Disusun Oleh:
Fajr Muzzammil
1112103000099
Pembimbing:
dr. Suzy Yusna Dewi, Sp.KJ (K)
DAFTAR ISI
Daftar Isi....................................................................................................................2
Kata Pengantar...........................................................................................................3
BAB I
PENDAHULUAN .................................................................................4
BAB II
PEMBAHASAN ....................................................................................5
KESIMPULAN......................................................................................19
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena rahmat dan karuniaNya yang memberikan kesehatan, keselamatan, dan membimbing penulis sehingga dapat
menyelesaikan referat ini dengan baik dan tepat pada waktunya.
Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada dr. Suzy Yusna
Dewi, Sp.KJ (K) selaku pembimbing. Tujuan pembuatan referat ini merupakan salah satu syarat
dari kepaniteraan klinik di RSJ dr. Soeharto Heerdjan.
Penulis menyadari bahwa pembuatan referat ini masih banyak kekurangan dan masih
jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis akan sangat terbuka dan dengan senang hati
menerima segala bentuk kritik dan saran yang bersifat membangun, sehingga referat ini bisa
berguna bagi semua pihak. Akhir kata penulis mengucapkan banyak terima kasih.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Penyebab autis belum diketahui secara pasti. Beberapa ahli menyebutkan autis
disebabkan karena multifaktorial. Beberapa peneliti mengungkapkan terdapat gangguan
biokimia, ahli lain berpendapat bahwa autisme disebabkan oleh gangguan psikiatri/jiwa. Ahli
lainnya berpendapat bahwa autisme disebabkan oleh karena kombinasi makanan yang salah atau
lingkungan yang terkontaminasi zat-zat beracun yang mengakibatkan kerusakan pada usus besar
yang mengakibatkan masalah dalam tingkah laku dan fisik termasuk autis.1
Mengingat demikian luas teori penyebab autis maka penanganan atau terapi yang bisa
diberikan sangat banyak dan bervariasi. Banyak peneliti melaporkan hasil penelitiannya dalam
terapi autis berbeda tergantung berdasarkan berbagai teori yang dianut atau pengalaman peneliti.
Pada umumnya mereka melaporkan hasil yang baik, meskipun berbagai hasil penelitian tersebut
perlu dikaji lebih jauh secara ilmiah.1,2
Terapi yang ideal harus sesuai dengan kondisi imunopatologis yang sering berbeda satu
penderita autis dengan penderita lainnya. Dengan mengidetifikasi penyebab atau penyakit lain
yang bisa mempengaruhi secara cermat, maka dapat ditentukan strategi penanganan dan terapi
untuk penderita. Secara umum pendekatan terapi autis dikelompokkan berdasarkan kajian ilmiah
berbasis bukti, terapi medis murni kedokteran, gabungan terapi medis kedokteran dan tradisional
atau terapi tradisional lainnya. Pembagian tersebut dapat dikelompokkan dalam 3 bagian
diantaranya adalah : terapi konvensional, terapi inovatif dan terapi alternatif.1
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1. Pengertian Penyandang Autis
Kata autisme berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata yaitu aut yang berarti
diri sendiri dan ism yang secara tidak langsung menyatakan orientasi atau arah atau keadaan
(state). Sehingga autisme dapat didefinisikan sebagai kondisi seseorang yang luar biasa asik
dengan dirinya sendiri.1,3
2.2 Karakteristik Penyandang Autis
Secara fisik, penampilan penyandang autis tidak berbeda dengan anak-anak lain pada umumnya.
Perbedaan penyandang autis akan terlihat apabila mereka melakukan aktivitas seperti:
berkomunikasi, bermain dan sebagainya. Karakteristik khusus anak-anak autistik antara lain:1,3,4
a. Karakteristik dari segi interaksi sosial, maksudnya anak autistik dapat dikenal dengan
mengamati interaksi sosialnya yang ganjil dibandingkan anak pada umumnya.
b. Karakteristik dari segi komunikasi dan pola bermain, maksudnya anak autistik yang
mengalami keterlambatan dan abnormalitas dalam berbahasa dan berbicara.
c. Karakteristik dari segi aktivitas dan minat, maksudnya anak autistik memperlihatkan
abnormalitas dalam bermain, seperti stereotipe, diulang-ulang, tidak kreatif dan anak autistik
mungkin tidak mampu menggunakan alat mainannya sesuai dengan yang seharusnya.
2.3 Identifikasi Penyandang Autis
Beberapa data mengenai bagaimana mengetahui taraf berat ringan gejala penyandang
autis dapat digunakan Childhood Autism Rating Scale (CARS). CARS adalah alat tes tambah.
Pengukuran selain diambil dari catatan medik, observasi di dalam kelas dan laporan dari
orangtua. CARS terdiri dari 14 butir seperti tersebut dibawah ini:1,3,4
a. Relasi (hubungan) dengan orang lain yaitu bagaimana anak berinteraksi dengan orang
lain dalam berbagai situasi.
b. Imitas (meniru) yaitu bagaimana anak menirukan kata atau suara dan perilaku, apakah
harus dorongan, paksaan atau sama sekali tidak pernah meniru.
5
c. Respon emosional, yaitu bagaimana reaksi anak terhadap situasi yang menyenangkan dan
tidak menyenangkan. Seperti: diberi mainan kesukaanya.
d. Penggunaan badan / tubuh baik untuk gerakan koordinasi maupun gerakan-gerakan yang
lain. Seperti: jinjit.
e. Penggunaan benda-benda (obyek) yaitu minat anak terhadap mainan atau benda lain serta
bagaimana anak menggunakannya.
f. Adaptasi terhadap perubahan, yaitu kesulitan adaptsi terhadap perubahan hal-hal yang
telah rutin atau berpola, dan kesulitan mengubah suatu aktivitas ke aktivitas lain.
g. Respon visual, yaitu pola-pola perhatian visual yang tidak lazim. Seperti: menghindari
kontak mata.
h. Respon mendengarkan, yaitu perilaku mendengarkan yang tidak biasanya atau respon
sesuatu yang tidak lazim terhadap bunyi-bunyian termasuk reaksi anak terhadap suara
orang dan jenis-jenis suara lain.
i. Respon kecap, mencium (membau) dan raba, yaitu bagaimana respon anak terhadap
rangsang kecap, bau dan raba.
j. Ketakutan dan kegelisahan, yaitu rasa takut yang tidak wajar dan tidak semestinya.
k. Komunikasi verbal (kata).
l. Komunikasi non verbal, yaitu komunikasi dengan penggunaan ekspresi mimik muka,
sikap tubuh dan gerak tubuh, serta respon anak terhadap komunikasi non verbal dari
orang lain.
m. Derajat aktivitas, yaitu seberapa banyak anak bergerak baik dalam situasi yang dibatasi
maupun yang tidak dibatasi, apakah aktivitasnya berlebihan atau tampak lesu.
n. Derajat dan konsistensi respon intelektual.
Skor total dikonfirmasikan dengan kriteria penafsiran, sehingga diperoleh kesimpulan
penafsiran mengenai derajat autis yang dialami anak. Adapun kriteria penafsiran tersebut antara
lain: a) Skor 15 s/d 25 : bukan autisme. b) Skor 30 s/d 35 : autisme ringan. c) Skor 40 s/d 50 :
autisme sedang. d) Skor 55 s/d 60 : autisme berat. Adapun ketentuan beberapa kritrerian
penyandang autis, sebagai berikut:5
Data diatas merupakan kriteria untuk mengetahui beberapa identifikasi gangguan yang
menjadi suatu acuan pada gangguan penyandang autis. Gangguan tersebut bisa diketahui bagi
penyandang autis sebagai gangguan yang ringan, sedang dan berat.
10
12
menggunakan aktivitas atau kegiatan sebagai media terapinya. Dengan aktivitas penyandang
autis akan dilibatkan langsung secara aktif untuk pemulihan fungsi-fungsi fisik atau psikis agar
dapat melaksanakan kegiatan kehidupan sehari-harinya sehingga tercapai tujuan dalam
meningkatkan kemandirian pada penyandang autis, meningkatkan harkat, martabat serta kualitas
hidup. Jadi terapi okupasi bukan memberikan kerja tetapi pekerjaan merupakan media untuk
pengobatan atau penyembuhan gangguan fisik, mental dan sosial.7
Pada dasarnya terapi okupasi itu memiliki cakupan tentang terapi musik dan terapi
bermain, karena terapi-terapi yang digunakan tersebut termasuk bagian yang dilakukan oleh para
terapi untuk penyandang autis karena banyak mengandung unsur bersenang-senang. Sehingga
terapi okupasi merupakan proses awal untuk melatih penyandang autis pada kemampuan motorik
terutama pada kemampuan motorik halus dan gerak bagi penyandang autis melalui terapi
bermain.
Anak yang mengalami gangguan autism mengalami permasalahan yang sangat kompleks.
Permasalahan tersebut meliputi: motorik, sensorik, kognitif, intrapersonal, interpersonal,
perawatan diri, produksivitas, leisure (sibuk dengan dirinya sendiri).7
Penyandang autis dapat dilihat perkembangan motorik melalui pemberian pelatihan dan
keefektifan anak dalam berbagai gerak yang melibatkan bagian tubuh. Perkembangan motorik
sendiri terdiri dari motorik kasar dan halus, motorik kasar adalah kemampuan anak dalam
melakukan gerakan yang melibatkan bagian-bagian tubuh tertentu dan dilakukan oleh otot-otot
besar yang merupakan area terbesar pada masa perkembangan, diawali dengan berjalan, lari,
lompat dan lempar. Kemampuan motorik halus adalah kesanggupan untuk menggunakan otot
tangan dengan baik terutama jari-jari tangan antara lain dengan meliputi jari, menggenggam,
menjimpit dengan jari dan menempel.7,8
dapat menginterpretasikan dan bereaksi terhadap stimulus yang datang dari tubuh dan
lingkungan. Sensori integrasi membantu secara memadai proses sensorik seorang anak agar
tercapai: kemampuan dalam mengolah informasi secara tepat, kemampuan dalam berkonsentrasi,
kemampuan organisasi, self-esteem, kemampuan kontrol diri, percaya diri, kemampuan akademis, kemampuan berpikir abstrak, kemampuan spesialisasi dari masing-masing sisi tubuh dan
otak.
Sensori integrasi disini dapat diartikan sebagai proses kerja otak yang tidak semestinya
dalam mengolah informasi dan menginterpretasikannya sehingga tidak dapat memberikan respon
yang sesuai. Sistem yang ada pada sensori integrasi meliputi:11,12
1. Sistem Vestibular (Keseimbangan)
Sistem vestibular terletak pada bagian dalam telinga dan berfungsi mendeteksi gerakan
dan perubahan-perubahan yang terjadi pada posisi kepala, apakah tegak lurus atau dimiringkan,
dan kelainan pada sistem ini terwujud dalam dua cara yang berbeda, beberapa anak hipersensitif
terhadap rangsangan vestibular dan bereaksi berlebihan terhadap aktivitas gerakan yang biasa.
Sebagian yang lain berperilaku undersensitif, sehingga seringkali mereka menunjukkan perilaku
yang berlebih seperti melompat dan memutar tubuh.12
Vestibular sense adalah indera yang memproses infor-masi tentang pergerakan
(movement), gaya berat (gravitasi), keseimbangan (balance) yang diterima melalui telinga. Dan
memberi info tentang aktivitas yang berhubungan grafitasi (seperti ketika berputar, melompat,
naik atau turun, berayun), pergerakan dan mempertahankan posisi berdiri, seberapa cepat dan
arah serta ketika seseorang berada dalam ruang. Sistem vestibular berfungsi untuk:
mempertahankan tonus otot dan postur sehingga bila ada yang bergerak maka posisi tubuh akan
mendukung, membantu mempertahankan visul field secara stabil oleh mata dan otot leher untuk
mengkompensasi gerakan kepala dan tubuh, dapat melakukan aktivitas dengan menggunakan ke2 sisi tubuh secara bersamaan, memacu cara belajar yang lebih baik. Gejala dari gangguan
vestibular bisa terwujud dalam bentuk perilaku-perilaku, dan kemungkinan anak memiliki satu
atau beberapa dari ciri perilaku di bawah ini:12
a. Sistem vestibular juga berfungsi untuk memberikan keseimbangan pada tubuh, anak
dengan gangguan pada keseimbangan menunjukkan perilaku sebagai berikut: mudah
15
16
Gejala dari gangguan proprioceptive bisa terwujud dalam bentuk perilaku-perilaku, dan
kemungkinan anak memiliki satu atau beberapa dari ciri perilaku di bawah ini: 1) Anak dengan
gangguan disfungsi sensori akan menampakkan perilaku-perilaku sebagai berikut: dengan
sengaja menubruk atau membentur atau menjatuhkan atau merobohkan benda-benda di
sekelilingnya; 2) Interaksi proprioceptive dengan bagian-bagian otak dapat menyebabkan anak
bisa melakukan gerakan yang terkoordinir secara baik, gangguan pada inte-raksi proprioceptive
mengakibatkan terganggunya kesadaran tubuh, motor planning dan motor control; 3) Gangguan
pada proprioceptive juga menyebabkan anak melakukan gerakan gerakan yang tidak efisien; 4)
Gangguan proprioceptive akan dapat mempengaruhi postur tubuh, sehingga anak akan memiliki
ketidakstabilan postur tubuh; 5) Selain dalam bentuk perilaku gangguan proprioceptive juga
dapat mempengaruhi emosi anak.12
3. Sistem Tactile
Tactile sense adalah indera yang memproses informasi tentang perasa dan peraba yang
diterima melalui kulit. Gangguan pada sistem tactile menunjukkan bahwa stimulus yang datang
dari reseptor kulit tidak terproses dengan baik.12
Sistem tactile adalah sistem yang menginformasikan kepada otak tentang kegelisahan
yang dirasakan di bawah permukaan kulit, informasi ini termasuk sentuhan ringan, nyeri,
temperatur dan tekanan. Gangguan pada sistem ini berupa kesalahan persepsi terhadap sentuhan
dan rasa nyeri, meng-asingkan diri, mudah, marah, dan hiperaktif. Gejala dari gangguan Tactile
dapat menyebabkan reaksi perilaku yang beragam, dan kemungkinan anak akan mengalami
beberapa gejala perilaku menunjukkan tidak suka makanan karena bentuknya, tidak suka sikat
gigi, menggunakan pasta gigi, tidak menyukai mukanya dibasuh, reaksi berbeda-beda saat
potong rambut, sisir rambut, mencuci tangan, dan meng-gunakan shower, takut untuk merangkak
atau berjalan, selalu berusaha untuk menyelimuti tubuhnya, kurang peka terhadap suhu, tidak
mau berpakaian, tidak menyukai tekstur pakaian tertentu, label baju, seprei, tidak menyukai
sentuhan fisik, khu-susnya sentuhan kuat, menjadi agresif secara lisan atau fisik bila sentuhan
dirasa menjadi ancaman, tidak menyukai keramaian, berjalan di baris paling belakang, menolak
untuk bermain pasir, melukis dengan jari.12
4. Sistem Visual
17
Menurut Kranowitz sistem visual adalah sebuah proses yang sangat kompleks yang
memungkinkan kita untuk mengidentifikasi apa yang dilihat, untuk mengantisipasi apa yang
datang ke kita, dan mempersiapkan kita dalam menghadapi sesuatu. Kemampuan persepsi visual
adalah kemampuan untuk mengenali hubungan seseorang dalam suatu ruang dengan benda dan
dirinya, membedakan suatu objek dengan yang lainnya, membedakan suatau objek dengan latar
belakang, mengenali secara tepat ketika diperlihatkan bagian dari sebuah benda secara sekilas,
serta kemampuan untuk mengingat secara tepat dan berurutan dari beberapa item.12
Gejala dari gangguan visual ditunjukkan dengan perilaku sebagai berikut: sering
menabrak sesuatu, merasa selalu terhimpit atau kurang ruang, tidak mampu untuk mengatur
barang miliknya atau tugasnya (tidak bisa mengerjakan tugasnya sampai selesai), sulit untuk
tetap dalam aturan, sulit untuk melakukan kontak mata, sulit untuk mengerti tanda (simbol),
tulisan tangan yang kurang baik, menghindari untuk membaca, menulis, menggambar,
mengalami kesulitan dalam membangun, menyusun balok dan mengerjakan puzzle, cepat lelah,
sulit untuk mengenali dan menulis huruf, angka, bentuk, mengalami kesulitan untuk mengikuti
gerak benda dengan mata, memiliki keseimbangan tubuh yang kurang baik.12
5. Sistem Auditori
Menurut Kranowitz dijelaskan bahwa sistem auditori adalah kemampuan untuk
mendengar sesuatu atau suara. Kita lahir dengan kemampuan ini, kita tidak bisa belajar
bagaimana cara melakukan sesuatu tanpa kita mendengarnya.11,12
Proses auditori bertugas untuk menerima informasi, mera-sakan dan membedakan antar
suara, mengumpulkan dan menguraikan suara, mengingat apa yang didengar, meng-integrasikan
apa yang didengar dan mengekspresikannya menjadi sebuah respon, menentukan asal suara.
Gejala dari gangguan auditori ditunjukkan dengan perilaku: kesulitan dalam pembentukan kata
pronound, kesulitan dalam preposisi, salah pendengaran, sulit fokus untuk mendengarkan suara
yang ditujukan padanya ketika ada suara latar belakang yang sama sekali tidak berkaitan,
menjadi hiper atau hipo terhadap suara yang didengar, mudah merasa bingung, mempunyai
kesulitan untuk mengurutkan bahasa, membutuhkan perhatian ekstra untuk dapat berkonsentrasi
dan melakukan tugas, perhatian kurang baik dan cepat lupa.12
BAB III
18
KESIMPULAN
Anak yang mengalami gangguan autism mengalami permasalahan yang sangat kompleks.
Permasalahan tersebut meliputi: motorik, sensorik, kognitif, intrapersonal, interpersonal,
perawatan diri, produksivitas, leisure (sibuk dengan dirinya sendiri).
Penyandang autis dapat dilihat perkembangan motorik melalui pemberian pelatihan dan
keefektifan anak dalam berbagai gerak yang melibatkan bagian tubuh. Perkembangan motorik
sendiri terdiri dari motorik kasar dan halus, motorik kasar adalah kemampuan anak dalam
melakukan gerakan yang melibatkan bagian-bagian tubuh tertentu dan dilakukan oleh otot-otot
besar yang merupakan area terbesar pada masa perkembangan, diawali dengan berjalan, lari,
lompat dan lempar. Kemampuan motorik halus adalah kesanggupan untuk menggunakan otot
tangan dengan baik terutama jari-jari tangan antara lain dengan meliputi jari, menggenggam,
menjimpit dengan jari dan menempel.
Penanganan penyandang autis memerlukan kerjasama dengan tim terpadu yang berasal dari
berbagai ahli dan disiplin ilmu. Beberapa terapi yang dapat dijalankan antara lain; terapi
perilaku, terapi okupasi, terapi sensori integrasi, terapi snoezelen, terapi wicara, terapi biomedis.
Pendapat melalui Amerika Occupation Therapy Association mengemukakan terapi okupasi
adalah suatu perpaduan antara seni dan ilmu pengetahuan untuk menunjukkan jalan dari respon
penderita dalam bentuk kegiatan yang sudah diseleksi yang digunakan untuk membantu dan
memelihara kesehatan, menanggulangi kecacatan, menganalisa tingkah laku, memberikan latihan
dan melatih pasien yang menderita kelainan fisik, mental serta fungsi sosialnya. Pada dasarnya
terapi okupasi itu memiliki cakupan tentang terapi musik dan terapi bermain, karena terapi-terapi
yang digunakan tersebut termasuk bagian yang dilakukan oleh para terapi untuk penyandang
autis karena banyak mengandung unsur bersenang-senang.
Menurut Daeng Sari mengungkapkan bahwa kemampuan motorik halus adalah aktivitas motorik
yang melibatkan aktivitas otot-otot kecil atau halus, gerakan ini menuntut koordinasi mata,
tangan dan kemampuan pengendalian gerak yang baik yang memungkinkan untuk melakukan
ketepatan dan kecermatan dalam gerakannya. Motorik halus adalah kemampuan untuk
membantu melatih koordinasi mata dan tangan dengan mengambil benda, memegang benda,
19
20
DAFTAR PUSTAKA
1. Sadock ,Benjamin james dan Sadock, Virginia Alcott. 2010. Kaplan & Sadock buku ajar
psikiatri klinis. Ed Ke- 2. EGC : Jakarta.
2. Volkmar, Fred R. 2007. Diagnosis and Definition Of Autism And Other Pervasive
Developmental Disorders, Cambridge, New York : Child Study Center, Yale University.
3. Gelder M, Gath D, Mayou R, Cowen P. Oxford Textbook of Psychiatry. edisi 3. Oxford :
Oxford University Press, 1996, p.705-6.
4. First MB, Tasman A. DSM-IV-TR Mental Disorder : Diagnosis, Etiology, and Treatment.
Wiley & Son, 2005
5. American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder.
edisi 4 Arlington, VA, 2004.
6. Peters, theo, (1998), autism from theoretical understanding to educational intervention,
London : whurr publisher Ltd.
7. Augustyn M, Parker S, Zuckerman B, 2005, Developmental and behavioral Pediatrics
(2nd ed):Language Delays, Philadel-phia: Lippincott Williams & Wilkins.
8. Pusponegoro, Hartono D, (2003), Pandangan Umum Mengenai Klasifikasi Spektrum
Gangguan Autistik Dan Kelainan Susunan Saraf Pusat (makalah), Jakarta : Konferensi
Nasional Autism.
9. Blum NJ, Baron MA, 1997, Speech and language disorders. In: Schwartz MW, ed,
Pediatric primary care: a problem oriented approach, St. Louis: Mosby.
10. AH Markum, 1991, Gangguan perkembangan berbahasa, Da-lam: Markum, Ismael S,
Alatas H, Akib A, Firmansyah A, Sastroasmoro S, editor, Buku ajar ilmu kesehatan anak,
Jilid I. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
11. Hurlock, Elizabeth B., 2008, Perkembangan Anak, edisi keenam, McGraw-Hill:
Erlangga.
12. Yehosua, dkk., 2002, Terapi Sensori Integrasi, Okupasi dan Wicara untuk
Mengoptimalkan Kemampuan Anak Autis Makalah seminar, Semarang: P2GPA.
21