Anda di halaman 1dari 5

Etiologi nelson 1996

Kebanyakan (90%) anak yang menderita nefrosis mempunyai beberapa bentuk


sindrom nefrotik idiopatik; penyakit lesi minimal ditemukan pada sekitar 85%,
proliferasi mesangium pada 5% dan sklerosis setempat 10%. Pada 10% anak
sisanya menderita nefrosis, sindrom nefrotik sebagain besar diperantarai oleh
beberapa ebntuk glomerulonefritis, dan yang tersering adalah membranosa dan
membranoproliferatif.
Sindrom Nefrotik Idiopatik
Sindrom ini merupakan sekitar 90% nefrosis pada anak. Kadang-kadang ada
laporan bahwa salah satu dari 3 tipe member kesan bahwa sindrom ini mungkin
merupakan satu gangguan dengan berbagai gambaran histologist. Namun lebih
mungkin bahwa sindrom menggambarkan beberapa penyakit yang memiliki
manifestasi klinis serupa.
Etiologi
Penyebab sindrom ini tetap belum diketahui. Keberhasilan awal dalam
mengendalikan nefrosis dengan obat-obatan imunosupresif memberi kesan
bahwa penyakit ini diperantarai mekanisme imunologis, tetapi bukti adanya
mekanisme jejas imunologis yang klasik belum ada dan jelasnya obat-obatan
imunosupresif sendiri memiliki banyak pengaruh selain penekanan pembentukan
antibody.
Patologi Sindrome nefrotik idiopatik terjadi pada 3 pola morfologi. Pada lesiminimal (85%), glomerulus tampak normal atau menunjukkan perubahan
minimal pada sel mesangium dan matriks. Temuan-temuan mikroskopi
imunofluoresens khas negative. Mikroskopi electron menampakkan retraksi
tonjolan kaki epitel sel. Lebih dari 90% anak denga penyakit lesi minimal
berespon terhadap terapi kortikosteroid.
Kelompok proliferative mesangium (5%) ditandai dengan peningkatan difus sel
mesangium dan matriks. Dengan imunofluoresensi, frekuensi endapan
mesangium yang mengandung IgM dan C3 tidak berbeda dengan frekuensi yang
diamati pada penyakit lesi minimal. Sekitar 50-60% penderita lesi histologist ini
akan berespins terhadap terapi kortikosteroid.
Pada biopsy penderita yang menderita lesi sklerosis setempat (10%). Sebagian
besar glomerulus tampak normal atau menunjukkan proliferasi mesangium. Yang
lain, terutama glomerulus yang dekat medulla (juxtamedulare), menunjukkan
jaringan parut segmental pada satu atau lebih lobules. Penyakitnya seringkali
progresiff, akhirnya melibatkan gagal ginjal stadium akhir pada kebanyakan
penderita. Sekitar 20% penderita demikian berespons terhadap prednisone atau
terapi sitotoksik ataupun keduanya. Penyakit ini dapat berulang pada ginjal yang
ditransplantasikan.
Manifestasi Klinis

Sindrom nefrotik idiopatik lebih sering dijumpai pada laki-laki daripada permpuan
(2:1) dan paling lazim muncul antara usia 2 dan 6 tahun. Sindrom terdini telah
dilaporkan pada setengah tahun terakhir dari usia 1 tahun dan lazim pada orang
dewasa. Episode awal dan kekambuhan berikutnya dapat terjadi pasca-infeksi
virus saluran pernapasan atas laki daripada permpuan (2:1) dan paling lazim
muncul antara usia 2 dan 6 tahun. Sindrom terdini telah dilaporkan pada
setengah tahun terakhir dari usia 1 tahun dan lazim pada orang dewasa. Episode
awal dan kekambuhan berikutnya dapat terjadi pasca-infeksi virus saluran
pernapasan atas yang nyata. Penyakit ini biasanya muncul sebagai edema, yang
pada mulanya ditemukan di sekitar mata dan pada tungkai bawah, di mana
edema bersifat pitting. Semakin lama edema semakin menyeluruh dan mungkin
disertai dengan kenaikan berat bada, timbul asites dan/atau efusi pleura,
penurunan curah urin. Edemanya berkumpul pada tempat-tempat tergantung
dan dari hari ke hari tampak berpindah dari muak ke punggung ke perut,
perineum, dan kaki. Anoreksia, nyeri perut dan diare lazim terjadi; jarang ada
hipertensi.
Diagnosis
Analisis urin menunjukkan proteinuria +3 atau +4; mungkina ada hematuria
mikroskopis. Fungsi ginjal mungkin normal atau menurun. Klirens kreatinin
rendah karena terjadi penurunan perfusi ginjal akibat penyusutan volume
intravaskuler membaik. Ekskresi protein melebihi 2 g/24 jam, kadar kolesterol
dan trigliserid serum naik, kadar albumin serum biasanya kuran dar 2 g/dl (20
g/L), dan kadar kalsium serum total menurun, karena penurunan fraksi terikat
albumin. Kadar C3 normal.
Anak dengan awitan sindrim nefrotik antara usia 1-8 tahun agaknya menderita
penyakit lesi-minimal yang berespon terhadap steroid, dan terapi kortikosteroid
harus dimulai tanpa biopsy ginjal. Penyakit lesi-minimal tetap lazim pada anak di
atas usia 8 tahun yang datang denga nefrosis, tetapi glomerulonefritis
membranosa dan membranoproliferatis menjadi semakin sering; biopsi ginjal
dianjurkan pada kelompok ini untuk menegakkan diagnosis pasti sebelum
mempertimbangkan terapi.
Komplikasi
Infeksi adalah komplikasi nefrosis utama, komplikasi ini akibat dari
meningkatnyakerentanan terhadap infeksi bakteri selama kambuh. Penjelasan
yang diusulkan meliputi penurunan kadar imunoglobulin, cairan edema yang
berperan sebagai media biakan, defisiensi protein, penurunan aktivitas
bakterisid leukosit, terapi imunosupresif , penuruanna perfusi limpa karena
hipovolemia, kehilangna factor komplemen (factor properdin B) dalam urin yang
mengopsonisasi bacteria tertentu. Belum jelas mengapa peritonitis spontan
merupakan tipe infeksi yang paling sering: sepsis, pneumonia, selulitis, dan
unfeksi salurna kencung juga dapat ditemukan. Organisme penyebab peritonitis
yang paling lazim adalah streptococcus penumoniae; bakteri gram negative juga
ditemukan. Demam dan temuan-temuan fisik mungkin minimal bila ada terapi
kortikosteroid. Oleh karenanya, kecurigaan yang tinggi, pemeriksaan segera

(termasuk biakan darah dan cairan peritoneum), dan memulai terapi awal yang
mencakup organism gram-positif maupun gram-negatif adalah penting untuk
mencegah terjadinya penyakit yang mengancam jiwa. Bila dalam perbaikan,
semua penderita yang sedang menderita nefrosis harus mendapat vaksis
pneumokokus polivalen.
Komplikasi lain dapat meliput kenaikan kecenderungan terjadinya thrombosis
arteri dan vena (setidak-tidaknya senagian kenaikan kadak factor koagulasi
tertentu dan inhibitor fibronolisis plasma, penurunan kada anti-trombin III
plasma, dan kenaikan agregasi trombosit); defisiensi factor koagulasi IX, XI dan
XII; dan penurunan kadar vitamin D serum.
Pengobatan
Pada episode pertama nefrosis, anaj dapat dirawat inap di rumah sakit untuk
tujuan diagnostic, pendidikan terapeutik. Bila timbul edema, masukan natrium
dikurangi denan memulai diet no added salt (tidak ditambah garam). Iibunya
dinasehati untuk memasak tanpa garam, menyembunyikna garam meja, dan
menghindari menyajikan makanan yang jelas-jelas bergaram. Pembatasan
garam dihentikan bila edemanya membaik. Jika edema tidak berat, masukan
cairan tidak dibatasi namun tidak perlu didorong. Anaknya dapat masuk sekolah
dan berpartisipasi dalam aktivitas sekolah sepertu yang dapat ditoleransi.
Sampai diuresus akibat-kortikosteroid mulai, edema ringan sampai sedang dapay
dikelola di rumah dengan klorotiazid 10-40 mg/kg/24 jam dalam 2 dosis terbagi.
Bila terjadi hipokalemia, dapat ditambahkan kalium klorida atau spironolakton
( 3-5 mg/kg/24 jam dibagi 4 dosis). Jika edemanya menjadi berat, mengakibatkan
kegawatan pernapasan akibat efusi pleura yang masif dan asites atau pada
edema skrotumyan berat, anak harus dirawat inap di rumah sakit. Pembatasan
natrium harus diteruskan, tetapi pengurangan masukan yang lebih lanjut jarang
efektif dalam mengendalikan edema. Skrotum yang membengkak dinaikkan
dengan bantal untuk meningkatkan pengeluaran cairan dengan gravitasi. Di
masa lampau, edema yang berat diobati dengan oemberian albumun intravena,
pada beberapa penderita disertai dengan pemberian furosemid intravena. Tetapi
sekarang terapi tipe ini telah digantu dengan pemberian furosemid oral (1-2
mg/kg setiap 4 jam) bersama dengan metolazon (0,2-0,4 mg/kg/24 jam dalam 2
dosis terbagi); metolazon dapat bekerja pada tubulus proksimal dan distal. Bila
menggunakan kombinasi yang kuat ini, kadar eletrolit dan fungsi ginjal harus
dimonitor secara ketat. Pada beberapa keadaan edema berat, pemberian
albumin manusia 25% (1 g/kg/24 jam) intravena mungkin diperlukan, tetapi
efeknya biasanya sementara dan harus dihindari kelebihan beban volume
dengan hipertensi dan gagal jantung.
Setelah diagnosisnya diperkuat denga pemeriksaan leobratorium yang tepat,
patofisiologi dan pengobatan nefrosis ditinjau lagi bersama-sama dengan
keluarganya untuk meningkatkan pengertian mereka tentang penyakit anaknya.
Remisi kemudian diinduksi dengan pemberian prednisone, kortikostoreoid yang
kurang mahal, dengan dosis 60 mg/m2/24 jam (maksimum odsis 60 mg setiap
hari), dibagi menjadi 3 atau 4 dosis selama sehari.igunakan terapi dosis-terbagi

bukannya
dosis-tunggal
karena
beberapa
penderita
yang
gagal
beresponterhada[ dosis tunggal akan berespons terhadap dosis terbagi. Waktu
yang dibutuhkan untuk berespons terhadap prednisone rata0rata sekitar 2
minggu, responsnya dtetapkan saat urin bebas prtein. Jika anak berlanjut
menderita proteinuria (+2 atau lebih) setelah satu bulan mendapat prednisone
dosis terbagi yang terus menerus setiap hari, nefrosis demikian disebut resisten
steroid dan biopsy ginjal terindikasi untuk menentukan penyenan penyakitnya
yang tepat.
Lima hari setelah urin menjadi bebas protein (negative, sedimen sedikit sekali,
atau 1+ pada dipstick), dosis prednisone diubah menjadi 60 mg/m2 (dosis
maksimum 60 mg) diberikan selang sehari sebagai dosis tunggal bersama
dengan makan pagi. Regimen selang sehari ini diteruskan selama 3-6 bulan.
Tujuan terpi selang sehari adalah mempertahankan remusus dengan
menggunakan dosis predinson yang relative nontoksik, dengan demikian
menghindari seringnya kekambuhan dan toksisitas kumulatif akibat pemberian
kortikosteroid setiap hari. Setelah periode terapi selang sehari tersebut,
prednisone dapat dihentika secara mendadak. Pengalaman cukup menunjukkan
bahwa ada pemulihan yang cukup pada fungsi aksis pituitaria adrenal sehungga
penderita tidak berisiko terhadap insufisiensi adrenal setelah penarikan kembali
prednisone secara mendadak. Sebaiknya, dalam waktu sampai dengan 1 tahun
setelah penyelesaian terapi kortikosteroid, anak akan membutuhkan tambahan
kortikosteroid untuk penyakit berat atau pembedahan.
Setiap relaps nefrosis diobati dengan cara yang sama, Kekambuhan didefinisika
sebagai berulangnya edema dan bukan hanya proteinuria, karena beberapa anak
dengan keadaan ini akan menderita proteinuria intermiten yang menyembuh
spontan. Sejumlah kecil penderita berspons terhadap terapi dosis terbagi setiap
haru, akan mengalami kekambuhan segera setelah peruahan kea tau setelah
penghentian terapi selang sehari. Penderita demikian itu disebut tergantung
steroid (steroid-dependent).
Bila ada kekambuhan berulang dan terutama jukda aa=nak menderita tksisitas
kortikosteroid berat (terdapat cushingoid, hipertensi, gagal tumbuh)l kemudian
harus dipikirkan terapu siklofosfamid. Siklofosfamid terbukti memperpanjang
lama remisi dan mencegah kekambuhan pada anak yang sindrom nefrotiknya
sering kambuh. Kemungkinan efek samping obat (leucopenia, infeksi varisela
tersebar, sistitis hemoragika, alopesia, sterilitas) harus dipantau pada keluarga.
Dosis siklofosfamid adalah 3 mg/kg/24 jam sebagai dosis tunggal, selama total
pemberian 12 minggu. Terapi prednisone selang sehari sering diteruskan salama
pemberian siklofosfamid. Selama terapi dengan siklofosfamid, luekosit harus
dimonitor setiap minggu dan obatnya dihentukan jika jumlah leukosit menurun di
bawah 5000/mm3. Penderita yang resisten steroid berespins terhadap
perpanjangan pemberian siklofosfamid(3-6 Bulan), bolus metal prednisolon, atau
siklosporin.
Transplantasi ginjal terindikasi untuk gagal ginjal stadium akhir karena
glomerulosklerosis setempat dan segmental resisten-steroid. Sindrom nefrotik

berulang kali terjadi pada 15-55% penderita. Absorbsi protein plasma pada
kolom protein basis-A dapart menurunkan proteinuria pada penderita-penderita
ini. Absorbsi protein memindahkan suatu fraksi (BM <100.000), yang menaukkan
permeabilitas protein ginjal.
Prognosis
Sebagian besar anak dengan nefrosis yang berespins terhadap steroid akan
mengalami kekambuhan berkali sampai penyakitnya menyembuh sendiri secara
spontan menjelang usia akhir decade kedua. Yang penting adalah, menunjukkan
pada keluarganya bahwa anak tersebut tidak akan menderita sisa disfungsi
ginjal, bahwa penyakitnya biasanya tidak herediter, dan bahwa anak akan tetap
fertile (bila tidak ada terapi siklofosfamid atau klorambusil). Untuk memperkecil
efek psikologis nefrosis, ditekankan bahwa selama masa remusu anak tersebut
notmal serta tidak perlu pembatasan diet dan aktivitas. Pada anak yang berada
dalam masa remisi pemeriksaan protein urin biasanya tidak diperlukan.

Anda mungkin juga menyukai