dalam penyusunan desain penelitian kedua hal tersebut hendaknya sudah dapat
ditentukan, meskipun masih bersifat sementana.
Untuk dapat mengatasi kesulitan dalam menentukan orientasi teoritik pemilihan pokok
studi, terutarna dalam studi kasus, Guba dan Lincoln (1987) memberikan saran-saran
sebagai berikut: Pertama, bagi peneliti pemula hendaknya banyak membaca sebanyak
mungkin laporan-laporan kasus yang ada sehingga mereka dapat mempelajari
bagaimana para peneliti menyusunnya. Kedua, mereka hendaknya bergabung dengan
para penulis kasus yang baik untuk memahami bagaimana mereka bekerja. Ketiga,
mereka harus berlatih menulis laporan kasus, dan terakhir, mereka harus meminta
kritik-kritik yang positif dan para ahli.
kebutuhan metoda untuk meneliti secara khusus tentang obyek atau kasus yang
menarik perhatian untuk diteliti.
Pengertian dari kelompok yang pertama ini berasal dari pengertian yang
dikemukakan oleh Guba dan Lincoln (1985), lebih diperjelas oleh Stake (1994 dan
2005), kemudian dikembangkan oleh Creswell (1998, 2007) dan Dooley (2002), serta
diikuti oleh Hancock dan Algozzine (2006), yang menyatakan bahwa penelitian studi
kasus adalah penelitian yang dilakukan terhadap suatu obyek, yang disebut sebagai
kasus, yang dilakukan secara seutuhnya, menyeluruh dan mendalam dengan
menggunakan berbagai macam sumber data. Lebih khusus lagi, Stake (2005)
menyatakan bahwa penelitian studi kasus bukanlah sebuah pilihan metodologis, tetapi
sebuah pilihan untuk mencari kasus yang perlu diteiiti. Dengan kata lain, keberadaan
suatu kasus merupakan penyebab diperlukannya penelitian studi kasus. Perhatikan
pernyataan-pernyataan berikut ini:
A case study is an exploration of a bounded system or a case (or multiple cases)
over time through detailed, in-depth data collection involving multiple sources of
information rich in context (Creswell, 1988, 61).
Case study research is a qualitative research approach in which the investigator
explore a bounded system (a case) or multiple bonuded systems (cases) over time
through detailed, indepth data collection involving multiple source information (e.g.,
observations, interviews, audiovisual material, and documents and reports), and
reports a case description and case-based themes (Creswell, 2007, 73).
Case study is not a methodological choice but a choice of what to be studied
(Stake, 2005, 443).
Menurut kelompok pengertian ini, pada penelitian kualitatif, terdapat obyek penelitian
yang harus dipandang secara khusus, agar hasil penelitiannya mampu menggali
substansi terperinci dan menyeluruh dibalik fakta. Obyek penelitian yang demikian,
yang disebut sebagai kasus, harus dipandang sebagai satu kesatuan sistem dibatasi
(bounded system) yang terikat pada tempat dan kurun waktu tertentu. Sebagai sistem
tertutup, kasus terbentuk dari banyak bagian, komponen, atau unit yang saling
berkaitan dan membentuk suatu fungsi tertentu (Stake, 2005). Oleh karena itu,
dibutuhkan suatu metoda yang tepat untuk untuk dapat mengungkapkan mengapa
dan bagaimana bagian, komponen, atau unit tersebut saling berkaitan untuk
membentuk fungsi. Metoda tersebut harus mampu menggali fakta dari berbagai
sumber data, menganalisis dan menginterpretasikannya untuk mengangkat substansi
mendasar yang terdapat dibalik kasus yang diteliti. Metoda penelitian tersebut adalah
metoda penelitian studi kasus.
Oleh karena itu, tidak semua obyek dapat diteliti dengan menggunakan penelitian
studi kasus (Flyvbjerg 2006; Stake, 1995 dan 2005; Creswell, 1998). Menurut Creswell
(1998), suatu obyek dapat diangkat sebagai kasus apabila obyek tersebut dapat
dipandang sebagai suatu sistem yang dibatasi yang terikat dengan waktu dan tempat
kejadian obyek. Mengacu pada kriteria tersebut, beberapa obyek yang dapat diangkat
sebagai kasus dalam penelitian studi kasus adalah kejadian atau peristiwa (event),
situasi, proses, program, dan kegiatan (Stake, 1995; Creswell, 1998; Hancock dan
Algozzine, 2006), seperti yang dijelaskan oleh Creswell (2002) berikut ini:
menyebut metoda penelitian studi kasus sebagai salah satu strategi penelitian
kualitatif (Creswell, 1998). Kebutuhan terhadap metoda penelitian studi kasus
dikarenakan adanya keinginan dan tujuan peneliti untuk mengungkapkan secara
terperinci dan menyeluruh terhadap obyek yang diteliti. Pada pengertian yang
dikemukakanya, Yin (1984; 2003a; 2003b; 2009) tidak secara eksplisit menyebut
obyek penelitian studi kasus sebagai kasus, tetapi ia menyebut ciri-ciri dari obyek
tersebut, yang menggambarkan ciri-ciri suatu kasus. Untuk lebih jelasnya, perhatikan
kutipan berikut ini:
The case study research method as an empirical inquiry that investigates a
contemporary phenomenon within its real-life context; when the boundaries between
phenomenon and context are not clearly evident; and in which multiple sources of
evidence are used (Yin, 1984, 23; Yin, 2003a, 13).
Menurut pengertian di atas, penelitian studi kasus adalah sebuah metoda
penelitian yang secara khusus menyelidiki fenomena kontemporer yang terdapat
dalam konteks kehidupan nyata, yang dilaksanakan ketika batasan-batasan antara
fenomena dan konteksnya belum jelas, dengan menggunakan berbagai sumber data.
Dalam kaitannya dengan waktu dan tempat, secara khusus Yin (2003a; 2009)
menjelaskan bahwa obyek yang dapat diangkat sebagai kasus bersifat kontemporer,
yaitu yang sedang berlangsung atau telah berlangsung tetapi masih menyisakan
dampak dan pengaruh yang luas, kuat atau khusus pada saat penelitian dilakukan.
Secara sekilas, metoda penelitian ini sama dengan metoda penelitian kualitatif pada
umumnya. Tetapi jika penjelasan Yin (2003a) secara teoritis maupun dalam bentuk
contoh-contoh praktisnya (Yin, 2003b) dipelajari lebih seksama, maka akan didapatkan
beberapa kekhususan yang menyebabkan metoda penelitian ini memiliki perbedaan
siginifikan dengan metoda penelitian kualitatif lainnya. Pada perkembangan
penggunaanya, dibandingkan dengan kelompok yang pertama, kelompok ini lebih
banyak diikuti, karena melalui buku-bukunya, Yin dianggap mampu menjelaskan
secara terperinci kekhususan metoda penelitian studi kasus yang harus diikuti berikut
dengan contoh-contoh terapannya (Meyer, 2001).
Salah satu kekhususan penelitian studi kasus sebagai metoda penelitian adalah
pada tujuannya. Penelitian studi kasus sangat tepat digunakan pada penelitian yang
bertujuan menjawab pertanyaan bagaimana dan mengapa (Yin, 2003a, 2009)
terhadap sesuatu yang diteliti. Melalui pertanyaan penelitian yang demikian, substansi
mendasar yang terkandung di dalam kasus yang diteliti dapat digali dengan
mendalam. Dengan kata lain, penelitian studi kasus tepat digunakan pada penelitian
yang bersifat eksplanatori, yaitu penelitian yang dimaksudkan untuk menggali
penjelasan kasualitas, atau sebab dan akibat yang terkandung di dalam obyek yang
diteliti. Penelitian studi kasus tidak tepat digunakan pada penelitian eksploratori, yaitu
penelitian yang berupaya menjawab pertanyaan siapa, apa, dimana, dan seberapa
banyak, sebagaimana yang dilakukan pada metoda penelitian eksperimental (Yin,
2003a; 2009).
Kekhususan penelitian studi kasus yang lain adalah pada sifat obyek yang diteliti.
Menurut Yin (2003a; 2009), kasus di dalam penelitian studi kasus bersifat
kontemporer, masih terkait dengan masa kini, baik yang sedang terjadi, maupun telah
selesai tetapi masih memiliki dampak yang masih terasa pada saat dilakukannya
penelitian. Oleh karena itu, penelitian studi kasus tidak tepat digunakan pada
penelitian sejarah, atau fenomena yang telah berlangsung lama, termasuk kehidupan
yang telah menjadi tradisi atau budaya. Sifat kasus yang demikian juga didukung oleh
Creswell (1998) yang menyatakan bahwa penelitian studi kasus berbeda dengan
penelitian grounded theory dan phenomenologi yang cenderung berupaya meneliti
teori-teori klasik, atau defintif, yang telah mapan (definitive theories) yang terkandung
di dalam obyek yang diteliti.
Pendapat Yin (2003a; 2003b; 2009) tersebut diatas didukung oleh Dooley, (2005),
dan VanWynsberghe (2007) yang menyatakan bahwa kasus sebagai obyek penelitian
dalam penelitian studi kasus digunakan untuk memberikan contoh pelajaran dari
adanya suatu perlakuan dalam konteks tertentu. Kasus yang dipilih dalam penelitian
studi kasus harus dapat menunjukkan terjadinya perubahan atau perbedaan yang
diakibatkan oleh adanya perilaku terhadap konteks yang diteliti. Menurut mereka,
penelitian studi kasus pada awalnya bertujuan untuk mengambil lesson learned yang
terdapat dibalik perubahan yang ada, tetapi banyak penelitian studi kasus yang
ternyata mampu menunjukkan adanya perbedaan yang dapat mematahkan teori-teori
yang telah mapan, atau menghasilkan teori dan kebenaran yang baru. Untuk lebih
jelasnya, perhatikan pernyataan-pernyataan mereka berikut ini:
1. Case studies aim to give the reader a sense of being there by providing a highly
detailed, contextualized analysis of an an instance in action. The researcher
carefully delineates the instance, defining it in general terms and teasing out its
particularities (VanWynsberghe, 2007, hal. 4).
2. The case study is ideal for generalizing using the type of test that Karl Popper called
falsification, which in social science forms part of critical reflexivity. Falsification is
one of the most rigorous tests to which a scientific proposition can be subjected: If
just one observation does not fit with the proposition, it is considered not valid
generally and must therefore be either revised or rejected (Flyvbjerg, 2006, 225).
3. Case study research is one method that excels at bringing us to an understanding of
a complex issue and can add strength to what is already known through previous
research (Dooley, 2005, 335).
4. The advantages of the case study method are its applicability to reallife,
contemporary, human situations and its public accessibility through written reports.
Case study results relate directly to the common readers everyday experience and
facilitate an understanding of complex real-life situations (Dooley, 2005, 344).
Dari sifat kasusnya yang kontemporer, dapat disimpulkan bahwa penelitian studi kasus
cenderung bersifat memperbaiki atau memperbaharui teori. Dengan kata lain,
penelitian studi kasus berupaya mengangkat teori-teori kotemporer (contemporary
theories). Penelitian studi kasus berbeda dengan penelitian grounded theory,
phenomenologi dan ethnografi yang bertujuan meneliti dan mengangkat teori-teori
mapan atau definitif yang terkandung pada obyek yang diteliti (Meyer, 2001). Ketiga
jenis penelitian tersebut berupaya mengangkat teori secara langsung dari data temuan
di lapangan (firsthand data) dan cenderung menghindari pengaruh dari teori yang
telah ada. Sementara itu, penelitian studi kasus menggunakan teori yang sudah ada
sebagai acuan untuk menentukan posisi hasil penelitian terhadap teori yang ada
tersebut. Posisi teori yang dibangun dalam penelitian studi kasus dapat sekedar
bersifat memperbaiki, melengkapi atau menyempurnakan teori yang ada berdasarkan
perkembangan dan perubahan fakta terkini. Meskipun demikian, banyak hasil
penelitian studi kasus yang berhasil mamatahkan teori yang ada dan
menggantikannya dengan teori yang baru (Dooley, 2005).
Menurut Yin (2003a, 2009), posisi pemanfaatan teori yang telah ada di dalam
penelitian studi kasus dimaksudkan untuk menentukan arah dan fokus penelitian. Yin
(2003a, 2009) menyebut arahan yang dibangun pada awal proses penelitian tersebut
sebagai proposisi. Meskipun tampaknya mirip, peran dan fungsi proposisi memiliki
perbedaan yang signifikan dengan hipotesis pada penelitian kuantitatif. Jika hipotesis
merupakan jawaban sementara atas pertanyaan penelitian, proposisi dibangun bukan
untuk menetapkan jawaban sementara, tetapi merupakan arahan teoritis yang
digunakan untuk membangun protokol penelitian. Protokol penelitian adalah petunjuk
praktis pengumpulan data yang harus diikuti oleh peneliti agar penelitian terfokus
pada konteksnya. Pada proses analisis data, proposisi kembali digunakan sebagai
pijakan untuk mengetahui posisi hasil penelitian terhadap teori-teori yang ada. Dengan
mengetahui posisi tersebut, dapat ditetapkan apakah hasil penelitiannya mendukung,
memperbaiki, memperbaharui, atau bahkan mematahkan teori yang ada. Creswell
(1998) menyebut penggunaan kajian teori pada proses awal penelitian yang demikian
sebagai kajian before-end theory.
Sedikit berbeda dengan pendapat Yin diatas, Stake (1994 dan 2005) dan Creswell
(1998) menyatakan bahwa teori dapat digunakan sebagai acuan di dalam proses
analisis, setelah fakta terhadap kasus diperoleh. Kajian posisi fakta terhadap teori
dilakukan pada bagian akhir (after-end theory) tersebut dilakukan untuk menentukan
posisi hasil penelitian terhadap teori yang ada. Hal ini dimaksudkan agar pada
pengumpulan data dapat dilakukan lebih leluasa, tidak terlalu terikat pada arahan atau
prinsip-prinsip tertentu. Melalui pengumpulan data yang yang demikian, peneliti dapat
menggali dan mengkaji nilai-nilai yang berada dibalik obyek yang ditelitinya secara
lebih terperinci.
Seperti halnya Stake (1995; 2005) dan Creswell (1998), Yin (2003a; 2009)
berpendapat bahwa penelitian studi kasus menggunakan berbagai sumber data untuk
mengungkapkan fakta dibalik kasus yang diteliti. Keragaman sumber data
dimaksudkan untuk mencapai validitas dan realibilitas data, sehingga hasil penelitian
dapat diyakini kebenarannya. Fakta dicapai melalui pengkajian keterhubungan buktibukti dari beberapa sumber data sekaligus, yaitu dokumen, rekaman, observasi,
wawancara terbuka, wawancara terfokus, wawancara terstruktur dan survey lapangan.
Disamping fakta yang mendukung proposisi, fakta yang bertentangan terhadap
proposisi juga diperhatikan, untuk menghasilkan keseimbangan analisis, sehingga
obyektivitas hasil penelitian dapat terjaga.
Hingga saat ini masih terus berlangsung perdebatan tentang posisi kasus sebagai
obyek penelitian dalam penelitian kualitatif pada umumnya dan khususnya pada
penelitian studi kasus. Banyak peneliti yang memandang bahwa setiap obyek
penelitian, khususnya obyek pada penelitian kualitatif adalah kasus, Konsekuensinya,
semua penelitian kualitatif adalah penelitian studi kasus. Oleh karena itu, di dalam
banyak laporan penelitian, khususnya penelitian kualitatif, kata-kata studi kasus
banyak dicantumkan sebagai bagian dari judul. Beberapa peneliti yang sekaligus juga
penulis, seperti Stake (1994, 2005), Creswell (1998, 2007), dan Yin (1994, 2003a,
2003b, 2009) menolak anggapan demikian. Mereka berupaya menunjukkan perbedaan
antara penelitian studi kasus dengan penelitian berbasis kasus. Mereka memandang
bahwa penelitian studi kasus merupakan salah satu jenis penelitian dalam penelitian
kualitatif yang memiliki kedudukan yang sama seperti halnya dengan jenis strategi
penelitian kualitatif yang lain, seperti penelitian ethnografi, phenomenologi, grounded
theory, dan biografi (Creswell, 1998, 2007).
Secara khusus, pada tahun 1982, Yin memperkenalkan penelitian studi kasus sebagai
metoda penelitian tersendiri, yang terpisah dan berbeda dari ragam penelitian
kualitatif yang lain. Yin lebih memperjelas pendapatnya dengan menulis buku khusus
yang secara terperinci menjelaskan argumen, kriteria dan proses penelitian studi
kasus, yang telah diterbitkan hingga empat edisi yaitu pada tahun 1986, 1994, 2003,
dan 2009. Pendapat Yin tersebut mendapatkan banyak tanggapan. Sebagian besar
tidak menentangnya, tetapi cenderung mendukung dengan menambahkan argumenargumen untuk lebih mempertegas kekhususan posisi, kedudukan, dan memperjelas
arahan penggunaannya.
Pengertian Penelitian Kualitatif
Penelitian studi kasus yang dibahas pada blog ini adalah penelitian studi kasus
kualitatif. Untuk lebih memahami lebih mendalam tentang penelitian studi kasus
kualitatif tersebut, terlebih dahulu lebih baik memahami penelitian kualitatif. Berikut ini
adalah bahasan tentang pengertian penelitian kualitatif tersebut.
Banyak buku teks dan jurnal metodologi penelitian telah mengupas secara
mendalam pengertian penelitian kualitatif. Pada sub bagian ini, pembahasan
pengertian penelitian kualitatif tidak dimaksudkan untuk merangkum seluruh
pengertian tersebut. Pembahasan lebih difokuskan pada beberapa konsep dasar yang
dapat digunakan sebagai landasan untuk merumuskan karakteristik penelitian
A qualitative approach is one in which the inquirer often makes knowledge claims
based primarily on constructivist perspectives (i.e. the multiple meanings of individual
experiences, meanings socially and historically constructed, with an intent of
developing a theory or pattern) or advocacy/ participatory perspectives (i.e. political,
issue-oriented, collaborative or change oriented) or both (Creswell, 2003, hal.18).
Lebih jauh, Creswell menjelaskan bahwa di dalam penelitian kualitatif, pengetahuan
dibangun melalui interprestasi terhadap multi perspektif yang berbagai dari masukan
segenap partisipan yang terlibat di dalam penelitian, tidak hanya dari penelitinya
semata. Sumber datanya bermacam-macam, seperti catatan observasi, catatan
wawancara pengalaman individu, dan sejarah.
kehidupan manusia, kajian penelitian tidak dapat dilakukan dengan memisahkan dan
mereduksinya menjadi unit-unit yang saling terpisah, seperti yang dilakukan pada
penelitian kuantitatif. Singkatnya, mengkaji kehidupan manusia secara holistik dapat
lebih bermakna daripada melihatnya dalam kondisi terpisah-pisah. Hal tersebut seperti
dijelaskan dalam pernyataan berikut ini:
Qualitative research claims to describe lifeworlds from the inside out, from the point
of view of the people who participate. By so doing it seeks to contribute to a better
understanding of social realities and to draw attention to processes, meaning patterns
and structural features. Those remain closed to non-participants, but are also, as a
rule, not consciously known by actors caught up in their unquestioned daily routine
(Flick, Kardorff, dan Steinke, 2004, hal. 3).
Pendekatan kualitatif berasumsi bahwa manusia adalah makhluk yang aktif yang
mempunyai kebebasan berkemauan dan berkehendak, yang perilakunya hanya dapat
dipahami dalam konteks budayanya, dan perilakunya yang seringkali tidak didasarkan
oleh hukum sebab-akibat seperti yang terdapat pada hukum-hukum alam. berbeda
dengan benda yang sekedar dapat bergerak seperti yang diamati dalam penelitian
ilmu alam, manusia adalah mahkluk sosial yang dapat bertindak dan berkehendak atas
dasar berbagai alasan-alasan humanistik, sehingga seringkali tidak dapat dijelaskan
melalui pendekatan yang mekanistik. Karena pada dasarnya manusia tidak
sepenuhnya merupakan benda atau mahkluk yang mekanistis, cara-cara mekanistik
yang menggunakan pendekatan kuantifikasi tidak tepat digunakan untuk menelitinya.
Untuk mencapai hal tersebut, penelitian kualitatif lebih menekankan pada bahasa
atau linguistik sebagai sarana penelitiannya. Sarana bahasa lebih mampu untuk
mengungkapkan perasaan, nilai-nilai yang berada dibalik perilaku manusia (Lawson
dan Garrod dalam Daivid dan Sutton, 2004). Keunikan manusia sebenarnya bukanlah
terletak pada kemampuan berpikirnya, melainkan terletak pada kemampuannya
berbahasa (Suriasumantri, 2007). Bahasa merupakan cerminan ungkapan perasaan
dan nilai-nilai manusia.
Manusia hidup adalah manusia yang memiliki kemampuan untuk mengungkapkan
perasaan dan pikirannya ke dalam bentuk perbuatan dan pengunkapan linguistik, baik
lisan maupun tertulis. Tindakan dan ucapan merupakan satu kesatuan yang
dibutuhkan untuk merefleksikan perasaan dan pikiran seseorang. Jatidiri manusia pada
prinsipnya berkaitan erat dengan fungsi dirinya sebagai pemakai bahasa. Tanpa
kemampuan berbahasa yang baik, manusia tidak mampu berpikir dan mengungkapkan
hasilnya secara sistematis dan teratur.
Disamping itu, bahasa mencerminkan tradisi, nilai dan budaya masyarakat yang
menggunakannya. Makna dibalik bahasa yang digunakan suatu masyarakat
mencerminkan konteks budaya dan lingkungannya. Perilaku tindakan dan penggunaan
bahasa merupakan satu kesatuan yang membentuk norma-norma yang diciptakan
untuk mengatur kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu, melalui sarana bahasa,
penelitian kualitatif mampu mengangkat pluralisasi hubungan-hubungan sosial
kemasyarakatan secara lebih mendalam (Flick, 2002). Sarana ukuran atau angka yang
dipergunakan dalam penelitian kuantitatif memang bersifat obyektif, solid, tidak
terbantahkan dan obyektif, tetapi tidak dapat menggambarkan detail-detail penjelasan
perbedaan dalam cara memandang terhadap makna secara mendalam.
Sementara itu, meskipun penggunaan sarana bahasa di dalam penelitian
kualitatif dianggap menyebabkan hasil penelitian bersifat subyektif, tetapi biasanya
kaya akan detail makna yang berada dibalik tradisi, budaya dan perilaku manusia dan
masyarakat yang diteliti. Subyektifitas itu sendiri secara alamiah muncul karena hasil
penelitian sangat terkait dengan konteks lingkungan penelitian, sehingga memiliki
perbedaan terhadap hasil penelitian yang terdapat di tempat lain.
Agar mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang makna yang berada
dibalik obyek yang diteliti, Denzin dan Lincoln (1994) menyatakan bahwa penelitian
kualitatif harus dilaksanakan pada kondisi alami. Guba dan Lincoln (1985) menyebut
pendekatan penelitian yang demikian sebagai pendekatan naturalistik. Menurut
pendekatan ini, data penelitian harus diperoleh pada kondisi dan situasi yang
sebenarnya, atau bukan di laboratorium. Pengamatan pada lingkungan alami akan
menunjukkan hubungan antara tindakan dan linguistik digunakan dalam kondisi yang
sebenarnya secara alamiah, dengan konteks lingkungan yang mempengaruhinya. Jika
pengamatan terhadap tindakan dan bahasa dilakukan dil aboratorium, dapat
diibaratkan seperti pengamatan yang dilakukan pada sebuah panggung sandiwara.
Observasi penggunaan lingustik pada konteks alamiah yang sebenarnya dapat
mengungkapkan fungsi lingustik tidak hanya sebagai alat untuk mengungkapkan
pikiran dan perasaan seseorang, tetapi menggambarkan peran pentingnya di dalam
penelitian studi kasus pada umumnya sama dengan karakteristik penelitian kualitatif
pada umumnya. Seperti telah dijelaskan di depan, karakteristik penelitian kualitatif
dilandasi oleh tujuan utamanya yaitu untuk menggali substansi mendasar di balik fakta
yang terjadi di dunia. Secara khusus, penelitian studi kasus memiliki karakteristik yang
berbeda dibandingkan dengan jenis penelitian kualitatif yang lain. Kekhususan
penelitian studi kasus adalah pada cara pandang penelitinya terhadap obyek yang
diteliti. Dari cara pandang yang berbeda ini, menimbulkan kebutuhan metoda
penelitian yang khusus, yang berbeda dengan jenis penelitian kualitatif yang lain.
Berdasarkan pendapat Yin (2003a, 2009); VanWynsberghe dan Khan (2007); dan
Creswell (2003. 2007) secara lebih terperinci, karakteristik penelitian studi kasus dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1.
A case is, essentially, a research study with a sample of one. The one n
sample is the particular event, situation, organization, or selection of individuals that
is presented in written or other forms. It provides readers with a vehicle to discuss,
analyze, and develop criteria and potential solutions for the problems presented in
the case (Naumes dan Naumes, 2006, 7).
A case study is a problem to be studied, which will reveal an in-depth
understanding of a case or bounded system, which involves understanding an
event, activity, process, or one or more individuals (Creswell, 2002, 61).
Seperti telah dijelaskan pada bagian kajian pengertian di depan, maksud penelitian
studi kasus adalah untuk menjelaskan dan mengungkapkan kasus secara
keseluruhan dan komprehensif. Dengan demikian, kasus dapat didefinisikan secara
praktis sebagai suatu fenomena yang harus diteliti dan diinterpretasikan sebagai
satu kesatuan yang utuh dan komprehensif pada setiap variabel informasi yang
terdapat di dalamnya. Untuk lebih jelasnya, perhatikan kutipan berikut ini:
A case can be defined technically as a phenomenon for which we report and
interpret only a single measure on any pertinent variable (Eckstein, 2002, 124).
Karena penelitian studi kasus menempatkan kasus sebagai obyek penelitian yang
harus diteliti secara menyeluruh, kasus tidak dapat disamakan dengan contoh atau
sampel yang mewakili suatu populasi, seperti yang dilakukan pada penelitian
kuantitatif. Kasus mewakili dirinya sendiri secara keseluruhan pada lingkup yang
dibatasi oleh kondisi tertentu sesuai dengan maksud dan tujuan penelitian.
Pembatasan dapat dilakukan dari berbagai sudut pandang, seperti pembatasan
lokasi, waktu, pelaku dan fokus substansi. Dalam hal ini, secara khusus, Yin (2009)
menyatakan bahwa substansi yang diteliti dari suatu kasus harus dipandang dan
diposisikan sebagai unit analisis. Sebagai unit analisis, substansi yang diteliti dari
suatu kasus harus dilihat dan dikaji secara keseluruhan untuk mencapai maksud dan
tujuan penelitian. Di dalam banyak penelitian studi kasus, unit analisis penelitiannya
adalah kasus itu sendiri. Misalnya, penelitian studi kasus tentang pembangunan
jembatan di kawasan perbatasan, maka unit analisisnya adalah pembangunan
jembatan tersebut. Tetapi banyak pula penelitian studi kasus, dengan unit analisis
yang berbeda dengan kasusnya. Yin (2009) menyebut unit analisis yang demikian
sebagai unit yang tertanam (embedded unit). Misalnya, penelitian studi kasus
Meskipun demikian, banyak ahli yang menyatakan bahwa kasus juga dapat juga
dibatasi dengan menggunakan berbagai cara dan metoda yang lain, misalnya
dengan mengkaji jejak-jejak pengaruh yang disebabkan oleh keberadaan atau
terjadinya kasus tersebut. Disamping itu, pembatasan tentang suatu obyek juga
dapat dilihat dari pihak-pihak yang terlibat atau terkait dengan keberadaan atau
terjadinya kasus tersebut.
Lebih jauh, karena memandang obyek penelitian sebagai kasus, penelitian studi
kasus sering dipandang sebagai penelitian yang menggunakan jumlah obyek sedikit.
VanWynsberghe dan Khan (2007) menyebutnya sebagai penelitian dengan small-N.
Disebut jumlah N (n dengan huruf besar) yang kecil, karena meskipun memiliki
jumlah kasus atau unit analisis hanya satu, tetapi mungkin saja untuk menjelaskan
kasus tersebut membutuhkan banyak pihak yang dilibatkan sebagai informan di
dalam proses penelitiannya.
2.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kontemporer merupakan kata sifat yang
menunjukkan bahwa sesuatu ada pada waktu atau masa yang sama atau pada
masa kini. Pengertian ini menunjukkan bahwa sesuatu yang kontemporer berarti
bersifat ada pada suatu waktu atau masa tertentu.
Untuk menunjukkan sifat kontemporernya tersebut, berarti penjelasaan
tentang keberadaan sesuatu tersebut harus dibatasi dalam kerangka waktu
tertentu. Disamping dengan menggunakan waktu, pembatasan dapat dilakukan
dengan menggunakan ruang lingkup kegiatan terjadinya phenomena tersebut.
Untuk lebih jelasnya, perhatikan kutipan-kuti[an berikut ini:
A case is a factual description of events that happened at some point in the
past (Naumes dan Naumes, 2006, 4).
Case study research is also good for contemporary events when the relevant
behaviour cannot be manipulated. Typically case study research uses a variety of
evidence from different sources, such as documents, artefacts, interviews and
observation, and this goes beyond the range of sources of evidence that might be
available in historical study (Rowley, 2002, 17).
Lebih jauh, kontemporer sering dikaitkan dengan kekinian, modern atau lebih
tepatnya adalah sesuatu yang sama dengan kondisi waktu yang sama atau saat ini;
jadi sesuatu yang bersifat kontemporer adalah sesuatu yang tidak terikat oleh
aturan-aturan zaman dulu, tetapi berkembang sesuai pada masa sekarang. Sebagai
contoh, seni kontemporer adalah karya seni yang secara tematik merefleksikan
situasi waktu yang sedang dilalui, yang tidak lagi terikat pada jaman dahulu, tetapi
masih terikat dan berlaku pada masa sekarang. Lebih jauh, seni kontemporer itu
sendiri sering dipandang sebagai seni yang melawan seni yang telah mentradisi,
yang dikembangkan untuk membangkitkan wacana pemunculan indegenous art
(seni pribumi), atau khasanah seni lokal para seniman.
Obyek penelitian yang berkebalikan dengan kasus sebagai fenomena
kontemporer adalah obyek yang bersifat telah ada atau berlangsung sangat lama,
sehingga sering dipandang telah menjadi suatu budaya atau tradisi. Obyek yang
demikian diteliti dengan menggunakan strategi atau metoda penelitian kualitatif
yang lain, seperti grounded theory, phenomenologi, biografi atau ethnografi.
Seringkali, penelitian tentang obyek yang telah tua tersebut bertujuan untuk
menggali nilai-nilai kehidupan yang berada dibalik kehidupan masyarakat.
3.
hipotesis, seperti halnya yang dilakukan pada paradigma deduktif atau positivistik
(VanWynsberghe dan Khan, 2007; Eckstein, 2002; Lincoln dan Guba, 2000). Pada
bagian tengah, teori dipergunakan untuk menentukan posisi temuan-temuan
penelitian terhadap teori yang ada dan telah berkembang (Creswell, 2003, 2007).
Sedangkan pada bagian belakang, teori dipergunakan untuk menentukan posisi
hasil keseluruhan penelitian terhadap teori yang ada dan telah berkembang
(Creswell, 2003, 2007).
Melalui pemanfaatan teori tersebut, peneliti studi kasus dapat membangun
teori yang langsung terkait dengan kondisi kasus yang ditelitinya. Kesimpulan
konseptual dan teoritis yang dibangun melalui penelitian studi kasus dapat lebih
bersifat alamiah, karena sifat dari kasus yang alamiah seperti apa adanya tersebut.
Untuk lebih jelasnya, perhatikan kutipan berikut ini:
Researchers can generate working hypotheses and learn new lessons based on
what is uncovered or constructed during data collection and analysis in the case
study. The entity or phenomenon under study emerges throughout the course of the
study, and it is this surfacing that can bring the study to a natural conclusion
(VanWynsberghe dan Khan, 2007, 4).
Paradigma Penelitian pada Penelitian Studi Kasus
Untuk memperjelas posisinya di dalam dunia penelitian ilmiah, peneliti yang
menggunakan metoda penelitian studi kasus harus mengetahui dan memahami
paradigma yang memayungi metoda yang dipergunakannya tersebut. Dengan
memahami posisinya tersebut, peneliti dapat menempatkan penelitiannya dan
pemikiran-pemikirannya pada posisi yang tepat dan memiliki alasan-alasan atas setiap
pertanyaan yang berkaitan dengan posisinya tersebut. Bagian ini adalah kajian
tentang paradigma penelitian yang menaungi atau menjadi landasan pemikiran
metoda penelitian studi kasus. Adapun jenis-jenis paradigma penelitian yang
digunakan adalah pada 2 (dua) paradigma penelitian besar, seperti yang telah
dijelaskan pada bagian penelitian kualitatif di depan, yaitu: 1) paradigma positivitistik,
2) paradigma non-positistivistik atau postpositivistik. Lebih jauh, di dalam uraian yang
telah dijelaskan di depan, paradigma postpositivistik dapat dibagi lagi menjadi 2 (dua)
kelompok, yaitu paradigma interpretif atau konstruktivistik, dan teori kritis.
serta dapat menghasilkan dan menguji hipotesis tentang dunia nyata yang mereka
teliti. Hipotesis tersebut dibangun dengan menggunakan logika deduktif. Teori dan
pengetahuan yang telah berkembang sebelumnya dikaji oleh peneliti untuk
membangun dan mengembangkan pengetahuannnya sendiri tentang substansi
penelitiannya. Pengetahuannya tersebut dipergunakannya sebagai landasan untuk
menetapkan hipotesis. Hipotesis ini kemudian diuji dengan menggunakan bukti empiris
dari data-data hasil pengumpulan datanya di lapangan.
Secara khusus, di dalam banyak penelitian studi kasus, teori dibutuh untuk
membangun dan mengembangkan proposisi penelitian. Proposisi penelitian bersifat
seperti hipotesis, tetapi lebih bersifat komprehensif karena tidak hanya merupakan
jawaban sementara atas pertanyaan penelitian, tetapi juga konsep diskripsi kasus
yang diteliti secara menyeluruh berdasarkan pengetahuan atau teori yang ada. Dalam
hal ini, teori untuk membangun proposisi di dalam penelitian studi kasus dibutuhkan
apabila peneliti memandang kasus yang ditelitinya memiliki posisi yang penting di
dalam pengembangan pengetahuan atau teori yang telah ada. Dengan kata lain,
kebenaran yang terkandung di dalam kasus tersebut dapat mempengaruhi kebenaran
yang ada di dalam teori-teori yang telah diakui kebenarannya.
Penelitian studi kasus juga dapat dilakukan dalam paradigma interpretif
(VanWynsberghe dan Khan, 2007). Paradigma interpretif merupakan paradigma yang
memandang bahwa kebenaran, realitas atau kehidupan nyata tidak memiliki satu sisi,
tetapi dapat memiliki banyak sisi, sehingga dapat dikaji dari berbagai sudut pandang.
Paradigma ini menolak adanya anggapan bahwa kebenaran atau pengetahuan yang
telah ada harus selalu diverifikasi, sehingga kelak suatu kebenaran yang tunggal dapat
tercapai dan terbangun. Paradigma ini memandang bahwa realita dunia ini terdiri dari
banyak kebenaran yang saling terkait. Untuk mengungkapkan kebenaran-kebenaran
tersebut dan keterkaitannya, manusia harus memiliki kemampuan untuk
menginterpretasikan atau menafsirkan setiap fenomena yang dapat ditangkap oleh
inderawinya.
Penelitian studi kasus menggunakan paradigma interpretif apabila penelitinya
memandang obyek yang ditelitinya memiliki keunikan tersendiri dan mengandung
kebenaran yang orisinil, sehingga memposisikannya sebagai kasus yang ditelitinya
sebagai kasus. Keunikan tersebut seringkali muncul karena keterikatan obyek
bahwa paradigma penelitian yang menaungi penelitian studi kasus pada era
perkembangan yang pertama adalah paradigma hermeunitik (hermeunitics).
Paradigma hermenitik menekankan pada upaya manusia untuk mengiterpretasikan
segala sesuatu yang ada di dunia dengan kemampuannya sendiri. Akar kata
hermeneutik dalam Bahasa Yunani dalah hermeneuein, yang berarti menafsirkan,
yang dalam bentuk kata bendanya hermeneid yang berarti tafsir, penafsiran atau
interpretasi. Dalam perwujudan praktisnya, metoda hermeneutik adalah cara-cara
untuk menafsirkan simbol-simbol yang terwujud dalam teks atau bentuk-bentuk
lainnya. Oleh karena itu, secara singkat dapat dikatakan bahwa paradigma hermeunitik
adalah ragam lagi dari penamaan untuk paradigma postpositivistik, konstruktivistik
atau interpretif. Melalui paradigma hermeunitik, generasi perkembangan pertama
metoda penelitian studi kasus terwujud pada penelitian antropologis atau penelitian
lapangan.
Pada perkembangan selanjutnya, yaitu pada perkembangan generasi kedua, pada era
tahun 1990-an, 2000-an, hingga sekarang, penelitian studi kasus terbagi menjadi 2
(dua) aliran dengan paradigma yang berbeda. Aliran pertama adalah penelitian studi
kasus yang tetap berdasarkan pada paradigma hermeunitik atau postpositivistik, yang
didorong oleh pendapat Stake, Patton dan Flyvbjerg. Jika dikembangkan lagi, termasuk
diikuti oleh Creswell dan Dooley. Sedangkan aliran yang kedua adalah penelitian studi
kasus yang dikembangkan dengan menggunakan paradigma positivistik, yang
dikembangkan oleh Yin. Untuk lebih jelasnya, perhatikan kutipan gambar berikut ini:
Sementara itu, Creswell (2007) menyatakan bahwa jenis-jenis penelitian studi kasus
ditentukan berdasarkan batasan dari kasus, seperti seorang individu, beberapa
individu, sekelompok, sebuah program atau sebuah kegiatan. Disamping itu, jenis-jenis
tersebut dapat ditentukan berdasarkan penentuan maksud dari analisis kasusnya.
Penjelasan Creswell tentang jenis-jenis penelitian studi kasus secara umum mirip
dengan Stake (2005), karena memang berpedoman kepada penjelasan Stake.
Berdasarkan maksud analisis kasusnya tersebut, Creswell (2007), membagi penelitian
studi kasus dapat dibagi menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu:
1. Penelitian studi kasus intrumental tunggal
Penelitian studi kasus instrumental tunggal (single instrumental case study) adalah
penelitian studi kasus yang dilakukan dengan menggunakan sebuah kasus untuk
menggambarkan suatu isu atau perhatian. Pada penelitian ini, penelitinya
memperhatikan dan mengkaji suatu isu yang menarik perhatiannya, dan
menggunakan sebuah kasus sebagai sarana (instrumen) untuk menggambarkannya
secara terperinci.
2. Penelitian studi kasus jamak
Penelitian studi kasus jamak (collective or multiple case study) adalah penelitian studi
kasus yang menggunakan banyak (lebih dari satu) isu atau kasus di dalam satu
penelitian. Penelitian ini dapat terfokus pada hanya satu isu atau perhatian dan
memenfaatkan banyak kasus untuk menjelaskannya. Disamping itu, penelitian ini juga
dapat hanya menggunakan satu kasus (lokasi), tetapi dengan banyak isu atau
perhatian yang diteliti. Pada akhirnya, penelitian ini juga dapat bersifat sangat
kompleks, karena terfokus pada banyak isu atau perhatian dan menggunakan banyak
kasus untuk menjelaskannya. Yin (2003a, 2009) mengatakan bahwa untuk melakukan
penelitian studi kasus jamak ini, dapat menggunakan penelitian replikasi yang logis,
yaitu dengan menggunakan suatu prosedur yang sama yang diberlakukan untuk setiap
isu atau kasus. Peneliti kemudian melakukan generalisasi pada setiap isu atau kasus
dan memperbandingkannya pada akhir kajian.
3. Penelitian studi kasus mendalam
Penelitian studi kasus mendalam (intrinsic case study) adalah penelitian yang
dilakukan pada suatu kasus yang memiliki kekhasan dan keunikan yang tinggi. Fokus
penelitian ini adalah pada kasus itu sendiri, baik sebagai lokasi, program, kejadian atau
kegiatan. Penelitian studi kasus mendalam ini mirip dengan penelitian naratif yang
telah dijelaskan di depan, tetapi memiliki prosedur kajian yang lebih terperinci kepada
kasus dan kaitannya dengan lingkungan disekitarnya secara terintegrasi dan apa
adanya. Lebih khusus lagi, penelitian studi kasus mendalam merupakan penelitian
yang sangat terikat pada konteksnya, atau dengan kata lain sangat terikat pada
lokusnya (site-case).
Pendapat Stake (2005) dan Creswell (2007) di atas jika digambarkan secara
diagramatis, dapat dilihat pada gambar di bawah. Pada gambar tersebut juga
dillustrasikan dengan contoh judul-judul yang menggambarkan isi dari masing-masing
jenis. Contoh penelitian studi kasus mendalam yang diberikan dengan judul
Kemacetan Lalu-lintas di Kawasan Malioboro, Yogyakarta, menunjukan adanya
keterpaduan antara kasus dengan lokasi penelitiannya. Sementara itu, contoh untuk
penelitian studi kasus instrumental tunggal yang berjudul Kemacetan Lalu Lintas di
Yogyakarta, Studi Kasus: Kawasan Malioboro, dan contoh jamaknya adalah
Kemacetan Lalu Lintas di Yogyakarta, Studi Kasus: Kawasan Gejayan dan Malioboro,
menunjukkan adanya penggunaan istilah studi kasus. Penggunaan istilah tersebut
secara khusus untuk menunjukkan bahwa kasus yang dipergunakan bersifat sebagai
sarana (instrumen) pembukti atas konsep atau teori peneliti. Untuk lebih jelasnya,
perhatikan gambar berikut ini:
Gambar: Diagram Jenis-jenis Penelitian Studi Kasus Menurut Stake (2005) dan Creswell
(2007) (Sumber: Ilustrasi penulis atas penjelasan Stake (2005) dan Creswell (2007)
Sementara itu, Yin (2003a, 2009) membagi penelitian studi kasus secara umum
menjadi 2 (dua) jenis, yaitu penelitian studi kasus dengan menggunakan kasus tunggal
dan jamak/ banyak. Disamping itu, ia juga mengelompokkannya berdasarkan jumlah
unit analisisnya, yaitu penelitian studi kasus holistik (holistic) yang menggunakan satu
unit analisis dan penelitian studi kasus terpancang (embedded) yang menggunakan
beberapa atau banyak unit analisis. Penelitian studi kasus disebut terpancang
(embedded), karena terikat (terpancang) pada unit-unit analisisnya yang telah
ditentukan. Unit analisis itu sendiri dibutuhkan untuk lebih memfokuskan penelitian
pada maksud dan tujuannya. Penentuan unit analisis ditentukan melalui kajian teori.
Sementara itu, pada penelitian studi kasus holistik, penelitian dilakukan lebih bebas
dan terfokus pada kasus yang diteliti dan tidak terikat pada unit analisis, karena unit
analisisnya menyatu dalam kasusnya itu sendiri.
Jika dikaitkan antara kedua cara pengelompokkan tersebut, maka jenis-jenis penelitian
studi kasus dapat disusun ke alam suatu matriks 2 x 2. Dengan demikian, menurut Yin
(2003a, 2009), penelitian studi kasus dapat terdiri dari 4 (empat) jenis. Untuk lebih
jelasnya, hubungan antar kedua pengelompokkan tersebut, perhatikan gambar matriks
jenis-jenis penelitian studi kasus berikut ini:
Gambar: Jenis-jenis Dasar Penelitian Studi Kasus (Sumber: Yin, 2009, 46)
Pada gambar di atas dapat dilihat bahwa terdapat 4 (empat) jenis penelitian studi
kasus, yaitu:
1.
menjelaskan bahwa terdapat 5 (lima) alasan untuk menggunakan hanya satu kasus
di dalam penelitian studi kasus, yaitu:
a) Kasus yang dipilih mampu menjadi bukti dari teori yang telah dibangun dengan
baik. Teori yang dibangun memiliki proposisi yang jelas, yang sesuai dengan
kasus tunggal yang dipilih sehingga dapat dipergunakan untuk membuktikan
kebenarannya.
b) Kasus yang dipilih merupakan kasus yang ekstrim atau unik. Kasus tersebut
dapat berupa keadaan, kejadian, program atau kegiatan yang jarang terjadi, dan
bahkan mungkin satu-satunya di dunia, sehingga layak untuk diteliti sebagai
suatu kasus.
c) Kasus yang dipilih merupakan kasus tipikal atau perwakilan dari kasus lain yang
sama. Pada dasarnya, terdapat banyak kasus yang sama dengan kasus yang
dipilih, tetapi dengan maksud untuk lebih menghemat waktu dan biaya,
penelitian dapat dilakukan hanya pada satu kasus saja, yang dipandang mampu
menjadi representatif dari kasus lainnya.
d) Kasus dipilih karena merupakan kesempatan khusus bagi penelitinya.
Kesempatan tersebut merupakan jalan yang memungkinkan peneliti untuk dapat
meneliti kasus tersebut. Tanpa adanya kesempatan tersebut, peneliti mungkin
tidak memiliki akses untuk melakukan penelitian terhadap kasus tersebut.
e) Kasus dipilih karena bersifat longitudinal, yaitu terjadi dalam dua atau lebih
pada waktu yang berlainan. Kasus yang demikian sagat tepat untuk penelitian
yang dimaksudkan untuk membuktikan terjadinya perubahan pada suatu kasus
akibat berjalannya waktu.
Sementara itu, perbedaan antara penelitian studi kasus holistik (jenis 1) dan
terpancang (jenis 2) adalah pada jumlah unit analisis yang digunakan. Pada jenis
yang pertama, jumlah unit analisis yang digunakan pada umumnya hanya satu atau
bahkan sama sekali unit analisisnya tidak dapat dijelaskan, karena terintegrasi
dengan kasusnya. Dalam penelitian studi kasus yang demikian, unit analisis tidak
dapat ditentukan karena kasus tersebut juga sekaligus merupakan unit analisis dari
penelitian.
Sedangkan jenis yang kedua, penelitian studi kasus terpancang memiliki unit
analisis lebih dari satu. Hal ini dapat terjadi karena didasari oleh hasil kajian teori
yang menuntut adanya lebih dari satu unit analisis. Tuntutan penggunaan lebih dari
satu unit analisis biasanya disebabkan oleh tujuan penelitian yang ingin
menjelaskan hubungan secara komprehensif dan detail setiap bagian dari kasus
secara lebih mendalam. Hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa semakin banyak
jenis unit analisis yang digunakan, sifat alamiah penelitian akan semakin kabur,
karena cenderung menjadi penelitian yang terikat pada keberadaan unit analisisnya.
2.
Gambar 10: Jenis-jenis Penelitian Studi Kasus Menurut Yin (2003a, 2009) (Sumber: Yin,
2009, 46)
Penjelasan penelitian studi kasus tunggal holistik menurut Yin (2003a, 2009) di atas
mirip dengan jenis penelitian studi kasus mendalam yang dijelaskan oleh Stake
(2005) dan Crewell (2007). Jenis penelitian ini pada dasarnya menempatkan kasus
sebagai obyek penelitian yang perlu diteliti untuk mengungkapkan esensi mendalam
yang terdapat di balik kasus, tanpa terikat pada unit analisis, karena unit analisis
penelitian ini menyatu dengan kasusnya.
Sementara itu, penelitian kasus jamak menurut Yin (2003a, 2009), khususnya yang
bersifat holistik mirip dengan penjelasan penelitian studi kasus jamak yang
dijelaskan oleh Stake (2005) dan Crewell (2007). Yang menarik adalah adanya
penelitian studi kasus terpancang yang dijelaskan oleh Yin (2003a, 2009), yang tidak
dijelaskan oleh Stake (2005) dan Crewell (2007). Keberadaan penelitian studi kasus
terpancang ini sebenarnya menunjukkan bahwa penelitian studi kasus dapat
diarahkan pada fokus tertentu, sesuai dengan maksud dan tujuan penelitian, yaitu
dengan menggunakan unit analisis. Jadi, unit analisis sebenarnya merupakan bentuk
upaya dari pengarahan penelitian studi kasus tersebut. Unit analisis itu ditentukan
melalui kajian teori. Dengan demikian, penelitian studi kasus terpancang merupakan
penelitian studi kasus yang menggunakan paradigma positivistik.
fisik kasus, dan berbagai hal lain yang berkaitan dan mempengaruhi kasus harus
diteliti, agar tujuan untuk menjelaskan dan memahami keberadaan kasus tersebut
dapat tercapai secara menyeluruh dan komprehensif.
Secara khusus, berkaitan dengan karakteristik kasus sebagai obyek penelitian,
VanWynsberghe dan Khan (2007) menjelaskan bahwa tujuan penelitian studi kasus
adalah untuk memberikan kepada pembaca laporannya tentang rasanya berada dan
terlibat di dalam suatu kejadian, dengan menyediakan secara sangat terperinci
analisis kontekstual tentang kejadian tersebut. Untuk itu, peneliti studi kasus harus
secara hati-hati menggambarkan kejadian tersebut dengan memberikan pengertian
dan hal-hal yang lainnya dan menguraikan kekhususan dari kejadian tersebut. Untuk
lebih jelasnya, perhatikan kutipan berikut ini:
Case studies aim to give the reader a sense of being there by providing a highly
detailed, contextualized analysis of an an instance in action. The researcher carefully
delineates the instance, defining it in general terms and teasing out its particularities
(VanWynsberghe dan Khan, 2007, 4).
Sementara itu, Doodley (2005) menyatakan bahwa penelitian studi kasus merupakan
metoda penelitian yang mampu membawa pemahaman tentang isu yang kompleks
dan dapat memperkuat pemahaman tentang pengetahuan yang telah diketahui
sebelumnya. Kelebihan dari metoda penelitian studi kasus adalah pada
kemampuannya untuk mengungkapkan kehidupan nyata yang kontemporer, situasi
kemanusiaan, dan pandangan umum melalui tentang suatu kasus, melalui laporanlaporan penelitinya. Hasil penelitian studi kasus dapat menghubungkan secara
langsung antara pengalaman pembacanya yang awam dengan kasus terlihat sangat
kompleks, dan memfasilitasi pemahaman tentang situasi keadaan nyata yang
kompleks tersebut untuk lebih mudah dipahami oleh mereka. Untuk lebih jelasnya,
perhatikan kutipan-kutipan berikut ini:
Case study research is one method that excels at bringing us to an understanding of a
complex issue and can add strength to what is already known through previous
research (Dooley, 2005, 335).
The advantages of the case study method are its applicability to reallife,
contemporary, human situations and its public accessibility through written reports.
Case study results relate directly to the common readers everyday experience and
facilitate an understanding of complex real-life situations (Dooley, 2005, 344).
Secara filosofis, berkaitan dengan kasus sebagai obyek yang memiliki kekhususan,
Flyvbjerg (2006) menjelaskan bahwa penelitian studi kasus adalah penelitian yang
sangat ideal untuk membuktikan filosofi Karl Popper tentang fasifikasionisme, yang
menyatakan perlunya pandangan kritis terhadap setiap fenomena dan kejadian.
Penganut faham fasifikasionisme itu sendiri selalu melihat fenomena sosial secara
kritis, dengan berupaya mengungkapkan kesalahan-kesalahan yang berada dibaliknya,
sebagai masukan untuk perbaikan dan penyempurnaan selanjutnya. Penelitian studi
kasus dapat menyediakan kasus-kasus yang dapat menunjukkan kesalahan atau
ketidaksempurnaan, sebagai masukan untuk tindakan berikutnya. Untuk lebih jelasnya,
perhatikan kutipan berikut ini:
The case study is ideal for generalizing using the type of test that Karl Popper called
falsification, which in social science forms part of critical reflexivity. Falsification is
one of the most rigorous tests to which a scientific proposition can be subjected: If just
one observation does not fit with the proposition, it is considered not valid generally
and must therefore be either revised or rejected (Flyvbjerg, 2006, 225).
Pada akhirnya, menurut Lincoln dan Guba (1985), penelitian studi kasus adalah
penelitian yang berupaya untuk mengungkapkan berbagai pelajaran yang berharga
(best learning practices) yang diperoleh dari pemahaman terhadap kasus yang diteliti.
Pelajaran tersebut meliputi tentang bagaimana masalah kasus yang sebnarnya;
bagaimana kaitan kasus dengan konteks lingkungan dan bidang keilmuannya; apa
teori yang terkait dengannya; apa dan bagaimana keterkaitan isu (unit analisis) yang
ada di dalamnya; dan akhirnya apa pelajaran yang dapat diambil untuk memperbaiki
dan menyempurnakan langkah kehidupan manusia ke depan.
dapat terjadi karena perbedaan paradigma yang digunakan di dalam penelitian studi
kasus.
Dari kesimpulan pembahasan terhadap paradigma dan jenis-jenis penelitian studi
kasus, dapat diketahui bahwa pada dasarnya penelitian studi kasus dapat
dikelompokkan menjadi dua. Yang pertama adalah adalah penelitian studi kasus yang
menggunakan paradigma postpositivistik. Jenis penelitian studi kasus ini lebih
menekankan pada kasus sebagai obyek yang holistik sebagai fokus penelitian, seperti
yang sring dijelaskan oleh Stake (2005) dan Creswell (2007). Sedangkan yang lain
adalah penelitian studi kasus yang menggunakan paradigma penelitian positivistik.
Penelitian studi kasus ini secara umum ditandai dengan penggunaan kajian literatur
atau teori pada penelitiannya. Jenis penelitian ini khususnya adalah penelitian studi
kasus terpancang (embedded) yang terikat pada penggunaan unit analisis, seperti
yang ditunjukkan dan dijelaskan oleh Yin (2003a, 2009).
Sesuai dengan pendapatnya, yaitu bahwa proses penelitian studi kasus adalah
penelitian yang terfokus pada kasus yang diteliti, Stake (2005) menekankan pada
pentingnya kasus pada setiap tahapan proses penelitian studi kasus. Berdasarkan
pendapatnya tersebut, Stake (2005, 2006) menjelaskan proses penelitian studi kasus
adalah sebagai berikut:
1. Menentukan dengan membatasi kasus. Tahapan ini adalah upaya untuk memahami
kasus, atau dengan kata lain membangun konsep tentang obyek penelitian yang
diposisika sebagai kasus. Dengan mengetahui dan memahami kasus yang akan
diteliti, peneliti tidak akan salah atau tersesat di dalam menentukan kasus
penelitiannya. Pada proposal penelitian, bentuknya adalah latar belakang penelitian.
2. Memilih fenomena, tema atau isu penelitian. Pada tahapan ini, peneliti membangun
pertanyaan penelitian berdasarkan konsep kasus yang diketahuinya dan latar
belakang keinginannya untuk meneliti. Pertanyaan penelitian dibangun dengan
sudah mengandung fenomena, tema atau isu penelitian yang dituju di dalam proses
pelaksanaan penelitian.
3. Memilih bentuk-bentuk data yang akan dicari dan dikumpulkan. Data dan bentuk
data dibutuhkan untuk mengembangkan isu di dalam penelitian. Penentuan data
yang dipilih disesuaikan dengan karakteristik kasus yang diteliti. Pada umumnya
4. Melakukan kajian triangulasi terhadap kunci-kunci pengamatan lapangan, dan dasardasar untuk melakukan interpretasi terhadap data. Tujuannya adalah agar data yang
diperoleh adalah benar, tepat dan akurat.
5. Menentukan interpretasi-interpretasi alternatif untuk diteliti. Alternatif interpretasi
dibutuhkan untuk menentukan interpretasi yang sesuai dengan kondisi dan keadaan
kasus dengan maksud dan tujuan penelitian. Setiap interpretasi dapat
menggambarkan makna-makna yang terdapat di dalam kasus, yang jika
diintegrasikan dapat menggambarkan keseluruhan kasus.
6. Membangun dan menentukan hal-hal penting dan melakukan generalisasi dari hasilhasil penelitian terhadap kasus. Stake (2005, 2006) selalu menekankan tentang
pentingnya untuk selalu mengeksploasi dan menjelaskan hal-hal penting yang khas
yang terdapat di dalam kasus. Karena pada dasarnya kasus dipilih karena
diperkirakan mengandung kekhususannya sendiri. Sedangkan generalisasi untuk
menunjukkan posisi hal-hal penting atau kekhususan dari kasus tersebut di dalam
peta pengetahuan yang sudah terbangun.
Berdasarkan pendapat Stake (1995, 2005, dan 2006), Creswell (2007) menjelaskan
proses penelitian studi kasus secara lebih sederhana dan praktis, adalah sebagai
berikut:
1. Tahapan pertama yang harus dilakukan oleh peneliti adalah menentukan apakah
pendekatan penelitian kasus yang akan dipergunakan telah sesuai dengan masalah
penelitiannya. Suatu studi kasus menjadi pendekatan yang baik adalah ketika
penelitinya mampu menentukan secara jelas batasan-batasan kasusnya, dan
memiliki pemahaman yang mendalam terhadap kasus-kasusnya, atau mampu
melakukan perbandingan beberapa kasus.
2. Peneliti mengidentifikasikan kasus atau kasus-kasus yang akan ditelitinya. Kasus
tersebut dapat berupa seorang individu, beberapa individu, sebuah program,
sebuah kejadian, atau suatu kegiatan. Untuk melakukan penelitian studi kasus,
Creswell (2007) menyarankan penelitinya untuk mempertimbangkan kasus-kasus
yang berpotensi sangat baik dan bermanfaat. Kasus tersebut dapat berjenis tunggal
atau kolektif; banyak lokasi atau lokasi tunggal; terfokus pada kasusnya itu sendiri
atau pada isu yang ingin diteliti (intrinsic atau instrumental) (Stake, 2005; Yin,
2009). Creswell (2007) juga menyarankan bahwa untuk menentukan kasus dapat
mempertimbangkan berbagai alasan atau tujuan, seperti kasus sebagai potret
(gambaran contoh yang bermanfaat maksimal); kasus biasa; kasus yang terjangkau;
kasus yang berbeda dan sebagainya.
3. Melakukan analisis terhadap kasus. Analisis kasus dapat dilakukan dalam 2 (dua)
jenis, yaitu analisis holistik (holistic) terhadap kasus, atau analisis terhadap aspek
tertentu atau khusus dari kasus (embedded) (Yin, 2009). Melalui pengumpulan data,
suatu penggambaran yang terperinci akan muncul dari kajian peneliti terhadap
sejarah, kronologi terjadinya kasus, atau gambaran tentang kegiatan dari hari-ke
hari dari kasus tersebut.
Setelah menggambarkan secara holistik, kajian dilakukan lebih terperinci pada
beberapa kunci atau tema yang terdapat di balik kasus, yang dilakukan dengan
maksud tidak untuk melakukan generalisasi, tetapi lebih banyak untuk
mengungkapkan kompleksitas kasus. Caranya dapat dilakukan dengan mengkaji isuisu yang membentuk kasus, yang diikuti dengan menggali tema-tema yang berada
di balik isu tersebut. Kajian ini bersifat sangat kaya terhadap penjelasan tentang
konteks atau seting dari kasus tersebut (Yin, 2009). Ketika melakukan penelitian
studi kasus jamak, format kajian pertama yang dilakukan adalah kajian terhadap
setiap kasus terlebih dahulu untuk mengambarkan isu-isunya dan tema-temanya
secara terperinci, yang disebut sebagai within-case analysis (Yin 2009). Selanjutnya,
tema-tema hasil kajian per-kasus dikaji saling-silangkan dengan menggunakan
analisis saling-silang kasus, atau yang disebut sebagai sebuah cross-case analysis,
dan melakukan pemaknaan serta mengintegrasikan makna-makna yang berhasil
digali dari kasus-kasus tersebut.
penelitian studi kasus mendalam (intrinsic case study research). Menurut Lincoln
dan Guba (1985), tahapan ini disebut sebagai tahapan untuk menggali
pembelajaran terbaik yang dapat diambil dari kasus yang diteliti.
Berdasarkan penjelasan proses penelitian studi kasus yang dijelaskan oleh Creswell
(1998), Hancock dan Algozzine (2006) memberikan pandangan mereka tentang proses
penelitian studi kasus. Meskipun demikian, pada kenyataannya, penjelasannya mereka
relatif jauh berbeda dengan konsep proses penelitian studi kasus Creswell (1998) yang
cenderung berdasarkan paradigma postpostivistik. Sementara itu, mereka lebih
cenderung memandang penelitian studi kasus sebagai penelitian yang berdasarkan
kepada paradigma positivistik, karena menempatkan kajian teori pada bagian awal
penelitian. Berikut ini adalah penjelasan Hancock dan Algozzine (2006) tentang proses
penelitian studi kasus, sebagai berikut:
1. Mempersiapkan panggung. Tahapan ini adalah tahapan pertama yang harus
dilakukan oleh seorang peneliti studi kasus. Tahapan ini bertujuan untuk
mempersiapkan berbagai hal yang perlu diketahui sebagai bekal peneliti untuk
melakukan penelitian studi kasus. Persiapan tersebut meliputi pengetahuan dan
ketrampilan peneliti di dalam menjalankan penelitian studi kasus. Hancock dan
Algozzine (2006) menyarankan untuk memahami karakteristik penelitian studi
kasus, sehingga peneliti dapat memastikan bahwa pendekatan dan metoda
penelitian studi kasus adalah tepat untuk penelitiannya.
2. Menentukan apa yang telah diketahui. Tahapan ini dilakukan dengan melakukan
kajian teori dari literatur. Tujuannya adalah untuk membangun konsep dasar
penelitian, menentukan pentingnya penelitian; pertanyaan penelitian; mengkaji
kelebihan dan kelemahan pendekatan dan metoda penelitian lain yang pernah
dipergunakan untuk meneliti isu atau kasus yang sama; penentuan pendekatan dan
metoda penelitian studi kasus; menentukan gaya atau bentuk yang akan
dipergunakan oleh peneliti untuk mengembangkan pengetahuan yang berkaitan
dengan pertanyaan penelitian. Untuk mencapai tujuan tersebut, peneliti
menggunakan teori sebagai pengetahuan yang terdapat di dalam litreratur sebagai
acuannya. Untuk lebih jelasnya, perhatikan kutipan berikut ini:
Your purposes in reviewing the literature are to establish the conceptual foundation
for the study, to define and establish the importance of your research question, to
identify strengths and weaknesses of models and designs that others have used to
study it, and to identify the style and form used by experts to extend the knowledge
base surrounding your question (Hancock dan Algozzine, 2006, 26).
3. Menentukan rancangan penelitian. Pada tahapan ini, peneliti menentukan
rancangan penelitian yang tepat terhadap maksud dan tujuan penelitiannya, serta
khususnya terhadap kasus yang ditelitinya. Di dalam menentukan rancangan
penelitian, hal perlu dilakukan adalah menentukan jenis penelitian studinya. Jenisjenis tersebut dapat berupa apakah penelitian studi kasus yang dipilih berupa
penelitian studi kasus tunggal, majemuk, mendalam, holistik, dan sebagainya. Untuk
menentukan hal tersebut, Hancock dan Algozzine (2006) menyarankan untuk
mempertimbangkan fungsi kasus di dalam penelitian, apakah sebagai lokus atau
instrumen; karakteristik penelitiannya, seperti mengungkapkan, menggambarkan
atau menjelaskan sesuatu; dan disiplin ilmu dari penelitiannya. Jenis penelitian studi
kasus yang dipilih akan menentukan rancangan penelitiannya, termasuk jenis data
yang dibutuhkan, metoda pengumpulan data, dan metoda analisisnya.
4. Mengumpulkan informasi melalui wawancara. Pada tahapan ini, peneliti melakukan
pengumpulan data, khususnya melalui metoda wawancara. Wawancara merupakan
metoda utama di dalam penelitian studi kasus kualitatif pada khususnya, dan
pendekatan penelitian kualitatif pada umumnya. Bentuk-bentuk wawancara dapat
berupa wawancara individu maupun kelompok. Untuk melakukan tahapan ini,
peneliti harus mempersiapkan panduan wawancara, yang dikembangkan dai hasil
kajian literatur. Disamping itu, peneliti juga harus menentukan sumber informasi dan
teknik-teknik wawancara. Pelaksanaan wawancara dilakukan pada saat sumber
informan di lokasi sebagaimana ia melakukan kegiatan sehari-harinya.
5. Mengumpulkan informasi melalui pengamatan lapangan. Pada tahapan ini, peneliti
melakukan pengamatan terhadap berbagai obyek pada kondisi nyata di kejadian
sehari-harinya. Obyek yang diamati bermacam-maca, dapat berupa kondisi
lingkungan kasus, individu atau kelompok orang yang sedang melakukan kegiatan
yang terkait dengan unit analisis, dan operasionalisasi suatu peralatan. Di dalam
pengamatannya, peneliti mencatat dan memberikan tema atas obyek atau kejadian
yang diamatinya.
6. Merumuskan dan menginterpretasikan informasi. Pada tahapan ini, peneliti
melakukan perumusan dan interpretasi atas informasi yang dilakukannya. Seperti
halnya pendekatan penelitian kualitatif pada umumnya, peneliti melakukan
perumusan dan interpretasi tidak dilakukan pada akhir pengumpulan data, tetapi
dilakukan selama melakukan pengumpulan data, baik wawancara maupun
pengamatan lapangan. Sehingga pada tahapan akhir penelitian, peneliti dapat
memperoleh hasil akhir dari kesinambungan proses interpretasi atas informasi yang
didapatkannya selama melakukan penelitian. Hancock dan Algozzine (2006)
menyarankan agar selama melakukan penelitian studi kasus, peneliti selalu
memfokuskan kepada upaya untuk selalu menjawab pertanyaan-pertanyaan
penelitian, agar tidak melenceng dari maksud dan tujuan penelitiannya. Hal ini
diperlukan karena penelitian akan mendapatkan banyak sekali informasi selama
melakukan penelitian, sehingga seringkali dapat membelokkan fokus penelitian dari
maksud dan tujuannya.
7. Menyusun laporan penelitian. Tahapan ini merupakan tahapan terakhir dari
penelitian studi kasus. Pada tahapan ini, penulis menuangkan hasil penelitiannya
dalam laporan dengan urutan yang logis dan dapat dicerna oleh pembacanya.
Hancock dan Algozzine (2006) menyatakan ada 3 (tiga) strategi yang dapat
dipergunakan untuk menyusun laporan penelitian studi kasus, yaitu analisis tematik,
analisis kategorial dan analisis naratif. Strategi analisis tematik adalah memberikan
pelaporan dengan menekankan pada jawaban-jawaban atas pertanyaan penelitian,
sehingga menghasilkan tema-tema pelaporan yang sesuai dengan pertanyaan
penelitian. Karena kemudahannya, strategi ini sangat tepat digunakan oleh peneliti
pemula. Sementara itu strategi analisis kategorial berupaya untuk mengembangkan
pelaporan pada penelitian studi kasus jamak yang menghasilkan kategori-kategori
atas unit-unit analisis atau kasus-kasus yang diteliti. Sementara itu, strategi analisis
naratif adalah pelaporan yang menjelaskan dan menggambarkan kembali data-data
yang diperoleh selama pelaksanaan penelitian berdasarkan maksud dan tujuan
penelitinya.
Sementara itu, Yin (2003a, 2009) membagi proses penelitian menjadi 2 (dua) jenis,
yaitu proses penelitian studi kasus tunggal dan proses penelitian studi kasus jamak.
Kedua proses tersebut pada dasarnya mengacu pada proses dasar yang sama.
Perbedaannya adalah pada jumlah kasus pada penelitian studi kasus jamak yang lebih
dari satu, sehingga membutuhkan replikatif proses yang lebih panjang untuk
mengintegrasikan hasil-hasil kajian dari tiap-tiap kasus. Untuk lebih jelasnya, proses
penelitian studi kasus menurut Yin (2009) adalah sebagai berikut:
1. Mendefinsikan dan merancang penelitian. Pada tahap ini, peneliti melakukan kajian
pengembangan teori atau konsep untuk menentukan kasus atau kasus-kasus dan
merancang protokol pengumpulan data. Pada umumnya, pengembangan teori dan
konsep digunakan untuk mengembangkan pertanyaan penelitian dan proposisi
penelitian. Proposisi penelitian memiliki posisi yang mirip dengan hipotesis, yaitu
merupakan jawaban teoritis atas pertanyaan penelitian. Merkipun demikian, proposisi
lebih cenderung menggambarkan prediksi konsep akhir yang akan dituju di dalam
penelitian. Proposisi merupakan landasan bagi peneliti untuk menetapkan kasus paa
umumnya dan unit analisis pada khususnya. Tahapan ini sama untuk penelitian studi
kasus tunggal maupun jamak.
2. Menyiapkan, mengumpulkan dan menganalisis data. Pada tahap ini, peneliti
melakukan persiapan, pengumpulan dan analisis data berdasarkan protokol penelitian
yang telah dirancang sebelumnya. Pada penelitian studi kasus tunggal, penelitian
dilakukan pada kasus terpilih hingga dilanjutkan pada tahapan berikutnya. Pada
penelitian studi kasus jamak, penelitian pada setiap kasus dilakukan sendiri-sendiri
hingga menghasilkan laporan sendiri-sendiri juga.
3. Menganalisis dan Menyimpulkan. Tahapan ini merupakan tahapan terakhir dari
proses penelitian studi kasus. Pada penelitian studi kasus tunggal, analisis dan
penyimpulan dari hasil penelitian digunakan untuk mengecek kembali kepada konsep
atau teori yang telah dibangun pada tahap pertama penelitian. Sementara itu, pada
penelitian studi kasus jamak, analisis dan penyimpulan dilakukan dengan mengkaji
saling-silangkan hasil-hasil penelitian dari setiap kasus. Seperti halnya pada penelitian
studi kasus tunggal, hasil analisis dan penyimpulan di gunakan untuk menetapkan
atau memperbaiki konsep atau teori yang telah dibangun pada awal tahapan
penelitian.
Untuk lebih jelasnya, proses penelitian studi kasus menurut Yin (2003a, 2009) tersebut
dapat dilihat pada gambar diagram berikut ini:
Marilah kita bahas satu per-persatu dari 5 (lima) kesalahpahaman menurut Bent
Flyvbjerg tersebut.
1. Misunderstanding 1: General, theoretical (context-independent) knowledge is more
valuable than concrete, practical (context-dependent) knowledge.
Kesalahpahaman ini muncul karena adanya kepercayaan yang sangat mendalam dari
kaum positivistik bahwa teori-teori general yang sudah diakui kebenarannya selama ini
adalah yang telah dibangun dan diuji melalui berbagai penelitian, sehingga semakin
mendekati kebenaran yang mendekati mutlak. Oleh karena itu, tentu saja harus
dipadang lebih bernilai dibandingkan dengan pengetahuan yang dibangun dari
penelitian praktis dan konkret yang selama ini dilakukan melalui penelitian studi kasus
pada khususnya dan penelitian kualitatif dengan paradigma postpositivistik pada
umumnya. Sementara itu, menurut Ruddin (2006, hal 798-799), penelitian yang
bersifat praktis-konkrit memiliki keunggulan lain, yaitu bersifat evaluatif terhadap
penerapan teori-teori general tersebut yang hasilnya sangat bermanfaat bagi
perbaikan dan bahkan penemuan-penemuan baru yang lebih baik dan orisinil; dan
untuk menunjukkan pencapaian kebenaran (truth) baru yang telah dilakukan manusia
berdasarkan kepada kehidupan yang nyata. Jadi menurut pada penganut pendekatan
postpostivistik ini, penelitian kualitatif, termasuk penelitian studi kasus memiliki peran
dan posisinya tersendiri terhadap pengembangan pengetahuan.
2. Misunderstanding 2: One cannot generalize on the basis of an individual case;
therefore, the case study cannot contribute to scientific development.
Kesalahpahaman ini muncul karena adanya logika dari para penganut positivistik yang
beranggapan bahwa bagaimana mungkin satu kasus (yang dilogikakan satu kasus
sama dengan satu sampel pada penelitian kuantitatif) dapat merepresentasikan
suatu populasi yang sedemikian banyaknya. Logika ini langsung dibantah bahwa kasus
tidak dapat disamakan dengan sampel, karena pada dasarnya kasus mewakili dirinya
sendiri, bukan sebagai representasi dari suatu populasi. Oleh karena itu, obyek
penelitian yang telah dipandang sebagai kasus, harus diteliti secara komprehensif,
holistik dan menyeluruh, karena hasilnya harus dapat mendiskripsikan kasus tersebut
secara lengkap dan utuh. Hasil penelitian terhadap kasus yang menyeluruh itu sendiri
tentu saja dapat menyumbangkan pada pengembangan pengetahuan. Contohlah,
apabila selama ini pengembangan teori arsitektur benteng kolonial di Indonesia
selama ini selalu mengacu pada benteng buatan Belanda, tetapi jika arsitek telah
meneliti sebuah benteng kolonial buatan Inggris yang satu-satunya ada di Indonesia,
yaitu di Bengkulu, maka melalui hasil penelitiannya itu, ia akan menyumbangkan
pengetahuan dan bahkan teori arsitektur benteng kolonial Indonesia yang lain, yang
baru dan orisinil.
3. Misunderstanding 3: The case study is most useful for generating hypotheses; that
is, in the first stage of a total research process, whereas other methods are more
suitable for hypotheses testing and theory building.
Kesalahpahaman ini muncul karena adanya anggapan dari kaum positivistik bahwa
kasus hanya bermanfaat untuk membangun hipotesis penelitian yang dilakukan pada
bagian awal penelitian. Sedangkan, bagian yang terpenting dari penelitian adalah
menguji hipotesis dengan sampel responden yang lebih banyak. Dengan kata lain,
hasil dari penelitian studi kasus harus digeneralisasi melalui penelitian dengan
pendekatan positivistik, agar kebenaran yang dihasilkan diakui secara lebih luas.
Sesungguhnya, seperti telah dijelaskan pada kesalahpahaman nomer satu, kasus
harus dipandang sebagai sesuatu yang mewakili dirinya sendiri. Oleh karena itu,
pengetahuan dan kebenaran yang dihasilkan dari penelitian terhadap kasus tersebut
sangat melekat pada konteks kasus tersebut, sehingga tidak dapat digeneralisasikan
seperti halnya pada penelitian positivistik. Meskipun demikian, kebenaran dan
pengetahuan yang dihasilkan dari suatu penelitian studi kasus sering menjadi ilham
atau stimulan bagi para peneliti positivistik untuk melakukan penelitian kuantitatif.
4. Misunderstanding 4: The case study contains a bias toward verification, that is, a
tendency to confirm the researchers preconceived notions.
Kesalahpahaman ini muncul karena adanya tuduhan bahwa para peneliti sosial,
khususnya yang menggunakan penelitian kualitatif atau berparadigma postpositivistik
bersifat cenderung telah memiliki prasangka terlebih dahulu terhadap obyek
penelitiannya. Dengan demikian, tuduhan ini pun mengarah kepada pada peneliti studi
kasus. Hal ini segera dibantah dengan alasan bahwa setiap peneliti studi kasus akan
menggunakan berbagai sumber data yang banyak secara terperinci dan menyeluruh
yang sangat bersifat kontekstual dan kasuistis, sehingga sulit bagi penelitinya untuk
menyelaraskan prasangkanya dengan temuan-temuan di lapangannya. Disamping itu,
penggunaan berbagai metoda untuk untuk memvalidasi data di dalam penelitian studi
kasus, seperti metoda triangulasi, juga menyebabkan data dan analisis yang dilakukan
bersifat obyektif.
5. Misunderstanding 5: It is often difficult to summarize and develop general
propositions and theories on the basis of specific case studies.
Bagi para peneliti dengan paradigma positivistik, sulit rasanya untuk menerima hasil
dari penelitian atas kasus-kasus khusus (spesifik) sebagai sebuah teori. Karena khusus
(spesifik) maka teorinya pun tentu saja tidak bersifat umum. Meskipun demikian,
pengetahuan yang berhasil digali dari suatu kebenaran yang khusus-pun tetap harus
dianggap sebagai suatu pengetahuan. Dengan memperhatikan kebenaran-kebenaran
yang bersifat spesifik, lokal dan kontekstual, maka pengetahuan jadi akan lebih
berkembang secara lebih kaya. Dengan kata lain, melalui cross-case analisis, atau
melalui dialog teori, maka kebenaran-kebenaran yang berhasil diangkat melalui
penelitian kualitatif dapat memperkaya pengetahuan melalui cara, peran dan posisinya
yang tersendiri, dan bahkan dapat diangkat menjadi teori tersendiri. Yin (2009) dan
Stake (2005, 2006) telah menunjukkan bahwa hasil-hasil penelitian studi kasus yang
khusus pun dapat diangkat menjadi suatu teori.
Singkatnya, kemunculan penelitian studi kasus adalah karena adanya obyek penelitian
yang harus dipandang sebagai kasus. Hal ini berdasarkan pendapat Stake (2005)
bahwa Case study is not a methodological choice, but a choice what it is to be
studied. Jadi yang terpenting dari penelitian studi kasus adalah memilih kasus yang
sesuai dengan maksud dan tujuan penelitian.
Sumber:
http://ardhana12.wordpress.com/2008/02/08/metode-penelitian-studi-kasus/
http://penelitianstudikasus.blogspot.com/