Anda di halaman 1dari 1

Sulitnya Memahami Penolakan

ADA dua hal yang dilanggar oleh pelaku saat melakukan kekerasan dan mengesahkan tindakan
kekerasannya yakni penyalahgunaan kepercayaan dan persahabatan serta penyalahgunaan kekuasaan.
Kedua hal itu sangat efektif membungkam korban dan membuatnya tak berdaya.
"Tiba-tiba X datang dari belakang, mencium tengkukku dan meremas payudaraku. Aku kaget, dan tidak
tahu apa yang harus kulakukan. Aku hanya terduduk di depan komputer tak bergerak. X pergi,
sementara aku merasa jijik dan marah karena selama ini aku begitu percaya pada X, kawan
seperjuangan dalam gerakan HAM."
Kesaksian ini diungkapkan seorang perempuan aktivis tentang kawan laki-lakinya sesama aktivis. Ketika
dikonfrontir, pelaku mengatakan, "Saya tidak merasa melakukan kekerasan karena saya menciumnya
dengan halus dan itu karena saya sayang pada dia. Saya merasa hal itu wajar saja. Apa yang salah
dengan perbuatan saya?"
Dalam diskusi publik pada Kamis lalu yang dipandu oleh Sita Aripurnami, ada beberapa pertanyaan
yang secara jelas menyiratkan ketidakpahaman masyarakat mengenai masalah ini. Seorang perempuan
aktivis dari Makassar menceritakan temannya, laki-laki sesama aktivis baru tahu hal itu merupakan
pelanggaran ketika diajak mengikuti seminar mengenai kekerasan terhadap perempuan.
Otoritas seorang tokoh yang dibangun dan diperkuat oleh struktur sosial telah memberikan kekuasaan
pada laki-laki. Ketika tokoh itu melakukan kekerasan seksual terhadap perempuan pekerja kemanusiaan,
masyarakat tidak akan mempercayai perbuatan tersebut; sebaliknya, masyarakat justru menghukum
korban. Tokoh itu menggunakan legitimasi ketokohan dan kepercayaan masyarakat untuk membungkam
korban. Bahkan perempuan yang menjadi korban dipersalahkan sebagai penggoda dan kemudian
dikorbankan.
***
MASALAH consent (persetujuan, izin) merupakan hal yang kontroversial. Bertolak dari pandangan
Sigmund Freud (1924) bahwa ideologi laki-laki mengenai perkosaan bertolak dari dogma bahwa
perempuan secara alamiah suka disakiti (masochistik) karena "gairah akan kesakitan" itu, maka banyak
orang setuju dengan pendapat Camille Paglia (1992).
Paglia mengatakan, "Mustahil Anda tidak tahu kalau 'tidak' tidak selalu berarti 'tidak'. 'Tidak' bisa berarti
'ya' atau 'tidak, tetapi jangan berhenti.'"
Maka, dalam persoalan perkosaan, khususnya yang terjadi saat kencan (date rape), pengikut Paglia
akan mengatakan, "Seorang perempuan harus bertanggung jawab atas seksualitasnya. Dia harus hatihati ke mana dan dengan siapa ia pergi. Kalau ia berbuat salah maka ia harus menanggung sendiri
akibatnya."
Sementara prinsip-prinsip feminisme menyatakan, "tidak" harus diartikan sebagai "tidak". Seorang
perempuan yang menolak melakukan "hubungan yang lebih jauh" dalam kencan harus diartikan bahwa
ia sungguh-sungguh menolak, bukan "pura-pura" menolak karena ia suka disakiti. "Tidak" dalam
masalah ini merupakan hak perempuan atas otonomi tubuhnya dan hak itu harus dihormati.
Reaksi yang bukan menangis, menolak, atau berteriak, langsung dianggap sebagai "persetujuan" pada
akhirnya, sehingga sulit bagi laki-laki untuk memahami bahwa korban benar-benar menderita atas
perlakuan tersebut. Di sini ada kesenjangan jender dalam komunikasi antara perempuan-laki-laki,
namun dalam kerangka pikir patriarkhis (dan Freudian) pendapat laki-laki-lah yang dianggap benar.
Persoalan ini tampaknya "hanya sepotong", tetapi amat sangat prinsipil, khususnya dalam perjuangan
menegakkan martabat manusia beserta seluruh haknya. (nmp/mh)

Anda mungkin juga menyukai