Anda di halaman 1dari 19

PORTOFOLIO KEGAWATDARURATAN

Status Epileptikus

Disusun Oleh :
dr. Dewita Rahmantisa Putri

Pembimbing:
dr. Rustina Ida Sp.S

Dokter Internsip
Periode 17 Februari 2015 6 Februari 2016
RSUD Brigjend H. Hasan Basry
Kabupaten Hulu Sungai Selatan
Kalimantan Selatan

LEMBAR PENGESAHAN

PORTOFOLIO KEGAWATDARURATAN
dr. Dewita Rahmantisa Putri
Status Epileptikus

Telah menyusun portofolio kegawatdaruratan sebagai salah satu tugas dalam rangka
program Internsip di RSUD Brigjen H. Hasan Basry
Kandangan
Kabupaten Hulu Sungai Selatan

Hulu Sungai Selatan, Januari 2016


Mengetahui,
Pembimbing,

dr. Rustina Ida Sp.S

No. ID dan Nama Peserta : dr. Dewita Rahmantisa Putri


No. ID dan Nama Wahana : RSUD Brigjend H Hasan Basry Kandangan HSS
Topik : Status Epileptikus susp meningoencephalitis dd Epilepsi
Tanggal (kasus) :
15 Agustus 2016
Pembimbing: dr. Rustina Ida Sp.S
Tanggal Presentasi :
Pendamping : dr. Nani Pudji Hastuti
Tinjauan Pustaka
Keilmuan
Keterampilan
Penyegaran
Diagnostik

Manajemen

Dewasa

Remaja

Istimewa

Neonatus

Bayi

Deskripsi :
Tujuan :
Bahan
Bahasan :
Cara
Membahas :

Kejang
Menegakkan diagnosis dan penatalaksanaan Status Epileptikus
Kasus
Tinjauan Pustaka Riset
Audit
Diskusi

Anak

Masalah

Presentasi dan Diskusi

Data Pasien : Nama : Tn. S, 18 tahun


Hasil Pembelajaran :
1. Diagnosis Status Epileptikus
2. Tata laksana pasien Status Epileptikus

Lansia

E-mail

Bumil

Pos

No. Registrasi : 149878

Rangkuman Hasil Pembelajaran Portofolio


1.
Subjektif : Alloanamnesis dilakukan terhadap Tn.S, 18 tahun pada 15 Agustus 2016
pukul 10.30 WITA di IGD
Keluhan utama : Kejang
Riwayat Penyakit Sekarang :
Ibu Pasien mengatakan, sejak 2 hari sebelum MRS pasien kejang berulangkali di rumah. Dalam satu
hari, pasien dapat kejang >10 kali dengan durasi 5 menit. Saat kejang tubuh pasien terlihat kaku,
dengan kedua tangan kaki menjauhi tubuh dan mata menghadap keatas. Ketika kejang pasien seperti
tidak sadar, tidak merespon panggilan keluarganya. Akan tetapi setelah kejang, pasien terlihat sadar
dan dapat berbicara seperti biasa. Ibu pasien juga mengeluhkan anaknya demam sudah selama 5 hari
ini. Mual muntah tidak ada. Kedua mata pasien sejak kejang terus bergerak ke kanan dan kekiri
secara bersamaan dan tidak dapat berhenti. Saat pemeriksaan tiba-tiba pasien kejang 3 menit
berulang kali. Ketika seluruh tubuh pasien kaku, tangan pasien mengepal dan terguncang naik turun
kaki pasien juga terguncang naik turun secara bersamaan. Mata terbelalak, mulut tidak berbusa,
lidah tergigit dan saat kejang pasien tidak sadar akan tetapi setelah kejang pasien kembali ke
kesadaran semula.
Riwayat Kesehatan / Penyakit :
Pasien tidak memiliki riwayat kejang demam saat balita

Pasien tidak memiliki riwayat kejang epilepsi sebelumnya


Pasien tidak memiliki riwayat trauma kepala dalam satu tahun terakhir
Riwayat Pengobatan :
Pasien tidak pernah berobat ke dokter spesialis terkait kondisinya, bila ada keluhan pasien
beristirahat atau berobat ke Puskesmas.
Riwayat Keluarga :
Tidak ada anggota keluarga dengan keluhan serupa
Riwayat kedua orangtua epilepsi (-), Riwayat kedua orangtua kejang demam (-)
Riwayat Pekerjaan :
Pasien bekerja membantu ayahnya bekerja sebagai petani
Riwayat Sosial dan Ekonomi :
Pasien hanya menyelesaikan pendidikannya hingga SMP dan tidak melanjutkan ke jenjang
berikutnya karena kekurangan biaya
Objektif: pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 15 Agustus 2016 pukul 10.30
WITA di IGD
Keadaan Umum : Lemah
Tanda Vital
:
Tekanan darah : 120/90 mmHg
Nadi : 89 x/menit isi dan tegangan cukup
Laju pernafasan : 18 x/menit
Suhu
: 380C (axiler)
SaO2
: 96%
2
Status Gizi
: BB 40 kg TB 150 cm IMT (24,90 kg/m underweight)
Kepala
: mesosefal
Mata konjungtiva palpebra anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Hidung discharge (-), napas cuping (-), septum deviasi (-)
Telinga discharge (-)
Mulut pursed lip breathing(-), bibir kering (-), sianosis (-)
Tenggorok T1-1, faring hiperemis (-)
2.

Leher
: JVP (-), deviasi trakea (-), pembesaran limfonodi (-)
Dada retraksi (-)
Paru,
I : Saat statis, hemithoraks dekstra = Sinistra
Saat dinamis : tidak ada gerakan tertinggal
Pa : Sitem fremitus kanan = kiri
Pe : Sonor seluruh lapangan paru
Au : SD bronkial di basal kedua lapangan paru, ST rales +/+ di basal kedua lapangan
paru, ronchi -/-, wheezing -/Jantung, I : ictus cordis tidak tampak

Pa
Pe
Au
Abdomen, I
Au
Pe
Pa

: ictus cordis tidak teraba


: konfigurasi jantung kesan membesar
: S1, S2 reguler, bising (-)
: datar, venektasi (-)
: bising usus (+) Normal
: timpani, pekak sisi (+) normal, pekak alih (-)
: supel, hepar/lien tidak teraba, nyeri tekan (-)

Ekstremitas

Sianosis
Oedema
Akral Dingin
Capillary Refill time

Superior

Inferior

-/-/-/<2/<2

- /-/-/<2/<2

Status Neurologi
Kesadaran
: Apatis
GCS
: E3M6V3 = 12 (tanpa efek diazepam)
Leher
: Kaku kuduk (+)
Motorik
:
Superior
Gerakan
Kekuatan
Tonus
Trofi
Reflek Fisiologis
Reflek Patologis
Klonus

Dextra
aktif
++
Normotonus
Eutrofi
++
-

Sinistra
aktif
++
Normotonus
Eutrofi
++
-

Tanda Rangsang meningeal :


Brudzsinki I : (+)
Brudzsinki II : (-)
Kernig sign : (-)
Saraf Kranial
N.I
N.II

: Kesan Normosmia
: Pupil bulat isokor 2,5mm/2,5mm
Reflek cahaya (+)
Strabismus Divergen (+)
N.III-XII : Kesan normal

Inferior
Dextra
aktif
++
Normotonus
eutrofi
++
-

Sinistra
aktif
++
Normotonus
eutrofi
++
-

Sistem Sensorik : Kesan normal


Fungsi Vegetatif : BAK (+)
BAB (+)
Laboratorium

Assessment (penalaran klinis):


Status Epileptikus
Susp Meningoencephalitis

DD Epilepsi sekunder ec susp massa intrakranial

Penegakan diagnosis pada pasien berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang. Berdasarkan anamnesis didapatkan adanya kejang yang disertai dengan panas
sebelumnya, kejang terjadi >10 kali dengan durasi 5 menit. Saat pemeriksaan tiba-tiba pasien
kejang 3 menit berulang kali. Ketika seluruh tubuh pasien kaku, tangan pasien mengepal dan
terguncang naik turun kaki pasien juga terguncang naik turun secara bersamaan. Mata terbelalak,
idah tergigit dan saat kejang pasien tidak sadar akan tetapi setelah kejang pasien kembali ke
kesadaran semula.
Pada pemeriksaan fisik, dimulai dengan pemeriksaan keadaan umum pasien tampak lemah, GCS
E3M6V3 = 12 dengan efek diazepam, kemudian pemeriksaan tanda vital, didapatkan TD: 120/90
mmHg, nadi 89x/menit, Laju pernapasan 18x/menit, suhu 36,5oC, dan saturasi oksigen 96%.
Didapatkan kaku kuduk positif, Brudzinski I positif dan strabismus divergen.
Kegawatdaruratan yang harus segera ditangani pada pasien ini adalah status epileptikus.
Penatalaksanaan utama meliputi pengobatan suportif yang ditujukan terutama untuk
mempertahankan fungsi paru (seperti pertukaran gas, perfusi organ), penanganan kejang, sedangkan
penyebab utama juga harus diselidiki dan diobati segera bila memungkinkan. Prinsip
penatalaksanaan meliputi memperbaiki jalan nafas, pemberian oksigen, dan pemberian anti kejang.
1.
Plan:
Ip Dx : Ip Tx :
O2 nasal 2-3 lpm
IVFD NS 20 tpm (ma)
Inj. Diazepam 1 ampul (IV pelan) saat kejang
Inj. Ceftriaxone 1 gram/12 jam
Inj Levofloxacin 500 mg/24 jam
Drip phenytoin 600 mg dalam NS habis dalam 15 menit
Inj. Paracetamol 1g/ 8 jam
Inj. Ranitidin 50 mg/ 12 jam
Pasien dirawat diruang ICU
Ip Mx :
Keluhan pasien, tanda-tanda vital, saturasi oksigen, tanda-tanda kejang, kesadaran
Ip Ex :

Keluarga dijelaskan mengenai penyakit mulai pengertian, penyebab, pengobatan,


komplikasi, dan prognosis. Bahwa kejang pasien dapat terjadi sewaktu waktu dan membuat
kondisi pasien saat ini menjadi tidak sadar.

Keluarga diberikan penjelasan bahwa pasien harus dirawat diruang intensif karena
membutuhkan pengawasan khusus.
Konsultasi:

Dilakukan konsultasi kepada dokter spesialis saraf untuk penanganan lebih lanjut

TINJAUAN PUSTAKA
A.

Kegawatdaruratan

Kegawatan merupakan suatu keadaan dimana seseorang berada dalam keadaan kritis dan
apabila tidak dilakukan suatu usaha atau tindakan akan menyebabkan kematian. Salah satu
kegawat daruratan di bidang neurologi adalah status epileptikus. Walaupun di Indonesia belum
merupakan problem kesehatan masyarakat yang besar. Sebelum membahas penyakit ini, terlebih
dahulu diingatkan kembali mengenai batasan dari epilepsi. Epilepsi adalah suatu keadaan yang
ditandai oleh bangkitan (seizure) berulang sebagai akibat dari adanya gangguan fungsi otak
secara intermitten yang disebabkan oleh lepasnya muatan listrik abnormal dan berlebihan di
neuron-neuron secara paroksismal dan disebabkan oleh berbagai etiologi. Status epileptikus
ditegakkan apabila kejang yang terjadi bersifat kontinyu, berulang dan disertai gangguan
kesadaran dengan durasi kejang yang berlangsung lebih dari 30 menit. Status epileptikus
merupakan kejang yang paling serius karena terjadi terus menerus tanpa berhenti dimana
terdapat kontraksi otot yang sangat kuat, kesulitan bernapas dan muatan listrik di dalam otaknya
menyebar luas sehingga apabila status epileptikus tidak dapat ditangani segera, maka besar
kemungkinan dapat terjadi kerusakan jaringan otak yang permanen dan dapat menyebabkan
kematian. Oleh karena itu, gejala ini harus dapat dikenali dan ditanggulangi secepat mungkin.
Rata-rata 15% penderita meninggal, walaupun pengobatan dilakukan secara tepat. Lebih kurang
60-80% penderita yang bebas dari kejang setelah lebih dari 1 jam akan menderita cacat
neurologis atau berlanjut menjadi penderita epilepsi.

B. Status Epileptikus
Status epileptikus (SE) adalah kondisi kejang berkepanjangan mewakili keadaan darurat
medis dan neurologis utama. International League Against Epilepsy mendefinisikan status
epileptikus sebagai aktivitas kejang yang berlangsung terus menerus selama 30 menit atau lebih 1.
Definisi ini telah diterima secara luas, walaupun beberapa ahli mempertimbangkan bahwa durasi
kejang lebih singkat dapat merupakan suatu SE. Untuk alasan praktis, pasien dianggap sebagai
SE jika kejang terus-menerus lebih dari 5 menit 2. Saat ini, ada beberapa versi pengklasifi kasian
SE sebagai berikut3:
1.

Generalized Convulsive SE: Merupakan tipe SE yang paling sering dan berbahaya.
Generalized mengacu pada aktivitas listrik kortikal yang berlebihan, sedangkan convulsive
mengacu kepada aktivitas motorik suatu kejang.

2.

Subtle SE Subtle SE terdiri dari aktivitas kejang pada otak yang bertahan saat tidak ada
respons motorik. Terminologi ini dapat membingungkan, karena subtle SE seperti tipe
NCSE (Non-convulsive Status Epilepticus). Walaupun secara defi nisi subtle SE merupakan
nonconvulsive, namun harus dibedakan dari NCSE lain. Subtle SE merupakan keadaan
berbahaya, sulit diobati, dan mempunyai prognosis yang buruk.

3. Nonconvulsive SE : NCSE dapat dibagi menjadi 2 kategori, yaitu absence SE dan complex

partial SE. Perbedaan 2 tipe ini sangat penting dalam tatalaksana, etiologi, dan prognosis;
focal motor SE mempunyai prognosis lebih buruk.Simple Partial SE Secara defi nisi, simple
partial SE terdiri dari kejang yang terlokalisasi pada area korteks serebri dan tidak
menyebabkan perubahan kesadaran. Berbeda dengan convulsive SE, simple partial SE tidak
dihubungkan dengan mortalitas dan morbiditas yang tinggi.
Secara tradisional, SE dapat diklasifi kasikan menjadi convulsive dan nonconvulsive,
namun istilah ini dapat tidak tepat. Skema baru klasifi kasi ILAE (International League Against
Epilepsy) telah menolak penggunaan istilah nonconvulsive, karena dapat merupakan suatu
keadaan yang beragam seperti kejang fokal pada limbic SE ataupun generalized seperti absence
SE. Di samping itu, keadaan convulsive, khususnya kejang myoclonic, dapat terlihat pada
nonconvulsive SE, misalnya kejang di kelopak mata atau perioral. Skema ILAE 2001 mendefi
nisikan SE sebagai aktivitas kejang yang terus-menerus dan mengklasifi kasikan SE menjadi dua

kategori, yaitu generalized dan focal SE. Laporan ILAE Core Group (2006) mengklasifi kasikan
bermacam-macam tipe SE (Tabel 1), serta berusaha menghindari istilah generalized dan focal4.
C. Patofisiologi
Sel saraf, seperti juga sel hidup umumnya, mempunyai potensial membran. Potensial
membran yaitu selisih potensial antara intrasel dan ekstrasel. Potensial intrasel lebih negatif
dibandingkan dengan ekstrasel. Dalam keadaan istirahat potensial membran berkisar antara 30100 mV, selisih potensial membran ini akan tetap sama selama sel tidak mendapatkan
rangsangan. Potensial membran ini terjadi akibat perbedaan letak dan jumlah ion-ion terutama
ion Na+, K + dan Ca++. Bila sel syaraf mengalami stimulasi, misalnya stimulasi listrik akan
mengakibatkan menurunnya potensial membran5.

Gambar 1 Permeabilitas membran


Penurunan potensial membran ini akan menyebabkan permeabilitas membran terhadap ion
Na+ akan meningkat, sehingga Na+ akan lebih banyak masuk ke dalam sel. Selama serangan ini
lemah, perubahan potensial membran masih dapat dikompensasi oleh transport aktif ion Na+ dan
ion K+, sehingga selisih potensial kembali ke keadaan istirahat. Perubahan potensial yang
demikian sifatnya tidak menjalar, yang disebut respon lokal. Bila rangsangan cukup kuat
perubahan potensial dapat mencapai ambang tetap (firing level), maka permeabilitas membran
terhadap Na+ akan meningkat secara besar-besaran pula, sehingga timbul spike potensial atau
potensial aksi. Potensial aksi ini akan dihantarkan ke sel syaraf berikutnya melalui sinap dengan
perantara zat kimia yang dikenal dengan neurotransmiter. Bila perangsangan telah selesai, maka
permiabilitas membran kembali ke keadaan istiahat, dengan cara Na+ akan kembali ke luar sel

dan K+ masuk ke dalam sel melalui mekanisme pompa Na-K yang membutuhkan ATP dari
sintesa glukosa dan oksigen.
Neurotransmitter merupakan zat kimia yang disintesis dalam neuron dan disimpan dalam
gelembung sinaptik pada ujung akson. Zat kimia ini dilepaskan dari ujung akson terminal dan
juga direabsorbsi untuk daur ulang. Neurotransmiter merupakan cara komunikasi amntar neuron.
Setiap neuron melepaskan satu transmitter. Zat zat kimia ini menyebabkan perubahan
permeabilitas sel neuron, sehingga neuron menjadi lebih kurang dapat menyalurkan impuls.
Diketahui atau diduga terdapat sekitar tiga puluh macam neurotransmitter, diantaranya adalah
Norephinephrin, Acetylcholin, Dopamin, Serotonin, Asam Gama-Aminobutirat (GABA) dan
Glisin6. Komponen listrik dari transmisi saraf menangani transmisi impuls du sepanjang neuron.
Permeabilitas membran sel neuron terhadap ion natrium dan kalium bervariasi dan dipengaruhi
oleh perobahan kimia serta listrik dalam neuron tersebut ( terutama neurotransmitter dan
stimulus organ receptor5.
Tempat tempat dimana neuron mengadakan kontak dengan dengan neuron lain atau
dengan organ organ efektor disebut sinaps. Sinaps merupakan satu satunya tempat dimana
suatu impuls dapat lewat dari suatu neuron ke neuron lainnya atau efektor. Ruang antara satu
neuron dan neuron berikutnya ( atau organ efektor ) dikenal dengan nama celah sinaptik
(synaptic cleft). Neuron yang menghantarkan impuls saraf menuju ke sinaps disebut neuron
prasinaptik.Neuron yang membawa impuls dari sinaps disebut neuron postsinaptik6.
Dalam keadaan istirahat , permeabillitas membran sel menciptakan kadar kalium intrasel
yang tinggi dan kadar natrium intra sel yang rendah, bahkan pada pada kadar natrium extrasel
yang tinggi. Impuls listrik timbul oleh pemisahan muatan akibat perbedaan kadar ion intrasel dan
extrasel yang dibatasi membran sel. Potensial aksi yang terjadi atau impuls pada saat terjadi
depolarisasi dialirkan ke ujung saraf dan mencapai ujung akson ( akson terminal ). Saat potensial
aksi mencapai akson terminal akan dikeluarkanlah neurotransmitter, yang melintasi synaps dan
dapat saja merangsang saraf berikutnya5.
Timbulnya kontraksi otot Timbulnya kontraksi pada otot rangka mulai dengan potensial
aksi dalam serabut serabut otot. Potensial aksi ini menimbulkan arus listrik yang menyebar ke
bagian dalam serabut, dimana menyebabkan dilepaskannya ion ion kalsium dari retikulum
sarkoplasma. Selanjutnya ion kalsium menimbulkan peristiwa peristiwa kimia proses
kontraksi5. Perangsangan serabut otot rangka oleh saraf Dalam fungsi tubuh normal, serabut

serabut otot rangka dirangsang oleh serabut serabut saraf besar bermielin. Serabut serabut
saraf ini melekat pada serabut serabut otot rangka dalam hubungan saraf otot (neuromuscular
junction) yang terletak di pertengahan otot. Ketika potensial aksi sampai pada neuromuscular
junction, terjadi depolarisasi dari membran saraf , menyebabkan dilepaskan Acethylcholin,
kemudian akan terikat pada motor end plate membrane, menyebabkan terjadinya pelepasan ion
kalsium yang menyebabkan terjadinya ikatan Actin Myosin yang akhirnya menyebabkan
kontraksi otot. Oleh karena itu potensial aksi menyebar dari tengah serabut ke arah kedua
ujungnya, sehingga kontraksi hampir bersamaan terjadi di seluruh sarkomer otot5.

D. Etiologi
Sering merupakan manifestasi akut dari penyakit infeksi sistem saraf pusat, stroke akut,
ensefalopati hipoksik, gangguan metabolik, dan kadar obat antiepilepsi dalam darah yang rendah.
Etiologi tidak jelas pada sekitar 20% kasus. Gangguan serebrovaskuler merupakan penyebab SE
tersering di negara maju, sedangkan di negara berkembang penyebab tersering karena infeksi
susunan saraf pusat. Etiologi SE sangat penting sebagai prediktor mortalitas dan morbiditas1,7.
E. Gambaran Klinis
Status Epileptikus dihubungkan dengan perubahan fisiologis sistemik hasil peningkatan
kebutuhan metabolik akibat kejang berulang dan perubahan autonom termasuk takikardi, aritmia,
hipotensi, dilatasi pupil, dan hipertermia. Perubahan sistemik termasuk hipoksia, hiperkapnia,
hipoglikemia, asidosis metabolik, dan gangguan elektrolit memerlukan intervensi medis.
Kehilangan autoregulasi serebral dan kerusakan neuron dimulai setelah 30 menit aktivitas kejang
yang terus menerus8.
Status Epileptikus tonik-klonik mempunyai 2 fase sebagai berikut 8: Fase 1: Kompensasi
Selama fase ini, metabolisme serebral meningkat, tetapi mekanisme fisiologis cukup untuk
memenuhi kebutuhan metabolik, dan jaringan otak terlindungi dari hipoksia atau kerusakan
metabolisme. Perubahan fisiologis utama terkait dengan meningkatnya aliran darah dan
metabolisme otak, aktivitas otonom, dan perubahan kardiovaskuler.

Fase 2: Dekompensasi Selama fase ini, tuntutan metabolik serebral sangat meningkat dan
tidak dapat sepenuhnya tercukupi, sehingga men yebabkan hipoksia dan perubahan metab olik
sistemik. Perubahan autonom tetap berlangsung dan fungsi kardiorespirasi dapat gagal
mempertahankan homeostasis.
F. Penatalaksanaan
Status epileptikus merupakan gawat darurat neurologi. Harus ditindaki secepat mungkin
untuk menghindarkan kematian atau cedera saraf permanen. Prinsip penatalaksanaan Status
Epileptikus adalah menghentikan aktivitas kejang baik klinis maupun elektroensefalografi k
(EEG).

I. Stabilitas Penderita
Tahap ini meliputi usaha usaha mempertahankan dan memperbaiki fungsi vital yang mungkin
terganggu. Prioritas pertama adalah memastikan jalan napas yang adekuat dengan cara
pemberian oksigen melalui nasal canul atau mask ventilasi. Tekanan darah juga perlu
diperhatikan, hipotensi merupakan efek samping yang umum dari obat yang digunakan untuk
mengontrol kejang. Darah diambil untuk pemeriksaan darah lengkap, gula darah, elektrolit,
ureum, kreatinin. Harus diperiksa gas-gas darah arteri untuk melacak adanya asidosis
metabolic dan kemampuan oksigenasi darah. Asidosis di koreksi dengan bikarbonat intravena.
Segera diberi 50 ml glukosa 50% glukosa iv, diikuti pemberian tiamin 100 mg im.
II. Menghentikan kejang
Sampai saat ini belum ada konsensus baku penatalaksanaan SE berkaitan dengan pemilihan
obat dan dosis. Tidak ada obat yang ideal untuk tatalaksana SE. Banyak penulis setuju bahwa
lorazepam (0,1 mg/kgBB) atau diazepam (0,15 mg/kgBB) dapat diberikan pada tahap awal,
disusul fenitoin (15-20 mg/ kgBB) atau fosfenitoin (18-20 mg/kgBB). Jika benzodiazepin dan
fenitoin gagal, fenobarbital dapat diberikan dengan dosis 20 mg/kgBB, namun harus
mendapatkan perhatian khusus karena dapat menyebabkan depresi pernapasan. Jika kejang
tetap berlanjut, pertimbangkan pemberian anestesi umum, dapat digunakan agen seperti
midazolam, propofol, atau pentobarbital9,10.
a. Benzodiazepin

Diazepam1,3

Diazepam merupakan obat pilihan pertama (level evidence A pada banyak penelitian).
Obat memasuki otak secara cepat, setelah 15-20 menit akan terdistribusi ke tubuh.
Walaupun terdistribusi cepat, eliminasi waktu paruh mendekati 24 jam. Sangat
berpotensi sedatif jika terakumulasi dalam tubuh pada pemberian berulang.
Diazepam dengan dosis 5-10 mg intravena dapat menghentikan kejang pada sekitar
75% kasus. Diazepam dapat diberikan secara intramuskuler atau rektal. Efek samping
termasuk depresi pernapasan, hipotensi, sedasi, iritasi jaringan lokal. Sangat berpotensi
hipotensi dan depresi napas jika diberikan bersamaan obat antiepilepsi lain, khususnya
barbiturat. Walaupun demikian, diazepam masih merupakan obat penting dalam
manajeman SE karena efeknya yang cepat dan berspektrum luas.
Lorazepam1,3

Lorazepam merupakan pilihan golongan benzodiazepin untuk menajemen SE.


Lorazepam berbeda dengan diazepam dalam beberapa hal. Obat ini kurang larut dalam
lemak dibandingkan diazepam dengan waktu paruh dua hingga tiga jam dibandingkan
diazepam yang 15 menit, sehingga mempunyai durasi lebih lama. Lorazepam juga
mengikat reseptor GABAergic lebih kuat daripada diazepam, sehingga durasi aksinya
lebih lama. Efek antikonvulsan lorazepam berlangsung 6-12 jam pada rentang dosis 4-8
mg. Agen ini berspektrum luas dan berhasil menghentikan kejang pada 75-80% kasus.
Efek sampingnya sangat identik dengan diazepam. Oleh karena itu, lorazepam juga
merupakan pilihan untuk manjemen SE.
Midazolam1,3

Midazolam merupakan golongan benzodiazepin yang bereaksi cepat, penetrasi cepat


melewati sawar darah otak, dan durasi yang singkat. Midazolam dapat digunakan
sebagai agen alternatif untuk SE refrakter. Walau pun midazolam jarang merupakan
pilihan pert ama untuk kejang akut di Amerika Serikat, obat ini sangat umum digunakan
di Eropa.
a. Agen Antikonvulsan
Fenitoin1,3

Fenitoin merupakan salah satu obat yang efektif mengobati kejang akut dan SE.
Disamping itu, obat ini sangat efektif pada manajemen epilepsi kronik, khususnya pada
kejang umum sekunder dan kejang parsial. Keuntungan utama fenitoin adalah efek
sedasinya yang minim. Namun, sejumlah efek samping serius dapat muncul seperti
aritmia dan hipotensi, khususnya pada pasien di atas usia 40 tahun. Efek tersebut sangat
dihubungkan dengan pemberian obat yang terlalu cepat. Di samping itu, iritasi lokal, fl
ebitis, dan pusing dapat muncul pada pemberian intravena. Fenitoin sebaiknya tidak
dicampur dengan dekstrosa 5%, melainkan salin normal untuk menghindari
pembentukan kristal.
Fosfenitoin1,3

Fosfenitoin adalah pro-drug dari fenitoin yang larut dalam air yang akan dikonversi
menjadi fenitoin setelah diberikan secara intravena. Seperti fenitoin, fosfenitoin
digunakan dalam tatalaksana kejang akut tonik-klonik umum atau parsial. Fosfenitoin
dikonversi menjadi fenitoin dalam waktu 8 sampai 15 menit. Dimetabolisme oleh hati
dan mempunyai waktu paruh 14 jam. Karena 1,5 mg fosfenitoin ekuivalen dengan 1 mg
fenitoin, maka dosis, konsentrasi, dan kecepatan infus intravena digambarkan sebagai
phenytoin equivalent (PE). Dosis awal 15 sampai 20 mg PE per kgBB, dan diberikan
dengan kecepatan 150 mg PE per menit, kecepatan pemberian infus tiga kali lebih cepat
dari fenitoin intravena.Fosfenitoin lebih disukai, karena bekerja lebih cepat dan iritasi
vena yang lebih minimal (menghindari risiko purple-glove syndrome yang terjadi pada
fenitoin). Efek samping dari fosfenitoin termasuk parestesia dan pruritus, namun
muncul jika diberikan dalam pemberian yang terlalu cepat. Pemberian intravena
dihubungkan dengan hipotensi, sehingga monitoring jantung dan tekanan darah yang
ketat dilakukan. Walaupun fosfenitoin lebih baik daripada fenitoin, namun
kelemahannya adalah harga yang mahal dan tidak terdapat di semua rumah sakit.
a. Barbiturat
Fenobarbital1,3

Fenobarbital digunakan setelah benzodiazepin atau fenitoin gagal mengontrol SE.


Loading dose 15 sampai 20 mg per kgBB. Karena fenobarbital dosis tinggi bersifat
sedatif, proteksi jalan napas sangat penting, dan risiko aspirasi merupakan perhatian

khusus. Fenobarbital intravena juga dihubungkan dengan hipotensi sistemik. Jika


dilakukan pemberian intramuskuler, maka dilakukan pada otot besar, seperti gluteus
maximus. Defisit neurolgis permanen dapat timbul jika diinjeksikan berdekatan dengan
saraf tepi. Saat ini, untuk penanganan SE refrakter lebih sering digunakan agen lain
(midazolam, propofol, pentobarbital) daripada fenobarbital.
Pentobarbital3,11,12

Merupakan barbiturat kerja singkat yang bersifat sedatif, hipnotif, dan besifat
antikonvulsan. Digunakan hanya untuk SE refrakter, jika agen lain gagal untuk
menghentikan kejang. Pasien membutuhkan intubasi dan dukungan ventilasi.
Dibandingkan fenobarbital, pentobarbital mempunyai penetrasi yang lebih cepat dan
waktu paruh yang lebih singkat, sehingga dapat sadar lebih cepat dari koma ketika
penyapihan (weaning).
Efektivitas pentobarbital lebih tinggi daripada propofol dalam mengakhiri SE refrakter.
Suatu studi mendapatkan tingkat keberhasilan pentobarbital yang tinggi (92% dengan
perbandingan 80% untuk midazolam dan 73% untuk propofol). Namun demikian,
sangat dihubungkan dengan tingginya ke jadian hipotensi dibandingkan midazolam dan
propofol (77% vs 42% dan 30%).
a. Anestesi Umum
Propofol3,11

Propofol merupakan suatu senyawa fenolik yang tidak berhubungan dengan obat
antikonvulsan lain. Propofol sangat larut dalam lemak, sehingga dapat bereaksi dengan
cepat, mempunyai sifat anestesi jika diberikan secara intravena dengan dosis 1-2
mg/kgBB, sangat efektif dan nontoksik. Beberapa publikasi melaporkan penggunaan
infus jangka panjang propofol dapat dit erapkan pada SE.
Propofol dapat menyebabkan depresi napas dan depresi serebral, sehingga
membutuhkan intubasi dan ventilasi. Hipotensi mungkin membutuhkan penatalaksanaan
segera. Penggunaan jangka panjang (atau dosis tinggi >5 mg/kg/jam dalam 48 jam)
dapat menyebabkan asidosis, aritmia jantung, dan rabdomiolisis (propofol infusion
syndrome) yang fatal, khususnya pada anak usia muda, sehingga propofol sebaiknya
tidak digunakan digunakan pada kelompok ini.

Manajemen Status Epileptikus1,2


Stadium
Penatalaksanaan
Stadium I (0-10 - Memperbaiki fungsi kardio-respirasi
menit)
- Memperbaiki jalan nafas, pemberian oksigen, resusitasi bila perlu
Stadium II (10-60 - Pemeriksaan status neurologic
menit)

- Pengukuran tekanan darah, nadi dan suhu


- Monitor status metabolic, AGD dan status hematologi
- Pemeriksaan EKG
- Memasangi infus pada pembuluh darah besar dengan NaCl
0,9%. Bila akan digunakan 2 macam OAE pakai jalur infus
- Mengambil 50-100 cc darah untuk pemeriksaan laboratorium
(AGD, Glukosa, fungsi ginjal dan hati, kalsium, magnesium,
pemeriksaan lengkap hematologi, waktu pembekuan dan kadar
OAE), pemeriksaan lain sesuai klinis
- Pemberian OAE emergensi : Diazepam 0.2 mg/kg dengan
kecepatan pemberian 5 mg/menit IV dapat diulang bila kejang
masih berlangsung setelah 5 menit - Berilah 50 cc glukosa 50%
pada keadaan hipoglikemia
- Pemberian tiamin 250 mg intervena pada pasien alkoholisme

Stadium

III

60/90 menit)

- Menangani asidosis dengan bikarbonat


(0- - Menentukan etiologi
- Bila kejang berlangsung terus setelah pemberian lorazepam /
diazepam, beri phenytoin iv 15 20 mg/kg dengan kecepatan <
50 mg/menit. (monitor tekanan darah dan EKG pada saat
pemberian) - Atau dapat pula diberikan fenobarbital 10 mg/kg
dengan kecepatan < 100 mg/menit (monitor respirasi pada saat
pemberian)
- Memulai terapi dengan vasopressor (dopamine) bila diperlukan

- Mengoreksi komplikasi
Stadium IV (30/90 - Bila kejang tetap tidak teratasi selama 30-60 menit, pasien
menit)

dipindah ke ICU, diberi Propofol (2mg/kgBB bolus iv, diulang

bila perlu) atau Thiopenton (100-250 mg bolus iv pemberian


dalam 20 menit, dilanjutkan dengan bolus 50 mg setiap 2-3
menit), dilanjutkan sampai 12-24 jam setelah bangkitan klinis
atau bangkitan EEG terakhir, lalu dilakukan tapering off.
Iviemonitor bangkitan dan EEG, tekanan intracranial, memulai
pemberian OAE dosis rumatan

DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.

4.
5.
6.
7.

8.
9.
10.
11.
12.

Sirven JI, Waterhouse E. Management of status epilepticus. Am Fam Physician 2003; 68(3):
469-76.
Arif H, Hirsch LJ. Treatment of status epilepticus. Semin Neurol. 2008; 28: 342-54
Roth Jl. Status epilepticus [Internet]. 2014 Apr 28 [cited 2014 Aug 1]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1164462-overview
Panayiotopolus CP. Status epilepticus. A clinical guide to epileptic syndrome and their
treatment. Springer; 2010: 65-91.
Guyton A. C., Hall J. E. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta : EGC. P.
208 212, 219 223, 277 282, 285 287.
Price, Sylvia Anderson. 1995. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Alih
Bahasa: Peter Anugrah. Edisi: 4. Jakarta: EGC
Murthy JMK. Convulsive status epilepticus: Treatment. The association of physician of
India [Internet]. [cited 2 Agustus 2014]. Available from http://www.apiindia.org/
Shorvon S. Treatment of status epilepticus. J Neurol Nerusurg Psychiatry 2001; 70: 22-7.
Manno EM. New management strategies in the treatment of status epilepticus. Mayo Clin
Proc. 2003; 78: 508-18.
Durham D. Management of status epilepticus. Critical care and resuscitation. 1999; 1: 34453.
Abend NS, Duglas DJ. Treatment of refractory status epilepticus. Pediatric Neurol. 2008;
38(6): 377.
Claassen J, Hirsch LJ, Emerson RG, Mayer SA. Treatment of refractory status epilepticus
with pentobarbital, propofol, or midazolam: A systematic review. Epilepsia 2002; 43: 14653.

Anda mungkin juga menyukai