Anda di halaman 1dari 21

REFERAT

Terapi Okupasi dan Sensori pada Autisme

Disusun Oleh:
Fajr Muzzammil
1112103000099
Pembimbing:
dr. Suzy Yusna Dewi, Sp.KJ (K)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN JIWA


RUMAH SAKIT JIWA DR. SOEHARTO HEERDJAN
JUNI JULI 2016

DAFTAR ISI
Daftar Isi....................................................................................................................2
Kata Pengantar...........................................................................................................3
BAB I

PENDAHULUAN .................................................................................4

BAB II

PEMBAHASAN ....................................................................................5

2.1. Pengertian penyandang autis......................................................................................5


2.2. Karakteristik penyandang autis..................................................................................5
2.3. Identifikasi penyandang autis....................................................................................5
2.4. Terapi okupasi 11
2.5. Terapi sensori integrasi .............................................................................................14
BAB III

KESIMPULAN......................................................................................19

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................21

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena rahmat dan karuniaNya yang memberikan kesehatan, keselamatan, dan membimbing penulis sehingga dapat
menyelesaikan referat ini dengan baik dan tepat pada waktunya.
Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada dr. Suzy Yusna
Dewi, Sp.KJ (K) selaku pembimbing. Tujuan pembuatan referat ini merupakan salah satu syarat
dari kepaniteraan klinik di RSJ dr. Soeharto Heerdjan.
Penulis menyadari bahwa pembuatan referat ini masih banyak kekurangan dan masih
jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis akan sangat terbuka dan dengan senang hati
menerima segala bentuk kritik dan saran yang bersifat membangun, sehingga referat ini bisa
berguna bagi semua pihak. Akhir kata penulis mengucapkan banyak terima kasih.

Jakarta, 02 Maret 2016

Penulis

BAB I
PENDAHULUAN
Penyebab autis belum diketahui secara pasti. Beberapa ahli menyebutkan autis
disebabkan karena multifaktorial. Beberapa peneliti mengungkapkan terdapat gangguan
biokimia, ahli lain berpendapat bahwa autisme disebabkan oleh gangguan psikiatri/jiwa. Ahli
lainnya berpendapat bahwa autisme disebabkan oleh karena kombinasi makanan yang salah atau
lingkungan yang terkontaminasi zat-zat beracun yang mengakibatkan kerusakan pada usus besar
yang mengakibatkan masalah dalam tingkah laku dan fisik termasuk autis.1
Mengingat demikian luas teori penyebab autis maka penanganan atau terapi yang bisa
diberikan sangat banyak dan bervariasi. Banyak peneliti melaporkan hasil penelitiannya dalam
terapi autis berbeda tergantung berdasarkan berbagai teori yang dianut atau pengalaman peneliti.
Pada umumnya mereka melaporkan hasil yang baik, meskipun berbagai hasil penelitian tersebut
perlu dikaji lebih jauh secara ilmiah.1,2
Terapi yang ideal harus sesuai dengan kondisi imunopatologis yang sering berbeda satu
penderita autis dengan penderita lainnya. Dengan mengidetifikasi penyebab atau penyakit lain
yang bisa mempengaruhi secara cermat, maka dapat ditentukan strategi penanganan dan terapi
untuk penderita. Secara umum pendekatan terapi autis dikelompokkan berdasarkan kajian ilmiah
berbasis bukti, terapi medis murni kedokteran, gabungan terapi medis kedokteran dan tradisional
atau terapi tradisional lainnya. Pembagian tersebut dapat dikelompokkan dalam 3 bagian
diantaranya adalah : terapi konvensional, terapi inovatif dan terapi alternatif.1

BAB II
KAJIAN TEORI
2.1. Pengertian Penyandang Autis
Kata autisme berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata yaitu aut yang berarti
diri sendiri dan ism yang secara tidak langsung menyatakan orientasi atau arah atau keadaan
(state). Sehingga autisme dapat didefinisikan sebagai kondisi seseorang yang luar biasa asik
dengan dirinya sendiri.1,3
2.2 Karakteristik Penyandang Autis
Secara fisik, penampilan penyandang autis tidak berbeda dengan anak-anak lain pada umumnya.
Perbedaan penyandang autis akan terlihat apabila mereka melakukan aktivitas seperti:
berkomunikasi, bermain dan sebagainya. Karakteristik khusus anak-anak autistik antara lain:1,3,4
a. Karakteristik dari segi interaksi sosial, maksudnya anak autistik dapat dikenal dengan
mengamati interaksi sosialnya yang ganjil dibandingkan anak pada umumnya.
b. Karakteristik dari segi komunikasi dan pola bermain, maksudnya anak autistik yang
mengalami keterlambatan dan abnormalitas dalam berbahasa dan berbicara.
c. Karakteristik dari segi aktivitas dan minat, maksudnya anak autistik memperlihatkan
abnormalitas dalam bermain, seperti stereotipe, diulang-ulang, tidak kreatif dan anak autistik
mungkin tidak mampu menggunakan alat mainannya sesuai dengan yang seharusnya.
2.3 Identifikasi Penyandang Autis
Beberapa data mengenai bagaimana mengetahui taraf berat ringan gejala penyandang
autis dapat digunakan Childhood Autism Rating Scale (CARS). CARS adalah alat tes tambah.
Pengukuran selain diambil dari catatan medik, observasi di dalam kelas dan laporan dari
orangtua. CARS terdiri dari 14 butir seperti tersebut dibawah ini:1,3,4
a. Relasi (hubungan) dengan orang lain yaitu bagaimana anak berinteraksi dengan orang
lain dalam berbagai situasi.
b. Imitas (meniru) yaitu bagaimana anak menirukan kata atau suara dan perilaku, apakah
harus dorongan, paksaan atau sama sekali tidak pernah meniru.
5

c. Respon emosional, yaitu bagaimana reaksi anak terhadap situasi yang menyenangkan dan
tidak menyenangkan. Seperti: diberi mainan kesukaanya.
d. Penggunaan badan / tubuh baik untuk gerakan koordinasi maupun gerakan-gerakan yang
lain. Seperti: jinjit.
e. Penggunaan benda-benda (obyek) yaitu minat anak terhadap mainan atau benda lain serta
bagaimana anak menggunakannya.
f. Adaptasi terhadap perubahan, yaitu kesulitan adaptsi terhadap perubahan hal-hal yang
telah rutin atau berpola, dan kesulitan mengubah suatu aktivitas ke aktivitas lain.
g. Respon visual, yaitu pola-pola perhatian visual yang tidak lazim. Seperti: menghindari
kontak mata.
h. Respon mendengarkan, yaitu perilaku mendengarkan yang tidak biasanya atau respon
sesuatu yang tidak lazim terhadap bunyi-bunyian termasuk reaksi anak terhadap suara
orang dan jenis-jenis suara lain.
i. Respon kecap, mencium (membau) dan raba, yaitu bagaimana respon anak terhadap
rangsang kecap, bau dan raba.
j. Ketakutan dan kegelisahan, yaitu rasa takut yang tidak wajar dan tidak semestinya.
k. Komunikasi verbal (kata).
l. Komunikasi non verbal, yaitu komunikasi dengan penggunaan ekspresi mimik muka,
sikap tubuh dan gerak tubuh, serta respon anak terhadap komunikasi non verbal dari
orang lain.
m. Derajat aktivitas, yaitu seberapa banyak anak bergerak baik dalam situasi yang dibatasi
maupun yang tidak dibatasi, apakah aktivitasnya berlebihan atau tampak lesu.
n. Derajat dan konsistensi respon intelektual.
Skor total dikonfirmasikan dengan kriteria penafsiran, sehingga diperoleh kesimpulan
penafsiran mengenai derajat autis yang dialami anak. Adapun kriteria penafsiran tersebut antara
lain: a) Skor 15 s/d 25 : bukan autisme. b) Skor 30 s/d 35 : autisme ringan. c) Skor 40 s/d 50 :
autisme sedang. d) Skor 55 s/d 60 : autisme berat. Adapun ketentuan beberapa kritrerian
penyandang autis, sebagai berikut:5

Data diatas merupakan kriteria untuk mengetahui beberapa identifikasi gangguan yang
menjadi suatu acuan pada gangguan penyandang autis. Gangguan tersebut bisa diketahui bagi
penyandang autis sebagai gangguan yang ringan, sedang dan berat.
10

2.4 Terapi Okupasi (Occupational Therapy)


2.4.1 Pengetian Terapi Okupasi (Occupational Therapy)
Terapi okupasi adalah usaha penyembuhan terhadap seseorang yang mengalami kelainan
mental, dan fisik dengan jalan memberikan suatu keaktifan kerja dimana keaktifan tersebut untuk
mengurangi rasa penderitaan yang dialami oleh penderita. Sedangkan dalam pendapat lain
menyatakan bahwa Terapi okupasi memberikan peluang dan kesempatan bagi anak-anak untuk
mengembangkan bakat, daya, inisiatif, daya kreatifitas, kemampuan bercita-cita, berkarsa dan
berkarya.4,5
Terapi okupasi menurut Spackman adalah suatu aktivitas baik mental atau fisik sebagai bantuan
untuk suatu penyembuhan akibat penyakit atau luka.
Pendapat melalui Amerika Occupation Therapy Association mengemukakan terapi
okupasi adalah suatu perpaduan antara seni dan ilmu pengetahuan untuk menunjukkan jalan dari
respon penderita dalam bentuk kegiatan yang sudah diseleksi yang digunakan untuk membantu
dan memelihara kesehatan, menanggulangi kecacatan, menganalisa tingkah laku, memberikan
latihan dan melatih pasien yang menderita kelainan fisik, mental serta fungsi sosialnya.5
Salah satu aspek yang dituju pada terapi okupasi adalah untuk membuat anak memahami
bahwa aktivitas okupasi yang mereka jalani merupakan suatu kebutuhan yang akhirnya dapat
menjadi keahlian untuk bekal hidup mereka di kemudian hari. Sasaran terapi okupasi meliputi
pemulihan, pengembangan, pemeliharaan fisik, intelektual, sosial, dan emosi pada anak.
2.4.2 Jenis Terapi Okupasi
Beberapa jenis terapi bagi anak Penyandang Autis, antara lain;6
a. Terapi wicara (Speech Therapy); membantu anak melancarkan otot-otot mulut sehingga
membantu anak berbicara lebih baik.
b. Terapi musik (Musik Therapy); terapi musik kepada anak autistik dengan maksud agar
dapat menimbulkan rangsangan kemauan mengespresikan dan menyalurkan perasaannya
secara lebih bebas.
c. Terapi integrasi sensoris (Sensory Integration Therapy); untuk anak-anak yang
mengalami gangguan pada sensorinya.
d. Terapi okupasi; untuk melatih motorik halus anak.
11

e. Terapi mediktosa/obat-obatan (Drug Therapy); dengan pemberian obat-obatan oleh


dokter berwenang.
f. Terapi perilaku; adalah suatu metode untuk membangun kemampuan yang secara sosial
bermanfaat, dan mengurangi/menghilangkan hal-hal kebalikan yang berupa masalah.
g. Terapi melalui makanan (Diet Therapy); untuk anak-anak dengan masalah alergi
makanan tertentu.
h. Terapi integrasi pendengaran (Auditory Integration Therapy) agar pendengaran anak
lebih sempurna.
2.4.3

Tujuan Terapi Bagi Penyandang Autis

Adapun tujuan terapi okupasi untuk penyandang autis antara lain;6


a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.

Memiliki kemampuan motorik kasar dan halus yang baik.


Memiliki mobilitas gerak yang baik.
Mampu mempersepsi dengan bagus.
Memiliki kemampuan bereaksi.
Mampu berkomunikasi meskipun sederhana.
Mampu mengurus diri sendiri meskipun sederhana.
Memiliki dan menggunakan kesibukan untuk dijadikan kebiasaan positif.
Memiliki kemampuan kerja yang bersifat keterampilan sehingga dapat membantu sebagai
lifeskill untuk bekal hidup dikemudian hari.

2.4.4 Aspek Terapi Okupasi


Terapi okupasi meliputi pemulihan, pengembangan, dan pemeliharaan fisik, intelektual,
sosial, dan emosi pada anak. Beberapa aspek yang dilakukan dalam terapi okupasi pada anak
antara lain:7
a. Fisik, peningkatan pertumbuhan fisik yang memerlukan daya tahan tubuh terutama pada
peningkatan kecepatan gerak, peningkatan kemampuan gerak, dan peningkatan kekuatan.
b. Intelektual, terutama pada meningkatkan kesadaran anak tentang tubuh sebagai sarana
gerak, kreativitas, dan problem solving.
c. Sosial emosional, terutama pada melatih kerjasama, meningkatkan kemampuan
berhubungan dengan orang lain dalam kelompok, melatih kemampuan mengikuti aturan,
melatih memperhatikan aturan, menjalankan perintah, dan lain-lain.
Berdasarkan pendapat para ahli tentang terapi okupasi tersebut diatas, maka dapat
diungkapkan bahwa terapi okupasi adalah suatu upaya penyembuhan atau pemulihan yang

12

menggunakan aktivitas atau kegiatan sebagai media terapinya. Dengan aktivitas penyandang
autis akan dilibatkan langsung secara aktif untuk pemulihan fungsi-fungsi fisik atau psikis agar
dapat melaksanakan kegiatan kehidupan sehari-harinya sehingga tercapai tujuan dalam
meningkatkan kemandirian pada penyandang autis, meningkatkan harkat, martabat serta kualitas
hidup. Jadi terapi okupasi bukan memberikan kerja tetapi pekerjaan merupakan media untuk
pengobatan atau penyembuhan gangguan fisik, mental dan sosial.7
Pada dasarnya terapi okupasi itu memiliki cakupan tentang terapi musik dan terapi
bermain, karena terapi-terapi yang digunakan tersebut termasuk bagian yang dilakukan oleh para
terapi untuk penyandang autis karena banyak mengandung unsur bersenang-senang. Sehingga
terapi okupasi merupakan proses awal untuk melatih penyandang autis pada kemampuan motorik
terutama pada kemampuan motorik halus dan gerak bagi penyandang autis melalui terapi
bermain.
Anak yang mengalami gangguan autism mengalami permasalahan yang sangat kompleks.
Permasalahan tersebut meliputi: motorik, sensorik, kognitif, intrapersonal, interpersonal,
perawatan diri, produksivitas, leisure (sibuk dengan dirinya sendiri).7
Penyandang autis dapat dilihat perkembangan motorik melalui pemberian pelatihan dan
keefektifan anak dalam berbagai gerak yang melibatkan bagian tubuh. Perkembangan motorik
sendiri terdiri dari motorik kasar dan halus, motorik kasar adalah kemampuan anak dalam
melakukan gerakan yang melibatkan bagian-bagian tubuh tertentu dan dilakukan oleh otot-otot
besar yang merupakan area terbesar pada masa perkembangan, diawali dengan berjalan, lari,
lompat dan lempar. Kemampuan motorik halus adalah kesanggupan untuk menggunakan otot
tangan dengan baik terutama jari-jari tangan antara lain dengan meliputi jari, menggenggam,
menjimpit dengan jari dan menempel.7,8

2.5 Terapi Sensori Integrasi


Sejarah sensori Integrasi (SI) diterbitkan kepada publik pertama kali tahun 1966 oleh
Jean Ayres Phd OTR tentang intervensi metode SI dan peran OT dalam metode tersebut. Ayres
13

mengembangkan teori Sensori Iintegrasi untuk menjelaskan masalah penginterpretasian sensasi


dari tubuh dan lingkungan serta kesulitan pada akademik dan motor learning dalam memenuhi
tuntutan lingkungan yang mempengaruhi manusia untuk melakukan occupation. Perlu diketahui
bahwa terapi sensori integrasi hanya merupakan sebagian dari pendekatan terapi okupasi.
Seorang terapis okupasi berperan dalam mengevaluasi dan memberi terapi, bila seseorang tidak
dapat melakukan tugas hariannya dengan baik. Pada anak-anak, okupasi untuk mereka
mancakup: kemandirian, kemampuan untuk mengikuti perkembangan anak, dan kemampuan
untuk mendapatkan kegembiraan, kepuasan, dan pengembangan diri dari aktivitas bermain dan
semua hal tersebut diperhitungkan sesuai dengan umur anak yang bersangkutan. Beberapa
pendekatan dalam memberikan terapi okupasi bisa juga disertakan dalam memberikan terapi
sensori integrasi pada anak-anak.8,9,10
Sensori integrasi merupakan proses neurobiologi yang mengacu pada pengintegrasian
dan penafsiran stimulus sensori dari lingkungan oleh otak. Sedangkan disfungsi sensori integrasi
adalah suatu kekacauan dimana input sensori tidak terintegrasi atau tertata sewajarnya di dalam
otak sehingga menimbulkan permasalahan dalam pengembangan, pengolahan informasi serta
perilaku.9
Sensory Integration Disfunction (SID) adalah proses fungsi kerja otak yang tidak
semestinya, dari saat penerimaan input hingga dilanjutkannya ke sistem syaraf perasa untuk
diterjemah-kan mengalami gangguan. Disfungsi sensori integrasi terjadi pada sistem susunan
saraf pusat di dalam otak, menyebabkan otak tidak mampu melakukan analisis,
pengorganisasian, dan tidak mampu melakukan hubungan atau integrasi pesan-pesan sensoris.
Akibat ketidakberfungsian integrasi sensoris, seorang anak tidak dapat melakukan respon atau
menanggapi informasi sensoris untuk dijadikan sesuatu yang bermakna secara konsisten. Anak
tersebut memperoleh kesulitan dalam menggunakan informasi sensoris untuk dibuat rencana atau
diorganisasi dengan apa yang semestinya ia lakukan. Jadi, tidak belajar secara mudah.9
Sensori integrasi terpusat di tiga dasar yaitu tactile, vestibular dan proprioceptive,
ketiganya terbentuk dan terhubung sebelum seseorang dilahirkan dan akan terus berkembang
ketika seseorang berinteraksi dengan lingkungannya. Tactile, vestibular dan propri-oceptive tidak
hanya saling berhubungan, tetapi juga terhubung dengan sistem lain di dalam otak, sistem yang
saling terhubung ini akan membantu seseorang untuk survive, dan proses timbal baliknya akan
14

dapat menginterpretasikan dan bereaksi terhadap stimulus yang datang dari tubuh dan
lingkungan. Sensori integrasi membantu secara memadai proses sensorik seorang anak agar
tercapai: kemampuan dalam mengolah informasi secara tepat, kemampuan dalam berkonsentrasi,
kemampuan organisasi, self-esteem, kemampuan kontrol diri, percaya diri, kemampuan akademis, kemampuan berpikir abstrak, kemampuan spesialisasi dari masing-masing sisi tubuh dan
otak.
Sensori integrasi disini dapat diartikan sebagai proses kerja otak yang tidak semestinya
dalam mengolah informasi dan menginterpretasikannya sehingga tidak dapat memberikan respon
yang sesuai. Sistem yang ada pada sensori integrasi meliputi:11,12
1. Sistem Vestibular (Keseimbangan)
Sistem vestibular terletak pada bagian dalam telinga dan berfungsi mendeteksi gerakan
dan perubahan-perubahan yang terjadi pada posisi kepala, apakah tegak lurus atau dimiringkan,
dan kelainan pada sistem ini terwujud dalam dua cara yang berbeda, beberapa anak hipersensitif
terhadap rangsangan vestibular dan bereaksi berlebihan terhadap aktivitas gerakan yang biasa.
Sebagian yang lain berperilaku undersensitif, sehingga seringkali mereka menunjukkan perilaku
yang berlebih seperti melompat dan memutar tubuh.12
Vestibular sense adalah indera yang memproses infor-masi tentang pergerakan
(movement), gaya berat (gravitasi), keseimbangan (balance) yang diterima melalui telinga. Dan
memberi info tentang aktivitas yang berhubungan grafitasi (seperti ketika berputar, melompat,
naik atau turun, berayun), pergerakan dan mempertahankan posisi berdiri, seberapa cepat dan
arah serta ketika seseorang berada dalam ruang. Sistem vestibular berfungsi untuk:
mempertahankan tonus otot dan postur sehingga bila ada yang bergerak maka posisi tubuh akan
mendukung, membantu mempertahankan visul field secara stabil oleh mata dan otot leher untuk
mengkompensasi gerakan kepala dan tubuh, dapat melakukan aktivitas dengan menggunakan ke2 sisi tubuh secara bersamaan, memacu cara belajar yang lebih baik. Gejala dari gangguan
vestibular bisa terwujud dalam bentuk perilaku-perilaku, dan kemungkinan anak memiliki satu
atau beberapa dari ciri perilaku di bawah ini:12
a. Sistem vestibular juga berfungsi untuk memberikan keseimbangan pada tubuh, anak
dengan gangguan pada keseimbangan menunjukkan perilaku sebagai berikut: mudah
15

jatuh atau hilangnya keseimbangan ketika memanjat tangga, mengendarai sepeda,


melompat, berdiri dengan satu kaki, dan ketika menutup kedua matanya, bergerak
dengan tidak teratur, canggung, kaku dan geli-sah.
b. Anak yang mengalami gangguan vestibular akan menunjukkan sikap tubuh yang
lemah dan tidak berdaya, hal ini dikarenakan tonus otot yang lemah, sehingga
menunjukkan perilaku-perilaku sebagai berikut: tubuh kendur dan lemas, terasa lemas
atau lesu saat diangkat, merasa pincang ketika berjalan, membantu keseimbangan
tubuh ketika berjalan dengan cara berjalan terhuyung-huyung, cenderung untuk
merosot ketika duduk, lebih suka berbaring dari pada duduk, dan terus menerus
menyandarkan kepalanya pada salah satu tangannya, duduk di lantai dengan posisi
W, yaitu lutut-lututnya bengkok dan kakinya memperluas ke luar sisi-sisinya, saat
tengkurap sulit menegakkan kepala, kaki, mempunyai kesukaran memutar tombol
pintu atau sesuatu yang memerlukan tekanan, genggamannya mudah lepas ketika
memegang pensil, gunting, atau sendok, menggenggam dengan sangat suatu benda
karena takut untuk melepaskannya, mempunyai masalah dengan pencernaan, seperti
kurang bisa mengendalikan kandung kemihnya, mudah lelah pada aktivitas-aktivitas
fisik.
2. Sistem Proprioceptive
Proprioceptive adalah sistem yang mengacu pada komponen-komponen dari otot, sendi,
dan urat daging yang memberikan kesadaran pada seseorang tentang posisi tubuhnya.
Proprioceptive yang berfungsi efisien maka posisi tubuh secara otomatis akan disesuaikan
dengan situasisituasi yang berbeda, serta kemampuan untuk merencanakan tugas-tugas motorik
yang berbeda.12
Proprioceptive sense adalah indera yang memproses informasi tentang posisi tubuh,
bagian tubuh yang diterima oleh otot-otot, persendian, tulang. Gangguan proprioceptive
menunjukkan, bahwa proses dari otak ke otot dan persendian tidak dapat tersalurkan dengan
baik. Contoh: anak melihat mainan, tetapi ketika memegangnya anak merasa kesulitan, atau
ketika memegang pensil anak tidak dapat mengontrol penekanan dari tulisan yang ingin
dibuatnya, sehingga menolak untuk menulis.

16

Gejala dari gangguan proprioceptive bisa terwujud dalam bentuk perilaku-perilaku, dan
kemungkinan anak memiliki satu atau beberapa dari ciri perilaku di bawah ini: 1) Anak dengan
gangguan disfungsi sensori akan menampakkan perilaku-perilaku sebagai berikut: dengan
sengaja menubruk atau membentur atau menjatuhkan atau merobohkan benda-benda di
sekelilingnya; 2) Interaksi proprioceptive dengan bagian-bagian otak dapat menyebabkan anak
bisa melakukan gerakan yang terkoordinir secara baik, gangguan pada inte-raksi proprioceptive
mengakibatkan terganggunya kesadaran tubuh, motor planning dan motor control; 3) Gangguan
pada proprioceptive juga menyebabkan anak melakukan gerakan gerakan yang tidak efisien; 4)
Gangguan proprioceptive akan dapat mempengaruhi postur tubuh, sehingga anak akan memiliki
ketidakstabilan postur tubuh; 5) Selain dalam bentuk perilaku gangguan proprioceptive juga
dapat mempengaruhi emosi anak.12
3. Sistem Tactile
Tactile sense adalah indera yang memproses informasi tentang perasa dan peraba yang
diterima melalui kulit. Gangguan pada sistem tactile menunjukkan bahwa stimulus yang datang
dari reseptor kulit tidak terproses dengan baik.12
Sistem tactile adalah sistem yang menginformasikan kepada otak tentang kegelisahan
yang dirasakan di bawah permukaan kulit, informasi ini termasuk sentuhan ringan, nyeri,
temperatur dan tekanan. Gangguan pada sistem ini berupa kesalahan persepsi terhadap sentuhan
dan rasa nyeri, meng-asingkan diri, mudah, marah, dan hiperaktif. Gejala dari gangguan Tactile
dapat menyebabkan reaksi perilaku yang beragam, dan kemungkinan anak akan mengalami
beberapa gejala perilaku menunjukkan tidak suka makanan karena bentuknya, tidak suka sikat
gigi, menggunakan pasta gigi, tidak menyukai mukanya dibasuh, reaksi berbeda-beda saat
potong rambut, sisir rambut, mencuci tangan, dan meng-gunakan shower, takut untuk merangkak
atau berjalan, selalu berusaha untuk menyelimuti tubuhnya, kurang peka terhadap suhu, tidak
mau berpakaian, tidak menyukai tekstur pakaian tertentu, label baju, seprei, tidak menyukai
sentuhan fisik, khu-susnya sentuhan kuat, menjadi agresif secara lisan atau fisik bila sentuhan
dirasa menjadi ancaman, tidak menyukai keramaian, berjalan di baris paling belakang, menolak
untuk bermain pasir, melukis dengan jari.12

4. Sistem Visual
17

Menurut Kranowitz sistem visual adalah sebuah proses yang sangat kompleks yang
memungkinkan kita untuk mengidentifikasi apa yang dilihat, untuk mengantisipasi apa yang
datang ke kita, dan mempersiapkan kita dalam menghadapi sesuatu. Kemampuan persepsi visual
adalah kemampuan untuk mengenali hubungan seseorang dalam suatu ruang dengan benda dan
dirinya, membedakan suatu objek dengan yang lainnya, membedakan suatau objek dengan latar
belakang, mengenali secara tepat ketika diperlihatkan bagian dari sebuah benda secara sekilas,
serta kemampuan untuk mengingat secara tepat dan berurutan dari beberapa item.12
Gejala dari gangguan visual ditunjukkan dengan perilaku sebagai berikut: sering
menabrak sesuatu, merasa selalu terhimpit atau kurang ruang, tidak mampu untuk mengatur
barang miliknya atau tugasnya (tidak bisa mengerjakan tugasnya sampai selesai), sulit untuk
tetap dalam aturan, sulit untuk melakukan kontak mata, sulit untuk mengerti tanda (simbol),
tulisan tangan yang kurang baik, menghindari untuk membaca, menulis, menggambar,
mengalami kesulitan dalam membangun, menyusun balok dan mengerjakan puzzle, cepat lelah,
sulit untuk mengenali dan menulis huruf, angka, bentuk, mengalami kesulitan untuk mengikuti
gerak benda dengan mata, memiliki keseimbangan tubuh yang kurang baik.12
5. Sistem Auditori
Menurut Kranowitz dijelaskan bahwa sistem auditori adalah kemampuan untuk
mendengar sesuatu atau suara. Kita lahir dengan kemampuan ini, kita tidak bisa belajar
bagaimana cara melakukan sesuatu tanpa kita mendengarnya.11,12
Proses auditori bertugas untuk menerima informasi, mera-sakan dan membedakan antar
suara, mengumpulkan dan menguraikan suara, mengingat apa yang didengar, meng-integrasikan
apa yang didengar dan mengekspresikannya menjadi sebuah respon, menentukan asal suara.
Gejala dari gangguan auditori ditunjukkan dengan perilaku: kesulitan dalam pembentukan kata
pronound, kesulitan dalam preposisi, salah pendengaran, sulit fokus untuk mendengarkan suara
yang ditujukan padanya ketika ada suara latar belakang yang sama sekali tidak berkaitan,
menjadi hiper atau hipo terhadap suara yang didengar, mudah merasa bingung, mempunyai
kesulitan untuk mengurutkan bahasa, membutuhkan perhatian ekstra untuk dapat berkonsentrasi
dan melakukan tugas, perhatian kurang baik dan cepat lupa.12

BAB III
18

KESIMPULAN
Anak yang mengalami gangguan autism mengalami permasalahan yang sangat kompleks.
Permasalahan tersebut meliputi: motorik, sensorik, kognitif, intrapersonal, interpersonal,
perawatan diri, produksivitas, leisure (sibuk dengan dirinya sendiri).
Penyandang autis dapat dilihat perkembangan motorik melalui pemberian pelatihan dan
keefektifan anak dalam berbagai gerak yang melibatkan bagian tubuh. Perkembangan motorik
sendiri terdiri dari motorik kasar dan halus, motorik kasar adalah kemampuan anak dalam
melakukan gerakan yang melibatkan bagian-bagian tubuh tertentu dan dilakukan oleh otot-otot
besar yang merupakan area terbesar pada masa perkembangan, diawali dengan berjalan, lari,
lompat dan lempar. Kemampuan motorik halus adalah kesanggupan untuk menggunakan otot
tangan dengan baik terutama jari-jari tangan antara lain dengan meliputi jari, menggenggam,
menjimpit dengan jari dan menempel.
Penanganan penyandang autis memerlukan kerjasama dengan tim terpadu yang berasal dari
berbagai ahli dan disiplin ilmu. Beberapa terapi yang dapat dijalankan antara lain; terapi
perilaku, terapi okupasi, terapi sensori integrasi, terapi snoezelen, terapi wicara, terapi biomedis.
Pendapat melalui Amerika Occupation Therapy Association mengemukakan terapi okupasi
adalah suatu perpaduan antara seni dan ilmu pengetahuan untuk menunjukkan jalan dari respon
penderita dalam bentuk kegiatan yang sudah diseleksi yang digunakan untuk membantu dan
memelihara kesehatan, menanggulangi kecacatan, menganalisa tingkah laku, memberikan latihan
dan melatih pasien yang menderita kelainan fisik, mental serta fungsi sosialnya. Pada dasarnya
terapi okupasi itu memiliki cakupan tentang terapi musik dan terapi bermain, karena terapi-terapi
yang digunakan tersebut termasuk bagian yang dilakukan oleh para terapi untuk penyandang
autis karena banyak mengandung unsur bersenang-senang.
Menurut Daeng Sari mengungkapkan bahwa kemampuan motorik halus adalah aktivitas motorik
yang melibatkan aktivitas otot-otot kecil atau halus, gerakan ini menuntut koordinasi mata,
tangan dan kemampuan pengendalian gerak yang baik yang memungkinkan untuk melakukan
ketepatan dan kecermatan dalam gerakannya. Motorik halus adalah kemampuan untuk
membantu melatih koordinasi mata dan tangan dengan mengambil benda, memegang benda,

19

menggenggam benda, dan memasang. Sehingga penyusunan gambar (puzzle) padat


meningkatkan kemampuan motorik halus pada penyandang autis.
Menurut Edward L. Thorndike yaitu dalam hukum latihan (the law of exercise) yang menyatakan
bahwa hubungan atau koneksi antara stimulus dan respon akan menjadi kuat apabila sering
digunakan. Dan hukum ini menyatakan bahwa hubungan atau koneksi antara stimulus dan
respon akan menjadi lemah apabila tidak ada latihan.
Melalui bermain anak bisa mencapai perkembangan fisik, intelektual, emosi, dan sosial. Secara
tidak sadar pula anak telah melatih kekuatan, keseimbangan, dan melatih kemampuan
motoriknya. Terapi bermain untuk penyandang autis merupakan suatu usaha mengoptimalkan
kemampuan fisik, intelektual, emosi, dan sosial anak. Dan untuk pengembangan kekuatan otot,
motorik, meningkatkan ketahanan organ tubuh bagian dalam, mencegah dan memperbaiki sikap
tubuh yang kurang baik. Untuk melatih pengembangan otot-otot, fungsi mata, telinga, dan
pengertian, beberapa permainan berikut ini bisa diajarkan pada gangguan penyandang autis:
Titian kayu dan balok kayu, bermain bola, menyusun benda bunder, menggunting dan
menempel, membuat kalung. Memasukkan benda ke kotak, menyebutkan nama-nama benda,
melukis dengan jari, bermain pasir, serta bermain puzzle.
Penyandang autis dengan melakukan gerakan melalui koordinasi mata dan tangan secara terlatih
sehingga dapat meningkatkan kemampuan motorik halus. Pada penyandang autis sudah
seharusnya melakukan meningkatkan kemampuan motorik halus mengurangi ketidakmampuan
pada penyandang autis. Melalui penyusunan gambar (puzzle) sebagai media untuk membantu
penyandang autis.

20

DAFTAR PUSTAKA
1. Sadock ,Benjamin james dan Sadock, Virginia Alcott. 2010. Kaplan & Sadock buku ajar
psikiatri klinis. Ed Ke- 2. EGC : Jakarta.
2. Volkmar, Fred R. 2007. Diagnosis and Definition Of Autism And Other Pervasive
Developmental Disorders, Cambridge, New York : Child Study Center, Yale University.
3. Gelder M, Gath D, Mayou R, Cowen P. Oxford Textbook of Psychiatry. edisi 3. Oxford :
Oxford University Press, 1996, p.705-6.
4. First MB, Tasman A. DSM-IV-TR Mental Disorder : Diagnosis, Etiology, and Treatment.
Wiley & Son, 2005
5. American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder.
edisi 4 Arlington, VA, 2004.
6. Peters, theo, (1998), autism from theoretical understanding to educational intervention,
London : whurr publisher Ltd.
7. Augustyn M, Parker S, Zuckerman B, 2005, Developmental and behavioral Pediatrics
(2nd ed):Language Delays, Philadel-phia: Lippincott Williams & Wilkins.
8. Pusponegoro, Hartono D, (2003), Pandangan Umum Mengenai Klasifikasi Spektrum
Gangguan Autistik Dan Kelainan Susunan Saraf Pusat (makalah), Jakarta : Konferensi
Nasional Autism.
9. Blum NJ, Baron MA, 1997, Speech and language disorders. In: Schwartz MW, ed,
Pediatric primary care: a problem oriented approach, St. Louis: Mosby.
10. AH Markum, 1991, Gangguan perkembangan berbahasa, Da-lam: Markum, Ismael S,
Alatas H, Akib A, Firmansyah A, Sastroasmoro S, editor, Buku ajar ilmu kesehatan anak,
Jilid I. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
11. Hurlock, Elizabeth B., 2008, Perkembangan Anak, edisi keenam, McGraw-Hill:
Erlangga.
12. Yehosua, dkk., 2002, Terapi Sensori Integrasi, Okupasi dan Wicara untuk
Mengoptimalkan Kemampuan Anak Autis Makalah seminar, Semarang: P2GPA.

21

Anda mungkin juga menyukai