Stigmatisasi & Vandalisme
Stigmatisasi & Vandalisme
PEMIKIRAN KITA
Oleh: Listiyono Santoso
Catatan buruk kembali tertulis dalam sejarah perkembangan
dunia perbukuan (baca: termasuk pemikiran) kita. Setelah
30-an tahun mengalami "mati suri" akibat sensor kekuasaan
Orde Baru yang membatasi "ruang gerak" terbitnya bukubuku (baru) berkualitas, kini dunia perbukuan kita
dihadapkan pada persoalan baru (klasik) yang tak kalah
peliknya berupa sensor dari masyarakat melalui aksi
pembakaran buku "berbau kiri" seperti bukunya Franz
Magnis-Suseno berjudul Pemikiran Karl Marx, pada 19 April
2001 oleh 33 ormas. Aksi itu ditengerai akan berlanjut pada
sejumlah buku lain yang diindikasi berisi ajaran "kiri" pada 20
Mei 2001 (Kompas, 8/5/2001).
Aksi pembakaran dan sweeping buku "berbau kiri" memberi
indikator betapa (masih) runyamnya masa depan dunia
perbukuan kita dari masa ke masa, yang akhirnya
berimplikasi pada dunia pemikiran kita. Sejarah buruk yang
menimpa dunia perbukuan akan kembali terjadi, ia
dihadapkan pada "sensor-sensor" pelarangan dengan alasan
yang seringkali dibuat-buat dan tidak masuk akal. Pola
pelarangan dan penolakan buku di era sekarang hanya
beralih dari negara ke masyarakat, meski substansinya tetap
sama berupa stigmatisasi terhadap sebuah pemikiran
utamanya yang "berbau kiri".
Stigmatisasi atas gerakan dan pemikiran "kiri", bila dirunut,
tidak lepas dari keberhasilan rezim Orde Baru (Orba)
membuat pemetaan kelompok dalam masyarakat melalui
oposisi biner; pancasilais dengan anti-Pancasila, beragama
dengan anti-agama, dan sebagainya, yang digunakan Orba
untuk membungkam pemikiran-pemikiran yang
"bertentangan" dengan logika kekuasaannya. Ironisnya,
pengkategorian biner dalam masyarakat itu serta merta
disimpulkan, yang anti-Pancasila dan antiagama atau atheis
adalah mereka-mereka yang diindikasikan berperilaku dan
berpikiran "kekiri-kirian". Meski penjelasan tentang
terminologi "kekiri-kirian" masih kental dengan nuansa politis
ketimbang alasan yang lebih rasional dan masuk akal.
Pola oposisi biner yang diciptakan rezim Orba terus-menerus
diproduksi secara "negatif" sesuai kepentingan
kekuasaannya agar alam pikiran masyarakat terbentuk
perasaan traumatik terhadap segala hal yang berbau "kiri".
Terbentuknya homo orbaicus-meminjam terminologi Jalaludin
yang saat itu terjadi. Sehingga pemikiran seseorang-sekontroversial apa pun-hendaknya dipahami dalam frame
sebagai jawaban atau kritik terhadap kondisi yang terjadi
pada zamannya. Bisa jadi, kondisi obyektif saat pemikiran
digulirkan memang demikian "arah", sehingga diperlukan
kritik sosial atas konstruksi itu.
Pemahaman komprehensif ini diperlukan agar masyarakat
mempunyai kearifan dalam menilai sebuah pemikiran, dan
tidak terjebak pada penolakan yang membabi-buta dan tidak
rasional. Minimal, kalau toh melakukan penolakan tetap
dalam koridor rasional dan ilmiah; bahwa mereka paham
betul tentang apa yang ditolaknya. Lebih baik mengetahui
sesuatu yang ditolak, daripada menolak sesuatu yang tidak
diketahuinya.
Jangan sampai masyarakat "terjebak" melakukan penolakan
pemikiran seseorang, tetapi mereka tidak memahami esensi
pemikiran yang ditolaknya. Sebab, jangan-jangan mereka
justru mempunyai pemikiran-yang secara substansial-sama
dengan yang ditolaknya. Ini kan ironis dalam wacana
pemikiran.
Misalnya dalam pemahaman atas pemikiran "berbau kiri".
Selama ini masyarakat kita terjebak pada konstruksi
pemikiran, pemikiran "kiri" selalu diidentikkan dengan
"komunis". Padahal, wacana pemikiran "kiri"-sepengetahuan
saya-adalah pemikiran dan gerakan seseorang atau
sekelompok orang yang senantiasa melawan, mengkritik,
dan bermaksud menghancurkan segala hal yang berbau
establishment, terutama establishment kekuasaan otoriter
dan juga kapitalisme. Bisa jadi kemapanan sering memuat
seperangkat prinsip yang manipulatif untuk sekadar
mempertahankan kemapanan itu. Itulah wacana "kiri", yang
berusaha membongkar kekuasaan yang berlindung di balik
ideologi-ideologi kemapanan.
Perilaku yang "melawan" itu, memang sering mengandung
nuansa visioner dan revolusioner, dan mungkin "berbahaya"
bagi kemapanan dan kekuasaan. Seringkali mengandung
"ruang konflik" dan kontroversial. Karena dianggap
berbahaya bagi kekuasaan, maka pemikiran dan gerakan
"kiri" harus dibungkam dan dimatikan dengan cara membuat
stigma dan stereotype.
Pengetahuan absolut
Biasanya, pemikiran dan gerakan "kiri" didominasi kaum
muda yang sesungguhnya hanya "minoritas", yang suka
bergelut dengan buku-buku "kekiri-kirian". Meski saya tidak