Anda di halaman 1dari 17

EKSISTENSI HAK ULAYAT DALAM HUKUM AGRARIA

BAB I
PENDAHULUAN
Tanah merupakan modal utama bagi masyarkat hukum adat terutama yang
masih sangat bercorak agraris. Hal tersebut karena tanah merupakan tempat
tinggal, tempat beribadah dan juga sebagai tempat bercocok tanam untuk
memenuhi kebutuhan hidup. Karena pentingnya tanah bagi masyrakat, tidak heran
jika dari jaman kerajaan sampai dengan sekarang dirasakan perlu pengaturan
tentang tanah. Pada masyarakat hukum adat terdahulu sudah ada peraturan
peraturan mengenai tanah, walupun bentuknya masih dalam hukum yang tidak
tertulis atau disebut hukum adat. Pada jaman masyarakat hukum adat terdahulu
terdapat suatu ketentuan mengenai tanah yang menyatakan bahwa siapa yang
pertama kali membuka lahan dan mendudukinya, maka orang tersebutlah yang
dianggap menjadi pemilik tanah. Dahulu dalam membuktikan kepemilikan tanah
tidak perlu dengan surat menyurat, tetapi cukup dengan pengakuan secara lisan
dari masyarakat setempat bahwa benar ia telah menduduki tanah tersebut dalam
jangaka waktu yang lama. Namun adakalnya bahwa sebidang tanah tidak dapat
dikatakan sebagi hak milik orang perseorangan. Dalam hal ini tidak ada
seorangpun yang dikatakan sebagai pemilik tanah, karena tanah itu dianggap
sebagai milik bersama dari suatu kelompok masyarakat dan dimanfaatkan untuk
kesejahteraan bersama.
Dalam perkembangannya, setelah dikenal adanya hukum tertulis dan juga
adanya kesadaran hukum di dalam kehidupan masyarakat

maka dibentuklah

hukum tertulis yang mengatur tentang tanah dan segala hal yang berkaitan dengan
tanah yang disebut dengan hukum agraria. Salah satunya adalah Undang
Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria atau
yang disebut UUPA. Dibentuknya UUPA ini dimaksudkan untuk mengakhiri
keberagaman perangkat hukum yang mengatur dalam bidang pertanahan, dimana
pembentukannya didasarkan pada hukum adat. Seperti yang dijelaskan
sebelumnya bahwa di dalam hukum adat terdapat konsepsi mengenai kepemilikan

tanah yang bersifat komunal yang menunjukkan adanya hak ulayat dalam
1

masyarakat hukum adat. Walaupun di dalam UUPA dikenal adanya istilah hak

ulayat, tetapi sampai sekarang hak ulayat tersebut keberadaannya masih menjadi
permasalahan di dalam hukum tanah nasional. Begitu juga statusnya dalam
masyarakat adat sendiri, mengingat keberadaan hak ulayat tersebut ada yang
masih sangat kental dan ada juga yang sudah menipis bahkan hilang.
Maka dari itu, untuk mengetahui secara jelas bagaimana kedudukan dan
eksistensi hak ulayat di dalam UUPA, dalam makalah ini akan dijelaskan
menganai hak ulayat dan bagaimana kedudukannya di dalam sistem hukum tanah
nasional, apakah masih diakui atau tidak.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hak Ulayat
Sebelum membahas mengenai hak ulayat, akan lebih baik jika kita
memahami terlebih dahulu mengenai konsep masyarakat dan masyarakat
hukum adat. Tentu kita ketahui bahwa setiap makhluk hidup di bumi ini pasti
hidup dengan berkelompok dan saling berinteraksi yang membentuk suatu
kesatuan, termasuk manusia. Biasanya kesatuan kesatuan hidup manusia itu
disebut sebagai masyarkat.
Namun perlu menjadi perhatian bahwa tidak semua kesatuan manusia
yang saling berinteraksi itu bisa disebut sebagai masyarakat, misalnya ada
sekelompok orang yang mengerumuni tukang sayur, mereka memang
berkelompok dan saling berinteraksi tetapi tidak bisa disebut sebagai
masyarakat. Oleh karena itu yang dapat disebut sebagai masyarakat tidak
hanya kesatuan manusia yang yang bergaul dan berinteraksi, tetapi juga harus
mempunyai suatu ikatan lain yang khusus.1 Ikatan khusus tersebut haruslah
bersifat mantap dan kontinyu sehingga telah menjadi adat istiadat yang khas.
Selain itu, suatu kesatuan masyarakat juga harus memiliki suata rasa
identitas yang di dalamnya terdapat suatu sistem norma. Sehingga dapat
1 Koenjtaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta:Rineka Cipta,
2009).
2

disimpulkan pengetian dari masyarakat adalah, Masyarakat adalah


kesatuan
hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat
tertentu yang bersifat kontinu, dan yang terikat oleh suatu rasa identitas
bersama.2
Selanjutnya perlu diketahui juga pengertian dari masyarakat hukum adat.
Pengertian masyarakat hukum adat menrut Ter Haar, adalah : Kelompokkelompok masyarakat yang tetap dan teratur dengan mempunyai kekuasaan
sendiri, baik yang berwujud maupun tidak berwujud.3
Dari pengertian masyarakat hukum adat yang diberikan oleh Ter Haar
dapat diketahui bahwa masyarakat hukum adat meiliki suatu kekuasaan yang
berwujud maupun yang tidak berwujud, dalam hal kekuasaan masyarakat
yang berwujud tersebut itulah yang disebut sebagai hak ulayat. Hak ulayat
adalah hak persekutuan hukum terhadap tanah, hak tersebut bukan hak
perorangan. Mr. Maassen dan APG Hens dalam bukunya Agrarische regeling
voor het Gouvernementsgebied van java en Madura ( Peraturan peraturan
agraris di daerah Gubernur Jawa dan Madura ), menerangkan tentang hak
ulayat sebagai berikut : Yang dinamakan hak ulayat (beschikkingensrecht)
adalah hak desa menurut adat dan kemauannya untuk menguasai tanah
dalam lingkungan daerahnya buat kepentingan anggota anggotanya atau
untuk kepentingan orang lain (orang asing) dengan membayar kerugian
kepada desa, dalam hal mana desa itu sedikit banyak turut campur dengan
pembukaan tanah itu dan turut bertanggung jawab terhadap perkara
perkara yang terjadi disitu yang belum dapat diselesaikan. 4 Dari pengertian
tersebut menunjukkan bahwa di dalam hak ulayat memiliki kekuatan berlaku
ke dalam dan keluar. Kekuatan berlaku kedalam artinya bahwa semua
2 Ibid, hlm. 118.
3 Hilman Hadikusuma, Pengantar Hukum Adat Indonesia, (Bandung:
Mandar Maju, 2003).
4 Eddy Ruchiyat, Politik Nasional Sampai Orde Baru, (Bandung:Alumni
Bandung, 1984).
3

anggotanya berhak memetik hasil dari tanah beserta segala isinya untuk
memenuhi kebutuhan para anggotnya, sedangkan berlaku kedalam artinya
bahwa selain anggotanya sendiri, orang asing boleh menggunakan tanah hak
ulayat tersebut dengan seijin penguasa dan diwajibkan membayar kerugian.
Bagi masyarakat hukum adat tertentu, hak ulayat bisa tercipta karena
pemisahan dari masyarakat hukum adat induknya, menjadi masyarakat
hukum adat baru yang mandiri, dengan sebagian wilayah induknya sebagai
tanah ulayatnya.5
Dalam peraturan perundang undangan sendiri hak ulayat tidak
diterangkan secara jelas, sehingga dahulu hak ulayat ada yang menamakan
hak milik komunal. Van Vollenhoven menamakan hak ulayat sebagai
beschikkingensrecht yang kemudian diterima oleh umum dan dipakai sampai
sekarang. Beschikkingensrecht merupakan suatu hak tanah yang hanya
terdapat di Indonesia, suatu hak yang tidak dapat dipecah pecahkan
yangdan didasarkan pada keagamaan.
Undang Undang Pokok Agraria pun juga tidak menyebutkan penjelasan
tentang hak ulayat yang dalam kepustakaan hukum adat disebut
beschikkingensrecht.6 Hak ulayat secara sebagai istilah yuridis yaitu hak yang
melekat sebagai kompetensi khas pada masyarakat hukum adat, berupa
wewenang/kekuasaan mengurus dan mengatur tenah seisinya dengan
kekuatan berlaku ke dalam maupun ke luar.7
Dengan demikian hak ulayat menunjukkan adanya hubungan hukum
antara masyarakat hukum adat sebagai subyek hak dan tanah sebagai obyek
haknya. Hubungan antara masyarakat hukum adat dengan tanah wilayahnya
adalah hubungan menguasai.
5 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan
UUPA dan Pelaksanaannya, Jilid 1, Hukum Tanah Nasional,
(Jakarta:Djambatan, 2008). Hlm. 281
6 Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan : Antara Regulasi dan
Implementasi, (Jakarta: Kompas, 2008). Hlm. 55.
7 Imam Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, (Jogjakarta : Liberty, 1981).
Hlm. 1
4

Pengertian hak ulayat yang lain adalah merupakan serangkaian wewenag


dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat yang berhubungan dengan tanah
yang terletak dalam lingkungan wilayahnya sebagai pendukung utama
penghidupan dikehidupan masyrakat yang bersangkutan.
Untuk memperjelas pengertian Hak Ulayat dan Tanah Ulayat, kita dapat
membaca peraturan resmi yang berlaku, yaitu Peraturan Menteri Negara
Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasioanal Nomor 5 Tahun 1999 tentang
Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Dalam
Peraturan Menteri tersebut dijelaskan pada Pasal 1 sebagai berikut :
"Dalam Peraturan ini yang dimaskud dengan :
1. Hak Ulayat dan yang serupa itu dari masyarakat Hukum Adat (untuk
selanjutnya disebut hak ulayat), adalah kewenangan yang menurut hukum
adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu
yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil
manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah dalam wilayah tersebut,
bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan
secara lahiriyah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara
masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan,
2. Tanah Ulayat adalah bidang tanah yang diatasnya terdapat hak ulayat dari
suatu masyarakat hukum adat tertentu,
3. Masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh
tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum
karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan,
4. Daerah adalah daerah otonom yang berwenang melaksanakan urusan
pertanahan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah (kini telah diubah dengan UndangUndang Nomor 32 tahun 2001 Tentang Pemerintahan Daerah).8
Pasal 2 ayat (1) pelaksanaan Hak Ulayat sepanjang pada kenyataannya masih
ada dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut
ketentuan hukum adat setempat. Pasal 2 ayat (2) Hak Ulayat masyarakat
hukum adat dianggap masih ada apabila :
8 A Bazar Harahap, Posisi Tanah Ulayat Menurut Hukum Nasional,
(Jakarta : CV Yanis, 2007). Hlm 7-8
5

1. Terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum
adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang
mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut
dalam kehidupannya sehari-hari.
2. Terdapat tanah Ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga
persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan
hidupnya sehari-hari.
3. Terdapat tatanan hukum adat menguasai pengurusan, penguasaan dan
penggunaan tanah ulayat yang berlalu dan ditaati oleh para warga
persekutuan hukum tersebut.
Dalam Pasal 4 ayat (1) penguasaan bidang-bidang tanah yang termasuk Tanah
Ulayat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 oleh perseorangan dan badan
hukum dapat dilakukan :
1. Oleh warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan dengan hak
penguasaan menurut ketentuan hukum adatnya yang berlaku, yang apabila
dikehendaki oleh pemegang haknya dapat didaftar sebagai hak atas tanah
yang sesuai menurut ketentuan UUPA,
2. Oleh instansi pemerintah, badan hukum atau perseorangan bukan warga
masyarakat hukum adat yang bersangkutan dengan hak atas tanah menurut
ketentuan UUPA berdasarkan pemberian hak dari negara setelah tanah
tersebut dilepaskan oleh masyarakat hukum adat atau oleh warganya sesuai
dengan ketentuan dan tata cara hukum adat yang berlaku.9
Pengertian terhadap istilah hak ulayat juga ditegaskan

oleh

G.Kertasapoetra dan kawan-kawan dalam bukunya hukum tanah, jaminan


UUPA bagi keberhasilan pendayagunaan tanah, menyatakan bahwa : Hak
ulayat merupakan hak tertinggi atas tanah yang dimiliki oleh sesuatu
persekutuan

hukum

(desa,

suku)

untuk

menjamin

ketertiban

pemanfaatan/pendayagunaan tanah. Hak ulayat adalah hak yang dimiliki


oleh suatu persekutuan hukum (desa, suku), dimana para warga masyarakat
(persekutuan hukum) tersebut mempunyai hak untuk menguasai tanah, yang

9 Boedi Harsono, Himpunan Peraturan Peraturan Hukum Tanah,


(Jakarta : Djambatan, 2000). Hlm. 63-65
6

pelaksanaannya diatur oleh ketua persekutuan (kepala suku/kepala desa


yang bersangkutan).10
Jadi, Hak Ulayat merupakan serangkaian wewenang dan kewajiban suatu
masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam
lingkungan wilayahnya, yang sebagai telah diuraikan diatas merupakan
pendukung utama penghidupan dan kehidupan masyarakat yang bersangkutan
sepanjang masa (Lebensraum). Kewenangan dan kewajiban tersebut masuk
dalam bidang hukum perdata dan ada yang masuk dalam bidang hukum
publik. Kewenangan dan kewajiban dalam bidang hukum perdata
berhubungan dengan hak bersama kepunyaan atas tanah tersebut. Sedangkan
dalam hukum publik, berupa tugas kewenangan untuk mengelola, mengatur
dan memimpin peruntukan, penguasaan, penggunaan, dan pemeliharaannya
ada pada Kepala Adat/ketua Adat.
Subyek hak ulayat ini adalah masyarakat hukum adat, baik merupakan
persekutuan hukum yang didasarkan pada kesamaan tempat tinggal
(teritorial), maupun yang didasarkan pada keturunan (genealogis), yang
dikenal dengan berbagai nama yang khas didaerah yang bersangkutan,
misalnya suku, marga, dati, dusun nagari dan sebagainya. Apabila ada orang
yang seakan-akan merupakan subyek hak ulayat, maka orang tersebut adalah
ketua adat yang memperoleh pelimpahan kewenangan dari masyarakat
hukum adat yang bersangkutan menurut ketentuan hukum adatnya. Ia
bukanlah subyek hak ulayat, melainkan petugas masyarakat hukum adat
dalam melaksanakan kewenangan yang bersangkutan dengan hak ulayat.
Sedangkan obyek yang menjadi hak ulayat tidak hanya tanah tetapi
meliputi juga hutan belakar, perairan (sungai-sungai, perairan pantai laut) dan
tanaman yang tumbuh sendiri berserta binatang yang hidup liar. Menurut
ketentuan hukum adat hak ulayat dapat berlaku kedalam dan berlaku keluar.
Berlaku kedalam berarti anggota masyarakat dapat mengambil keuntungan
dari tanah, tumbuh-tumbuhan dan binatang yang terdapat disitu. Hak ulayat
10 G Kartasapoetra, dkk, Hukum Tanah, Jaminan Undang Undang
Pokok Agraria Bagi Keberhasilan Pendayagunaan Tanah, (Jakarta, Bina
Aksara, 1985). Hlm 88.
7

ini mempunyai hubungan yang timbal balik dengan hak perseorangan, bila
hak perseorangan kuat, hak ulayatnya melemah. Sebaliknya bila seseorang
yang meninggalkan hak perorangannya, maka hak ulayat berlaku kembali.
Berlaku keluar berarti bahwa orang luar hanya boleh memunggut hasil
tanah dan lain-lain dalam lingkungannya sesusah mendapat ijin dari kepala
adat atau masyarakat dan membayar uang pengakuan yang disebut recognitie
(mesi).
B. Kedudukan Hak Ulayat dalam Hukum Tanah Nasional
1. Hak Ulayat dalam UUPA
Berbagai macam hak yang berasal dari hukum adat ataupun hubungan
hukum antara manusia dengan tanahnya harus mendapatkan tempat dalam
sistem hukum agraria nasional dengan syarat harus diadakan berbagai
modifikasi, karena hukum adat merupakan dasar dari hukum agraria
nasional.
Daniel S.Lev menyatakan bahwa para perancang UUPA mengatakan
bahwa Undang-Undang karya mereka itu didasarkan pada hukum adat,
tetapi nyatanya Undang-Undang Tahun 1960 itu banyak melakukan
langkah-langkah besar ke arah penghapusan hak-hak milik adat.11 Hal ini
bukan tanpa alasan karena semua tanah itu harus tunduk pada tuntutan
kepentingan dan tujuan nasional. UUPA jelas sekali mengingkari hak-hak
adat yang khas walaupun masih di izinkannya beberapa kebijakan
administrasif sesuai hukum adat. Pada dasarnya semua ini untuk
menciptakan suatu hukum tanah yang berlaku universal.
Kiranya masih adanya Hak Ulayat diketahui dari kenyataan mengenai
1) masih adanya suatu kelompok orang-orang yang merupakan warga
suatu masyarakat hukum adat tertentu, dan 2) masih adanya tanah yang
merupakan wilayah masyarakat hukum adat tersebut, yang didasari
sebagai kepunyaan bersama para warga masyarakat hukum adat itu sebagai
lebensraum-nya. Selain itu, eksistensi Hak Ulayat masyarakat hukum
adat yang bersangkutan juga diketahui dari kenyataan, masih adanya 3)
11 Abdurrahman, Kedudukan Hukum Adat dalam Perundang-undangan
Agraria Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1984), Hlm 80.
8

kepala adat dan para tetua adat yang pada kenyataannya dan diakui oleh
para warganya, melakukan kegiatan sehari-hari, sebagai pengemban tugas
kewenangan

masyarakat

hukum

adatnya,

mengelola,

mengatur

peruntukan, penguasaan dan penggunaan tanah bersama tersebut.12


Di dalam Pasal 5 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN
5/1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat
Hukum Adat ditetapkan bahwa penentuan mengaenai masih ada atau
tidaknya hak ulayat di dalam suatu masyarakat hukum adat tertentu
ditugaskan kepada Pemerintah Daerah dengan mengikutsertakan para para
pakar hukum adat masyarakat hukum adat yang ada di daerah yang
bersangkutan dan juga Lembaga Swadaya Masyarakat dan Instansi
instansi yang mengelola sumber daya alam.
Sebenarnya hak ulayat tetap diakui oleh UUPA, tetapi pengakuannya
itu disertai 2 syarat yaitu mengenai eksistensinya dan mengenai
pelaksanaannya atau dengan kata lain, Hak Ulayat diakui sepanjang
menurut kenyataannya masih ada. Hak Ulayat diakui eksistensinya
bilamana menurut kenyataannya di lingkungan kelompok masyarakat
hukum adat tertentu yang bersangkutan memang masih ada. Jika ternyata
masih ada, maka pelaksanaannya harus sedemikian rupa sehingga sesuai
dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasar atas persatuan
bangsa dan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan
peraturan-peraturan yang lebih tinggi seperti yang dijelaskan dalam Pasal
3 dan Penjelasan Umum II angka (3). Ketentuan dalam Pasal 3 UUPA
berpangkal pada pengakuan adanya hak ulayat dalam Hukum Tanah
Nasional, sebagaimana merupakan hak penguasaan yang tertinggi dalam
lingkungan masyarakat hukum adat tertentu atas tanah yang merupakan
kepunyaan bersama warganya. Berkaitan dengan hal tersebut, tidak jarang
ada beberapa peristiwa yang menunjukkan bahwa Hak Ulayat dapat
menjadi penghambat pembangunan daerah itu sendiri atau bahkan
12 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah pembentukan UUPA, Isi dan
Pelaksanaannya, (Jakarta: Djambatan, 2008). Hlm. 78.
9

merintangi usaha-usaha besar pemerintah. Seperti yang dijelaskan


sebelumnya, bahwa pelaksanaan hak ulayat haruslah sesuai dengan
kepentingan nasional dan negara. Hal ini berarti penguasa penguasa adat
sebagai pelaksana hak ulayat tidak boleh menghalangi atau merintangi
usaha usaha Pemerintah untuk mencapai kemakmuran rakyat yang
sebesar besarnya.13 Tetapi dalam pelaksanaannya, pengadaan tanah untuk
kepentingan pembangunan nasional ini tidak lah mudah karena dalam
pelaksanaannya harus dilakukan dengan memperhatikan peran tanah
dalam kehidupan manusia dan prinsip penghormatan terhadap hak hak
yang sah atas tanah.14 Dalam prakteknya pelaksanaan pengadaan tanah
untuk kepentingan pembangunan nasional ini tidak jarang menimbulkan
keributan yang pada akhirnya rakyat lah yang dirugikan.
Karena alasan tersebut maka diberlakukanlah Keputusan Presiden No.
55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum. Peraturan tersebut di satu pihak bertujuan
untuk

memberikan

berbagai

kemudahan

bagi

para

pelaksana

Pembangunan dalam menghadapi kesulitan pangadaan tanah untuk


berbagai proyek Pembangunan sedang di pihak lain untuk menampung
berbagai aspirasi masyarakat, dimana peraturan sebelumnya kurang
memberikan jaminan perlindungan hukum kepada rakyat yang tanahnya
terkena pembebasan.15
Berdasarkan Pasal 1 dan 9 Keputusan Presiden No. 55 Tahun 1993,
terdapat

ketentuan

bahwa

Pengadaan

tanah

bagi

pelaksanaan

pembangunan untuk kepentingan umum (harus) dilakukan melalui

13 Ibid, hlm 214.


14 H Abdurrahman, Masalah Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah,
Pembebasan Tanah dan Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum di Indonesia, Edisi Revisi,
(Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996). Hlm 103-104.
15 Ibid, hlm 107.
10

musyawarah.1616 Musyawarah adalah proses atau kegiatan saling


mendenga, dengan sikap saling menerima pendapat dan keinginan yang
didasarkan atas kesukarelaan antara pemegang hak atas tanah dan pihak
yang memerlukan tanah, untuk memperoleh kesepakatan, mengenai
bentuk dan besarnya ganti kerugian.17
Selain dalam hal ganti kerugian, KEPPRES tersebut juga menentukan
harus adanya kesepakatan dan kesukarelaan masyrakat hukum adat untuk
memberikan seluruh atau sebagian tanah ulayatnya kepada pihak yang
berkepentingan untuk pembangunan kepentingan umum. Indonesia
sebagai Negara Hukum yang berdasrkan Pancasila tidak dibenarkan
melakukan paksaan kepada orang untuk menyerahkan hak atas tanah yang
dimilikinya karena itu sama saja dengan pemerkosaan hak.18
Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana ketika musyawarah
tersebut tidak menghasilkan kesepakatan? Apakah pemerintah kemudian
memaksa masyarakat hukum adat untuk menyerahkan tanah ulayat
mereka. Dengan alasan apapun, tidak dibenarkan adanya paksaan
penyerahan hak ulayat tersebut, karena hal tersebut akan memancing
konflik. Ada beberapa alternative untuk menghindari munculnya konflik,
misalnya masyarakat hukum adat tidak perlu melepaskan hak ulayatnya
kepada Pemerintah dan untuk itu ia mendapat imbalan dalam bentuk ganti
kerugian akan tetapi tetap menjadikan rakyat berkuasa atas tanah
ulayatnya. Bisa dilakukan dengan sistem sewa.
Mengenai kesepakatan dan kesukarelaan penyerahan maupun
imbalan, berlaku juga terhadap individu yang berusaha untuk memperoleh
sebagian dari hak ulayat untuk dimiliki secara individual. Karena antara
hak ulayat dengan hak hak peroranagan itu selalu ada pengaruh timbal
balik, artinya bahwa semakin banyak usaha yang dilakukan seseorang atas
16 Boedi Harsono, Op cit, hlm 195.
17 Boedi Harsono, Op cit, hlm 195.
18 H Abdurrahman, Op cit, hlm 107.
11

sebidang tanah maka semakin eratlah hubungannya dengan tanah yang


bersangkutan dan makin kuat pula hak nya atas tanah tersebut.19
Namun sekuat apapun hak perseorangan, tetap saja terikat pada hak
ulayat. Banyak terjadi karena kuatnya hak perseorangan mengakibatkan
kekuatan hak ulayat tersebut hampir atau bahkan hilang, tetapi ketika
hubungan seseorang dengan tanah nya melemah maka hak ulayat menjadi
kuat kembali, bahkan tanah tersebut kembali dalam penguasaan penuh
masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
2. Hak Ulayat di dalam Undang-Undang Pokok Kehutanan
Menurut pernyataan UU Pokok Kehutanan ( UU Nomor 5 Tahun
1967-8; TLNRI 2832) semua hutan dalam wilayah Republik Indonesia
termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya, dikuasai oleh
Negara. Pernyataan di atas tadi bukan berarti bahwa hak-hak masyarakat
hukum adat atas hutan ulayatnya dihapuskan. Dalam hal ini Hak Ulayat
masyarakat-masyarakat hukum adat diakui, tetapi sepanjang menurut
kenyataannya masih ada dan pelaksanaannya tidak boleh bertentangan
dengan kepentingan nasional dan undang-undang yang lebih tinggi.
Didalam Pasal 7 ditentukan bahwa pelaksanaan hak-hak masyarakat
hukum adat dan anggota-anggotanya serta perseorangan untuk
mendapatkan manfaat dari hutan baik langsung maupun tidak langsung
yang didasarkan atas sesuatu peraturan hukum, sepanjang menurut
kenyataannya masih ada, tidak boleh mengganggu tercapainya tujuantujuan yang dimaksud dalam undang-undang ini.20 Karena itu, tidak
dapat dibenarkan andaikata Hak Ulayat suatu masyarakat hukum adat
setempat digunakan untuk menghalang-halangi pelaksanaan rencana
umum pemerintah, misalnya menolak dibukanya hutan secara besarbesaran untuk proyek-proyek besar atau untuk kepentingan transmigrasi
dan lain sebagainya. Demikian pula tidak dapat dibenarkan, apabila Hak

19 Boedi Harsono, Op Cit, hlm 188.


20 Boedi Harsono, Op Cit, hlm 199.
12

Ulayat dipakai sebagai dalih bagi masyarakat hukum adat setempat untuk
membuka hutan secara sewenang-wenang.
Pada kenyataannya, jika suatu wilayah hutan sudah diberikan dengan
Hak Pengusahaan Hutan kepada pengusaha, ada kemungkinan para
anggota masyarakat hukum adat untuk mengambil hasil hutan berdasarkan
Hak Ulayat, sangat dibatasi. Dengan telah diberikannya Hak Pengusahaan
Hutan kepada para pengusaha hutan yang meliputi tanah Hak Ulayat
mereka, berakibat dibekukannya, lebih-lebih ditiadakannya, hak mereka
untuk mengambil hasil hutan diwilayah ulayatnya masing-masing. Namun
demikian ada ketentuan yang melindungi hak-hak masyarakat hukum adat
dan para warganya yaitu Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1976 tentang
Sinkronisasi Pelaksanaan Tugas Keagrariaan dengan Bidang Tugas
Kehutanan Pertambangan, Transmigrasi dan Pekerjaan Umum.
Diinstruksikan pada para menteri yang bersangkutan bahwa :
1. bilamana pemegang Hak Pengusahaan Hutan memerlukan penggunaan
sebidang tanah didalam areal Hak Pengusahaan Hutannya, yang
penggunaannya tidak secara langsung untuk usaha yang sesuai dengan
pemberian Hak Pengusahaan Hutan tersebut, maka yang bersangkutan
wajib mengajukan permohonan kepada Menteri Dalam Negeri
( sekarang : Menteri Negara Agraria / Kepala BPN ) untuk
memperoleh sesuatu hak atas

tanah tersebut sesuai dengan

penggunaannya, yaitu setelah mendapat persetujuan dari Menteri


Pertanian ( sekarang : Menteri Kehutanan ), dengan mengikuti tata cara
yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan agraria yang
berlaku.
2. bilamana dalam areal tanah yang diperlukan itu terdapat tanah yang
dikuasai oleh penduduk atau masyarakat hukum adat dengan sesuatu
hak yang sah, maka hak itu harus dibebaskan terlebih dahulu oleh
pemegang Hak Pengusahaan Hutan, dengan memberikan ganti rugi
kepada pemegang hak tersebut, untuk kemudian dimohonkan haknya,
dengan mengikuti tata cara yang ditetapkan dalam peraturan
perundang-undangan agraria yang berlaku.
13

3. bilamana pengusahaan areal Hak Pengusahaan Hutan memerlukan


penutupan

areal

itu

sehingga

mengakibatkan

penduduk

atau

masyarakat hukum setempat tidak dapat melaksanakan hak adatnya,


maka pemegang Hak Pengusahaan Hutan harus memberikan ganti rugi
kepada penduduk dan atau masyarakat hukum tersebut.
4. ketentuan-ketentuan/syarat-syarat tersebut harus dicantumkan dalam
Keputusan Pemberian Hak Pengusahaan Hutan yang bersangkutan.21
Pada Tanggal 30 September 1999 diundangkan Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan (LNRI 167/1999; TLNRI
3587), menggantikan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 diatas.
Dinyatakan dalam Pasal 67, bahwa masyarakat hukum adat, sepanjang
menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, berhak
melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup
sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan , melakukan kegiatan
pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak
bertentangan dengan UU, dan mendapatkan pemberdayaan dalam rangka
meningkatkan kesejahteraannya. Suatu masyarakat hukum adat diakui
keberadaannya, jika menurut kenyataannya memenuhi unsur antara lain
masyarakat masih dalam bentuk paguyuban, ada kelembagaan dalam
bentuk perangkat penguasa adatnya, ada pranata dan perangkat hukum
khususnya peradilan adat yang masih ditaati dan masih mengadakan
pungutan hasil hutan diwilayah hutan sekitarnya untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari.22
Pernyataan diatas tampak adanya perkembangan mengenai kebijakan
yang menyangkut hubungan antara masyarakat hukum adat dengan hutan
yang merupakan ulayatnya. Namun perkembangan tersebut belum
sepenuhnya positif karena masih terlihat setengah hati walaupun demikian
21 Instruksi presiden Nomor 1 Tahun 1976 tentang Sinkronisasi
Pelaksanaan Keagrarian dengan Bidang Tugas Kehutanan
Pertambangan.
22Boedi Harsono, Ibid, hlm 203.
14

ada pula perkembangan positif yang dinyatakan dalam pasal 68, bahwa
masyarakat di dalam dan di sekitar hutan berhak memperoleh kompensasi
karena hilangnya akses dengan hutan sekitarnya sebagai lapangan kerja
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya akibat penetapan kawasan hutan,
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Hilangnya akses yang dijelaskan dalam pasal diatas meliputi hak
untuk mengambil hasil hutan dan juga untuk membuka hutan ulayatnya.
Pada dasarnya bukan hanya suatu masyarakat hukum saja yang berhak
memperoleh kompensasi karena hilangnya hak atas tanah miliknya
melainkan setiap orang berhak memperoleh kompensasi tersebut. Hal ini
merupakan akibat dari adanya penetapan kawasan hutan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dimana pemerintah
bersama pihak penerima izin usaha pemanfaatan hutan berkewajiban untuk
mengupayakan kompensasi yang memadai, antara lain dalam bentuk mata
pencaharian baru dan keterlibatan dalam usaha pemanfaatan hutan
disekitarnya.
BAB III
KESIMPULAN
Dari pembahasan bab II dapat disimpulkan bahwa Hak ulayat di akui
eksistensinya di dalam hukum tanah nasional, sepanjang menurut kenyataannya
masih ada. Masih adanya Hak Ulayat pada masyarakat hukum adat tertentu, antara
lain dapat diketahui dari kegiatan sehari-hari kepala Adat dan para tetua adat
dalam kenyataannya, yang masih diakui sebagai pengemban tugas kewenangan
mengatur penguasaan dan memimpin pengguanaan tanah ulayat, yang merupakan
tanah bersama para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Selain
diakui, pelaksanaannya dibatasi, dalam arti harus sedemikian rupa sehingga sesuai
kepentingan nasioanal dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta
tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan yang
lebih tinggi. Demikian dinyatakan dalam penjelasan Umum UUPA. Merupakan
suatu kenyataan, bahwa jika dalam usaha memperoleh sebagian tanah ulayat
15

untuk keperluan pembangunan, dilakukan pendekatan pada para penguasa adat


yang bersangkutan menurut adat-istiadat setempat, yang hakikatnya mengandung
pengakuan adanya Hak Ulayat itu. Tetapi instansi pemerintah atau pengusaha
yang berusaha memperoleh tanah ulayat semata-mata berdasarkan surat keputusan
Pejabat atau Instansi Pemerintah yang diberikan kepadanya, pasti akan
menghadapi kesulitan dalam pelaksanaannya.
Hak Ulayat pada kenyataannya sudah tidak ada lagi, tidak akan dihidupkan
kembali. Juga tidak akan diciptakan Hak Ulayat baru. Dalam rangka Hukum
Tanah Nasional tugas kewenangan yang merupakan unsur hak ulayat, telah
menjadi tugas kewenangan Negara Republik Indonesia, sebagai Kuasa dan
Petugas Bangsa. Pada kenyataannya kekuatan hak ulayat cenderung berkurang,
dengan makin menjadi kuatnya hak pribadi para warga atau atau anggota
masyarakat hukum adat yang bersangkutan atas bagian-bagian tanah ulayat yang
dikuasainya. Oleh karena itu hak Ulayat tidak akan diatur dan UUPA juga tidak
memerintahkan untuk di atur, karena pengaturan hak tersebut akan berakibat
melangsungkan keberadaannya. Maka pengaturan Hak Ulayat yang masih ada
dibiarkan tetap berlangsung menurut hukum adat setempat.

16

DAFTAR PUSTAKA

17

Anda mungkin juga menyukai