagi menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu:
1. Penelitian studi kasus intrumental tunggal
Penelitian studi kasus instrumental tunggal (single instrumental case study) adalah
penelitian studi kasus yang dilakukan dengan menggunakan sebuah kasus untuk
menggambarkan suatu isu atau perhatian. Pada penelitian ini, penelitinya
memperhatikan dan mengkaji suatu isu yang menarik perhatiannya, dan
menggunakan sebuah kasus sebagai sarana (instrumen) untuk menggambarkannya
secara terperinci.
2. Penelitian studi kasus jamak
Penelitian studi kasus jamak (collective or multiple case study) adalah penelitian studi
kasus yang menggunakan banyak (lebih dari satu) isu atau kasus di dalam satu
penelitian. Penelitian ini dapat terfokus pada hanya satu isu atau perhatian dan
memenfaatkan banyak kasus untuk menjelaskannya. Disamping itu, penelitian ini juga
dapat hanya menggunakan satu kasus (lokasi), tetapi dengan banyak isu atau
perhatian yang diteliti. Pada akhirnya, penelitian ini juga dapat bersifat sangat
kompleks, karena terfokus pada banyak isu atau perhatian dan menggunakan banyak
kasus untuk menjelaskannya. Yin (2003a, 2009) mengatakan bahwa untuk melakukan
penelitian studi kasus jamak ini, dapat menggunakan penelitian replikasi yang logis,
yaitu dengan menggunakan suatu prosedur yang sama yang diberlakukan untuk setiap
isu atau kasus. Peneliti kemudian melakukan generalisasi pada setiap isu atau kasus
dan memperbandingkannya pada akhir kajian.
3. Penelitian studi kasus mendalam
Penelitian studi kasus mendalam (intrinsic case study) adalah penelitian yang
dilakukan pada suatu kasus yang memiliki kekhasan dan keunikan yang tinggi. Fokus
penelitian ini adalah pada kasus itu sendiri, baik sebagai lokasi, program, kejadian atau

kegiatan. Penelitian studi kasus mendalam ini mirip dengan penelitian naratif yang
telah dijelaskan di depan, tetapi memiliki prosedur kajian yang lebih terperinci kepada
kasus dan kaitannya dengan lingkungan disekitarnya secara terintegrasi dan apa
adanya. Lebih khusus lagi, penelitian studi kasus mendalam merupakan penelitian
yang sangat terikat pada konteksnya, atau dengan kata lain sangat terikat pada
lokusnya (site-case).
Pendapat Stake (2005) dan Creswell (2007) di atas jika digambarkan secara
diagramatis, dapat dilihat pada gambar di bawah. Pada gambar tersebut juga
dillustrasikan dengan contoh judul-judul yang menggambarkan isi dari masing-masing
jenis. Contoh penelitian studi kasus mendalam yang diberikan dengan judul
Kemacetan Lalu-lintas di Kawasan Malioboro, Yogyakarta, menunjukan adanya
keterpaduan antara kasus dengan lokasi penelitiannya. Sementara itu, contoh untuk
penelitian studi kasus instrumental tunggal yang berjudul Kemacetan Lalu Lintas di
Yogyakarta, Studi Kasus: Kawasan Malioboro, dan contoh jamaknya adalah
Kemacetan Lalu Lintas di Yogyakarta, Studi Kasus: Kawasan Gejayan dan Malioboro,
menunjukkan adanya penggunaan istilah studi kasus. Penggunaan istilah tersebut
secara khusus untuk menunjukkan bahwa kasus yang dipergunakan bersifat sebagai
sarana (instrumen) pembukti atas konsep atau teori peneliti. Untuk lebih jelasnya,
perhatikan gambar berikut ini:

Gambar: Diagram Jenis-jenis Penelitian Studi Kasus Menurut Stake (2005) dan Creswell
(2007) (Sumber: Ilustrasi penulis atas penjelasan Stake (2005) dan Creswell (2007)

Sementara itu, Yin (2003a, 2009) membagi penelitian studi kasus secara umum
menjadi 2 (dua) jenis, yaitu penelitian studi kasus dengan menggunakan kasus tunggal
dan jamak/ banyak. Disamping itu, ia juga mengelompokkannya berdasarkan jumlah
unit analisisnya, yaitu penelitian studi kasus holistik (holistic) yang menggunakan satu
unit analisis dan penelitian studi kasus terpancang (embedded) yang menggunakan
beberapa atau banyak unit analisis. Penelitian studi kasus disebut terpancang
(embedded), karena terikat (terpancang) pada unit-unit analisisnya yang telah
ditentukan. Unit analisis itu sendiri dibutuhkan untuk lebih memfokuskan penelitian
pada maksud dan tujuannya. Penentuan unit analisis ditentukan melalui kajian teori.
Sementara itu, pada penelitian studi kasus holistik, penelitian dilakukan lebih bebas
dan terfokus pada kasus yang diteliti dan tidak terikat pada unit analisis, karena unit
analisisnya menyatu dalam kasusnya itu sendiri.
Jika dikaitkan antara kedua cara pengelompokkan tersebut, maka jenis-jenis penelitian
studi kasus dapat disusun ke alam suatu matriks 2 x 2. Dengan demikian, menurut Yin
(2003a, 2009), penelitian studi kasus dapat terdiri dari 4 (empat) jenis. Untuk lebih
jelasnya, hubungan antar kedua pengelompokkan tersebut, perhatikan gambar matriks
jenis-jenis penelitian studi kasus berikut ini:

Gambar: Jenis-jenis Dasar Penelitian Studi Kasus (Sumber: Yin, 2009, 46)
Pada gambar di atas dapat dilihat bahwa terdapat 4 (empat) jenis penelitian studi
kasus, yaitu:
1.

Penelitian studi kasus tunggal holistik (jenis 1 dan 2)


Penelitian studi kasus tunggal holistik (holistic single-case study) adalah penelitian
yang menempatkan sebuah kasus sebagai fokus dari penelitian. Yin (2009)

menjelaskan bahwa terdapat 5 (lima) alasan untuk menggunakan hanya satu kasus
di dalam penelitian studi kasus, yaitu:
a) Kasus yang dipilih mampu menjadi bukti dari teori yang telah dibangun dengan
baik. Teori yang dibangun memiliki proposisi yang jelas, yang sesuai dengan
kasus tunggal yang dipilih sehingga dapat dipergunakan untuk membuktikan
kebenarannya.
b) Kasus yang dipilih merupakan kasus yang ekstrim atau unik. Kasus tersebut
dapat berupa keadaan, kejadian, program atau kegiatan yang jarang terjadi, dan
bahkan mungkin satu-satunya di dunia, sehingga layak untuk diteliti sebagai
suatu kasus.
c) Kasus yang dipilih merupakan kasus tipikal atau perwakilan dari kasus lain yang
sama. Pada dasarnya, terdapat banyak kasus yang sama dengan kasus yang
dipilih, tetapi dengan maksud untuk lebih menghemat waktu dan biaya,
penelitian dapat dilakukan hanya pada satu kasus saja, yang dipandang mampu
menjadi representatif dari kasus lainnya.
d) Kasus dipilih karena merupakan kesempatan khusus bagi penelitinya.
Kesempatan tersebut merupakan jalan yang memungkinkan peneliti untuk dapat
meneliti kasus tersebut. Tanpa adanya kesempatan tersebut, peneliti mungkin
tidak memiliki akses untuk melakukan penelitian terhadap kasus tersebut.
e) Kasus dipilih karena bersifat longitudinal, yaitu terjadi dalam dua atau lebih
pada waktu yang berlainan. Kasus yang demikian sagat tepat untuk penelitian
yang dimaksudkan untuk membuktikan terjadinya perubahan pada suatu kasus
akibat berjalannya waktu.
Sementara itu, perbedaan antara penelitian studi kasus holistik (jenis 1) dan
terpancang (jenis 2) adalah pada jumlah unit analisis yang digunakan. Pada jenis
yang pertama, jumlah unit analisis yang digunakan pada umumnya hanya satu atau
bahkan sama sekali unit analisisnya tidak dapat dijelaskan, karena terintegrasi
dengan kasusnya. Dalam penelitian studi kasus yang demikian, unit analisis tidak
dapat ditentukan karena kasus tersebut juga sekaligus merupakan unit analisis dari
penelitian.
Sedangkan jenis yang kedua, penelitian studi kasus terpancang memiliki unit
analisis lebih dari satu. Hal ini dapat terjadi karena didasari oleh hasil kajian teori

yang menuntut adanya lebih dari satu unit analisis. Tuntutan penggunaan lebih dari
satu unit analisis biasanya disebabkan oleh tujuan penelitian yang ingin
menjelaskan hubungan secara komprehensif dan detail setiap bagian dari kasus
secara lebih mendalam. Hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa semakin banyak
jenis unit analisis yang digunakan, sifat alamiah penelitian akan semakin kabur,
karena cenderung menjadi penelitian yang terikat pada keberadaan unit analisisnya.
2.

Penelitian studi kasus jamak (jenis 3 dan 4)


Pada dasarnya, penelitian studi kasus jamak adalah penelitian yang menggunakan
lebih dari satu kasus. Penggunaan jumlah kasus lebih dari satu pada penelitian studi
kasus pada umumnya dilakukan untuk mendapatkan data yang lebih detail,
sehingga diskripsi hasil penelitian menjadi semakin jelas dan terperinci. Hal ini juga
didorong oleh keinginan untuk mengeneralisasi konsep atau teori yang dihasilkan.
Dengan kata lain, penggunaan jumlah kasus yang banyak dimaksudkan untuk
menutupi kelemahan yang terdapat pada penggunaan kasus tunggal, yang
dianggap tidak dapat digeneralisasikan.
Proses analisis pada penelitian studi kasus jamak berbeda dengan penelitian
kuantitatif yang menggunakan jumlah responden yang banyak. Pada peneltian
kuantitatif, data dari responden dapat diolah secara terintegrasi dengan formula
tertentu, sehingga menghasilkan satu kesatuan konsep dalam bentuk model
hubungan antar data. Di dalam penelitian studi kasus jamak, Yin (2003a, 2009)
menyarankan menggunakan logika replikasi sebagai pendekatan di dalam proses
analisisnya. Pada proses ini, setiap kasus harus mengalami prosedur penelitian yang
sama, hingga menghasilkan hasil penelitiannya masing-masing. Selanjutnya, hasil
dari masing-masing penelitian di perbandingkan, untuk menentukan kesamaan dan
perbedaannya. Hasilnya dipergunakan untuk menjelaskan pertanyaan penelitian
pada umumnya dan khususnya pencapaian atas maksud dan tujuan penelitian.
Jika dibuatkan dalam suatu diagram, jenis-jenis penelitian studi kasus menurut Yin
(2003a, 2009) in dapat dilihat pada gambar diagram pada halaman berikut. Pada
diagram tersebut juga dapat dilihat contoh judul-judul penelitian yang
menggambarkan isi dari masing-masing jenis. Contoh penelitian studi kasus holistik
tunggal yang diberikan dengan judul Kemacetan Lalu-lintas di Kawasan Malioboro,
Yogyakarta, dan jamaknya adalah Kemacetan Lalu-lintas di Kawasan Gejayan dan

Malioboro, Yogyakarta, menunjukan adanya keterpaduan antara kasus dengan


lokasi penelitiannya sebagai suatu penelitian yang holistik. Sementara itu, contoh
untuk penelitian studi kasus terpancang tunggal yang berjudul Pencampuran Moda
Transportasi Sebagai Penyebab Kemacetan, Studi Kasus: Kawasan Malioboro,
Yogkyakarta, dan contoh jamaknya adalah Pencampuran Moda Transportasi
Sebagai Penyebab Kemacetan, Studi Kasus: Kawasan Malioboro dan Gejayan,
Yogkyakarta, menunjukkan adanya penggunaan istilah studi kasus. Penggunaan
istilah tersebut secara khusus untuk menunjukkan bahwa kasus yang dipergunakan
bersifat sebagai sarana (instrumen) pembukti atas konsep atau teori peneliti.
Sementara judul utamanya Pencampuran Moda Transportasi Sebagai Penyebab
Kemacetan menggambarkan unit analisis yang mengikat (memancang) fokus
penelitiannya. Untuk lebih jelasnya, perhatikan gambar berikut ini:

Gambar 10: Jenis-jenis Penelitian Studi Kasus Menurut Yin (2003a, 2009) (Sumber: Yin,
2009, 46)
Penjelasan penelitian studi kasus tunggal holistik menurut Yin (2003a, 2009) di atas
mirip dengan jenis penelitian studi kasus mendalam yang dijelaskan oleh Stake
(2005) dan Crewell (2007). Jenis penelitian ini pada dasarnya menempatkan kasus
sebagai obyek penelitian yang perlu diteliti untuk mengungkapkan esensi mendalam
yang terdapat di balik kasus, tanpa terikat pada unit analisis, karena unit analisis
penelitian ini menyatu dengan kasusnya.
Sementara itu, penelitian kasus jamak menurut Yin (2003a, 2009), khususnya yang
bersifat holistik mirip dengan penjelasan penelitian studi kasus jamak yang

dijelaskan oleh Stake (2005) dan Crewell (2007). Yang menarik adalah adanya
penelitian studi kasus terpancang yang dijelaskan oleh Yin (2003a, 2009), yang tidak
dijelaskan oleh Stake (2005) dan Crewell (2007). Keberadaan penelitian studi kasus
terpancang ini sebenarnya menunjukkan bahwa penelitian studi kasus dapat
diarahkan pada fokus tertentu, sesuai dengan maksud dan tujuan penelitian, yaitu
dengan menggunakan unit analisis. Jadi, unit analisis sebenarnya merupakan bentuk
upaya dari pengarahan penelitian studi kasus tersebut. Unit analisis itu ditentukan
melalui kajian teori. Dengan demikian, penelitian studi kasus terpancang merupakan
penelitian studi kasus yang menggunakan paradigma positivistik.

Tujuan Penelitian Studi Kasus


Seperti halnya pada tujuan penelitian lainnya pada umumnya, pada dasarnya peneliti
yang menggunakan metoda penelitian studi kasus bertujuan untuk memahami obyek
yang ditelitinya. Meskipun demikian, berbeda dengan penelitian yang lain, penelitian
studi kasus bertujuan secara khusus menjelaskan dan memahami obyek yang
ditelitinya secara khusus sebagai suatu kasus. Berkaitan dengan hal tersebut, Yin
(2003a, 2009) menyatakan bahwa tujuan penggunaan penelitian studi kasus adalah
tidak sekedar untuk menjelaskan seperti apa obyek yang diteliti, tetapi untuk
menjelaskan bagaimana keberadaan dan mengapa kasus tersebut dapat terjadi.
Dengan kata lain, penelitian studi kasus bukan sekedar menjawab pertanyaan
penelitian tentang apa (what) obyek yang diteliti, tetapi lebih menyeluruh dan
komprehensif lagi adalah tentang bagaimana (how) dan mengapa (why) obtek
tersebut terjadi dan terbentuk sebagai dan dapat dipandang sebagai suatu kasus.
Sementara itu, strategi atau metoda penelitian lain cenderung menjawab pertanyaan
siapa (who), apa (what), dimana (where), berapa (how many) dan seberapa besar (how
much).
Sementara itu, Stake (2005) menyatakan bahwa penelitian studi kasus bertujuan untuk
mengungkapkan kekhasan atau keunikan karakteristik yang terdapat di dalam kasus
yang diteliti. Kasus itu sendiri merupakan penyebab dilakukannya penelitian studi
kasus, oleh karena itu, tujuan dan fokus utama dari penelitian studi kasus adalah pada
kasus yang menjadi obyek penelitian. Untuk itu, segala sesuatu yang berkaitan dengan
kasus, seperti sifat alamiah kasus, kegiatan, fungsi, kesejarahan, kondisi lingkungan

fisik kasus, dan berbagai hal lain yang berkaitan dan mempengaruhi kasus harus
diteliti, agar tujuan untuk menjelaskan dan memahami keberadaan kasus tersebut
dapat tercapai secara menyeluruh dan komprehensif.
Secara khusus, berkaitan dengan karakteristik kasus sebagai obyek penelitian,
VanWynsberghe dan Khan (2007) menjelaskan bahwa tujuan penelitian studi kasus
adalah untuk memberikan kepada pembaca laporannya tentang rasanya berada dan
terlibat di dalam suatu kejadian, dengan menyediakan secara sangat terperinci
analisis kontekstual tentang kejadian tersebut. Untuk itu, peneliti studi kasus harus
secara hati-hati menggambarkan kejadian tersebut dengan memberikan pengertian
dan hal-hal yang lainnya dan menguraikan kekhususan dari kejadian tersebut. Untuk
lebih jelasnya, perhatikan kutipan berikut ini:
Case studies aim to give the reader a sense of being there by providing a highly
detailed, contextualized analysis of an an instance in action. The researcher carefully
delineates the instance, defining it in general terms and teasing out its particularities
(VanWynsberghe dan Khan, 2007, 4).
Sementara itu, Doodley (2005) menyatakan bahwa penelitian studi kasus merupakan
metoda penelitian yang mampu membawa pemahaman tentang isu yang kompleks
dan dapat memperkuat pemahaman tentang pengetahuan yang telah diketahui
sebelumnya. Kelebihan dari metoda penelitian studi kasus adalah pada
kemampuannya untuk mengungkapkan kehidupan nyata yang kontemporer, situasi
kemanusiaan, dan pandangan umum melalui tentang suatu kasus, melalui laporanlaporan penelitinya. Hasil penelitian studi kasus dapat menghubungkan secara
langsung antara pengalaman pembacanya yang awam dengan kasus terlihat sangat
kompleks, dan memfasilitasi pemahaman tentang situasi keadaan nyata yang
kompleks tersebut untuk lebih mudah dipahami oleh mereka. Untuk lebih jelasnya,
perhatikan kutipan-kutipan berikut ini:
Case study research is one method that excels at bringing us to an understanding of a
complex issue and can add strength to what is already known through previous
research (Dooley, 2005, 335).
The advantages of the case study method are its applicability to reallife,
contemporary, human situations and its public accessibility through written reports.

Case study results relate directly to the common readers everyday experience and
facilitate an understanding of complex real-life situations (Dooley, 2005, 344).
Secara filosofis, berkaitan dengan kasus sebagai obyek yang memiliki kekhususan,
Flyvbjerg (2006) menjelaskan bahwa penelitian studi kasus adalah penelitian yang
sangat ideal untuk membuktikan filosofi Karl Popper tentang fasifikasionisme, yang
menyatakan perlunya pandangan kritis terhadap setiap fenomena dan kejadian.
Penganut faham fasifikasionisme itu sendiri selalu melihat fenomena sosial secara
kritis, dengan berupaya mengungkapkan kesalahan-kesalahan yang berada dibaliknya,
sebagai masukan untuk perbaikan dan penyempurnaan selanjutnya. Penelitian studi
kasus dapat menyediakan kasus-kasus yang dapat menunjukkan kesalahan atau
ketidaksempurnaan, sebagai masukan untuk tindakan berikutnya. Untuk lebih jelasnya,
perhatikan kutipan berikut ini:
The case study is ideal for generalizing using the type of test that Karl Popper called
falsification, which in social science forms part of critical reflexivity. Falsification is
one of the most rigorous tests to which a scientific proposition can be subjected: If just
one observation does not fit with the proposition, it is considered not valid generally
and must therefore be either revised or rejected (Flyvbjerg, 2006, 225).
Pada akhirnya, menurut Lincoln dan Guba (1985), penelitian studi kasus adalah
penelitian yang berupaya untuk mengungkapkan berbagai pelajaran yang berharga
(best learning practices) yang diperoleh dari pemahaman terhadap kasus yang diteliti.
Pelajaran tersebut meliputi tentang bagaimana masalah kasus yang sebnarnya;
bagaimana kaitan kasus dengan konteks lingkungan dan bidang keilmuannya; apa
teori yang terkait dengannya; apa dan bagaimana keterkaitan isu (unit analisis) yang
ada di dalamnya; dan akhirnya apa pelajaran yang dapat diambil untuk memperbaiki
dan menyempurnakan langkah kehidupan manusia ke depan.

Proses Penelitian Studi Kasus


Seperti halnya pembahasan tentang pengertian dan jenis-jenis penelitian studi kasus
yang berbeda-beda, pembahasan proses penelitian studi kasus juga berbeda-beda di
antara para pakar. Pada umumnya perbedaan proses tersebut bersumber dari
perbedaan cara pandang mereka terhadap kasus. Dengan kata lain, perbedaan proses

dapat terjadi karena perbedaan paradigma yang digunakan di dalam penelitian studi
kasus.
Dari kesimpulan pembahasan terhadap paradigma dan jenis-jenis penelitian studi
kasus, dapat diketahui bahwa pada dasarnya penelitian studi kasus dapat
dikelompokkan menjadi dua. Yang pertama adalah adalah penelitian studi kasus yang
menggunakan paradigma postpositivistik. Jenis penelitian studi kasus ini lebih
menekankan pada kasus sebagai obyek yang holistik sebagai fokus penelitian, seperti
yang sring dijelaskan oleh Stake (2005) dan Creswell (2007). Sedangkan yang lain
adalah penelitian studi kasus yang menggunakan paradigma penelitian positivistik.
Penelitian studi kasus ini secara umum ditandai dengan penggunaan kajian literatur
atau teori pada penelitiannya. Jenis penelitian ini khususnya adalah penelitian studi
kasus terpancang (embedded) yang terikat pada penggunaan unit analisis, seperti
yang ditunjukkan dan dijelaskan oleh Yin (2003a, 2009).
Sesuai dengan pendapatnya, yaitu bahwa proses penelitian studi kasus adalah
penelitian yang terfokus pada kasus yang diteliti, Stake (2005) menekankan pada
pentingnya kasus pada setiap tahapan proses penelitian studi kasus. Berdasarkan
pendapatnya tersebut, Stake (2005, 2006) menjelaskan proses penelitian studi kasus
adalah sebagai berikut:
1. Menentukan dengan membatasi kasus. Tahapan ini adalah upaya untuk memahami
kasus, atau dengan kata lain membangun konsep tentang obyek penelitian yang
diposisika sebagai kasus. Dengan mengetahui dan memahami kasus yang akan
diteliti, peneliti tidak akan salah atau tersesat di dalam menentukan kasus
penelitiannya. Pada proposal penelitian, bentuknya adalah latar belakang penelitian.
2. Memilih fenomena, tema atau isu penelitian. Pada tahapan ini, peneliti membangun
pertanyaan penelitian berdasarkan konsep kasus yang diketahuinya dan latar
belakang keinginannya untuk meneliti. Pertanyaan penelitian dibangun dengan
sudah mengandung fenomena, tema atau isu penelitian yang dituju di dalam proses
pelaksanaan penelitian.
3. Memilih bentuk-bentuk data yang akan dicari dan dikumpulkan. Data dan bentuk
data dibutuhkan untuk mengembangkan isu di dalam penelitian. Penentuan data
yang dipilih disesuaikan dengan karakteristik kasus yang diteliti. Pada umumnya

bentuk pengumpulan datanya adalah wawancara baik individu maupun kelompok;


pengamatan lapangan; peninggalan atau artefak; dan dokumen.

4. Melakukan kajian triangulasi terhadap kunci-kunci pengamatan lapangan, dan dasardasar untuk melakukan interpretasi terhadap data. Tujuannya adalah agar data yang
diperoleh adalah benar, tepat dan akurat.
5. Menentukan interpretasi-interpretasi alternatif untuk diteliti. Alternatif interpretasi
dibutuhkan untuk menentukan interpretasi yang sesuai dengan kondisi dan keadaan
kasus dengan maksud dan tujuan penelitian. Setiap interpretasi dapat
menggambarkan makna-makna yang terdapat di dalam kasus, yang jika
diintegrasikan dapat menggambarkan keseluruhan kasus.
6. Membangun dan menentukan hal-hal penting dan melakukan generalisasi dari hasilhasil penelitian terhadap kasus. Stake (2005, 2006) selalu menekankan tentang
pentingnya untuk selalu mengeksploasi dan menjelaskan hal-hal penting yang khas
yang terdapat di dalam kasus. Karena pada dasarnya kasus dipilih karena
diperkirakan mengandung kekhususannya sendiri. Sedangkan generalisasi untuk
menunjukkan posisi hal-hal penting atau kekhususan dari kasus tersebut di dalam
peta pengetahuan yang sudah terbangun.

Berdasarkan pendapat Stake (1995, 2005, dan 2006), Creswell (2007) menjelaskan
proses penelitian studi kasus secara lebih sederhana dan praktis, adalah sebagai
berikut:
1. Tahapan pertama yang harus dilakukan oleh peneliti adalah menentukan apakah
pendekatan penelitian kasus yang akan dipergunakan telah sesuai dengan masalah
penelitiannya. Suatu studi kasus menjadi pendekatan yang baik adalah ketika
penelitinya mampu menentukan secara jelas batasan-batasan kasusnya, dan
memiliki pemahaman yang mendalam terhadap kasus-kasusnya, atau mampu
melakukan perbandingan beberapa kasus.
2. Peneliti mengidentifikasikan kasus atau kasus-kasus yang akan ditelitinya. Kasus
tersebut dapat berupa seorang individu, beberapa individu, sebuah program,
sebuah kejadian, atau suatu kegiatan. Untuk melakukan penelitian studi kasus,
Creswell (2007) menyarankan penelitinya untuk mempertimbangkan kasus-kasus

yang berpotensi sangat baik dan bermanfaat. Kasus tersebut dapat berjenis tunggal
atau kolektif; banyak lokasi atau lokasi tunggal; terfokus pada kasusnya itu sendiri
atau pada isu yang ingin diteliti (intrinsic atau instrumental) (Stake, 2005; Yin,
2009). Creswell (2007) juga menyarankan bahwa untuk menentukan kasus dapat
mempertimbangkan berbagai alasan atau tujuan, seperti kasus sebagai potret
(gambaran contoh yang bermanfaat maksimal); kasus biasa; kasus yang terjangkau;
kasus yang berbeda dan sebagainya.
3. Melakukan analisis terhadap kasus. Analisis kasus dapat dilakukan dalam 2 (dua)
jenis, yaitu analisis holistik (holistic) terhadap kasus, atau analisis terhadap aspek
tertentu atau khusus dari kasus (embedded) (Yin, 2009). Melalui pengumpulan data,
suatu penggambaran yang terperinci akan muncul dari kajian peneliti terhadap
sejarah, kronologi terjadinya kasus, atau gambaran tentang kegiatan dari hari-ke
hari dari kasus tersebut.
Setelah menggambarkan secara holistik, kajian dilakukan lebih terperinci pada
beberapa kunci atau tema yang terdapat di balik kasus, yang dilakukan dengan
maksud tidak untuk melakukan generalisasi, tetapi lebih banyak untuk
mengungkapkan kompleksitas kasus. Caranya dapat dilakukan dengan mengkaji isuisu yang membentuk kasus, yang diikuti dengan menggali tema-tema yang berada
di balik isu tersebut. Kajian ini bersifat sangat kaya terhadap penjelasan tentang
konteks atau seting dari kasus tersebut (Yin, 2009). Ketika melakukan penelitian
studi kasus jamak, format kajian pertama yang dilakukan adalah kajian terhadap
setiap kasus terlebih dahulu untuk mengambarkan isu-isunya dan tema-temanya
secara terperinci, yang disebut sebagai within-case analysis (Yin 2009). Selanjutnya,
tema-tema hasil kajian per-kasus dikaji saling-silangkan dengan menggunakan
analisis saling-silang kasus, atau yang disebut sebagai sebuah cross-case analysis,
dan melakukan pemaknaan serta mengintegrasikan makna-makna yang berhasil
digali dari kasus-kasus tersebut.

4. Sebagai tahapan akhir analisis interpretif, peneliti melaporkan makna-makna yang


dapat dipelajari, baik pembelajaran terhadap isu yang berada di balik kasus yang
dilakukan melalui penelitian kasus instrumental (instrumental case research),
maupun pembelajaran dari kondisi yang unik atau jarang yang dilakukan melalui

penelitian studi kasus mendalam (intrinsic case study research). Menurut Lincoln
dan Guba (1985), tahapan ini disebut sebagai tahapan untuk menggali
pembelajaran terbaik yang dapat diambil dari kasus yang diteliti.

Berdasarkan penjelasan proses penelitian studi kasus yang dijelaskan oleh Creswell
(1998), Hancock dan Algozzine (2006) memberikan pandangan mereka tentang proses
penelitian studi kasus. Meskipun demikian, pada kenyataannya, penjelasannya mereka
relatif jauh berbeda dengan konsep proses penelitian studi kasus Creswell (1998) yang
cenderung berdasarkan paradigma postpostivistik. Sementara itu, mereka lebih
cenderung memandang penelitian studi kasus sebagai penelitian yang berdasarkan
kepada paradigma positivistik, karena menempatkan kajian teori pada bagian awal
penelitian. Berikut ini adalah penjelasan Hancock dan Algozzine (2006) tentang proses
penelitian studi kasus, sebagai berikut:
1. Mempersiapkan panggung. Tahapan ini adalah tahapan pertama yang harus
dilakukan oleh seorang peneliti studi kasus. Tahapan ini bertujuan untuk
mempersiapkan berbagai hal yang perlu diketahui sebagai bekal peneliti untuk
melakukan penelitian studi kasus. Persiapan tersebut meliputi pengetahuan dan
ketrampilan peneliti di dalam menjalankan penelitian studi kasus. Hancock dan
Algozzine (2006) menyarankan untuk memahami karakteristik penelitian studi
kasus, sehingga peneliti dapat memastikan bahwa pendekatan dan metoda
penelitian studi kasus adalah tepat untuk penelitiannya.
2. Menentukan apa yang telah diketahui. Tahapan ini dilakukan dengan melakukan
kajian teori dari literatur. Tujuannya adalah untuk membangun konsep dasar
penelitian, menentukan pentingnya penelitian; pertanyaan penelitian; mengkaji
kelebihan dan kelemahan pendekatan dan metoda penelitian lain yang pernah
dipergunakan untuk meneliti isu atau kasus yang sama; penentuan pendekatan dan
metoda penelitian studi kasus; menentukan gaya atau bentuk yang akan
dipergunakan oleh peneliti untuk mengembangkan pengetahuan yang berkaitan
dengan pertanyaan penelitian. Untuk mencapai tujuan tersebut, peneliti
menggunakan teori sebagai pengetahuan yang terdapat di dalam litreratur sebagai
acuannya. Untuk lebih jelasnya, perhatikan kutipan berikut ini:

Your purposes in reviewing the literature are to establish the conceptual foundation
for the study, to define and establish the importance of your research question, to
identify strengths and weaknesses of models and designs that others have used to
study it, and to identify the style and form used by experts to extend the knowledge
base surrounding your question (Hancock dan Algozzine, 2006, 26).
3. Menentukan rancangan penelitian. Pada tahapan ini, peneliti menentukan
rancangan penelitian yang tepat terhadap maksud dan tujuan penelitiannya, serta
khususnya terhadap kasus yang ditelitinya. Di dalam menentukan rancangan
penelitian, hal perlu dilakukan adalah menentukan jenis penelitian studinya. Jenisjenis tersebut dapat berupa apakah penelitian studi kasus yang dipilih berupa
penelitian studi kasus tunggal, majemuk, mendalam, holistik, dan sebagainya. Untuk
menentukan hal tersebut, Hancock dan Algozzine (2006) menyarankan untuk
mempertimbangkan fungsi kasus di dalam penelitian, apakah sebagai lokus atau
instrumen; karakteristik penelitiannya, seperti mengungkapkan, menggambarkan
atau menjelaskan sesuatu; dan disiplin ilmu dari penelitiannya. Jenis penelitian studi
kasus yang dipilih akan menentukan rancangan penelitiannya, termasuk jenis data
yang dibutuhkan, metoda pengumpulan data, dan metoda analisisnya.
4. Mengumpulkan informasi melalui wawancara. Pada tahapan ini, peneliti melakukan
pengumpulan data, khususnya melalui metoda wawancara. Wawancara merupakan
metoda utama di dalam penelitian studi kasus kualitatif pada khususnya, dan
pendekatan penelitian kualitatif pada umumnya. Bentuk-bentuk wawancara dapat
berupa wawancara individu maupun kelompok. Untuk melakukan tahapan ini,
peneliti harus mempersiapkan panduan wawancara, yang dikembangkan dai hasil
kajian literatur. Disamping itu, peneliti juga harus menentukan sumber informasi dan
teknik-teknik wawancara. Pelaksanaan wawancara dilakukan pada saat sumber
informan di lokasi sebagaimana ia melakukan kegiatan sehari-harinya.
5. Mengumpulkan informasi melalui pengamatan lapangan. Pada tahapan ini, peneliti
melakukan pengamatan terhadap berbagai obyek pada kondisi nyata di kejadian
sehari-harinya. Obyek yang diamati bermacam-maca, dapat berupa kondisi
lingkungan kasus, individu atau kelompok orang yang sedang melakukan kegiatan
yang terkait dengan unit analisis, dan operasionalisasi suatu peralatan. Di dalam

pengamatannya, peneliti mencatat dan memberikan tema atas obyek atau kejadian
yang diamatinya.
6. Merumuskan dan menginterpretasikan informasi. Pada tahapan ini, peneliti
melakukan perumusan dan interpretasi atas informasi yang dilakukannya. Seperti
halnya pendekatan penelitian kualitatif pada umumnya, peneliti melakukan
perumusan dan interpretasi tidak dilakukan pada akhir pengumpulan data, tetapi
dilakukan selama melakukan pengumpulan data, baik wawancara maupun
pengamatan lapangan. Sehingga pada tahapan akhir penelitian, peneliti dapat
memperoleh hasil akhir dari kesinambungan proses interpretasi atas informasi yang
didapatkannya selama melakukan penelitian. Hancock dan Algozzine (2006)
menyarankan agar selama melakukan penelitian studi kasus, peneliti selalu
memfokuskan kepada upaya untuk selalu menjawab pertanyaan-pertanyaan
penelitian, agar tidak melenceng dari maksud dan tujuan penelitiannya. Hal ini
diperlukan karena penelitian akan mendapatkan banyak sekali informasi selama
melakukan penelitian, sehingga seringkali dapat membelokkan fokus penelitian dari
maksud dan tujuannya.
7. Menyusun laporan penelitian. Tahapan ini merupakan tahapan terakhir dari
penelitian studi kasus. Pada tahapan ini, penulis menuangkan hasil penelitiannya
dalam laporan dengan urutan yang logis dan dapat dicerna oleh pembacanya.
Hancock dan Algozzine (2006) menyatakan ada 3 (tiga) strategi yang dapat
dipergunakan untuk menyusun laporan penelitian studi kasus, yaitu analisis tematik,
analisis kategorial dan analisis naratif. Strategi analisis tematik adalah memberikan
pelaporan dengan menekankan pada jawaban-jawaban atas pertanyaan penelitian,
sehingga menghasilkan tema-tema pelaporan yang sesuai dengan pertanyaan
penelitian. Karena kemudahannya, strategi ini sangat tepat digunakan oleh peneliti
pemula. Sementara itu strategi analisis kategorial berupaya untuk mengembangkan
pelaporan pada penelitian studi kasus jamak yang menghasilkan kategori-kategori
atas unit-unit analisis atau kasus-kasus yang diteliti. Sementara itu, strategi analisis
naratif adalah pelaporan yang menjelaskan dan menggambarkan kembali data-data
yang diperoleh selama pelaksanaan penelitian berdasarkan maksud dan tujuan
penelitinya.

Sementara itu, Yin (2003a, 2009) membagi proses penelitian menjadi 2 (dua) jenis,
yaitu proses penelitian studi kasus tunggal dan proses penelitian studi kasus jamak.
Kedua proses tersebut pada dasarnya mengacu pada proses dasar yang sama.
Perbedaannya adalah pada jumlah kasus pada penelitian studi kasus jamak yang lebih
dari satu, sehingga membutuhkan replikatif proses yang lebih panjang untuk
mengintegrasikan hasil-hasil kajian dari tiap-tiap kasus. Untuk lebih jelasnya, proses
penelitian studi kasus menurut Yin (2009) adalah sebagai berikut:
1. Mendefinsikan dan merancang penelitian. Pada tahap ini, peneliti melakukan kajian
pengembangan teori atau konsep untuk menentukan kasus atau kasus-kasus dan
merancang protokol pengumpulan data. Pada umumnya, pengembangan teori dan
konsep digunakan untuk mengembangkan pertanyaan penelitian dan proposisi
penelitian. Proposisi penelitian memiliki posisi yang mirip dengan hipotesis, yaitu
merupakan jawaban teoritis atas pertanyaan penelitian. Merkipun demikian, proposisi
lebih cenderung menggambarkan prediksi konsep akhir yang akan dituju di dalam
penelitian. Proposisi merupakan landasan bagi peneliti untuk menetapkan kasus paa
umumnya dan unit analisis pada khususnya. Tahapan ini sama untuk penelitian studi
kasus tunggal maupun jamak.
2. Menyiapkan, mengumpulkan dan menganalisis data. Pada tahap ini, peneliti
melakukan persiapan, pengumpulan dan analisis data berdasarkan protokol penelitian
yang telah dirancang sebelumnya. Pada penelitian studi kasus tunggal, penelitian
dilakukan pada kasus terpilih hingga dilanjutkan pada tahapan berikutnya. Pada
penelitian studi kasus jamak, penelitian pada setiap kasus dilakukan sendiri-sendiri
hingga menghasilkan laporan sendiri-sendiri juga.
3. Menganalisis dan Menyimpulkan. Tahapan ini merupakan tahapan terakhir dari
proses penelitian studi kasus. Pada penelitian studi kasus tunggal, analisis dan
penyimpulan dari hasil penelitian digunakan untuk mengecek kembali kepada konsep
atau teori yang telah dibangun pada tahap pertama penelitian. Sementara itu, pada
penelitian studi kasus jamak, analisis dan penyimpulan dilakukan dengan mengkaji
saling-silangkan hasil-hasil penelitian dari setiap kasus. Seperti halnya pada penelitian
studi kasus tunggal, hasil analisis dan penyimpulan di gunakan untuk menetapkan
atau memperbaiki konsep atau teori yang telah dibangun pada awal tahapan
penelitian.

Untuk lebih jelasnya, proses penelitian studi kasus menurut Yin (2003a, 2009) tersebut
dapat dilihat pada gambar diagram berikut ini:

Gambar: Proses Penelitian Studi Kasus (Sumber: Yin, 2009, 57)

Kesalahpahaman Terhadap Penelitian Studi Kasus


Bent Flyvbjerg di dalam artikelnya yang berjudul Five Misunderstandings About CaseStudy Research (Qualitative Inquiry 2006; 12; 219) pernah menuliskan adanya 5 (lima)
kesalahpahaman terhadap penelitian studi kasus. Kajian di dalam artikel tersebut
menjadi bahan perdebatan di kalangan pengamat, penulis dan peneliti penelitian studi
kasus. Artikel tersebut sekaligus juga membuka mata mereka tentang adanya
pandangan miring terhadap kepercayaan mereka terhadap penelitian studi kasus
pada khususnya dan bahkan terhadap pendekatan penelitian kualitatif pada umumnya.
Sebenarnya melalui artikelnya tersebut, Bent Flyvbjerg berupaya memberikan jawaban
atas berbagai pandangan yang dianggap salah (kesalahapahaman) terhadap penelitian
studi kasus, yang ditudingkan oleh para peneliti yang berparadigma positivistik pada
umumnya dan khususnya peneliti yang menggunakan pendekatan kuantitatif.
Disamping itu, artikel ini juga telah menggelitik pakar lain untuk ikut angkat bicara,
yang sekaligus memberikan dukungan terhadap Bent Flyvbjerg, seperti pada artikel
yang ditulis oleh Lee Peter Ruddin (You Can Generalize Stupid! Social Scientists, Bent
Flyvbjerg, and Case Study Methodology; Qualitative Inquiry 2006; 12; 797), dan Rob
VanWynsberghe dan Samia Khan (Redefining Case Study; International Journal of
Qualitative Methods 6-2-Juni 2007).

Marilah kita bahas satu per-persatu dari 5 (lima) kesalahpahaman menurut Bent
Flyvbjerg tersebut.
1. Misunderstanding 1: General, theoretical (context-independent) knowledge is more
valuable than concrete, practical (context-dependent) knowledge.
Kesalahpahaman ini muncul karena adanya kepercayaan yang sangat mendalam dari
kaum positivistik bahwa teori-teori general yang sudah diakui kebenarannya selama ini
adalah yang telah dibangun dan diuji melalui berbagai penelitian, sehingga semakin
mendekati kebenaran yang mendekati mutlak. Oleh karena itu, tentu saja harus
dipadang lebih bernilai dibandingkan dengan pengetahuan yang dibangun dari
penelitian praktis dan konkret yang selama ini dilakukan melalui penelitian studi kasus
pada khususnya dan penelitian kualitatif dengan paradigma postpositivistik pada
umumnya. Sementara itu, menurut Ruddin (2006, hal 798-799), penelitian yang
bersifat praktis-konkrit memiliki keunggulan lain, yaitu bersifat evaluatif terhadap
penerapan teori-teori general tersebut yang hasilnya sangat bermanfaat bagi
perbaikan dan bahkan penemuan-penemuan baru yang lebih baik dan orisinil; dan
untuk menunjukkan pencapaian kebenaran (truth) baru yang telah dilakukan manusia
berdasarkan kepada kehidupan yang nyata. Jadi menurut pada penganut pendekatan
postpostivistik ini, penelitian kualitatif, termasuk penelitian studi kasus memiliki peran
dan posisinya tersendiri terhadap pengembangan pengetahuan.
2. Misunderstanding 2: One cannot generalize on the basis of an individual case;
therefore, the case study cannot contribute to scientific development.
Kesalahpahaman ini muncul karena adanya logika dari para penganut positivistik yang
beranggapan bahwa bagaimana mungkin satu kasus (yang dilogikakan satu kasus
sama dengan satu sampel pada penelitian kuantitatif) dapat merepresentasikan
suatu populasi yang sedemikian banyaknya. Logika ini langsung dibantah bahwa kasus
tidak dapat disamakan dengan sampel, karena pada dasarnya kasus mewakili dirinya
sendiri, bukan sebagai representasi dari suatu populasi. Oleh karena itu, obyek
penelitian yang telah dipandang sebagai kasus, harus diteliti secara komprehensif,
holistik dan menyeluruh, karena hasilnya harus dapat mendiskripsikan kasus tersebut
secara lengkap dan utuh. Hasil penelitian terhadap kasus yang menyeluruh itu sendiri
tentu saja dapat menyumbangkan pada pengembangan pengetahuan. Contohlah,
apabila selama ini pengembangan teori arsitektur benteng kolonial di Indonesia

selama ini selalu mengacu pada benteng buatan Belanda, tetapi jika arsitek telah
meneliti sebuah benteng kolonial buatan Inggris yang satu-satunya ada di Indonesia,
yaitu di Bengkulu, maka melalui hasil penelitiannya itu, ia akan menyumbangkan
pengetahuan dan bahkan teori arsitektur benteng kolonial Indonesia yang lain, yang
baru dan orisinil.
3. Misunderstanding 3: The case study is most useful for generating hypotheses; that
is, in the first stage of a total research process, whereas other methods are more
suitable for hypotheses testing and theory building.
Kesalahpahaman ini muncul karena adanya anggapan dari kaum positivistik bahwa
kasus hanya bermanfaat untuk membangun hipotesis penelitian yang dilakukan pada
bagian awal penelitian. Sedangkan, bagian yang terpenting dari penelitian adalah
menguji hipotesis dengan sampel responden yang lebih banyak. Dengan kata lain,
hasil dari penelitian studi kasus harus digeneralisasi melalui penelitian dengan
pendekatan positivistik, agar kebenaran yang dihasilkan diakui secara lebih luas.
Sesungguhnya, seperti telah dijelaskan pada kesalahpahaman nomer satu, kasus
harus dipandang sebagai sesuatu yang mewakili dirinya sendiri. Oleh karena itu,
pengetahuan dan kebenaran yang dihasilkan dari penelitian terhadap kasus tersebut
sangat melekat pada konteks kasus tersebut, sehingga tidak dapat digeneralisasikan
seperti halnya pada penelitian positivistik. Meskipun demikian, kebenaran dan
pengetahuan yang dihasilkan dari suatu penelitian studi kasus sering menjadi ilham
atau stimulan bagi para peneliti positivistik untuk melakukan penelitian kuantitatif.
4. Misunderstanding 4: The case study contains a bias toward verification, that is, a
tendency to confirm the researchers preconceived notions.
Kesalahpahaman ini muncul karena adanya tuduhan bahwa para peneliti sosial,
khususnya yang menggunakan penelitian kualitatif atau berparadigma postpositivistik
bersifat cenderung telah memiliki prasangka terlebih dahulu terhadap obyek
penelitiannya. Dengan demikian, tuduhan ini pun mengarah kepada pada peneliti studi
kasus. Hal ini segera dibantah dengan alasan bahwa setiap peneliti studi kasus akan
menggunakan berbagai sumber data yang banyak secara terperinci dan menyeluruh
yang sangat bersifat kontekstual dan kasuistis, sehingga sulit bagi penelitinya untuk
menyelaraskan prasangkanya dengan temuan-temuan di lapangannya. Disamping itu,
penggunaan berbagai metoda untuk untuk memvalidasi data di dalam penelitian studi

kasus, seperti metoda triangulasi, juga menyebabkan data dan analisis yang dilakukan
bersifat obyektif.
5. Misunderstanding 5: It is often difficult to summarize and develop general
propositions and theories on the basis of specific case studies.
Bagi para peneliti dengan paradigma positivistik, sulit rasanya untuk menerima hasil
dari penelitian atas kasus-kasus khusus (spesifik) sebagai sebuah teori. Karena khusus
(spesifik) maka teorinya pun tentu saja tidak bersifat umum. Meskipun demikian,
pengetahuan yang berhasil digali dari suatu kebenaran yang khusus-pun tetap harus
dianggap sebagai suatu pengetahuan. Dengan memperhatikan kebenaran-kebenaran
yang bersifat spesifik, lokal dan kontekstual, maka pengetahuan jadi akan lebih
berkembang secara lebih kaya. Dengan kata lain, melalui cross-case analisis, atau
melalui dialog teori, maka kebenaran-kebenaran yang berhasil diangkat melalui
penelitian kualitatif dapat memperkaya pengetahuan melalui cara, peran dan posisinya
yang tersendiri, dan bahkan dapat diangkat menjadi teori tersendiri. Yin (2009) dan
Stake (2005, 2006) telah menunjukkan bahwa hasil-hasil penelitian studi kasus yang
khusus pun dapat diangkat menjadi suatu teori.
Singkatnya, kemunculan penelitian studi kasus adalah karena adanya obyek penelitian
yang harus dipandang sebagai kasus. Hal ini berdasarkan pendapat Stake (2005)
bahwa Case study is not a methodological choice, but a choice what it is to be
studied. Jadi yang terpenting dari penelitian studi kasus adalah memilih kasus yang
sesuai dengan maksud dan tujuan penelitian.

Sumber:
http://ardhana12.wordpress.com/2008/02/08/metode-penelitian-studi-kasus/
http://penelitianstudikasus.blogspot.com/

Anda mungkin juga menyukai